LP GGK
LP GGK
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh beberapa penyebab yaitu yang tersering adalah
diabetes mellitus dan hipertensi, selain itu ada beberapa penyebab dari gagal ginjal kronik
tersebut seperti infeksi kronis, penyakit vaskuler, glumerulonefritis dan obat–obatan
nefrotik (Pranata, 2014, p. 197).. Gagal ginjal kronik mengalami gangguan reabsorbsi
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolisme dan air dalam tubuh. Sehingga gagal
ginjal kronik akan menimbulkan beberapa gejala yaitu pitting odema, odem periobrital,
bahkan odem anasarca, sehingga terjadi hypervolemia (Kowalak et all, 2011, p. 565).
1. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik
2. Menetapkan diagnosis keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik.
3. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik
5. Melakukan evaluasi pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik dengan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan kondisi dimana penyakit pada ginjal yang
persisten dengan kerusakan ginjal dan kerusakan (GFR) (Prabowo & Pranata, 2014, pp.
196-197).
Sedangkan menurut Soeparman, dkk (1998), gagl ginjal kronik adalah penurunan
faal ginjal yang menahun, yang tidak reversible dan cukup lanjut (Suharyanto & Madjid,
2013, p. 183).
Chronic renal failure adalah kidney illness yang tidak dapat pulih kembali yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang sangat progresif dan mengarah pada
penyakit ginjal tahap akhir (Padila, 2012, p. 246)
Kesimpulan gagal ginjal kronik adalah gagal ginjal akut yang sudah berlangsung
lama, sehingga mengakibatkan gangguan persisten dan dampak bersifat kontinyu dan
gagal ginjal kronik bisa mengarah pada kematian.
B. Etiologi
Chronic renal failure sering kali menjadi penyebab komplikasi dari penyakit lainnya,
sehingga merupakan (secondary illness). Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus
dan hipertensi selain itu, ada beberapa penyebab lainnya dari gagal ginjal kronik, yaitu :
1. Penyakit glomerulonefritis
2. Infeksi chronic (pyelonefritis kronis, tuberculosis)
3. Congenital abnormalities polikistik ginjal
4. Vascular disease renal (nephrosclerosis)
5. Urinary tract obstruction (nephrolithiasis)
6. Collagen disease (Systemic Lupus Erythematosu)
7. Nephrotoxic drugs (aminoglikosida)
(Prabowo & Pranata, 2014, pp. 197-198).
Penyebab stage kidney disease terminal yang paling banyak di inggris adalah sebagai
berikut :
C. Manifestasi Klinis
D. Klasifikasi
Glomerulonefritis
Nefrosklerosis maligna
Poliartritis nodusa
Gout Disease
Hipeparatiroidisme
Nefropati Toksik Penyalahgunaan obat analgesik
E. Patofisiologi
Meskipun penyakit Chronic renal failure terus berlanjut, namun jumlah zat
terlarut yang harus disekresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis (kondisi
ideal dalam tubuh saat seluruh fungsi berjalan dengan sempurna) tidaklah berubah,
meskipun jumlah nefron sudah menurun secara progresif (Suharyanto & Madjid, 2013, p.
186).
Sisa nefron (nefron adalah fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas
glomeruli dan tubuli ginjal) yang ada mengalami hipertrofi (penambahan diameter
serabut-serabut otot jantung) dalam usahanya untuk mempertahankan atau melaksanakan
seluruh bagian beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solute
dan reabsorbsi tubulus (reabsorbsi dari beberapa zat terlarut dapat diatur secara bebas
terpisah dari yang lain, terutama melalui mekanisnme pengontrolan hormonal) dalam
setiap nefron, meskipun GFR di seluruh massa nefron turun di bawah normal
(Suharyanto & Madjid, 2013, p. 186).
Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal meurun secara drastis yang berasal dari
nefron. Insifisiensi dari gagal ginjal tersebut akan mengalami penurunan sekitar 20%
sampai dengan 50% dalam hal GFR. Pada penurunan fungsi rata–rata 50%, biasanya
akan muncul tanda dan gejala azotemia sedang, poliuria (sering buang air kecil),
hipertensi dan sesekali terjadi anemia pada gagal ginjal. Selain itu, selama terjadi
kegagalan fungsi ginjal maka pada keseimbangan cairan dan elektrolit pun akan
mengalami ketergangguan. Pada hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronik hampir
sama dengan gagal ginjal akut, namun persamaan waktunya saja yang membedakan.
