Anda di halaman 1dari 8

Kaidah 1: Berdakwah kepada Allah

merupakan jalan keselamatan di dunia


dan akhirat
‫الدعوة إلى هللا سبيل النجاة في الدنيا و اآلخرة‬

Seorang da’i, selayaknya memahami betul hakekat dari sebuah penciptaan manusia
di atas muka bumi. Dengan pemahaman yang matang tentang hal ini, para da’i
dapat dengan sempurna menjalankan tugasnya. Sebagaimana yang telah
dicontokan oleh para nabi dan rasul.

Firman Allah Swt. dalam Al Quran surat Adz-zariyat, ayat: 56, mengabarkan kepada
kita akan arti dari hakekat penciptaan. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

Dan “berdakwah” merupakan amalan ibadah yang menempati posisi puncak,


sebagai bentuk aplikasi dari dua definisi ibadah yang disampaikan oleh Imam Ar-razi
dalam tafsirnya tadi. Hal ini dikarenakan, pertama; berdakwah memiliki makna
menyeru manusia menuju Allah. Tugas yang sama seperti yang diemban oleh para
nabi dan rasul. Dalam Surat Al Fushilat ayat 33, Allah Swt. telah berfirman,
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada
Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk
orang-orang yang berserah diri?”

Kedua, di dalam berdakwah pula, tercermin rasa kasih sayang antar sesama
makhluk ciptaan Allah. Hal ini bener adanya, karena seorang da’I, melihat obyek
dakwah (mad’u) dengan penuh harapan, dapat menjadikan dirinya wasilah hidayah
menyelamatkan mad’u-nya dari kesia-siaan dalam menjalani hidup. Sang da’i
kemudian mendekatinya, dan terus berusaha memberikan arahan, memberikannya
pengajaran akan hakekat dari sebuah kehidupan.

Sayyid Quthub dalam tafir Fi Zilalil Qur’an-nya menuliskan, “Hal ini merupakan
sunatullah yang terjadi di atas muka bumi, dan ini merupakan janji Allah kepada para
wali-nya. Apabila jalan juang ini terasa panjang, maka sadarilah, bahwa inilah
sebenar-benarnya jalan juang itu. Dan jangan tanya lagi berapa besarnya ganjaran
yang dijanjikan untuk orang beriman. Dan janganlah ia terburu-buru untuk
mendapatkannya, karena jalan juang masih harus ia rentasi. Allah tidak akan pernah
mengkhianati janji untuk para wali-nya, dan tidak akan melemahkan bantuan
terhadapnya, dan Ia tidak pula akan membiarkan para wali-nya dikalahakan oleh
para musuh-Nya. Namun Allah justru akan memberikannya sebuah pengajaran,
melatih dan menambah ujian bagi para wali-Nya, dengan memanjangkan jalan
dakwah yang harus ia tapaki.”
Kaidah 2: Hidayah Allah Melalui
Tanganmu Lebih Baik dari Unta Merah
ِ ‫َّللا أل َ ْن يُ ْه َدى بِكَ َر ُج ٌل َو‬
‫اح ٌد َخي ٌْر لَكَ ِم ْن ُح ْم ِر النهعَ ِم‬ ِ ‫فَ َو ه‬

“Demi Allah, seandainya Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran


ajakanmu maka itu lebih baik bagimu dari pada seekor unta merah” (HR. Bukhari no.
2942 dan Muslim no. 2406, dari Sahl bin Sa’ad)

Dari Abul `Abbas Sahl bin Sa’d As Sa’idy r.a. bahwasanya ketika perang Khaibar
Rasulullah saw. bersabda: “Besok pagi aku akan memberikan panji kepada
seseorang yang Allah akan memberikan kemenangan melalui kepemimpinannya. la
mencintai Allah dan rasul-Nya serta Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.
Semalaman orang-orang ramai membicarakan siapakah di antara mereka yang
akan diserahi panji itu. Pagi harinya mereka datang kepada Rasulullah Saw., dan
semuanya mengharapkan agar dirinya yang diserahi panji itu.

Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Di manakah Ali bin Abu Thalib?” Ada yang
menjawab: “Wahai Rasulullah, ia sedang sakit mata”. Beliau bersabda : “Panggillah
ia kemari”. Ketika Ali datang maka Rasulullah Saw. meludahi kedua matanya dan
mendoakannya. Lantas sembuhlah penyakit itu seakan-akan ia tidak kelihatan kalau
baru saja sakit, kemudian ia diberi panji oleh beliau. Ali ra. berkata: “Wahai
Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka sehingga mereka seperti kami
ini?” Beliau menjawab: “Laksanakanlah dengan tenang sehingga kamu sampai di
daerah mereka, kemudian ajaklah mereka untuk masuk Islam dan beritahukan
kepada mereka tentang hak Allah Ta’ala yang harus mereka kerjakan. Demi Allah,
seandainya Allah memberi petunjuk kepada seseorang lantaran ajakanmu maka itu
lebih baik bagimu dari pada seekor unta merah”. (Muttafaqun ‘alaih).

Dalam kitab Fathul Bâri dijelaskan, petikan hadis ini memberikan pesan bahwa
menjadi pintu hidayah bagi seseorang, lebih baik bagi dari pada memiliki seekor
unta merah, yang mana hewan itu merupakan simbol kekayaan dan hal yang paling
dibanggakan dikalangan bangsa Arab pada masa itu.

Manusia dengan segala lika-liku hidupnya, pada hakekatnya hanya akan berada di
salah satu antara dua jalan; berada dalam jalan hidayah menuju Allah Swt., atau
berada dalam jalan kesesatan, yang membutakan mata hatinya hingga menjadikan
ia kehilangan arah dalam menjalani kehidupan.

Dalam berdakwah, ada kala dakwah itu diterima dengan baik dan berkembang
pesat, ada pula kalanya ia ditolak, dan perkembangannya menjadi lambat. Namun
demikian, sadarilah bahwa bangunan Islam ini semakin kokoh dan besar tidak lain
karena dakwah itu sendiri, darinya lahir kemuliaan demi kemuliaan, bukan saja di
akhirat, tapi juga di dunia.

Syaikh Dr. Hamam Abdurrahman Said dalam bukunya merangkum beberapa point,
terkait dengan buah yang dipetik dari berdakwah, diantaranya yaitu:
Pertama, menyelamatkan orang lain. Seorang da’i menjadi wasilah bagi obyek
dakwahnya (mad’u) untuk kemudian terbebaskan dari siksa neraka jahanam.
Tidaklah mad’u itu diberikan karunianya oleh Allah dengan hidayah, melainkan
melalui tangan-tangan para da’i yang bekerja tak kenal lelah, berjuang siang dan
malam demi menyebarkan dan mendakwahi mereka tentang risalah mulia ini.

Kedua, mengalirkan pahala tanpa henti. Setiap aktivitas amal kebaikan yang
dilakukan oleh mad’u melalui wasilah para da’i, baik ia itu bertasbih, bertakbir,
bertahmid, rukuk dan sujud, serta amalan kebaikan lainnya, melainkan sang da’i
juga akan mendapatkan ganjaran yang serupa, sesui dengan setiap kebaikan yang
dilakukan oleh mad’u-nya.

‫علَى ْال َخي ِْر َكفَا ِع ِل ِه‬


َ ‫إِ هن الدها هل‬

Dalam sabda-Nya Rasulullah Saw. mengatakan, “Yang menunjukkan kepada


kebaikan, maka ia akan mendapatkan sama seperti apa yang dilakukan” (HR.
Muslim)

َ ‫ص ِم ْن أ ُ ُج ْو ِر ِه ْم‬
‫ش ْى ٌء‬ َ ُ‫سنَةً فَلَهُ أَجْ ُرهَا َوأَجْ ُر َم ْن َع ِم َل بِ َها بَ ْع َدهُ ِم ْن َغي ِْر أَ ْن يَ ْنق‬
َ ‫سنهةً َح‬
ُ ‫اإل ْسالَ ِم‬
ِ ‫ي‬ َ ‫َم ْن‬
ْ ِ‫س هن ف‬

Dalam hadis lain dikatakan, “Barang siapa yang menerapkan kebiasaan yang baik
dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakannya tanpa
dikurangi sedikitpun pahalanya”. (HR. Muslim)

Inilah ganjaran perputaran pahala yang berjalan tanpa henti hingga hari kiamat.
Itulah alasan, mengapa kita tidak mampu mengimbangi ganjaran pahala para
sahabat. Itulah indahnya hidup dalam dakwah, para pelakunya tak pernah
merasakan rugi.

