Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BADAN HUKUM
“HUKUM CESSIE DALAM PENYELESAIAN
KREDIT MACET (BERMASALAH) KEPEMILIKAN RUMAH DI INDONESIA”

Di susun Oleh :
1. ALVI MAULANA
2. ONONOTA GEA
3. GARA SAKI
4. HICLER
5. DENY SUWANDI
6. BOBBY CAFRI

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM


PERSADA BUNDA
PEKANBARU
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha ESA, Karena berkat
limpahan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
ini dengan baik.
Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “HUKUM CESSIE DALAM
PENYELESIAN KREDIT MACET (BERMASALAH) KEPEMILIKAN RUMAH DI
INDONESIA”

Kami Mengucapkan terima kasih Kepada Bapak Dr.Hamler SH.MH selaku dosen
Bidang studi “BADAN HUKUM” di kelas B.2 sekolah tinggi ilmu hukum (STIH) Persada
bunda, dan pihak-pihak yang telah memberi bimbingan serta motivasi yang sangat membantu
dalam penyelesaian makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kami dan bagi mahasiswa/i
DAFTAR ISI

kata pengantar .......................................................................................................2


daftar isi .............................................................................................................3

bab i pendahuluan
1.1 latar belakang masalah...............................................4
1.2 masalah pokok......................................................................5
1.3 metode penulisan.................................................................6
1.4 landasan teori.....................................................................7

bab ii pembahasan
2.1 cessie dapat menyelesaikan kredit macet (bermasalah) pemilikan
rumah di indonesia........................................................8
2.2 perlindungan hukum terhadap pihak yang terlibat dengan cessie
terhadap penyelesaian kredit macet (bermasalah) pemilikan
rumah di indonesia......................................................9
2.3 peralihan jaminan debitur dapat di balik nama oleh kreditur baru
dalam penyelesaian kredit macet (bermasalah) pemilikan
rumah..............................................................................12

bab iii penutup


3.1 kesimpulan.....................................................................13
3.2 saran..............................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah

Cessie merupakan pengalihan hak atas kebendaan bergerak tak berwujud


(intangible goods), yang biasanya berupa piutang atas nama kepada pihak ketiga, di
mana seseorang menjual hak tagihnya kepada orang lain.
Dalam sistem cessie, dikenal pihak-pihak yang disebut sebagai cedent dan
cessionaries. Cedent adalah kreditur yang mengalihkan hak dan tagihannya (kreditur
lama) sedangkan cessionaris adalah orang yang menerima pengalihan tagihan
(kreditur baru).
Cessie merupakan suatu bentuk pengalihan piutang, bukan pengalihan utang karena
konsekuensi dari cessie adalah penggantian kreditur, sedangkan pengalihan utang
yang terjadi adalah pengalihan debitur. Penggantian debitur tidak masuk dalam cessie
tapi termasuk dalam bentuk novasi, yakni novasi subjektif pasif atau yang disebut
juga dengan subrogasi (delegasi).
Cessie mulai banyak digunakan pada akhir abad ke- 19, karena munculnya kebutuhan
akan suatu lembaga pengalihan piutang yang tidak bisa menggunakan sistem gadai
atau fidusia, tetapi dalam praktik saat ini, tidak banyak lagi yang menggunakannya di
Indonesia. Sedikitnya buku atau bacaan yang membahas tentang cessie, dan
ketidaktahuan orang tentang sistem ini, semakin membuat cessie jarang digunakan

Pengertian Cessie Menurut KUH Perdata :


