Anda di halaman 1dari 2

Saidjah dan Adinda: Sebuah Kasih Tak Sampai.

Oleh Faizal Fadhilah D

“Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning


seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah banyak
kekeliruan di negeri tuan?”

Potongan pidato Max Havelar di hari Pertama kerja sebagai Asisiten Residen
Lebak tgl 22 januari 1857 di hadapan rakyat dan Regent atau Bupati Lebak. (cukilan
buku Max Havelar).

Inilah kisah Saidjah dan Adinda, romantisme rakyat kecil bukan berbicara roman
yang begitu picisan tapi roman konolialisme yang bersanding dengan rasa Saidja dan
Adinda. Maka tangis kemiskinan ini mengingatkan pada karya sastra Eduard Douwes
Dekker yang menggunakan nama pena Multatuli. Dalam karyanya Max Havellar,
membuka kisah itu dengan menggambarkan penderitaan petani Banten. Kekuatan novel
ini menjadi salah satu karya penting yang menceritakan sejarah Banten dan Lebak,
Museum Multatuli dibangun sebagai menjaga serta merawat ingat sejarah penting dalam
kehidupan sosial budaya masyarakat Lebak.

Dalam novel Max Havelaar, kisah Saidjah dan Adinda berada di kampung badur,
diawali dengan perampasan kerbau milik ayah Saidjah oleh Kepala Distrik
Parangkujang. Pada saat itu Sadijah kecil berumur 9 tahun sedangkan adinda berumur 6
tahun berbeda 3 tahun tentunya. Mereka sudah dijodohkan oleh orang tua meraka yang
tinggal di distrik Parangkujang. Baik keluarga Saidjah dan Adinda mereka adalah petani
yang memiliki banyak kerbau, namun kerbau terebut dirampas satu persatu oeh tuan
tanah atau birokrat pribumi. Kerbau ini sudah menjadi solah olah menjadi sahabat
Sadijah karena menopang kelangsungan hidup kedua keluarga kecil tersebut. Ketikah
beranjak ke umur lebih tinggi Saijah menginjak usia 15 tahun, ia harus berpisah dengan
Adinda dan berjanji akan kembali setelah tiga tahun dan bertemu di hutan jati, di bawah
pohon ketapang.

Demi keluar dari lingkaran kemiskinan dan segera menikahi Adinda kelak, Saijah
memutuskan merantau ke Batavia, menjadi pengurus kuda dan pelayan salah seorang
Belanda. Namun, sekembalinya Saijah setelah bertahun-tahun di Batavia, Penantian
dibawah pohon ketapang oleh Saijah, tetapi adinda tak kunjung datang. Saijah
mendapatkan cerita bahwa keluarga Adinda pergi ke Lampung setelah kerbaunya
dirampas penguasa. Saijah lalu menyusul Adinda ke lampung menyebrangi lautan dan
menyusuri jejak-jejak langkah mereka.

Akhirnya Saijah bertemu Adinda namun bukan di hutan jati, di bawah pohon
ketapang tempat mereka mengikat janji melainkan ditanah peperangandengan kondisi
Adinda telah mati tertusuk bayonet Belanda meninggal dengan tubuh penuh luka setelah
diperkosa tentara Belanda dalam pertempuran. Saijahpun memberontak hingga sebuah
bayonet tentara Belanda membuatnya menyusul Adinda. Cinta yang dulu pernah
diikrarkanpun menjadi salah satu korban kolonialisme bangsa asing dan keserakahan
pejabat dari bangsa mereka sendiri.

Seperi kisah roman Romeo dan Juliet karya William Shakespeare, kisah cinta
Saidjah dan Adinda mengalahkan roman cinta mereka, hal ini jelas jelas berbeda dari
alur roman Romeo dan Juliet yang dimana keluarga mereka yang saling bermusuhan
menjadi biasa saja seperti alur-alur roman sastra yang pada umumnya menjamur di
Indonesia, kisah Saidjah dan Adinda menurut saya justru memilih jalur alur lain, Max
Haavelar justru menguak realitas sosial melalui dimensi percintaan, mendramatisir kisah
Saidjah dan Adinda yang harus terpisah karena kejamnya kolonialisme menjadi
metaforfosa baru dalam sastra roman.

Kisah Sadijah dan Adinda menjadi sebuah bahan refleksi untuk tidak
membenarkan kolonialisme serta perampasan hak baik dari pribumi atau asing, serta
mengingatkan manusia agar tak semena-mena pada sesama. Bahwa penindasan hanya
akan membuahkan perlawanan, kematian bahkan kehancuran.

“Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji, dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan
persoalannya”
― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

Anda mungkin juga menyukai