Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang berada
diantara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri, pembuluh darah
vena,trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Secara garis besar
mediastinum dibagi atas 4 bagian penting yaitu mediastinum superior,anterior, posterior dan mediastinum
medial. Rongga mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat
menekan organ di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa(1).

Adapun frekuensi tumor mediastinum dikepustakaan luar berdasarkan penelitian retrospektif dari
tahun 1973 sampai dengan 1995 di New Mexico, USA didapatkan 219 pasien tumor mediastinum ganas
yang diidentifikasi dari 110.284 pasien penyakit keganasan primer, jenis terbanyak adalah limfoma 55%,
sel germinal 16%, timoma 14%, sarkoma 5%, neurogenik 3% dan jenis lainnya 7%(2).
Sedangkan data frekuensi tumor mediastinum di Indonesia antara lain didapat dari SMF bedah
Thorak RS Persahabatan Jakarta dan RSUD Dr. Sutomo Surabaya. Pada tahun1970 - 1990 di RS
Persahabatan dilakukan operasi terhadap 137 kasus, jenis tumor yang ditemukan adalah 32,2% teratoma,
24% timoma,8% tumor syaraf, 4,3% limfoma. Data RSUD Dr. Soetomo menjelaskan lokasi tumor pada
mediastinum anterior 67% kasus, mediastinum medial 29% dan mediastinum posterior 25,5%(3).
Kebanyakan tumor mediastinum tanpa gejala dan ditemukan pada saat dilakukan foto toraks
untuk berbagai alasan. Keluhan penderita biasanya berkaitan dengan ukuran dan invasi atau kompresi
terhadap organ sekitar, misalnya sesak napas berat, sindrom vena kava superior (SVKS) dan gangguan
menelan.
Untuk melakukan prosedur diagnostik tumor mediastinum perlu dilihat apakah pasien datang
dengan kegawatan (napas, kardiovaskular atau saluran cerna) atau tidak. Bila pasien datang dengan
kegawatan yang mengancam jiwa, maka prosedur diagnostik dapat ditunda. Sementara itu diberikan terapi
atau tindakan untuk mengatasi kegawatan, bila telah memungkinkan prosedur diagnostik dilakukan (3).
Penatalaksanaan tumor mediastinum sangat bergantung pada sifat tumor, jinak atau ganas.
Tindakan untuk tumor mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah, sedangkan untuk tumor ganas
tergantung dari jenisnya tetapi secara umum terapi untuk tumor mediastinum ganas adalah multimodaliti
yaitu bedah, kemoterapi dan radiasi(3).
Reperat ini dibuat untuk lebih mengetahui diagnosis dan penatalaksanan tumor mediastinum

1
BAB II
TUMOR MEDIASTINUM

Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang berada
diantara paru kanan dan kiri. Mediastinum berisi jantung, pembuluh darah arteri, pembuluh darah
vena,trakea, kelenjar timus, syaraf, jaringan ikat, kelenjar getah bening dan salurannya. Rongga
mediastinum ini sempit dan tidak dapat diperluas, maka pembesaran tumor dapat menekan organ di
dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa. Kebanyakan tumor mediastinum
tumbuh lambat sehingga pasien sering datang setelah tumor cukup besar, disertai keluhan dan tanda akibat
penekanan tumor terhadap organ sekitarnya(3).
Secara garis besar mediastinum dibagi atas 4 bagian penting(3) :
1. Mediastinum superior, mulai pintu atas rongga dada sampai ke vertebra torakal ke-5 dan bagian
bawah sternum.
2. Mediastinum anterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafargma di depan jantung.
3. Mediastinum posterior, dari garis batas mediastinum superior ke diafragma di belakang jantung.
4. Mediastinum medial (tengah), dari garis batas mediastinum superior ke diafragma di antara
mediastinum anterior dan posterior.

2
Pembagian mediastinum ke dalam rongga-rongga yang berbeda dapat membantu secara praktis
proses-proses penegakan diagnosis sedangkan pendekatan dengan orientasi sistem mempermudah
pemahaman petogenesis proses patologi di mediastinum(4).
Jenis tumor di rongga mediastinum dapat berupa tumor jinak atau tumor ganas dengan
penatalaksanaandan prognosis yang berbeda, karenanya ketrampilan dalam prosedur diagnostik
memegang peranan sangat penting. Keterampilan yang memadai dan kerjasama antar disiplin ilmu yang
baik dituntut agar diagnosis dapat cepat dan akurat. Masalah lain yang didapat di lapangan adalah banyak
kasus datang dengan kegawatan napas atau kegawatan kardiovaskular, kondisi itu menyebabkan prosedur
diagnosis terpaksa ditunda untuk mengatasi masalah kegawatannya terlebih dahulu(3).

