Anda di halaman 1dari 141

2017

Ester

Azizul Haq Ar Rasyid

Fajar Fadillah

M. Havied Abuy Satara

Sheren Nadya

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

Bab I PENDAHULUAN

1.1 Defenisi Ester


1.2 Sifat Ester
1.2.1 Sifat Fisika
1.2.2 Sifat Kimia

Bab II TATA NAMA

2.1 Nama IUPAC

2.2 Nama Trivial

Bab III REAKSI PEMBUATAN ESTER

3.1 Pembuatan Ester asam karboksilat dengan alkohol

3.2 Pembuatan Ester menggunakan hasil klorida

3.3 Pembuatan Ester menggunakan anhidrida asam

3.4 Pembuatan asam stearat etil ester dengan katalis bentonit

3.5 Reaksi perak karboksilat dengan alkil halida

3.6 Reaksi esterifikasi fischer

3.7 Transesterifikasi

Bab IV REAKSI-REAKSI ESTER/ALKIL HALIDA

4.1 Hidrolisis Ester

2
4.2 Saponifikasi4.3 Reduksi Ester

4.4 Amonolisis

Bab V ESTER KOMERSIAL

5.1 Bidang Tekstil

5.2 Bidang industri makanan

5.3 Bidang Kesehatan

5.4 Bidang Otomotif

5.5 Pelumas sintesis

5.6 Bidang Kosmetik

5.7 Contoh-contoh ester yang umum

Bab VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan

6.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pembahasan dalam buku ini difokuskan pada permasalahan berikut :


1. Pengertian secara garis besar mengenai ester.

2. Sifat – sifat kimia dan fisika dari Ester.

3. Tata cara penamaan Ester berdasarkan IUPAC dan Trivial.

4. Reaksi pembuatan dari Ester.

5. Kegunaan dan Aplikasi.

Buku ini diharapkan dapat membantu pembaca dan pemerhati ilmu mengenai
Ester, khususnya para mahasiswa dan pelajar di bidang pendidikan kimia. Oleh
sebab itu, buku ini sangat diperlukan untuk memberikan pencerahan kepada
mahasiswa dan pelajar mengenai Ester (alkl alkanoat) serta memberikan
pengertian secara garis besar mengenai ester, Sifat – sifat kimia dan fisika dari
ester tata cara penamaan ester berdasarkan IUPAC dan trivial, reaksi pembuatan
dari ester, kegunaan dan aplikasi,

1.1 DEFINISI ESTER

Dalam kimia, ester adalah suatu senyawa organik yang terbentuk melalui
penggantian satu atom hidrogen pada gugus hidroksil dengan suatu gugus organik
(biasa dilambangkan dengan R'). Asam karboksilat adalah suatu asam organik
yang molekulnya memiliki gugus -OH yang hidrogennya (H) dapat terdisosiasi
menjadi ion H+.

Gambar 1.1 Rumus umum ester

4
Artinya ester merupakan turunan asam alkanoat /asam karboksilat (RCOOH)
dengan mengganti gugus hidroksil (–OH) dengan gugus –OR’. Sehingga senyawa
alkil alkanoat mempunyai rumus umum: R-COOR. R dan R’ merupakan gugus
alkil, bisa sama atau tidak.

Contoh:
1) CH3–COO–CH3 dimana R = R’ yaitu CH3

2) CH3–CH2CH2 (C2H5)–COO–CH3 dimana R = CH3–CH2 (C2H5) dan


R’=CH3

Ester dapat terhidrolisis dengan pengaruh asam membentuk alkohol dan


asam karboksilat. Reaksi hidrolisis tersebut merupakan kebalikan dari
pengesteran. Disini senyawa karbon mengikat gugus fungsi –COOR adalah alkil
alkanoat. Ester diturunkan dari alkohol dan asam karboksilat. Untuk ester turunan
dari asam karboksilat paling sederhana, nama-nama tradisional digunakan, seperti
formate, asetat, propionate, dan butirat.
Senyawa ester yang paling lazim adalah etil asetat ( CH3CO2CH2CH3 )
yang merupakan senyawa pada pelarut cat tembok dan cat kuku maupun pelarut
untuk perekat. Etil asetat dan ester lain dengan sepuluh karbon atau kurang
merupakan suatu cairan yang mudah menguap dengan bau enak yang mirip
dengan buah-buahan dan sering dijumpai dalam buah-buahan dan bunga-bungaan.
Banyak ester, baik yang dari alam maupun dibuat oleh manusia, yang digunakan
sebagai bahan penyedap (flavoring agent). Bau dan citarasa dari buah-buahan
tertentu dapat disebabkan oleh beberapa ester. Miisalnya etil asetat, n-butil asetat,
dan n-pentil asetat semuanya merupakan cita rasa dari pisang-pisang (Clark, J.
2007).
Ester dari asam karboksilat rendah berat molekul yang tidak berwarna,
cairan mudah menguap dengan bau yang menyenangkan, sedikit larut dalam air.
Banyak yang bertanggung jawab atas aroma dan rasa bunga dan buah-buahan
misalnya, asetat isopentyl hadir dalam pisang, metil salisilat dalam wintergreen,

5
dan etil butirat dalam nanas. Ini dan lainnya ester volatile dengan bau khas
digunakan dalam rasa sintetis, parfum, dan kosmetik.
Ester volatile tertentu digunakan sebagai pelarut untuk lacquers, cat, dan
pernis. Untuk tujuan ini, jumlah besar dan butil asetat etil asetat diproduksi secara
komersial. Wax disekresi oleh hewan dan tumbuhan ester terbentuk dari rantai
panjang asam karboksilat dan alkohol rantai panjang. Minyak lemak dan ester dari
rantai panjang asam karboksilat dan gliserol.
Ester cair volatilitas rendah pelunakan berfungsi sebagai agen untuk resin
dan plastik. Ester juga mencakup banyak industri polimer penting. Polimetil
metakrilat adalah pengganti kaca dijual di bawah nama Lucite dan kaca:polietilen
tereftalat digunakan sebagai film (Mylar) dan sebagai serat tekstil dijual sebagai
Terylene, Fortrel, dan Dacron.
Adapun minyak dan lemak hewani dan nabati merupakan ester yang besar
dan rumit. Perbedaan antara sebuah lemak (seperti mentega) dengan sebuah
minyak (seperti miyak bunga matahari) hanya pada titik leleh campuran ester
yang dikandungnya. Jika titik leleh dibawah suhu kamar, maka ester akan
berwujud cair – yakni minyak. Jika titik leleh diatas suhu kamar, ester akan
berwujud padatan – yakni lemak.
Ester mempunyai sifat kimia yang sangat khas yaitu berbau cukup
menyengat terutama berbau harum. Contoh ester yang terdapat pada tumbuh-
tumbuhan, isopentenil asetat memiliki bau yang mirip dengan aroma buah pisang
ataupun buah pir. Butil butanoat seperti aroma nanas, sedangkan propil 2-
metilpropanoat memberi aroma rum (minuman). Karena sifatnya yang khas inilah
ester banyak dimanfaatkan oleh manusia baik dalam bidang industri, biologis dan
keperluaan sehari-hari. Ester dapat didapat dengan mengekstraksi dari tumbuh-
tumbuhan ataupun hewan baik secara tradisional maupun dengan teknologi yang
maju, dan juga dengan mensintesis dari asam karboksilat dan alkohol pada
suasana tertentu.

6
1.2 SIFAT-SIFAT ESTER
Ester pada umumnya bersifat polar. Sifat kimia ini menyebabkan ester
yang jumlah atom karbonnya sedikit mudah larut dalam air. Kelarutan ester
berkurang dengan bertambahnya atom karbon. Ester merupakan senyawa polar
yang mempunyai dipol-dipol yang saling berinteraksi di mana interaksi ini
menimbulkan gaya antarmolekul. Adanya gaya antar molekul menyebabkan ester
memilki titik didih yang lebih tinggi dari senyawa hidrokarbon lain yang memiliki
bentuk molekul dan massa atom relatif (Mr)-nya mirip. Namun dibandingkan
dengan senyawa alkohol dan asam karboksilat yang bentuk molekul dan Mr-nya
mirip titik didih ester lebih rendah. Hal ini disebabkan ester tidak memiliki gugus
OH- sehingga interaksi antarmolekul ester tidak membentuk ikatan hidrogen.

1.2.1 Sifat-sifat fisik


Sifat-sifat yang dijelaskan berikut berkenaan dengan etil etanoat yang
mewakili ester-ester sederhana.

1.Titik didih
Ester-ester yang kecil memiliki titik didih yang mirip dengan titik didih
aldehid dan keton yang sama jumlah atom karbonnya.Seperti halnya aldehid dan
keton, ester adalah molekul polar sehingga memiliki interaksi dipol-dipol serta
gaya dispersi van der Waals. Akan tetapi, ester tidak membentuk ikatan hidrogen,
sehingga titik didihnya tidak menyerupai titik didih asam yang memiliki atom
karbon sama. Sebagai contoh:

Tabel 1.1 Contoh titik didih

Molekul Tipe titik didih (°C)

CH3COOCH2CH3 Ester 77.1

7
CH3CH2CH2COOH asam karboksilat 164

Berdasarkan titik didihnya, ester dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:


a. Ester dengan titik didih rendah (low boiling ester)
Ester ini didistilasi dalam labu distilasi, maka akan keluar sebagai distilat
yang cukup tinggi kemurniannya. Alkohol dan sisa asam tetap tinggal dalam labu
distilasi.
Contoh : metal asetat, etil asetat, metal format.
b.Ester dengan titik didih sedang (medium boiling ester)
Ester di distilasi dalam sebuah labu distilasi maka ester akan keluar
bersama alkohol, air serta sisa asam, dimana campuran tersebut komposisinya
mempunyai titik didih yang hampir sama dan fraksi mol campuran dalam fase uap
dan cair yang sama.
Contoh : tert butil asetat, etil propionat.
c. Ester dengan titik didih tinggi (high boiling ester)
Ester ini dipisahkan dengan penguapan dan penambahan benzene sehingga
sisa asam, alkohol, dan air menguap, sedang ester tetap tinggal dalam distilator.
Contoh : etil pelargonat, n-Oktil asetat.
2. Pada umumnya ester mempunyai bau yang harum
Contoh Amil Asetat (buah pisang), Amil Valerat (buah jambu), Propil
Butirat (buah mangga), dan lain-lain.
3. Ester suku tinggi berupa minyak,lemak atau lilin
4. Kelarutan dalam air
Ester-ester yang kecil cukup larut dalam air tapi kelarutannya menurun
seiring dengan bertambah panjangnya rantai.

8
Sebagai contoh:

Tabel 1. 2 Contoh kelarutan dalam air

Ester rumus molekul kelarutan (g per 100 g air)

etil metanoat HCOOCH2CH3 10.5

etil etanoat CH3COOCH2CH3 8.7

etil propanoat CH3CH2COOCH2CH3 1.7

Penurunan kelarutan ini disebabkan oleh fakta yaitu ester tidak bisa
berikatan hidrogen satu sama lain, tetapi bisa berikatan hidrogen dengan molekul
air.
Salah satu atom hidrogen yang sedikit bermuatan positif dalam sebuah
molekul air bisa cukup tertarik ke salah satu dari pasagan elektron bebas pada
sebuah atom oksigen dalam sebuah ester sehingga sebuah ikatan hidrogen bisa
terbentuk.
Tentu akan ada juga gaya dispersi dan gaya-tarik dipol-dipol antara ester
dan molekul air.Pembentukan gaya tarik ini melepaskan energi. Ini membantu
menyuplai energi yang diperlukan untuk memisahkan molekul air dari molekul air
lainnya dan molekul ester dari molekul ester lainya sebelum bisa
bercampur.Apabila panjang rantai bertambah, bagian-bagian hidrogen dari
molekul ester mulai terhindari dari energi tersebut.

Dengan menekan diri diantara molekul-molekul air, bagian-bagian


hidrogen ini memutus ikatan hidrogen yang relatif lemah antara molekul-molekul

9
air tanpa menggantinya dengan ikatan yang serupa. Ini menjadikan proses ini
kurang menguntungkan dari segi energi, sehingga kelarutan berkurang.

5. Titik leleh
Semakin besar tingkat ketidakjenuhan molekul, semakin rendah
kecenderungan titik leleh karena gaya dispersi van der Waals kurang efektif.
Gaya-gaya dipersi van der Waals memerlukan agar molekul-molekul
mampu berjejal sehingga bisa benar-benar efektif. Keberadaan ikatan rangkap
C=C dalam rantai bisa tersusun secara rapi.
Contoh : Berikut ini diagram sebuah lemak jenuh yang disederhanakan:

Gambar 1. 2 Contoh lemak jenuh

Rantai-rantai hidrokarbon bergerak konstan dalam cairan, tapi rantai-rantai ini


bisa tertata rapi apabila zat menjadi padat. Jika rantai-rantai pada salah satu
molekul bisa tertata dengan rapi, itu berarti bahwa molekul-molekul tetangga bisa
mendekat.
Ini akan meningkatkan gaya tarik antara satu molekul dengan molekul
tetangganya sehingga meningkatkan titik leleh.
Tidak ada rotasi pada ikatan rangkap C=C sehingga posisi rantai terkunci
secara permanen. Ini menjadikan molekul-molekul lebih sulit merapat. Jika tidak
merapat dengan baik, gaya van der Waals tidak akan bekerja dengan baik.

10
Efek ini jauh lebih buruk untuk molekul-molekul dimana rantai-rantai
hidrokarbonnya pada kedua ujung ikatan rangkap tersusun cis satu sama lain –
dengan kata lain, keduanya berada pada sisi ikatan rangkap yang sama:

Gambar 1. 3 Ikatan rangkap (bentuk cis)

Jika berada pada sisi ikatan rangkap yang berlawanan (bentuk trans) maka
efeknya tidak terlalu besar. Akan tetapi, keadaan sebenarnya lebih dari yang
ditunjukkan diagram berikut karena perubahan-perubahan sudut ikatan di sekitar
ikatan rangkap dibandingkan dengan pada bagian rantai yang lain.

Gambar 1.4 menunjukkan ikatan rangkap (bentuk trans)

11
Lemak dan minyak trans memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibanding
yang berbetuk cis karena kerapatan molekulnya tidak terlalu dipengaruhi. Lemak
dan minyak tak-jenuh cenderung berbentuk cis.

1.2.2 Sifat-sifat kimia


Senyawa – senyawa ester antara lain mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
1. Pada umumnya mempunyai bau yang harum, menyerupai bau buah-
buahan.
2. Senyawa ester pada umumnya sedikit larut dalam air.
3. Ester lebih mudah menguap dibandingkan dengan asam atau alkohol
pembentuknya.
4. Ester merupakan senyawa karbon yang netral
5. Ester dapat mengalami reaksi hidrolisis
Contoh:
R–COOR’ + H2O R–COOH + R’–OH
Ester As. Alkanoat Alkohol
6. Ester dapat direduksi dengan H2 menggunakan katalisator Ni dan
dihasilkan dua buah senyawa alkohol.
Contoh:
R–COOR’ + 2H2 R–CH2–OH + R’OH
Ester Alkohol Alkohol

7. Ester khususnya minyak atau lemak bereaksi dengan basa membentuk


garam (sabun) dan gliserol. Reaksi ini dikenal dengan reaksi safonifikasi/
penyabunan.Reaksi ester (khususnya lemak dan minyak) dengan suatu
basa kuat seperti NaOH atau KOH menghasilkan sabun. Oleh karena itu
reaksinya disebut reaksi penyabunan (saponifikasi). Pada pembuatan
sabun terbentuk gliserol sebagai hasil sampingan.
8. Ester dapat terhidolisis dengan pengaruh asam membentuk alkohol dan
asam karboksilat. Reaksi hidrolisis merupakan kebalikan dan pengesteran.
Hidrolisis lemak atau minyak menghasilkan gliserol dan asam-asam

12
lemak. Contoh hidrolisis gliseril tristearat menghasilkan gliserol dan asam
stearat.

13
BAB II

TATA NAMA ESTER

Untuk memberi nama senyawa ester, disesuaikan dengan nama asam


alkanoat asalnya, dan kata asam diganti dengan kata dari nama gugus alkilnya.

Gambar 2.1 Penamaan ester

2.1 Nama IUPAC


Bagian dari gugus ester yang mengandung gugus karbonil berasal dari
asam karboksilat, sedangkan gugusan yang terikat pada oksigen berasal dari
alkohol atau fenol. Ester yang lebih kompleks menggunakan tata nama IUPAC,
yaitu dengan nama alikil alkanoat. Alkil berasal dari gugus alcohol dan alkanoat
berasal dari gugus karboksilat.
RUMUS UMUM :

Gambar

2.2 Rumus umum IUPAC

Rantai induk ester adalah rantai terpanjang yang mengandung gugus ester
(-COOR’). Rantai alkil atau gugus lain yang terikat pada rantai induk dinamakan
rantai cabang. Penomoran rantai induk dimulai dari salah satu ujung sedemikian
sehingga atom C pada gugus ester mendapatkan nomor terkecil, diberi akhirn -
OAT, dari nama rantai hidrokarbonnya. Contoh penamaan IUPAC :

14
Gambar 2. 3 Contoh penamaan ester secara IUPAC

Contoh lain dari senyawa IUPAC :

a. Isomeri pada Ester


Contoh isomeri rantai dan posisi pada senyawa ester (C3H6O2) yaitu

Metil etanoat etil metanoat

15
b. Isomer Fungsi antara Asam Karboksilat dan Ester
Asam Karboksilat dan Ester mempunyai rumus umum molekul
yang sama, yaitu CnH2nO2, tetapi mengandung gugus fungsi yang berbeda.
Asam karboksilat dan Ester yang bersesuaian merupakan isomer fungsi.
Contohnya senyawa dengan rumus molekul C4H8O2 dapat berupa asam
karboksilat atau ester. Sebagai asam karboksilat C4H8O2 mempunyai 2
isomer dan sebagai ester mempunyai 3 isomer, yaitu masing-masing
sebagai berikut :
1. C4H8O2 sebagai asam kaboksilat
CH3 -CH2-CH2-COOH CH3-CH-COOH

CH3

( Asam buatanoat) (asam-2-metilpropanoat)

2. C4H8O2 sebagai ester

C4H8O2 sebagai ester dapat dijumpai dalam bentuk beberapa isomer yaitu ;

 Metil propanoat
 Etil etanoat
 Propil metanoat

Tambahan, pada asam karboksilat dan turunannya diberi nama


dengan menjumlahkan total atom karbon dalam rantai, termasuk atom karbon
yang terdapat pada gugus -COOH. Jadi, misalnya, CH3CH2COOH maka
diberi nama asam propanoat.

16
2. 2 Nama Trivial
Untuk ester sederhana, pemberian namanya didasarkan pada nama trivial
asam karboksilatnya. Tabel 2.3 menunjukkan contoh trivial beberapa ester.

Tabel 2.1 Nama Trivial Beberapa Ester


Nama Trivial Nama Trivial
No Rumus Struktur Ester As. Karboksilat
H-CO-O-CH3 metil formiat Asam asetat
1
2 CH3-CO-O-CH3 metil asetat asam propionat

3 CH3-CH2 -CO-O-CH2-CH3 etil propionat asam butirat

4 CH3-(CH2)2 -CO-O-CH3 metil butirat asam valerat

5 CH3-(CH2)3-CO-O-CH2-CH3 etil valerat asam heksanat

Perbandingan penamaan ester dengan asam karboksilat.

Tabel 2.2 Penamaan Senyawa Alkil Alkanoat (Ester)

17
BAB III

REAKSI PEMBUATAN ESTER

Ada beberapa cara lainnya yang biasa dilakukan untuk membuat senyawa
Ester (Alkil Alkanoat), diantaranya:
3.1 Pembuatan ester dari asam karboksilat dengan alkohol

Gambar 3.1 Pembuatan ester secara esterifikasi

Metode ini bisa digunakan dengan mereaksikan asam karboksilat dan


alkohol untuk menghasilkan ester, tetapi metode ini tidak berlaku bagi fenol –
senyawa dimana gugus -OH terikat langsung pada sebuah cincin benzen. Hal ini
dikarenakan fenol akan bereaksi dengan asam karboksilat dengan sangat lambat
sehingga reaksi tidak bisa digunakan untuk tujuan pembuatan.

Sifat Kimiawi reaksi


Ester dihasilkan apabila asam karboksilat dipanaskan bersama alkohol
dengan bantuan katalis asam. Katalis ini biasanya asam sulfat pekat. Gas hidrogen
klorida kering terkadang digunakan, tetapi penggunaannya cenderung melibatkan
ester-ester aromatik (ester dimana asam karboksilat mengandung sebuah cincin
benzen).

Reaksi pengesteran (esterifikasi) berjalan lambat dan dapat balik


(reversibel). Persamaan untuk reaksi antara asam RCOOH dengan alkohol R’OH
(dimana R dan R’ bisa sama atau berbda) adalah sebagai berikut:

18
Gambar 3.2 persamaan reaksi
Jadi, misalnya, jika ingin membuat etil etanoat dari asam etanoat dan
etanol, maka persamaan reaksinya akan menjadi:

Gambar 3.3 reaksi etil etanoat dengan asam etanoat

Melangsungkan reaksi

Ada 2 skala pembuatan Ester dengan cara ini.

A. Skala kecil (skala tabung uji)

Untuk melangsungkan reaksi dalam skala tabung uji, semua zat (asam
karboksilat, alkohol dan asam sulfat pekat) yang dalam jumlah kecil dipanaskan di
sebuah tabung uji yang berada di atas sebuah penangas air panas selama beberapa
menit.Karena reaksi berlangsung lambat dan dapat balik (reversibel), ester yang
terbentuk tidak banyak. Bau khas ester seringkali tertutupi atau terganggu oleh
bau asam karboksilat. Sebuah cara sederhana untuk mendeteksi bau ester adalah
dengan menaburkan campuran reaksi ke dalam sejumlah air di sebuah gelas kimia
kecil.Terkecuali ester-ester yang sangat kecil, semua ester cukup tidak larut dalam
air dan cenderung membentuk sebuah lapisan tipis pada permukaan. Asam dan
alkohol yang berlebih akan larut dan terpisah di bawah lapisan ester.Ester-ester
kecil seperti pelarut-pelarut organik sederhana memiliki bau yang mirip dengan
pelarut-pelarut organik (etil etanoat merupakan sebuah pelarut yang umum

19
misalnya pada lem). Namun, semakin besar ester, maka aromanya cenderung
lebih ke arah perasa buah buatan.

B. Skala Besar

Jika ingin membuat sampel sebuah ester yang cukup besar, maka metode
yang digunakan tergantung pada (sampai tingkatan tertentu) besarnya ester. Ester-
ester kecil terbentuk lebih cepat dibanding ester yang lebih besar.Untuk membuat
sebuah ester kecil seperti etil etanoat, dapat melakukannya dengan memanaskan
secara perlahan sebuah campuran antara asam metanoat dan etanol dengan
bantuan katalis asam sulfat pekat, dan memisahkan ester melalui distilasi sesaat
setelah terbentuk.Ini dapat mencegah terjadinya reaksi balik. Pemisahan dengan
distilasi ini dapat dilakukan dengan baik karena ester memiliki titik didih yang
paling rendah diantara semua zat yang ada. Ester merupakan satu-satunya zat
dalam campuran yang tidak membentuk ikatan hidrogen, sehingga memiliki gaya
antar-molekul yang paling lemah.Ester-ester yang lebih besar cenderung terbentuk
lebih lambat. Dalam hal ini, mungkin diperlukan untuk memanaskan campuran
reaksi di bawah refluks selama beberapa waktu untuk menghasilkan sebuah
campuran kesetimbangan. Ester bisa dipisahkan dari asam karboksilat, alkohol, air
dan asam sulfat dalam campuran dengan metode distilasi fraksional.

3.2 Pembuatan ester menggunakan asil klorida (klorida asam)

Reaksi dasar
Jika asil klorida direaksikan dengan alkohol, maka reaksi yang terjadi
cukup progresif pada suhu kamar dan menghasilkan sebuah ester dan awan-awan
dari asap hidrogen klorida yang asam dan beruap. Contoh, etanol klorida
direaksikan dengan etanol, maka akan terbentuk banyak hidrogen klorida bersama
dengan ester cair etil etanoat.

Gambar 3. 5 reaksi etanol klorida


20
Reaksi antara etanoil klorida dengan fenol mirip dengan reaksi etanol
walaupun tidak begitu progresif. Fenil etanoat terbentuk bersama dengan gas
hidrogen klorida.

Gambar 3. 6 Pembentukan fenil etanoat

Mempercepat reaksi antara fenol dengan beberapa asil klorida yang kurang
reaktif
Benzoil klorida memiliki rumus molekul C6H5COCl. Gugus -COCl terikat
langsung pada sebuah cincin benzen. Senyawa ini jauh lebih tidak reaktif
dibanding asil klorida sederhana seperti etanoil klorida.
Fenol pertama-tama diubah menjadi senyawa ionik natrium fenoksida
(natrium fenat) dengan melarutkannya dalam larutan natrium hidroksida.

Gambar 3.7 benzoil klorida


Ion fenoksida bereaksi lebih cepat dengan benzoil klorida dibanding fenol,
tapi biarpun demikian reaksi tetap harus dikocok dengan benzoil klorida selama
sekitar 15 menit. Padatan fenol benzoat terbentuk.

Gambar 3. 8 Fenol benzoate

21
3.3 Pembuatan ester menggunakan anhidrida asam

Reaksi ini juga bisa digunakan untuk membuat ester baik dari alkohol
maupun fenol. Reaksinya berlangsung lebih lambat dibanding reaksi sebanding
yang menggunakan asil klorida, dan campuran reaksi biasanya perlu
dipanaskan.Untuk fenol, kita bisa mereaksikan fenol dengan larutan natrium
hidroksida pertama kali, yang menghasilkan ion fenoksida yang lebih reaktif.
Contoh etanol yang bereaksi dengan etanoat anhidrida sebagai sebuah
reaksi sederhana yang melibatkan sebuah alkohol:
Reaksi yang berlangsung pada suhu kamar cukup lambat (atau lebih cepat
jika dipanaskan). Tidak ada perubahan yang dapat diamati pada cairan tidak
berwarna , tetapi sebuah campuran antara etil etanoat dengan asam etanoat
terbentuk.

Gambar 3. 9 Reaksi campuran etil etanoat dengan asam etanoat

Reaksi dengan fenol kurang lebih sama, tetapi lebih lambat. Fenil etanoat
terbentuk bersama dengan asam etanoat.

Gambar 3. 10 reaksi fenil etanoat dengan asam etanoat

Reaksi ini tidak terlalu penting, tapi ada reaksi yang sangat mirip terlibat
dalam pembuatan aspirin

Jika fenol pertama-tama diubah menjadi natrium fenoksida dengan


menambahkan larutan natrium hidroksida, maka reaksinya berlangsung lebih

22
cepat. Fenil etanoat lagi-lagi terbentuk, tapi kali ini produk lainnya adalah natrium
etanoat bukan asam etanoat.

