Anda di halaman 1dari 3

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang
Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Inggris Perlawanan Kraton Yogyakarta
terhadap Penjajahan Bangsa Inggris Pada saat Inggris berkuasa menggantikan Belanda di
Jawa, yang mengisi kekuasaan di pusat adalah Raffles, sedangkan Karesidenan Yogyakarta
adalah John Crawfurd. Saat itu, Karesidenan Yogyakarta dipimpin oleh Sultan
Hamengkubuwana II atau Sultan Sepuh. Sultan HB II terkenal keras dan sangat menentang
pemerintah kolonial sehingga membuat orang Eropa (Inggris) terganggu. Sikap kerasnya
tersebut terlihat ketika Raffles untu pertama kali datang ke Yogyakarta pada bulan
Desember 1811. Saat itu, Sultan HB II berani bertengkar dengan Raffles. Selanjutnya, juga
terjadi pada awal Januari 1812. Dalam pertemuan ini ada insiden kecil yang terjadi ketika
tempat duduk Raffles di Keraton Yogyakarta dibuat lebih rendah dari Sultan HB II. Insiden ini
pun berhasil diatasi.

Sultan HB II tidak puas dengan hasil pertemuannya dengan Raffles. Sultan HB II semakin
kecewa dengan pemerintah Inggris. Secara diam-diam, Sunan Pakubuwana IV (Sultan PB IV)
mengutus Tumenggung Ronowijoyo untuk menghadap Sultan HB II dengan membawa surat.
Dalam surat itu, Sunan PB IV mengusulkan kerja sama untuk melawan Inggris dan bila
berhasil akan membagi 2 wilayah yang telah dirampas oleh orang Eropa. Sultan HB II
menyetujui hal itu dan mengirimkan Tumenggung Sumodiningrat. Kesepakatan tercapai
pada awal Mei 1812 di Klaten antara Ronowijoyo dan Sumodiningrat

Tanpa sepengetahuan Sultan HB II, Sunan PB IV mengutus Patih Cokronegoro untuk


menemui putra mahkota Yogyakarta. Cokronegoro menyampaikan bahwa Sunan PB IV
menghendaki putra mahkota Surojo naik tahta dan bersedia membantunya. Sunan PB IV
menawarkan untuk kerja sama melawan Inggris dan ketika Inggris berhasil diusir dari Jawa,
wilayah Jawa akan dibagi 2 antara Surakarta dan Yogyakarta. Rencana ini pun tercium oleh
John Crawfurd yang segera mengirimkan berita itu pada Raffles. Setelah mendengar berita
tersebut, Raffles memerintahkan Mayor Jenderal Gillespie untuk berangkat ke Yogyakarta
dan menyerbu Keraton Yogyakarta. Pada tanggal 19-20 Juni 1812, Inggris menyerbu Keraton
Yogyakarta. Dalam pertempuran 2 hari, Inggris berkekuatan 1000 serdadu berseragam
merah. Jumlah itu masih ditambah 500 prajurit Leguin Pangeran Prangwedono dari
Mangkunegaran, Surakarta. Sultan HB II yang menghadapi Inggris tidak mendapat bantuan
dari Surakarta seperti yang tertulis dalam surat rahasia bahwa Surakarta akan membantu
Yogyakarta dalam melakukan perlawanan terhadap Inggris. Perang ini diakhiri dengan
menyerahnya Sultan HB II dan dimulainya penjarahan besar-besaran harta, pusaka, dan
pustaka Keraton Yogyakarta. Setelah itu, Raffles memerintahkan penangkapan Sultan HB II.
Sultan HB II dibawa ke Batavia dan menunggu pengadilan disana. Sultan HB II dijatuhi
hukuman pembuangan ke Pulau Penang pada awal Juli 1812. PB IV pun dirampas sebagian
wilayahnya. Perlawanan Rakyat Palembang terhadap Penjajahan Bangsa Inggris Raffles
mengirim 3 orang utusan yang dipimpin oleh Richard Philips ke Palembang untuk mengambil
alih kantor sekaligus benteng Belanda di Palembang dan meminta hak kuasa sultan atas
tambang timah di Pulau Bangka. Sultan Mahmud Badaruddin II menolak permintaan itu
dengan merujuk pada surat Raffles sebelumnya bahwa kalau Belanda berhasil diusir,
Palembang akan menjadi kesultanan yang merdeka. Raffles pun kaget luar biasa setelah
mengetahui bahwa dengan cerdas Sultan Mahmud Badaruddin II menjadikan isi suratnya
dahulu sebagai legitimasi untuk melepaskan diri dari kekuasaan Inggris. Raffles pun memilih
untuk mengkhianati janjinya tersebut. Ia mengirim ekspedisi perang di tahun 1812 yang
dipimpin Mayor Jenderal Robert Gillespie.

Ekspedisi pun sampai dalam waktu 1 bulan di Sungai Musi. Sultan Mahmud Badaruddin II
juga sudah bersiap-siap menghadapi gempuran tersebut (Aidil, Muhammad : 2016).
Kesultanan Palembang akhirnya jatuh ke tangan Inggris hanya dalam waktu 1 minggu karena
pertahanan di Pulau Borang sudah jebol tanpa perlawanan yang berarti. Ternyata adik sultan
yang bernama Pangeran Adipati Ahmad Najamuddin telah menjadi komandan yang
pengecut bagi pasukannya di pulau yang strategis itu. Mengetahui hal itu, Sultan Mahmud
Badaruddin II segera meninggalkan keraton Palembang dengan membawa seluruh tanda
kebesaran kesultanan lalu mempersiapkan perlawanan gerilya terhadap Inggris.

Tanggal 26 April 1812, bendera Inggris sudah berkibar di atas benteng Palembang. Dan
tanggal 14 Mei 1812, Najamuddin diangkat oleh Robert Gillespie atas nama Inggris untuk
menggantikan kakanya sebagai Sultan Palembang. Tambang timah di Pulau Bangka dan
Belitung akhirnya diserahkan oleh sultan boneka ini kepada Inggris. Robert Gillespie ditarik
pulang ke Batavia karena keberhasilannya dan digantikan oleh Kapten R. Mearers menjadi
Residen Palembang. Pertengahan Agustus 1812, Mearers memimpin pasukannya untuk
menyerang Sultan Mahmud Badaruddin II di Buaya Langu, hulu Sungai Musi. Mearers
mengalami luka parah dalam pertempuran ini yang akhirnya meninggal di rumah sakit di
Muntok. Mearers digantikan oleh Mayor William Robinson. Tampaknya ia tidak cocok
dengan Sultan Najamuddin yang dinilai menjadi sultan yang lemah dan tidak dihargai oleh
rakyat. Robinson tidak setuju dengan keputusan Raffles yang mengangkat sultan 36 ~ Ba’in ~
Pendalaman Materi Sejarah Indonesia PPG Dalam Jabatan © Kementerian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia tersebut, dan juga ia tidak suka dengan kebiasaan
Raffles yang suka mengumbar janji, juga pembiaran yang dilakukan Raffles pada peristiwa
pembantain paukan Belanda. Atas inisiatifnya sendiri, Robinson mengirim seorang perwira
didampingi penerjemah untuk bernegosiasi dengan Sultan Mahmud Badaruddin II, namun
gagal. Pada tangal 19 Juni 1813, Robinson datang sendiri untuk menemui Sultan Mahmud
Badaruddin II di Muara Rawas. Misi yang dilaksanakan Robinson pun berhasil. Sultan
Mahmud Badaruddin II mau kembali ke Palembang untuk menggantikan adiknya. Akhirnya,
tanggal 13 Juli 1813, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke istananya (keraton besar) di
Palembang, sementara adiknya bertempat tinggal di keraton lama. Raffles sangat
tersinggung dengan keputusan Robinson karena tidak meminta pendapatnya dulu. Akhirnya,
perjanjian Robinson dengan Sultan Mahmud Badaruddin II dibatalkan sepihak. Robinson pun
dipecat dan ditangkap dengan alasan menerima suap dari Sultan Mahmud Badaruddin II.
Tanggal 4 Agustus 1813, armada Inggris dipimpin Mayor W. Colebrooke tiba di Palembang
untuk menurunkan Sultan Mahmud Badaruddin II dari tahtanya kembali untuk digantikan
oleh Sultan Najamuddin. Uang yang dikatakan uang suap untuk Robinson dikembalikan
pihak Inggris ke Sultan Mahmud Badaruddin II lengkap dengan bunganya. Dan tanggal 21
Agustus 1813, Sultan Najamuddin kembali menduduki tahtanya di keraton besar.
Perlawanan terhadap Inggris dilakukan di beberapa wilayah. Di Yogyakarta, Sultan HB II
berani bertengkar dengan Raffles. Selanjutnya, juga terjadi pada awal Januari 1812. Dalam
pertemuan ini ada insiden kecil yang terjadi ketika tempat duduk Raffles di Keraton
Yogyakarta dibuat lebih rendah dari Sultan HB II. Insiden ini pun berhasil diatasi. Di
Palembang, Raffles mengirim 3 orang utusan yang dipimpin oleh Richard Philips ke
Palembang untuk mengambil alih kantor sekaligus benteng Belanda di Palembang dan
meminta hak kuasa sultan atas tambang timah di Pulau Bangka. Sultan Mahmud Badaruddin
II menolak permintaan itu dengan merujuk pada surat Raffles sebelumnya bahwa kalau
Belanda berhasil diusir, Palembang akan menjadi kesultanan yang merdeka. Raffles pun
kaget luar biasa setelah mengetahui bahwa dengan cerdas Sultan Mahmud Badaruddin II
menjadikan isi suratnya dahulu sebagai legitimasi untuk melepaskan diri dari kekuasaan
Inggris.

Aidil, Muhammad. 2016. Strategi Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Penjajahan Bangsa
Barat. http://muhammadaidil0703.blogspot.co.id/2016_09_01_archive.html (diunduh
tanggal 21 April 2018)

Kemendikbud. 2016. Guru Pembelajar, Modul Pelatihan Guru Mata Pelajaran Sejarah
SMA/SMK. Jakarta: Kemendikbud

Nurhadi, dkk. 2009. Jelajah Cakrawala Sosial. Bandung : CV. Citra Praya Poesponegoro,
Djoned Marwati, dan Notosusanto, Nugroho. 1993. SejarahNasional Indonesia IV. Jakarta :
BalaiPustaka

Anda mungkin juga menyukai