Perjalanan dari Chronic renal failure tersebut akan membawa dampak yang sangat
sistemik terhadap seluruh sistem yang ada di dalam tubuh dan sering akan mengakibatkan
komplikasi yang sangat bertahap (Prabowo & Pranata, 2014, pp. 199-200).
Gambar pathway gagal ginjal kronik (Prabowo & Pranata, 2014) (Priscilla LeMone, dkk, 2017).
F. Komplikasi
Sedangkan menurut (Padila, 2012, p. 251) ada beberapa komplikasi yang disebabkan
oleh gagal ginjal kronik, yaitu :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis, peradangan yang terjadi pada pelapisan pelindung jantung (efusi
pericardial dan tamponade jantung)
3. Hipertensi akibat dari beban jantung yang bekerja berat untuk memompa darah ke
seluruh tubuh dikarenakan banyak cairan
4. Anemia akibat Hb menurun
5. Penyakit tulang
1. Definisi
Cairan tubuh adalah cairan yang larutannya terdiri dari air pelarut dan zat
terlarut. Cairan tubuh banyak mengandung zat nonelektrolit dan elektrolit terlarut.
Zat nonelektrolit yang tidak terurai menjadi ion-ion yang bermuatan listrik.
Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan electrically charged particles yang
disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit akan masuk ke dalam
tubuh melalui makanan, minuman, serta melalui cairan intra vena yang akan di
distribusikan ke seluruh bagian tubuh. (Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 26)
2. Distribusi Cairan Tubuh
1. Cairan intraseluler
Cairan intraseluler merupakan cairan yang berada di dalam sel tubuh dan
berfungsi sebagai media tempat aktivitas kimia sel berlangsung. Cairan ini
merupakan 70% dari total air yang ada di dalam tubuh . Pada individu dewasa
cairan intraseluler menyusun sekitar 40% berat tubuh atau 2 sampai 3 dari
berat tubuh (Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 27).
2. Cairan Ekstraseluler
Cairan ekstraseluler merupakan cairan yang berada di outside the cell dan
dapat menyusun 30% dari total air yang ada di dalam tubuh. 20% dari berat
tubuh merupakan cairan ekstraseluler. Cairan ini terdiri atas plasma (cairan
intravascular) 5%, cairan interstitial 10-15% dan cairan transeluler 1-3%
Kandungan air pada saat bayi lahir adalah sekitar 75% dari jumlah BB
dan pada saat berusia 1 bulan 65% dari jumlah BB. Komposisi cairan pada tubuh
dewasa pria adalah sekitar 60% dari jumlah berat badan, sedangkan pada dewasa
wanita 50% dari jumlah berat badan dan sisanya yaitu terdiri dari zat padat seperti
protein, lemak serta karbohidrat dan lain -lain.
Kekurangan cairan ekstrasel terjadi karena penurunan asupan cairan dan kelebihan
dari pengeluaran cairan itu sendiri. Tubuh akan merespons kekurangan cairan dengan
cara pengosongan cairan vaskuler. Kehilangan cairan ekstrasel secara berlebihan akan
menyebabkan volume ekstrasel berkurang atau yang sering disebut (hipovolume), dan
akan mengalami perubahan hematokrit. Pada keadaan dini, tidak terjadi perpindahan
cairan daerah intrasel ke permukaan, sebab osmolaritasnya sama (Hidayat & Uliyah,
2015, pp. 33-34).
Terdapat dua manifestasi yang akan ditimbulkan akibat kelebihan cairan, yaitu
diantaranya hipervolume (peningkatan volume darah) dan bisa mengakibatkan edema
(kelebihan cairan pada interstisial). Pitting edema merupakan edema yang
meninggalkan depresi kecil atau lubang setelah tekanan jari diterapkan ke area yang
bengkak. Nonpitting edema tidak menunjukkan adanya tanda kelebihan cairan
ektrasel, tetapi sering dikarenakan oleh infeksi dan trauma yang akan menyebabkan
membekunya cairan pada permukaan jaringan. Kelebihan cairan vaskuler
meningkatkan hidrostatik cairan dan akan menekan cairan ke permukaan
interstisial (Hidayat & Uliyah, 2015, pp. 34-35)
1. Rasa dahaga
3. Aldosteron
Hormone ini di sekresi oleh kelenjar adrenal yang bekerja pada tubulus ginjal untuk
meningkatkan absopsi natrium. Pelepasan aldosterone ini dirangsang oleh perubahan
konsentrasi kalium serta natrium serum dan sistem renin-angiotensin serta sangat
efektif dalam hal mengendalikan hiperkalemia, pelepasan aldosteron disebabkan oleh
tekanan arterial yang tidak efektif dalam ginjal.
4. Glukokortikoid
Pengeluaran Cairan
Pengeluaran cairan dalam hal mengimbangi asupan cairan yang terjadi pada orang
dewasa, dalam kondisi normal cairan yang dikeluarkan oleh orang dewasa adalah + 2.300
cc. Jumlah air yang paling banyak dikeluarkan berasal dari ekskresi ginjal yaitu berupa
urine, urine yang dikeluarkan sebanyak + 1.500 cc per hari pada orang dewasa. Hal ini
juga bisa dihubungkan dengan banyaknya asupan cairan yang masuk melalui mulut.
Pengeluaran cairan dapat juga melalui kulit yaitu berupa keringat, dan saluran pencernaan
berupa feses. Hasil–hasil dari pengeluaran cairan adalah sebagai berikut :
1. Urine adalah hasi pembuangan dari metabolisme tubuh melalui ginjal. Pembentukan
urine terjadi di ginjal dan dikeluarkan melalui vesika urinaria (kandung kemih).
Proses ini merupakan proses pengeluaran cairan tubuh yang utama.
2. Keringat terbentuk bila tubuh mengalami panas (suhu tinggi) dan akibat dari
pengaruh suhu yang panas. Keringat banyak mengandung natrium klorida (bahan
garam), urea, asam laktat, dan bahkan juga ion kalium, keringat sendiri di keluarkan
untuk mengatur suhu dalam tubuh.
3. Feses yang keluar adalah seperti air atau juga disebut diare kondisi dimana terjadi
frekuensi defekasi yang tidak biasa juga perubahan dalam jumlah dan konsistensi dan
sisanya berbentuk padat. Pengeluaran air melalui feses merupakan pengeluaran cairan
yang paling sedikit jumlahnya (Hidayat & Uliyah, 2015, pp. 32-33).
Pembatasan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan dan sangat harus diperhatikan, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
edema yang berlebihan dan mencegah komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk
kedalam tubuh dibuat secara seimbang dengan air yang dikeluar, baik melalui urin
maupun Insensible Water Loss, dalam melakukan pembatasan asupan cairan,
bergantung dengan haluaran urin dalam 24 jam dan ditambahkan dengan Insensible
Water Loss, ini merupakan jumlah yang diperoleh untuk pasien yang mengalami
gagal ginjal kronik yang mendapat dialisis (Rahman, 2014, p. 11).
Terapi cairan pada pasien ginjal adalah koreksi mengurangi volume sirkulasi yang
efektif dan manajemen krisis uremik akut atau penurunan mendadak dalam fungsi
ginjal (Polzin, 2009, p. 2).
Jam
Output : kehilangan tak kasat mata (kulit & paru), feses, urin.
(Arif Rakhman, 2014, p. 97).
1. Pengkajian
1. Identitas
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki – laki sering
memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal
ginjal kronik merupakan periode lanjut dari insiden gagal ginjal akut sehingga tidak
berdiri sendiri (Prabowo & Pranata, 2014, p. 204)
2. Riwayat Kesehatan
3. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang menyertai.
Keluhan biasa berupa urine output yang menurun (oliguria) sampai pada anuria,
penurunan kesadaran karena komplikasi pada system sirkulasi-ventilasi, anoreksia,
mual dan muntah, diaphoresis, fatigue, nafas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini
dipicu oleh karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolism/toksin dalam tubuh
karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi (Prabowo & Pranata, 2014, pp. 204-205).
Pada klien dengan gagal ginjal kronik biasanya terjadi penurunan urine output,
penurunan kesadaran, perubahan pola napas karena komplikasi dari gangguan system
ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena
berdampak pada proses metabolism (sekunder karena intoksikasi), maka akanterjadi
anoreksia, nausea dan vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan nutrisi
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 205).
