POLEMIK
TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJCK
-- HB Jassin –
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada cerita menarik dari Kutaraja (kini Banda Aceh). Setiap Rabu malam, orang-
orang berkerumun di stasiun kereta menunggu kiriman majalah Pedoman
Masjarakat yang terbit di Medan. Mereka bukan hanya agen penjual majalah itu,
tapi juga ratusan pembaca yang tidak sabar ingin membaca kelanjutan kisah
“Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang dimuat di majalah itu secara
bersambung pada 1938. 1 Penulis cerita bersambung itu ialah Hamka, nama
lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang juga pengasuh dan pendiri
majalah mingguan Pedoman Masjarakat.
1
Sebagaimana dituturkan kolega Hamka yang juga wartawan dan penulis terkenal, M. Yunan
Nasution, lihat: http://buyahamka.org/ mengenang-sastrawan-besar-hamka/
2
“Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008
masyarakat Belanda kepada para nelayan yang telah banyak membantu saat
kapal itu tenggelam. Dan Hamka mengabadikannya dalam sebuah novel.
Walaupun peristiwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck itu benar-benar terjadi,
kisah yang ditulis Hamka dalam novel itu tentu saja fiksi belaka. Sebagaimana
umumnya karya sastra yang baik dibangun di atas serpihan kejadian nyata,
Hamka pun mengolah tragedi yang memilukan itu dalam kisah fiksi yang diberi
badan peristiwa konkret dengan plot yang apik sehingga imajinasi pembacanya
memiliki pijakan di dunia faktual. Karakter utamanya (Zainuddin, Hayati, dan
Aziz) seolah pribadi-pribadi yang benar-benar hidup dan mewakili potret kaum
muda pada masa itu ketika mereka berhadapan dengan arus perubahan
sementara kakinya berpijak pada adat dan tradisi.
3
Polemik mengenai kasus ini telah didokumentasikan, di antaranya dalam buku: Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck dalam Polemik, editor Junus Amir Hamzah dengan bantuan penuh HB Jassin
(Jakarta: Mega Book Store, 1963); Aku Mendakwa Hamka Plagiat! Skandal Sastra Indonesia
1962-1964 oleh Muhidin M Dahlan (Yogyakarta: ScriPtaManent dan Merakesumba, 2011)
Sebagaimana novel Siti Nurbaya, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga
berkisah tentang cinta yang tak sampai. Tokoh utamanya, Zainuddin, adalah
anak dari Pendekar Sutan yang diasingkan ke Cilacap karena membunuh
mamaknya dalam sebuah perselisihan harta warisan. Setelah bebas ia pergi ke
Makassar dan di kota ini menikah dengan Daeng Habibah. Dari pernikahan
inilah lahir Zainuddin. Setelah orangtuanya meninggal, Zainuddin pergi ke
Batipuh, Padang Panjang, yang merupakan kampung halaman ayahnya.
Sayangnya, di sana ia tidak diperlakukan dengan baik karena dianggap bukan
anak Minang. Maklum walaupun ayahnya seorang Minang, ibunya orang Bugis
sehingga putuslah pertalian darah menurut garis matrilinear yang bernasabkan
kepada ibu.
Zainuddin yang pernah dikhianati merasa sulit untuk menerima kembali Hayati.
Perasaan cinta yang masih menyala dicoba untuk dipadamkan. Bahkan ia
meminta Hayati untuk kembali ke kampung halaman di Batipuh, walaupun
wanita itu merajuknya: “Tidak Hayati ! kau mesti pulang kembali ke Padang! Biarkan
saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang
hidup saya , orang tak tentu asal ….Negeri Minangkabau beradat !…..Besok hari senin,
ada Kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Periuk, akan terus ke Padang ! Kau
boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”. (hal. 198)
Hayati pun pulang dengan menumpang kapal Van Der Wijck. Namun nasib
malang menimpanya. Kapal yang ditumpanginya tenggelam di Laut Jawa.
Zainuddin yang mendengar berita itu langsung menuju rumah sakit di Tuban.
Sayang nyawa Hayati tidak dapat diselamatkan. Sejak peristiwa itu Zainuddin
sering mengalami sakit sampai akhirnya meninggal dan dimakamkan di
samping pusara Hayati.
Sejak awal, novel ini diterbitkan berpindah dari satu penerbit ke penerbit lain.
Mula-mula penerbit swasta, kemudian mulai tahun 1951 oleh Balai Pustaka. Lalu
pada tahun 1961 oleh Penerbit Nusantara. Hingga tahun 1962 novel ini telah
dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Setelah itu penerbitannya diambilalih oleh
4
HB Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta: Gramedia, 1985), hal.
63
5
“Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008
Bulan Bintang.6 Tidak hanya di Indonesia, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck juga
berkali-kali dicetak di Malaysia. Hingga kini novel ini terus dicetak, bahkan kini
novel ini telah dibuat film layar lebarnya.
Reaksi negatif dari sejumlah pembaca Muslim telah muncul saat pertama novel
ini diterbitkan. Mereka menolak membaca dan mengatakan bahwa seorang
ulama tidak sepatutnya mengarang cerita tentang percintaan. Dalam sebuah
tulisan di Pedoman Masyarakat No. 4 tahun 1938, Hamka seolah membela diri
menyatakan bahwa tidak sedikit roman yang berpengaruh positif terhadap
pembacanya seperti roman tahun 1920-an dan 1930-an yang mengupas adat
kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan bahaya pembedaan kelas.7
Tidak berhenti di situ, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menghadapi batu
sandungan lebih keras pada 1962, yakni 24 tahun sejak pertama diterbitkan.
