Anda di halaman 1dari 23

Sultan Agung dari Banjar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Sultan Agung bin Sultan Inayatullah

Pangiran Surjanata in Banzjarmasch[1]


Pangiran Surjanata prince in Banjarmasch[1]

Pangeran Suryanata II
Pangeran Dipati Anom II
Raden Kasuma Lalana

Masa
1663 - 1679
kekuasaan

Gelar Sultan Dipati Anom

Pendahulu Sultan Rakyatullah

Pengganti Sultan Amrullah

Anak Pangeran Dipati

Wangsa Dinasti Banjarmasin

Ayah Sultan Inayatullah

Gusti Timbuk binti Raden Aria Papati bin


Ibu
Sultan Hidayatullah I

Sultan Agung alias Pangeran Suryanata (ke-2) atau Sultan Dipati Anom (bahasa Belanda: radja de
Patty Anom[2]) adalah Sultan Banjar yang memerintah antara 1663-1679[3]. Raja ini sebelumnya
dikenal dengan nama Pangeran Dipati Anom (ke-2), sedangkan nama lahirnya adalah Raden Kasuma
Lalana. Pangeran Dipati Anom II ini dengan bantuan suku Biaju berhasil merebut tahta Sultan
Rakyatullah yang merupakan Wali Sultan Banjar yang belum dewasa yaitu Raden Bagus bin Sultan
Saidullah bin Sultan Inayatullah. Padahal sebelum peristiwa tersebut Raden Bagus sempat dilantik
oleh Sultan Rakyatullah dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma, karena Sultan Rakyatullah
sudah menduga adanya ambisi Pangeran Dipati Anom II yang hendak menjadi raja Banjar. Setelah
berhasil merebut tahta Kesultanan Banjar, Pangeran Dipati Anom II kemudian memindahkan pusat
pemerintahan ke Sungai Pangeran, Banjarmasin, dan kemudian mengangkat dirinya sebagai Sultan
Banjar dengan gelar Sultan Agung, sedangkan gelar yang dimasyhurkan/dipopulerkan adalah
Pangeran Suryanata [ke-2], seperti gelar pendiri dinasti kerajaan ini pada masa kerajaan Hindu,
Pangeran Suryanata/Maharaja Suryanata. Sementara itu Sultan Amrullah Bagus Kasuma menyingkir
ke daerah Alai sambil menyusun kekuatan untuk merebut tahta kembali dari pamannya yaitu Sultan
Agung/Pangeran Suryanata II/Pangeran Dipati Anom (ke-2)/Sultan Dipati Anom.

Sultan Agung merupakan Sultan Banjar yang memiliki banyak pengikut dan dukungan politik di
kalangan Dayak Biaju ketika terjadi kemelut politik di dalam istana Kesultanan Banjar, dan ia sering
dianggap sebagai keturunan Dayak [keturunan Dayak kemungkinan dari pihak neneknya sebab
menurut Hikayat Banjar, kakek-kakeknya dari kedua belah pihak merupakan bangsawan Banjar].

Daftar isi

 1 Silsilah

 2 Kompromi Politik

 3 Sikap Anti VOC di Masa Sultan Agung

 4 Perdagangan Bebas

 5 Referensi

Silsilah

Sultan Agung merupakan keturunan ke-11 dari Lambung Mangkurat (Lembu Amangkurat) dan juga
keturunan ke-11 dari pasangan Puteri Junjung Buih dan Maharaja Suryanata. Maharaja Suryanata
(nama lahir Raden Putra) dijemput dari Majapahit sebagai jodoh Puteri Junjung Buih (saudara angkat
Lambung Mangkurat).

Namanya semasa muda adalah Raden Kasuma Lalana. Ketika abang tirinya Pangeran Kasuma Alam (=
Ratu Anom/Sultan Saidullah) dilantik sebagai Sultan Banjar oleh pamannya Pangeran Dipati Anta-
Kasuma(= Ratu Kota-Waringin/Ratu Bagawan), bersamaan dengan pelantikan itu Raden Kasuma
Lalana juga dilantik sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom [ke-2] karena itu ia sering
dipanggil Dipati Anom/Pangeran Anom. Tetapi pada masa sebelumnya seorang pamannya juga
pernah memakai gelar Pangeran Dipati Anom (= Panembahan di Darat), karena itu ia disebut
Pangeran Dipati Anom II. Ayahandanya adalah Sultan Inayatullah (= Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha
I). Ibundanya seorang bangsawan/permaisuri yaitu Gusti Timbuk binti Raden Aria Papati bin Sultan
Hidayatullah I. [4]Raden Kasuma Lalana merupakan putera gahara sebab ibundanya berdarah
bangsawan, tetapi ia bukanlah putera tertua. Sultan Agung juga dijuluki Ratu Lamak. Putera dari
Sultan Agung (= Raden Kasuma Lalana) adalah Pangeran Dipati. Pangeran Dipati juga sering disebut
Ratu Agung yang memiliki tanah badatu/tanah apanase/tanah lungguh berada di daerah Negara,
sehingga ia menjadi Raja di Negara.
Raden Kasuma Lalana merupakan saudara sesusu/saudara angkat dari Raden Raden
Marabut/Pangeran Taliwang (nama lahir Raden Subangsa). Pangeran Dipati Anom II yang
memerintahkan Raden Subantaka bin Pangeran Mangkunagara untuk memperisterikan Raden
Subangsa bin Pangeran Dipati Marta Saharie dengan puteri dari Raja Kerajaan Selaparang.

Kompromi Politik

Pangeran Suryanata II ini mengangkut 10 pucuk meriam dan 600 prajurit dari keraton Kayu Tangi,
Martapura. Ia mengangkat adik kandungnya, Raden Kasuma Wijaya (= Raden Huju) menjadi Raja
Muda dengan gelar Pangeran Purbanagara. Setelah dikudeta Pangeran Suryanata II, Sultan Amrullah
Bagus Kasuma (Raden bagus) kemudian lari ke daerah Alay dan mengumpulkan kekuatan di sana.

Pangeran Suryanata II berkompromi politik dengan pamannya yaitu Dipati Halit (Pangeran Ratu) bin
Sultan Mustain Billah, untuk memegang kembali kekuasaan pemerintahan di Martapura sampai
mangkatnya pada tahun 1666. Pangeran Aria Wiraraja putera Pangeran Ratu diangkat sebagai
mangkubumi (kepala pemerintahan) mendampingi Sultan Agung (kepala negara).