3.4 Pembuatan asam stearat etil ester dengan katalis bentonit


Salah satu metoda dalam pembuatan ester yang lazim digunakan adalah
denganmenggunakan katalis asam kuat, misalnya H2SO4, H3PO4, HCl maupun
asam para-toluensulfonat. Dalam hal ini katalis ditambahkan dalam bentuk
larutan, biasanya dalam alkohol atau pelarut organik lainnya. Asam-asam tersebut
sangat kuat dan korosif,sehingga biasanya juga memerlukan penanganan yang
khusus. Dalam pembuatan esterdengan katalis asam tersebut diperlukan sistem
pemisahan air untuk menggeserkesetimbangan reaksi ke arah pembentukan ester.
Dengan penambahan sistem pemisah air dari dalam reaktor, tahap reaksi menjadi
panjang.
Asam karboksilat serta katalis asam yang tersisa serta yang terdapat dalam
bahan juga memerlukan pemisahan dan pencucian dengan menggunakan pelarut
organik. Sebagai pengganti asam kuat yang memerlukan penanganan khusus
tersebut, serta sistemreaktor yang rumit karena membutuhkan system pemisahan
dan pencucian sisa katalismaupun asam karboksilat yang tidak bereaksi, diusulkan
untuk menggunakan asam padat. Dengan menggunakan asam padat ini,
diharapkan reaksi pembuatan ester dapat dilakukansecara lebih sederhana. Di
samping itu, pemisahan sisa asam karboksilat, sisa katalis asam maupun roduk
sampingan dapat menjadi lebih mudah dan sederhana pula.

Penggunaan tanah liat bentonit sebagai katalis padat dalampembuatan


ester dari asam stearat dengan etanol.Bentonit diketahui sebagai tanah liat dengan
struktur lembaran yang dibentuk oleh lapisantetrahedra dan lapisan oktahedra
dengan perbandingan 2:1. Lapisan tertrahedra merupakanlapisan silika, sedangkan
lapisan oktahedra ditempati oleh oksida aluminium. Posisitetrahedra atom Si ini
terkadang ditempati pula oleh atom Al, sedangkan posisi oktahedraatom Al
terkadang ditempati oleh Mg atau Fe. Ruang antara lembaran
aluminasilikattersebut biasanya diisi oleh air serta kation (Ca2+ atau Na") yang
dapat dipertukarkan. Ruang antar lembaran ini dapat diisi dengan oksida
23
aluminium, zikonium, titanium danlainnya sehingga terbentuk semacam struktur
pilar yang menopang kedua sisi lembaranyang memperkuat sifat mekanik serta
ketahanan terhadap suhu reaksi pembuatan ester merupakan suatu reaksi katalitik
dengan katalis asam, maka dalam penggunaan katalis padat dalam reaksi ini
diperlukan pula keberadaan pusat asam. untuk berlangsungnya reaksi. Pada
bentonit, struktur aluminiasilikat serta adanyapertukaran posisi antara atom Al da
Si menjadikan bentonit dapat memiliki pusat-pusatasam Lewis. Sedangkan
penambahan oksida aluminium sebagai pilar dapat membentukpusat asam Lewis
pada bidang pertemuan antara lapisan tetrahedra dengan oksida aluminium
sebagai pilar. Hal tersebut membuka kemungkinan bahwa bentonit baik dalam
bentuk aslinya maupun dalam bentuk terpilarisasi dapat memiliki sisi aktif asam
yang memiliki keaktifan untuk digunakan sebagai katalis asam dalam reaksi
esterifikasi. Untuk membatasi kajian ini terhadap kemungkinan pembentukan
produk yang majemuk, maka digunakan asam stearat (p.a.) dari E. Merck serta
etanol yang telah didistilasi sebagai alkohol dengan pelarut n-hexan yang telah
didistilasi. Diharapkan dari kegiatan ini diperoleh pengetahuan tentang
kemungkinan aplikasi bentonit sebagai katalis dalam reaksi esterifikasi.

3.5 Reaksi Perak Karboksilat dengan Alkil Halida


Pembuatan Ester ini melibatkan senyawa yaitu perak karboksilat (RCOOAg) dan
Alkil alide (R-X) dengan reaksi sebagai berikut:

Gambar 3. 11 Rumus umum perak karboksilt dengan alkil halida

Misalnya, akan dibuat senyawa Ester yaitu Metil Propanoat, maka kita dapat
mereaksikan perak propanoat dengan kloro metana dengan reaksinya sebagai
berikut :

24
Gambar 3. 12 Contoh perak karboksilt dengan alkil halida
3.6 Reaksi esterifikasi Fishcer
Reaksi esterifikasi Fischer adalah reaksi pembentukan ester dengan cara
merefluks sebuah asam karboksilat bersama sebuah alkohol dengan katalis asam.
Asam yang digunakan sebagai katalis biasanya adalah asam sulfat atau asam
Lewis seperti skandium(III) triflat.
Pembentukan ester melalui asilasi langsung asam karboksilat terhadap
alkohol, seperti pada esterifikasi Fischer lebih disukai ketimbang asilasi dengan
anhidrida asam atau asil klorida (sensitif terhadap kelembapan). Kelemahan utama
asilasi langsung adalah konstanta kesetimbangan kimia yang rendah. Hal ini harus
diatasi dengan menambahkan banyak asam karboksilat, dan pemisahan air yang
menjadi hasil reaksi. Pemisahan air dilakukan melalui distilasi Dean-Stark atau
penggunaan saringan molekul.
Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa tetrabutilamonium tribromida
(TBATB) adalah katalis yang amat efektif. Misalnya, asilasi 3-fenil propanol
dengan asam asetat glasial dan TBATB dengan refluks menghasilkan ester dalam
15 menit, dengan rasio hasil 95%, tanpa harus memisahkan air. Para ahli percaya
bahwa asam bromida yang dihasilkan oleh TBATB dapat memprotonasi alkohol
terhadap asam karboksilat sehingga karboksilatnya-lah yang bertindak sebagai
nukleofil, tidak seperti mekanisme esterifikasi standar.
Alkoholisis tanpa menggunakan katalis dapat juga dilakukan dengan
menggunakan satu molekul asam karboksilat dan satu molekul alkohol akan
memberikan hasil kira-kira sebesar molekul ester. Hasil dari ester ini dapat
bertambah dengan cara menggunakan salah satu pereaksi secara berlebih.
25
Pertambahan hasil juga dipengaruhi oleh dehidrasi yang artinya menarik air yang
terbentuk sebagai hasil samping reaksi. Air dapat dipisahkan dengan cara
menambahkan pelarut yang bersifat non polar seperti misalnya benzen dan
kloroform sehingga ester yang terbentuk akan segera terikat pada pelarut yang
digunakan. Asam anorganik yang digunakan sebagai katalis akan menyebabkan
asam karboksilat mengalami konyugasi sehingga asam konyugat dari asam
karboksilat tersebutlah yang akan berperan sebagai substrat. Struktur konyugasi
asam karboksilat adalah sebagai berikut :

Gambar 3.13 Struktur konyugasi asam karboksilat

Asam karboksilat akan beresonasi hibrid :

Gambar 3. 14 Rumus umum Asam karboksilat akan beresonasi hibrid

26
Dengan demikian mekanisme reaksi esterifikasi antara asam karboksilat dengan
alkohol adalah sebagai berikut

Gambar 3. 15 mekanisme reaksi esterifikasi asam karboksilat dengan alkohol

Jika dianggap oksigen dari karbonil yang diprotonasi maka mekanisme reaksinya
adalah sebagai berikut :

Gambar 3. 16 mekanisme akhir reaksi

Protonasi gugus karbonil

Gambar 3. 17 rumus umum gugus karbonil

27
Adisi gugus nukleofil

Gambar 3. 18 Adisi gugus nukleofil

Pelepasan H+ → intermediet

Gambar 3. 19 Pelepasan H+ → intermediet

Protonasi oksigen

Gambar 2.27 Protonasi oksigen

Gambar 3. 20 Protonasi atom oksigen

28
Pelepasan molekul air

Gambar 3. 21 Pelepasan molekul air

Pelepasan H+ → ester

Gambar 3. 22 Pelepasan H+ → ester

Mekasnisme reaksi esterifikasi Fischer terdiri dari beberapa langkah, yaitu


sebagai berikut :

1. Transfer proton dari katalis asam ke atom oksigen karbonil, sehingga


meningkatkan elektrofilisitas dari atom karbon karbonil.
2. Atom karbon karbonil kemudian diserang oleh atom oksigen dari alkohol,
yang bersifat nukleofilik sehingga terbentuk ionoksonium.
3. Terjadi pelepasan proton dari gugus hidroksil milik alkohol, menghasilkan
kompleks teraktivasi
4. Protonasi terhadap salah satu gugus hidroksil, yang diikuti oleh pelepasan
molekul air menghasilkan ester.

Katalis-katalis yang cocok adalah zat berkarakter asam kuat dan, karena
ini, asam sulfat, asam sulfonat organik atau resin penukar kation asam kuat

29
merupakan katalis-katalis yang biasa terpilih dalam praktek industrial
(Soerawidjaja, 2006).
Esterifikasi biasa dilakukan untuk membuat biodiesel dari minyak
berkadar asam lemak bebas tinggi (berangka-asam ≥ 5 mg-KOH/g). Pada tahap
ini, asam lemak bebas akan dikonversikan menjadi metil ester. Tahap esterifikasi
biasa diikuti dengan tahap transesterfikasi.
Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis) adalah tahap konversi
dari trigliserida (minyak nabati) menjadi alkyl ester, melalui reaksi dengan
alkohol, dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara alkohol-
alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber/pemasok gugus alkil, metanol
adalah yang paling umum digunakan, karena harganya murah dan reaktifitasnya
paling tinggi (sehingga reaksi disebut metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia
ini, biodiesel praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty Acids
Metil Ester, FAME).
Ada dua metode yang digunakan dalam esterifikasi yaitu proses batch dan
proses kontinyu. Proses esterifikasi berlangsung dibawah tekanan pada suhu 200-
250°C. Pada reaksi kesetimbangan, air dipindahkan secara kontinyu untuk
menghasilkan ester. Henkel telah mengembangkan esterifikasi countercurrent
kontinyu menggunakan kolom reaksi dodel plate. Teknologi ini didasarkan pada
prinsip reaksi esterifikasi dengan absorpsi simultan superheated metanol vapor
dan desorpsi metanolwater mixture.
Reaksi ini menggunakan tekanan sekitar 1000 Kpa dan suhu 240 °C.
Keuntungan dari proses ini adalah kelebihan metanol dapat dijaga secara nyata
pada rasio yang rendah yaitu 1,5 : 1 molar metanol : asam lemak dibandingkan
proses batch dimana rasionya 3-4 : 1 molar. Metil ester yang melalui proses
distilasi tidak memerlukan proses pemurnian. Kelebihan metanol di rectified dan
digunakan kembali. Esterifikasi proses kontinyu lebih baik daripada proses batch.
Dengan hasil yang sama, proses kontinyu membutuhkan waktu yang lebih singkat
dengan kelebihan metanol yang lebih rendah.
Proses esterifikasi merupakan proses yang cenderung digunakan dalam
produksi ester dari asam lemak spesifik Laju reaksi esterifikasi sangat dipengaruhi
30
oleh struktur molekul reaktan dan radikal yang terbentuk dalam senyawa antara.
Data tentang laju reaksi serta mekanismenya disusun berdasarkan karakter
kinetiknya, sedangkan data tentang perkembangan reaksi dinyatakan sebagai
konstanta kesetimbangan. Secara umum laju reaksi esterifikasi mempunyai sifat
sebagai berikut:
1. Alkohol primer bereaksi paling cepat, disusul alkohol sekunder, dan paling
lambat alkohol tersier
2. Ikatan rangkap memperlambat reaksi
3. Asam aromatik (benzoat dan p-toluat) bereaksi lambat, tetapi mempunyai
batas konversi yang tinggi
4. Makin panjang rantai alkohol, cenderung mempercepat reaksi atau tidak
terlalu berpengaruh terhadap laju reaksi.

Prosesesterifikasi secara umum harus diketahui untuk dapat mendorong


konvesi sebesar mungkin. Secara umum ada tiga golongan proses, dan
penggolongan ini bergantung kepada volatilitas ester.

Golongan 1.
Dengan ester yang sangat mudah menguap, seperti metil format, metil
asetat, dan etil format, titik didih ester lebih rendah daripada alkohol, oleh karena
itu ester segera dapat dihilangkan dari campuran reaksi. Produksi metil asetat
dengan metode distilasi Bachaus merupakan sebuah contoh dari golongan ini.
Metanol dan asam asetat diumpankan ke dalam kolom distilasi dan ester segera
dipisahkan sebagai campuran uap dengan metanol dari bagian atas kolom. Air
terakumulasi di dasar tangki dan selanjutnya dibuang. Ester dan alkohol
dipisahkan lebih lanjut dalam kolom distilasi yang kedua.

Golongan 2.
Ester dengan kemampuan menguap sebaiknya dipisahkan dengan cara
menghilangkan air yang terbentuk secara distilasi. Dalam beberapa hal, campuran
terner dari alkohol, air dan ester dapat terbentuk. Kelompok ini layak untuk

31
dipisahkan lebih lanjut: dengan etil asetat, semua bagian ester dipindahkan
sebagai campuran uap dengan alkohol dan sebagian air, sedangkan sisa air akan
terakumulasi dalam sistem. Dengan butil asetat, semua bagian air dipindahkan ke
bagian atas dengan sedikit bagian dari ester dan alkohol, sedangkan sisa ester
terakumulasi dalam sistem.

Golongan 3.
Dengan ester yang mempunyai volatilitas rendah, beberapa kemungkinan
timbul. Dalam hal butil dan amil alkohol, air dipisahkan sebagai campuran biner
dengan alkohol. Contoh proses untuk tipe seperti ini adalah pembuatan dibutil
ftalat. Untuk menghasilkan ester dari alkohol yang lebih pendek (metil, etil,
propil) dibutuhkan penambahan hidrokarbon seperti benzena dan toluena untuk
memperbesar air yang terdistilasi.dengan alkohol bertitik didih tinggi (benzil,
furfuril, b-feniletil) suatu cairan tambahan selalu diperlukan untuk menghilangkan
kandungan air dari campuran.

3.7 Transesterifikasi
Esterifikasi dapat dilakukan dengan transesterifikasi yaitu mereaksikan
ester ataubahan yang mengandung ester asam lemak dengan asam,
alkohol/gliseroldan pertukaran ester (Davidek dkk, 1990 ; Gandhi, 1997 ;
Gunstone dan Norris, 1983 ; Sontag, 1982). Reaksi transesterifikasi dapat
dilakukan dengan katalis kimia maupun enzim lipase. Istilah transesterifikasi dan
interesterifikasi digunakan oleh beberapa penulis secara bergantian (Silalahi,
1999).
Asidolisis merupakan transfer grup asil antara asam dan ester.

Gambar 3. 23 Asidolisis

32
Campuran trigliserida dan FFA digunakan sebagai reaktan untuk reaksi
asidolisisdimana pertukaran FFA dengan grup asil dari triasilgliserol akan
menghasilkantriasilgliserol yang diperkaya dengan asam
lemak.Alkoholisis/gliserolisis merupakan reaksi antara alkohol/gliserol dengan
ester.
Esterifikasi yang merupakan reaksi antara asam karboksilat dan alkohol
untukmembentuk ester adalah reaksi ionik yang merupakan kombinasi dari adisi
dan penyusunan kembali dengan reaksi sebagai berikut (Davidek dkk, 1990).
Esterifikasi asam-asam lemak dengan gliserol telah dikenal sejak 1844
dimana Pelouze dan Getis menggunakan asam butirat. Rekais esterifikasi kimia
sederhana dapatdilakukan pada suhu tinggi tanpa menggunakan katalis dan pada
suhu yang lebih rendahdilakukan dengan katalis. Katalis asam seperti benzene dan
asam toluenasulfonat (toluenesulfonic acid) dianggap akan memberi hasil paling
cepat dengan mengeluarkan air yang terbentuk secara azotrop. Kecepatan reaksi
tergantung pada jenis asam dan alkohol yang digunakan (Willis dkk, 1998).
Produk ester yang dihasilkan selama esterifikasi tergantung pada
perbandinganasam dan alkohol. Untuk gliserida yang diesterifikasi sebagian
digunakan jumlahstoikiometri <3:1 anatar asam lemak dan gliserol. Produk kasar
yang diperolehmerupakan campuran dari asam-asam lemak dan gliserol yang
tidak bereaksi,monogliserida, digliserida (1,2- dan 1,3-) dan trigliserida.
Asam-asam lemak dapatdikeluarkan dari campuran dengan penyabunan
(saponification) dan gliserol dihilangkandengan pencucian dengan larutan garam
atau air sehingga akan diperoleh campuranmonoasilgliserol, diasilgliserol dan
trasilgliserol. Gros dan Feuge melakukan esterifikasiasam laurat dengan gliserol.
katalis asam p-TSA pada suhu 100oC dengan asetonitrilsebagai zat azeotrop d'an
lama reaksi 6 jam menghasilkan 70.8 %, monoasilgliserol.29.0% diasilgliserol
dan 0,2 % triasilgliserol yang diperoleh dengan pemisahankromatografi kolom
(Sontag, 9182).

33
Esterifikasi secara enzimatis juga dilakukan untukmenghasilkan 1,3
digliserida (), Esterifikasi asam lemak stearat ataupalmitat dengan gliserol
menggunakan katalis p-TSA dapat menghasilkan 1,3 -digliserida sebanyak 12 %
yang diperoleh dengan pemurnian secara kristalisasi(Elisabettini dkk, 1998).
Digliserida akan mengalami isomerisasi dalam pelarut inert atau dalam
keadaan kering walaupun pada suhu rendah, sehingga bila akan digunakan dalam
suatu sintesa atau untuk penggunaan biosintesa harus secepat mungkin setelah
pembuatannya (Christie, 1982).
Esterifikasi secara kimia antara asam dan gliserol, alkohol lainnya atau
gliseridapartial merupakan metode untuk memasukkan (Inkorporasi) asam-asam
lemak untukmembentuk trigliserida baru (Willis dkk, 1998). Secara industri
esterifikasi kimia telahdilakukan untuk pembuatan trigliserida dan turunannya,
pewangi makanan (flavorings).dalam parfum (fragrances), plastisizer dan
emulsifier (Wiseman, 1983).

34
BAB IV

REAKSI-REAKSI ESTER/ALKIL ALKANOAT


4.1 Hidrolisis Ester
Hidrolisis ester yaitu penguraian ester menjadi asam karboksilat dan
alkohol dengan bantuan air, asam encer atau basa encer.

Hidrolisis ester-ester sederhana

Pengertian hidrolisis
Secara teknis, hidrolisis adalah sebuah reaksi dengan air. Reaksi inilah
yang sebenarnya terjadi ketika ester dihirolisis dengan air atau dengan asam encer
seperti asam hidroklorat encer. Hidrolisis ester dengan basa melibatkan reaksi
dengan ion-ion hidroksida, tetapi hasil keseluruhannya sangat mirip sehingga
dikategorikan dalam hidrolisis dengan air atau asam encer.
Hidrolisis menggunakan air atau asam encer
Reaksi dengan air murni sangat lambat sehingga tidak pernah digunakan.
Reaksi ini dikatalisis oleh asam encer, sehingga ester dipanaskan di bawah refluks
dengan sebuah asam encer seperti asam hidroklorat encer atau asam sulfat encer.

Berikut dua contoh sederhana dari hidrolisis menggunakan sebuah katalis asam.

Hidrolisis etil etanoat:

Gambar 4. 1 Hidrolisis etil etanoat

35
Hidrolisis metil propanoat:

Gambar 4. 2 Hidrolisis metil propanoat

Kedua reaksi tersebut dapat balik (reversibel). Untuk melangsungkan


hidrolisis sesempurna mungkin, harus digunakan air yang berlebih. Air diperoleh
dari asam encer, sehingga ester perlu dicampur dengan asam encer yang berlebih.

Hidrolisis menggunakan basa encer


Hidrolisis menggunakan basa encermerupakan cara yang lazim digunakan
untuk menghidrolisis ester. Ester dipanaskan di bawah refluks dengan sebuah basa
encer seperti larutan natrium hidroksida.
Ada dua kelebihan utama dari cara ini dibanding dengan menggunakan
asam encer. Reaksinya berlangsung satu arah dan tidak reversibel, dan produknya
lebih mudah dipisahkan.

Contoh hidrolisis ester sederhana

Hidrolisis etil etanoat menggunakan larutan natrium hidroksida:

Gambar 4. 3 Hidrolisis etil etanoat

36
dan selanjutnya hidrolisis metil propanoat dengan cara yang sama:

Gambar 4. 4hidrolisis metil propanoat

Pada hasil reaksi terbentuk garam natrium dan asam karboksilat sendiri.

Campuran ini relatif mudah dipisahkan. Jika digunakan larutan natrium


hidroksida yang berlebih, tidak akan ada ester yang tersisa. Alkohol yang
terbentuk bisa dipisahkan dengan distilasi.
Jika yang diinginkan terbentuknya asam bukan garamnya, maka harus
ditambahkan asam kuat yang berlebih seperti asam hidroklorat encer atau asam
sulfat encer ke dalam larutan yang tersisa setelah distilasi pertama. Jika hal ini
dilakukan, campuran akan dibanjiri dengan ion-ion hidrogen. Ion-ion hidrogen ini
ditangkap oleh ion-ion etanoat (atau ion paropanoat atau ion apapun) yang
terdapat dalam garam membentuk asam etanoat (atau asam propanoat, dan lain-
lain). Karena asam-asam ini adalah asam lemah, maka ketika bergabung dengan
ion hidrogen, cenderung tetap bergabung. Selanjutnya asam karboksilat bisa
dipisahkan melalui proses distilasi.
4.2 Saponifikasi
Pembahasan ini berkaitan dengan hidrolisis basa (dengan menggunakan
larutan natrium hidroksida) ester-ester besar yang ditemukan dalam lemak dan
minyak hewani dan nabati.
Jika ester-ester besar yang terdapat dalam lemak dan minyak hewani dan
nabati dipanaskan dengan larutan natrium hdiroksida pekat, reaksi yang terjadi
persis sama dengan reaksi pada ester-ester sederhana.Terbentuk asam karboksilat
dalam hal ini, garam natrium dari sebuah asam besar seperti asam oktadekanoat
(asam stearat). Garam-garam ini merupakan komponen sabun yang penting yaitu
komponen yang melakukan pembersihan.

37
Pada proses ini juga terbentuk alkohol yang lebih rumit, yaitu propan-1,2,3-triol
(gliserol).

4. 3 Reduksi Ester
Ester dapat direduksi dengan H2 menggunakan katalisator dan dihasilkan
dua buah senyawa alkohol.

Contoh :

Gambar 4. 5 reaksi reduksi ester

Ester dapat direduksi dengan litium hidrida menjadi alkohol

Gambar 4. 6 Hasil reduksi litium hidrida menjadi alkohol

Gambar 4. 7 Hasil akhir reduksi litium hidrida menjadi alcohol

Proses ini sangat erat kaitannya dengan pembuatan sabun sehingga hidrolisis ester
dengan basa biasa disebut dengan proses saponifikasi.

38
4.4 Amonolisis

Amonia mengonversi ester menjadi amida. Reaksi :

Gambar 4. 8 Amonolisis
Contoh:

Gambar 4. 9 Contoh Amonolisis

39
BAB V

ESTER KOMERSIAL

5.1 Bidang Tekstil

Ester banyak digunakan dalam kehiduapn sehari-hari antara lainAmil


asetat banyak digunakan sebagai pelarut untuk damar.Esterifikasi etilen glikol
dengan asam bensen 1.4 dikarboksilat menghasilkan poliester yang digunakan
sebagai bahan pembuat kain.

5.2 Bidang Industri Makanan


Karena baunya yang sedap maka ester banyak digunakan sebagai esens
pada makanan antara lain :
Tabel 5.1 Beberapa jenis ester

Rumus Struktur Jenis Ester Aroma

CH3COOC5H11 Amil Asetat Buah Pisang

C4H9COOC5H11 Amil Valerat Buah Apel

C3HCOOC5H11 Amil Butirat Buah Jambu

C3H7COOC4H9 Butil Butirat Buah Nanas

C3H7COOC3H7 Propil Butirat Buah Mangga

Senyawa ester tersebut digunakan untuk memberikan aroma yang khas


buah-buahan pada bahan makanan misalnya kue atau beberapa jenis minuman.

5. 3 Bidang Kesehatan
Salah satu jenis ester yaitu CNI Ester C-Plusyang merupakan antioksidan
larut air yang dapat menetralkan radikal bebas, dan amat sesuai untukmenjaga

40
kesehatan ibu dan bayi ketika hamil. Ester C juga dianggap sebagai suatu
revolusi.
Bentuk semula jadi Vitamin C mengandungi penggalak metabolit yang
mampu meningkatkan penyerapan Vitamin C.CNI Ester-C Plus bebas daripada
masalah pengolahan organism yang mengalami perubahan genetik (GMO).
Tidak seperti vitamin C biasa, CNI Ester-C Plus tidak bersifat asam dan
tidak akan mengganggu perut ibu ataumengkikis enamel gigi. CNI Ester-C Plus
juga merupakan nutrisi yang penting untuk kardiovaskular, pertahanan bdan,
penglihatan dan kesehatan sendi.
Menurut pendapat para ahli kesehatan dan ahli makanan CNI Ester-C
memiliki berbagai manfaat. Vitamin C yang terdapat pada CNI Ester-C Plus
sangat bermanfaat bagi ibu hamil ketika mengandung dan selepas bersalin,
termasuk penggunaan vitamin ini dapat mengurangi kemungkinan proses
melahirkan yang tidak normal dan mengurangi resiko bagi ibu yang mengindap
diabetes ketika mengandung.
Penggunaan suplemen vitamin C & E ketika hamil dapat menghalangi
pemecahan membran janin. Ketika hamil, jumlah serum vitamin C turun secara
mendadak disebabkan oleh pengambilan zat oleh janin (Prinsip Terapi Rawatan
ketika hamil,1998).
Jumlah pengambilan per hari untuk vitamin C bagi ibu hamil adalah 67%
lebih tinggi berbanding dengan wanita yang tidak hamil dan tidak
menyusui(WHO,1996). Wanita yang mengkomsumsi vitamin C denagan kadar
yang rendah memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami kelahiran
prematur.

Manfaat Ester-C Plus:

1. Meningkatkan system kekebalan tubuh.

2. Sebagai antioksidan alami.

3. Menjaga elastisitas kulit.

41
Ester-C Plus adalah vitamin C generasi terkini yang memiliki kelebihan

1.Memiliki pH netral, sehingga aman bagi lambung.

2.Lebih cepat diserap tubuh.

3.Kandungan dalam darah 2 kali lipat lebih tinggi.

4.Kadarnya dalam leukosit 4 kali lebih tinggi.

5.Kadar yang dikeluarkan melalui urin 3 kali lebih kecil dan 2 kali lebih
lambat.

6.Kadar oksalat dalam urin 5 kali lebih rendah, sehingga kecil


kemungkinan terjadinya batu ginjal.