Seorang penulis bernama Abdullah SP membuat esai berjudul “Aku Mendakwa
Hamka Plagiat” yang dimuat di Harian Bintang Timur, 7 September 1962. Dalam
esai itu ia menilai bahwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ialah hasil jiplakan
dari novel Magdalena karya sastrawan Mesir Mustafa Luthfi Al-Manfaluthi yang
juga hasil saduran dari novel Sous les Tilleuls karya pengarang Perancis,
Alphonse Karr.
6
Maman S. Mahayana, Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007),
hal. 168
7
“Hamka Menggebrak Tradisi”, Tempo, 19 Mei 2008
melainkan berlanjut dengan dibuatnya kolom khusus di Harian Bintang Timur
yang berjudul “Varia Hamka” dalam lembaran kebudayaan Lentera yang diasuh
oleh Pramoedya Ananta Toer.
Kasus ini terus bergulir menjadi polemik lantaran muncul pada era
pertentangan ideologi yang cukup keras antara kubu seniman kiri Lekra versus
kubu Manifes Kebudayaan. Para sastrawan Manifes Kebudayaan membela
Hamka dari tuduhan para seniman Lekra. Kedudukan Hamka sebagai anggota
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), partai yang dilarang oleh
Presiden Soekarno pada Agustus 1960, memperkeras polemik dan
membawanya ke ranah politik—bukan semata polemik sastra. Lekra banyak
menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka yang merupakan ulama dianggap
sebagai salah satu target penting.8 Kubu Abdullah SP (yang konon adalah nama
samaran dari Pramoedya Ananta Toer sendiri) berhadapan dengan kubu HB
Jassin bersama para sastrawan yang ikut membela Hamka yakni Anas Makruf,
Ali Audah, Wiratmo Soekito, Asrul Sani, Rusjdi, Umar Junus, Soewardi Idris,
dan lain-lain.
8
Maman S Mahayana, Oyon Sofyan, dan Ahmad Dian, Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia
Modern (Jakarta: Grasindo, 1995), hal. 78–79
9
DS Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk (Jakarta:
Mizan, 1995), hal. 40, catatan kaki no. 1
disesuaikan dengan alam sendiri (Indonesia) dengan mengubah nama-nama dan
suasananya. Saduran itu pun harus disebutkan nama pengarang aslinya. Selain
“plagiat” dan “saduran”, ada juga “pengaruh”, yakni hasil ciptaan pengarang
sendiri mendapat pengaruh pikiran atau filsafat pengarang lain, baik disengaja
maupun tidak.
Atas dasar itu, Jassin berpandangan bahwa karya Hamka bukan plagiat atau
jiplakan, karena Hamka tidak hanya menerjemahkan dan membubuhkan nama
sendiri dalam terjemahan itu, melainkan ia menciptakan karya dengan seluruh
kepribadiannya. Karena itu, “terlalu gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti
meneriaki tukang copet di Senen.”
Bagaimana sikap Hamka sendiri atas kasus yang menimpanya. Dalam majalah
Gema Islam (1962) ia menulis : “Tjatji maki dan sumpah-serapah terhadap diri saja
dengan mengemukakan tuduhan bahwa buku Tenggelamnja Kapal Van der Wijck jang
saja karang 24 tahun jang lalu, adalah sebuah plagiat, atau djiplakan, atau hasil tjurian
atau sebuah skandal besar, tidaklah akan dapat mentjapai maksud mereka untuk
mendjatuhkan dan menghantjurkan saja. Dengan memaki-maki dan menjerang
demikian persoalan belumlah selesai.”
Sisi lain yang menarik dari karya Hamka ialah pelabelan sastra Islam padahal
tidak satu pun ada petuah agama yang terkandung di dalamnya (secara
eksplisit). Baik di dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck maupun karya
lainnya yang terkenal seperti Di Bawah Lindungan Kabah dan Merantau Ke Deli,
sastrawan kelahiran Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908, ini sangat
piawai menyisipkan nilai-nilai keislaman secara implisit.
Hal ini berbeda dengan para penulis karya islami yang banyak bermunculan
akhir-akhir ini yang sangat gamblang menggunakan simbol-simbol Islam,
bahkan mengutip ayat-ayat Quran atau hadis, sehingga karya novel hampir
menyerupai kitab fikih. Pada Hamka, penyebutan kata Islam bisa dihitung
dengan jari, alih-alih mengutip Quran. Hal ini menarik perhatian kritikus sastra
Jakob Soemardjo. Ia menilai bahwa Hamka lebih mengutamakan substansi
keislaman ketimbang pemaparan tentang hukum-hukum Islam secara eksplisit.
“Hamka memasukkan nilai-nilai agama secara universal, sehingga umat di luar Islam
juga tertarik untuk menikmatinya,” kata Guru Besar Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung itu.10
10
“Berdakwah Tanpa Mengajari”, Jurnal Nasional, 31 Agustus 2008
Mungkin karena sifatnya yang tidak verbalistik itulah maka karya-karya Hamka
menjadi abadi. Sampai wafatnya pada 24 Juli 1981, Hamka akan terus dikenang
sebagai pengarang yang berdedikasi pada kesusastraan di tanah air.