Gambar 1. Pembagian mediastinum(kutip 5)

2.1 Klasifikasi
Klasifikasi tumor mediastinum didasarkan atas organ/jaringan asal tumor atau jenis
histologisnya, seperti dikemukakan oleh Rosenberg

Tabel 1. Klasifikasi tumor mediastinum (Kutip 6)

3
A. Timoma
Timoma adalah tumor epitel yang bersifat jinak atau tumor dengan derajat keganasan yang
rendah dan ditemukan pada mediastinum anterior. Timoma termasuk jenis tumor yang tumbuh lambat.
Sering terjadi invasi lokal ke jaringan sekitar tetapi jarang bermetastasis ke luar toraks. Kebanyakan
terjadi setelah usia lebih dari 40 tahun dan jarang dijumpai pada anak dan dewasa muda. Jika pasien
datang dengan keluhan maka keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri dada, batuk, sesak atau gejala
lain yang berhubungan dengan invasi atau penekanan tumor ke jaringan sekitarnya. Satu atau lebih tanda
dari sindrom paratimik sering ditemukan pada pasien timoma, misalnya miastenia gravis,
hipogamaglobulinemi dan aplasia sel darah merah(7).
Mujiantoro S dkk pada tahun 1996 melakukan penelitian retrospektif terhadap penderita timoma
invasif menunjukkan hasil yang sama, nyeri dada, sesak napas dan batuk adalah 3 keluhan utama
penderita, sedangkan miastenia gravis ditemukan pada 1 dari 15 penderita (8) sedangkan Marshal tahun
2002 mendapatkan 2 dari 24 kasus prabedah menunjukkan gejala miastenia gravis(9).
Dari gambaran patologi anatomi sulit dibedakan timoma jinak atau ganas.Definisi timoma ganas
( invasif ) adalah jika tumor secara mikroskopik (histopatologik) dan makroskopik telah invasif ke luar
kapsul atau jaringan sekitarnya.
Klasifikasi histologis untuk timoma dapat dilihat pada tabel 2 yaitu klasifikasi menurut Muller-Hermelink
sedangkan sistem staging dan dapat dilihat pada tabel 3 menurut sistem Masaoka (7).

Tabel 2. Klasifikasi histologis timoma(kutip 7)

4
Tabel 3. Staging berdasarkan sistem Masaoka(kutip 7)

Masaoka membagi staging berdasarkan penampakan mikroskopis dan makroskopis. Tumor


timoma noninvasif masih terbatas pada kelenjar timus dantidak menyebar ke organ lain. Semua sel tumor
terdapat atau terbungkus oleh kapsul dan secara mikroskopis tidak terlihat invasi ke kapsul. Jika sel tumor
invasi telah mencapai kapsul maka dikategorikan timoma invasif (timoma ganas).
Data di RS Persahabatan dari 31 kasus bedah tahun 1992 sampai dengan tahun
1999 kasus yang masuk kategori invasive adalah sebesar 90,3 % dan hanya 9,7% kasus yang didiagnosis
noninvasif atau stage I. Data tahun 2000-2001 dari 12 pasien timoma yang dibedah tidak satupun kasus
noninvasif(7).

B. Tumor Sel Germinal


Tumor sel germinal terdiri dari tumor seminoma, teratoma dan nonseminoma. Tumor sel
germinal di mediastinum lebih jarang ditemukan daripada timoma, lebih sering pada laki-laki dan usia
dewasa muda. Kasus terbanyak adalah merupakan tumor primer di testis sehingga bila diagnosis adalah
tumor sel germinal mediastinum, harus dipastikan bahwa primer di testis telah disingkirkan. Lokasi

5
terbanyak di anterior (superoanterior) mediastinum. Secara histologi tumor di mediastinum sama dengan
tumor sel germinal di testis dan ovarium(7).