KUHPerdata tidak mengenal istilah cessie, tetapi di dalam Pasal 613 ayat 1
KUHPerdata disebutkan bahwa "penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik
atau akta di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan
kepada orang lain". Dari hal tersebut dapat dipelajari bahwa yang diatur dalam Pasal
613 ayat 1 KUHPerdata adalah penyerahan tagihan atas nama dan benda-benda tak
bertubuh lainnya. Adapun yang dimaksud dengan benda-benda tak bertubuh lainnya
dapat disimpulkan pasti bukan tagihan, karena semua penyerahan tagihan sudah
mendapat pengaturannya dalam Pasal 613 KUHPerdata. Oleh karena itu, yang disebut
cessie tak meliputi "benda tak bertubuh lainnya" karena bukan merupakan tagihan
atas nama. Cessie juga dapat sebagai sarana untuk memperoleh hak milik. Hal ini
diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata terletak pada bagian kedua bab ketiga buku II
KUHPerdata yang mengatur tentang cara memperoleh hak milik, hal ini dikaitkan
dengan ketentuan umum tentang cara memperoleh hak milik dalam Pasal 584
KUHPerdata salah satunya melalui penyerahan. Agar peralihan hak milik melalui
penyerahan sah, maka harus dipenuhi syarat (Pasal 584 KUHPerdata) antara lain
harus didasarkan atas suatu peristiwa perdata dan pihak yang menyerahkan harus
mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan-tindakan hukum pemilikan atas
benda yang diserahkan atas tagihan atas nama yang bersangkutan.
Pada umumnya, yang mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan pemilikan
adalah pemilik, perkecualiannya: orang yang berada dalam keadaan pailit atau orang
yang hartanya disita, sekalipun tetap pemilik tapi tidak berwenang untuk melakukan
tindakan pemilikan hartanya yang berada dalam kepailitan atau tersita. Dari Pasal 584
KUHPerdata tersebut bisa disimpulkan bahwa suatu penyerahan baru dapat dikatakan
mengalihkan benda kepada pihak lain jika penyerahan itu didasarkan atas suatu
hubungan obligatoir dan diserahkan oleh orang yang mempunyai kewenangan untuk
menyerahkan benda itu. Apabila syarat kewenangan beschikking tidak dipenuhi,
maka penyerahan itu tidak sah, dan karenanya benda yang diserahkan tidak beralih
kepada yang menerima penyerahan. Dalam kenyataannya, benda yang telah
diserahkan masih tetap menjadi milik pihak yang menyerahkan, dan pihak yang
menyerahkan berhak untuk menuntut penyerahan kembali benda yang telah
diserahkan, baik atas dasarr pembayaran yang tidak terutang (Pasal 1359
KUHPerdata) maupun atas dasar hak revindikasi (Pasal 574 KUHPerdata).
1.2 Masalah Pokok

i. Apakah cessie dapat menyelesaikan kredit macet (bermasalah) pemilikan rumah


di Indonesia ?
ii. Bagaimanakah Perlindungan Hukum terhadap pihak yang terlibat dengan
cessieterhadap penyelesaian kredit macet (bermasalah) di Indonesia ?
iii. Apakah Jaminan Debitur dapat di balik nama oleh kreditur baru dalam
penyelesaian kredit macet (bermasalah) di indonesia ?

1.3 Metode Penelitian (Normatif)

Penelitian ini adalah penelitian hukum yang bersifat normatif, yang mana
penelitian di lakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau bahanbahan
hukum lainnya. Dalam penulisannya undang-undang yang digunakan adalah
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata,lalu Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah (khususnya pasal 16),begitu juga Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun
1998 Jo. No. 7 Tahun 1992, dan Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun
2004 Jo. No. 2 Tahun 2014.
Dengan menggunakan tipe penelitian ini, dimaksudkan agar dapat
mencocokan antara teori yang ada dengan kehidupan nyata yang dialami, sesuai
dengan Benjamin Cardozo5 yang memiliki kesimpulan bahwa “hukum dan ketataan
kepada hukum adalah fakta-fakta yang setiap harinya berlaku bagi kita dari dalam
pengalaman hidup kita. Kita harus mencari suatu konsepsi hukum yang dapat
dibenarkan oleh kenyataan”.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Cessie dapat menyelesaikan kredit macet (bermasalah) pemilikan rumah di


indonesia

Cessie dilatar belakangi dengan munculnya suatu perbuatan wanprestasi.