Gagal ginjal kronik bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah keluarga
tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun, pencetus sekunder seperti DM dan
hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronik, karena
penyakit tersebut bersifat herediter. Hasil dari pola kesehatan keluarga yang diterapkan
jika anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu saat sakit (Pranata, 2014, p. 205).
6. Pemeriksaan Fisik
Kondisi klien gagal ginjal kronik biasanya lemah (fatigue), tingkat kesadaran
bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan TTV sering didapatkan RR
meningkat (tachypneu), hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 206).
Manifestasi SSP terjadi lebih awal dan mencakup perubahan mental, kesulitan
berkonsentrasi, keletihan, dan insomnia. Geajala psikotik, kejang, dan koma
dikaitkan dengan ensefalopati uremik lanjut (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal.
1065).
b. System pengindraan
Biasanya pada pasien gagal ginjal kronik ditemukan konjungtiva anemis, mata
merah, berair, penglihatan kabur, edema periorbital (Black, 2014, hal. 280).
7. System pernafasan
Bau napas seperti urine sering kali dikaitkan dengan rasa logam dalam mulut,
dapat terjadi, edema paru, pleuritis, pernapasan kusmaul (Priscilla LeMone, dkk,
2017, hal. 1065).
8. System kardiovaskuler
Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal kronik salah
satunya hipertensi. Tekanan darah yang tinggi diatas ambang kewajaran akan
mmpengaruhi volume vaskuler. Stagnasi ini akan memicu retensi natrium dan air
sehingga akan meningkatkan beban jantung (Prabowo & Pranata, 2014, p. 206).
9. System pencernaan
Anoreksia, mual dan muntah adalah gejala paling awal uremia. Cegukan biasa
dialami, nyeri perut, fetor uremik, bau napas seperti urine seringkali dapat
menyebabkan anoreksia (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal. 1065).
Pucat, warna kulit uremik (kuning-hijau), kulit kering, turgor buruk, pruritis, ekimosis,
bekuan uremik (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal. 1066).
Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengn gagal ginjal kronis akan mengalami
disfungsi seksualitas karena penurunan hormone reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal
ginjal kronik berhubungahn dengan penyakit diabetes mellitus, maka akan ada gangguan
dalam sekresi insulin yang berdampak pada proses metabolisme (Prabowo & Pranata,
2014, p. 206).
Terjadi amenorea pada wanita, impotensi pada pria, kemungkinan komplikasi terjadi
aborsi spontan (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal. 1066).
Uremia meningkat terjadi resiko infeksi. Kadar tinggi urea dan sisa metabolik tertahan
merusak semua aspek inflamasi dan fungsi imun. Penurunan SDP, imunitas lantran sel
dan hormonal rusak, serta fungsi fagosit rusak. Baik respons inflamasi akut maupun
respon hipersensivitas lambat terganggu (Porth & Matfin, 2009). Demam ditekan.
Seringkali memperlambat diagnosis infeksi (Jennifer P. Kowalak, dkk, 2011, hal. 1065).
Pemeriksaan Penunjang
1. Urin
Volume biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria).
Warna urin biasanya abnormal urin keruh kemungkinan ini disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, mioglobin, porfirin.
Osmoalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan hasil bahwa kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
Klirens kreatinin mungkin agak menurun.
Natrium lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
Proteinuria (3-4+) secara kuat akan menunjukkan hasil kerusakan glomerulus bila
sel darah marah dan fragmen juga ada.
2. Darah
3. Pemeriksaan ultrasono ginjal hanya untuk menentukan ukuran ginjal dan ada atau
tidaknya masa, kista obstruksi pada saluran kemih bagian atas.
4. Endoskopi ginjal, nefroskopi
Pemeriksaan ini untuk menetukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor secara selektif.
7. Arteriogram ginjal
8. EKG
Untuk mengetahui ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa (Padila, 2012, pp. 249-
250).
Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu secara tindakan konservatif
dan tindakan dialisis atau transplatasi ginjal.
1. Tindakan konservatif
Tindakan konservatif memiliki tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan
atau memperlambat adanya gangguan fungsi ginjal yang sangat progresif.
1. Pengaturan dengan pembatasan protein, diet rendah kalium, diet rendah natrium dan
pengaturan cairan
Pembatasan protein.
Pembatasan protein bukan untuk mengurangi kadar BUN saja, tetapi juga untuk
mengurangi asupan kalium dan fosfat, bahkan juga protein bisa untuk mengurangi
produksi ion hidrogen. Pembatasan asupan protein ini telah terbukti untuk
menormalkan kembali dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Jumlah
kebutuhan pada asupan protein biasanya menggunkana jumlah 60-80 gram/hari,
apabila penderita tersebut mendapatkan pengobatan dialisis secara teratur
(Suharyanto & Madjid, 2013, p. 189).
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah yang terjadi pada gagal ginjal lanjut.
Asupan kalium perlu dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari.
Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi akan kadar kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 190).
Diet Na yang telah dianjurkan adalah sebanyak 40-90 mEq/hari atau setara
dengan (1-2g natrium). Asupan natrium yang terlalu longgar akan mengakibatkan
dampak retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan bahgkan gagal
jantung kongestif (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 190).
Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus di awasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran
cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian asupan
yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema.
Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan
gangguan fungsi ginjal. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya
asupan cairan adalah :
Misalnya : jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam adalah 400 ml, maka asupan
cairan total dalam sehari 400 + 500 ml = 900 ml.
Hipertensi
Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah kondisi ketika jumlah kalium dalam darah sangat tinggi.
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang sangat serius apabila jumlah serum
mencapai sekitar 7 mEq/L dan akan dapat juga mengakibatkan aritmia dan juga henti
jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan cara pemberian glukosa dan insulin
diberikan secara intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan
pemberian kalsium glukonat 10% (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 191).
Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan oleh penurunan sekresi eritropoeitin, yaitu
rekombinan eritropoeitin (r-EPO), selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi
dan tranfusi darah (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 192).
Asidosis
Asidosis ginjal biasanya tidak langsung diobati kecuali HCO3 (Bikarbonat) dan plasma
yang mengalami penurunan dibawah angka 15 mEq/L dan apabila asidosis menjadi berat
akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3 (Natrium Bikarbonat) yang diberikan secara
parenteral. (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 192).
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Gel
yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan makanan (Suharyanto &
Madjid, 2013, p. 192) .
Pengobatan hiperurisemia
Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut adalah pemberian
alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat total yang dihasilkan tubuh (Suharyanto
& Madjid, 2013, p. 192) .
Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dengan dialisis dan transplatasi ginjal.
Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang
optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum
biasanya di atas 6 mg/100 ml pada laki-laki atau 4 ml/200 ml pada wanita, dan GFR
kurang dari 4 ml/menit (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 192) .
Diagnosa Keperawatan
Penyebab
Subjektif :
1. Ortopnea
2. Dispnea
3. Paroxsysmal nocturnal dyspnea (PND)
Objektif :
Definisi :
Penyebab :
Subjektif :
1. Dispnea
2. Ortopnea
Objektif :
Penyebab :
Subjektif :
Objektif :
1. Penyakit kronis
2. Infeksi
3. AIDS (PPNI, 2016, p. 56).
4. Gangguan Pertukaran Gas b/d Asidosis Respiratorik
Definisi :Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan eleminasi karbondioksida pada membrane
alveolus – kapiler.
Penyebab :
Subjektif :
1. Dispnea
Objektif :
Subjektif :
1. Pusing
2. Penglihatan kabur
Objektif :
1. Sianosis
2. Diaphoresis
3. Gelisah
4. Napas cuping hidung
5. Kesadaran menurun
1. PPOK
2. Gagal jantung kongestif
3. Infeksi saluran napas
4. Asma (PPNI, 2016, p. 22).
5. Resiko Infeksi b/d Injuri Jaringan
Factor Risiko :
1. Diabetes mellitus
2. Gagal ginjal (PPNI, 2016, p. 304).
3. Intoleransi Aktivitas
Penyebab :
Subjektif :
1. Mengeluh lelah
2. Dispnea setelah/saat aktivitas
3. Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
4. Merasa lemah
Objektif :
1. Anemia
2. Gagal jantung kongestif
3. PPOK
4. Penyakit jantung kororner (PPNI, 2016, hal. 128).
Odem berkurang
Tidak ada penumpukan cairan tubuh
Tidak ada gangguan keseimbangan cairan
1. Aktivitas keperawatan
Pengkajian
Tentukan lokasi dan derajat odem
Kaji ekstermitas atau bagian tubuh yang edema terhadap gangguan sirkulasi dan
integritas kulit
Ajarkan pada klien dan keluarga klien untuk mengurangi odem dengan posisi kaki lebih
tinggi dan patuh terhadap pembatasan cairan
Anjurkan pasien untuk berpuasa sesuai dengan kebutuhan
Aktivitas lain
Manajemen NIC :
Aktivitas kolaboratif
Kolaborasi dengan ahli giziuntuk pemberian diet dengan kandungan protein yang adekuat
dan pembatasan natrium
Manajemen NIC :
1. Konsultasikan kedokter jika tanda dan gejala hipervolemia menetap atau memburuk
(Wilkinson, 2015).
2. Pola napas tidak efektif b/d Ekspansi paru turun
3. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan selama …x24 jam diharapkan pernafasan membaik
1. Aktivitas keperawatan
Pengkajian
Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki
napas.
Aktivitas lain
Aktivitas kolaborasi
Setelah dilakukan perawatan selama x24 jam diharapkan nutrisi bisa teratasi
Pengkajian
Aktivitas lain
Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makanan dan latihan fisik di lokasi yang
terlihat jelas dan kaji ulang setiap hari
Ajarkan pasien tentang cara membuat harian makanan
Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein
Aktivitas kolaborasi
Tentukan dan berkolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Wilkinson, 2015, p. 503).
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…x24 jam gangguan pertukaran gas dapat
teratasi.
1. Kriteria HasilNOC :
2. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
3. Tidak mengalami napas dangkal atau ortopnea
4. Memiliki ekspansi paru yang simetris
5. Aktivitas keperawatan
Pengkajian
Penyuluhan keluarga/pasien
Aktivitas lain
Aktivitas kolaborasi
setelah dilakukan perawatan selama x 24 jam diharapkan risiko infeksi dapat berkurang
1. Kriteria HasilNOC :
2. Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
3. Memperlihatkan hygiene personal yang adekuat
4. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun dalam
batas normal
5. Aktivitas keperawatan
Pengkajian
1. Ajarkan pasien dan keluarga tentang teknik mencuci tangan yang benar
2. Ajarkan pada pengunjung dan keluarga untuk mencuci tangan sewaktu mau masuk dan
akan meningalkan ruang pasien
Aktivitas lain
Aktivitas kolaborasi
Setelah dilakukan tindakan selama …..x24 jam diharapkan menampilkan aktivitas kehidupan
sehari-hari.
1. Aktivitas Keperawatan
Pengkajian
Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi, dan
melakukan AKS dan AKSI
Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang teknik perawatan untuk meminimalkan
konsumsi oksigen (misalnya, pemantauan secara mandiri dan teknik langkah untuk
melakukan AKS)
Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk mencegah
kelelahan
Aktivitas lain
Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar, duduk, berdiri, dan
ambulasi, sesuai toleransi
Pantau tanda-tanda vital sebelum,selama, dan setelah beraktivitas, hentikan aktivitas jika
tanda-tanda vital dalam rentang normal bagi pasien atau jika ada tanda-tanda aktivitas
tidak dapat ditoleransi
Aktivitas kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah satu
faktor penyebab
Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan asupan makanan
yang kaya energi
Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan dengan penyakit
jantung (Wilkinson, 2015, hal. 24-29).
2.3.6 Implementasi
2.3.7 Evaluasi
(Triyoga, 2015, pp. 8-9). Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien terhadap standar
atau kriteria yang ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Penulisan pada tahap evaluasi
proses keperawatan yaitu terdapat jam melakukan tindakan, data perkembangan pasien yang
mengacu pada tujuan, keputusan apakah tujuan tercapai atau tidak, serta ada tanda tangan atau
paraf. Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi disini menyediakan nilai
informasi yang mengenai pengaruh dalam hal perencanaan (intervensi) yang telah direncanakan
secara seksama dan merupakan hasil dari perbandingan yang diamati dengan cara melihat hasil
dari kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan tersebut. (Hidayat, 2010, p. 41).