Teratoma adalah tumor sel germinal yang paling sering ditemukan diikuti seminoma Tumor ini
dapat berbentuk kista atau padat atau campuran keduanya yang terdiri dari lapisan sel germinal vaitu
ektoderm. mesoderm atau endoderm. Teratoma matur merupakan tumor sel germinal mediastinum
tersering dan biasanya jinak.Tumor tersebut tidak berpotensial metastasis seperti teratoma testis dan dapat
di operasi reseksi. Oleh karena lokasi anatomisnva maka komplikasi intraoperatif dan pascaoperaif dapat
mempengaruhi morbiditi karena struktur intratoraks biasanya sudah terlibat(7,10).
Teratoma intratoraks biasanya muncul dalam rongga mediastinum dan sangat jarang di paru.
Sebagian besar tumor tersebut bersifat jinak walaupun ada juga yang bersfat ganas. Biasanya tumor
tersebut ditemukan pada garis pertengahan tubuh. Gejalanya dapat muncul apabila terjadi efek mekanik
seperti nyeri dada (52%), hemoptisis (42%), batuk (39%), sesak napas atau gejala yang berhubungan
dengan pneumonitis berulang. Gejala respiratorik lainnya adalah trikoptisis (trichoptysis) (13%) yaitu
batuk produktif yang dalam sputumnya mengandung rambut atau sekret kelenjar sebasea. Hal ini timbul
apabila terjadi hubungan antara massa tumor dengan trakeobronkial. Gejala lainnya yaitu sindrom vena
kava superior atau lipoid pneumonia. Teratoma mediastinurn biasanya ditemukan secara tidak sengaja
pada foto torak(10)Secara radiologi teratoma tampak bulat dan sering lobulated dan mengandung jaringan
lunak dengan elemen cairan dan lemak, kalsifikasi terlihat pada 20-43% kasus(7,10).
Seminoma tampak sebagai massa besar yang homogen sedangkan nonseminoma adalah massa
heterogen dengan pinggir ireguler yang disebabkan invasi ke jaringan sekitarnya. Untuk membedakan
seminoma dengan nonseminoma digunakan serum marker beta-HCG dan alfa-fetoprotein. meskipun pada
seminoma yang murni konsentrasi beta-HCG terkadang tinggi tetapi alfafetoprotein tidak tinggi.
Sedangkan pada nonseminoma konsentrasi kedua marker itu selalu tinggi. Konsentrasi beta-HCG dan
alfa-fetoprotein lebih dari 500 mg/ml adalah diagnosis pasti untuk nonseminoma(7).
Dibawah ini dapat dilihat klasifikasi histologi tumor sel germinal(7).

Tabel 4. Klasifikasi histologi tumor sel germinal(kutip 3)

6
C. Tumor Syaraf
Tumor saraf dapat tumbuh dari sel saraf disebarang tempat, lebih sering di mediastinum posterior.
Tumor itu dapat bersifat jinak atau ganas dan biasanya diklasifikasi berdasarkan jaringan yang
membentuknya. Tumor yang bersifat jinak sangat jarang menjadi ganas. Meskipun dikatakansering pada
anak tetapi juga dapat ditemukan pada orang dewasa. Topcu dariTurki menganalisis 60 pasien tumor saraf
dan mendapatkan 13 penderita bayidan anak-anak usia (< 15 tahun), 47 orang dewasa (usia >15 tahun),
lebihbanyak perempuan (39 orang) dibandingkan laki-laki (21 orang). Hanya 20% (12dari 60) bersifat
ganas. Pada tabel 5 dapat dilihat kalasifikasi tumor syaraf(3,7).

Tabel 5. Klasifikasi histologis tumor syaraf(kutip 3)

BAB III
DIAGNOSIS

Kebanyakan tumor mediastinum tanpa gejala dan ditemukan pada saat dilakukan foto toraks
untuk berbagai alasan. Keluhan penderita biasanya berkaitan dengan ukuran dan invasi atau kompresi
terhadap organ sekitar, misalnya sesak napas berat, sindrom vena kava superior (SVKS) dan gangguan

7
menelan. Tidak jarang pasien datang dengan kegawatan napas, kardiovaskuler atau saluran cerna. Bila
pasien datang dengan kegawatan yang mengancam jiwa, maka prosedur diagnostik dapat ditunda.
Sementara itu diberikan terapi dan tindakan untuk mengatasi kegawatan, bila telah memungkinkan
prosedur diagnostik dilakukan. Hal penting yang harus diingat adalah jangan sampai tindakan emergensi
tersebut menghilangkan kesempatan untuk mendapatkan jenis sel tumor yang dibutuhkan untuk
memutuskan terapi yang tepat(3,7) Secara umum diagnosis tumor mediastinum ditegakkan sebagai berikut:

3.1 Gambaran Klinis


A. Anamnesis
Tumor mediastinum sering tidak memberi gejala dan terdeteksi pada saat dilakukan foto toraks.
Untuk tumor jinak, keluhan biasanya mulai timbul bila terjadi peningkatan ukuran tumor yang
menyebabkan terjadinya penekanan struktur mediastinum, sedangkan tumor ganas dapat menimbulkan
gejala akibat penekanan atau invasi ke struktur mediastinum.
Gejala dan tanda yang timbul tergantung pada organ yang terlibat(3,7):
1. Batuk, sesak atau stridor muncul bila terjadi penekanan atau invasi pada trakea
dan/atau bronkus utama,
2. Disfagia muncul bila terjadi penekanan atau invasi ke esofagus
3. Sindrom vena kava superior (SVKS) lebih sering terjadi pada tumor mediastinum yang ganas
dibandingkan dengan tumor jinak,
4. Suara serak dan batuk kering muncul bila nervus laringel terlibat, paralisis diafragma timbul
apabila penekanan nervus frenikus
5. Nyeri dinding dada muncul pada tumor neurogenik atau pada penekanan sistem syaraf.