Dimana debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam melakukan
pembayaran angsuran kredit pemilikan rumah dan memilih untuk pergi (tidak ada
kabar) sehingga membuat kreditur terpaksa harus mengeksekusi obyek jaminan, salah
satunya dengan melalui proses cessie. Langkah ini diambil karena kreditur yang
dalam hal ini adalah perbankan
mendapatkan dampak negatif dari adanya perbuatan wanprestasi tersebut, yaitu
perputaran alur dana bank yang menjadi terhambat. Sehingga untuk menutup
kekurangan tersebut, kreditur harus secepatnya mendapatkan dana sesuai dengan
jumlah hutang yang belum terbayarkan dari debitur yang melakukan wanprestasi.
Pentingnya peranan pembeli cessie didalam peralihan piutang ini sangat
membantu pihak kreditur dalam pengembalian dana yang belum sepenuhnya
terbayarkan oleh debitur.
Pengaturan mengenai cessie diatur dalam Pasal 613 KUHPer. Akta cessie
biasanya dibuat dalam hubungan dengan perjanjian hutang piutang biasa dalam
konteks perdagangan (pembelian dan penjualan barang dagangan secara cicilan),
perjanjian pinjaman (kredit), dan lainnya.
Dalam konteks perjanjian hutang piutang, baik untuk tujuan perdagangan
maupun pinjaman (kredit), biasanya pengalihan hak kebendaan (tak bertubuh)
tersebut dilakukan untuk tujuan pemberian jaminan atas pelunasan hutang.
Barang jaminan cessie yang dialihkan berupa Sertipikat tanah biasanya akan
berlanjut dengan proses pengalihan balik nama sertipikat dari nama debitur terdahulu
menjadi nama pihak kreditur yang baru (pembeli cessie) guna mendapatkan kepastian
hukum, namun proses peralihan ini sudah diluar wewenang pihak Bank lagi Dengan
adanya akta cessie dari Notaris, dapat dijadikan dasar atau bukti
bahwa objek tersebut telah beralih kepada kreditur baru
2.2 Perlindungan Hukum terhadap pihak yang terlibat dengan cessie terhadap
penyelesaian kredit macet (bermasalah) pemilikan rumah di Indonesia

Perlindungan hukum bagi para pihak khususnya cessionaris


(kreditur baru) dan cessus (debitur) dalam hal pemberitahuan setelah
dilakukannya penandatangangan akta cessie sebagaimana diatur dalam Pasal
613 KUH Perdata.
Cessie adalah suatu cara pengalihan piutang atau penyerahan tagihan
atas nama yang diatur dalam Pasal 613 KUH Perdata. Disepakati pula istilah
teknis hukum yang berkaitan dengan cessie, orang yang menyerahkan
tagihan atas nama (kreditur asal) disebut cedent, yang menerima penyerahan
(kreditur baru) adalah cessionaris, sedangkan cessus adalah debitur, yang
mempunyai utang.
Pasal 613 ayat 1 KUH Perdata berbunyi :“Penyerahan piutangpiutang
atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan
dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah tangan yang melimpahkan
hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain.“
Pasal 613 ayat 2 KUH Perdata berbunyi :“Penyerahan ini tidak ada
akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan
kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.”