Sebelumnya Adipati Halit (Rakyatullah) sempat menjabat Sultan Banjar (kepala negara) sebagai
temporary king dengan gelar Pangeran Ratu, tetapi atas desakan golongan suku Biaju, dia
menyerahkan tahta kepada keponakannya Raden Bagus Kasuma (Amrullah) yang merupakan Putra
Mahkota, anak almarhum Sultan Saidullah (= Ratu Anom).

Pada masa pemerintahannya, Sultan Agung banyak memiliki perkebunan lada di daerah pedalaman
sehingga Dijk menyebut Pangeran Anom atau Pangeran Surya-Nata II sebagai Koning yan het
pepergebergte (raja dari pegunungan lada). Pada masa itu Kesultanan Banjar sedang mengalami
zaman keemasannya sebagai penghasil komoditas lada yang diekspor ke luar negeri. Di masa itu para
bangsawan yang juga sebagai saudagar dan pedagang lada mempunyai pasukan sendiri dan budak-
budak yang dipersenjatai.

Tahun 1666 Adipati Halit (Pangeran Tapasena) meninggal, menyebabkan golongan legitimitas
bertambah kuat, sehingga Amrullah Bagus Kasuma mendapat dukungan yang kuat pula. Pada tahun
1679, Amrullah Bagus Kasuma menyerang Banjarmasin dan ia dan adiknya (Raden Basus) berhasil
membinasakan Sultan Agung dan putera sulungnya,[5] dan sejak itulah Amrullah kembali dapat
mengambil haknya sebagai Sultan di Banjarmasin (1680-1700) sampai akhir abad ke-17. Amrullah
keluar sebagai pemenang dalam perebutan tahta Banjar melawan pamannya Sultan Agung (Ratu
Lamak) dan anaknya Pangeran Dipati (Ratu Agung).

Sikap Anti VOC di Masa Sultan Agung

Perebutan kekuasaan di Kesultanan Banjar pada abad ke-17 menghasilkan kompromi politik,
Pangeran Ratu/Sultan Rakyatullah/Raden Halit tetap berkuasa di Martapura, sedangkan Sultan
Agung/Pangeran Surya Nata II/Raden Kasuma Lalana berkuasa di Banjarmasin. Martapura yang
merupakan daerah tambang emas dan hasil kebun lada terletak di sebelah hulu dari Banjarmasin,
sehingga cara ini dapat mematikan perdagangan Pangeran Ratu/Sultan Rakyatullah saingannya. [6]
Sehubungan dengan ini Pangeran Suryanata II/Sultan Agung mengirim dutanya ke Betawi yaitu Souta
Nella dan Nala tahun 1665. Kepada VOC disampaikan surat Pangeran Suryanata II yang isinya :

1. Supaya VOC memanggil kembali orang orangnya yang berada di Martapura dan menutup
lojinya.

2. Mengenai lada VOC tidak perlu khawatir, karena akan dikirim Sultan sendiri dengan kapal ke
Batavia.

3. Meminta agar isi kapal Sultan yang dirampas VOC sekembalinya dari Aceh diberikan kembali
dengan perantaraan dutanya.

4. Surat ini menyebutkan pula pemberian Sultan Agung/Pangeran Suryanata kepada VOC
sebanyak 2.000 gantang lada dan dua lembar tikar rotan.[1]

Utusan yang membawa surat Pangeran Suryanata ini terjadi pada tahun 1665, dan hal ini berarti
perjanjian sebelumnya yang dibuat tahun 1664 hanya merupakan kertas kosong belaka.

Sikap Sultan Agung ini (Pangeran Suryanata) yang meminta VOC-Belanda keluar dari Banjarmasin,
diduga atas motivasi dari Kesultanan Mataram, agar Banjarmasin membuka front terbuka sikap anti-
VOC. Sikap ini diperlukan sebab kerajaan lainnya terutama Kesultanan Mataram mengalami
kemunduran dalam bidang perdagangan akibat sepak terjang Belanda yang selalu memegang
monopoli perdagangan.[6]

Pada bulan Juli 1665 menurut laporan Residen Gerret Lemmes, tiba-tiba Pangeran Suryanata II pergi
ke daerah Negara untuk membeli lada secara monopoli dari rakyat penghasil lada dan menjualnya
kepada pedagang-pedagang Makassar, Inggris, Portugis dan Cina, sedangkan utusan VOC-Belanda
sama sekali tidak diberinya kesempatan memperoleh lada. Bahkan pelabuhan Banjarmasin dipenuhi
dengan pedagang-pedagang dari segala bangsa dan perdagangan dilakukan secara bebas. Untuk
mempertahankan perdagangan bebas ini dan menghapus keinginan VOC-Belanda untuk memperoleh
monopoli, Pangeran Suryanata II mengirim utusan ke Kesultanan Banten (Sultan Ageng Tirtayasa),
meminta bantuan dan mengakui kekuasan Banten atas Kesultanan Banjarmasin.[6]

Sekitar tahun 1670-an terjadi perubahan besar di Indonesia Timur yang membahayakan bagi
perdagangan bebas Banjarmasin, yaitu jatuhnya bandar internasional Makassar dibawah kontrol
sesuai Perjanjian Bungaya (18 November 1667), ancaman inilah yang menyebabkan Sultan
Agung/Pangeran Suryanata II mengirimkan utusan-utusan ke Batavia untuk memperoleh monopoli
senjata dan mesiu. Kemunduran perdagangan di Indonesia Timur ini sebagai akibat dari taktik dan
strategi VOC-Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan dengan menerapkan
politik divide et impera-nya. [6]

Sikap Sultan Banjar yang anti VOC-Belanda pada masa tersebut karena beberapa pertimbangan:
1. Hubungan dagang dengan Belanda, selalu diakhiri dengan peristiwa pembantaian dan
permusuhan di kedua belah pihak.

2. Dalam setiap perjanjian kontrak dagang, VOC-Belanda selalu ingin monopoli, dan tidak
memberi peluang terciptanya perdagangan bebas.