Ketiga, mengokohkan bangunan dakwah. Mad’u yang kemudian berubah setelah


mendapatkan hidayah, akan memberikan kebaikan, bukan hanya bagi dirinya, tapi
juga menjadi kekuatan bagi gerbong dakwah itu sendiri. Bangunan dakwah pada
hakekatnya tak akan membesar, kecuali dikarenakan masih eksisnya dakwah. Ia
akan semakin kokoh bangunannya, ketika yang bergabung dengannya adalah
orang-orang “kuat”.

Keempat, seni dalam berdakwah. Hidayah dari Allah Swt., bukan lahir dari tajamnya
pedang dan runcingnya busur panah. Tapi lahir dari kelembutan dan perkataan yang
penuh dengan hikmah, seperti yang termaktub dalam firman Allah Swt. “Serulah
(manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl: 125)

Kelima, membentuk bangunan baru. Berkaca pada masa Rasulullah Saw.,


bagaimana setiap harinya pada masa berdakwah di Mekkah, satu persatu kaum
kuffar kehilangan orang-orang pentingnya. Ibarat sebuah bangunan, yang satu
persatu batu batanya hilang, maka ia akan roboh dengan sendirinya. Batu bata yang
hilang itu kemudian disusun kembali menjadi bangunan baru.
Kaidah 3: Pahala Diperoleh Karena
Berdakwah Bukan Karena Hasilnya
” ‫“ األجر يقع بمجرد الدعوة وال يتوقف على االستجابة‬

“Pahala didapat karena melaksanakan dakwah, bukan tergantung kepada


penerimaannya”

Kaidah ini meluruskan pemahaman yang sering disalahartikan oleh banyak orang,
bahwa pahala haruslah berbanding lurus dengan hasil yang didapat secara zahir,
sehingga penilaiannya dapat dihitung secara matematis seperti umumnya pekerjaan
duniawi. Apabila cara pandang seperti ini yang dijadikan acuan, maka para nabi bisa
dikatagorikan gagal dalam mengembankan amanah dakwah, karena dakwah
mereka hanya menghasilkan pengikut yang jumlahnya sedikit.

Jumlah pengikut yang sedikit juga didapat oleh para nabi lainnya. Ketika pada hari
kiamat nanti, para Nabi dan Rasul dikumpulkan dan mereka datang dengan umatnya
masing-masing, dari mereka ada yang membawa satu, dua, tiga, bahkan ada yang
sama sekali tidak membawa pengikut seorangpun.

Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis. Imam Tirmidzi mentakhrij dari jalur Ibnu Abbas
Semoga Allah meridhoi keduanya seraya berkata : “Tatkala Nabi diisra’kan Nabi melewati
beberapa Nabi yang bersama mereka pengikut yang banyak, beberapa Nabi lainnya sedikit
jumlah pengikutnya dan beberapa nabi lagi tidak mempunyai satu orang pengikutpun.”

Allah Swt. sendiri telah berfirman: “Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu
sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah).”
(QS.Asyu’araa’ :48)

Adapun terkait dengan hal hidayah, sesungguhnya itu semua adalah urusan Allah
untuk memberikannya.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah
lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qashash: 56)

Oleh karenanya, barang siapa yang memahami kaidah ini secara baik, maka ia akan
berdakwah tanpa beban, tidak merasa kecewa ataupun stress hanya dikarenakan dakwah
yang siang malam ia lakukan berakhir dengan penolakan dan jumlah pengikut yang sedikit.

Kaidah ini juga menjadi obat bagi mereka yang tergesa-gesa memetik hasil dari dakwah
yang selama ini mereka kerjakan. Yaitu mereka yang menunggu hasil yang nampak secara
kasat mata duniawi, dan kemudian menjadikannya syarat dan takaran pilihan, antara
melanjutkan perjuangan di jalan dakwah ini atau tidak. Cara pandang seperti ini sebenarnya
cara pandang yang salah, sehingga bertolak belakang dengan kaidah dakwah yang
diajarkan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Kaidah 4: Da’i Wajib Mencapai
Level Mubaligh
‫على الداعية أن يصل إلى رتبة ال ُمبَ ِلغ وأن يسعى إلى البالغ‬

“Seorang da’i harus sampai pada tingkatan penyampaian yang optimal dan selalu
berusaha memberikan penyampaian yang menyentuh (balagh).”

Dalam mengemban misi dakwah, seorang da’i layaknya seorang penjual yang
tengah mempromosikan barang dagangannya. Sang penjual biasanya mengemas
daganganya sedemikian rupa sehingga dapat menarik hati para pembeli. Berbagai
upaya dilakukan, mulai dari mencari kata-kata yang menarik, penyajian yang eye
catching, hingga promosi disertai bonus-bonus yang menggiurkan, tentu saja
dengan begitu para pembeli diharapkan langsung memburu dan ‘tergila-gila’ untuk
mendapatkannya.

Begitu pula dalam berdakwah, seorang da’i juga dituntut bisa mengemas dakwah ini
menjadi menarik, sehingga risalah mulia ini dapat tersampaikan dengan begitu
memikat, dan umat manusia pun tertarik untuk berbondong-bondong menyambut
seruan kebenaran ini. Mereka menjadi terpaku dengan keindahannya,
kedamaiannya dan kelembutannya, sehingga memilih Islam sebagai lentera dalam
kehidupannya di dunia.

Diantara cara dalam menjadikan dakwah ini menjadi memikat adalah dengan
penyampaian yang jelas, terang, tegas dan mampu menyentuh hati para mad’u
(obyek dakwah). Hal ini yang dipesankan Allah Swt. kepada para nabi dan rasul
melalui firman-Nya, “Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-nahl: 35)

Namun ketika dakwah itu justru direspon negatif dan kaum yang didakwahi berpaling
menolak kebenaran yang dibawa, maka kondisi seperti ini merupakan akhir dari
usaha yang telah disampaikan secara optimal. Sebagaimana fiman Allah tentang
Nabi Shaleh As.. “Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata, “Hai kaumku,
sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah
memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang
memberi nasehat’.” (Al-A’raf: 79)

Tuntutan kesempurnaan dalam menyampaikan isi dakwah menjadi titik tekan sendiri
yang Allah sampaikan kepada Nabi Muhammad Saw. Allah Swt. berfirman, “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)

Imam Al-Qurtubi kemudian menafsirkan ayat ini, beliau mengatakan, “Hal ini
merupakan pengajaran yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw., bahwa
dalam menyampaikan ilmu kepada umat agar tidak menyembunyikan sesuatu
apapun dari Syariat yang telah ditetapkan”. Dengan kata lain, transfer ilmu yang
disampaikan harus secara menyeluruh sebagaimana yang telah diturunkan, tidak
setengah-setengah apalagi ada yang disembunyikan.

Disamping itu maksud dari kata ‫( البالغ‬penyampaian) tidak sebatas hanya memberi
kabar tentang kebenaran saja, atau hanya mengumumkan tentang kebenaran itu,
tapi yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana caranya agar risalah mulia yang
didakwahkan ini sampai kepada seluruh umat manusia dan dapat mereka serap
dengan baik.

Agar pesan dakwah itu dapat tersampaikan dengan baik ke mad’u, maka seorang
da’i perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, selayaknya seorang da’i menjiwai tentang apa yang ia sampaikan kepada
orang lain. Karena mustahil sesuatu yang tidak lahir dari penjiwaan yang baik yang
bersumber dari kesadaran di dalam hati, akan mendapat penerimaan yang baik pula
dari hati.

Rasulullah Saw bersabda: “Allah telah memberi kenikmatan wajah yang berseri-seri
kepada sesorang yang mendengar sabdaku lalu ia menyadarinya, menghafalnya,
dan menyampaikannya, dan telah dekat orang yang mendalami ilmu kepada yang
lebih mendalaminya. Ada tiga hal yang tidak boleh terhalang dari hati seorang
muslim: ikhlas beramal karena Allah, menasehati pemimpin-pemimpin kaum
Muslimin, dan komitmen dengan jamaah mereka, karena dakwah senantisa
membentang di belakang mereka.” (HR. Tarmidzi)

Al Khitaby dalam penjelasan hadis ini memberikan tekanan dalam dua hal, pertama,
nadharah yang memiliki makna kenikmatan dan wajah yang berseri-seri hadir
karena pengaruh dari penyampaian seorang da’i terhadap mereka yang
mendengarnya, maka dari itu para da’i disebut sebagai pemilik wajah yang cerah
baik di dunia maupun di akhirat. Kedua, makna “menyadari” dalam konteks hadis di
atas, berdefinisikan menghafal teksnya lalu mengamalkannya dalam kehidupan.
Disamping itu juga memahami makna-makna hadis secara utuh baik periwayat dan
matannya, serta memahami penjelasan isinya.

Kedua, berdakwah dengan memilah-milih kata yang mampu memikat, sehingga


dapat membekas di hati para pendengar. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah
Swt., “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati
mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran,
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An-
Nisa: 63)

Inilah pentingnya bagi seorang da’i untuk gemar membaca. Karena dengan banyak
membaca, seorang da’i menjadi kaya dengan pembendaharaan kata yang banyak,
sehingga kata-kata yang terucap dari lisannya dapat mengalir indah dan membekas
di setiap hati para mad’u-nya.

Kata-kata yang berbobot itu paling tidak mencakup hal berikut, yaitu berisikan kabar
yang menyenangkan, menakutkan, peringatan, mengingatkan, motivasi pahala serta
ancaman siksa. Dengan demikian mad’u pun akan tersentuh hatinya, gembira
dengan janji yang menyenangkan, dan memiliki rasa cemas akibat kesalahan yang
pernah dilakukan, sehingga memohon kepada Allah agar ia dijauhkan dari ancaman
siksa neraka.

Ketiga, Al Quran telah menjabarkan pentingnya menyampaikan dakwah dengan


lancar tak terabata-bata dan fasih secara lisan. Sebagaimana firman Allah Swt. yang
diucapkan nabi Musa As. “Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka
mengerti perkataanku.” (Thaha: 27-28)

Nabi Musa dalam hal ini menyadari bahwa dengan perkataan yang fasih menjadi
kunci dari membekasnya penyampaian dan kokohnya argumentasi. Imam Ar-Razy
kemudian menjelaskan, bahwa para Ulama berbeda pendapat terkait alasan Nabi
Musa As. meminta kepada Allah agar dilepaskan dari kekakuan lidahnya, pertama,
agar tidak ada kesalahan fatal yang terjadi ketika penyampaian, kedua, mencegah
agar jangan sampai para pendengarnya kemudian bubar, karena kekakuan dalam
berbicara memberikan pengaruh kepada para pendengar sehingga tak lagi menarik
perhatiannya, ketiga, meminta agar dimudahkan dalam penyampaian, karena Nabi
Musa As. dalam hal ini tengah berhadapan dengan Fir’aun yang mengklaim dirinya
sebagai Tuhan, sehingga butuh jaminan kemudahan dalam berbicara. Karena kalau
sudah kesulitan dalam memulai pembicaraan di awal maka akan berlanjut hingga
akhir.

Keempat, yang membantu seorang da’i memiliki penyampaian yang baik dan
menyentuh adalah dengan menghadirkan rekan-rekan seperjuangannya yang lain,
berada disampingnya untuk saling menguatkan, sehingga dapat memberi
ketenangan dan kepercayaan diri yang lebih. Ini dalam konteks personal pribadi
sang da’i, namun dari sisi lain, yaitu pihak mad’u, mereka akan melihat ternyata
sang da’i tidak sendirian, dan menilai dakwahnya telah memberikan dampak positif,
terbukti dengan adanya para pengikut ataupun rekan yang banyak. Sehingga dapat
memantapkan kepercayaan mad’u tersebut untuk kemudian mendengarkan kata
demi kata yang disampaikan oleh sang da’i.

Sebagaimana firman Allah Swt. kepada Nabi Musa As., “Allah berfirman: “Kami akan
membantumu dengan saudaramu” (QS. Al-Qashash: 35) dan juga dalam QS. Toha:
29-32, Allah berfirman terkait permintaa Nabi Musa As., “Dan jadikanlah untukku
seorang pembantu dari keluargaku. (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan
dia kekuatanku. Dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku”

Imam Ar-Razy menafsirkan ayat ini dengan dua kesimpulan, pertama, Nabi Musa
As. meminta teman dalam hal ini saudaranya, Nabi Harun As. karena merasa
keterbatasan dirinya sebagai seorang hamba yang memiliki kekurangan, sehingga ia
butuh teman yang dapat menguatkan, dan yang kedua, dikarenakan untuk
mendakwahi agama ini dibutuhkan kekuatan do’a, sehingga ia pun memohon
kepada Allah Swt. agar ia diteguhkan.

Kelima, seorang da’i hendaknya memanfaatkan segala fasilitas yang ada sebagai
wasilah untuk memudahkan penjelasan risalah mulia ini kepada umat. Di era
modern seperti sekarang, para da’i dituntut untuk melek teknologi, sehingga dakwah
ini ditampilkan secara menarik, tidak ketinggalan zaman dan berjalan sesuai dengan
sarana modern yang ada, seperti dengan internet, film, nasyid, novel, slide power
point, bisa pula melalui agenda rihlah melaui tadabur alam, out bound, games dan
sarana menarik lainnya.

Keenam, untuk memiliki penyampaian dakwah yang optimal, seorang da’i harus
kreatif dan cerdas melihat peluang dalam setiap waktu dan kondisi. Bisa jadi obyek
dakwah yang ia seru kepada jalan kebaikan, ternyata tak biasa menerima secara
spontan, tapi harus pendekatan perlahan. Ada yang tak bisa didekati pada waktu
siang karena sibuk, maka cerdaslah untuk memilih waktu lain. Ada yang ketika sehat
begitu keras untuk menerima kebenaran, dekatilah ia di waktu sakit, mungkin
hatinya bisa lebih luluh pada saat itu. Maka berseni dan cerdaslah melihat peluang
dalam menyampaikan dakwah.

Sebagaimana firman Allah Swt. melalui lisan nabi Nuh As. yang termaktub dalam
QS. Nuh 5-10. Terkait ayat itu Ibnu Katsir kemudian mengatakan, “kreatiflah dalam
berdakwah, agar misi menyampaikan risalah mulia ini berakhir dengan kesuksesan.”

Ketujuh, agar pesan dakwah tersampaikan dengan baik, maka seorang da’i
selayaknya menyampaikannya dengan penuh kelembutan (layyinan), tidak dengan
cara yang keras, memaksa, apalagi kasar. Dekati mad’u dengan cara yang baik,
panggil ia dengan nama yang ia sukai, perlakukan dengan penuh sopan, buat ia
terpikat, sehingga apa yang disampaikan pun dapat menyentuh hatinya.

Allah Swt. telah memerintahkan Nabi Musa As. mendakwahi Fir’aun dengan cara
yang lembut, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran, “Pergilah kamu berdua
kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu
berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat
atau takut”. (QS. Thaha: 43-44)

Dalam ayat lain Allah Swt. juga memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk
berdakwah dengan penuh hikmah, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS.An-Nahl: 125)

Wallahu al Musta’an

Disarikan dari kitab “Qawaidu ad-da’wah ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id,
cetakan Dârul wafâ, Manshurah, Mesir.

Anda mungkin juga menyukai