Pasal 613 KUH Perdata tersebut berada dalam Bagian Kedua Buku
Kedua KUH Perdata dibawah judul Tentang Cara Memperoleh Hak Milik,
jadi cessie merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penyerahan dalam proses cessie
adalah penyerahan tagihan atas nama dari cedent ke cessionaris. Telah
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tagihan atas nama adalah tagihan
atau piutang yang jelas atas nama krediturnya (dalam hal ini apabila cessie
belum dilakukan maka tagihan atau piutang masih atas nama kreditur lama).
Dalam tagihan atas nama jelas kepada siapa utang tersebut harus dibayar.
Dalam proses cessie ini, tindakan penyerahan tidak berdiri sendiri,
tindakan tersebut selalu merupakan konsekuensi lebih lanjut dari suatu
peristiwa hukum, yang mewajibkan orang untuk menyerahkan sesuatu.
Hubungan hukum yang mewajibkan adanya penyerahan disini disebut
sebagai hubungan hukum obligatoir, yang bisa timbul dari perjanjian
maupun dari undang-undang. Hubungan hukum obligatoir dalam proses
cessie termasuk yang timbul dari perjanjian karena muncul karena
diperjanjikan antara para pihak. Kita ketahui suatu perjanjian obligatoir
adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak.
Peristiwa yang menjadi dasar penyerahan yang disebut peristiwa
perdata atau rechtstitel adalah peristiwa yang menimbulkan perikatanperikatan
diantara dua pihak, dimana yang satu berkedudukan sebagai
kreditur dan pihak lain berkedudukan sebagai debitur. Jadi peristiwa perdata
(rechtstitel) tersebut adalah hubungan obligatoir yang menjadi dasar cessie.3
Dalam permasalahan ini, rechtstitel atau peristiwa perdata yang menjadi
dasar cessie dikenal dengan nama perjanjian jual beli dan pengalihan
piutang. Permasalahan disini adalah hubungan antara peristiwa perdata
(rechtstitel) tersebut dengan tindakan penyerahannya sendiri (cessie). Apabila
dikaitkan dengan rumusan teori kausal dan teori abstrak, masih banyak
perdebatan KUH Perdata menganut teori kausal ataukah teori abstrak.
Teori kausal hubungannya adalah sebab akibat sebagaimana
disampaikan oleh J. Satrio, maka atas peristiwa cessie ini parameternya
adalah apakah peristiwa perdata yang mendasari tindakan penyerahan
tersebut sah? Apabila peristiwa perdatanya batal atau dibatalkan maka
demikian juga tindakan penyerahannya adalah batal atau dengan kata lain
pihak penerima piutang (kreditur baru) tidak berhak untuk menerima
piutang tersebut. Dalam praktik, disini apabila terjadi perjanjian jual beli
dan pengalihan piutang yang cacat hukum, batal ataupun dibatalkan, maka
penyerahannya juga batal, dan akibatnya si penerima penyerahan
(kreditur baru) tidak menjadi pemilik atas piutang yang dialihkan tersebut.
Sebagai pertimbangan dari pendapat teori abstrak, bahwa
penyerahan harus didasarkan atas adanya kehendak untuk menyerahkan.
Kehendak untuk menyerahkan tersebut tampak pada peristiwa perdata
(rechtstitel)nya. Rechtstitel disini merupakan peristiwa yang berdiri sendiri
dengan penyerahan. Teori abstrak tidak mensyaratkan titel yang sah, hanya
mensyaratkan adanya suatu titel saja. Jadi dengan telah dilaksanakannya
perjanjian obligator dalam hal ini penulis contohkan sama yaitu dengan
perjanjian jual beli dan pengalihan piutang, apabila perjanjian tersebut batal
atau dibatalkan maka bisa saja penyerahannya tetap sah. Hal ini tetap harus
mengingat Pasal 584 KUH Perdata tentang cara memperoleh hak milik yang
berbunyi hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan
pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu,
dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat
wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa
perdata untuk pemindahan hak milik, yang dilakukan oleh orang yang
berhak untuk berbuat terhadap barang itu.
Penyerahan tersebut harus dilakukan oleh orang yang berhak atas
barang tersebut atau pemilik yang sah. Teori abstrak disini dalam praktik
memberikan perlindungan kepada pembeli terakhir apabila ternyata barang
atau piutang tersebut telah dialihkan lagi kepada pihak pembeli terakhir
yang beritikad baik.

Berkaitan dengan rumusan masalah yaitu mengenai perlindungan


hukum terhadap para pihak khususnya cessionaris dan cessus dalam hal
pemberitahuan setelah dilakukannya penandatanganan akta cessie, maka
penulis menyoroti bahwa hal ini akan sangat banyak kemungkinannya
ditemui dalam pratik. Terutama kenyataan yang sering ditemui dalam bisnis
perbankan, apabila ada debitur yang mulai mengalami kesulitan
pengembalian fasilitas kredit kepada bank. Memang masih ada debiturdebitur
yang kooperatif dalam upaya menyelesaikan permasalahan
kreditnya. Akan tetapi yang lebih banyak ditemui adalah apabila debitur
telah mulai masuk ke kolektibilitas dalam perhatian khusus ataupun macet,
sulit untuk melakukan koordinasi dengan bank bahkan ada kemungkinan
debitur tersebut menghilang (tidak kooperatif).
Apabila dalam kondisi demikian, dengan penuh pertimbangan bank
akan mencari jalan dalam penyelesaian kreditnya. Salah satunya dengan
lembaga cessie, apabila ada calon pembeli piutang yang berminat baik itu
orang pribadi ataupun bank lain (badan hukum). Calon pembeli piutang
disini bisa juga selain bank sebagai badan hukum, yaitu orang pribadi. Dasar
kewenangan pengalihan piutang adalah perjanjian kredit sendiri yang dibuat
oleh debitur dengan bank selaku kreditur awal. Dimana perjanjian kredit
tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya
(Pasal 1338 KUH Perdata).
Kembali pada redaksi Pasal 613 angka 1, 2 KUH Perdata, bahwa:
penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak
bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau dibawah
tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang
lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis
atau diakuinya.
Seperti telah dijelaskan, bahwa dalam peristiwa cessie ada kemungkinan debitur
(cessus) tidak mengetahui bahwa utangnya telah
dialihkan kepada kreditur lain. Dan sesuai bunyi Pasal 613 angka 2 KUH
Perdata: “…tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan
itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau
diakuinya..”, maka dapat diartikan bahwa cessie yang telah terjadi antara
cedent (kreditur awal) dengan cessionaris (kreditur baru) adalah tidak
mempunyai akibat hukum bagi cessus (debitur) sebelum kepadanya
diberitahukan atau disetujui secara tertulis atau diakuinya. Tidak ada akibat
hukum disini artinya cessus (debitur) tetap menganggap bahwa krediturnya
pada saat itu adalah kreditur awal, dimana dengan ketidaktahuannya itu
cessus (debitur) tetap melakukan pembayaran angsuran atau pengembalian
fasilitas kredit kepada cessionaris (kreditur awal), meskipun anggapan
cessus (debitur) tersebut tidak benar karena senyata-nyatanya piutang telah
beralih menjadi milik cessionaris (kreditur baru).
2.3 Peralihan jaminan debitur dapat di balik nama oleh kreditur baru dalam
penyelesaian kredit macet (bermasalah) pemilikan rumah di Indonesia