3. Adat istiadat orang-orang Belanda, bertentangan dengan adat istiadat orang Banjar, sehingga
lambat laun akan timbul konflik budaya.[6]

Pertimbangan-pertimbangan tersebut, didasarkan atas kemungkinan dukungan dan kemufakatan


Dewan Mahkota, khususnya yang anti VOC. Walau demikian, VOC-Belanda terus menerus mencari
peluang dan dukungan untuk bercokol di Banjarmasin, karena perdagangan VOC-Belanda di
Kesultanan Banjarmasin tidak macet.[6]

Perdagangan Bebas

Pertengahan abad ke- 17 Banjarmasin mengalami kemajuan dan kemakmuran yang pesat. Menurut
Barra pada tahun 1662 ada 12 jung orang Melayu, Inggris, Portugis mengangkut lada dan emas ke
Makassar. Sementara di pelabuhan Banjarmasin dipenuhi lebih dari 1000 perahu layar, baik
perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental, karena kontrak perdagangan
(monopoli) dengan VOC yang dilakukan tahun sebelumnya hanya merupakan kontrak kosong belaka.
[6]

Kesultanan Banjarmasin tidak terikat terhadap bangsa manapun juga dan lebih mengacu kepada
perdagangan bebas dimana semua bangsa boleh berdagang di Banjarmasin. Orang-orang Banjar akan
bebas pula melakukan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain dan tidak terikat kepada VOC-
Belanda, EIC-Inggris atau Portugis. Kesultanan Banjar memberikan keleluasaan kepada para saudagar
untuk berniaga, dan dengan sendirinya pertumbuhan ekonomi kesultanan akan meningkat, asalkan
sistem yang berlaku saat itu berfungsi.[6]

Hasil dari perdagangan bebas tersebut, Banjarmasin mengalami kemakmuran yang pesat, dan
akibatnya muncul kemelut politik istana seperti pergeseran dan perebutan kekuasaan, namun walau
begitu, dilihat dari pihak luar negeri, kondisi Kesultanan Banjarmasin tetap utuh.[6]

Sebelumnya: Sultan Banjar Digantikan oleh:


Amrullah Bagus Kasuma 1663-1679 Amrullah Bagus Kasuma

Suryanata dan Para Penguasa Gaib Banjar

Pangeran Suryanata dikenal sebagai penguasa Kerajaan Banjar yang turun tahta lalu gaib. Kepercayaan
gaibnya Suryanata berlanjut dengan Raja-raja Banjar berikutnya yang merupakan anak cucu
keturunannya.
Beberapa orang mengaku pernah bertemu dan dikunjungi oleh Pangeran Suryanata, pendiri Dinasti
Negara Dipa di Amuntai. Seperti halnya Pangeran Suryanata, istrinya Putri Junjung Buih, Ratu Negara
Dipa, juga dipercayai gaib. Lihat: Mozaik Banjar: Makam Pangeran Suryanata di Cina.
Kepercayaan orang bahari (zaman dulu) akan alam gaib dilestarikan dalam bentuk tradisi
mengunjungi dan mengantarkan sesaji ke tempat-tempat yang dipercayai mempunyai keramat (Pulau
Pahajatan).
Di Banjarmasin dan daerah sekitarnya, misalnya, terdapat 20 lokasi yang dipercaya sejak zaman dulu
sebagai tempat bertahtanya orang-orang gaib. Lihat: Mozaik Banjar: 20 Tempat Gaib di Banjarmasin.
Aneka macam kue yang dalam khasanah Banjar disebut Wadai 41 pun tak lepas dari aspek
kepercayaan gaib. Setidaknya ini terlihat ketika kerabat keluarga ketururan Pegustian Banjar
mengadakan acara tertentu seperti selamatan menjelang perkawinan atau upacara Atur Dahar (Matur
Dahar) yang mewajibkan dihadirkannya sejumlah kue (wadai Banjar asli) tersebut.
Orang zaman dulu pun mengenal siapa-siapa para penguasa di Pulau Pahajatan. Nama-nama para
penguasa alam gaib Banjar ini disebutkan dalam upacara Atur Dahar ketika memanggil (mengundang
para penguasa alam gaib) untuk datang berhadir dalam acara kaum Pegustian Banjar tersebut.

Kain kuning dan bunga di Banjar Raya. Foto Yudi Yusmili


Para penguasa alam gaib ini mayoritas terdiri dari para Pangeran dan Patih. Siapa saja mereka?
Berikut nama-nama Penguasa Gaib Pulau Pahajatan:

1. Penguasa Gaib Muara Banjar : Pangeran Suryanata


2. Penguasa Gaib Cerucuk : Pangeran Musarana
3. Penguasa Gaib Ujung Panti : Pangeran Aria Manggung
4. Penguasa Gaib Taluk Sarapat : Pangeran Kaca Mendung
5. Penguasa Gaib Pulau Kembang : Pangeran Kacil Kertas Melayang
6. Penguasa Gaib Pulau Datu : Pangeran Kuning (Datu Pamulutan)
7. Penguasa Gaib Tanjung Dewa : Pangeran Bagulung/Pangeran Bagalung
8. Penguasa Gaib Tanjung Silat : Patih Simbat
9. Penguasa Gaib Muara Mantuil : Patih Muhur
10. Penguasa Gaib Pulau Kaget : Patih Hambaya
11. Penguasa Gaib Ujung Balai : Patih Langlang Buana
12. Penguasa Gaib Pulau Tempurung: Patih Huruk
13. Penguasa Gaib Ujung Telan : Patih Lalangir
14. Penguasa Gaib Ujung Paradatua : Patih Rumbih

- See more at: http://www.kabarbanjarmasin.com/posting/pangeran-suryanata-dan-para-penguasa-


gaib-banjar.html#sthash.9iNMF8jK.dpuf

Rumah istanaku
Rabu, 21 Desember 2011
Kisah Pangeran Surya Nata atau Surya Cipta atau Bambang Sukma Raga

Syahdan di Kerajaan Majapahit rajanya tidak mempunyai anak keturunan. Maka berangkatlah Ratu
Majapahit ke tepi laut sambil membawa sesajen dan membakar Dupa Astanggi, serta mengadakan puji-
pujian bagi Dewa Mulia Raya agar diberikan seorang anak.