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik akan memberikan informasi sesuai dengan lokasi, ukuran dan
keterbatasan organ lain, misalnya telah terjadi penekanan ke organ sekitarnya. Kemungkinan tumor
mediastinum dapat dipikirkan atau dikaitkan dengan beberapa
keadaan klinis lain, misalnya(3):
1. miastenia gravis mungkin menandakan timoma
2. limfadenopati mungkin menandakan limfoma

3.2 Prosedur Radiologi(3)


1. Foto toraks
Dari foto toraks PA/ lateral sudah dapat ditentukan lokasi tumor, anterior, medial atau posterior,
tetapi pada kasus dengan ukuran tumor yang besar sulit ditentukan lokasi yang pasti.
2. Tomografi

8
Selain dapat menentukan lokasi tumor, juga dapat mendeteksi klasifikasi pada lesi, yang sering
ditemukan pada kista dermoid, tumor tiroid dan kadang-kadang timoma. Tehnik ini semakin
jarang digunakan.
3. CT-Scan toraks dengan kontras
Selain dapat mendeskripsi lokasi juga dapat mendeskripsi kelainan tumor secara lebih baik dan
dengan kemungkinan untuk menentukan perkiraan jenis tumor, misalnya teratoma dan timoma.
CT-Scan juga dapat menentukan stage pada kasus timoma dengan cara mencari apakah telah
terjadi invasi atau belum. Perkembangan alat bantu ini mempermudah pelaksanaan pengambilan
bahan untuk pemeriksaan sitologi. Untuk menentukan luas radiasi beberapa jenis tumor
mediastinum sebaiknya dilakukan CT-Scan toraks dan CTScan abdomen(11).
4. Flouroskopi
Prosedur ini dilakukan untuk melihat kemungkinan aneurisma aorta.

5. Ekokardiografi
Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi pulsasi pada tumor yang diduga aneurisma.
6. Angiografi
Teknik ini lebih sensitif untuk mendeteksi aneurisma dibandingkan flouroskopi dan
ekokardiogram.
7. Esofagografi
Pemeriksaan ini dianjurkan bila ada dugaan invasi atau penekanan ke esofagus.
8. USG, MRI dan Kedokteran Nuklir
Meski jarang dilakukan, pemeriksaan-pemeriksaan terkadang harus dilakukan untuk beberapa
kasus tumor mediastinum.

3.3 Prosedur Endoskopi(3)


1. Bronkoskopi harus dilakukan bila ada indikasi operasi.
Tindakan bronkoskopi dapat memberikan informasi tentang pendorongan atau penekanan tumor
terhadap saluran napas dan lokasinya. Di samping itu melalui bronkoskopi juga dapat dilihat
apakah telah terjadi invasi tumor ke saluran napas. Bronkoskopi sering dapat membedakan tumor
mediastinum dari kanker paru primer.
2. Mediastinokopi. Tindakan ini lebih dipilih untuk tumor yang berlokasi di mediastinum anterior.
3. Esofagoskopi
4. Torakoskopi diagnostic
5. Electromagnetic navigation diagnostic bronchoscopy.
Tindakan ini merupakan metode yang aman untuk mengambil sampel lesi-lesi yang terletak agak
ke periper dimana bronchoscopy biasa tidak bisa mencapainya dan metode ini juga dapat
mengambil sampel lesi tumor mediastinum dengan cara Transbronchial Needle Aspiration

9
(TNBA). Metode ini memberikan hasil diagnostik yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh besar
kecilnya serta lokasi dari tumor(12).