Untuk dapat melakukan peralihan nama sertipikat, pembeli cessie


membutuhkan BPN sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam hal kepengurusan
tanah. Namun pihak BPN tidak mau menerima akta cessie saja sebagai dasar untuk
peralihan nama di sertipikan, sehingga pembeli cessie harus mengajukan permohonan
ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu, agar dari ketetapan Pengadilan Negeri tersebut
dapat menjadi dasar peralihan nama (didalam penetapannya, PN memerintahkan BPN
untuk dapat mengalihkan nama yang tertulis di sertipikat menjadi nama pembeli
cessie sesuai dengan pasal 621 KUHPer).
Meskipun sudah jelas diatur dan diperintahkan oleh Undang-Undang, yaitu
pada pasal 621 KUHPer, tetapi sebagian ketua pengadilan negeri berpendapat
berbeda. Ada yang memiliki pendapat tidak perlu dibuatkan penetapan, namun ada
yang berpendapat bahwa harus didahului dengan gugatan, berdasarkan surat edaran
Mahkamah Agung yang memerintahkan (SEMA/PERMA No. 3 Tahun 2016) bahwa
permohonan peralihan hak harus didasarkan dari hasil amar putusan bukan
penetapan, kecuali peralihan hak untuk kepentingan umum oleh Negara.
Harus diingat, bahwa susunan sumber hukum yang terdapat di Indonesia
adalah UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Ketetapan
MPR,UU/Perppu,Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,Peraturan Daerah
Provinsi,Peraturan Daerah Kabupaten/Kota25, maka tidak patut bila lebih
mendahulukan ketentuan yang terdapat di SEMA/PERMA Mahkamah Agung
daripada Undang-Undang. Sekaligus adanya asas Pacta Sunt Servanda (setiap perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang dibuatnya)
sesuai ketentuan pasal 1338 KUHPer, yang mana berlaku bagi kreditur lama dengan
kreditur baru.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Bahwa sesuai dengan asas droit de suite, yakni suatu hak yang terus
mengikuti pemilik benda, atau hak yang mengikuti bendanya di tangan
siapapun yang mana hak kebendaan itu sendiri adalah
suatu hak absolut, artinya hak yang melekat pada suatu benda, memberikan
kekuasaan langsung atas benda tersebut dan dapat dipertahankan terhadap
tuntutan oleh setiap orang. Asas tersebut sejalan dengan pasal 621
KUHPerdata dan pasal 16 Undang- Undang nomor 4 tahun 1996 tentang hak
tanggungan atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, hal tersebut dibuktikan dengan kesamaan yang
terdapat di kedua pasal tersebut dalam memberikan kepastian hukum kepada
pembeli cessie.
Namun, meskipun terlihat sama tetapi keduanya memiliki bagian yang
berbeda dalam memberikan kepastian hukum Pada pasal 621 KUHPerdata,
Undang-Undang memberikan kepastian hukum
mengenai Hak Keperdataan yang akan didapat oleh pembeli cessie, yang mana
hak tersebut dapat diperoleh dengan melalui Putusan Pengadilan.