Ketika hari sudah gelap, tiba-tiba ada suara yang menyuruhnya menyambut kedatangan seorang kanak-
kanak yang bentuknya bulat seperti buah semangka. Kemudian diberi pesan agar kanak-kanak itu
diselimuti dengan sarung Seri Gading, beralaskan kain kuning, dinding berwarna kuning dan juga langit-
langitnya berwarna kuning yang dimasukkan ke dalam Peti Ranjang yang bertatahkan intan permata.
Selain itu harus ditambah dengan radap sesajen berupa 40 macam masak-masakan setiap tahunnya,
serta diasapi dengan Dupa Astanggi setiap malam pada hari baik. Dan di dalam petinya ditaburi bunga-
bungaan dan wangi-wangian.
Setelah mendengar pesan dari suara yang tidak terlihat orangnya itu, maka pulanglah Ratu Majapahit
kembali ke istananya. Diceritakannya apa yang tekah didengarnya itu kepada seluruh isi istana dan
dititahkannya agar segera dilaksanakan semua pesan-pesan itu. Maka sibuklah segenap menteri, hulu
balang, patih, dayang dan inang pengasuh menyediakan apa-apa yang dipesankan untuk kanak-kanak
itu. Setelah selesai semuanya, dibawalah semua perlengkapan dengan si kanak-kanak ke atas balai
petani.

Selama si kanak-kanak di dalam pemeliharaan keluarga kerajaan Majapahit, maka seluruh negeri
merasakan keamanan dan kemakmuran dan seluruh Nusantara pun tunduk dan takluk kepada
pemerintahan Majapahit.

---oo00oo---

Syahdan di Candi Agung, Lambung Mangkurat bersiap-siap hendak berangkat ke Majapahit lengkap
bersama para patih dengan menggunakan sebuah perahu. Lambung Mangkurat berencana mencarikan
suami seorang raja untuk Puteri Junjung Buih.

Setelah beberapa lama di perjalanan tibalah rombongan Lambung Mangkurat di Majapahit dan langsung
menghadap raja Majapahit. Lambung Mangkurat kemudian menyampaikan maksudnya meminta anak
untuk dipersuntingkan dengan Puteri Junjung Buih. Raja Majapahit menjelaskan bahwa ia tidak
mempunyai anak seperti yang diinginkan oleh Lambung Mangkurat, yang ada hanya seorang anak yang
bulat seperti semangka. Apa boleh buat, karena yang ada hanya anak itu dan Lambung Mangkurat
merasa tidak enak menolak pemberian raja Majapahit, maka diterimanyalah anak yang bulat seperti
semangka itu.
Diadakanlah acara pelepasan anak itu. Dia diusung oleh segenap patih kerajaan, dipayungi dengan
payung ubur-ubur kebesaran kerajaan, dan dengan diiringi tabuhan gamelan yang terus-menerus
mengantarkannya hingga sampai ke perahu rombongan Lambung Mangkurat.

Ketika dalam perjalanan menuju ke Candi Agung, di muara laut Banjarmasin, kapal rombongan Lambung
Mangkurat berhenti dalam keadaan miring tanpa diketahui sebabnya, sehingga anak yang bulat seperti
semangka tadi tecebur ke dalam laut. Anak itu kemudian berteriak, kalau mau menjemputnya supaya
disediakan radap sesajen dengan dilengkapi tetabuhan gamelan dan payung ubur-ubur dibukakan serta
dupa Astanggi dibakar selama tiga hari tiga malam.

Lambung Mangkurat memenuhi permintaan anak itu, acaranya pun genap tiga hari lalu Lambung
Mangkurat menabur beras kuning ke laut di hadapan perahu tadi sambil memuji-muji Dewa Mulia Raya
dengan harapan Dewa mengabulkan permintaannya.

Tiba-tiba muncullah seorang anak dari dalam air dengan berdiri di atas sebuah agung (gong) yang
bernama Agung Manah Diganta dan gong diusung oleh seekor naga. Sambil menyebutkan namanya
sendiri, Pangeran Surya Nata, anak itu pun mencabut lidah dari mulut naga yang mengusungnya dan
menjelma menjadi sebilah keris yang namanya Keris Naga Selira. Setelah sampai di atas perahu, gong itu
dikaitkan dengan basung peradah.

Lambung Mangkurat senang karena sudah memenuhi semua permintaannya, dan anak yang bulat
seperti semangka itu pun sudah berganti dengan seorang pemuda gagah perkasa lagi tampan. Anak
muda itu yang bernama Pangeran Surya Nata dibawa ke Candi Agung dan kemudian dikawinkan dengan
Puteri Junjung Buih, anak angkatnya Lambung Mangkurat.

---oo00oo---
Singkat cerita kehidupan perkawinan Pangeran Surya Nata dengan Puteri Junjung Buih, lahirlah dua
orang anak laki-laki, yakni Surya Wangsa yang kemudian kawin dengan Puteri Kelarang Sari, dan Gangga
Wangsa yang adik.

Melihat Gangga Wangsa yang belum kawin, datanglah Patih Luhu menghadap Lambung Mangkurat dan
berencana hendak mengawinkannya dengan Dayang Dipraja, anak Patih Arya Marangkan orang Bijayu
yang tinggal di Muara Umur. Setelah ditanyakan kepada Gangga Wangsa rencana itu dan ia setuju, maka
diutuslah oleh Raja Patih delapan orang untuk menjemput Dayang Dipraja. Kedelapan orang itu adalah :

-Patih Luhu

-Patih Pembalah Batung

-Patih Penimba Sugara

-Patih Peruntun Manau

-Patih Gancang Basaru

-Patih Bagalung

-Patih Kariau

-Patih Buntal.

Sesampainya di hadapan Patih Ariya Marangkan, ayahnya Dayang Dipraja, lalu Patih Luhu meminta ijin
untuk membawa Dayang Dipraja ke Candi Agung. Ternyata Patih Ariya Marangkan tidak memberikan
ijinnya, sehingga terjadilah pertengkaran dan perkelahian. Delapan orang utusan Lambung Mangkurat
yang kesemuanya patih berhadapan dengan delapan orang juga.
Perkelahian itu luar biasa, sampai menggegerkan Gunung Malang hingga ke kerajaan Kuripan.
Mendengar berita itu, Lambung Mangkurat pun mengirimkan utusannya kepada Patih Arya Marangkan.
Perkelahian dihentikan dan Dayang Dipraja boleh dibawa ke Candi Agung dengan syarat hanya akan
dikawinkan dengan raja.