7.Memiliki efek anti-scurvy/skorbut (sariawan) lebih cepat dan lebih baik.

 Aspirin
Aspirin ( asetosal ) adalah suatu ester dari asam asetat dengan asam
salisilat. Oleh karena itu senyawa ini dapat dibuat dengan mereaksikan asam
salisilat dengan anhidrida asam. Dalam sintesis ini juga ditambahkan H3PO4 , hal
ini bermaksud agar reaksi esterifikasi berjalan dengan baik dan cepat karena
H3PO4 bertindak sebagai katalis dan pemberi suasana asam. Persamaan reaksinya:

Asam salisilat + anhidrida as. Asetat + aspirin

Asam asetat dengan nama sistematik asam etanoat, CH3COOH,


merupakan cairan tidak berwarna, berbau tajam, dan berasa asam. Asam asetat
larut dalam air dan pelarut organik lainnya. Di dalam air, asam asetat bertindak
sebagai asam lemah. Asam asetat mendidih pada temperatur 118°C (245°F) dan
meleleh pada 17°C (62°F). Asam asetat biasanya dibuat dengan
memfermentasikan alkohol dengan bantuan bakteri, seperti Bacterium aceti.
Untuk mendapatkan asam asetat yang berkonsentrasi tinggi, biasanya dibuat
dengan oksidasi asetaldehida atau dengan mereaksikan methanol dengan karbon
monoksida dengan bantuan katalis.
42
Asam salisilat dapat ditemukan pada banyak tanaman dalam bentuk metal
salisilat dan dapat disintesa dari fenol. Asam salisilat memiliki sifat-sifat: berasa
manis, membentuk kristal berwarna putih, sedikit larut dalam air, meleleh pada
158,5°C – 161°C. Asam salisilat biasanya digunakan untuk memproduksi ester
dan garam yang cukup penting. Asam salisilat menjadi bahan baku pembuatan
aspirin. Sintesa asam salisilat yang terkenal adalah Sintesis Kolbe. Asam asetil
salisilat atau yang lebih dikenal sekarang sebagai aspirin memiliki nama
sistematik 2 – acetoxybenzoic acid. Aspirin yang merupakan bentuk salah satu
aromatic asetat yang paling dikenal dapat disintesa dengan reaksi esterifikasi
gugus hidroksi fenolat dari asam salisilat dengan menggunakan asam asetat.
Aspirin memiliki sifat – sifat sebagai berikut : Mr = 180, titik leleh = 133,4°C,
dan titik didih = 140°C.
Aspirin bersifat analgesik yang efektif sebagai penghilang rasa sakit.
Selain itu, aspirin juga merupakan zat anti-inflammatory, untuk mengurangi sakit
pada cedera ringan seperti bengkak dan luka yang memerah. Aspirin juga
merupakan zat antipiretik yang berfungsi untuk mengurangi demam. Tiap
tahunnya, lebih dari 40 juta pound aspirin diproduksi di Amerika Serikat,
sehingga rata-rata penggunaan aspirin mencapai 300 tablet untuk setiap pria,
wanita serta anak-anak setiap tahunnya. Penggunaan aspirin secara berulang-ulang
dapat mengakibatkan pendarahan pada lambung dan pada dosis yang cukup besar
dapat mengakibatkan reaksi seperti mual atau kembung, diare, pusing dan bahkan
berhalusinasi. Dosis rata-rata adalah 0.3-1 gram, dosis yang mencapai 10-30 gram
dapat mengakibatkan kematian.

 Benorylate
Benorylate adalah kombinasi dari parasetamol dan ester aspirin. Obat ini
digunakan sebagai obat antiinflamasi dan antipiretik. Untuk pengobatan demam
pada anak obat ini bekerja lebih baik dibanding dengan parasetamol dan aspirin
dalam penggunaan yang terpisah. Karena obat ini derivat dari aspirin maka obat
ini tidak boleh digunakan untuk anak yang mengidap Sindrom Reye.

43
5. 4 Bidang Otomotif

Wax
Carnauba Wax diambil dari daun pohon palma carnauba yang bernama
latin “Copernica cerifera”. Pohon carnauba terutama tumbuh di Brazil. Pohon ini
mengeluarkan bahan semacam lilin pada daunnya. Lilin pada daun ini diambil
untuk dijadikan carnauba wax. Carnauba wax komersial berbentuk serpihan atau
bubuk, berwarna kuning sampai coklat. Secara kimia carnauba wax terutama
tersusun dari ester asam lemak. Carnauba Wax bersifat tidak larut dalam air.
Carnauba wax boleh dimakan. Carnauba wax juga digunakan pada produck
permen karet, permen lunak, sari buah, dan saus. Selain untuk makanan,
Carnauba wax pun juga digunakan sebagai bahan kosmetik dan pemoles mobil
(Putranto, 2011)
Waxing yang dilakukan secara rutin sangat dibutuhkan oleh mobil dengan
tujuan untuk melindungi permukaan cat. Sebagai tambahan, pemberian tambahan
lapisan pelindung, waxes dan sealants juga dapat meningkatkan penampilan
permukaan cat mobil seperti baru saja dibersihkan dan polish. Jika telah
mempergunakan produk yang tepat, kita dapat memberikan lapisan perlindungan
waxes dan sealants sehingga permukaan mobil akan tampak bercahaya dan
lembab. Setelah waxing, permukaan mobil akan terasa lembut dan licin serta
bebas dari baretan ataupun goresan.

5 .5 Pelumas Sintetis
Minyak pelumas sintetis dibuat dari hidrokarbon yang telah mengalami
proses khusus. Khusus yang dimaksud adalah bahwa minyak ini dibuat tidak
hanya sama dengan minyak mineral akan tetapi melebihi kemampuan minyak
mineral. Melalui proses kimia dihasilkan molekul baru yang memiliki stabilitas
termal, oksidasi dan kinerja yang optimal. Sehingga harga minyak sintetis lebih
mahal daripada minyak mineral.
Pada kenyataannya minyak pelumas sintetis memang lebih unggul dalam
unjuk kerja, baik respon terhadap mesinnya maupun umur pemakaiannya. Hal ini
dikarenakan pembuatan minyak pelumas sintetis dirancang sesuai dengan tujuan
44
penggunaannya. Untuk itu pemilihan minyak pelumas yang tepat sangatlah
penting. Dalam pembuatannya minyak pelumas sintetis dikontrol struktur
molekulnya dengan sifat-sifat yang dapat diprediksi. Adapun jenis minyak sintetis
yang banyak digunakan adalah sebagai berikut :

a. Diester
Diester merupakan salah satu bahan yang menonjol dari minyak pelumas
sintetis. Diester mempunyai struktur yang paling sederhana untuk digunakan
sebagai minyak pelumas. Bahan ini banyak digunakan sebagai minyak pelumas
atau pelumas gemuk yang mempunyai titik penguapan rendah pada mesin gas
turbin. Diester diperoleh dari reaksi sintesa produk minyak bumi, dan sebagian
dari lemak binatang dan minyak tumbuh-tumbuhan. Keuntungan diester adalah
mempunyai viskositas yang relatif konstan terhadap suhu yang cukup baik,
penguapannya sangat rendah, dan mempunyai stabilitas thermal yang bagus.
Biasanya bahan ini tidak korosif terhadap logam, tidak beracun dan stabil
terhadap hidrolisa. Sifat yang merugikan dari bahan ini adalah dapat bereaksi
terhadap karet. Karena sifat fire-resistant dan stabilitas oksidasinya, maka pelumas
diester banyak dipakai untuk kompresor udara.
b. Fosfat Ester
Fosfat ester telah lama digunakan sebagai aditif di dalam minyak pelumas
mineral sebagai pelindung terhadap terjadinya pelumasan batas. Fosfat ester
merupakan senyawa biodegradable yang disintesa dari komponen yang didapat
dari coal tar. Karena natural ester merupakan campuran yang komplek dan sering
mengandung ortho cresol yang beracun, maka diupayakan untuk mensintesa ester
dengan bahan kimia murni untuk membentuk minyak dasar sintetis yang tidak
mengandung cresol yang beracun. Sehingga natural ester dikombinasikan dengan
fosfat.
Fosfat ester memberikan ikatan yang cukup mantap dan stabil secara kimia
yang memungkinkan untuk digunakan sebagai komponen utama dari minyak
pelumas sintetis. Disamping itu fosfat ester biasa digunakan sebagai aditif EP.
Stabilitas terhadap oksidasi dari bahan ini cukup baik yaitu sampai dengan 300◦F.

45
Penggunaannya yang utama adalah sebagai minyak hidrolik di dalam pesawat
udara karena memberikan sifat anti api yang baik.

c. Ester Silikat
Mempunyai IV yang tinggi yaitu 150 – 200 dan mempunyai penguapan
yang rendah. Ketahanan terhadap oksidasi pada suhu tinggi tidak begitu baik,
tetapi hal ini dapat diperbaiki dengan penambahan aditif. Ester silikat tidak
korosif terhadap logam, plastik maupun karet. Tetapi pada suhu yang tinggi akan
mengeraskan karet.

d. Glikol Polialkilena Dan Turunannya


Aplikasi dari glikol polialkilena (polieter) sangat luas yaitu sebagai
pelumas pada motor bakar, roda gigi, kompressor, pompa. Bahan ini tidak begitu
mahal dan mudah diperoleh di pasaran.

e. Silikon
Silikon merupakan minyak pelumas sintetis yang mempunyai bermacam-
macam tingkat viskositas, yang tergantung pada panjang pendeknya rantai dari
ikatan molekulnya. Silikon disintesa dari pasir (SiO2). Sifat yang paling menonjol
dari silikon ini adalah memberikan kurva viskositas dengan suhu yang mendatar.
Silikon memberikan ketahanan oksidasi yang baik pada suhu biasa, tetapi
cenderung membentuk gel pada saat mengoksidasi sehingga tidak tepat digunakan
sebagai minyak pelumas mesin turbin pesawat udara.

f. Khlor Dan Fluor Hidrokarbon


Sifat utama dari senyawa ini adalah dapat memberikan respon yang baik
sebagai aditif EP dan low flammability. Aktifitas yang tinggi dari atom khlor
dapat terbebaskan pada kondisi beban yang berat dan suhu tinggi. Dan hal ini
menghasilkan produk yang korosifitasnya tinggi dan beracun sehingga
penggunaannya dalam industri dibatasi.

46
g. Poly Alkyl Glykol
Pada rem mobil. Polyalkylglycol dibuat dengan reaksi polimerisasi
menggunakan katalis. Reaksi dapat dikontrol untuk mendapatkan range viskositas
8 – 19000 cSt. Biasa digunakan di industri baja dan tekstil. Semua polyalkylglycol
dapat menyerap air dari atmosfer sehingga harus dijaga dari kemungkinan
kontaminasi. Akan tetapi kandungan air sampai 5% masih dapat ditoleransi.
Pada temperatur rendah polyalkylglycol mempunyai karakteristik yang
bagus, tetapi pada temperatur tinggi sampai 250 C membutuhkan aditif untuk
meningkatkan stabilitas thermalnya. Pelumas sintetis ini tidak dapat digunakan di
atas temperatur tersebut. Polyalkylglycol mempunyai karakteristik yang bagus
sekali pada viskositas 160 – 400 yang tergantung sekali pada cara
memproduksinya. Polyalkylglycol sangat rentan terhadap oksidasi sehingga perlu
ditambahkan aditif antioksidan.
Umur pemakaian aditif pada polyalkylglycol lebih lama bila dibandingkan
dengan mineral oil pada kondisi yang sama. Polyalkylglycol lebih polar sintetis
ini tidak dapat digunakan di atas temperatur tersebut. Polyalkylglycol mempunyai
karakteristik yang bagus sekali pada viskositas 160 – 400 yang tergantung sekali
pada cara memproduksinya. Polyalkylglycol sangat rentan terhadap oksidasi
sehingga perlu ditambahkan aditif antioksidan. Umur pemakaian aditif pada
polyalkylglycol lebih lama bila dibandingkan dengan mineral oil pada kondisi
yang sama. Polyalkylglycol lebih polar dibandingkan dengan senyawa ester, dan
cocok sekali untuk seal dan plastik. Tetapi tidak untuk cat.

h. Poly Alpha Olefin


Polyalphaolefin dibuat pertama kali di Jerman pada masa Perang Dunia
Kedua untuk menghemat pemakaian minyak mineral. Dan ternyata memberikan
unjuk kerja pada range temperatur yang luas. Polyalphaolefin merupakan
hidrokarbon sintetis, tidak seperti hidrokarbon pada minyak pelumas mineral.
Karena polyalphaolefin merupakan cairan kimia murni yang dibuat dari
polimerisasi katalitik ethylene. Produk yang dihasilkan dipisahkan dari komponen
yang reaktif dan selanjutnya dipisahkan sesuai dengan viskositasnya.
47
Dengan penambahan sedikit aditif antioksidan, polyalphaolefin menjadi
lebih stabil bila dibandingkan dengan minyak mineral pada temperatur yang sama.
Polyalphaolefin menunjukkan lebih tahan bereaksi dengan air bila dibandingkan
dengan minyak mineral dan minyak sintetis yang lain. Polyalphaolefin juga sangat
cocok bila diblending dengan minyak mineral. Sifat PAO yang menonjol adalah
sebagai berikut

o Titik tuangnya rendah


o Volatilitasnya rendah
o Good software compatibility
o Stabilitas thermalnya bagus
o Hidrolytic stability
o Merupakan bahan kimia yang inert
o Daya pelumasannya bagus

`Karenan PAO mempunyai titik tuang yang rendah, maka PAO digunakan pada
kompressor pendingin, kompressor amonia dan kompressor fluorokarbon.

i. Polyolester
Sangat cocok digunakan untuk pelumasan batas. Mempunyai IV yang
tinggi bila dibandingkan dengan minyak mineral. Mempunyai stabilitas thermal
dan membuat mesin menjadi lebih bersih dan lebih sedikit depositnya.
Volatilitasnya paling rendah dibandingkan dengan minyak pelumas sintetis yang
lain. Polyolester dengan viskositas 4,4 cSt pada 100 C hanya menguap sekitar 2
%. Polyolester relatif biodegradable tetapi prosesnya sangat lambat dibawah
kondisi normal.
Produk yang dihasilkan tidak beracun. Keuntungan polyolester adalah
dapat digunakan dengan nitril rubber, yaitu tipe yang paling umum digunakan
dengan minyak mineral. Juga sangat compatible apabila dicampur dengan minyak
pelumas mineral. Banyak digunakan di berbagai industri. Hampir semua aditif
larut dalam polyolester (POE). Dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan
dengan minyak pelumas sintetis lain atau minyak pelumas mineral. POE

48
mempunyai high temperatur properties yang sangat bagus dan mampu
meningkatkan properties pelumas melebihi diester.

Aplikasi penggunaan POE :

o Minyak kompresor
o Minyak turbin dan minyak hidrolik
o Minyak gear
o Pelumas bearing
o Pelumas EP (Extreme Pressure) untuk boundary lubrication

Keuntungan Miyak Pelumas Sintetis


Meskipun harganya relatif lebih mahal, namun minyak pelumas sintetis
dewasa ini lebih banyak digunakan. Hal ini disebabkan karena :
a. Umur pemakaiannya lebih lama karena meningkatkan stabilitas thermal (VI
tinggi) dan tahan oksidasi. Keuntungannya : oli yang digunakan lebih sedikit,
pemakaian filter awet, mengurangi pengeluaran.

b. Mengurangi konsumsi oli karena volatilitasnya lebih rendah dan densitas lebih
tinggi.

c. Mempunyai spesifikasi yang dibutuhkan pemakai.

d. Pengoperasiannya lebih aman karena flash pointnya lebih tinggi. Sehingga


ongkos

5 .6 Bidang Kosmetik

 Ceresin
Ceresin, campuran mikrokristal hidrokarbon pada komposisi kompleks
yang tersedia dalam beragam tingkatan/jenis, dengan titik lebur dengan range
yang luas; untuk produk mata,jenis dengan titik lebur 68°C yang
direkomendasikan. Digunakan oleh formulator untuk membuat sediaan kaku tanpa
membuatnya terlalu rapuh atau terlalu keras.
49
 Carnauba
Wax ini tersedian dalam beberapa jenis, yang mana carnauba kuning
dengan titik lebur 35°C, yang dimurnikan dan diputihkan yang direkomendasikan.
Terutama yang memilki titik lebur yang tinggi. Carnauba akan membentuk film/
lapisan tidak tembus air, dan menghilangkannya dengan aksi pelarutan sabun
terhadap air. Ini merupakan kualitas yang penting dalam formulasi mascara.
Terakhir, wax carnauba memberikan kecerahan lebih pada penggunaan dalam
keadaan kering.

 Beeswax
Beeswax merupakan bentuk wax untuk sediaan mata, beeswax putih yang
melebur pada 64°C yang direkomendasikan. Besswax memberikan kekakuan pada
sediaan bila ia digunakan, tanpa mengeraskan sediaan tersebut. Serta ketika
dibutuhkan penggunaan sebagai pemberi fleksibilitas dan pembentuk
lapisan/plasticity. Pada produk yang di cetak, seperti cake maskara, kombinasi
dari wax harus seimbang, sehingga cake yang dicetak tidak retak.

 Asam stearat
Asam stearat dengan titik lebur 55°C yang direkomendasikan, yang mana
asam stearat jenis ini mampu tersaponifikasi dengan mudah dan bersifat netral,
sehingga membentuk sabun yang stabil yang dapat dibuat dengan bahan-bahan
hidrofilik dan lipofilik. Yang secara luas digunakan adalah triethanolamine
stearat, walaupun pada perkembangan selanjutnya pengemulsi non ionik telah
menggantikan asam sterat .

 Isopropyl miristat
Yakni berupa Ester asam lemak sintetik; bahan ini jernih, berupa larutan,
bebas dari bau yang tidak sedap. Diketahui telah digunakan dalam berbagai
macam bentuk kosmetika mata seperti eye shadow.

50
5. 7 Contoh-contoh ester yang umum
Banyak jenis dan ragam senyawa ester yang perbedaannya dapat dilihat
berdasarkan sifat fisik dan sifat kimia,rumus struktur,fungsinya dan lain
sebagainya. Untuk lebih jelasnya disini kami akan mendiskripsikan beberapa
senyawa ester.
a.Etil Asetat
Etil asetat adalah senyawa organik dengan rumus CH3CH2OC(O)CH3.
Senyawa ini merupakan ester dari etanol dan asam asetat. Senyawa ini berwujud
cairan tak berwarna, memiliki aroma khas. Senyawa ini sering disingkat EtOAc,
dengan Et mewakili gugus etil dan OAc mewakili asetat. Etil asetat diproduksi
dalam skala besar sebagai pelarut.
Sifat kimia dan fisika
Etil asetat adalah pelarut polar menengah yang volatil (mudah menguap),
tidak beracun, dan tidak higroskopis. Etil asetat merupakan penerima ikatan
hidrogen yang lemah, dan bukan suatu donor ikatan hidrogen karena tidak adanya
proton yang bersifat asam (yaitu hidrogen yang terikat pada atom elektronegatif
seperti flor, oksigen, dan nitrogen. Etil asetat dapat melarutkan air hingga 3%, dan
larut dalam air hingga kelarutan 8% pada suhu kamar. Kelarutannya meningkat
pada suhu yang lebih tinggi. Namun demikian, senyawa ini tidak stabil dalam air
yang mengandung basa atau asam.

Tabel 5.2 Sifat kimia dan Fisik Etil Asetat


Nama sistematis Etil etanoat, Etil asetat
Nama alternatif Etil ester, Ester asetat, Ester etanol
Rumus aolekul C4H802
Massa molar 88,12 g/mol
Densitas dan fase 0,897 g/cm3, cairan
Titik lebur -83,6 C
Titik didih 77,1 C
Penampilan Cairan tak berwarna
Sintesis
51
Etil asetat disintesis melalui reaksi esterifikasi Fischer dari asam asetat dan
etanol, biasanya disertai katalis asam seperti asam sulfat.

Gambar 5.1 reaksi etil asetat

Reaksi diatas merupakan reaksi reversibel dan menghasilkan suatu


kesetimbangan kimia. Karena itu, rasio hasil dari reaksi diatas menjadi rendah jika
air yang terbentuk tidak dipisahkan. Di laboratorium, produk etil asetat yang
terbentuk dapat dipisahkan dari air dengan menggunakan aparatus Dean-Stark.

Reaksi kimia
Etil asetat dapat dihidrolisis pada keadaan asam atau basa menghasilkan
asam asetat dan etanol kembali. Katalis asam seperti asam sulfat dapat
menghambat hidrolisis karena berlangsungnya reaksi kebalikan hidrolisis yaitu
esterifikasi Fischer.
Untuk memperoleh rasio hasil yang tinggi, biasanya digunakan asam kuat
dengan proporsi stoikiometris, misalnya natrium hidroksida. Reaksi ini
menghasilkan etanol dan natrium asetat, yang tidak dapat bereaksi lagi dengan
etanol:

Gambar 5.2 etanol dan natrium asetat

b. Butil Asetat
Butil asetat merupakan solvent aktif untuk film former seperti selulosa
nitrat, selulosa asetat butirat, etil selulosa, chlorinated rubber, polystyrene, dan
resin methacrylate. Beberapa getah alam seperti kauri, manila, poutianak, dan
damar larut dalam Butil asetat.
Sebagai protective coating, butil asetat dapat digunakan sebagai pelarut
pada kerajinan kulit, tekstil dan plastik. Dapat juga digunakan sebagai solvent
ekstraksi pada proses bermacam-macam minyak dan obatobatan. Kegunaan

52
lainnya sebagai bahan untuk parfum, dan sebagai komponen pada aroma sintetis
seperti aprikot, pisang, pir, nanas, delima, dan rashberry (Mc Ketta,1977).

Sifat Fisika dan Kimia

Sifat Kimia

1. Hidrolisis asam
Butil asetat terhidrolisis berkatalis asam menjadi asam asetat dan butanol,
dengan menggunakan air berlebihan untuk mendorong kesetimbangan kearah
asam asetat dan butanol

Gambar 5.3 Butil asetat

2. Hidrolisis basa (penyabunan)


Reaksi berlangsung dalam suasana basa, hasil penyabunan ialah garam
karboksilat. Asam bebas akan diperoleh bila larutan itu diasamkan.

53
Penyabunan :

Gambar 5.4 penyabunan

3. Amonolisis
Butil asetat bereaksi dengan amonia berair menghasilkan amida.

Gambar 5.5 amonolisis

4. Trans esterifikasi
Reaksi transesterifikasi beranalogi langsung dengan hidrolisis dalam asam
atau basa. Karena reaksi itu reversibel, biasanya digunakan alkohol awal secara
berlebihan.

Gambar 5. 6 Trans esterifikasi

c. Isoamil Asetat
Isoamil asetat merupakan ester yang dibentuk dari reaksi antara isoamil
alkohol dan asam asetat dengan katalis asam sulfat. Asam ini dinetralkan,
diekstrak, dan hasilnya dicuci dan kemudian didistilasi. Reaksi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 5.7 Isoamil Asetat

54
Rumus Molekul dan Struktur

Rumus molekul

Gambar 5. 8 rumus molekul Isoamil Asetat

Penggunaan
 Isoamil asetat dalam etanol digunakan sebagai perasa buatan.
 Isoamil asetat juga digunakan dalam test efectivitas dari transpirator
karena zat ini mempunyai bau yang tajam yang tidak umum eksperiment
sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dapat mendeteksi rendahnya
konsentrasi.
 Isoamil Asetat juga digunakan sebagai campuran dalam pernis dan
nitroselulosa pernis, ada dalam hormon feromon pada lebah madu.
 Isoamil asetat dapat digunakan untuk menarik sekelompok besar lebah
madu dalam lingkup kecil.

d. Amil Asetat
Amilasetat merupakan senyawa ester hasil kondensasi dari asam asetat dengan
1-pentanol. Padahal ester dibentuk dari isomer pentanol yang lain (amil alkohol)
atau campuran dari beberapa pentanol yang sering menunjukkan sebagai amil
asetat. Amil asetat memiliki aroma yang mirip dengan aroma pisang dan apel

Gambar 5.9Amil Asetat


55
e.Etil Butirat
Etil butirat secara umum digunakan untuk aroma buatan diantaranya
aroma nanas dalam minuman beralkohol dan pencampuran dalam produk parfum.
Ini dapat dihasilkan dari reaksi etanol dan asam butirat. Ini adalah reaksi
kondensasi artinya air adalah produksi dalam reaksi seperti biproduk.

Rumus struktur :

Gambar 5. 10 Etil Butirat

f. Butil Butirat
Butil butirat merupakan komponen organik yang dibentuk dari
kondensasi asam butirat dan butanol. Digunakan dalam pemanis buatan untuk
membuat rasa manis buah terutama nanas. Ini juga terdapat dalam berbagai buah-
buahan seperti apel, pisang, dan strawberry.

Gambar 5. 11 Butil Butirat

g. Etil Laktat
Senyawa ini merupakan monobasis ester yang dibentuk dari asam laktat
dan etanol secara umum digunakan dalam pencampuran. Komponen etil laktat
terdiri dari makhluk hidup. Aroma etil laktat terdapat dalam mild, butter, krim,

56
buah-buahan dan kelapa. Digunakan sebagai campuran dalam nitroselulosa,
selulosa asetat dan selulosa eter

Rumus struktur :

Gambar 5. 12 Etil Laktat

h.Isopropil Palmitat
Isopropil palmitat merupakan ester dari isopropil alkohol dan asam
palmitat, mempunyai nama resmi 1-metil etil heksadekanoat. Rumus empiris
isopropil palmitat C19H38O2 dengan rumus struktur
CH3(CH2)14COOCH(CH3)2. Isopropil palmitat mudah larut dalam pelarut
nonpolar. Isopropil palmitat larut dalam aseton, kloroform, etanol etil asetat,
minyakmineral, propan-2-ol, minyak sayur, serta hidrokarbon aromatik dan
alifatik. Pada prinsipnya isopropil palmitat tidak larut dalam gliserin, glikol, dan
air.

Sifat fisika dan kimia


Pada suhu ruang isopropil palmitat merupakan cairan jernih tidak
berwarna sampai berwarna kekuningan, tidak berbau, dan bersifat kental.
Viskositas yang terukur adalah antara 5 sampai 10 mPa.s (5- 10 cP) pada 25 oC.
Suhu didih isopropil palmitat adalah 160 oC pada 266 Pa (2 mm Hg). Titik beku
terukur antara 13 sampai 15 oC, dan umumnya isopropil palmitata ini memadat
pada suhu di bawah 16 oC.
Berat jenis isopropil palmitat antara 0,850 sampai 0,855 pada 25 oC sesuai
dengan standar Amerika dan Eropa. Indeks bias isopropil palmitat antara 1,4350
sampai 1,4390 pada 20 oC. Toksikologi isopropil palmitat diketahui berdasarkan
57
sifat sebagai berikut: LD50 (tikus, IP) sebaesar 0,1 g/kg, LD50 (kelinci, kulit)
lebih dari 5 g/kg, dan LD50 (mencit, oral) lebih dari 5 g/kg. Secara umum
isopropil palmitat merupakan materi tidak beracun dan tidak melakukan iritasi.
Penyimpanan isopropil palmitat menuntut kondisi yang gelap, karena
meteri ini memang sensitif terhadap cahaya. Isopropil palmitat menuntut resistan
terhadap oksidasi dan hidrolisis, dan tidak dapat berubah menjadi tengik, namun
demikian disarankan tempat penyimpanannya tertutup dengan baik

i. Etil Pentanoat
Etil pentanoat merupakan komponen organik digunakan dalam perasa
yang tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol dan dietil eter. Digunakan
sebagai zat aditif makanan untuk memberi aroma buahbuahan khususnya apel.