Sedangkan pada pasal 16 Undang-Undang Hak Tanggungan


memberikan kepastian hukum mengenai Hak Peralihan Piutangnya melalui
proses cessie.
1. Akta cessie yang dibuat oleh Notaris bukan merupakan proses penghapusan
hutang (atau roya) di dalam Hak Tanggungan atau hipotek, tetapi hanya
merupakan pengalihan piutang saja dari kreditur lama kepada kreditur baru
yang kemudian peralihan tersebut dicatat di dalam sertipikat hak tanggungan
sebagai pemegang hak tanggungan peringkat II. Hal ini merupakan salah satu
kepastian hukum yang diberikan oleh Undang-Undang kepada pembeli cessie
(yang mana menurut Undang-Undang pembeli cessie memiliki Hak tagih
terhadap obyek tersebut). Namun kepastian hukum seperti yang tersebut diatas
masih belum sempurna, meskipun telah dibuatnya akta cessie oleh Notaris dan
dicatatnya perubahan kreditur tersebut di dalam sertipikat Hak Tanggungan,
karena pembeli cessie masih belum memiliki Hak kepemilikan atas tanah tsb.

2. Akta cessie yang dibuat oleh Notaris tidak dapat secara langsung dijadikan
dasar untuk melakukan peralihan hak tanah di BPN. Perlu disempurnakan
dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu, agar
dari ketetapan Pengadilan Negeri tersebut dapat menjadi dasar peralihan nama
(didalam penetapannya, PN memerintahkan BPN untuk dapat mengalihkan
nama yang tertulis di sertipikat menjadi nama pembeli cessie sesuai dengan
pasal 621 KUHPer). Hal ini dibuktikan dengan contoh penetapan pengadilan
nomor : 142/Pdt.P/2017/PN.Sda., bahwa hakim menerima permohonan cessie
dengan didasari “…berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum tersebut
diatas, Pengadilan Negeri menganggap cukup layak dan pantas untuk
memeriksa dan menyelesaikan permasalahan cessie ini dan tidak bertentangan

3. dengan hukum yang berlaku, maka permohonan pemohon cukup beralasan


dan tidak bertentangan dengan hukum sehingga dapat dikabulkan.” Namun,
sampai dengan saat ini, meskipun dasar hukum sudah ada dan jelas, tetapi
tidak jarang didalam prakteknya ketika pembeli cessie bermaksud
mendapatkan permohonan penetapan di Pengadilan Negeri, untuk mengajukan
balik nama ke BPN, pasti diawali dengan mendapatkan penolakan, oleh sebab
itu diperlukan suatu pemahaman yang sama dari semua pihak
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahid, Mariyadi, Sunardi. 2017. Penegakan Kode Etik Profesi


Notaris, Tangerang Selatan: Nirmana Media.
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman. 2016. Hukum Perbankan Cet. Ketiga,
Jakarta: Sinar Grafika.
Habib Adjie. 2014. Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU
No.30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Cet. Keempat,
Bandung: PT Refika Aditama.
Habib Adjie. 2013. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris
sebagai Pejabat Publik Cet. Ketiga, Bandung : PT Refika Aditama.
Herlien Budiono. 2015. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang
Kenotariatan, Buku Ketiga, Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Herlien Budiono. 2014. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung : PT Citra Aditya
Bakti.
Johnny Ibrahim. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif
Cet. Ketiga, Malang : Bayumedia Publishing.
J. Satrio. 1991. Cessie, Subrogasi, Novatie, Kompensatie dan Percampuran
Hutang, Bandung : Alumni.
Rachmad Setiawan. J. Satrio. 2010. Penjelasan Hukum tentang Cessie,
Jakarta : National Legal Reform Program.
R.M Suryodiningrat. 1985. Azas-azas Hukum Perikatan Edisi Kedua,
Bandung : Tarsito.
Suharnoko, Endah Hartati. 2006. Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Nieuw Nederlands
Burgelijk Wetboek, Code Civil Perancis dan Common Law, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group.
Sutarno. 2004. Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung :
Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai