Anda di halaman 1dari 9

Laporan Praktikum Farmakologi

ANALGESIK

Nama pembuat laporan


Kelompok C 8
-

Lidya Saptenno
Richard Leonardo
Yossie Firmanyah
Dionisius Batubara
Elia Veronika
Angelyn Christabella
Annisa Nur Fitriani
Sella Aprilyan

102010319
102010324
102010328
102010330
102010335
102010324
102010347
102010348

Pendahuluan
Analgesik, baik nonnarkotik maupun narkotik, diresepkan untuk meredakan nyeri; pilihan obat
tergantung dari beratnya nyeri. Nyeri yang ringan sampai sedang dari otot rangka dan sendi
seringkali diredakan dengan pemakain analgesik nonnarkotik. Nyeri yang sedang sampai berat
pada otot polos, organ, dan tulang biasanya membutuhkan analgesik narkotik.

A.

Tujuan

Sasaran belajar

1. Mampu melakukan praktikum tersamar ganda atau double blind clinical trial.
2. Mampu melakukan observasi analgesic dari beberapa jenis analgesic.
3. Mempu melakukan observasi pada efek samping yang mungkin timbul pada masingmasing analgesik.
4. Mampu mencatat hasil praktikum dan membuat laporan yang baik.

B.

Landasan Teori
Paracetamol merupakan derivate para amino fenol dan merupaka metabolit fenasetin
dengan efek antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893.
Farmakodinamik: efek analgesic paracetamol serupa dengan salisilat yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang.
Analgesik Opioid dam Antagonisnya
Morfin, suatu prototipe agonis opioid, sudah sejak lama dikenal sangat efektif meredakan
nyeri hebat. Opium IpoppyI merupakan sumber opium mentah yang dipakai oleh Serturner pada tahun 1803 untuk mengisolasi morfin, suatu alkaloid murni yang dinamakan
menurut Morpheus, dewa mimpi Yunani. Morfin tetap menjadi standar pembanding bagi
obat-obat yang mempunyai efek analgesik kuat. Obat-obat ini secara kolektif dikenal
sebagai opioid analgesik dan tidak hanya meliputi turunan alkaloid alamiah dan semisintetik dari opium saja, tapi juga pengganti sintetiknya, yakni obat mirip opioid yang
efeknya diblokade oleh antagonis non-selektif Nalokson, serta beberapa peptida endogen
yang berinteraksi dengan beberapa subtipe reseptor opioid.
Farmakodinamik
A.
Mekanisme Kerja
Opioid agonis menghasilkan analgesia melalui ikatannya dengan reseptor tertentu
terkopel-protein G dalam daerah-daerah di otak dan medula spinalis yang terlibat dalam
transmisi dan modulasi nyeri.
1. Tipe reseptorSeperti telah dituliskan tiga golongan reseptor opioid yang utama (mu,
delta, dan kappa) telah dikenali pada berbagai tempat dalam sistem saraf dan jaringan
lainnya. Tiap reseptor dari ketiga reseptor utama tersebut telah berhasil di clone.
Semuanya adalah anggota keluarga reseptor terkopel-protein G dan menunjukkan
sequence asam amino yang sangat homolog.