Gambar 5. 13 Etil pentanoat

5.8 Transesterifikasi Ester Asam Lemak Melalui Pemanfaatan Teknologi


Lipase

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa dan kelapa sawit
dunia dengan kontribusi tinggi sebagai komoditi ekspor. Saat ini, areal
perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan cukup pesat. Seiring dengan
meningkatnya luas areal, produksi minyak sawit mentah (CPO) juga terus
meningkat (Latief, 1991). Minyak sawit telah banyak digunakan dalam industri
pangan dan non pangan sebagai bahan baku industri farmasi, kosmetika, deterjen
dan surfaktan (Ghosh dan Bhattacharyya, 1995; Tucker dan Woods, 1995).

Asam lemak dan ester asam lemak berantai pendek juga bermanfaat
sebagai senyawa aromatik penyedap rasa (Kosugi dan Azuma, 1994; Singh dkk.,
58
1994). Metil dan etil ester asam lemak berantai panjang bermanfaat untuk
produksi alkohol lemak serta bahan bakar pengganti untuk motor bermesin disel
(Linko dkk., 1994). Asam lemak tidak jenuh berantai panjang, antara lain asam
oleat, linoleat, linolenat dan arakhidonat (Ketaren, 1986), bahkan bermanfaat
untuk pencegahan dan penyembuhan berbagai penyakit yang berkaitan dengan
sistem peredaran darah antara lain trombosis dan ateroklerosis (Shirasaka dan
Shimizu, 1995; Posorske, 1984).

Produksi ester alkohol berantai panjang dari asam lemak dengan cara
esterifikasi dan alkoholisis oleh katalisator kimia sudah tidak diragukan lagi.
Proses secara kimiawi tersebut memiliki keterbatasan, antara lain asamasam dari
jenis yang lebih tidak jenuh akan mengalami polimerisasi atau perubahan-
perubahan lain selama proses esterifikasi (Sil-Roy dan Bhattacharyya, 1993).
Asam lemak dengan grup-grup fungsional seperti epoksi dan hidroksi sulit sekali
untuk diesterifikasi tanpa merusaknya terlebih dahulu. Katalisis ester yang sulit
dilakukan dengan metode kimiawi tersebut menjadi sederhana dengan
pemanfaatan teknologi enzimatik lipase (Bailey, 1950; Sulistyo dkk., 2000). Pada
penelitian ini enzim lipase digunakan sebagai biokatalisator pada reaksi hidrolisis
dan transesterifikasi trigliserida dari minyak sawit mentah dan santan kelapa
dengan alkohol atau pelarut organik lainnya untukmensintesis produ k transfer
berupa ester asam lemak.

Bahan-bahan yang digunakan pada proses ini adalah :

- Ekstraksi enzim lipase dari mikroba

Biakan mikroba penghasil enzim lipase terdiri dari Bacillus subtilis FM-
9101, Candida rugosa FM-9301, dan Pseudomonas aerogenes FM-9201
ditumbuhkan secara terpisah. Media basal untuk memproduksi enzim
mengandung pepton 0,5%, K2HPO4 0,1%, NaCl 0,05%, MgSO4 0,05%, FeSO4
0,001%, ZnSO4 0,0001%, CuSO4 0,0001%, MnSO4 0,0001%, ekstrak khamir
59
0,5% (Cowan, 1981; Sulistyo dkk., 1999) dan masing-masing bahan penginduksi
(minyak zaitun) sebanyak 2,0%, pada 10 Mm bufer Na-fosfat pH 4,5-6,5. Media
produksi digoyang pada suhu ruang selama 5 hari, kemudian disentrifus pada
kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada 4°C dan supernatan digunakan
sebagai sumber enzim.

- Uji aktivitas enzimatik lipase

Minyak zaitun sebanyak 1,0 mL dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100


mL, lalu ditambahkan berturut-turut 0,5 mL CaCl2 0,1 M dan 4,5 mL bufer asetat
0,1 M (pH 5,5). Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 40°C selama 10 menit,
kemudian ditambahkan enzim lipase sebanyak 10% (v/v) dari masing-masing
biakan dan diinkubasi kembali pada suhu 40°C dengan digoyang pada kecepatan
160 rpm selama 30 menit. Selanjutnya, campuran reaksi ditambah 20 mL etanol
dan 3 tetes indikator fenolptalin serta dititrasi dengan NaOH 0,05 M sampai
terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Satu unit aktivitas enzim lipase
setara dengan 1 μmol asam lemak bebas yang dihasilkan dari hidrolisis substrat
yang dikatalisis oleh enzim lipase selama 30 menit.

- Pengaruh pH dan suhu pada aktivitas enzimatik lipase

Campuran reaksi (dalam erlenmeyer 100-mL) mengandung 1,0 mL


minyak zaitun, 0,5 mL CaCl2 0,1 M dan 4,5 mL 0,1 M bufer asetat pada pH 4,0-
8,0, diinkubasikan pada suhu 30-60°C dengan cara digoyang pada kecepatan 160
rpm selama 30 menit. Selanjutnya, aktivitas residu enzim lipolitiknya diuji
sebagaimana cara pengujian aktivitas enzimatik tersebut di atas.

- Analisis asam lemak bebas (ALB)

Kadar asam lemak bebas ditentukan dengan mengukur sebanyak 5,0 g


sampel minyak dalam campuran alkoholbenzena (25: 25, v/v). Campuran larutan
60
ditrasi dengan KOH-alkohol (0,1N) menggunakan indikator fenolptalin. Titrasi
dilakukan sampai larutan berubah menjadi merah muda. Persentase ALB pada
setiap sampel diperoleh dari hasil penghitungan volume larutan titrant terhadap
bobot molekul minyak.

- Kromatografi gas (GC)

Campuran reaksi dianalisis secara kuantitatif menggunakan kromatografi


gas (GC) dengan menimbang sebanyak 0,02-0,05 g sampel dan dilarutkan dengan
2,0 mL NaOH dalam metanol 0,5 M, kemudian dipanaskan pada suhu 80°C
selama 20 menit. Setelah penambahan larutan BF3 dalam metanol sebanyak 2,0
mL, sampel dipanaskan kembali pada suhu 80°C selama 20 menit dan selanjutnya
ditambahkan NaCl jenuh dan heksan, masingmasing sebanyak 2,0 mL. Sampel
(2,0 μl) dimasukkan dalam kolom silikagel GC. GC dijalankan dengan pelarut H2
(g) dan N2 (g) pada suhu awal 150°C dan suhu injektor 200°C. Deteksi sampel
diukur dengan FID pada suhu 250°C.

- Reaksi hidrolisis enzimatik

Substrat (50 g minyak asam) ditempatkan dalam gelas erlenmeyer 100


mL diinkubasikan dengan 25% (v/v) larutan enzim lipase dalam buffer pada suhu
50°C dan digoyang pada 100 rpm diatas shaker selama 24 jam. Reaksi hidrolisis
yang terjadi diestimasi dengan pengukuran kandungan asam lemak bebas (ALB)
pada setiap sampel,yang dianalisis. Emulsi lemak dihancurkan dengan cara
pemanasan pada suhu 80°C dan lapisan lemak yang mengandung enzim dan
gliserol dipisahkan dengan cara sentrifugasi. ALB sebagai produk hidrolisis yang
terkandung dalam lapisan lemak selanjutnya dianalisis.

61
- Reaksi transesterifikasi ester asam lemak

Substrat CPO dan pelarut alkohol (etanol, metanol, propanol, butanol konsentrasi
10-25%) atau buffer sebagai kontrol dalam gelas erlenmeyer 100-mL diinkubasi
dengan 25% larutan enzim lipase dari beberapa biakan mikroba (B. subtilis, C.
rugosa dan P. aerogenes) dengan cara dikocok menggunakan pengocok magnetis
pada suhu 50°C selama 24 jam. Campuran produk (masing-masing sebanyak 2,0
mL) disaring untuk memisahkannya dari kotoran yang tidak terlarut. Hasil reaksi
dianalisis secara kualitatif menggunakan kromatografi lapis tipis (TLC; thin layer
chromatography) dan secara kuantitatif menggunakan GC. TLC. Sampel
diencerkan dengan etanol dengan perbandingan 1:10. Sebanyak 0,01 mL sampel
encer digunakan untuk analisis TLC. Untuk mengetahui spot produk yang
terkromatografi, plat TLC dikembangkan dalam larutan heksan:dietil eter:asam
asetat (80:20:1) selama satu jam.

Setelah dikeringkan, plat TLC disemprot dengan 0,1% 2’,7’- diklorofluoresin


dalam 99,5% etanol dan selanjutnya diamati pada panjang gelombang 254 dan
360 nm. GC. Sampel (2,0 μL) dimasukkan dalam kolom silikagel GC. GC
dijalankan dengan pelarut H2 (g) dan N2 (g) pada suhu awal 150°C dan suhu
injektor 200°C. Deteksi cuplikan diukur dilakukan dengan FID pada suhu 250°C.

Isolat yang dipilih untuk pengujian aktivitas lipolitik adalah bakteri yang
diisolasi dari sampel limbah mengandung minyak. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa dari beberapa isolat yang telah diidentifikasi, tiga biakan
penghasil enzim lipase yaitu C. rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes menunjukkan
aktivitas lipolitik secara signifikan, masing-masing sebesar 32.10 U/mL, 37,05
U/mL dan 36,08 U/mL, setelah ketiga biakan tersebut diprakulturkan pada
substrat mengandung minyak zaitun 2% dan pada suhu ruang (Sulistyo dkk.,
2001).

62
Hasil uji pengaruh pH dan suhu pada perumbuhan enzim lipase dari
berbagai sumber biakan menunjukkan bahwa pH dan suhu optimal untuk aktivitas
enzim lipasedari C. Rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes masing-masing adalah
pada pH 4,5 (5,14 μmol/menit) dan suhu 45°C (5,33 μmol/menit), pada pH 7,0
(masing-masing 5,81 μmol/menit dan 5,85 μmol/menit), dan pada suhu 40°C dan
45°C (masing-masing 5,98 μmol/menit dan 5,92 μmol/menit) (Gambar 1 dan 2).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber enzim lipase berpengaruh pada
proses transesterifikasi, meskipun pada konsentrasi 10-25% pengaruh enzim tidak
signifikan.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa enzim lipase dari biakan tertentu


dapat bekerja secara efektif dan efisien sebagai biokatalisator pada proses
transesterifikasi (Herawan dan Eka, 1996), karena kondisi media bagi aktivitas
enzimatik menjadi optimal, sehingga terjadi proses penguraian trigliserida yang
diikuti pembentukan asam lemak yang diperlukan untuk sintesis ester asam
lemak. Terjadinya reaksi transesterifikasi dapat dianalisis berdasarkan
perbandingan jumlah gugus hidroksil pada substrat sebelum dan sesudah reaksi
enzimatik.

Pada reaksi hidrolisis, penambahan enzim lipase dari C. rugosa dapat


menurunkan kadar ALBsebanyak 25%., sedangkan penambahan enzim lipase dari
B. subtilis dan P. aerogenes hanya menurunkan kadar ALB sekitar 6-7%. Akan
tetapi dengan penambahan santan kelapa atau butanol sebagai pelarut organik,
penurunan kadar ALB substrat mencapai 29-30%, bahkan hingga 34% pada
substrat dengan penambahan butanol yang direaksikan dengan enzim lipase dari
C. rugosa.

Secara kualitatif terjadinya reaksitransglikosilasi dapat ditandai dengan


adanya pembentukan spot-spot sebagai produk transfer (PT) yang terdeteksi pada
kromatogram hasil analisis TLC. Ester asam lemakyang memiliki polaritas lebih
tinggi, memiliki spot kromatogram dengan nilai-Rf yang lebih tinggi (0,82)
63
dibanding nilai-Rf produk asam lemak bebas hasil hidrolisis trigliserida pada CPO
antara lain stearat (Rf 0,59), palmitat (Rf 0,46), linoleat (Rf 0,25), linolenat (Rf
0,09) dan oleat (Rf 0,04).

Gambar 3. Kromatogram TLC hasil reaksi enzimatik lipase pada


substrat CPO dan butanol. Keterangan: 1. Kontrol, 2. C. rugosa, 3.
B. subtilis, 4. P. aerogenes.

Gambar 4 menunjukkan kondisi campuran reaksi mengandung substrat


CPO setelah penambahan pelarut alkohol (metanol, etanol, butanol dan propanol)
10-25%, dinkubasi dengan enzim lipase dari C. rugosa selama 48 jam. Secara
kualitatif terjadinya reaksi transesterifikasi ditunjukkan dengan adanya
pembentukan ester asam lemak yang memiliki polaritas dan solubilitas lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol (buffer) yang tidak diberi penambahan pelarut
alkohol (Saifuddin dan Chua, 2004). Campuran reaksi menunjukkan terjadinya

64
perubahan sifat kelarutan yang lebih baik, ditandai dengan tingginya kadar asam
lemak tidak jenuh dari golongan oleat, linoleat dan linolenat (Tabel 2) sebagai
produk asam lemak bebas hasil hidrolisis trigliserida secara enzimatik pada CPO.

Gambar 4. Campuran reaksi mengandung substrat CPO dan


beberapa pelarut alkohol sebagai akseptor reaksi transesterifikasi
dengan enzim lipase dari biakan C. rugosa.

Hasil analisis kromatografi gas pada substrat CPO yang telah direaksikan
dengan butanol dan enzim lipase dari C. rugosa, menunjukkan bahwa komposisi
kandungan asamlemak tidak jenuh yang merupakan asam lemak
esensial,mterbentuk lebih tinggi dibanding kandungan asam lemak jenuh. Hasil
tersebut memberi indikasi bahwa komposisi asam lemak bebas pada substrat CPO
sebelum dan sesudah mengalami reaksi transesterifikasi, mengalami perubahan
yang nyata. Reaksi transesterifikasi menggunakan butanol dengan enzim lipase
dari C. Rugosa dapat meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh yaitu asam
oleat, linoleat dan linolenat, masing-masing sebesar 19%, 29% dan 42%, serta
menurunkan asam lemak jenuh, yaitu laurat dan palmitat masing-masing sebesar
87% dan 45%, akan tetapi sebaliknya kandungan asam lemak jenuh stearat juga
meningkat sebesar 53%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh

65
komponen asam lemak tidak jenuh dapat ditingkatkan mengikuti penurunan
kandungan sebagian asam lemak jenuh.

Sebaliknya Reaksi enzimatik menggunakan butanol dengan enzim lipase


dari B. subtilis dan P. aerogenes tidak dapat meningkatkan kandungan asam
lemak tak jenuh yang terdiri dari asam oleat, linoleat dan linolenat, meskipun
dapat menurunkan asam lemak jenuh, khususnya asam laurat dan palmitat,
masing-masing sebesar 96% dan 62% (B. subtilis) serta 97% dan 69% (P.
aerogenes). Peningkatan kandungan asam stearat juga terjadi meskipun tidak
terlalu besar. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa sumber enzim berpengaruh
terhadap peningkatan atau penurunan kandungan asam lemak bebas secara cukup
signifikan pada ketersediaan akseptor butanol.

Perubahan komposisi dan kandungan asam lemak bebas yang terdapat


pada substrat CPO belum optimal, sehingga masih dapat ditingkatkan lagi
mengingat tingginya kandungan asam palmitat pada CPO (40-46%) belum
sepenuhnya dapat termanfaatkan dengan baik. Untuk meningkatkan reaksi
transesterifikasi secara lebih efektif dan efisien, diperlukan optimasi perihal
sumber enzim dari berbagai sumber biakan mikroba, khususnya dari golongan
termofilik dan alkalotoleran, serta kondisi optimum inkubasi maupun jenis pelarut
organiknya, agar seluruh kandungan asam lemak jenuh yang terdapat dalam
substrat dapat ditransferkan menjadi ester asam lemak secara optimal (Winarno,
1987).

Indikasi tersebut didasarkan pada asumsi apabila efektivitas enzim pada


reaksi transesterifikasi menjadi sangat tinggi, maka kandungan asam lemak tidak
jenuh akan meningkat, sehingga minyak akan tetap mencair pada suhu ruang dan
fungsinya sebagai bahan berminyak dapat dimanfaatkan secara optimal, antara
lain sebagai senyawa aromatik penyedap rasa, untuk produksi alkohol lemak atau
untuk pemanfaatan sebagai produk farmaka yang berfungsiuntuk pencegahan dan

66
penyembuhan penyakit yang berkaitan dengan sistem peredaran darah, antara lain
trombosis dan arteriosklerosis.

Penelitian ini membuktikan bahwa asam lemak pada minyak sawit


mentah (CPO) dan minyak kelapa, dapat direaksikan secara transesterifikasi
menggunakan enzim lipase yang diekstraksi dari biakan mikroba, antara lain C.
rugosa, B. subtilis dan P. aerogenes menjadi ester asam lemak, pada ketersediaan
butanol sebagai pelarut organik. Selain itu, reaksi transesterifikasi dengan enzim
lipase dari C. rugosa juga menyebabkan terjadinya perubahan pada kandungan
asam lemak bebas. Perubahan cukup signifikan yang ditunjukkan oleh adanya
penurunan beberapa komponen asam lemak jenuh, diikuti dengan peningkatan
beberapa komponen asam lemak tidak jenuh sebagai asam lemak esensial,
memberikan indikasi yang prospektif perihal pemanfaatan enzim lipase dari
biakan mikroba.
5.9 Proses Perengkahan Katalitik Metil Ester Dari Minyak Biji Karet
Menggunakan Asam Sulfat Sebagai Alternatif Pembuatan Biogasoline
Dewasa ini penggunaan bensin sebagai bahan bakar kendaraan bermotor
menunjukan perkembangan yang pesat. Bensin banyak digunakan sebagai bahan
bakar kendaraan baik mobil dan sepeda motor. Peningkatan jumlah kendaraan
berbahan bakar bensin juga mengakibatkan kebutuhan bahan bakar bensin
semakin tinggi pada tahun 2006 (17,47 juta kiloliter) dan diperkirakan pada tahun
2010 sebesar 22,5 juta kiloliter (Indartono, 2006 : 3), padahal persediaan minyak
bumi sebagai bahan mentah bensin semakin menipis. Pada Peraturan Presiden
Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemanfaatan bahan
bakar nabati (biofuel) ditargetkan 5% pada tahun 2025 (Widodo, 2006 : 1). Oleh
karena itu perlu dicari sumber bensin alternatif sehingga dapat mencukupi
kebutuhan bensin di Indonesia.

Sumber bahan bakar alternatif untuk menghasilkan bensin diupayakan


berasal dari bahan nabati. Seperti halnya biodiesel, minyak nabati dapat
digunakan sebagai biogasoline. Minyak nabati dapat diperoleh dari macammacam
67
tumbuhan, contohnya minyak biji karet, minyak sawit, minyak kelapa, minyak
jarak, minyak kelor, minyak biji matahari, dan minyak biji kapuk. 2 Pemilihan
minyak biji karet sebagai bahan baku pembuatan biogasoline disebabkan di Jawa
Tengah banyak sekali limbah biji karet yang masih terbatas kegunaannya, sebagai
mainan ketapel anak-anak dan minyak masak/minyak lampu, bahkan cenderung
dibuang. Peneliti melihat peluang adanya kemampuan biji karet tersebut untuk
diambil minyaknya (37,5%) (Loo, 1990 : 33). Dengan mengembangkan minyak
biji karet sebagai bahan baku pembuatan biogasoline, maka sumber daya alam
Indonesia yang melimpah tersebut dapat diolah menjadi valuable product yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Minyak biji karet yang digunakan untuk
pembuatan bahan baku biogasoline merupakan hasil pengepresan biji karet.

Minyak biji karet ataupun minyak nabati pada umumnya memiliki


kekentalan yang relatif tinggi dan mengandung asam lemak bebas lebih dari 2%
dibandingkan dengan minyak solar dari fraksi minyak bumi Kekentalan dan kadar
asam lemak bebas ini dapat dikurangi dengan memutus percabangan rantai karbon
tersebut melalui proses transesterifikasi menggunakan alkohol rantai pendek,
misalnya metanol atau etanol (Setyawardhani, 2003 : 7). Metanol lebih disukai
karena memiliki reaktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan etanol.
(www.journeytoforever.org, 2003).

Reaksi transesterifikasi berjalan lambat, maka diperlukan katalis untuk


menurunkan energi aktivasi dan mempercepat reaksi. Katalis dapat berupa asam,
basa, atau enzim (Groggins, 1958; Ming et al., 1999; Kose dan Tuter, 2002 :77).
Pada proses transesterifikasi, katalis basa memiliki keunggulan dibandingkan
dengan katalis asam dari segi kecepatan, kesempurnaan reaksi, dan tidak 3
memerlukan suhu operasi yang tinggi untuk menjalankan reaksi. Suhu operasi
yang relatif rendah memberikan keuntungan berupa kebutuhan energi untuk
proses rendah pula sehingga akan menurunkan biaya operasi (Swern, 1982 : 83).

68
Dalam perindustrian minyak, bensin dihasilkan dari perengkahan
katalitik dengan menggunakan katalis. Katalis yang biasa digunakan adalah
katalis asam. Dengan cara yang sama metil ester dari minyak biji karet selanjutnya
mengalami perengkahan katalitik dengan menggunakan katalis asam untuk
menghasilkan bensin, seperti halnya pada industri minyak bumi. Perengkahan
katalitik ini memiliki banyak keunggulan dibanding dengan perengkahan termal
(Speight, 1991 : 66), diantaranya dapat menghasilkan bensin dengan bilangan
oktana yang lebih tinggi.

Metil ester memiliki ikatan rangkap sehingga lebih mudah mengalami


perengkahan dengan katalis asam sulfat. Ikatan rangkap pada metil ester inilah
yang nantinya mengalami perengkahan menjadi senyawa yang lebih pendek.
Inisiator Metil Etil Keton Peroksida akan membuat metil oleat dan metil linoleat
menjadi radikal bebas yang mempermudah reaksi perengkahan oleh katalis asam
sulfat. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan diantaranya Ramadhas, dkk
(2005) melakukan dua tahap esterifikasi untuk memproses minyak biji karet
mentah (unrefined rubber seed oil) menjadi biodiesel. Pada penelitian Moestika,
dkk (2004) meneliti biogasoline dari minyak sawit melalui perengkahan dengan
katalis alumina menghasilkan berat molekul yang masih tinggi. Demikian
pulayang dilakukan oleh Handayani (2004) membuat biogasoline dengan katalis
yang 4 lain yaitu menggunakan katalis zeolite.

Produk biogasoline yang didapat memiliki bilangan oktana yang lebih


tinggi (rata-rata 114) dibandingkan bensin (88) tetapi viskositas dan densitas
produk masih terlalu tinggi.

a. Bensin

Bensin merupakan campuran hidrokarbon kompleks yang memiliki


rentang titik didih 180- 200°C. Bensin memiliki sruktur molekul yang terdiri dari
campuran 4-12 atom karbon. Senyawa yang terdapat dalam bensin terdiri dari
69
parafin (sikloparafin dan paraffin bercabang), olefin, dan aromatik. Bensin
dihasilkan dari distilasi fraksinasi minyak bumi dan pemisahannya berdasarkan
perbedaan titik didih. Destilasi secara fraksional menghasilkan 250 mL bensin
rantai lurus (straight-run gasoline) untuk setiap liter minyak mentah (Semar, 2006
: 21). Selain destilasi fraksional, bensin juga diproses melalui reaksi perengkahan,
reformasi, alkilasi, dan isomerisasi. Proses reformasi, alkilasi, dan isomerisasi
dimaksudkan untuk menghasilkan bensin dengan mutu yang lebih baik yaitu
meningkatkan bilangan oktana.

Spesifikasi Bensin

Bensin sebagai bahan bakar kendaraan bermotor harus memenuhi


beberapa spesifikasi untuk meningkatkan efisiensi mesin dan mengurangi dampak
negatif dari gas yang dibuang. Gas hasil pembakaran dapat menimbulkan berbagai
masalah lingkungan dan kesehatan. Bensin harus memiliki bilangan oktana tinggi
dan bebas dari gas buang yang mengandung zat-zat membahayakan kesehatan dan
lingkungan bila dilepaskan ke udara.

Spesifikasi bensin yang digunakan sebagai bahan bakar telah ditetapkan


melalui Surat Keputusan Direktorat Jendral Minyak dan gas Bumi No.
22K/72/DDJM/1990 dan No. 18K/72/DDJM/1990. Bensin dispesifikasikan
menurut parameter-parameter yang diperlukan bensin sesuai dengan
penggunaannya. Parameter-parameter tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu sifat
pembakaran, sifat volatilitas, dan sifat stabilitas kebersihan.

Sifat Pembakaran

Karakteristik utama yang diperlukan dalam bensin adalah sifat


pembakarannya yang diukur dengan bilangan oktana. Bilangan oktana merupakan
kecenderungan bensin untuk mengalami pembakaran yang tidak normal sehingga
mengalami ketukan pada mesin. Semakin tinggi bilangan oktana semakin
70
berkurang kecenderungannya untuk mengalami ketukan dan semakin tinggi
kemampuannya untuk digunakan pada rasio kompresi tinggi tanpa mengalami
ketukan.

Bilangan Oktana diukur dengan menggunakan mesin CFR (Cooperative


Fuel Research) yang dioperasikan pada kondisi tertentu. Bahan bakar yang
dihasilkan dibandingkan dengan bahan bakar rujukan yang terbuat dari n-heptana
yang memiliki bilangan oktana 0 dan isooktana yang memiliki bilangan oktana
100. Secara umum, bilangan oktana menyatakan presentasi isooktana dalam bahan
bakar rujukan yang memberikan intensitas kekuatan yang sama pada mesin uji.
Ada dua macam bilangan oktana yaitu RON (Research Octane Number) yang
memberikan gambaran mengenai unjuk kerja dalam kondisi pengendara biasa dan
8 MON (Motor Octane Number) yang memberikan unjuk kerja dalam kondisi
pengendara yang lebih berat. Sehingga bilangan oktana dapat ditulis dengan
rumus:

Bilangan Oktana = RON + MON


2

Cara mendapatkan bensin dengan bilangan oktana cukup tinggi dilakukan dengan.
1. Memilih minyak bumi yang memiliki kandungan aromatik yang tinggi dalam
trayek didih bensin.
2. Meningkatkan kandungan aromatik melalui pengolahan reformasi, atau alkana
bercabang, atau olefin bertitik didih rendah.
3. Menambahkan aditif peningkat bilangan oktana seperti timbal aktif. Tetapi
timbel memiliki sifat beracun yang sangat berat sehingga penggunaan timbel
dapat diganti dengan MTBE (methyl-tertiary-buthyleter) dan TBA (tertiary-
buthyl-alcohol) (Soemarwoto, 2006 : 2).
4. Menggunakan komponen yang memiliki bilangan oktana tinggi misalnya
alkohol atau eter.

71
Sifat Volatilitas

Ada tiga sifat volatilitas yang biasanya digunakan dalam spesifikasi


bensin antara lain kurva distilasi, tekanan uap, dan perbandingan V/L. Kurva
destilasi dihasilkan dari destilasi bensin menurut metode ASTM yang berkaitan
dengan masalah operasi dan unjuk kerja kendaraan bermotor. Bagian ujung depan
kurva destilasi berkaitan dengan kemudahan mesin dinyalakan pada waktu dingin,
penyalaan pada waktu panas dan kecenderungan mengalami pembentukan es pada
9 karburator. Bagian ujung belakang kurva berkaitan dengan masalah
pembentukan getah bensin, endapan di ruang bakar dan busi serta pengenceran
terhadap minyak pelumas. Sedangkan bagian tengah kurva berkaitan dengan daya
dan percepatan. Kemulusan operasi serta konsumsi bahan bakar. Persyaratan
volatilitas bensin adalah bahan bakar bensin harus mudah menguap pada saat
penyalaan (starting), mudah mencapai pemanasan yang tepat (warm-
up/acceleration), distribusi yang merata pada setiap silinder mesin (fuel
distribution), dan tidak terlalu berat (oil dillution) serta tidak terlalu mudah
menguap agar tidak membentuk sumbatan (vapour lock) pada karburator (Semar,
2006 : 25).

Sifat Kestabilan Dan Kebersihan

Bensin harus bersih, aman, tidak rusak, dan tidak merusak dalam
penyimpanan dan pemakaiannya. Parameter spesifikasi yang berkaitan dengan
sifat ini antara lain zat getah, korosi, dan berbagai uji tentang kandungan senyawa
belerang yang bersifat korosif. Pada bensin yang diuapkan biasanya mengandung
banyak getah pada yang melekat pada mesin dan apabila terjadi pengendapan
yang terlalu banyak akan mengakibatkan kerusakan mesin. Oleh karena itu
kandungan getah pada bensin harus dibatasi. Minyak bumi banyak mengandung
belerang dalam jumlah kecil. Senyawa belerang ini bersifat korosif dan semuanya
terbakar di dalam mesin menghasilkan senyawa belerang oksida yang korosif dan

72
dapat merusak bagian-bagian mesin, selain itu juga beracun dan dapat merusak
lingkungan. Oleh karena itu kandungan belerang pada bensin perlu dibatasi.

Kandungan Hidrokarbon

Senyawa hidrokarbon bensin jenis aromatik, olefin, dan benzena adalah


peningkat angka oktana yang baik tetapi kandungan dalam bensin harus dibatasi
karena dapat menimbulkan pengaruh buruk terhadap mesin dan lingkungan hidup.
Kandungan aromatik dalam bensin mempengaruhi kandungan benzena,
bertambah tinggi semakin tinggi kandungan aromatik dalam bensin semakin
tinggi pula kandungan benzena. Aromatik berlebih akan menimbulkan deposit
dalam di ruang bakar mesin (Combustion chamber deposit), yang beracun. Olefin
dapat menimbulkan deposit pada katup (intake valve deposit) mesin (Semar, 2006
: 25).

Karakteristik Bensin

Ada tiga macam bensin di Indonesia yaitu Premium, Pertamax, dan


Pertamax Plus. Ketiga bensin tersebut mempunyai perbedaan pada bilangan
oktananya
Tabel 2. Bilangan Oktana Bensin Indonesia
No Jenis Bensin Bilangan Oktana
1 Premium 88
2 Pertamax 92
3 Pertamax Plus 95
(Sumber : Dirjen Migas)

73
b. Minyak Biji Karet

Saat ini tanaman karet yang banyak di Indonesia adalah jenis


Brasiliensis, klasifikasi botani tanaman ini adalah sebagai berikut : Divisi :
Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotiledonae
Keluarga : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea Brasiliensis
Karet cukup baik dikembangkan di daerah lahan kering beriklim basah seperti
Indonesia. Tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan
komoditas lainnya, yaitu:
(1) dapat tumbuh pada berbagai kondisi dan jenis lahan, serta masih mampu
dipanen hasilnya meskipun pada tanah yang tidak subur,
(2) n mampu membentuk ekologi hutan, yang pada umumnya terdapat pada
daerah lahan kering beriklim basah, sehingga karet cukup baik untuk
menanggulangi lahan kritis,
(3) dapat memberikan pendapatan harian bagi petani yang mengusahakannya, dan
(4) memiliki prospek harga yang cukup baik, karena kebutuhan karet dunia
semakin meningkat setelah Cina membuka pasar baru bagi karet Indonesia
(http://primatani.litbang.deptan.go.id, 2006).

74
Gambar 1. (a) Biji karet tanpa cangkang, (b) Biji Karet Dengan
Cangkang

Indonesia sebagai negara penghasil karet alam (38% produksi karet


dunia) memiliki perkebunan karet yang sangat luas. Biji karet terdapat di setiap
ruang buah. Jumlah biji biasanya tiga, kadang enam, sesuai dengan jumlah ruang.
Ukuran biji besar dengan kulit keras. Warna biji coklat kehitaman dengan bercak
pola yang khas. Biji terdiri dari 51% kulit dan inti 49%, akan tetapi hanya
memberikan rendemen 43,5% minyak mentah (Loo, 1990 : 3). Minyak biji karet
mentah (unrefined rubber seed oil) diperoleh dari biji. Minyak yang didapat
langsung dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed), yang
kemudian disaring dan dikeringkan disebut sebagai minyak lemak mentah
(Soeradjaja, 2005 : 3). Minyak lemak mentah diproses lanjut guna menghilangkan
kadar gum (degumming) dan asam-asam lemak bebas (dengan netralisasi dan
steam refining) disebut refined fatty oil (Soeradjaja, 2005 : 43). Minyak tersebut
berwarna kuning muda dengan massajenis 0,924-0,930 kg/L. Minyak yang
mempunyai angka iodine tinggi (>115 gram I2/100 gram) mempunyai kadar asam
linolenat besar (>12%) dan bilangan penyabunan 190-195 mg-KOH/g (Hilditch,
1986 : 37). Asam-asam lemak minyak biji karet ini sangat bermanfaat bagi
kesehatan manusia.

Asam lemak juga merupakan bahan yang mudah terbakar dan bila
diproses dengan alkoholisis dapat bermanfaat sebagai biodiesel, sedangkan
75
gliserol banyak digunakan dalam industri makanan, farmasi, kosmetika, bahan
peledak dan lain-lain. Meskipun minyak biji karet mempunyai prospek ekonomi
yang menjanjikan, tetapi studi mengenai pengolahannya belum banyak dilakukan.
Keunggulan-keunggulan dimiliki oleh tanaman karet, maka minyak biji karet
dipandang potensial untuk diolah menjadi bahan bakar alternatif pada mesin
motor yaitu biogasoline untuk skala komersial. Sejauh ini penggunaan minyak biji
karet sebagai bahan baku dalam sintesis biogasoline belum pernah dilakukan.

Dengan mengolah minyak biji karet menjadi biogasoline akan diperoleh


banyak keuntungan, yaitu sebagai upaya untuk mengatasi krisis energi dengan
jalan mengembangkan biofuel alternatif untuk masa depan. Selain itu, biogasoline
dari minyak biji karet merupakan upaya pengembangan sumber daya hayati yang
melimpah di Indonesia menjadi produk yang strategis dan bernilai ekonomis
tinggi.

Tabel 4. Komposisi Asam Lemak Minyak Biji Karet


Komponen % berat
Asam palmitat (C16H32O2) 16:00 7,5-10,6

Asam stearat (C18H36O2) 18:00 8,6-23,8

Asam Arachidat(C20H40O2) 20:00 0,3-1,3

Asam Oleat (C18H34O2) 18:01 17,2-30,0


Asam Linoleat (C18H32O2) 18:02 30,0-39,0

Asam Linolenat (C18H30O2) 18:03 21,0-26,0


(Hilditch, 1986)

76
2. 3 Metil Ester

Metil ester adalah senyawa ester yang mengikat gugus metil, senyawa ini
merupakan minyak mentah (crude oil) karena masih mengandung pengotor (sisa
katalis, metanol, gliserol, dan sabun). Metil ester dapat dibuat dengan proses
transesterifikasi. Reaksi transesterifikasi merupakan metode memproduksi metil
ester dari refined fatty oil yang saat ini paling umum. Metode ini dapat
menghasilkan fatty acid methyl Ester (FAME) hingga 98% dari bahan baku
minyak tumbuhan (Bouaid, dkk, 2005 : 65). Ramadhas, dkk (2005 : 335)
melakukan dua tahap esterifikasi untuk memproses minyak biji karet mentah
(unrefined rubber seed oil).

2. 3.1 Esterifikasi

Esterifikasi adalah reaksi untuk mengubah senyawa karboksilat menjadi


senyawa ester. Reaksi esterifikasi dapat dilakukan dengan mereaksikan asam
lemak bebas dengan alkohol membentuk ester dan air. Pada tahap ini merupakan
tahapan awal menggunakan katalis asam untuk menurunkan kadar asam lemak
bebas hingga 2%. Asam sulfat (sulphuric acid) 0,5% berat dan alkohol umumnya
metanol dengan rasio molar antara alkohol dan minyak sebesar 6:1 terbukti
memberikan hasil konversi yang baik. Selain untuk menurunkan kadar asam,
perlu dilakukan pengurangan kadar air. Reaksi esterifikasi menggunakan katalis
asam dapat dilihat pada Persamaan [1].

O O

R C OH R OH R C OR H2O

Asam lemak Alkohol Kalor Ester Air

77
2. 3. 2 Esterifikasi Alkalin
Proses transesterifikasi merupakan proses lanjutan esterifikasi dengan
mereaksikan minyak prduk esterifikasi dengan metanol dan katalis alkalin. Reaksi
transesterifikasi merupakan proses penggantian gugus alkoksi dari ester dengan
alkohol lain. Bila ester direaksikan dengan suatu alkohol, maka proses
transesterifikasi ini disebut reaksi alkoholisis. Alkohol rantai pendek yang
digunakan untuk reaksi esterifikasi adalah metanol dan etanol. Metanol lebih
disukai karena murah dan memiliki reaktivitas lebih tinggi dari pada etanol. Hasil
dari reaksi transesterifikasi antara trigliserida dengan metanol ini adalah senyawa
fatty acid methyl ester (FAME). Perbandingan molar antara alkohol dan produk
tahap pertama sebesar 9:1. Reaksi transesterifikasi (Persamaan [2]) menggunakan
katalis basa (oksida logam, hidroksida dari natrium atau kalium karbonat) lebih
cepat dari pada katalis asam.

Reaksi transesterifikasi antara minyak dengan alkohol merupakan reaksi


kesetimbangan yang menghasilkan gliserol dan campuran alkil ester. Pada reaksi
kesetimbangan maka untuk mendapatkan metil ester yang besar, metanol yang
digunakan dibuat berlebih atau menghilangkan salah satu produk dari campuran
reaksi agar kesetimbangan bergeser ke arah kanan (produk). Penggunaan metanol
yang berlebih akan mengakibatkan sulitnya recovery gliserin sehingga diperlukan
perkiraan rasio metanol dengan minyak nabati yang tepat untuk setiap proses.
Pada reaksi transesterifikasi, trigliserida diubah secara bertahap menjadi
digliserida, monogliserida, dan akhirnya gliserin seperti terlihat pada persamaan
[3]. Setiap satu mol ester dihasilkan dalam tiap tahap. Reaksinya bersifat
reversibel, meskipun kesetimbangan mengarah pada pembentukan ester asam
lemak dan gliserin.

Trigliserida (TG) + CH3OH Digliserida (DG) + R1COOCH3


Digliserida (DG) + CH3OH Monogliserida (MG) +
R2COOCH3
Monogliserida (MG) + CH3OH Gliserida (G) + R3COOCH3
78
Dengan adanya katalis (baik asam ataupun basa kuat) dapat mempercepat
tercapainya kesetimbangan. Dalam usaha untuk menghasilkan produk ester yang
banyak, maka metanol dibuat berlebihan. Adapun mekanisme reaksi
transesterifikasi dengan katalis basa adalah disajikan pada persamaan [4].

CH3OH + KOH CH3O- + KOH2+

Mekanisme reaksi transesterifikasi dengan katalis basa menghasilkan


alkoksida dan katalis terprotonkan. Senyawa nukleofilik yang terbentuk akan
menyerang alkoksida pada gugus karbonil sehingga pada trigliserida
menghasilkan senyawa tetrahidrat yang kemudian terbentuk alkil ester dan anion
digliserida. Katalis mengalami deprotonisasi sehingga terbentuk katalis yang aktif
kembali, yang dapat bereaksi dengan molekul alkohol berikutnya, dan siklus
katalitik akan dimulai lagi. Digliserida dan monogliserida akan dikonversi
menjadi alkilester dan gliserol dengan mekanisme yang sama. Dalam proses
transesterifikasi minyak biji karet melibatkan beberapa reaksi:

1. Reaksi transesterifikasi, merupakan reaksi utama yang bersifat anhidrat.


2. Reaksi netralisasi, merupakan reaksi samping yang tidak dapat dihindari
yaitu pembentukan sabun dan air.
3. Reaksi safonifikasi, merupakan reaksi samping yang tidak diinginkan,
disebabkan adanya air.

Rubber seed oil + alkohol Ester + gliserol


Fatty acid + alkali Sabun + Air
Rubber seed oil + alkali Sabun +gliserol.

79
Metil Ester yang dihasilkan dari proses transesterifikasi ini harus
memenuhi beberapa syarat yang dapat dilihat pada Tabel 5.

2. 4 Reaksi Perengkahan

Reaksi perengkahan merupakan reaksi yang mengkonversi rantai


hidrokarbon panjang menjadi rantai hidrokarbon yang lebih pendek dengan
bantuan panas/katalis. Secara umum, reaksi perengkahan dibagi menjadi dua yaitu
reaksi perengkahan radikal/termal dan reaksi perengkahan katalitik.

2. 4. 1. Reaksi Perengkahan Termal/Radikal


Reaksi perengkahan radikal/termal biasanya terjadi pada suhu tinggi
antara 1022-12920F. Pertama terjadi inisiasi atau aktivasi dari parafin melalui
abstraksi hidrogen membentuk radikal bebas. Hal ini dapat dilihat pada persamaan
reaksi. R’● di sini dapat berupa atom hidrogen, radikal metil, dan lain-lain.
Pada proses inisiasi pada olefin terjadi melalui penyerangan radikal bebas pada
ikatan rangkapnya membentuk radikal bebas yang baru.
Selanjutnya, radikal bebas tersebut akan mengalami β scission sehingga olefin dan
sebuah radikal bebas dengan berat molekul yang rendah.
Setelah mengalami reaksi perengkahan, selanjutnya radikal bebas akan berkurang
karena sesama radikal bebas akan saling bergabung membentuk suatu senyawa
atau produk.

2. 4. 2 Reaksi perengkahan Katalitik


Perengkahan katalitik terjadi melalui ion karbonium intermediat.
Perbedaan antara reaksi perengkahan termal dengan reaksi perengkahan katalitik
terletak pada selektivitas penghancuran ikatan (bond rupture). Reaksi
perengkahan katalitik lebih selektif dalam penghancuran ikatan dibandingkan
dengan reaksi perengkahan termal yang lebih random. Dibawah ini akan
dijelaskan secara singkat mengenai mekanisme perengkahan katalitik parafin
dengan menggunakan katalis.
80
2. 4. 2. 1 Inisiasi

Inisiasi terjadi melalui abstraksi ion hidrida dari parafin menghasilkan


suatu ion karbonium.

2. 4. 2. 2 β scission
β scission merupakan suatu reaksi pemisahan heterolitik antar ikatan C-C
yang menghasilkan molekul olefin dengan ikatan yang lebih pendek β scission
merupakan reaksi yang berkebalikan dengan reaksi polimerisasi, karena secara
termodinamika, reaksi polimerisasi tersebut tidak akan terjadi (not favored) pada
temperatur reaksi perengkahan.

2. 4. 2. 3 Isomerisasi
Suatu ion karbonium primer yang baru terbentuk akan menghasilkan
suatu sistem yang kurang stabil dan akan mengalami kecenderungan membentuk
konfigurasi molekul yang lebih stabil melalui reaksi pergerakan hidrida 1,2.
Migrasi hibrida 1,2 alkil atau gap aril menyebabkan isomerisasi
Isomerisasi ini dapat membentuk konfigurasi produk reaksi dari normal menjadi
bercabang. Isomerisasi pada reaksi perengkahan yang akan menghasilkan produk
dengan rantai bercabang, pada bensin/biogasolin rantai bercabang akan
meningkatkan bilangan oktana dan meningkatkan kualitas bensin/gasoline yang
dihasilkan.

2. 5 Katalis Asam Sulfat (H2S04) dan Inisiator MEKP

2. 5. 1 Katalis Asam Sulfat


Katalis merupakan suatu substansi/zat yang mempercepat berlangsungnya
reaksi tanpa dikonsumsi oleh reaksi itu sendiri. Katalis dapat menurunkan energi
aktivasi suatu reaksi sehingga reaksi tersebut dapat lebih cepat mencapai energi
aktivasinya. Terdapat dua jenis katalis, yaitu katalis heterogen dan katalis
homogen. Katalis homogen adalah katalis yng satu fasa dengan reaktannya
81
sedangkan katalis heterogen merupakan katalis yang berlainan fasa dengan
reaktannya. Katalis asam memiliki acid site pada katalis tersebut berupa asam
bronsted atau asam lewis. Asam sulfat merupakan asam kuat dengan 4 atom O
yang memiliki keelektronegatifan yang besar. Semakin banyak atom O yang
terkandung dalam suatu molekul memungkinkan semakin banyak pergerakan
elektron menuju oksigen yang berakibat melemahnya ikatan antara H dan O
dalam molekul.

2. 5. 2 Inisiator Metil Etil Keton Peroksida (MEKP)


Inisiator radikal bebas merupakan substansi kimia yang pada kondisi
tertentu dapat menginisiasi reaksi kimia melalui pembentukan radikal bebas.
Radikal bebas inisiator akan menyerang ikatan rangkap metil ester membentuk
radikal bebas baru yang reaktif sehingga mudah bereaksi dengan katalis asam, hal
ini mengakibatkan reaksi perengkahan dapat berjalan lebih cepat dan lebih hebat
(Chitra, 2004). Inisiator sering disebut sebagai katalis radikal, namun inisiator
tidak sepenuhnya sebuah katalis karena dikonsumsi pada suatu reaksi kimia.
Inisiator yang umum digunakan adalah inisiator peroksida, yaitu metil etil keton
peroksida (Othmer, 1995).

2. 6 Biogasoline Minyak Biji Karet


Seiring dengan menipisnya cadangan energi minyak bumi, perlu
dilakukanupaya memproduksi bahan bakar alternatif yang dapat diperbaharui.
Bahan bakar tersebut harus bersifat ramah lingkungan, berasal dari bahan baku
yang terbarukan dan mudah diperoleh. Salah satu bahan bakar yang prospektif
adalah biogasoline. Biogasoline memiliki sifat yang mirip dengan bensin.
Beberapa keunggulan biogasoline dibandingkan dengan bensin :

a. Biogasoline memiliki bilangan oktana lebih tinggi dibandingkan dengan bensin


sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif seperti MTBE dan TEL
(Handayani, 2004 : 7).

82
b. Biogasoline bersifat ramah lingkungan karena gas buang hasil pembakaran
rendah terhadap senyawa-senyawa yang berpotensi sebagai polutan, seperti
karbon monoksida, karbon dioksida, dan gas-gas rumah kaca.
c. Biogasoline bersifat biodegradable (mudah terurai) dan aman.
d. Biogasoline dapat diperbarui (renewable) karena bahan bakunya berasal dari
bahan baku nabati atau hewani.
Biogasoline minyak biji karet merupakan hasil dari proses perengkahan
metil ester minyak biji karet. Untuk mendapatkan metil ester minyak biji karet
perlu dilakukan beberapa proses pendahuluan.
a. Pengepressan.
Biji karet yang telah dipisahkan dari cangkangnya kemudian diambil
minyaknya dengan menggunakan alat hydrolic press untuk mendapatkan
minyak biji karet murni.
b. Degumming, pencucian, dan pengeringan. Minyak biji karet yang telah didapat
kemudian dilakukan degumming untuk memisahkan gum dari minyak. Proses
selanjutnya dilakukan pencucian pada minyak biji karet untuk mengurangi
kadar gum yang masih terlarut dalam minyak. Tahap pengeringan dilakukan
juga untuk mengurangi kadar air dalam minyak. Hasil dari proses ini adalah
minyak biji karet kualitas tinggi.
c. Esterifikasi bertujuan untuk mengubah senyawa karboksilat (tirgliserida) dalam
minyak biji karet menjadi senyawa ester.
d. Transesterifikasi, terjadi penggantian gugus alkoksi dari ester dengan alkohol
lain.
e. Perengkahan (Cracking). Pada proses ini metil ester hasil dari transesterifikasi
direngkah dengan menggunakan asam sulfat dan inisiator MEKP untuk
menghasilkan rantai karbon yang lebih pendek. Pada tahap ini asam lemak
pada metil ester direngkah pada ikatan rangkapnya karena ikatan rangkap pada
asam lemak memiliki energi ikat lebih rendah dibandingkan dengan ikatan
tunggalnya. Hasil dari proses perengkahan ini adalah senyawa hidrokarbon
dengan rantai lebih pendek (biogasoline).

83
a. Preparasi

Pengepresan Biji Karet

(Bachtiar, 2008:35)
Bertujuan mendapatkan cairan yang terdapat pada biji karet dengan menggunakan
alat hydrolic press.
1. Membersihkan biji karet dari kotoran, kemudian menimbang berat biji karet.
2. Melakukan proses pengepresan dengan memasukkan biji karet ke alat pres
(mesin gerinda) untuk ditekan dan mengeluarkan minyak.
3. Mencatat volume minyak mentah yang diperoleh.

Proses Degumming

(Bachtiar, 2008:35)
Bertujuan untuk memisahkan getah yang terdiri dari fosfatida, protein, residu,
karbohidrat dan resin tanpa mengurangi jumlah asam lemah bebas pada minyak
biji karet.
1. Menimbang 500 gram minyak biji karet kemudian memasukkannya dalam labu
leher tiga.
2. Memanaskan minyak biji karet pada suhu 85°C.
3. Menambahkan asam phosphat pekat sebanyak 0,5 gram (0,1% dari berat
minyak biji karet) dan pengadukan dilakukan selama 30 menit.
4. Memisahkan endapan dari minyak biji karet.
5. Mengukur volume minyak hasil proses degumming.

84
Proses Pencucian
(Bachtiar, 2008 : 36)
Bertujuan untuk mengurangi kadar sabun yang masih terlarut.
1. Memanaskan kembali minyak biji karet pada suhu 85°C.
2. Memanaskan 100 mL aquadest pada suhu 90°C.
3. Mencampurkan minyak biji karet dengan 40 mL aquadest (0,8% dari berat
minyak biji karet) ke dalam corong pemisah.
4. Menggojog campuran selama 3 menit dan membiarkan selama 60 menit sampai
terbentuk 2 lapisan. Minyak di lapisan atas dan air di lapisan bawah.
5. Memisahkan minyak dari air.
6. Melakukan pencucian sebanyak 2 kali.
7. Mengukur volume minyak biji karet hasil pencucian

Proses Pengeringan
(Bachtiar, 2008 : 36)
Bertujuan untuk mengurangi kadar air minyak biji karet.
1. Memanaskan minyak biji karet sampai suhu 100°C dan tidak timbul
gelembung-gelembung lagi.
2. Mengukur volume minyak biji karet hasil pengeringan.

b. Pembuatan Metil Ester

Esterifikasi
(Ramadhas, 2004:337)
1. Memanaskan minyak sampai dengan 60 0C dalam labu leher tiga yang
dilengkapi dengan pengaduk dan pendingin bola. Memastikan hingga semua
lemak padat meleleh.
2. Menambahkan metanol (p.a kadar 99%) ke dalam minyak tersebut dengan
perbandingan molar minyak : metanol = 6:1.
3. Mengaduk selama 5 menit dan menambahkan katalis asam sulfat (kadar 95%)
sebanyak 5 mL (0,5% volume minyak) dengan menggunakan pipet.
85
4. Mengaduk campuran dengan kecepatan pengadukan rendah. Suhu dijaga
konstan 60 0C selama 1 jam.
5. Setelah 1 jam, mematikan pemanas tetapi pengadukan terus dijalankan dalam
kondisi dingin (tanpa pemanasan) selama 1 jam ke depan.
6. Setelah 8 jam atau semalam, menetralkan asam sulfat dalam campuran tersebut
dengan menggunakan air (pisahkan lapisan air), kemudian dipanaskan sampai 100
0C.

Transesterifikasi
(Ramadhas, 2004:338)
Reaksi dilakukan dalam reaktor berupa labu leher tiga yang dilengkapi pengaduk
dan pendingin. Diambil dengan rasio molar metanol : minyak = 9:1.
1. Campuran hasil esterifikasi sebanyak 80 mL dipanaskan hingga mencapai suhu
yang diinginkan (60 0C).
2. Pada saat yang sama, mencampurkan katalis NaOH sebanyak 0,5% berat
minyak dilarutkan ke dalam metanol (p.a 99%) (Dengan perbandingan molar
minyak hasil pre-esterifikasi : metanol = 1:9). Memanaskan larutan tersebut
secara terpisah hingga dicapai suhu yang sama.
3. Menuangkan larutan NaOH dalam metanol ke dalam reaktor secara cepat .
4. Mengaduk campuran tersebut dengan rpm rendah dan suhu dijaga konstan
selama 1 jam.
5. Setelah 1 jam, menghentikan pemanasan dan pengadukan selanjutnya
melakukan pemurnian produk.