3.4 Prosedur Patologi Anatomik(3)


Beberapa tindakan dari yang sederhana sampai yang kompleks perlu dilakukan untuk
mendapatkan jenis tumor.
1. Pemeriksaan sitologi
Prosedur diagnostik untuk memperoleh bahan pemeriksaan untuk pemeriksaan sitologi ialah:
a. biopsi, jarum halus (BJH atau fine needle aspiration biopsy, FNAB), dilakukan bila
ditemukan pembesaran KGB atau tumor supervisial.
b. punksi pleura bila ada efusi pleura
c. bilasan atau sikatan bronkus pada saat bronkoskopi
d. biopsi aspirasi jarum, yaitu pengambilan bahan dengan jarum yang dilakukan bila
terlihat masa intrabronkial pada saat prosedur bronkoskopi yang amat mudah berdarah,
sehingga biopsi amat berbahaya
e. biopsi transtorakal atau transthoracal biopsy (TTB) dilakukan bila massa dapat dicapai
dengan jarum yang ditusukkan di dinding dada dan lokasi tumor tidak dekat pembuluh
darah atau tidak ada kecurigaan aneurisma. Untuk tumor yang kecil (<3cm>, memiliki
banyak pembuluh darah dan dekat organ yang berisiko dapat dilakukan TTB dengan
tuntunan flouroskopi atau USG atau CT Scan.
2. Pemeriksaan histologi
Bila BJH tidak berhasil menetapkan jenis histologis, perlu dilakukan prosedur di bawah ini:
a. biopsi KGB yang teraba di leher atau supraklavikula. Bila tidak ada KGB yang teraba,
dapat dilakukan pengangkatan jaringan KGB yang mungkin ada di sana. Prosedur ini
disebut biopsi Daniels.
b. biopsi mediastinal, dilakukan bila dengan tindakan di atas hasil belum didapat. Tao FW
dkk pada tahin 2007 melaporkan bahwa tumor mediastinum daerah anterior untuk
diagnostik histologinya dapat dilakukan mini mediastinotomi yaitu melakukan
pengambilan sayatan kecil kurang lebih 3 cm didaerah garis parasternalis ruang
interkostal 2 atau 3. Mini mediastinotomi ini adalah metode yang aman, minimally
invasive, cukup murah dan memberikan hasil yang cukup memuaskan(13).
c. biopsi eksisional pada massa tumor yang besar
d. torakoskopi diagnostik
e. Video-assisted thoracic surgery (VATS), dilakukan untuk tumor di semua lokasi,
terutama tumor di bagian posterior.

3.5 Pemeriksaan Laboratorium(3)

10
1. Hasil pemeriksaan laboratorium rutin sering tidak memberikan informasi yang berkaitan dengan
tumor. LED kadang meningkatkan pada limfoma dan TB mediastinum.
2. Uji tuberkulin dibutuhkan bila ada kecurigaan limfadenitis TB
3. Pemeriksaan kadar T3 dan T4 dibutuhkan untuk tumor tiroid.
4. Pemeriksaan a-fetoprotein dan b-HCG dilakukan untuk tumor mediastinum yang termasuk
kelompok tumor sel germinal, yakni jika ada keraguan antara seminoma atau nonseminoma.
Kadar a-fetoprotein dan b-HCG tinggi pada golongan nonseminoma.

3.6 Tindakan Bedah


Torakotomi eksplorasi untuk diagnostik bila semua upaya diagnostik tidak berhasil
memberikan diagnosis histologis.

3.7 Pemeriksaan Lain


EMG adalah pemeriksaan penunjang untuk tumor mediastinum jenis timoma atau tumor
tumorvlainnya. Kegunaan pemeriksaan ini adalah mencari kemungkinan miestenia gravisvatau
myesthenic reaction.

Pada gambar dibawah ini dapat dilihat alur diagnostik dari tumor mediastinum dengan atau tanpa
kegawatan.

Gambar 2. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum tanpa kegawatan(kutip 3).


Keterangan : PA = posteroanterior, BJH = biopsi jarum halus, KGB = kelenjar getah bening,
USG = ultrasonografi, MRI = magnetic resonance imaging, TTB = transtorakal biopsi,
VATS = Video assisted thoracoscopy system

11
Gambar 3. Alur prosedur diagnostik tumor mediastinum dengan kegawatan (kutip 3)
Keterangan : SVKS = Sindrom vena kava superior
ECC = Extra cardiac circulation (sirkulasi luar jantung)

BAB IV
PENATALAKSANA AN

Penatalaksanaan tumor mediastinum sangat bergantung pada sifat tumor, jinak atau ganas.
Tindakan untuk tumor mediastinum yang bersifat jinak adalah bedah, sedangkan untuk tumor ganas
berdasarkan jenisnya. Jenis tumor mediastinum ganas yang paling sering ditemukan adalah timoma
(bagian dari tumor kelenjar timus), sel germinal dan tumor syaraf.
Secara umum terapi untuk tumor mediastinum ganas adalah multimodaliti yaitu bedah,
kemoterapi dan radiasi. Beberapa jenis tumor resisten terhadap radiasi dan/atau kemoterapi sehingga
bedah menjadi pengobatan pilihan, tetapi banyak jenis lainnya harus mendapatkan tindakan multimodaliti.
Kemoradioterapi dapat diberikan sebelum bedah (neoadjuvan) atau sesudah bedah (adjuvan). Pilihan
terapi untuk timoma ditentukan oleh staging penyakit saat diagnosis. Untuk tumor sel germinal sangat
bergantung pada subtipe tumor sedangkan tumor saraf berdasarkan jaringan yang dominan pada tumor(7).

12
Gambar 4. Penatalaksanaan tumor mediastinum(kutip 3)
4.1 Timoma
Penatalaksanaan timoma sangat bergantung pada invasif atau tidaknya tumor, staging dan klinis
penderita.Terapi untuk timoma adalah bedah, tetapi sangat jarang kasus datang pada stage I atau
noninvasif maka multimodaliti terapi (bedah, radiasi dan kemoterapi) memberikan hasil lebih baik. Jenis
tindakan bedah untuk timoma adalah Extended Thymo Thymectomy (ETT) atau reseksi komplet yaitu
mengangkat kelenjar timus beserta jaringan lemak sekitarnya. ETT+ ( Extended Resection) ER yaitu
tindakan reseksi komplet, sampai dengan jaringan perikard dan debulking reseksi sebagian yaitu
pengangkatan massa tumor sebanyak mungkin. Jenis operasi ini sangat bergantung pada staging dan klinis
penderita. Reseksi komplet diyakini dapat mengurangi risiko invasi dan meningkatkan umur harapan
hidup(7).
Di RS Persahabatan dilakukan 14 reseksi komplet pada penderita timoma stage I – III dan 17
debulking untuk semua kasus stage IV. Dari 31 kasus itu 20 di antaranya menunjukkan reaksi miastenia.
Empat dari 20 penderita itu adalah yang telah menjalani reseksi komplet(14)
Radioterapi tidak direkomendasikan untuk timoma yang telah menjalani reseksi komplet tetapi
harus diberikan pada timoma invasif atau reseksi sebagian untuk kontrol lokal, seperti yang dilaporkan
oleh Mujiantoro dkk(8). Dosis radiasi 3500-5000 cGy. Untuk mencegah terjadi radiation-induced injury
pemberian radiasi lebih dari 6000 cGy harus dihindarkan.
Ogawa dkk pada tahun 2002 melakukan penelitian retrospektif multiinstitusi terhadap 103 pasien
timoma yang telah direseksi komplet dan mendapat radiasi pascabedah. Lima puluh dua pasien mendapat
radiasi involve field (IF) dan 51 pasien mendapat radiasi whole mediastinal field (WM) dengan atau tanpa
booster. Total dosis untuk tumor primer 3000-6100 cGy dengan rerata dosis 4000 cGy. Pasien yang hidup

13
hingga 10 tahun (the 10-years actuarial overall) 81% dan masa bebas penyakit (disease free survival)79%,
100% pada pasien stage I, 90% pada stage II dan 48% pada stage III. Kasus relaps terjadi pada 17 pasien,
tetapi tidak terjadi pada pasien stage I, 10% pada stage II dan 44% pada stage III(15).
Kemoterapi diberikan dengan berbagai rejimen tetapi hasil terbaik adalah cisplatin based rejimen.
Rejimen yang sering digunakan adalah kombinasi cisplatin, doksorubisin dan siklofosfamid (CAP).
Rejimen lain adalah doksorubisin, cisplatin, vinkristin dan siklofosfamid (ADOC). Rejimen yang lebih
sederhana yaitu sisplatin dan etoposid (PE) juga memberikan hasil yang tidak terlalu berbeda (7).
Froudarakis dkk tahun 2001 melakukan penelitian terhadap 23 pasien timoma invasif yang
mendapat multimodaliti terapi, 11 pasien direseksi kemudian diberi kemoterapi dan/atau radiasi, 12 pasien
lain mendapat terapi paliatif dengan kemoterapi dan/atau radiasi. Kemoterapi yang diberikan adalah
cisplatin based, umur tahan hidup 5 tahun 43,5% dengan angka tengah tahan hidup 20 bulan. Reseksi
mempunyai kemaknaan untuk umur tahan hidup(16).
Kasus kambuh (recurrence) juga dapat terjadi dan jarang pada stage I yang telah direseksi
komplet. Relaps yang biasa terjadi adalah di pleura (pleural dissemination) dari sisi yang sama dengan
tumor primer, relaps di mediastinum meski lebih sedikit tetapi juga terjadi.
Dari sebuah penelitian 8% pasien yang mendapat radiasi IF pascabedah mengalami relaps di
mediastinum dan tidak satu kasus pun terjadi pada pasien yang mendapat radiasi WM (15). Peneliti lain juga
melaporkan terjadi kekambuhan pada 24 dari 126 pasien timoma yang telah direseksi komplet, 92%
terjadi di pleura dan 5% terjadi kekambuhan lokal (17). Untuk kasus kambuh yang penting diingat adalah
apakah pada terapi sebelumnya telah mendapatkan radioterapi full-dose, jika belum radiasi masih dapat
dipertimbangkan. Pada kasus yang tidak respons dengan radiasi pemberian kortikosteroid dapat
dipertimbangkan, sedangkan .pemberian kemoterapi untuk kasus relaps masih dalam penelitian.
Sedangkan untuk menentukan prognosis penderita timoma bantak faktor yang menentukan.
Masaoka menghitung umur tahan hidup 5 tahun berdasarkan staging penyakit, 92,6% untuk stage I, 85,7%
untuk stage II, 69,6% untuk stage III dan 50% untuk stageIV (18). Bambang dkk mendapatkan faktor-faktor
yang bermakna mempengaruhi prognosis penderita timoma pascareseksi di RS. Persahabatan yaitu
staging, jenis tindakan, histopatologi dan reaksi miastenia. Dari 31 penderita timoma
yang dibedah di RS Persahabatan didapatkan umur tahan hidup untuk tahun I sebesar 58,44%, tahun
kedua 43,29%, tahun ketiga sampai dengan tahun kelima 30,9%, sedangkan median survival adalah 16,2
bulan. Penderita dengan reaksi miastenia mempunyai angka tahan hidup 5 tahun (74%) sedangkan yang
tidak hanya mempunyai umur tahan hidup 2 tahun (11,8%) (14). Pada tabel 6 dapat dilihat secara ringkas
tentang penatalaksanaan timoma.

Tabel 6. Penatalaksanaan timoma(kutip 3).

14
4.2 Tumor Sel Germinal
Terapi tumor sel germinal bergantung pada subtipe sel tumor dan staging penyakit. Bedah adalah
terapi pilihan untuk teratoma jinak, teratoma ganas diterapi dengan kemoterapi dan kalau perlu dilakukan
reseksi setelah kemoterapi. Terapi untuk seminoma tergantung pada apakah masih resectable atau tidak,
sedangkan yang nonseminoma diberikan kemoterapi(7)

A.Seminoma
Untuk seminoma yang resectable terapi multimodaliti yaitu bedah, radiasi dan kemoterapi
memberikan umur tahan hidup 5 tahun lebih dari 90%. Kriteria resectable adalah tanpa gejala
(asymptomatic), massa masih terbatas di mediastinum anterior dan tidak ada metastasis lokal (intratoraks)
atau metastasis jauh. Sedangkan untuk kasus yang bermetastasis diberikan kemoterapi. Terapi radiasi atau
kemoterapi sebagai pilihan terbaik untuk seminoma masih diperdebatkan. Seminoma sangat radiosensitif,
dosis radiasi adalah 4500-5000 cGy. Kemoterapi yang diberikan adalah cisplatin based, rejimen yang
sering digunakan mengandung vinblastin, bleomisin dan sisplatin(7).

B. Nonseminoma
Tumor jenis ini jarang ditemukan, bila ditemukan lebih sering pada laki-laki
dewasa muda. Cisplatin based kemoterapi adalah terapi untuk golongan ini dan kadang dilakukan operasi
pasca kemoterapi (postchemoterapy adjuctive surgery). Rejimen yang
digunakan sisplatin, bleomisin dan etoposid. Tetapi ada rejimen yang terdiri dari sisplatin dan bleomisin
yang diberikan 4 siklus. Untuk menilai manfaat bedah pasca kemoterapi Vuky dkk tahun 2001 melakukan
penelitian terhadap 32 pasien, reseksi komplet dapat dilakukan pada 27 pasien, analisis histopatologik
mendapatkan bahwa tumor masih mengandung jaringan nonseminoma (viable tumors) pada 66%,
teratoma pada 22% dan jaringan nekrotik pada 12% kasus(19).

15
Gambar 5. Alur penatalaksanaan tumor sel germinal nonseminoma(kutip 20)

C.Teratoma ganas
Rejimen kemoterapi untuk teratoma ganas antara lain sisplatin, vinkristin, bleomisin dan
methotrexate, etoposid, daktinomisin dan siklofosfamid.

Tabel 7. Penatalaksanaan tumor sel germinal(kutip 21)

4.3 Tumor Syaraf

16
Penatalaksanaan untuk semua tumor neurogenik adalah pembedahan, kecualii
neuroblastoma.Tumor ini radisensitif sehingga pemberian kombinasi radio kemoterapi akan memberikan
hasil yang baik. Pada neurilemona (Schwannoma), mungkin perlu diberikan kemoterapi adjuvan, untuk
mencegah rekurensi(7).

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
 Tumor mediastinum adalah tumor yang terdapat di dalam mediastinum yaitu rongga yang berada
diantara paru kanan dan kiri
 Rongga mediastinum sempit dan tidak dapat diperluas, pembesaran tumor dapat menekan organ
di dekatnya dan dapat menimbulkan kegawatan yang mengancam jiwa
 Tumor mediastinum banyak tanpa gejala dan ditemukan pada saat dilakukan foto toraks untuk
berbagai alasan.
 Keluhan pada pasien dengan tumor mediastinum biasanya berkaitan dengan ukuran dan kompresi
terhadap organ sekitar seperti sesak napas berat, sindrom vena kava superior dan gangguan
menelan
 Penatalaksanaan tumor mediastinum sangat bergantung pada jinak atau ganasnya tumor tersebut.
Tumor jinak dilakukan tindakan bedah, sedangkan untuk tumor ganas tergantung jenisnya, tetapi
secara umum adalah terapi multimodaliti yaitu bedah, kemoterapi dan radiasi

17
5.2 Saran
 Kebanyakan pasien dengan tumor mediastinum tanpa gejala dan sering pasien datang dengan
kegawatan napas, kardiovaskuler atau saluran cerna oleh karena itu perlunya diagnosis dini
terutama pada pasien dengan kelainan daerah mediastinum yang didapatkan dari Roentgen
thorak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pratama S, Syahruddin E, Hudoyo A. Karakteristik Tumor Mediastinum Berdasarkan Keadaan


Klinis, Gambaran CT SCAN dan Petanda Tumor Di Rumah Sakit Persahabatan. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,2003.
2. Temes R, Chavez T, Mapel D, Ketai L, Crowell R, Key C, et al. Primary mediastinal
malignancies: finding in 219 patients. West J Med 1999; 170(3): 161-6.
3. Tim kelompok kerja PDPI. Tumor mediastinum. Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di
Indonesia,2003.
4. Amin Z. Penyakit mediastinum. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor Sudoyo AW dkk.
Jilid II edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.2006: 1011-4.
5. Bennisler L. Respiratory system. In: Gray’s anatomy. Williams PL, Bennister L, Berry
LH,Collins P, Dyson M, Dussek JE, et al. Editors. 38 th ed, Churchill Livingstone,
Edinburgh,1999.p. 1627-76.
6. Rosenberg JC. Neoplasms of the mediastinum. In: DeVita VT, Hellman S, Rosenberg JC.
Editors.Cancer: principles and practice of oncology. J.B. 4th edition. Lippincortt. Philadelphia
1993.p.759-74.
7. Syahruddin E, Hudoyo A, Jusuf A. penatalaksanaan tumor mediastinum ganas. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia– RS
Persahabatan, Jakarta
8. Mujiantoro S, Soewondo W, Busroh IDI, Yunus F, Endardjo S. Penilaian restrospektif
pengelolaan timoma invasif di RS. Persahabatan Jakarta Timur. J Respir Indo 1996; 16:104-8.

18
9. Marshal. Jenis dan distribusi massa mediastinum serta permasalahan operasinya di
RS.Persahabatan Jakarta. Tesis program studi ilmu bedah toraks kardiovaskuler
Indonesia.Jakarta, 2002.
10. Wiyono WH dkk. Hemoptisis massif pada teratoma kistik paru. J Respir Indo 2007; Vol 27(4):
214-8.
11. Lau S et al. Computed Tomography of Anterior Mediastinal Masses. Computed Tomography of
Anterio
12. Tao FW et al. Minimally invasive approaches for histological diagnosis of anterior mediastinal
masses. Chinese Medical Journal 2007; 120 (8): 675-679
13. Gildea TR et al. Electromagnetic Navigation Diagnostic Bronchoscopy. A Prospective
Study. Am J Respir Crit Care Med 2006; 174: 982–989.
14. Bambang D. Pemantauan angka tahan hidup penderita timoma yang dibedah di RS.Persahabatan
dengan tinjauan atas faktor-faktor yang mempengaruhi. Tesis Bagian Pulmonologi FKUI, Jakarta.
2000.
15. Ogawa K, Uno T, Toita T, Onishi H, Yoshida H, Kakinohana Y, et al. Postoperative radiotherapy
for patients with completely resected thymoma: a multi-institutional, restrospective review of 103
patients. Cancer 2002; 94(5):1405-13.
16. Froudarakis ME, Tiffet O, Fournal P, Briasoulis E, Karavasilis V, Cuilleret J. Invasive thymoma:
a clinical study of 23 cases. Respiration 2001; 68(4): 376-81.
17. Haniuda M, Kondo R, Numanami H, Makiuchi A, Machida E, Amano J. Recurrence of
thymoma: clinicopathological features, re-operation, and outcome. J Surg Oncol 2001;78(3):
183-8.
18. Masaoka A, Monden Y, Nakahara K, Tanioka T. Follow-up study oh thymomas with special
reference to their clinical stages. Cancer 1981; 48(11): 2485-92.
19. Vuky J, Bains M, Bacik J, Higgins G, Bajorin DF, Mazumdar M. Role of postchemotherapy
adjuctive surgery in the management of patients with non-seminoma arising from the
mediastinum. J Clin Oncol 2001; 19(3): 682-8.
20. Hainsworth JD, Greco FA. Mediastinal germ cell neoplasms. In: Thoracic oncology. Roth JA,
Ruckdeschel JC, Weisenburrger Th. Editors. W.B Saunders company. Philadelphia.1989.p. 478-
89.
21. Roberts JR, Keiser LR. Acquired lesions of the mediastinum: benign and malignant.
In:Pulmonary diseases and disorder. Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Keiser LR,
Senior RM. Editors. 3rd eds. McGraw-Hill. New York. 1998.p.1509-37.

19

Anda mungkin juga menyukai