Karena suatu opioid berpotensi memiliki berbagai fungsi sebagai agonis, agonis parsial,
antagonis pada lebih dari satu golongan reseptor atau subtipe, tidak mengherankan jika
agen-agen ini memiliki berbagai efek farmakologi.
2. Efek selularPada tingkat molekuler, reseptor-reseptor opioid merupakan sekeluarga
protein yang secara fisik berkopel dengan protein G, dan melalui mekanisme ini,
mempengaruhi gerbang kanal ion, memodulasi disposisi Ca2+ intrasel, dan mengubah
fosforilasi protein. Opioid memiliki dua efek langsung terkopel protein G pada saraf: (1)
opioid menutup kanal Ca2+ bergerbang tegangan di ujung saraf prasinaptik sehinggak
menurunkan pembebasan transmitter, dan (2) opioid menghiperpolarisasi sehingga
menghambat neuron pasca-sinaptik melalui pembukaan kanal K+. Efek prasinaptik
opioidmenekan pembebasan transmittertelah didemonstrasikan pada pembebasan
neurotransmitter yang biasanya berjumlah banyak seperti glutamat, suatu asam amino
eksitatorik utama yang dibebaskan dari ujung saraf nosiseptik, begitu juga dengan
asetilkolin, norepinefrin, serotonin, dan substansi P.
3. Hubungan efek fisiologik dengan jenis reseptorKebanyakan opioid analgesik yang saat
ini ada di pasaran bekerja terutama pada reseptor mu. Berbagai efek morfin seperti
analgesia, euforian, mendepresi pernafasan, dan menimbulkan ketergantungan fisik,
terutama timbul akibatkerjanya pada reseptor mu. Bahkan reseptor mu pertama kali
ditemukan menggunakan efek analgesia klinis relatif dari serangkaian opioid alkaloid.
Akan tetapi, efek analgesik milik opioid sangat kompleks dan melibatkan interaksi
morfin dengan reseptor delta dan kappa.Pernyataan ini didukung oleh studi perusakan
(knockout)genetik pada gen mu, delta dan kappa dalam mencit. Agonis reseptor delta
memberikan efek analgesik pada mencit yang reseptor mu-nya telah dirusak.
Pengembangan agonis selektif reseptor delta dapat saja bermanfaat secara klinis jika efek
sampingnya (depresi pernafasan, risiko ketergantungan) lebih sedikit daripada efek
samping agonis reseptor mu yang saat ini ada di pasaran, seperti morfin.
B.
Efek Morfin dan Substitutenya Pada Sistem Organ
Berbagai efek morfin, prototip agonis opioid, yang dijelaskan di bawah ini juga dapat
diamati pada semua agonis opioid, agonis parsial opioid, dan obat lain yang memiliki
efek terhadap berbagai reseptor.
1. Efek pada SSPEfek-efek opioid analgesik dengan afinitas reseptor mu tertama terjadi
di SSP, yang terpenting ialah analgesia, euphoria, sedasi, dan depresi pernafasan.
Pemakaian berulang menimbulkan toleransi tingkat tinggi terhadap semua efek-efek ini.

2. a. AnalgesiaNyeri tersusun atas komponen sensoris dan efektif (emosional). Analgesik


opioid merupakan
C.

Alat dan Bahan


1. Tensimeter, stetoskop, thermometer kulit, thermometer kimia, penggaris.
2. Baskom plastic berisi bongkahan es + air dengan suhu 3 derajat Celcius.
3. Obat-obat analgesic: Paracetamol
600 mg
Kodein
30 mg
Ibuprofen
600 mg
Tramadol
50 mg
Plasebo
yang dikemas dalam kapsul yang sama bentuk, besar dan warnanya.

D.

Langkah Kerja
Persiapan
1. Tiap kelompok mahasiswa menyediakan 2 orang percobaan (o.p.) yang siap dalam
keadaan puasa 4 jam sebelum percobaan.
2. Instruktur telah mempersiapkan obat-obat di atas dengan kemasan (kapsul) yang sama
bentuk, besar dan warnanya, dan telah diberi kode tertentu, dicata dan disimpan oleh
salah satu instruktur.
3. Tiap kelompok telah menyediakan alat-alat yang diperlukan di atas.
Tatalaksana
1. Mintalah orang percobaan yang telah dipilih masing-masing kelompok untuk
berbaring di meja praktikum.
2. Lakukan pengukuran tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, frekuensi napas, suhu
kulit dan diameter pupil mata, serta gejala subjektif: seperti pusing, demam, mual, dll)
Pengukutan pupil mata dilakukan dengan penggaris dalam keadaan mata orang
percobaan menatap lurus ke atas, pada saat berbaring.
Lakukan pengukuran di atas 2 kali, dan ambil rata-ratanya, dan catat sebagai
parameter dasar.
3. Untuk membangkitkan rasa sakit makan dilakukan:
a. Untuk orang percobaan pertama, dalam keadaan duduk, celupkan tangan kanan
sampai pergelangan tangan dan dalam keadaan jari-jari terkepal ke dalam baskom
plastic berisi air es dengan suhu 2-3 derajat Celcius. Catatlah waktu tangan
dimasukkan sampai terasa sakit yang tidak dapat ditahan lagi.

Lakukan dengan tangan kiri, ambillah rata-rata waktu antara tangan kanan dan
kiri sebagai parameter dasar.
b. Untuk orang percobaan lain, dalam keadaan berbaring, pasanglah manset
tensimeter pada lengan kanan atas, pompalah sampai 180 mmHg, lalu tutuplah
kunci air raksanya. Mintalah orang percobaan melakukan gerakan membuka dan
menutup jari-jari (mengepal) tiap detik sampai rasa nyeri yang tak tertahankan
lagi. Catatlah waktu saat mulai gerakan sampai rasa sakit yang tak tertahankan.
Lakukan pada lengan yang satu dan ambil rata-rata kedua lengan sebagai
parameter dasar.
4. Mintalah obat pada instruktur, dan tiap orang percobaan minum obatnya setelah
kawannya mencatat kode obat yang diminumnya.
5. Orang percobaan berbaring tenang selama 60 menit, sedang kawan-kawanya tetap
berada di sisinya dan mendiskusikan tentang obat analgesic.
6. Setelah 60 menit, lakukan kembali pengkuran parameter; tanda vital, suhu kulit,
diameter pupil mata, dan waktu timbulnya rasa nyeri.
7. Berdasarkan hasil observasi Anda, diskusikan dan tentukan obat apa yang diminum
teman anda tadi, dan cocokan dengan instruktur yang memegang kode obat tadi. Bila
Anda melakukan semua tatalaksana dengan baik maka tebakan obat yang diminum
kawan Anda sama dengan yang tertera di kodenya.
8. Tanyakan dan catatlah gejala-gejala lain yang dirasakan orang percobaan misalnya:
ngantuk, demam, gatal-gatal, sakit kepala, perih uluh hati, berkeringat, mual, muntah,
dll. Mintalah orang percobaan juga melaporkan gejal-gejala yang timbul salama 24
jam setelahnya: misalnya konstipasi, dll.
9. Akhirnya diskusikan dalam kelompok apakah hasil observasi yang dilakukan sesuai
dengan sifat-sifat analgesic yang diminum orang percobaan. Kalau tidak sesuai
kenapa hal itu terjadi?
10. Buatlah laporan mengenai praktikum ini sesuai dengan percobaan yang telah
dikemukakan dalam buku ini.
E.

Hasil
Nama OP
Kode obat
Nama obat
Rangsang nyeri
Hasil observasi:

: Elia veronica
: 158
: Plasebo
: Tensimeter 180 mmHg

Parameter
Tekanan Darah
Frekuensi Nadi
Frekuensi Napas
Suhu
Diameter Pupil
Kulit
Waktu Reaksi
Gejala Subjektif

Sebelum minum obat


120/70 mmHg
74 x / menit
21 x / menit
34, 75C
0,5 cm
Normal
35 detik
-

Setelah minum obat


110/ 70 mmHg
69 x / menit
18 x/ menit
35, 57C
0, 5 cm
Normal
21 detik
Nyeri ulu hati, pusing,

mengantuk
Keluhan subjektif OP selama 24 jam: tidak ada keluhan.
Analisa dan kesimpulan:
Kode 158, nama obat: Placebountuk OP 1 (Percobaan Tensimeter).
Placebo merupakan zat kimia yang tidak mempunyai efek farmakodinamik dan digunakan
sebagai kontro l negative.
Efek pada OP 1:
1. Tekanan darah OP sebelum minum obat lebih tinggi dan ada perubahan setelah OP
berbaring tenang selama 1 jam..
2. Frekuensi nadi dan napas sebelum dan sesudah minum obat tidak mengalami perubahan
berarti.
3. Suhu tubuh, diameter pupil, dan warna kulit semuanya normal.
4. Terdapat gejala subjektif setelah minum obat merupakan efek psikologis (sugesti).
5. Rangsang nyeri lengan kanan dan kiri sebelum minum obat 35 detik dan setelah minum
obat 21 detik.

Nama OP
Kode obat
Nama obat
Rangsang nyeri
Hasil observasi:
Parameter
Tekanan Darah
Frekuensi Nadi
Frekuensi Napas
Suhu
Diameter Pupil
Kulit
Waktu Reaksi

: Richard Leonardo
: 162
: Paracetamol
: Es batu

Sebelum minum obat


110/80 mmHg
72 x / menit
17 x / menit
35, 17C
0,4 cm
Normal
97 detik

Setelah minum obat


110/ 80 mmHg
73 x / menit
18 x/ menit
35, 95C
0, 4 cm
Normal
57,5 detik

Gejala Subjektif
Mengantuk
Keluhan subjektif OP selama 24 jam: tidak ada keluhan.
Analisa dan Kesimpulan:
1.
2.
3.
4.
5.
F.

Tekanan darah, frekuensi nadi dan napas meningkat setelah minum obat.
Suhu dan diameter pupil tidak mengalami perubahan yang berarti.
Efek sampung setelah minum obat adalah mengantuk.
Rasa nyeri berkurang ketika dimasukkan ke dalam es setelah minum obat.
Tidak terdapat gejala subjektif.
Pembahasan
Pada orang percobaan I
Pada praktikum yang dilakukan pada OP dengan tangan dalam manset sebagai
salah satu cara menimbulkan nyeri, terdapat beberap gejala klinis yang khas. Sebelum
diberikan obat, OP terlebih dahulu diperiksa keadaan basalnya, di mana didapatkan datadata seperti tabel di atas.
Selanjutnya, setelah ditimbulkan rasa nyeri pada OP, OP langsung diberikan obat
dan berbaring selama 60 menit. Pada 30 menit pertama setelah diberikan, OP
mengeluhkan gejala pusing, nyeri di ulu hati dan mengantuk. Tidak ada pengeluaran
keringat, suhu tubuh, diameter pupil, dan warna kulit normal. Pada waktu ini, kami
mencoba mendiskusikan obat apa yang telah diminum oleh OP dan kami menduga OP
meminum obat Paracetamol ataupun Ibuprofen.
Setelah kami menunggu 60 menit, kami melanjutkan tatalaksana praktikum
dengan mengukur kembali tanda-tanda vital dari OP disertai memberikan rasa nyeri
kembali. Karena gejala subjektif yang masih dirasakan oleh OP kami menyimpulkan
bahwa obat yang diminum OP ialah Paracetamol. Namun, pada saat dicocokan dengan
kode obat kami mendapat bahwa obat yang diminum OP ialah Plasebo.
Pada orang percobaan II
Pada praktukum yang dilakukan OP dengan memasukkan tangan ke dalam es
sebagai salah saru cara menimbulkan nyeri, teradapa beberapa gejala klinis yang khas.
Sebelum diberikan obat, OP terlebih dahulu diperiksa keadaan basalnya, di mana
didapatkan data-data seperti tabel di atas.
Selanjutnya, setelah ditimbulkan rasa nyeri pada OP. OP lansung diberikan obat
dan berbaring selama 60 menit. Pada 30 menit pertama setelah diberikan, OP tidak
mengeluhkan gejala pusing dan sedikit sakit di lambung seperti/ ulu hati seperti OP
lainnya. Tidak juga terdapat gejala mengeluarkan keringat. Pada waktu ini, kami