Pemurnian Produk
Pemisahkan sempurna metil ester dan gliserol dihasilkan dari kondisi
optimal proses setelah selama 12 jam. Lapisan atas adalah metil ester berwarna
kuning dan lapisan bawah gliserol berwarna coklat tua. Setelah dipisahkan dari
gliserol, kemudian metanol sisa reaksi transesterifikasi direcovery menggunakan
destilasi vakum sampai suhu mencapai 740C, dan metil ester dicuci dengan air

86
sampai pH metil ester menjadi netral (pH = 7). Setelah pencucian, metil ester
dipanaskan sampai suhu 1000C untuk menghilangkan sisa air.

c. Perengkahan Katalitik
(Dewayani, 2005:24)
1. Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Memasukan metil ester, katalis asam, dan metil keton peroksida ke dalam
erlenmeyer dengan perbandingan berat tertentu.
a. Perbandingan berat metil ester terhadap asam sulfat adalah 50 : 1.
b. Perbandingan berat untuk metil ester dengan MEKP adalah 100 : 1.
3. Memanaskan erlenmeyer yang dilengkapi dengan refluks dan stirer di dalamnya
di atas hot plate dengan waktu perengkahan 90 menit.
4. Mengambil sampel hasil reaksi yang terbentuk pada suhu 100 0C, 1500C,
2000C sebanyak 70 mL.
5. Sampel hasil reaksi kemudian diukur densitas, viskositas, dan bilangan oktana.

d. Penentuan Korelasi Antara Bilangan Setana (CN) Dan Bilangan


Oktana (ON)
(Dewayani, 2005:25)
1. Memasukkan 50 mL solar ke dalam kolom destilasi (kalibrasi). Kalibrasi
dilakukan untuk mengetahui penyimpangan CN yang ditimbulkan oleh alat
dengan CN literatur.
2. Memanaskan kolom secara bertahap.
3. Mencatat data temperatur pada termokopel pada saat solar terevaporasi
sebanyak 50%.
4. Memasukan nilai yang didapat ke dalam persamaan ASTM D-976
CI = {454,74-(1641,416*Densitas)} + {774,74*(Densitas)2}-
{0,554*TT50}+{97,803*(Log TT50)2}
ON = (-0,8027 *CI ) +120,56
Dimana :
CI : Indeks setana / prediksi bilangan setana
87
ON : Octane Number
5. Mengulangi prosedur (1)-(5) untuk jenis bensin premium, pertamax, dan
pertamax plus , campuran bensin premium dan pertamax (Volume 1:1),
campuran bensin pertamax dan pertamax plus (volume 1:1) masing-masing
sebanyak 5 kali.
6. Melakukan regresi untuk harga-harga yang didapat.
7. Membuat grafik hubungan antara ON (Bilangan Oktana) dan CN (Bilangan
Setana) dengan mencari persamaan garisnya.

e. Penentuan Densitas
(Dewayani, 2005:27)
Metode uji densitas mengacu pada ASTM D-1298. Langkah-langkah pengukuran
densitas larutan adalah:
1. Menuang larutan sebanyak 15 mL senyawa ke dalam tabung reaksi.
Menyimpan senyawa tersebut pada suhu 10-15°C. Kemudian Menuangnya ke
dalam pikno meter 10 mL dan secepatnya ditimbang.
2. Menghitung densitas larutan dengan cara berat yang dihasilkan dibagidengan
volume piknometer sebagai densitas larutan pada 15°C.

f. Pengujian Bilangan Iodine


(Sudarmadji, dkk., 1997:86)
1. Menimbang 0,5 gram minyak biji karet dalam 500 mL erlenmeyer tertutup.
2. Menambahkan 10 mL CCl4 sebagai pelarut.
3. Menambahkan larutan hanus*) 25 mL
4. Menutup dan mengaduk dengan magnetic stirrer selama 30 menit di wadah
gelap.
5. Menambahkan 20 mL KI 15% dan 100 mL aquadest, mengaduk selama 30
menit.
6. Melakukan titrasi dengan Na2S2O3 0,1 N sampai larutan berwarna kuning.
7. Menambahkan 1 mL amilum dan melanjutkan titrasi sampai biru tepat hilang.

88
8. Melakukan titrasi blanko, 10 mL larutan hanus tanpa minyak dengan perlakuan
yang sama.
*) Larutan hanus:
1. Memanaskan 200 mL asam asetat glasial sampai mendidih.
2. Menambahkan 6,6 gram I2 dan diaduk sampai larut.
3. Menambahkan lagi 250 mL asam asetat glasial dan 1,5 mL Br2.
4. Mengocok dan menyimpan dalam botol yang gelap.
5. Bilangan Iodine = N (V2-V1) x 12,69 / W
Keterangan:
N = Normalitas larutan Na2S2O3.
W = Berat minyak (gram)
Vi = Volume Na2S2O3 untuk titrasi sample (mL)
V = Volume Na2S2O3 untuk titrasi blanko (mL)

g. Penentuan bilangan asam


(Sudarmadji, dkk., 1997:85)
1. Melarutkan 0,5 gram minyak dalam 5 mL etanol
2. Menitrasi larutan dengan NaOH 0,1 N.
3. Mencatat jumlah KOH yang digunakan untuk menetralkan minyak. Bilangan
asam (mg NaOH/100) = (100 x V NaOH x N) / W
dengan: V NaOH = Volume NaOH untuk menitrasi (mL)
N = Normalitas NaOH (N) , W = Berat sampel (gram)

h. Penentuan kadar air


(Sudarmadji, dkk., 1997:99)
1. Memanaskan 5 gram minyak biji karet dalam oven sampai suhu 105°C selama
30 menit.
2. Memasukan minyak panas dalam desikator selama 15 menit sampai mencapai
suhu kamar.
3. Minyak biji karet ditimbang dan dicatat selisih beratnya.

89
4. Mengulangi prosedur (1)-(3) sampai selisih berat minyak kering tidak lebih dari
0,05%. Pengujian dilakukan dengan triplo.
Kadar air (%) = bobot hilang (g) x 100% bobot sampel (g)

i. Penentuan Bilangan Oktana


(Dewayani, 2005:29)
Bilangan oktana sampel dapat ditentukan dengan cara mendistilasi sampel seperti
pada prosedur 3. 4. 3. Prosedurnya sebagai berikut:
1. Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan.
2. Memasukan 20 mL sampel ke dalam kolom distilasi.
3. Memanaskan kolom secara bertahap
4. Mencatat temperatur pada termokopel pada saat sampel terevaporasi sebanyak
50%.
5. Memasukan nilai yang didapat ke dalam persamaan [10] .
6. Mengulangi prosedur (1)-(5) sebanyak tiga kali.
7. Memasukan nilai CN kedalam persamaan garis yang telah didapat pada bagian
awal sehingga didapat ON sampel.

Penelitian ini mengkaji mengenai pengaruh katalis terhadap densitas


biogasoline, pengaruh suhu serta konsentrasi katalis terhadap sifat fisik
biogasoline.nPada bab ini membahas hasil penelitian mengenai proses
perengkahan katalitik metil ester minyak biji karet dengan menggunakan katalis
asam sulfat dan inisiator Metil Etil Keton Peroksida sebagai alternatif pembuatan
biogasoline. Sampel yang digunakan adalah minyak biji karet yang diperoleh dari
perkebunan karet di daerah BSB (Bukit Semarang Baru) dan Perkebunan Karet
Ungaran.

4. 1 Preparasi Minyak Biji Karet

Tahapan ini merupakan tahapan awal dari penelitian. Biji karet yang
digunakan diperoleh dari dari perkebunan karet daerah BSB (Bukit Semarang
90
Baru) dan Ungaran. Biji karet dikelupas cangkangnya untuk diambil biji
kemudian biji karet dikeringkan dalam oven selama 1 jam. Hal ini untuk
mengurangi kadar air dalam biji karet. Biji karet kering diblender hingga halus
dan dipress dengan menggunakan hydrolic press kemudian di analisis sifat
fisisnya, dari hasil analisis didapatkan data sebagai berikut.

Minyak biji karet hasil pengepresan kemudian dianalisis GC-MS dan IR


untuk mengetahui senyawa yang terkandung di dalamnya. Analisis menggunakan
IR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi. Spektrum IR suatu molekul adalah
hasil transisi antara tingkat getaran yang berlainan. Skala pada dasar spektrum IR
terletak pada panjang gelombang yang berkurang dari 4000 cm-1 sampai 600 cm-
1 atau lebih rendah. Interpretasi terhadap spektra IR minyak biji karet
menunjukkan spektrum khas yang dapat dilihat pada Gambar 3.

91
Gambar 3. Spektrum IR Minyak Biji Karet

Hasil Interpretasi IR minyak bij karet menunjukan adanya beberapa


gugus fungsi senyawa organik yang terkandung di dalamnya. Pada dasarnya
ikatan-ikatan yang mendominasi adalah ester yang ditunjukan pada serapan
1164,9 cm-1, adanya gugus asam yang ditunjukan pada 721,3 cm-1 yang
diperkuat pada serapan 1377,1 cm- 1, 1461,9 cm-1 2927,7 cm-1, serta adanya
gugus hidroksi pada serapan 3008,8 cm-1 dan diperkuat pada serapan 3348,2 cm-
1. Struktur molekul senyawa yang terdapat di dalam minyak biji karet dapat
dilihat pada hasil analisis GC-MS.

Gambar 4. Kromatogram Minyak Biji Karet Mentah

Pada Tabel 10. menunjukan beberapa senyawa organik yang terkandung


di dalam minyak biji karet. Senyawa penyusun dalam minyak biji karet yang
dominan adalah Asam Palmitat 8,19%, asam linoleat 81,30%, dan asam stearat
dengan 8,28%. Asam-asam lemak ini merupakan penyusun trigliserida dalam
minyak biji karet dan bukan sebagai asam lemak bebasnya. Asam-asam lemak ini
merupakan gugus pangganti R’, R’’,dan R’’’ dalam trigliserida. Trigliserida ini
92
nantinya yang akan diubah menjadi metil ester melalui reaksi metanolisis atau
transesterifikasi.

4. 2 Pemurnian Minyak Biji Karet

Volume minyak biji karet hasil pengepresan hydrolic press sebesar 730
mL. Minyak kemudian dimurnikan dengan beberapa tahapan proses yaitu
degumming, pencucian, dan pengurangan kadar air. Proses degumming bertujuan
untuk mengendapkan gum yang terdapat pada minyak biji karet mentah. Proses
degumming selain bertujuan mengurangi kadar gum dalam minyak biji karet
mentah, juga dapat mengurangi kadar Fe yang terkandung di dalamnya (Bachtiar,
2008). Proses degumming dilakukan dengan mereaksikan minyak biji karet
dengan H3PO4 pekat sebanyak 0,1% volume minyak. Proses ini dilakukan pada
suhu 850C dan pengadukan yang konstan selama satu jam. Hasil dari proses
degumming ini ditandai dengan adanya endapan seperti gelatin berwarna coklat
tua kekuningan. Dari hasil degumming dan pencucian didapatkan volume minyak
biji karet sebesar 530 mL.

Minyak biji karet kemudian dicuci dengan menggunakan air panas


bertujuan untuk mengendapkan gum yang belum terendapkan pada proses
degumming. Volume air panas yang dibutuhkan sebesar 0,8% volume minyak.
Proses pencucian ini dilakukan sebanyak 3 kali untuk mendapatkan hasil
optimum. Hasil proses pencucian didapatkan volume minyak biji karet sebanyak
500 mL. Minyak hasil pencucian kemudian dikeringkan dengan tujuan
pengurangan kadar air dalam minyak. Pada tahapan ini dilakukan pada suhu
1050C selama kurang lebih 1,5 jam. Minyak biji karet hasil dari proses pemurnian
ini dikatakan sebagai minyak biji karet murni. Dari proses pengeringan didapatkan
volume minyak sebesar 420 mL. Hasil proses pemurnian minyak kemudian
dihitung kandungan asam lemak bebas dan bilangan iod, dari hasil analisis
didapatkan hasil sebagai berikut :

93
Secara keseluruhan proses pemurnian minyak biji karet didapatkan data sebagai
berikut :

Perolehan minyak biji karet murni sebesar 600 mL disebabkan adanya minyak
yang ikut terbuang proses pencucian. Selain itu, pemisahan antara gum dan
minyak yang tidak sempurna menyebabkan minyak biji karet murni ikut terbuang
bersama gum.

4. 3 Esterifikasi

Esterifikasi dilakukan untuk mengurangi bilangan asam, sebagaimana


telah diketahui transesterifikasi tidak akan terjadi jika kadar asam lemak bebas
sangat tinggi (Ramadhas : 336-337, 2004). Kadar asam lemak bebas atau disebut
juga dengan senyawa asam karboksilat dalam minyak jika bertemu dengan katalis
NaOH pada reaksi transesterifikasi akan membentuk sabun dan menghambat
pembentukan produk.

Proses esterifikasi ini dilakukan dengan mereaksikan minyak biji karet


murni dengan metanol dan dikatalis dengan asam sulfat pekat. Sebanyak 500 mL
minyak biji karet dibutuhkan 100-150 mL metanol. Rasio perbandingan molar
minyak biji karet dengan metanol yang digunakan dianjurkan mendekati 1:6
(Ramadhas : 337, 2004). Perbandingan molar ini menujukan hasil konversi
optimum, dengan meningkatkan perbandingan molar hanya akan memberikan
sedikit tambahan pada konversi produk. Katalis asam sulfat pekat sebesar 0,5%
volume minyak biiji karet murni. Katalis asam yang digunakan berkisar antara
0,25-1,5%. Persentase asam sulfat yang memberikan hasil optimum pada proses
adala 0,5% volume minyak (Ramadhas : 337, 2004). Sisa katalis yang tercampur
dengan alkohol sebaiknya dipisahkan untuk menghindari penggelapan produk
yang dihasilkan.

94
Esterifikasi dilakukan pada suhu 450-500C. Suhu operasi optimum pada proses
adalah 500C. Suhu proses lebih dari 500 dapat mengakibatkan penggelapan pada
produk Ramadhas : 338, 2004). Analisis dari proses esterifikasi diperoleh hasil
sebagai berikut :

4. 4 Transesterifikasi (Esterifikasi Alkalin)

Reaksi transesterifikasi bertujuan untuk mendapatkan metil ester dari


minyak biji karet. Selanjutnya metil ester minyak biji karet akan direngkah
dengan menggunakan inisiator Metil Etil Keton Peroksida (MEKP) dan katalis
asam sulfat (H2SO4). Reaksi transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan
minyak biji karet dengan metanol dan katalis NaOH. Rasio molar minyak biji
karet dan metanol untuk menghasilkan produk ester maksimum adalah 1:9.
Penambahan rasio molar lebih banyak ataupun sedikit akan tetap memberikan
hasil yang sama (Ramadhas : 338, 2004).

Katalis NaOH yang digunakan sebesar 0,5%. Memberikan konversi


maksimum pada pembuatan metil ester (Ramadhas : 338, 2004). Suhu operasi
yang digunakan adalah 500C untuk menghindari penggelapan pada produk. Ini
dikarenakan suhu operasi diatas 600C dapat megakibatkan produk menjadi gelap.
Analisis Proses Transesterifikasi diperoleh data sebagai berikut.

Metil ester yang didapat kemudian dianalisis GC-MS dan IR untuk


mengetahui senyawa yang terkandung di dalamnya. Hasil analisis GC-MS dan IR\
disajikan pada Gambar 5.

95
Gambar 5. Spektra IR Metil Ester Minyak Biji Karet

Spektra IR metil ester minyak biji karet hasil transesterifikasi


menunjukan adanya gugus fungsi ester yang didominasi dengan regang ikatan
rangkap. Gugus ikatan rangkap ditunjukan pada serapan antara 1600 cm-1 sampai
3000 cm-1, dan gugus ester 1165 cm-1 yang diperkuat pada serapan 1743,65 cm-
1. Gugus hidroksi yang ditunjukan pada serapan 3186,4 cm-1, 3363,86 cm-1, dan
3464,15 cm-1. Selanjutnya struktur molekul yang terdapat pada metil ester dapat
dilihat pada analisis GC-MS.

96
Gambar 6. Kromatogram GC-MS minyak biji karet hasil
transeterifikasi.
Tabel 15. Hasil GC-MS Minyak biji karet transesterifikasi

Dari Tabel 15. menunjukan bahwa metil ester yang terkandung dalam
minyak biji karet hasil transesterifikasi adalah metil palmitat 9,58%, metil linoleat
31,86, metil oleat 43,30%, metil stearat 11,73%, dan asam 7-Hesadekanoat
sebesar 0,42%. Metil ester yang terkandung dalam minyak biji karet hasil
transesterifikasi inilah yang nantinya akan diputus ikatannya menjadi senyawa

97
yang memiliki rantai lebih pendek dari metil ester yaitu C4 – C 14. Senyawa
dengan rantai yang lebih pendek inilah yang disebut dengan biogasoline.

4. 5 Penentuan Korelasi Antara Bilangan Setan (Cn) Dengan

Bilangan Oktana (On)

Pada tahap ini dilakukan penentuan hubungan antara bilangan setana


(CN) dengan bilangan oktana (ON) sehingga didapatkan korelasi yang berbentuk
persamaan garis lurus. Metode yang digunakan adalah metode destilasi dimana
tiga jenis bensin yang beredar yaitu premium, pertamax, pertamax plus serta
campuran premium-pertamax dan pertamax-pertamax plus dengan perbandingan
volume 1:1 didistilasi untuk mengetahui bilangan setananya. Bilangan oktana
pada masing-masing jenis bensin telah diketahui maka akan dapat persamaan
garis lurus dari
korelasi tersebut.

Kalibrasi dilakukan dengan menggunakan solar yang telah diketahui


bilangan setananya. Secara teoritis, bilangan setana solar yang ada di pasaran
Indonesia adalah 45 (Rani, 2003). Setelah itu dihitung besarnya penyimpangan
sehingga didapat faktor koreksi tertentu. Berikut ini adalah data kalibrasi solar
pada metode distilasi.

Hasil kalibrasi terhadap metode distilasi menghasilkan bilangan setana


yang lebih besar 13,07% dibandingkan dengan nilai sesungguhnya sehingga
diperlukan faktor koreksi sebesar 86,93% agar diperoleh bilangan setana yang
akurat. Menentukan korelasi antara bilangan setana dengan bilangan oktana. Data
yang digunakan untuk menentukan korelasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 17.
Data untuk masing-masing jenis bensin serta campuran 2 jenis bensin dengan
perbandingan volume 1:1 diambil sebanyak 5 kali untuk mendapatkan data yang

98
akurat. Dari hasil regresi linier didapat korelasi antara CN dengan ON menurut
persamaan ON = -0,8179x + 121,08.

Gambar 7. merupakan persamaan garis yang menghubungkan antara bilangan


setana dengan bilangan oktana literatur. Hubungan antara bilangan setana dengan
bilngan oktana literatur berbanding terbalik. Dapat di simpulkan bahwa semakin
lurus dan panjang suatu rantai suatu senyawa hidrokarbon maka semakin tinggi
bilangan setananya dan semakin rendah bilangan oktananya begitupun sebaliknya
sehingga hubungan antara bilangan setana dan bilngan oktana berbanding terbalik
(Moestika, 2004). Pada regresi linier Gambar 7. didapatkan R2 sebesar 0,9024,
hal ini menunjukan bahwa data-data yang diambil cukup akurat dan dapat
digunakan dalam analisis bilangan oktana hasil perengkahan etil ester minyak biji
karet yang akan dibahas dalam pada tahap analisis berikutnya.

4. 6 Perengkahan Katalitik Metil Ester

Metil ester yang didapatkan dari proses transesterifikasi kemudian diberi


perlakuan lebih lanjut untuk mendapatkan rantai karbon yan lebih pendek.
Perengkahan katalitik metil ester minyak biji karet menggunakan katalis asam
yaitu asam sulfat dan menggunakan inisiator peroksida yaitu metil etil keton
peroksida (MEKP).

4. 6. 1 Perbandingan Data Perengkahan Metil Ester tanpa dan menggunakan


Inisiator

Percobaan perengkahan katalitik metil ester dilakukan dengan


pemanasan, katalis asam sulfat, dan inisiator MEKP. Hasil dari perengkahan
katalitik dari percobaan dibandingkan hasil densitasnya. Hasilnya dapat dilihat
pada Tabel 18.

99
Tabel 18. Pengaruh katalis dan inisiator pada proses perengkahan katalitik
terhadap densitas biogasoline

Perengkahan dengan menggunakan katalis asam sulfat dan insiator


MEKP menghasilkan densitas yang lebih besar dibandingkan dengan perengkahan
katalitik hanya dengan pemanasan dan perengkahan katalitik dengan
menggunakan katalis asam sulfat. Hal ini menunjukan perengkahan pada metil
ester dengan menggunakan insiator membentuk senyawa dengan rantai karbon
yang lebih pendek lebih baik dibandingkan dengan perengkahan hanya dengan
pemanasan dan perengkahan hanya dengan katalis saja. Hal ini mengindikasikan
bahwa inisiator akan membentuk radikal bebas pada metil ester yang kemudian
akan mengalami β-Scission dan diakhiri dengan reaksi polimerisasi dari radikal
bebas itu sendiri.

4. 6. 2 Pengaruh suhu proses perengkahan katalitik terhadap densitas dan


viskositas biogasoline.

Pada percobaan sebelumnya didapatkan hasil dengan percobaan dengan


menggunakan katalis dan inisiator menghasilkan rekasi perengkahan yang lebih
baik. Pada percobaan ini dilakukan percobaan dengan variasi suhu untuk dilihat
perubahan densitas dan viskositas, variasi suhu dilakukan pada 1000C, 1500C,dan
2000C dengan menggunakan katalis asam sulfat dan inisiator MEKP. Salah satu
parameter adanya proses perengkahan adalah perubahan densitas dan viskositas
dari biogasoline.

Tabel 19. Pengaruh suhu proses perengkahan katalitik terhadap densitas dan
viskositas biogasoline

100
Semakin besar suhu reaksi yang digunakan maka semakin besar pula
densitas biogasoline yang dihasilkan. Hal ini menunjukan dengan semakin
besarnya suhu reaksi maka reaksi perengkahan katalitik yang terjadi lebih hebat.
Reaksi perengkahan akan berlangsung lebih cepat dengan semakin tingginya suhu
yang menyebabkan gerakan molekul semakin cepat atau energi kinetik yang
dimiliki molekul-molekul pereaksi semakin besar sehingga tumbukan antara
molekul pereaks juga semakin meningkat.

Data densitas terbesar diperoleh pada suhu reaksi 2000C sedangkan


densitas terkecil diperoleh pada suhu reaksi 1000C. Densitas biogasoline hasil
perengkahan yang lebih besar daripada metil ester menunjukan bahwa adanya
molekul baru yang tergabung di dalam senyawa itu. Molekul tersebut adalah
molekul yang berasal dari inisiator (lihat pada mekanisme reaksi). Pada penelitian
yang dilakukan Pangastuti dkk, mengenai reaksi perengkahan katalitik tanpa
menggunakan insiator, densitas yang didapatkan mengalami kecenderungan
menurun. Hal ini menjadi bukti bahwa kehadiran inisiator dapat menaikan
densitas biogasoline.

Densitas biogasoline seharusnya lebih kecil dibandingkan dengan metil


ester karena senyawa karbon rantai panjang metil ester direngkah menjadi
senyawa karbon rantai pendek. Densitas biogasoline yang semakin besar
dikarenakan kehadiran deposit karbon hasil perengkahan. Deposit karbon ini atau
coke merupakan kation intermediet yang lebih stabil terakumulasi pada katalis dan
menghasilkan deposit karbon (Nurhayati, 2003). Semakin besar suhu reaksi maka
reaksi perengkahan yang terjadi akan semakin hebat sehingga deposit karbon yang
dihasilkan semakin besar menyebabkan densitas biogasoline semakin besar pula.

Dengan semakin besarnya suhu reaksi juga mempengaruhi nilai


viskositas biogasoline. Pada Tabel 19. dapat dilihat dengan semakin besarnya
suhu reaksi semakin besar pula viskositas biogasoline yang diperoleh. Data
viskositas terbesar diperoleh pada suhu 2000C dan viskositas terendah diperoleh
101
pada suhu 1000C. Hal ini didukung dengan teori yang meyatakan bahwa semakin
besar densitas suatu senyawa maka semakin besar pula viskositas suatu senyawa.
Dalam pengukuran viskositas dengan menggunakan viskometer berlaku rumus
sebagai berikut.

Dimana:
r = Jari-jari bola
g = gaya gravitasi
h = tinggi di atas permukaan acuan
V = volume fluida
ρ = densitas fluida
t = waktu fluida melewati viskometer
l = panjang fluida

Pada viskometer yang sama maka nilai r, g, h, dan l adalah sama


sehingga skositas tergantung pada nilai ρ dan t. Viskositas biogasoline bertambah
besar diakibatkan dengan adanya deposit karbon yang terbentuk sebagai hasil
samping dari reaksi perengkahan. Adanya Deposit karbon dalam pengambilan
data perhitungan viskositas menyebabkan terhambatnya aliran fluida sehingga
nilai viskositas biogasoline meningkat.

4. 6. 3 Pengaruh kadar asam/katalis pada proses perengkahan katalitik


terhadap densitas dan viskositas biogasoline

Pada percobaan sebelumnya didapatkan hasil percobaan dengan


menggunakan katalis dan inisiator menghasilkan rekasi perengkahan yang lebih
baik. Pada percobaan ini dilakukan percobaan dengan variasi katalis untuk dilihat
perubahan densitas dan viskositas, variasi katalis dilakukan pada 0,5%, 1%, 1,5%,
dan 2% pada suhu tetap. Parameter pada pengaruh katalis pada proses
perengkahan adalah densitas, viskositas, dan bilangan oktana.

102
Gambar 8. Pengaruh Kadar Katalis Terhadap Densitas Biogasoline

Pada Tabel 20. dan Gambar 8. dapat dilihat bahwa semakin besar kadar
katalis yang digunakan maka densitas biogasoline semakin besar. Pada Tabel 20.
densitas terbesar diperoleh pada kadar katalis 2% dan densitas yang terendah pada
kadar katalis 2%. Semakin meningkat densitas biogasoline dikarenakan adanya
deposit karbon dalam pengambilan data densitas. Kadar katalis dalam proses
perengkahan menyebabkan kation yang terakumulasi pada katalis semakin banyak
sehingga deposit karbon yang terbentuk semakin besar. Hal ini mengindikasikan
inisiator yang digunakan membentuk radikal bebas pada metil ester dan
memudahkan untuk bereaksi dengan katalis asam sulfat menghasilkan reaksi
perengkahan. Dengan semakin besar kadar katalis yang ikut bereaksi maka reaksi
perengkahan yang terjadi semakin hebat dan deposit karbon yang terbentuk
semakin banyak, sedangkan dengan jumlah katalis yang sedikit maka reaksi
perengkahan menghasilkan deposit karbon yang sedikit dan reaksi tidak sebagus
dengan kadar katalis yang lebih tinggi. Dengan semakin besarnya densitas
biogasoline maka viskositas biogasoline semakin besar. Pada Gambar 9.
merupakan pengaruh kadar katalis terhadap viskositas biogasoline.

Pada Tabel 20. dan Gambar 9. diperoleh bahwa dengan semakin


besarnya kadar katalis semakin besar viskositas biogasoline. Dari data diperoleh
nilai viskositas terbesar pada kadar katalis 2% dan nilai viskositas terendah pada
kadar katalis 0,5%. Dari reaksi yang telah berlangsung, deposit karbon yang
terbentuk paling banyak dihasilkan pada reaksi perengkahan dengan kadar katalis
2% dan dihasilkan deposit karbon yang sedikit pada reaksi perengkahan kadar
katalis 0,5%. Sehingga pada saat penghitungan nilai viskositas, aliran fluida pada
biogasoline hasil reaksi perengkahan dengan kadar katalis 2% lebih banyak
terhambat oleh hadirnya deposit karbon dibandingkan dengan biogasoline hasil
reaksi perengkahan dengan kadar katalis 0,5%. Dengan semakin besarnya densitas

103
juga mempengaruhi bilangan oktana dari biogasoline. Pada Gambar 10.
merupakan pengaruh kadar katalis terhadap bilangan oktana.

Gambar 10. Pengaruh Kadar Katalis terhadap Bilangan Oktana

Pada Tabel 20. dan Gambar 10. bilangan oktana dari biogasoline
semakin turun kemudian sampai pada kadar katalis 1,5% dan naik pada kadar
katalis 2%. Adanya perubahan bilangan oktana pada setiap variasi kadar katalis
menunjukan adanya perubahan struktur molekul metil ester karena adanya
isomerisasi atau alkilasi, pemutusan ikatan, dan pembentukan ikatan rangkap.
Dengan berkurangnya densitas biogasoline maka akan semakin menurunkan
TT50 dari biogasoline sehingga angka oktananya akan meningkat.

Dengan penambahan jumlah katalis dalam reaksi maka semakin besar


tumbukan yang terjadi antar kation dengan katalis asam sulfat sehingga
memungkinan terbentuknya senyawa yang memiliki ikatan rangkap semakin
besar. Salah satu faktor yang menyebabkan semakin besarnya angka oktana
adalah banyaknya ikatan rangkap pada senyawa. Hal ini ditunjukan dengan
semakin besarnya bilangan iodine biogasoline hasil perengkahan dengan kadar
katalis 0,5%. Pada perengkahan kadar katalis 0,5% diperoleh bilangan iodine
sebesar 178,58 g- I2/100 lebih besar dibandingkan dengan hasil perengkahan
dengan kadar katalis 1% sebesar 174,35 g I2/100, kadar katalis 1,5% sebesar
184,92 g-I2/100 dan kadar katalis 2% sebesar 170,12 g-I2/100.

4.7 Analisis FTIR

Analisis FTIR digunakan untuk mengetahui struktur senyawa dari metil


ester minyak biji karet sebelum reaksi perengkahan dengan senyawa hasil
perengkahan katalitik metil ester minyak biji karet. Pada metil ester minyak biji
karet banyak didominasi ikatan C=O (Asam, Aldehida, Keton, Amida, Ester,
Anhidrida) pada serapan 1743.5 cm-1 , Ikatan -CH2-, C=C pada serapan 2854,5
104
cm-1, C≡C, C=C, - COH Pada serapan 2924.09 cm-1, dan C-O2C ( Kuat pada
ester) pada serapan 1165 cm-1. Hasil analisis FTIR metil ester minyak biji karet
dapat dilihat pada gambar 11.

Gambar 11. Spektra FTIR metil ester minyak biji karet.

105
Gambar 12. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan
kadar katalis 0,5%

106
Gambar 13. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan
kadar katalis 1%

107
Gambar 14. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan
kadar katalis 1,5%

Gambar 15. Spektra FTIR Biogasoline hasil perengkahan metil ester dengan
108
kadar katalis 2%

Pada umumnya ikatan-ikatan yang ada pada biogasoline hampir sama


dengan ikatan-ikatan yang ada pada metil ester, perbedaannya terletak pada
absorbansi ikatan-ikatan tersebut. Perbedaan absorbansi ikatan-ikatan tersebut
ditunjukan pada Tabel 21. Jenis ikatan pada metil ester dan biogasoline juga
dibedakan pada munculnya gugus fungsi senyawa baru pada rentang serapan
2000cm-1 sampai pada 3000cm-1 yaitu jenis ikatan C=C atau karbon rangkap.
Gugus fungsi C=C muncul sebagai hasil reaksi perengkahan. Pada metil ester
gugus fungsi C=C (ikatan rangkap) hanya sedikit pada intensitas panjang
gelombang 2052,26 cm-1, 2337,72 cm-1, dan 2677,2 cm-1 sedangkan pada
biogasoline hasil perengkahan lebih banyak muncul pada intensitas panjang
gelombang 2000 cm-1 sampai 3000 cm-1. Perbedaan dapat dilihat pada Tabel 22.

Pada Tabel 21. baik ikatan C-OOC-, C=O, -CH2-, C=C, C≡C, C=C,
maupun – COH, semakin besar kadar katalis, intensitasnya semakin meningkat.
Ikatan C-O2-C yang kuat pada ester memiliki intensitas terbesar pada bigasoline
hasil cracking dengan menggunakan kadar katalis sebesar 2%. Pada biogasoline
hasil cracking dengan kadar katalis yang lebih rendah memiliki intensitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan biogasoline 2%, sedangkan pada metil ester
intensitas ikatan CO2- C lebih rendah dari biogasoline 2% dan lebih tinggi
dibandingkan dengan biogasoline dengan kadar katalis yan lebih rendah. Pada
ikatan C=O intensitas ikatan semakin meningkat dari biogasoline 0,5% ke
biogasoline 2%, sedangkan pada metil ester intensitas ikatan C=O lebih rendah
dibandingkan dengan biogasoline 2%. Pada ikatan –CH2-,C=C dibandingkan
dengan metil ester intensitas ikatan turun pada biogasoline 0,5%, 1%, 1,5%, dan
meningkat pada biogasoline 2%. Pada ikatan C≡C,C=C, -COH biogasoline hasil
cracking 0,5%, 1%, 1,5% mengalami penurunan dibandingkan dengan metil ester
dan mengalami peningkatan pada biogasoline 2%.

109
Pada Tabel 22. kemunculan ikatan rangkap C=C lebih banyak muncul
pada biogasoline 0,5% sebanyak 6 kali sedangkan pada metil ester kemunculan
ikatan C=C muncul sebanyak 3 kali. Pada biogasoline hasil perengkahan dengan
kadar katalis 1%, 1,5%, dan 2% muncul sebanyak 4 kali. Dibandingkan dengan
metil ester banyaknya ikatan C=C pada biogasoline meningkat dikarenakan
adanya proses cracking yang terjadi antara metil ester, inisiator, dan katalis asam
sulfat. Pada Tabel 18. dan 19. dapat disimpulkan bahwa senyawa hasil
perengkahan memiliki gugus fungsi yang lebih banyak dibandingkan dengan
metil ester.

Jika melihat kembali pada mekanisme rekasi perengkahan maka akan


jelas terlihat adanya alkilasi. Isomerisasi/alkilasi ini terjadi karena pada ion
karbonium dapat berlangsung migrasi hidrida1,2 atau grup alkil sehingga
membentuk konfigurasi produk reaksi dari normal menjadi bercabang (Chitra, S :
2004). Dengan banyaknya konfigurasi senyawa baru yang memiliki ikatan
rangkap dalam senyawa dapat meningkatkan bilangan oktana biogasoline.

4.8 Perbandingan Biogasoline Dengan Bensin

Berbagai variasi perbandingan suhu dan variasi katalis dapat disimpulkan


kondisi terbaik untuk menghasilkan biogasoline adalah pada suhu 1500C dengan
kadar katalis 0,5%. Hal ini dikarenakan pada variasi tersebut reaksi perengkahan
menghasilkan densitas dan viskositas rendah serta bilangan oktana yang tinggi
dan mendekati bilangan oktana bensin. Pada Tabel 23. dipaparkan perbandingan
biogasoline dengan bensin berdasarkan parameter bilangan oktana, densitas, dan
viskositas. Dari perbandingan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dari segi
bilangan oktana, biogasoline cukup mendekati spesifikasi bensin namun dari segi
densitas dan viskositas masih lebih tinggi daripada densitas dan viskositas bensin.

110
Tingginya densitas dan viskositas dapat menyebabkan biogasoline
mengalir dengan tidak lancar sehingga dapat mengganggu kinerja mesin sehingga
biogasoline dengan bahan dasar minyak biji karet masih belum dapat digunakan
untuk menggantikan bensin. Biogasoline dapat digunakan sebagai penganti bensin
perlu diuji beberapa sifat fisisnya yaitu flash point, RVP,HV, dan lain-lain.

6.1 Sintesis Metil Ester Sebagai Aditif Bahan Bakar Solar Dari Minyak Sawit

a. Sintesa Ester
Pada sintesa ester dilakukan titrasi untuk menghitung jumlah NaOH yang
dibutuhkan sebagai katalis. Metode yang dipakai ialah mereaksikan NaOH dengan
campuran isopropil alkohol dan minyak sawit sampai pH = 8-9. Menggunakan
sejumlah NaOH yang telah ditentukan dengan metode tersebut, dilakukan
pembuatan sodium metoksida (CH3ONa) dengan cara mereaksikan NaOH dan
CH3OH dalam labu reaksi pada kondisi tekanan dan suhu kamar.
Reaksi transesterifikasi dilakukan dengan mencampurkan minyak sawit
dan CH3ONa. Hasil yang diperoleh diendapkan dan kemudian dipisahkan antara
gliserin dan metil ester. Metil ester yang diperoleh dicuci sampai pH = 7 (netral)
lalu dipanaskan untuk menghilangkan kadar air dalam metil ester tersebut.

b. Sintesa Metil Ester (ME)


Sintesa metil ester (ME)dilakukan dengan mereaksikan ester dengan
NH4NO3. Reaksi yang terjadi adalah :

R’COOCH3 + NO2+ → R’CONO2CH3 + H3O+ (1)


Hasil dari reaksi ini lalu dimurnikan dengan cara refluks, lalu dicuci
dengan air untuk menghilangkan asam dan ditambahkan CaCl2 anhidris untuk
mengemulsi air yang ada akibat pencucian.

111
c. Pengukuran Densitas dan Suhu Distilat
Pengukuran densitas dilakukan dengan menggunakan piknometer
sedangkan pengukuran suhu distilat dilakukan dengan menggunakan unit distilasi.
Pengukuran ini dilakukan untuk menghitung Cetane Index (CI) yang nantinya
digunakan untuk menghitung angka setana.

d. Karakterisasi Metil Ester Dengan IR


Uji karakterisasi IR dilakukan untuk mengetahui keberadaan gugus fungsi
pada senyawa organik yang dihasilkan dan melihat besarnya serapan untuk
menghitung yield reaksi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

a. Sintesis Ester dan ME


Hasil yang diperoleh dari sintesa ester dan metil ester (ME) adalah ester
yang berwarna kuning jernih dan lebih jernih dari warna minyak sawit yang
digunakan. Hasil sintesis berupa campuran padat dan cair, padatan yang terbentuk
merupakan campuran antara sabun dan gliserin sedangkan cairan yang berada
dibagian atas adalah metil ester. Secara visual dapat dianalisis bahwa metil ester
memiliki viskositas yang jauh lebih rendah dari minyak sawit.
ME hasil sintesis berwarna coklat tua. Warna ME hasil sintesis tersebut
berbeda dengan warna EHN yang berwarna kuning jernih. Hal ini disebabkan
bahan baku yang berbeda antara sintesis ME dan EHN. Walaupun terjadi
perbedaan warna antara keduanya, ME memiliki kelarutan yang sama dengan
EHN dimana keduanya larut sempurna dalam solar. ME hasil sintesis masih
tercampur dengan sisa asam dan sisa katalis sehingga harus dipisahkan dengan
dekantasi. ME berada dibagian atas campuran sedangkan asam dan katalis
dibagian bawah. Hasil pemisahan merupakan ME dengan pH antara 1 sampai 2.
Proses pencucian 2 sampai 3 kali dengan air akan menaikkan pH ME mendekati
6. Mengingat pH minyak solar juga berkisar antara 6, maka pH ME sebesar 6
dapat dianggap memenuhi syarat untuk dicampurkan kedalam solar sebagai aditif.
112
b. Karakterisasi IR
Karakterisasi IR dilakukan untuk mengetahui secara kualitatif gugus nitrat
pada ME. Adanya gugus ini mengindikasikan keberhasilan sintesis dan
memberikan kemungkinan bahwa ME memiliki CN yang tinggi setara dengan
EHN. Karakterisasi ini dilakukan terhadap sampel solar, metil ester, ME, solar +
ME dalam berbagai konsentrasi, dan asam nitrat (1%) yang dipakai sebagai
pembanding.
Pada Gambar 1 dapat dilihat perbandingan antara spektra asam nitrat (1%),
metil ester dan MEN dimana pada spektra ammonium nitrat (Gambar 1.a)
memperlihatkan adanya gugus fungsi yang terdapat pada spektra 1635 cm-1. Pada
ME juga ditemukan spektra pada 1635 cm-1 (Gambar 1.c), sedangkan pada metil
ester tidak ditemukan spektra tersebut (Gambar 1.b). Hal ini menunjukkan bahwa
ME yang disintesis memiliki gugus nitrat dan mengindikasikan juga keberhasilan
sintesis dengan metode ini. Dari indikasi terbentuknya senyawa metil ester seperti
ditunjukkan pada Gambar 1, maka ME hasil sintesis dapat diprediksi seperti
terlihat pada Gambar 2.

Transmittance (%)
100
(a)

(b)

(c)

0
3000 2000 1000
-1
Wavenumber cm
Gambar 1
Spektra IR (a)NH4NO3, (b) Ester (c)ME

113
NO2

R’ – C O – CH3

CH3

R’ = C-16

Gambar 2.

Prediksi Rumus Bangun ME

Apabila rumus bangun ME pada Gambar 2 dibandingkan dengan rumus


bangun EHN pada Gambar 3, terlihat kemiripan antara keduanya. Karena
kemiripan antara dua senyawa organik nitrat ini, diharapkan ME juga memiliki
sifat seperti EHN yaitu dapat meningkatkan angka setana minyak solar.

CH3 – CH2 – CH2 – CH2 – CH – CH2 – O – NO2

CH2

CH3
Gambar 3
Rumus Bangun EHN

Selanjutnya, untuk mengetahui kelarutan dan homogenitas ME dalam


solar dilakukan juga analisis menggunakan spektra IR terhadap solar dan
campuran solar dengan ME dimana sampel diambil pada beberapa posisi dalam
labu pencampur.

114
Spektra IR campuran solar dan ME pada berbagai komposisi menunjukkan
adanya spektra nitrat pada 1635 cm-1 dengan intensitas yang sama untuk setiap
posisi pengambilan sampel. Hal ini mengindikasikan bahwa ME larut sempurna
dalam solar sehingga terbentuk campuran yang homogen. Kelarutan sempurna
aditif dalam solar merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi karena
pengendapan aditif akan menganggu kinerja pompa injektor serta menimbulkan
kerak di ruang bakar.

c. Perhitungan Cetane Index (CI) dan Cetane Number (CN)

CN dapat ditentukan dengan metode ASTM D-631 menggunakan mesin


uji. CN dapat juga diprediksi menggunakan angka Cetane Index (CI) yang
merupakan fungsi titik didih komponen penyusun solar serta densitas solar.
Metode ini dapat dilakukan dalam skala laboratorium dengan peralatan gelas
standar. Pada penelitian ini, perhitungan CI dilakukan dengan menggunakan
persamaan ASTM D-976 dan ASTM D-4737[10]. Persamaan ASTM D-976
adalah sebagai berikut:

CCI = 454. 74 –1641.416 * ρ + 774.74 ρ 2 –


0.554 *T50 + 97.83 * (Log T50) (2)

Sedangkan persamaan ASTM D-4737 dapat dituliskan sebagai berikut:

CCI = 45.2 + (0.0892) (T10N) + [0.131 + (0.901) (B)] (T50N) + [0.0523 –


(0.420) (B)] (T90N) + (0.00049) [(T10N)2 – (T90N)2] + (107) (B) + (60)
(B2)…(3)

dimana :
CCI = cetane indeks hasil perhitungan
D=ρ= densitas solar atau solar + aditif pada15oC
DN = D – 0.85

115
 DN
  − 3.5

B  e
 − 1

T10 = suhu ketika 10 % distilat terbentuk


T10N= T10– 215
T50 = suhu ketika 50 % distilat terbentuk
T50N = T50 - 260
T90 = suhu ketika 90 % distilat terbentuk
T90N = T90 – 310

Hasil pengukuran densitas dan suhu distilat dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah
ini. Tabel 2 menunjukkan terjadinya kenaikan densitas minyak solar akibat
penambahan ME walaupun peningkatan densitas hanya sebesar maksimum 1,4%
pada penambahan 1,5% ME dan angka tersebut masih memenuhi persyaratan
densitas solar menurut Pertamina. Kenaikan densitas ini secara langsung
mempengaruhi CI karena hubungan fungsional antara keduanya seperti
ditunjukkan pada persamaan 2 dan 3.

Akibat penambahan ME pada solar juga menyebabkan kenaikan temperatur


distilat dengan kenaikan sebesar 13% akibat penambahan 1,5% ME. Kenaikan
kedua parameter ini disebabkan oleh sifat ME yang terutama merubah kestabilan
termal solar.

Hasil perhitungan CI dan CN dapat dilihat pada Tabel 4. Perhitungan angka


setana dilakukan dengan mengurangi hasil CI dengan angka 2. Persamaan yang
menghubungkan antara CI dan CN ini telah dilaporkan oleh penulis .

Dari hasil perhitungan CN yang diperoleh dengan metode yang sama, dapat
dilihat bahwa angka setana solar meningkat dengan ditambahkannya MEN pada
solar. Kenaikannya adalah ± 3 untuk penambahan metil ester nitrat 0,5–1,5%.
Aditif ini sangat potensial untuk meningkatkan CN karena aditif komersial
(EHN) juga memiliki kemampuan yang mirip yaitu meningkatkan CN sebesar 3-
8 untuk penambahan 0,05 sampai 0,4% volume.[12] Disamping itu, aditif ME
meamiliki keunggulan yaitu disintesis dari bahan yang terbarukan, ramah
116
lingkungan dan harga yang lebih murah.

Tabel 3

Densitas dan Temperatur Distilat

ρ T10 T50 T90


SAMPEL (gr/cm3) (oC) (oC) (oC)
Solar 0,8258 189 232,67 287
Ester 0,8633 242,67 340 369,67
Solar
(80%) +
Ester
(20%) 0,8455 211,33 272 339
Solar
(99,5%) +
ME
(0,5%) 0,8326 207,33 250 293,33
Solar
(99%) +
ME (1%) 0,8330 201,33 252,67 305
Solar
(98,5%) +
ME
(1,5%) 0,8372 214 263,33 309

117
Tabel 4.

Perhitungan CI dan CN

ASTM D- ASTM D-
976 4737
SAMPEL CI CN CI CN
Solar 46,54 44,54 46,78 44,78
Ester 53,52 51,52 53,04 51,04
Solar (80%) +
Ester (20%) 49,77 47,77 49,26 47,26
Solar (99,5%)
+ ME (0,5%) 49,04 47,04 49,06 47,06
Solar (99%) +
ME (1%) 49,59 47,59 49,34 47,34
Solar (98,5%)
+ ME (1,5%) 50,69 48,69 50,68 48,68
Gambar 4 menunjukkan perbedaan hasil perhitungan angka setana menggunakan
metode ASTM D-976 dan ASTM D-4797. Terdapat perbedaan hasil perhitungan
CI maksimal 0,5% dari kedua metode yang mengindikasikan CI hasil perhitungan
ini mendekati angka yang sesungguhnya.

53,00
52,50
Cetane Index

52,00
51,50
51,00
50,50
0 0,5 1 1,5 2
% Nitrat

ASTM D-976 ASTM D-4737

Gambar 4
Pengaruh Penambahan Metil Ester Terhadap CI
118
Penambahan metil ester nitrat atau aditif pada solar tidak berpengaruh
secara langsung terhadap CI apabila penambahan tersebut tidak merubah densitas
dan temperatur distilat. Akan tetapi karena densitas dan temperatur distilat dari
campuran solar + metil ester nitrat tersebut berubah dengan naiknya konsentrasi
aditif (lihat Tabel 3), maka panambahan aditif jenis ini mempengaruhi CI yang
nantinya berpengaruh pada CN.

Semakin besar densitas dan semakin tinggi suhu distilat maka semakin
besar nilai CI dan CN. Hal ini dapat dilihat pada metil ester yang memiliki
densitas paling besar dan suhu distilat paling tinggi memiliki nilai CI yang paling
tinggi pula dibandingkan dengan nilai CI yang lain (lihat Tabel 3 dan 4)

d. Perhitungan Yield Reaksi

Perhitungan yield reaksi dilakukan untuk menentukan berapa banyak nitrat


yang bereaksi dengan metil ester. Perhitungannya dilakukan dengan
menggunakan hasil FTIR dari NH4NO3 dan metil ester nitrat yang telah
ditambahkan asam asetat (CH3COOH) sebagai zat pembanding.

Hasil dari perbandingan spektra ini menunjukkan bahwa asam asetat pada
NH4NO3 dan ME muncul pada spektrum 3394 cm-1 dan 3316 cm-1. Spektrum
asam asetat yang digunakan sebagai referensi untuk menghitung NO2 pada ME
adalah yang berada pada 3394 cm-1. Dengan menggunakan data tinggi puncak
pada masing-masing spektrum serta membandingkan dengan tinggi puncak pada
spektrum referensi, diperoleh yield sebesar 73%. Angka ini mengindikasikan
banyaknya nitrat yang bereaksi dengan metil ester. Data ini menunjukkan bahwa
sintesis ME menggunakan metode ini cukup efektif karena mendapatkan yield
lebih dari 50%.

119
6.2 Produksi Ethyl Ester ( Biodisel) dari Minyak Goreng yang Digunakan
Penyiapan Eksperimental dan Prosedur
Tiga operasi dipelajari pada penelitian eksperimental yaitu (a)
transesterifikasi, (b) pemisahan fasa, dan (c) pencucian. Gambar 1 menunjukkan
proses transesterifikasi; Dalam penelitian ini etanol, dengan adanya katalis,
digunakan dan etil ester diproduksi. Setelah reaksi selesai, produk reaksi
dipisahkan menjadi dua lapisan; produk ester membentuk lapisan atas dan
gliserida hasil samping membentuk lapisan bawah. Katalis residu dan kelebihan
alkohol berlebih didistribusikan di antara kedua fase tersebut. Setelah pemisahan
fasa, katalis dan alkohol dicuci dari ester dengan air.
a. Persiapan minyak goreng bekas
Bahan baku (minyak goreng bekas) dikumpulkan dari beberapa restoran dan
kafetaria di Malaysia. Minyak goreng bekas disaring untuk menghilangkan residu
makanan dan endapan padat pada minyak. Dalam proses transesterifikasi ini,
penting bahwa minyak mengandung jumlah air dalam jumlah sangat minim
karena setiap molekul air akan menghancurkan sebuah molekul katalis Oleh
karena itu minyak goreng bekas yang disaring (300-400 g) dikenai pengeringan
dengan pemanasan pada suhu 60 o C selama 10 menit dengan menggunakan oven
microwave (model RM 800, Plazmatronika, Wroclaw, Polandia; frekuensi operasi
2,5 GHz) dilengkapi dengan pengaduk magnet dan non- kontak inframerah sistem
suhu umpan balik terus menerus pada daya tinggi (daya output 750 Watt).

120
CH2OCOR1 CH2OH R1COOCH2CH3

NaOH

CHOCOR2 + 3 CH3CH2OH CHOH + R2COOCH2CH3

Catalyst +

CH2OH CH2OCOR3

R3COOCH2CH3

Minyak (Trigliserida) + Etanol + Katalis Gliserin + Campuran Etil ester


Gambar 1: Proses Transesterifikasi

Persiapan Ester

a. Reaksi Transesterifikasi dua langkah


Percobaan transesterifikasi dilakukan di labu berbentuk kerucut dengan
menggunakan 250 g minyak goreng bekas yang disiapkan seperti di
atas. Persiapan ester melibatkan reaksi transesterifikasi dua langkah. Reaksi dua
tahap menggunakan 2,5 g (1% berat minyak) kalium hidroksida (bubuk) atau 1,25
g (0,5% berat minyak) natrium hidroksida sebagai katalis. Katalis pertama kali
dilarutkan dalam 72 g etanol (rasio molar 6: 1 etanol anhidrat sampai minyak),
yang mewakili 100% kelebihan jumlah stoikiometrik yang dibutuhkan untuk
transesterifikasi. Jumlah katalis yang dibutuhkan dengan cepat ditimbang,
melindunginya sebanyak mungkin dari uap air dan karbondioksida di
atmosfer. Katalis padat dikeringkan menggunakan oven microwave selama 1
menit pada daya tinggi (daya keluaran, 750 Watt). Kekeringan sangat penting
karena setiap air dalam sistem akan mengkonsumsi beberapa katalis dan
memperlambat reaksi transesterifikasi. Katalis padat ditambahkan ke etanol dan
diaduk dengan kuat dengan sedikit pemanasan sampai benar-benar larut. Katalis
etanol dan pelarut kemudian ditambahkan ke minyak dan diaduk dengan

121
kuat. Reaksi dilakukan pada suhu kamar. Enam set campuran reaksi disiapkan dan
dibiarkan bereaksi masing-masing 3, 15, 30, 45, 60 dan 75 menit. Reaksi tersebut
ditangkap di setiap sampel dengan menambahkan sepuluh sampai lima belas tetes
air. Campuran reaksi dituangkan ke dalam corong pemisah; lapisan ester atas
dituang ke labu lain dan di transesterifikasi untuk kedua kalinya dengan
menggunakan metode yang sama dengan reaksi pertama.

b. Reaksi Transesterifikasi dua langkah dengan iradiasi gelombang


mikro
Iradiasi microwave adalah metodologi yang mapan untuk memperbaiki
ekstraksi dan mempercepat reaksi kimia seperti hidrolisis dan esterifikasi
[8]. Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyinaran gelombang
mikro pada proses transesterifikasi. Untuk percobaan ini, 250 g minyak goreng
bekas yang disaring dan 72 g etanol, yang mewakili 100% kelebihan jumlah
stoikiometri yang diperlukan untuk transesterifikasi digunakan. Katalis yang
digunakan adalah 0,5% natrium hidroksida yang dibuat seperti yang dijelaskan di
atas. Minyak dan alkohol dipanaskan pada suhu 60 o C dengan menggunakan
oven microwave. Oven dilengkapi dengan pengaduk magnet dan sistem pengatur
umpan balik inframerah kontinyu non kontak, yang memungkinkan pengadukan
kuat dan kontrol suhu konstan terus-menerus. Campuran reaksi diiradiasi dengan
menggunakan 25% daya keluar 750 W. Lima set campuran reaksi disiapkan dan
dibiarkan bereaksi masing-masing untuk 1, 2, 3, 4, dan 5 menit. Masing-masing
reaksi ditangkap dengan menambahkan sepuluh sampai lima belas tetes
air. Percobaan diulang untuk 50%, 75% dan 100% daya keluar 750 W untuk
kelima waktu reaksi yang berbeda. Tambahan 25 ml air ditambahkan ke setiap
rangkaian campuran reaksi yang reaksinya telah diakhiri sebelumnya seperti yang
disebutkan di atas. Setelah membiarkannya berdiri pada suhu kamar selama 5
menit. Campuran reaksi dituangkan ke dalam corong pemisah;lapisan ester atas
dituang ke labu lain dan di transesterifikasi untuk kedua kalinya dengan
menggunakan metode yang sama dengan reaksi pertama.

122
c. Pencucian
Ester kasar (225 g) dipisahkan dan kelebihan alkohol dan katalis residu
dicuci dari ester dengan 100 ml air. Langkah ini diulang dua kali. Fase ester
ditempatkan di dalam silinder kaca. Air disemprotkan ke bagian atas silinder
dengan kecepatan rendah. Kelebihan alkohol dan katalisnya dikeluarkan oleh air
saat dilumasi melalui silinder. Pemanasan gelombang mikro pada daya maksimum
(750 Watt) selama 3 - 4 menit sekali lagi digunakan untuk mempercepat proses
pemisahan. Sudah mapan bahwa pemisahan fasa dapat dicapai dengan iradiasi
gelombang mikro [8]. Setelah penyinaran gelombang mikro, silinder dibiarkan
berdiri pada suhu kamar selama 10 menit. Setelah 10 menit, fasa air yang
mengandung alkohol dan katalis yang tidak bereaksi akan mengendap,
meninggalkan fase ester yang jelas di atasnya. Akhirnya, ester (211 g) dikeringkan
dengan natrium sulfat anhidrat.

d. Analisis
Persentase berat etil ester dalam produk ditentukan dengan menggunakan
Kromatografi Gas HP 6890 Series II yang dipasang dengan detektor ionisasi
api. Kolom kapiler HP-INNOWax (Cross-linked polyethylene glycol), (panjang:
30 m, ketebalan film: 0,5  m dan ID: 0,32 mm) digunakan. Nitrogen digunakan
sebagai gas pembawa pada laju aliran 50ml / menit. Di GC, suhu detektor dan
injektor dipertahankan pada suhu 250 o C dan suhu oven dipertahankan pada
200 o C. Satu liter mikro sampel biodiesel disuntikkan secara manual. Gliserol,
monogliserida, digliserida, trigliserida dan etil palmitat digunakan sebagai
standar. Konversi tersebut didefinisikan sebagai rasio konsentrasi minyak yang
berubah menjadi minyak awal x 100%. Semua sampel diukur dalam rangkap tiga.
Pengukuran viskositas kinematik ester dibuat sesuai dengan standar ASTM
(ASTM D445 atau IP 71). Ester dianalisis untuk awan dan tuangkan poin
menggunakan standar ASTM D2500-81 dan D97.

123
Hasil dan Diskusi

a. Kondisi Optimum Persiapan Ethyl Ester

Transesterifikasi

Suhu tidak memiliki efek yang terdeteksi pada konversi akhir menjadi
ester. Namun, suhu yang lebih tinggi menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai konversi maksimum. Tingkat konversi yang tinggi dapat diperoleh
hanya jika fase minyak dan alkohol telah dicampur dengan baik. Hal ini
membutuhkan agitasi yang sangat kuat dengan sedikit percikan pada awal
reaksi. Adanya air dalam campuran reaksi secara nyata mengurangi konversi
minyak menjadi ester. Etanol anhidrat harus digunakan untuk mendapatkan
tingkat konversi yang tinggi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, 100% kelebihan
alkohol diperlukan untuk mencapai tingkat konversi yang tinggi dan pemisahan
fasa yang baik dari gliserin.
Baik natrium etoksida (campuran natrium hidroksida dan etanol) dan
kalium hidroksida (campuran kalium hidroksida dan etanol) memberikan konversi
yang baik selama transesterifikasi, namun natrium etoksida dipilih sebagai katalis
yang paling menjanjikan karena pertimbangan pemisahan fasa yang dijelaskan di
bawah ini. Percobaan dilakukan dimana konsentrasi natrium metoksida bervariasi
dari 0,3% sampai 0,5% berkenaan dengan berat minyak goreng bekas. Konversi
maksimum diperoleh bila konsentrasi katalis 0,5% digunakan. Gambar 2. adalah
kromatogram sampel biodiesel pada waktu sama dengan 4 menit. Seperti dapat
dilihat dengan jelas, puncak pertama adalah gliserol yang diikuti oleh etil ester
dan mono, di dan trigliserida. Hanya kromatogram dengan gliserol sebagai standar
yang ditunjukkan di sini. Kromatografi GC ini mengkonfirmasikan bahwa reaksi
telah terjadi dan perhitungan menunjukkan bahwa konversi hingga 87% dapat
dicapai.
Penyinaran gelombang mikro dari campuran reaksi di dalam oven
microwave sangat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konversi
maksimum. Gambar 3 menunjukkan tingkat daya sebesar 50% dari daya keluar
124
750 W diperlukan untuk mencapai konversi maksimum. Sedangkan proses
konvensional yang dibutuhkan 75 menit, proses dibantu microwave hanya
dibutuhkan 4 menit. Pada peningkatan persentase daya, untuk waktu iradiasi tetap
yang sama, jumlah konversi agak konstan. Penggunaan proses transesterifikasi
dengan bantuan gelombang mikro secara dramatis mengurangi waktu reaksi dari
75 menit sampai 4 menit, (pada suhu 60 o C) sehingga melibatkan penghematan
waktu yang dramatis. Waktu iradiasi harus dikontrol agar tidak terlalu panas yang
bisa menghancurkan beberapa molekul organik. Tingkat daya radiasi tidak boleh
terlalu tinggi, yang dapat menyebabkan kerusakan pada molekul organik.

Gambar 2 : Jejak atas : Injeksi 1  L Biodiesel; Jejak bawah : injeksi 1  L

500 ppm gliserol; Sisipkan : Tutup puncak gliserol.

Selama iradiasi gelombang mikro, molekul polar seperti alkohol (dalam


sampel) sejajar dengan medan magnet yang terus berubah yang dihasilkan oleh
gelombang mikro. Medan listrik yang berubah yang berinteraksi dengan dipol
molekuler dan ion bermuatan, menyebabkan molekul atau ion ini berputar cepat
dan panas dihasilkan karena gesekan gerakan ini. Kenaikan laju reaksi paling
mungkin adalah karena suhu tinggi pada lokasi reaksi lokal: permukaan
katalitik. Hal ini seharusnya mempercepat berbagai proses kimia, biologi, dan
fisik. Perlakuan mikro membawa aksesibilitas lebih besar dari ikatan yang rentan
dan karenanya merupakan reaksi kimia yang jauh lebih efisien.
125
Selama pencucian perawatan fase ester harus diambil untuk menambahkan
air perlahan dalam semprotan halus. Agitasi ester dengan aliran air menyebabkan
hilangnya sebanyak 18% ester karena pembentukan emulsi. Pentingnya pencucian
adalah penghilangan katalis sisa dan kelebihan alkohol dari ester. Air cuci limbah
dipantau untuk kandungan natrium dan pencucian terus sampai kandungan
natrium efluen sama dengan kandungan natrium dari air pencuci yang
masuk. Setelah dicuci, pemisahan fasa ester dan fasa air biasanya dilakukan
dengan membiarkannya bertahan selama 45-60 menit. Iradiasi gelombang mikro
dapat sangat membantu dalam mencapai pemisahan fasa yang baik. Setelah
iradiasi 2 - 3 menit dan kemudian berdiri pada suhu kamar selama 3 menit,
pemisahan lengkap kedua fasa tercapai. Teknik pemisahan mikro telah digunakan
untuk proses pemisahan air limbah berminyak, yang merupakan limbah yang
dibuang dari industri seperti petrokimia, metalurgi dan transportasi.
Tanpa iradiasi gelombang mikro pemisahan akan memakan waktu 45-60
menit.

b. Sifat fisik etil ester minyak umpan penggorengan


Viskositas kinematik diukur dari etil ester adalah 5,9 centistokes (cSt)
pada 25 o C. Viskositasnya adalah 4,8 cSt pada 40 o C dan 1,82 cSt pada
100 o C. Viskositas diesel # 2 adalah 3,2 cSt pada suhu 40 o C dan 1,26 cSt pada
100 o C .Awan dan titik tuang dari etil ester ditemukan -7 o C dan -16 o C, masing-
masing.

120
Conversion ratio

100
80
60
(%)

40
20
0
0 50 100 150
Exit Power (%)
126
Gambar 3: Pengaruh tingkat daya gelombang mikro terhadap transesterifikasi minyak goreng
limbah.

Biodisel
1. Metil Ester
Metil ester merupakan monoalkil ester dari asam – asam lemak rantai
panjang yang terkandung dalam minyak nabati atau lemak hewani untuk
digunakan sebagai alternatif yang tepat untuk bahan bakar mesin diesel. Metil
ester merupakan ester asam lemak yang dibuat melalui proses esterifikasi dari
asam lemak dengan methanol. Pembuatan metil ester ada empat macam cara,
yaitu pencampuran dan penggunaan langsung, mikroemulsi, pirolisis (thermal
cracking), dan transesterifikasi. Namun, yang sering digunakan untuk pembuatan
metil ester adalah transesterifikasi yang merupakan reaksi antara trigliserida
(lemak atau minyak) dengan methanol untuk menghasilkan metil ester dan
gliserol.
Metil ester dapat diperoleh dari hasil pengolahan bermacam-macam
minyak nabati, misalnya di jerman diperoleh dari minyak rapessed, di Eropa
diperoleh dari minyak biji bunga matahari dan minyak rapessed, di Prancis dari
Itali diperoleh dari minyak biji bunga matahari, di Amerika Serikat dan Brazil
diperoleh dari minyak kedelai, di Malaysia diperoleh dari minyak kelapa sawit,
dan di Indonesia diperoleh dari minyak kelapa sawit, minyak jarak pagar, minyak
kelapa, dan minyak kedelai. Selain minyak-minyak tersebut, minyak safflower,
minyak linsedd, dan minyak zaitun juga dapat digunakan dalam pembuatan
senyawa metil ester, pada pengolahan minyak nabati di atas juga di hasilkan
gliserol sebagai hasil sampingnya.
Metil ester merupakan bahan baku dalam pembuatan biodiesel atau
emollen dalam produk kosmetika, sedangkan gliserol dapat digunakan sebagai
bahan baku dalam berbagai aplikasi industri seperti kosmetika, sabun, dan
farmasi. Gliserol yang diperoleh sebagai hasil samping pengolahan minyak nabati
ini bukanlah gliserol murni, melainkan gliserol mentah (crude glycerol), biasanya
memiliki kemurnian kira-kira 95%. Beberapa reaksi dalam pembuatan metil ester

127
antara lain:

2.1 Reaksi Esterifikasi


Esterifikasi adalah tahap konversi dari asam lemak bebas menjadi ester.
Esterifikasi mereaksikan minyak lemak dengan alkohol. Reaksi esterifikasi dari
asam lemak menjadi metil ester (Gambar 2).

RCOOH + CH3OH ↔ RCOOH3 + H2 O


Asam Lemak Metanol Metil Ester Air

Gambar 2. Reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan metanol


Reaksi esterifikasi merupakan reaksi antara asam lemak bebas dengan
alkohol membentuk ester dan air. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi endoterm,
sehingga memerlukan pasokan kalor dari luar. Temperatur untuk pemanasan tidak
terlalu tinggi yaitu 55-60 oC (Kac, 2001). Reaksi esterifikasi dapat dilakukan
sebelum atau sesudah reaksi transesterifikasi. Reaksi esterifikasi biasanya
dilakukan sebelum reaksi transesterifikasi jika minyak yang diumpankan
mengandung asam lemak bebas tinggi (>5%).
Dengan reaksi esterifikasi, kandungan asam lemak bebas dapat
dihilangkan dan diperoleh tambahan ester.Faktor-faktor yang berpengaruh pada
reaksi esterifikasi adalah waktu reaksi, pengadukan, katalisator, dan suhu reaksi.
Pada reaksi esterifikasi, bila asam lemak (asam kaboksilat) dan alkohol (metanol)
dipanaskan dengan kehadiran katalis asam, kesetimbangan tercapai dengan ester
dan air. Reaksi kesetimbangan ini dapat digeser ke kanan dengan penambahan
alkohol berlebih. Air yang terbentuk berasal dari gugus hidroksil.

2.2 Reaksi Transesterifikasi


Reaksi Transesterifikasi sering disebut reaksi alkoholisis, yaitu reaksi
128
antara trigliserida dengan alkohol menghasilkan ester dan gliserin. Alkohol yang
sering digunakan adalah metanol, etanol, dan isopropanol (Gambar 3).

H O

H C O C R1 HOCH2
O O
katalis
H C O C R1 3CH3OH HOCH 3R C OCH3
O

HOCH2
H C O C R1

H
Trigliserida Metanol Gliserol Metil Ester

Gambar 3. Reaksi transesterifikasi trigliserida dengan metanol


Trigliserida bereaksi dengan alkohol membentuk ester dan gliserin. Kedua
produk reaksi ini membentuk dua fasa yang mudah dipisahkan. Fasa gliserin
terletak dibawah dan fasa ester alkil diatas. Ester dapat dimurnikan lebih lanjut
untuk memperoleh biodiesel yang sesuai dengan standard yang telah ditetapkan,
sedangkan gliserin dimurnikan sebagai produk samping pembuatan biodiesel.
Gliserin merupakan senyawa penting dalam industri. Gliserin banyak digunakan
sebagai pelarut, bahan kosmetik, sabun cair, dan lain-lain.
Pada pembuatan biodiesel dibutuhkan katalis. Produk biodiesel tergantung
pada minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku serta pengolahan
pendahuluan dari bahan baku tersebut .Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi
untuk minyak nabati adalah methanol, namun dapat pula digunakan ethanol,
isopropanol atau butyl, tetapi perlu diperhatikan juga kandungan air dalam alkohol
tersebut. Bila kandungan air tinggi akan mempengaruhi hasil biodiesel kualitasnya
rendah, karena kandungan sabun, ALB dan trigiserida tinggi.
Disamping itu hasil biodiesel juga dipengaruhi oleh tingginya suhu operasi
proses produksi, lamanya waktu pencampuran atau kecepatan pencampuran
alkohol. Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat
reaksi berlangsung, umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu

129
NaOH atau KOH atau natrium metoksida. Beberapa perbandingan sifat kimia
fisika biodiesel dengan solar (Tabel 5).

Tabel 5. perbandingan sifat fisik dan kimia biodiesel dan solar

Sifat fisik / kimia Biodiesel Solar


Komposisi Ester alkil Hidrokarbon
Densitas, g/ml 0,8624 0,8750
Viskositas, cSt 5,55 4,6
Titik kilat, oC 172 98
Angka setana 62,4 53
Energi yang dihasilkan 40,1 MJ/kg 45,3 MJ/kg

(Sumber : Internasional Biodiesel, 2001)

6.3 Sintesa Fatty Acid Alkyl Ester dari Minyak Limbah Ikan Patin
dengan Isooktanol

Prosedur
a. Prosedur Ekstraksi Minyak Limbah Ikan Patin
Limbah ikan patin yang digunakan pada penelitian ini disortir terlebih
dahulu, dipilih limbah ikan patin yang berupa jeroan (isi perut). Limbah ikan
tersebut dicuci hingga bersih menggunakan air. Limbah ikan yang telah bersih
ditimbang berat totalnya kemudian di oven dengan suhu 105°C selama 5 jam.
Lalu limbah ikan yang telah selesai di oven tersebut di pres untuk mengeluarkan
sisa minyak pada limbah tersebut. Minyak hasil pengovenan tersebut di diamkan
sampai suhu ± 25°C. minyak hasil pengovenan disaring untuk memisahkan antara
minyak kasar dan padatan.
Minyak kasar yang diperoleh dimurnikan dengan penambahan NaCl 2,5%
dan dipanaskan pada suhu 70°C selama 15 menit. Lapisan minyak dan air

130
dipisahkan dengan corong pisah dan diperoleh minyak yang bersih. Dilakukan
perhitungan densitas, rendemen, analisa angka asam dan angka penyabunan dari
minyak hasil ekstraksi tersebut.

b. Persiapan Katalis H-Zeolit


Zeolit alam sebanyak 250 gram digerus sampai halus sehingga lolos
penyaring 100 mesh kemudian dimasukkan kedalam reaktor ukuran 500 ml, lalu
ditambahkan dengan larutan NH4Cl 1 N sampai zeolit tersebut terendam. Diaduk
dengan kecepatan 500 rpm selama 50 jam pada suhu 900C. Zeolit tersebut
disaring dan kemudian residu tersebut dicuci dengan aquades (gunanya untuk
memisahkan unsur atau senyawa pengotor yang ada didalam zeolit). Setelah
disaring dan dicuci, zeolit dikeringkan pada suhu 105 -110oC selama 3 jam dan di
furnace pada suhu 600 ºC selama 6 jam.

c. Sintesa Fatty Acid Alkyl Ester


Sintesa dilakukan dengan menggunakan proses trans-esterifikasi meliputi
langkah-langkah sebagai berikut: Dimasukan minyak limbah ikan patin sebanyak
yang ditentukan dan Katalis H-zeolit dengan komposisi 20% berbasis berat
minyak ikan kedalam reaktor yang dilengkapi pengaduk, selanjutnya dipanaskan
didalam oil batch dengan suhu 104-106 °C. ditambahkan kedalam reaktor. Setelah
itu, ditambahkan iso-oktanol melalui corong pisah, sejumlah yang ditentukan.
Reaksi transesterifikasi dilakukan dengan kecepatan pengadukan (175, 200, 225)
rpm dan perbandingan minyak dengan iso-oktanol (1:6, 1:9, 1:12) dengan lama
waktu reaksi 6 jam. Kemudian, produk didiamkan selama 24 jam dalam corong
pisah dan diambil lapisan atas sebagai plastisizer. Cuci dengan aquades untuk
menghilangkan sisa asam, katalis dan hasil samping lainnya.

131
Gambar 1. Rangkain reaktor sintesa fatty acid alkyl ester

Keterangan:
1. Pemanas dan Oil Batch
2. Reaktor
3. Termometer
4. Kondenser
5. Pengaduk
6. Statif

Hasil Analisa GC-MS Produk


Dari hasil analisa dengan menggunakan alat GC-MS didapatkan banyak
komponen-komponen yang terkandung di dalam produk. Dari Gambar 2, hasil
analisis menggunakan GC-MS menunjukkan bahwa persentase produk ester
adalah 1.05%, alkohol adalah 85.80% untuk sampel perbandingan molar 1 : 9 dan
kecepatan pengadukan 225 rpm. Namun dari hasil GC-MS ester yang dihasilkan
tidak seperti yang seharusnya terjadi pada reaksi transesterifikasi minyak limbah
ikan patin dengan isooktanol menghasilkan ester berupa isooktil oleat, dan
isooktil palmitat. Produk yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu oktil palmitat,
isooktil palmitat dan metil dekanoat. Keberadaan oktil palmitat dan metil
dekanoat kemungkinan terjadi karena munculnya reaksi samping, seperti dehidrasi
alkohol. Dehidrasi alkohol ini dapat terjadi dengan adanya kehadiran katalis asam
dan pemanasan.

132
Selain itu kemungkinan juga terjadinya peristiwa perengkahan atau
pemutusan ikatan hidrokarbon tidak jenuh dari asam karboksilat oleh katalis H-
Zeolit. Pemutusan pada ikatan rangkap diawali oleh adanya serangan elektron
oleh ikatan rangkap terhadap H+ atau asam Bronsted yang terdapat pada
permukaan katalis. Akibatnya terbentuknya karbon kation pada atom karbon
ikatan rangkap yang kekurangan elektron, serangan tersebut juga akan
mengakibatkan adanya ikatan antara hidrogen pada katalis dengan karbon ikatan
rangkap (Rustamaji dkk, 2010). Berikut ditampilkan pada Tabel 2 hasil analisa
GC-MS produk sintesa plastisizer dari minyak limbah ikan patin dan isooktanol.

Tabel 2. Hasil Analisa GC-MS Senyawa Ester dari Minyak Limbah Ikan patin
dengan Isooktanol dengan Perbandingan Molar 1 : 12, dan Pengadukan
225 rpm.
Line Area (%) Komponen
6 0.19 Oktil Palmitat
7 0.56 Isooktil Palmitat
19 0.30 Metil Dekanoat

Pengaruh Perbandingan Molar Reaktan Terhadap Reaksi Transesterifikasi


Minyak Limbah Ikan Patin
Perbandingan molar reaktan merupakan salah satu parameter penting yang
dapat mempengaruhi Konversi dari reaksi transesterifikasi. Secara teoritis
berdasarkan prinsip Le Chatelier dalam reaksi transesterifikasi 1 mol minyak
memerlukan 3 mol alkohol. Karena reaksi transesterifikasi adalah reaksi
reversibel, maka jika diberikan alkohol berlebih dapat mengarahkan
kesetimbangan kearah pembentukan ester/produk. Reaksi transesterifikasi dengan
katalis heterogen diketahui juga memiliki laju reaksi yang lambat. Oleh karena itu
untuk mencapai kesetimbangan reaksi yang lebih cepat maka penggunaan alkohol
(isooktanol) berlebih merupakan salah satu solusinya (Wulandari dkk, 2010).
Hasil penelitian ini, menunjukkan adanya pengaruh pemberian alkohol berlebih
pada proses sintesis plastisizer menggunakan minyak limbah ikan patin. Pengaruh
133
perbandingan molar reaktan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Reaksi
mencapai nilai konversi reaksi tertinggi pada perbandingan molar 1 : 9 dengan
kecepatan pengadukan 225 rpm pada waktu reaksi selama 6 jam dan temperatur
105 – 106oC. Pada perbandingan molar 1:6 didapatkan konversi reaksi maksimum
sebesar 28,7% pada kecepatan pengadukan 200 rpm. Lalu pada perbandingan
molar 1:12 didapatkan konversi reaksi tertinggi yaitu 28,0% pada kecepatan
pengadukan 200 rpm.

Gambar 3. Pengaruh Perbandingan Molar Reaktan terhadap Reaksi


Transesterifikasi Minyak limbah Ikan Patin dengan Isooktanol

Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Reaksi Transesterifikasi


Minyak Limbah Ikan Patin
Berdasarkan teori Arhenius jika kecepatan pengadukan semakin tinggi maka
pergerakan molekul akan meningkat sehingga dapat mengakibatkan banyaknya
terjadi tumbukan. Semakin besar frekuensi tumbukan, maka semakin besar pula
harga konstanta kecepatan reaksi. Semakin besar harga konstanta kecepatan reaksi
diharapkan dapat menghasilkan nilai konversi yang semakin besar (Wulandari
dkk, 2010). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh kecepatan
pengadukan pada reaksi transesterifikasi menggunakan minyak limbah ikan patin.
Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap konversi reaksi transesterifikasi minyak
limbah ikan patin dapat dilihat pada Gambar 4.
134
Gambar 4. Pengaruh Kecepatan Pengadukan terhadap Reaksi Transesterifikasi
Minyak limbah Ikan Patin dengan Isooktanol

135
BAB VI

PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

Ester merupakan senyawa yang penting dalam industri dan secara biologis.
Ester yang merupakan turunan asam karboksilat yang mana gugus – OH pada
asam karboksilat (RCOOH) diganti menjadi gugus –R ( alkil ) sehingga
menjadi ester dengan rumus RCOOR. Berdasarkan sifat fisiknya ester adalah
molekul polar sehingga memiliki interaksi dipol-dipol serta gaya dispersi van
der Waals . Ester mempunyai sifat kimia yang sangat khas yaitu berbau cukup
menyengat terutama berbau harum. Tata nama Ester terbagi dua, yaitu trivial
dan IUPAC . Reaksi pembuatan ester yang paling dikenal adalah reaksi
esterifikasi dimana ester dibuat dari mereaksikan alkohol dan asam karboksilat
pada suasana tertentu sehingga menghasilkan ester. Pemanfaatan ester bagi
kehidupan manusia mencangkup pengunaan sebagai bahan pengharum.
Contoh – contoh ester yang umum diantaranya etil asetat, butil asetat , dll .

6.2 SARAN

Kami menyarankan supaya penulis selanjutnya dapat membuat monograf


yang lebih baik daripada ini dan dengan berbagai sumber yang lebih bagus
dan aktual. Selain itu kami mengharapkan supaya penulis selanjutnya dapat
membantu kami dalam merevisi monograf kami sehingga semakin baik
kedepannya.

136
Daftar Pustaka

Clark, Jim. 2007. Pengantar Ester. http://www.chem-is-


try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ester1/pengantar_ester/

Clark, Jim. 2007. Pembuatan Ester. http://www.chem-is-


try.org/materi_kimia/sifat_senyawa_organik/ester1/pembuatan_ester/

Dewi, Rahma. 2008. Zat Kimia dalam Wewangian. http://www.chem-is-


try.org/artikel_kimia/kimia_material/zat_kimia_dalam_wewangianHadi, Sapto
Nugroho. 2004. Ancaman Polimer Bagi Kesehatan Manusia (bagian II).
http://www.chem-is-
try.org/artikel_kimia/berita/ancaman_polimer_sintetik_bagi_kesehatan_manusia_
bagian_ii/

Hart, Harold. 2003. Kimia Oranik Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga

Hudiyanti, Dwi. 2009. Lipstik Bukan Sekedar Warna. http://www.chem-is-


try.org/artikel_kimia/kimia_material/lipstik-bukan-sekedar-warna/

Jim Clark.2007.Hidrolisis Ester. http://www.chem-is-try.org/ | Situs


Kimia Indonesia.

Luckas. 2012. Kategori Ester. http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Ester

Makhdiyanti,A. Nasikin, M.2003.Sintesis Metil Ester Sebagai Aditif


Bahan Bakar Solar dari Minyak Sawit.jurnal teknologi:Fakultas Teknik
Universitas Indonesia
Program Studi Teknik Kimia Departemen Teknik Gas dan Petrokimia

137
Putranto, Dedi. 2011. Senyawa Ester
http://kimiadahsyat.blogspot.com/2009/06/senyawa-ester.html

Sofia Dinna. 2005. Antioksidan dan Radikal Bebas. http://www.chem-is-


try.org/artikel_kimia/berita/antioksidan_dan_radikal_bebas/
Hart-Suminar. Edisi VI.Organic Chemistry.1983.Jakarta : Erlangga

Purba, Michael. 1999. Kimia SMU Kelas 2. Jakarta : Erlangga


Martoyo, Dkk. 1994. Kimia 2B. Solo : PT. 3 Serangkai
Tim Penyusun. 2003. Kimia SMU 2B. Klaten : PT. Intan Pariwara
Achmad, Suminar. 1983. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga
http://www.chem-is-try.org/index.ph

138
PROFIL

Nama : Azizul Haq Ar Rasyid


Kelas : A
NIM : 1707113752
TTL : Jakarta, 8 November 1999

139
Nama : Muhamad Havied Abuy Satara
Kelas : A
NIM : 1707113753
TTL : Simpang Tiga Ophir

Nama : Fajar Fadillah


Kelas : A
Nim : 1707122463
TTL : Lubuk Bendahara, 06 Januari 1999

140
Nama : Sheren Nadya
Kelas : A
Nim : 1707113924
TTL : Jln.Cipto Wening

141

Anda mungkin juga menyukai