Diusunglah Dayang Dipraja oleh Patih Pembalah Batung untuk dibawa ke Candi Agung dan diserahkan
kepada Lambung Mangkurat. Kemudian ditanyakan kepada Raden Gangga Wangsa, apakah mau
mengawini Dayang Dipraja, dan ternyata Raden Gangga Wangsa tidak mau karena dia hanya mau
beristerikan anak raja juga.

Akhirnya Dayang Dipraja dikawini oleh Lambung Mangkurat sendiri dan tidak lama kemudian hamillah
Dayang Dipraja. Ketika cukup masa kehamilannya dan hendak melahirkan terdengarlah suara dari dalam
perutnya. Suara itu adalah suara anaknya sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak mau kelahirannya
sama dengan manusia pada umumnya. Anak itu meminta kelahirannya dengan cara dibelah perut
ibunya dengan pisau Kerampagi yang dibungkus dengan daun sirih gegang lintung. Anak itu juga
meminta disusui oleh kerbau putih yang diikat di bawah pohon Waringin Kuning. Kemudian dinamailah
anak itu dengan nama Puteri Kabu Waringin.

Setelah anak itu besar, Lambung Mangkurat menyuruh Patih Luhu untuk memukul Agung Bandi
Tatangar untuk memberi kabar kepada orang banyak di Candi Agung bahwa akan diadakan perkawinan
antara Raden Gangga Wangsa, anak angkatnya, dengan Puteri Kabu Waringin, anak kandungnya.

Syahdan acara perkawinan diadakan lebih dari sebulan dengan mengundang seluruh keluarga,
sedangkan raja-raja daerah taklukannya juga mengadakan keramaian di kerajaan masing-masing dan
masing-masing mereka memberikan upeti sebagai hadiah perkawinan.
Tidak berapa lama Raden Gangga Wangsa pun mempunyai dua orang anak laki-laki. Yang tertua
bernama Raden Carang Lelana, yang kemudian kawin dengan Puteri Kelungsu, dan yang adik bernama
Raden Sekar Sungsang (Sekar Buga). Ketika Raden Sekar Sungsang masih kecil, ayahnya Raden Gangga
Wangsa menghilang secara gaib ke kampung Anjau, maka tinggallah ia dengan ibunya saja.

---oo00oo---

Syahdan kita kembali ke cerita Ratu Pudak Setagal yang tinggal di Banua Hambuku dan dia hendak
mengawinkan cucunya, Raden Gulek dengan anak Raja Gagiling, yakni Putri Gading Sapurus.

Untuk keperluan acara perkawinan itu dijemputlah Putri Kabu Waringin untuk membikin kue-kue
pekawinan. Ketika putri sedang membikin kue dodol, anaknya sendiri Raden Sekar Sungsang keluar-
masuk dapur untuk meminta kue. Hal ini membuat marah ibunya, sehingga dipukulnya anaknya itu
dengan Wancuh Gangsa yang berakibat luka di kepala Raden Sekar Sungsang. Setelah mendapatkan luka
di kepalanya sebab dipukul oleh ibunya, Raden Sekar Sungsang melarikan diri ke Candi Agung. Namun
karena lari sambil menahan sakit di kepala dan juga di hati, Raden Sekar Sungsang salah arah hingga
larinya melalui Kamisa Baraja Karang Baraja, Karang Jajar, Karang Tapus sampai ke Kambang Kuning. Di
sana dia bertemu dengan orang yang naik perahu lalu dibawalah Raden Sekar Sungsang oleh orang itu
ke tanah Jawa.

Di tanah Jawa Raden Sekar Sungsang yang dipanggil dengan nama Raden Sangkuriang menikah dengan
anak seorang pejabat di Jawa bernama Galuh Sari Jawa. Selain itu dia juga beristrikan anak seorang
Demang Langkatan, yaitu Dewi Rarasati. Raden Sangkuriang alias Raden Sekar Sungsang memperoleh
seorang anak dari Galuh Sari Jawa yang bernama Raden Panji Segara yang kemudian dikawinkan dengan
Puteri Ratna Sari, anak dari Ratu Giri.
Kemudian Raden Panji Segara diangkat sebagai raja oleh Ratu Giri. Raden Panji Segara menjadi raja
pertama dari Raja Susunan, sehingga di beri gelar Ratu Susunan Giri Nata. Dialah awak garis keturunan
Susunan Serabut atau Susunan Mataram. Diceritakan bahwa Raden Panji Segara senang dengan
kesenian daerah. Di manapun dia bertemu dengan orang yang bisa memainkan alat musik, wayang, tari
topeng, tarian-tarian lainnya, Baksa dan gamelan, maka dipanggillah orang-orang itu untuk
mengajarinya. Akhirnya Raden Panji Segara memiliki banyak keahlian di bidang seni dan karawitan.

Raden Sangkuriang yang merasa terlalu lama berada di tanah Jawa berniat hendak kembali pulang ke
kampung halamannya, Candi Agung, apalagi anaknya pun sudah menjadi raja di tanah Jawa. Raden
Sangkuriang alias Raden Sekar Sungsang kemudian mengumpulkan anak dan isterinya untuk
memberitahukan rencana kepulangannya kembali ke Candi Agung.

Persiapan untuk perjalanan pulang Raden Sangkuriang pun disiapkan. Segala perangkat kesenian juga
turut dibawa. Namun sayangnya dia sudah lupa di mana letak kampung halamannya itu, disebabkan di
waktu pergi ke tanah Jawa dulu dia masih anak-anak. Dalam keadaan tidak tahu arah, maka dia pun
pulang ke arah matahari terbit. Di sepanjang perjalanan dia selalu bertanya kepada siapa saja orang
yang lewat, di manakah negeri Candi Agung itu. Setiap tempat dan negeri disinggahinya, sampai
akhirnya dia berhenti di kampung Gegiling.

Di negeri Candi Agung, Putri Kabuwaringin sedang sakit keras, tubuhnya kurus kering karena tidak mau
makan dan minum. Dia sedang dirundung kesedihan sebab terkenang akan anaknya, yang tidak pulang-
pulang setelah dipukulnya di kepala. Anaknya itu tidak ada kabarnya, apakah hidup atau sudah
meninggal dunia.

Melihat kesedihannya anaknya, Putri Kabuwaringin, maka Lambung Mangkurat pun menyuruh para
patihnya untuk berangkat ke tanah Jawa mencari cucunya yang melarikan diri semasa kecil, Raden Sekar
Sungsang alias Sangkurian. Patih-patih itu adalah Patih Luhu, Patih Pambalah Batung, Patih Panimba
Sagara, Patih Peruntun Manau dan Patih Gancang Basaru.
Kelima patih yang disuruh oleh Lambung Mangkurat mencari cucunya berkeliling di tanah Jawa, mulai
dari Kediri sampai Singasari tidak juga bertemu dengan Raden Sekar Sungsang. Akhirnya mereka sampai
di Gegiling dan bertemu dengan sebuah keramaian, dan ternyata ada orang yang sedang menari topeng.
Karena tidak pernah melihat hal seperti itu, mereka pun duduk beristirahat di dekat orang ramai.
Namun tidak lama kemudian si penari topeng melakukan gerakan membuka topengnya, dan kejadian ini
dilihat oleh Patih Luhu yang langsung berkata kepada Patih Pambalah Batung, “Orang yang menari itu
kalau dilihat wajahnya, sangat mirip dengan Pangeran Surya Nata”.

Maka setelah keramaian itu punt usai, didatangilah si penari itu oleh para patih pemimpin rombongan
penari topeng itu. Setelah mendengar bahwa mereka hendak ke Candi Agung, maka si pemimpin
rombongan penari topeng ingin mengikuti rombongan patih ke Candi Agung.

Singkat cerita, rombongan patih dan Pangeran Sekar Sungsang tiba di Candi Agung. Oleh pihak kerajaan
dikumpulkanlah sekawanan dalang di balai peristirahatan dan para patih masing-masing menyediakan
balai dan atapnya seperti panggung untuk keramaian.

Setelah selesai menghias balai beratap dengan berbagai hiasan dari kain satin dan sutera dewangga,
maka dimulailah acara penampilan kesenian dengan membunyikan gamelan dan alat musik lainnya.

Sedangkan Puteri Kabuwaringin, ibundanya Pangeran Sekar Sungsang sudah sehat dan bugar badannya
kembali, bisa duduk untuk makan dan minum disebabkan oleh suara musik gamelan yang didengarnya.
Dengan berpakaian dan perhiasan dia bersama dengan dayang-dayang dan inang pengasuh turut
menyaksikan tarian topeng yang ditampilkan. Setelah beberapa lagu dilalui, hari malam pun tiba dan
acara hiburan dihentikan.

Setelah beberapa hari acara hiburan dilaksanakan di Candi Agung, maka oleh Lambung Mangkurat acara
hiburan itu pun dihentikan, dan orang yang bisa menari topeng dan mendalang itu diminta oleh
Lambung Mangkurat untuk tinggal di Candi Agung. Kemudian oleh Lambung Mangkurat si penari yang
bernama Raden Panji dikawinkan dengan Putri Kabuwaringin.

Ketika suatu hari Putri Kabuwaringin sedang duduk mencari kutu di kepala suaminya, Raden Panji, tiba-
tiba dia melihat ada bekas luka di kepala suaminya. Melihat luka itu teringatlah Putri Kabuwaringin
dengan anaknya yang hilang. Ditanyakannya kepada suaminya apakah ia adalah Raden Sekar Sungsang,
anaknya yang hilang semasa kecil, maka Raden Panji menjawab bahwa ia memang anak yang melarikan
diri ke tanah Jawa di waktu kecil.

Kedua ibu dan anak itu pun menangis sambil berpelukan. Namun apa hendak dikata, kalau sudah
kehendak Dewa Mulia Raya, Putri Kebuwaringin sudah terlanjur berbadan dua. Putri Kebuwaringin lalu
menghadap ayahandanya, Lambung Mangkurat dan menceritakan bahwa Raden Panji yang sudah
menjadi suaminya itu adalah anaknya yang hilang dulu, Raden Sekar Sungsang.

Mendengar cerita itu, marah dan malulah Lambung Mangkurat. Disuruhnya orang membuat rumah yang
tertutup rapat tidak berjendela dan didalamnya dilapisi dengan dinding tujuh lapis. Setelah rumah itu
selesai, maka Putri Kebuwaringin dimasukkan ke dalamnya.

Tak lama genaplah umur kandungan Putri Kabuwaringin, dan lahirlah seorang bayi laki-laki. Oleh
Lambung Mangkurat bayi itu dimasukkan ke dalam peti yang dilapisi beledru dan kain sutra yang indah
serta anak itu diselimuti dengan Tapih Sarigading (sarung Sarigading), menandakan dia adalah anak raja.
Setela itu peti yang berisi anak kecil itu dilarutkan di sungai hingga terbawa arus dan sampai di
Bakumpai. Peti berisi bayi itu ditemukan oleh seorang kepala Ngayau orang Biyaju, lalu diambilnya dan
diberinya nama Raden Sira Panji yang kemudian dipeliharanya sampai besar.

Menurut cerita Raden Sira Panji inilah yang merajai orang-orang Biyaju sampai anak keturunannya
hingga saat ini, dan oleh Lambung Mangkurat Reden Sira Panji diberi wilayah sendiri, yakni di sekeliling
Tanah Bumbu, di luar batas Candi Agung.

Setelah cukup umurnya, Raden Panji Sira dikawinkan oleh Lambung Mangkurat dengan anak Patih Luhu,
Putri Ratna Masih. Setelah kawin Raden Sekar Sungsang, ayahnya Raden Panji, diangkat oleh Lambung
Mangkurat sebagai raja di Candi Agung dengan gelarnya Raja Kaburangan atau Pangeran Agung.

Dari perkawinannya dengan Putri Ratna Masih, Raja Kaburangan dianugrahi 3 (tiga) orang anak, satu
orang anak perempuan dan dua anak laki-laki, yakni :

-Putri Ratna Sari bergelar Ratu Lamak atau Dewi Ratna Kecana Wilis.

-Raden Mentri Daha bergelar Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama atau Raden Panji Sekar
Susunan Giri.

-Raden Sunting bergelar Ratu Anuum Maharaja Suka Rami.

Setelah Raja Bagalung menjadi Mangkubumi dan anak-anak Raja Kaburangan besar-besar semua, maka
kerajaan diserahkan kepada Raden Sunting dan ia gaib ke banua Anjau.

Ketika datang utusan dari kerajaan Mataram ke Candi Agung untuk meminta upeti dan tidak diberi,
maka Ratu Lamak atau Putri Ratna Sari dibawa oleh Patih Jenar Jawa ke tanah Jawa.
Sedangkan Raden Sunting mempunyai dua orang anak laki-laki, yakni Gusti Arifin Jaya dan Gusti Simbang
Jaya. Setelah kedua anak Raden Sunting besar-besar, maka oleh Pangeran Singa Garuda kekuasaan di
Candi Agung diserahkan kepada Gusti Simbang Jaya dengan gelar Pangeran Tumenggung sedangkan
Gusti Arifin Jaya diangkat sebagai Mangkubumi dengan gelar Pangeran Suka Rama.

Pada saat itu kerajaan untuk sementara pindah ke Babirik. Yang kakak, Gusti Arifin Jaya berkuasa di
wilayah kiri, sedangkan adiknya Gusti Simbang Jaya di wilayah sebelah kiri. Sesudah itu kerajaan pindah
lagi ke Daha dan di sinilah terjadi perang. Di Daha inilah Gusti Simbang Jaya kawin dengan Putri Intan
Sari.

Syahdan, Pangeran Tumenggung atau Gusti Simbang Jaya yang berkuasa sebagai raja di Candi Agung, di
Daha akan mengadakan haul tahunan. Di haul tersebut disiapkan Radap Sesajen selengkapnya dengan
makanan empat puluh macam dan diiringi dengan hiburan keramaian berupa penampilan wayang dan
sebagai dalangnya adalah Pangeran Tumenggung sendiri.

Malam itu juga Pangeran Suka Rama atau Gusti Arifin Jaya, kakanya Pangeran Tumenggung, menyuruh
orang Bayanan yang bernama Banta Danta untuk membunuh Pangeran Tumenggung. Untuk
terlaksananya pembunuhan itu, Pangera Suka Rama menyerahkan sebilah keris pusaka kepada Banta
Danta. Dan kepada Banta Danta diberi janji akan dikawinkan dan diberi kekuasaan dengan diberi gelar
Pangeran Mas Prabu.

Banta Danta segera berangkat malam itu dengan menyeberangi sungai untuk melaksanakan
pembunuhan atas Pangeran Tumenggung. Dia pun naik ke atas balai atau panggung tempat Pangeran
Suka Rama mendalang dan duduk di sampingnya, sedangkan Pangeran Tumenggung sedang asyik
mendalang tidak tahu ada orang yang duduk di sampingnya. Tiba-tiba secepat kilat keris pusaka yang
diberikan oleh Pangeran Suka Rama ditusukkan oleh Banta Danta ke tubuh Pangeran Tumenggung,
maka matilah ia.

Banta Danta langsung melarikan diri ke seberang sungai. Sesampainya di depan Pangeran Suka Rama
dan ingin menyerahkan keris pusaka yang berlumuran darah itu, tiba-tiba Pangeran Suka Rama
merebutnya dan langsung mensukkannya ke tubuh Banta Danta hingga mati.

Akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Pangeran Suka Rama dan istrinya Pangeran Tumenggung,
kakaknya sendiri, yakni Putri Intan Sari yang sedang hamil diambilnya sebagai istri.

Tak lama kemudian Putri Intan Sari melahirkan seorang anak. Pangeran Suka Rama yang tidak sudi
mengasuh anak itu memasukkan bayi itu ke dalam sebuah peti, membungkusnya dengan Tapih
Sarigading (sarung Sarigading), memberinya alas kain sutra yang indah-indah selengkapnya dan
menghanyutkan di sungai.

Menurut cerita, anak bayi yang dihanyutkan di sungai itu kemudian ditemukan oleh seorang penangkap
ikan yang bernama Patih Masih dan Patih Muhur. Keduanya melihat sebuah peti yang tersangkut di
tengah sungai. Peti itu didatangi oleh mereka dan diperiksa isi dalamnya yang ternyata seorang anak
bayi laki-laki. Anak bayi itu dibawa ke belandian, disanalah kedua orang itu tinggal dan anak bayi itu
dipelihara di sana sampai ia besar. Anak laki-laki itu diberi nama Raden Jaya Samudera.

---oo00oo—
Raden Jaya Samudera atau Pangeran Suriansyah

Hatta, kita kembali kepada cerita Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama, pamannya Pangeran
Suka Rama yang membunuh Pangeran Tumenggung. Sewaktu dia memegang kekuasaan di Candi Agung
ada utusan dari Kerajaan Mataram yang datang meminta peti namun ditolaknya. Maka utusan itu pun
membawa Ratu Lamak, saudara kandungnya ke tanah Jawa sebagai pengganti upeti.

Selanjutnya ada utusan kedua dari kerajaan Mataram yang datang kemudian. Utusan kedua ini khusus
datang membawa tebak-tebakan (cucupatian) yang harus dijawab. Tebak-tebakan itu berbunyi : Berapa
banyak jumlah jamban (tempat buang hajat yang dibuat di atas rakit dan diletakkan di tepi sungai) yang
ada di tanah Jawa.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka dikumpulkanlah orang-orang seluruh negeri Candi Agung
sehingga tidak tertinggal seorang pun, namun tidak ada juga yang bisa memberikan jawaban.

Tidak berapa lama kemudian ada orang yang melihat tiga anak kecil di jalan. Oleh raja disuruhlah Patih
Luhu untuk membawa ketiga anak kecil ke hadapannya. Ternyata ketiga anak kecil itu tidak berbaju dan
bercelana alias bertelanjang. Maka oleh Patih Luhu diberikannyalah pakaian selengkapnya dan
diletakkan pakaian itu di pohon beringin di tepi sungai dan ketiga anak kecil itu disuruh mandi
membersihkan diri sebelum mengenakan baju dan celananya.

Setelah berbaju lengkap, ketiga anak kecil itu dibawa oleh Patih Luhu ke hadapan raja dan utusan dari
kerajaan Mataram. Di hadapan raja dan utusan dari Mataram, salah satu dari anak itu menjawab tebak-
tebakan itu dengan mengatakan bahwa jamban itu ada tiga, yakni mereka sendirilah yang dimaksud
dengan jamban dari Jawa itu. Ketiga anak dari tanah Jawa itu ternyata sedang mencari tuanya seorang
raden yang berada di Candi Agung. Maksudnya sama seperti jamban adalah mereka tidak akan berhenti
mencari radennya sampai bertemu dengannya, dan itu sama dengan jamban karena orang yang buang
hajat di jamban (w.c.) tidak akan berhenti kecuali terpenuhi keinginannya untuk buang hajat.