mencoba mendiskusikan obat apa yang telah diminum oleh OP. didapatkan dugaan oleh
kami bahwa OP minum Plasebo atau Paracetamol selanjutnya kami tunggu hingga 60
menit kemudian.
Setelah 60 menit berlalu, kami akhirnya melanjutkan tatalaksana praktikum
tersebut dengan mengukur kemabali tanda-tanda vital dari OP deisrtai memberikan rasa
nyeri kembali. Namun, pada OP kami tidak melihat tanda-tanda yang khas pada suatu
jenis obat, oleh karena itu kami menyimpulkan bahwa obat yang diminum OP adalah
Plasebo. Namun. Pada saat dicocokan dengan kode obat kami mendapat bahwa obat
yang diminum OP ialah Paracetamol.
Paracetamol merupakan obat yang mempunyai efek analgesic pada nyeri ringan
sedang. Obat ini diserap dalam organ pencernaan secara sempurna dan efek samping
dalam mengiritasi lambung sangat kecil sehingga OP tidak merasakan adanya masalah
dengan lambungnya setelah meminum obat ini, kecuali ada rasa mengantuk setelah
beberapa jam. Namun, pada pemeriksaan yang kami lakukan, gejala-gejala parasetamol
sering keliru dengan gejala-gejala obat placebo. Hal ini mungkin dikarenakan efek
Paracetamol yang aman sehingga tidak memberikan efek samping apa-apa pada diri OP
sehingga sering dikelirukan dengan efek obat placebo.
Secara umum, dari semua data kelompok yang ada menunjukkan bahwa setelah
minum obat golongan analgesic antipiretik, efek yang ditimbulkan juga sama. Efek
tersebut antara lain dilihat pada peningkatan frekuensi napas dan penurunan frekuensi
nadi. Obat tersebut merangsang napas, mempertinggi konsumsi oksigen dan produksi
CO2.
Sedangkan perbedaan yang mencolok pada pengguna obat analgesic antipiretik
dan analgesic opioid pada obat lainnya adalah waktu tumbulnya nyeri. Waktu timbulnya
rasa nyeri OP yang meminum paracetamol sedikit bertambah, tapi tidak lebih dari OP
yang meminum codein. Ini berarti bahwa obat golongan opioid bekerja menahan rasa
nyeri lebih lama dari golongan analgesik antipiretik. Hal ini membuktikan bahwa indikasi
penggunaan obat analgesic antipiretik adalah untuk rasa nyeri ringan-sedang, tidak untuk
nyeri berat seperti nyeri keganasan karena rasa nyeri yang direndam tidak terlalu lama.
Perbedaan lainnya dapat dilihat dari efek samping dari obat golongan analgetik
antipiretik dan golongan opiod, seperti efek kahas miosis, di mana pupil mengecil, serta
efek ringan lainnya seperti lemas dan ngantuk. Sedangkan untuk obat plasebo merupakan

zat inert yang dibuat serupa dan identik bentuknya dengan obat yang sebernarnya
sehingga tidak menimbulkan efek. Penggunaan placebo hanyalah untuk menghindari
terjadinya bias dan pengaruh subjektif pada penilaian obat.
G.

Kesimpulan
Analgesik antipiretik hanya menghilangkan rasa nyeri yang sifatnya ringan
sampai sedang, sedangkan golongan Opiod menghilangkan nyeri yang hebat.
Efek samping pada lambung akibat pemberian analgesik jenis AINS sukar
dihindarkan karena pada dasarnya obat golongan AINS adalah derivat dari asam. Obat ini
selain menghambat prostaglandin yang terbentuk karena adanya inflamasi juga
menghambat prostaglandin yang ada di lambung yang berfungsi menghambat sekresi
asam lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus yang bersifat sitoprotektif. Hal
ini yang menyebabkan mukosa lambung tidak terlindung dari asam lambunf dan
menimbulkan rasa perih pada lambung.
Praktikum tersamar ganda adalah, rancangan sistem kerja pada uji klinik, di mana
para instruktur dan para orang percobaan tidak dapat memilih sendiri obat yang akan
diberi/ diminum, dengan tujuan untuk menghindari faktor subjektivitas yang akan
memperngaruhi keabsahan hasil pengamatan.

Anda mungkin juga menyukai