Oleh utusan dari kerajaan Mataram jawaban anak itu dibenarkannya, dan dia bertanya siapa nama
mereka. Ketiga anak itu menjawab bahwa nama-nama mereka adalah Aji, Mawi dan Sura. Setelah itu
utusan itu pulang ke tanah Jawa dan tidak jadi membawa Ratu Anum ke tanah Jawa.

Pangeran Singa Garuda Maha Raja Suka Rama sangat senang dan ketiga anak itu dipeliharanya dan
digelarinya Kindu Aji, Kindu Mawi dan Gemarta Sura. Ketiganya kemudian diangkat sebagai patih dan
apabila ada permasalahan hukum kemasyarakatan dan kerajaan ketiganya dipanggil untuk
menyelesaikannya.

Ceritanya ketiga patih atau menteri Kindu Aji, Kindu Mawi dan Gemarta Sura menghadap raja dan minta
izin pergi ke tanah Jawa untuk menjemput Ratu Lamak.

Raja menahan mereka pergi karena ingin membuatkan sebuah perahu dulu sebagai alat transportasi
serta menyiapkan perbekalan di perjalanan. Tetapi ketiga patih tersebut tidak mau dan mengatakan itu
semua tidak perlu karena besok mereka akan berangkat. Besok harinya orang berduyun-duyun hendak
mengantarkan kepergian ketiga patih itu dan ingin tahu bagaimana mereka berangkat ke tanah Jawa
tanpa menggunakan perahu. Beratus-ratus orang berdiri di pinggir sungai, begitu juga dengan pangeran
tidak ketinggalan ingin menyaksikannya.

Setelah selesai berpakaian dan mengenakan sabuk Cindai, serta memakai laung sasirangan (ikat kepala
dari kain sasirangan), lalu berdiri dan berjalanlah ketiga patih itu ke tepi sungai. Yang berjalan di depan
adalah Kindu Aji dengan membawa Gandur Bungkusan. Sesampainya di tepi sungai dibukanya dan
keluarlah seorang kanak-kanak dan selembar tikar dari rotan. Tikar itu kemudian dibentangkannya di
atas air. Ketiga patih kemudian duduk di atasnya sambil memegang ujung tikar rotan yang dijadikan
seperti layar.
Kanak-kanak itu menyebut dirinya dengan nama Bayam Sampit. Oleh Bayam sampit ujung-ujung tikar
rotan itu dipegangnya, lalu dia terbang di atas air laksana burung garuda membawa ketiga patih yang
sekarang berada di dalam tikar ke pulau Jawa. Di waktu sore hari tibalah mereka semua di pulau Jawa,
turun di Pasiban dan bertemu dengan orang yang sedang bermain bola.

--oo00oo—

Ketika Pangeran Jaya Samudra sudah cukup besar, dia bertanya kepada kakeknya Patih Muhur
mengenai keberadaan ayahnya. Oleh Patih Bandi Andi diceritakanlah dari awal sampai akhir kejadian di
Balandian ini, dan diceritakan juga bahwa Pangeran Jaya Samudra mempunyai garis keturunan tanah di
sini (Candi Agung) dan juga dari tanah Jawa.

Setelah mendengar cerita dari kedua orang tua tersebut perihal ayahnya dan garis juriatnya, maka
berangkatlah Pangeran Jaya Samudra ke tanah Jawa untuk menemui kakeknya Raja Susunan yang
bersaudara dengan neneknya, yakni Ratu Anum. Setibanya di negeri Susunan, maka Pangeran Jaya
Samudra masuk Islam dan diberi gelar Pangeran Suriansyah dan bergelar Panembahan Batu Habang.
Selain itu dia juga mendapatkan bantuan senjata dan membawa seorang ulama dari tanah Jawa untuk
dibawa ke Candi Agung, bernama Khatib Dayan yang berasal dari Madura.

Setelah selesai menghimpun segala bantuan dan bekal dari neneknya, Ratu Anum, lalu berangkatlah
Pangeran Suriansyah pulang ke Banjarmasin terus menuju Candi Laras mencari Pangeran Suka Rama
namun tidak bertemu. Setelah mendengar kabar bahwa Pangeran Suka Rama ada di kerajaan Daha,
disusullah ke sana.
Sesampainya di Daha Pangeran Suriansyah berburu menjangan. Seekor menjangan kena dipanah, lalu
diperintahkannya Pangeran Agung untuk mengambilnya. Ternyata Pangeran Agung tidak kembali juga
karena dia bersama dengan Pangeran Suka Rama pergi melarikan diri. Pangeran Suka Rama lari ke
Amandit, sedangkan Pangeran Agung ke kampung Anjau.

Sementara itu kerajaan Daha dan Candi Laras dikuasai oleh Pangeran Suriansyah. Inilah permulaannya
kerajaan Islam di Banjarmasin.(Anw)

Diposkan oleh HESTI DAN ZAHRA di 00.24

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke Facebook

1 komentar:

1.

Kamal Ansyari9 Januari 2013 06.01

Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat kandangan, hulu sungai selatan,
kalimantan selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha,
perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang,
datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba,
datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu
ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu
putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung,
legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu
ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang
di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga
langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga
bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu
kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid
quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung
madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga
ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu
buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu
janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah
penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu
daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib
ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal,
makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis
demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di
tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita
tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan
pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya
dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Balas

Muat yang lain...

Posting Lama Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Pengikut
Arsip Blog
 2011 (13)
o Desember (13)
 Kisah Pangeran Surya Nata atau Surya Cipta atau Ba...
 Perang Banjar
 Bangunan berwarna kuning berbentuk rumah adat Banj...
 Datu Suban
 Datuk sanggul dan Kitab Berencong
 Riwayat Hidup Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
 SYAIKH MUHAMMAD ARSYAD AL BANJARI
 Perjalanan Kerajaan Banjar
 PERPINDAHAN KERATON BANJAR
 UNSUR KEPERCAYAAN DALAM MASYARAKAT BANJAR DI KALIM...
 PERMULAAN MASA PEMERINTAHAN SULTAN SURIANSYAH DAN...
 Sejarah Kerajaan Banjar
 Raja Raja Kerajaan banjar

Mengenai Saya

HESTI DAN ZAHRA

Lihat profil lengkapku

Template Watermark. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai