Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal kronik merupakan ketidak mampuan tubuh gagal dalam


mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan (Bararah, 2013, p. 232).
Dampak dari gagal ginjal kronik akan mengakibatkan kegawatan seperti gagal jantung,
aritmia, anemia dan imunitas yang menurun. Gagal ginjal kronik biasanya akan muncul
salah satu gejala yaitu kelebihan asupan cairan dan kelebihan asupan natrium, dari gejala
tersebut akan mengakibatkan hipervolemia (Faruq, 2017, p. 4).

Gagal ginjal kronik disebabkan oleh beberapa penyebab yaitu yang tersering adalah
diabetes mellitus dan hipertensi, selain itu ada beberapa penyebab dari gagal ginjal kronik
tersebut seperti infeksi kronis, penyakit vaskuler, glumerulonefritis dan obat–obatan
nefrotik (Pranata, 2014, p. 197).. Gagal ginjal kronik mengalami gangguan reabsorbsi
yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolisme dan air dalam tubuh. Sehingga gagal
ginjal kronik akan menimbulkan beberapa gejala yaitu pitting odema, odem periobrital,
bahkan odem anasarca, sehingga terjadi hypervolemia (Kowalak et all, 2011, p. 565).

Penanganan pada klien gagal ginjal kronik dengan hipervolemia adalah


menghitung kebutuhan cairan yang akurat untuk mepertahankan haluaran urine dan
oedem dalam tubuh. Pembatasan asupan natrium dan kalium untuk mencegah kenaikan
kadar kedua mineral ini, pembatasan cairan untuk mempertahankan keseimbangan cairan,
obat–obat golongan loop diuretic, seperti furosemid (lasix), untuk mempertahankan
keseimbangan cairan (Kowalak et all, 2011, p. 564). Diet rendah protein juga sedang
dilakukan, memberikan manfaat terhadap penderita gagal ginjal kronik. Diet rendah
protein akan menghilangkan gejala–gejala uremia, mengurangi akumulasi hasil akhir
metabolisme protein, yakni ureum dan toksin uremia yang lain. Selain itu telah
dibuktikan bahwa diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya glomerulosklerosis
sebagai akibat meningkatnya beban kerja glomerulus (Floresa, 2015, pp. 4-5).
B. Tujuan Khusus

1. Melakukan pengkajian keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik
2. Menetapkan diagnosis keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik.
3. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik
5. Melakukan evaluasi pada klien yang mengalami Gagal Ginjal Kronik dengan.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Gagal ginjal kronis merupakan kondisi dimana penyakit pada ginjal yang
persisten dengan kerusakan ginjal dan kerusakan (GFR) (Prabowo & Pranata, 2014, pp.
196-197).

Sedangkan menurut Soeparman, dkk (1998), gagl ginjal kronik adalah penurunan
faal ginjal yang menahun, yang tidak reversible dan cukup lanjut (Suharyanto & Madjid,
2013, p. 183).

Chronic renal failure adalah kidney illness yang tidak dapat pulih kembali yang
ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang sangat progresif dan mengarah pada
penyakit ginjal tahap akhir (Padila, 2012, p. 246)

Kesimpulan gagal ginjal kronik adalah gagal ginjal akut yang sudah berlangsung
lama, sehingga mengakibatkan gangguan persisten dan dampak bersifat kontinyu dan
gagal ginjal kronik bisa mengarah pada kematian.

B. Etiologi

Chronic renal failure sering kali menjadi penyebab komplikasi dari penyakit lainnya,
sehingga merupakan (secondary illness). Penyebab yang sering adalah diabetes mellitus
dan hipertensi selain itu, ada beberapa penyebab lainnya dari gagal ginjal kronik, yaitu :

1. Penyakit glomerulonefritis
2. Infeksi chronic (pyelonefritis kronis, tuberculosis)
3. Congenital abnormalities polikistik ginjal
4. Vascular disease renal (nephrosclerosis)
5. Urinary tract obstruction (nephrolithiasis)
6. Collagen disease (Systemic Lupus Erythematosu)
7. Nephrotoxic drugs (aminoglikosida)
(Prabowo & Pranata, 2014, pp. 197-198).

Penyebab stage kidney disease terminal yang paling banyak di inggris adalah sebagai
berikut :

1. Glomerulonefritis chronic (24%)


2. Diabetic nephropathy (15%)
3. Nefrosklerosis hipertensif (9%)
4. Penyakit ginjal polikistik (8%)
5. Chronic pyelonephritis (8%) (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 183).

C. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala gagal ginjal kronik meliputi :

1. Hipervolemia akibat retensi natrium.


2. Hipoklasemia dan hiperkalemia akibat ketidakseimbangan elektrolit.
3. Azotemia akibat retensi zat sisa nitrogenus, (azotemia mengacu pada peningkatan
semua senyawa nitrogen berberat molekul rendah urea, kreatinin, asam urat).
4. Asidosis metabolik (keseimbangan asam basa pada darah/peningkatan kadar
acid/asam dalam tubuh) akibat kehilangan bikarbonat.
5. Bone pain dan fraktur yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium fosfor dan
ketidakseimbangan hormon paratiroid yang ditimbulkan.
6. Neuropati perifer akibat penumpukan zat–zat toksik (akibat kerusakan dari saraf
perifer, sistem saraf perifer mengirimkan informasi dari otak dan sumsum tulang
belakang).
7. Mulut yang kering, keadaan mudah lelah, dan mual akibat hiponatremia (kadar
natrium plasma <135 mmol/L)
8. Hipotensi (tekanan darah dalam arteri lebih rendah dari normal) akibat kehilangan
natrium.
9. Perubahan status kesadaran akibat hiponatremia (kadar natrium plasma <135
mmol/L) dan penumpukan zat-zat toksik.
10. Heart frequency yang tidak regular akibat hiperkalemia.
(Jennifer P. Kowalak, dkk, 2011, p. 163).

D. Klasifikasi

Klasifikasi sebab-sebab gagal ginjal kronik

Klasifikasi penyakit Penyakit


Penyakit peradangan Pielonefritis kronik

Glomerulonefritis

Penyakit vaskular hipertesi Nefrosklerosis benigna

Nefrosklerosis maligna

Stenosis arteri renalis

Gangguan jaringan penyambung Lupus erimatosus sistemik

Poliartritis nodusa

Sklerosis sistemik progresif

Gangguan kongerital dan hereditas Penyakit ginjal polikistik

Asidosis tubulus ginjal

Penyakit metabolic Diabetes Mellitus

Gout Disease

Hipeparatiroidisme
Nefropati Toksik Penyalahgunaan obat analgesik

Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas : kalkuli,


neoplasma, fibrosis retroperineal.

Saluran kemih bagian bawah :


hipertropi prostat, striktur uretra,
anomaly bladder neck dan uretra.

(Suharyanto & Madjid, 2013, p. 184).

E. Patofisiologi

Meskipun penyakit Chronic renal failure terus berlanjut, namun jumlah zat
terlarut yang harus disekresi oleh ginjal untuk mempertahankan homeostasis (kondisi
ideal dalam tubuh saat seluruh fungsi berjalan dengan sempurna) tidaklah berubah,
meskipun jumlah nefron sudah menurun secara progresif (Suharyanto & Madjid, 2013, p.
186).

Sisa nefron (nefron adalah fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas
glomeruli dan tubuli ginjal) yang ada mengalami hipertrofi (penambahan diameter
serabut-serabut otot jantung) dalam usahanya untuk mempertahankan atau melaksanakan
seluruh bagian beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solute
dan reabsorbsi tubulus (reabsorbsi dari beberapa zat terlarut dapat diatur secara bebas
terpisah dari yang lain, terutama melalui mekanisnme pengontrolan hormonal) dalam
setiap nefron, meskipun GFR di seluruh massa nefron turun di bawah normal
(Suharyanto & Madjid, 2013, p. 186).

Patofisiologi GGK beragam, bergantung pada proses penyakit penyebab.


Menguraikan proses patologi umum yang menyebabkan kerusakan nefron, CKD, dan
gagal ginjal. Penyebab dari gagal ginjal kronik adalah nefropati diabetes, hipertensi,
glomerulonefritis, penyakit ginjal kritis. Tanpa melihat penyebab awal,
glomerulosklerosis dan inflamasi interstisial dan fibrosis adalah ciri khas dari Chronic
renal failure dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Seluruh unit nefron secara
bertahap hancur. Pada tahap awal, saat nefron (Priscilla LeMone, dkk, 2017, pp. 1062-
1063). Nefron fungsional yang masih ada mengalami hipertrofi (penambahan diameter
serabut-serabut otot jantung). Aliran kapiler glomerulus dan tekanan meningkat dalam
nefron ini dan lebih banyak partikel zat terlarut disaring untuk mengkompensasi massa
ginjal yang hilang. Kebutuhan yang meningkat ini akan menyebabkan nefron mengalami
sklerosis atau jaringan parut, glomerulus akan menimbulkan kerusakan nefron.
Proteinuria (terdapat adanya 300 mg atau lebih protein per 24 jam atau 30 mg/dl dalam
ginjal ) akan mengakibatkan kerusakan glomerulus di duga menjadi penyebab cedera
tubulus yang mengakibatkan gagal ginjal. (Priscilla LeMone, dkk, 2017, pp. 1062-1063).

Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal meurun secara drastis yang berasal dari
nefron. Insifisiensi dari gagal ginjal tersebut akan mengalami penurunan sekitar 20%
sampai dengan 50% dalam hal GFR. Pada penurunan fungsi rata–rata 50%, biasanya
akan muncul tanda dan gejala azotemia sedang, poliuria (sering buang air kecil),
hipertensi dan sesekali terjadi anemia pada gagal ginjal. Selain itu, selama terjadi
kegagalan fungsi ginjal maka pada keseimbangan cairan dan elektrolit pun akan
mengalami ketergangguan. Pada hakikatnya tanda dan gejala gagal ginjal kronik hampir
sama dengan gagal ginjal akut, namun persamaan waktunya saja yang membedakan.
Perjalanan dari Chronic renal failure tersebut akan membawa dampak yang sangat
sistemik terhadap seluruh sistem yang ada di dalam tubuh dan sering akan mengakibatkan
komplikasi yang sangat bertahap (Prabowo & Pranata, 2014, pp. 199-200).

Gambar pathway gagal ginjal kronik (Prabowo & Pranata, 2014) (Priscilla LeMone, dkk, 2017).

F. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada gagal ginjal kronik meliputi :


1. Anemia
2. Neuropati perifer
3. Komplikasi kardiopulmoner
4. Komplikasi GI
5. Disfungsi seksual
6. Parestesia
7. Disfungsi saraf motorik, seperti foot drop dan paralisis flasid
8. Fraktur patologis (Jennifer P. Kowalak, dkk, 2011, p. 564).

Sedangkan menurut (Padila, 2012, p. 251) ada beberapa komplikasi yang disebabkan
oleh gagal ginjal kronik, yaitu :

1. Hiperkalemia
2. Perikarditis, peradangan yang terjadi pada pelapisan pelindung jantung (efusi
pericardial dan tamponade jantung)
3. Hipertensi akibat dari beban jantung yang bekerja berat untuk memompa darah ke
seluruh tubuh dikarenakan banyak cairan
4. Anemia akibat Hb menurun
5. Penyakit tulang

G. Konsep Kebutuhan Dasar Manusia (kebutuhan cairan & elektrolit)

1. Definisi

Cairan tubuh adalah cairan yang larutannya terdiri dari air pelarut dan zat
terlarut. Cairan tubuh banyak mengandung zat nonelektrolit dan elektrolit terlarut.
Zat nonelektrolit yang tidak terurai menjadi ion-ion yang bermuatan listrik.
Elektrolit adalah zat kimia yang menghasilkan electrically charged particles yang
disebut ion jika berada dalam larutan. Cairan dan elektrolit akan masuk ke dalam
tubuh melalui makanan, minuman, serta melalui cairan intra vena yang akan di
distribusikan ke seluruh bagian tubuh. (Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 26)
2. Distribusi Cairan Tubuh

Terdapat dua macam distribusi cairan tubuh, yaitu :

1. Cairan intraseluler

Cairan intraseluler merupakan cairan yang berada di dalam sel tubuh dan
berfungsi sebagai media tempat aktivitas kimia sel berlangsung. Cairan ini
merupakan 70% dari total air yang ada di dalam tubuh . Pada individu dewasa
cairan intraseluler menyusun sekitar 40% berat tubuh atau 2 sampai 3 dari
berat tubuh (Haswita & Sulistyowati, 2017, p. 27).

2. Cairan Ekstraseluler

Cairan ekstraseluler merupakan cairan yang berada di outside the cell dan
dapat menyusun 30% dari total air yang ada di dalam tubuh. 20% dari berat
tubuh merupakan cairan ekstraseluler. Cairan ini terdiri atas plasma (cairan
intravascular) 5%, cairan interstitial 10-15% dan cairan transeluler 1-3%

3. Komposisi Cairan Tubuh

Kandungan air pada saat bayi lahir adalah sekitar 75% dari jumlah BB
dan pada saat berusia 1 bulan 65% dari jumlah BB. Komposisi cairan pada tubuh
dewasa pria adalah sekitar 60% dari jumlah berat badan, sedangkan pada dewasa
wanita 50% dari jumlah berat badan dan sisanya yaitu terdiri dari zat padat seperti
protein, lemak serta karbohidrat dan lain -lain.

Air dalam tubuh berada dibeberapa ruangan, yaitu cairan intraseluler


sebesar 40% dan cairan ekstraseluler sebesar 20%. Cairan ekstraseluler
merupakan cairan yang terdapat diruangan antar sel sebesar 15% dan plasma
sebesar 5%. Cairan antarsel khusus disebut cairan transeluler misalnya cairan
serebrospinal, cairan persendian, cairan peritoneum dan lainnya (Haswita &
Sulistyowati, 2017, p. 27).
4. Masalah Kebutuhan Cairan
1. Hipovolume atau Dehidrasi

Kekurangan cairan ekstrasel terjadi karena penurunan asupan cairan dan kelebihan
dari pengeluaran cairan itu sendiri. Tubuh akan merespons kekurangan cairan dengan
cara pengosongan cairan vaskuler. Kehilangan cairan ekstrasel secara berlebihan akan
menyebabkan volume ekstrasel berkurang atau yang sering disebut (hipovolume), dan
akan mengalami perubahan hematokrit. Pada keadaan dini, tidak terjadi perpindahan
cairan daerah intrasel ke permukaan, sebab osmolaritasnya sama (Hidayat & Uliyah,
2015, pp. 33-34).

2. Hipervolume atau Overdosis

Terdapat dua manifestasi yang akan ditimbulkan akibat kelebihan cairan, yaitu
diantaranya hipervolume (peningkatan volume darah) dan bisa mengakibatkan edema
(kelebihan cairan pada interstisial). Pitting edema merupakan edema yang
meninggalkan depresi kecil atau lubang setelah tekanan jari diterapkan ke area yang
bengkak. Nonpitting edema tidak menunjukkan adanya tanda kelebihan cairan
ektrasel, tetapi sering dikarenakan oleh infeksi dan trauma yang akan menyebabkan
membekunya cairan pada permukaan jaringan. Kelebihan cairan vaskuler
meningkatkan hidrostatik cairan dan akan menekan cairan ke permukaan
interstisial (Hidayat & Uliyah, 2015, pp. 34-35)

Pengaturan Keseimbangan Cairan Dan Elektrolit Tubuh

1. Rasa dahaga

Penurunan fungsi ginjal merangsang pelepasan rennin, yang pada akhirnya,


menimbulkan produksi angiostensi II yang dapat merangsang hipotalamus untuk
melepaskan subtract neural yang bertanggung jawab terhadap sensasi haus.

2. Antidiuretik hormone (ADH)


ADH dibentuk dihipotalamus dan disimpan dalam neurophipofisis dan hipofisis
posterior. Stimuli utama untuk sekresi ADH adalah peningkatan osmolaritas dan
penurunan cairan ekstrasel.

3. Aldosteron

Hormone ini di sekresi oleh kelenjar adrenal yang bekerja pada tubulus ginjal untuk
meningkatkan absopsi natrium. Pelepasan aldosterone ini dirangsang oleh perubahan
konsentrasi kalium serta natrium serum dan sistem renin-angiotensin serta sangat
efektif dalam hal mengendalikan hiperkalemia, pelepasan aldosteron disebabkan oleh
tekanan arterial yang tidak efektif dalam ginjal.

4. Glukokortikoid

Glukokortikoid adalah gangguan otoimun seperti multiple sklerosis. Meningkatkan


reabsobsi natrium dan air sehingga akan mengakibatkan volume darah naik dan akan
terjadi retensi natrium. Perubahan kadar glukoskortikoid ini juga akan bisa
menyebabkan perubahan pada keseimbangan volume darah (Haswita & Sulistyowati,
2017, pp. 31-32).

Pengeluaran Cairan

Pengeluaran cairan dalam hal mengimbangi asupan cairan yang terjadi pada orang
dewasa, dalam kondisi normal cairan yang dikeluarkan oleh orang dewasa adalah + 2.300
cc. Jumlah air yang paling banyak dikeluarkan berasal dari ekskresi ginjal yaitu berupa
urine, urine yang dikeluarkan sebanyak + 1.500 cc per hari pada orang dewasa. Hal ini
juga bisa dihubungkan dengan banyaknya asupan cairan yang masuk melalui mulut.
Pengeluaran cairan dapat juga melalui kulit yaitu berupa keringat, dan saluran pencernaan
berupa feses. Hasil–hasil dari pengeluaran cairan adalah sebagai berikut :

1. Urine adalah hasi pembuangan dari metabolisme tubuh melalui ginjal. Pembentukan
urine terjadi di ginjal dan dikeluarkan melalui vesika urinaria (kandung kemih).
Proses ini merupakan proses pengeluaran cairan tubuh yang utama.
2. Keringat terbentuk bila tubuh mengalami panas (suhu tinggi) dan akibat dari
pengaruh suhu yang panas. Keringat banyak mengandung natrium klorida (bahan
garam), urea, asam laktat, dan bahkan juga ion kalium, keringat sendiri di keluarkan
untuk mengatur suhu dalam tubuh.
3. Feses yang keluar adalah seperti air atau juga disebut diare kondisi dimana terjadi
frekuensi defekasi yang tidak biasa juga perubahan dalam jumlah dan konsistensi dan
sisanya berbentuk padat. Pengeluaran air melalui feses merupakan pengeluaran cairan
yang paling sedikit jumlahnya (Hidayat & Uliyah, 2015, pp. 32-33).

Pembatasan Cairan dan Terapi Cairan

Pembatasan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik, sangat perlu
dilakukan dan sangat harus diperhatikan, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
edema yang berlebihan dan mencegah komplikasi kardiovaskuler. Air yang masuk
kedalam tubuh dibuat secara seimbang dengan air yang dikeluar, baik melalui urin
maupun Insensible Water Loss, dalam melakukan pembatasan asupan cairan,
bergantung dengan haluaran urin dalam 24 jam dan ditambahkan dengan Insensible
Water Loss, ini merupakan jumlah yang diperoleh untuk pasien yang mengalami
gagal ginjal kronik yang mendapat dialisis (Rahman, 2014, p. 11).

Terapi cairan pada pasien ginjal adalah koreksi mengurangi volume sirkulasi yang
efektif dan manajemen krisis uremik akut atau penurunan mendadak dalam fungsi
ginjal (Polzin, 2009, p. 2).

Rumus IWL : IWL/jam 15x Berat Badan = ml/jam

 Jam

Rumus Balance cairan : intake cairan – output cairan.

Intake : cairan / air masuk, makanan, air dan oksidasi.

Output : kehilangan tak kasat mata (kulit & paru), feses, urin.
(Arif Rakhman, 2014, p. 97).

Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

1. Identitas

Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki – laki sering
memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal
ginjal kronik merupakan periode lanjut dari insiden gagal ginjal akut sehingga tidak
berdiri sendiri (Prabowo & Pranata, 2014, p. 204)

2. Riwayat Kesehatan
3. Keluhan Utama

Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang menyertai.
Keluhan biasa berupa urine output yang menurun (oliguria) sampai pada anuria,
penurunan kesadaran karena komplikasi pada system sirkulasi-ventilasi, anoreksia,
mual dan muntah, diaphoresis, fatigue, nafas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini
dipicu oleh karena penumpukan (akumulasi) zat sisa metabolism/toksin dalam tubuh
karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi (Prabowo & Pranata, 2014, pp. 204-205).

4. Riwayat Penyakit Sekarang

Pada klien dengan gagal ginjal kronik biasanya terjadi penurunan urine output,
penurunan kesadaran, perubahan pola napas karena komplikasi dari gangguan system
ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena
berdampak pada proses metabolism (sekunder karena intoksikasi), maka akanterjadi
anoreksia, nausea dan vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan nutrisi
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 205).

5. Riwayat Penyakit Dahulu


Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal gijal akut dengan berbagai penyebab
(multikausa). Oleh karena itu, informasi penyakit terdahulu akan menegaskan untuk
penegakan masalah. Kaji riwayat penyakit ISK, payah jantung, pengunaan obat
berlebihan (overdosis) khusunya obat yang bersifat nefrotoksik, BPH dan lain sebagainya
yang mampu mempengaruhi kerja ginjal. Selain itu, ada beberapa penyakit yang
langsung mempengaruhi/menyebabkan gagal ginjal yaitu diabetes mellitus, hipertensi,
batu saluran kemih (urolithiasis) (Prabowo & Pranata, 2014, p. 205).

1. Riwayat Kesehatan Keluaraga

Gagal ginjal kronik bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah keluarga
tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun, pencetus sekunder seperti DM dan
hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit gagal ginjal kronik, karena
penyakit tersebut bersifat herediter. Hasil dari pola kesehatan keluarga yang diterapkan
jika anggota keluarga yang sakit, misalnya minum jamu saat sakit (Pranata, 2014, p. 205).

6. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum dan Tanda – Tanda Vital

Kondisi klien gagal ginjal kronik biasanya lemah (fatigue), tingkat kesadaran
bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan TTV sering didapatkan RR
meningkat (tachypneu), hipertensi/hipotensi sesuai dengan kondisi fluktuatif
(Prabowo & Pranata, 2014, p. 206).

 Pemeriksaan Fisik Persistem


a. System persyarafan

Manifestasi SSP terjadi lebih awal dan mencakup perubahan mental, kesulitan
berkonsentrasi, keletihan, dan insomnia. Geajala psikotik, kejang, dan koma
dikaitkan dengan ensefalopati uremik lanjut (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal.
1065).

b. System pengindraan
Biasanya pada pasien gagal ginjal kronik ditemukan konjungtiva anemis, mata
merah, berair, penglihatan kabur, edema periorbital (Black, 2014, hal. 280).

7. System pernafasan

Bau napas seperti urine sering kali dikaitkan dengan rasa logam dalam mulut,
dapat terjadi, edema paru, pleuritis, pernapasan kusmaul (Priscilla LeMone, dkk,
2017, hal. 1065).

8. System kardiovaskuler

Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal kronik salah
satunya hipertensi. Tekanan darah yang tinggi diatas ambang kewajaran akan
mmpengaruhi volume vaskuler. Stagnasi ini akan memicu retensi natrium dan air
sehingga akan meningkatkan beban jantung (Prabowo & Pranata, 2014, p. 206).

9. System pencernaan

Anoreksia, mual dan muntah adalah gejala paling awal uremia. Cegukan biasa
dialami, nyeri perut, fetor uremik, bau napas seperti urine seringkali dapat
menyebabkan anoreksia (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal. 1065).

10. System perkemihan

Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi, sekresi,


reabsorbsi dan ekskresi ), maka manifestasi yang paling menonjol adalah
penurunan urine output < 400 ml/hari bahkn sampai pada anuria (tidak adanya
urine output (Prabowo & Pranata, 2014, p. 207).

11. System musculoskeletal


Ostedistrofi ditandai dengan osteomalasia, pelunakan tulang, dan osteoporosis,
penurunan masa tulang. Kista pada tulang dapat terjadi. Manifestasi osteodistrofi
mencakup nyeri tekan pada tulang, nyeri, dan kelemahan otot. Pasien berisiko mengalami
fraktur spontan (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal. 1065).

12. System integument

Pucat, warna kulit uremik (kuning-hijau), kulit kering, turgor buruk, pruritis, ekimosis,
bekuan uremik (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal. 1066).

13. System endokrin

Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengn gagal ginjal kronis akan mengalami
disfungsi seksualitas karena penurunan hormone reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal
ginjal kronik berhubungahn dengan penyakit diabetes mellitus, maka akan ada gangguan
dalam sekresi insulin yang berdampak pada proses metabolisme (Prabowo & Pranata,
2014, p. 206).

14. System reproduksi

Terjadi amenorea pada wanita, impotensi pada pria, kemungkinan komplikasi terjadi
aborsi spontan (Priscilla LeMone, dkk, 2017, hal. 1066).

15. System imun

Uremia meningkat terjadi resiko infeksi. Kadar tinggi urea dan sisa metabolik tertahan
merusak semua aspek inflamasi dan fungsi imun. Penurunan SDP, imunitas lantran sel
dan hormonal rusak, serta fungsi fagosit rusak. Baik respons inflamasi akut maupun
respon hipersensivitas lambat terganggu (Porth & Matfin, 2009). Demam ditekan.
Seringkali memperlambat diagnosis infeksi (Jennifer P. Kowalak, dkk, 2011, hal. 1065).
Pemeriksaan Penunjang

1. Urin

 Volume biasanya kurang dari 400ml/24 jam atau tak ada (anuria).
 Warna urin biasanya abnormal urin keruh kemungkinan ini disebabkan oleh pus,
bakteri, lemak, fosfat atau urat sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya
darah, Hb, mioglobin, porfirin.
 Osmoalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan hasil bahwa kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
 Klirens kreatinin mungkin agak menurun.
 Natrium lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi
natrium.
 Proteinuria (3-4+) secara kuat akan menunjukkan hasil kerusakan glomerulus bila
sel darah marah dan fragmen juga ada.

2. Darah

 BUN/kreatinin meningkat, kadar kreatinin 10 mg/dl diduga tahap akhir.


 HB menurun pada adanya anemia. Hb biasanya kurang dari 7-8 gr/dl.
 SDM menurun, defisiensi eritropoitin.
 GDA, asidosis metabolic, ph kurang dari 7,2
 Natrium serum rendah
 Kalium meningkat
 Magnesium meningkat
 Kalsium menurun
 Protein (albumin) menurun
 Osmolalitas serum : Lebih dari 285 mOsm/kg
 Pelogram retrograde : Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter.

3. Pemeriksaan ultrasono ginjal hanya untuk menentukan ukuran ginjal dan ada atau
tidaknya masa, kista obstruksi pada saluran kemih bagian atas.
4. Endoskopi ginjal, nefroskopi

Pemeriksaan ini untuk menetukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan
tumor secara selektif.

7. Arteriogram ginjal

Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler serta massa.

8. EKG

Untuk mengetahui ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa (Padila, 2012, pp. 249-
250).

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik

Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 tahap, yaitu secara tindakan konservatif
dan tindakan dialisis atau transplatasi ginjal.

1. Tindakan konservatif

Tindakan konservatif memiliki tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan
atau memperlambat adanya gangguan fungsi ginjal yang sangat progresif.

Pengobatan disini dibagi atas empat cara, yaitu:

1. Pengaturan dengan pembatasan protein, diet rendah kalium, diet rendah natrium dan
pengaturan cairan

 Pembatasan protein.
Pembatasan protein bukan untuk mengurangi kadar BUN saja, tetapi juga untuk
mengurangi asupan kalium dan fosfat, bahkan juga protein bisa untuk mengurangi
produksi ion hidrogen. Pembatasan asupan protein ini telah terbukti untuk
menormalkan kembali dan memperlambat terjadinya gagal ginjal. Jumlah
kebutuhan pada asupan protein biasanya menggunkana jumlah 60-80 gram/hari,
apabila penderita tersebut mendapatkan pengobatan dialisis secara teratur
(Suharyanto & Madjid, 2013, p. 189).

 Diet rendah kalium.

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah yang terjadi pada gagal ginjal lanjut.
Asupan kalium perlu dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari.
Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi akan kadar kaliumnya dapat
menyebabkan hiperkalemia (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 190).

 Diet rendah natrium

Diet Na yang telah dianjurkan adalah sebanyak 40-90 mEq/hari atau setara
dengan (1-2g natrium). Asupan natrium yang terlalu longgar akan mengakibatkan
dampak retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan bahgkan gagal
jantung kongestif (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 190).

 Pengaturan cairan

Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus di awasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran
cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian asupan
yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema.
Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan
gangguan fungsi ginjal. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya
asupan cairan adalah :

Jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml


(IWL)

(Suharyanto & Madjid, 2013, pp. 189-190).

Misalnya : jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24 jam adalah 400 ml, maka asupan
cairan total dalam sehari 400 + 500 ml = 900 ml.

1. Pencegahan dan Pengobatan Komplikasi

 Hipertensi

1. Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan yang


berlebihan.
2. Pemberian obat antihipertensi : Seperti obat metildopa (aldomet), propranolol dan
klonidin (catapres).
3. Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisa, pemberian anti
hipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang
diakibatkan oleh keluarnya cairan intravascular melalui ultrafiltrasi.
4. Pemberian obat diuretic furosemid golongan (lasix) (Suharyanto & Madjid, 2013,
p. 191).

 Hiperkalemia

Hiperkalemia adalah kondisi ketika jumlah kalium dalam darah sangat tinggi.
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang sangat serius apabila jumlah serum
mencapai sekitar 7 mEq/L dan akan dapat juga mengakibatkan aritmia dan juga henti
jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan cara pemberian glukosa dan insulin
diberikan secara intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan
pemberian kalsium glukonat 10% (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 191).

 Anemia
Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan oleh penurunan sekresi eritropoeitin, yaitu
rekombinan eritropoeitin (r-EPO), selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi
dan tranfusi darah (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 192).

 Asidosis

Asidosis ginjal biasanya tidak langsung diobati kecuali HCO3 (Bikarbonat) dan plasma
yang mengalami penurunan dibawah angka 15 mEq/L dan apabila asidosis menjadi berat
akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3 (Natrium Bikarbonat) yang diberikan secara
parenteral. (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 192).

 Diet rendah fosfat

Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat dalam usus. Gel
yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan makanan (Suharyanto &
Madjid, 2013, p. 192) .

 Pengobatan hiperurisemia

Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut adalah pemberian
alopurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat total yang dihasilkan tubuh (Suharyanto
& Madjid, 2013, p. 192) .

2. Dialisis dan transplantasi

Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dengan dialisis dan transplatasi ginjal.
Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang
optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum
biasanya di atas 6 mg/100 ml pada laki-laki atau 4 ml/200 ml pada wanita, dan GFR
kurang dari 4 ml/menit (Suharyanto & Madjid, 2013, p. 192) .

Diagnosa Keperawatan

1. Hipervolemia b/d Retensi Cairan Berlebih


Definisi : Peningkatan volume cairan intravascular, interstisial, dan intraselular.

Penyebab

Subjektif :

1. Ortopnea
2. Dispnea
3. Paroxsysmal nocturnal dyspnea (PND)

Objektif :

1. Edema anasarka dan edema perifer


2. Berat badan meningkat dalam waktu singkat
3. Jugular venous pressure (JVP) dan cental venous pressure (CVP)
4. Reflex hepatojugular positif

Kondisi Klinis Terkait :

1. Penyakit ginjal : gagal ginjal akut/kronis, sindrom nefrotik


2. Gagal jantung kongestif
3. Penyakit Vena perifer (mis. Varises vena, thrombus vena, phlebitis) (PPNI, 2016, p. 62).
4. Pola Napas Tidak Efektif b/d Ekspansi Paru Turun

Definisi :

Inspirasi dan ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.

Penyebab :

1. Depresi pusat pernafasan


2. Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
3. Deformitas dinding dada
4. Deformitas tulang dada
5. Gangguan neuromuscular
6. Imaturitas neurologis
7. Penurunan energy
8. Obesitas
9. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
10. Sindrom hipoventilasi

Gejala dan tanda mayor

Subjektif :

1. Dispnea
2. Ortopnea

Objektif :

1. Penggunaan otot bantu pernapasan


2. Fase ekspirasi memanjang
3. Pola napas abnormal (mis. Takipnea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes)
4. Pernapasan pursed-lip
5. Pernapasan cuping hidung
6. Ventilasi semenit menurun
7. Kapasitas vital menurun
8. Tekanan ekspirasi menurun (PPNI, 2016, p. 28).
9. Defisit nutrisi b/d HCL Meningkat

Definisi :Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.

Penyebab :

1. Ketidakmampuan menelan makanan


2. Ketidakmampuan mencerna makanan
3. Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrient
4. Peningkatan kebutuhan metabolism
5. Factor ekonomi (mis. Financial tidak mencukupi
6. Factor psikologis (mis. Stress, keengganan untuk makan)

Gejala dan Tanda mayor

Subjektif :

1. Cepat kenyang setelah makan


2. Kram atau nyeri abdomen
3. Nafsu makan menurun

Objektif :

1. Bising usus hiperaktif


2. Otot pengunyah lemah
3. Otot menelan lemah
4. Membrane mukosa pucat
5. Sariawan
6. Serum albumin turun
7. Rambut rontok berlebihan
8. Diare

Kondisi Klinis Terkait :

1. Penyakit kronis
2. Infeksi
3. AIDS (PPNI, 2016, p. 56).
4. Gangguan Pertukaran Gas b/d Asidosis Respiratorik

Definisi :Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan eleminasi karbondioksida pada membrane
alveolus – kapiler.

Penyebab :

1. Ketidakseimbangan ventilasi – perfusi


2. Perubahan membrane alveolus – kapiler

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif :

1. Dispnea

Objektif :

1. PCO2 meningkat / menurun


2. PO2 menurun
3. Takikardi
4. pH arteri meningkat/menurun
5. Bunyi napas tambahan

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif :

1. Pusing
2. Penglihatan kabur

Objektif :

1. Sianosis
2. Diaphoresis
3. Gelisah
4. Napas cuping hidung
5. Kesadaran menurun

Kondisi klinis terkait

1. PPOK
2. Gagal jantung kongestif
3. Infeksi saluran napas
4. Asma (PPNI, 2016, p. 22).
5. Resiko Infeksi b/d Injuri Jaringan

Definisi :Berisiko mengalami peningkatan terserang organism patogenik.

Factor Risiko :

1. Penyakit kronis (mis. Diabetes mellitus)


2. Efek prosedur invasive
3. Malnutrisi
4. Peningkatan paparan organism pathogen lingkungan

Kondisi Klinis Terkait :

1. Diabetes mellitus
2. Gagal ginjal (PPNI, 2016, p. 304).
3. Intoleransi Aktivitas

Definisi : Ketidakcukupan energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Penyebab :

1. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen


2. Tirah baring
3. Kelemahan
4. Imobilitas
5. Gaya hidup monoton

Gejala dan Tanda Mayor

Subjektif :

1. Mengeluh lelah
2. Dispnea setelah/saat aktivitas
3. Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
4. Merasa lemah

Objektif :

1. Frekuensi jantung meningkta >20 % dari kondisi istirahat


2. Gambaran EKG menunjukan aritmia saat/setelah beraktivitas
3. Gambaran EKG menunjukan iskemia
4. Sianosis

Kondisi Klinis Terkait :

1. Anemia
2. Gagal jantung kongestif
3. PPOK
4. Penyakit jantung kororner (PPNI, 2016, hal. 128).

2.3.5 Intervensi Keperawatan

1. Hipervolemia b/d retensi cairan berlebih


2. Tujuan

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama….x24 jam diharapkan hipervolemia dapat


berkurang.

1. Kriteria hasil NOC :

 Odem berkurang
 Tidak ada penumpukan cairan tubuh
 Tidak ada gangguan keseimbangan cairan

1. Aktivitas keperawatan

Pengkajian
 Tentukan lokasi dan derajat odem
 Kaji ekstermitas atau bagian tubuh yang edema terhadap gangguan sirkulasi dan
integritas kulit

Manajemen Hipervolemia NIC :

1. Pertahankan catatan asupan dan haluaran cairan yang akurat


2. memantau hasil laboratorium secara relevan terhadap retensi cairan.

Pengkajian untuk keluarga dan pasien

 Ajarkan pada klien dan keluarga klien untuk mengurangi odem dengan posisi kaki lebih
tinggi dan patuh terhadap pembatasan cairan
 Anjurkan pasien untuk berpuasa sesuai dengan kebutuhan

Aktivitas lain

 Tinggikan ekstermitas untuk meningkatkan aliran balik vena


 Pertahankan dan alokasikan pembatasan cairan

Manajemen NIC :

1. Distribusikan asupan cairan selama 24 jam

Aktivitas kolaboratif

 Kolaborasi dengan ahli giziuntuk pemberian diet dengan kandungan protein yang adekuat
dan pembatasan natrium

Manajemen NIC :

1. Konsultasikan kedokter jika tanda dan gejala hipervolemia menetap atau memburuk
(Wilkinson, 2015).
2. Pola napas tidak efektif b/d Ekspansi paru turun
3. Tujuan
Setelah dilakukan tindakan selama …x24 jam diharapkan pernafasan membaik

1. kriteria Hasil NOC :

 Mempunyai kecepatan dan irama pernapasan dalam batas normal


 Mempunyai fungsi paru dalam batas normal untuk pasien
 Mengidentifikasi factor (mis,allergen) yang memicu ketidakefektifan pola napas, dan
tindakan yang dapat dilakukan untuk menghindarinya.

1. Aktivitas keperawatan

Pengkajian

 Pantau adanya pucat dan sianosis


 Tentukan lokasi

Pemantauan pernafasan NIC :

1. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan upaya pernapasan


2. Pantau pernapasan yang berbunyi mendengkur

Penyuluhan keluarga dan pasien

 Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang teknik relaksasi untuk memperbaiki
napas.

Aktivitas lain

 Tenangkan pasien selama periode gawat napas


 Atur posisi pasien untuk mengoptimalkan pernapasan
 Sinkronisasikan antara pola napas klien dan kecepatan

Aktivitas kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat sesuai dengan program


 Kolaborasi pemberian nebulizer ultrasonik

(Wilkinson, 2015, p. 99).

3. Defisit nutrisi b/d HCL meningkat


4. Tujuan

Setelah dilakukan perawatan selama x24 jam diharapkan nutrisi bisa teratasi

1. Kriteria hasil NOC :


2. Menjelaskan komponen diet bergizi adekuat
3. Melaporkan tingkat energy yang adekuat
4. Mempertahankan masa tubuh dan berat badan dalam batas normal
5. Aktivitas keperawatan NIC

Pengkajian

 Tentukan kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan nutrisi


 Pantau kandungan nutrisi dan kalori pada catatan asupan diet

Penyuluhan keluarga dan pasien

 Ajarkan metode untuk perencanaan makan


 Berikan informasi pada keluarga dan pasien yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan
bagaimana cara untuk

Aktivitas lain

 Anjurkan pasien untuk menampilkan tujuan makanan dan latihan fisik di lokasi yang
terlihat jelas dan kaji ulang setiap hari
 Ajarkan pasien tentang cara membuat harian makanan
 Berikan pasien minuman dan kudapan bergizi, tinggi protein

Aktivitas kolaborasi
 Tentukan dan berkolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (Wilkinson, 2015, p. 503).

4. Gangguan Pertukaran Gas b/d Asidosis Respiratorik


5. Tujuan :

setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…x24 jam gangguan pertukaran gas dapat
teratasi.

1. Kriteria HasilNOC :
2. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal
3. Tidak mengalami napas dangkal atau ortopnea
4. Memiliki ekspansi paru yang simetris
5. Aktivitas keperawatan

Pengkajian

 Kaji suara paru, frekuensi napas, kedalaman, dan usaha napas


 Auskultasi sura napas, tandai area penurunan hilangnya ventilasi dan adanya bunyi
tambahan

Penyuluhan keluarga/pasien

 Ajarkan tentang teknik batuk efektif


 Ajarkan kepada keluarga bagaimana menggunakan inhaler yang dianjurkan sesuai
dengan kebutuhan

Aktivitas lain

 Atur posisi untuk mengurangi dispnea


 Atur posisi untuk memaksimalkan potensial ventilasi

Aktivitas kolaborasi

 Kolaborasi dengan dokter pemberian oksigen


 Kolaborasi dengan dokter tentang terapi nebulizer

(Wilkinson, 2015, pp. 323-330).

5. Resiko Infeksi b/d Injuri Jaringan


6. Tujuan

setelah dilakukan perawatan selama x 24 jam diharapkan risiko infeksi dapat berkurang

1. Kriteria HasilNOC :
2. Terbebas dari tanda dan gejala infeksi
3. Memperlihatkan hygiene personal yang adekuat
4. Mengindikasikan status gastrointestinal, pernapasan, genitourinaria, dan imun dalam
batas normal
5. Aktivitas keperawatan

Pengkajian

 Pantau tanda dan gejala infeksi


 Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan infeksi
 Pantau hasil laboratorium

Penyuluhan keluarga dan pasien

 Pengendalian Infeksi NIC

1. Ajarkan pasien dan keluarga tentang teknik mencuci tangan yang benar
2. Ajarkan pada pengunjung dan keluarga untuk mencuci tangan sewaktu mau masuk dan
akan meningalkan ruang pasien

Aktivitas lain

 Pengendalian Infeksi NIC


1. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah dipergunakan oleh masing-masing pasien
menghindari infeksi silang.
2. Batasi jumlah pengunjung

Aktivitas kolaborasi

 Pengendalian infeksi NIC

1. Kolaborasi pemberian terapi antibiotic (Wilkinson, 2015, pp. 423-427).


2. Intoleransi Aktivitas
3. Tujuan

Setelah dilakukan tindakan selama …..x24 jam diharapkan menampilkan aktivitas kehidupan
sehari-hari.

1. Kriteria Hasil NOC :

 Mengidentifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan kecemasan yang dapat


mengakibatkan intoleransi aktivitas
 Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan beberapa bantuan (misalnya,
eliminasi dengan bantuan ambulasi untuk ke kamar mandi).

1. Aktivitas Keperawatan

Pengkajian

 Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi, dan
melakukan AKS dan AKSI
 Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas

Penyuluhan Keluarga dan Pasien

 Ajarkan kepada pasien dan keluarga tentang teknik perawatan untuk meminimalkan
konsumsi oksigen (misalnya, pemantauan secara mandiri dan teknik langkah untuk
melakukan AKS)
 Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen waktu untuk mencegah
kelelahan

Aktivitas lain

 Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar, duduk, berdiri, dan
ambulasi, sesuai toleransi
 Pantau tanda-tanda vital sebelum,selama, dan setelah beraktivitas, hentikan aktivitas jika
tanda-tanda vital dalam rentang normal bagi pasien atau jika ada tanda-tanda aktivitas
tidak dapat ditoleransi

Aktivitas kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri merupakan salah satu
faktor penyebab
 Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna meningkatkan asupan makanan
yang kaya energi
 Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan berhubungan dengan penyakit
jantung (Wilkinson, 2015, hal. 24-29).

2.3.6 Implementasi

Implementasi merupakan tahap ke empat dari asuhan keperawatan. Implementasi keperawatan


adalah melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan asuhan keperawatan yang telah disusun.
Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yaitu mengamati
keadaan bio-psiko-sosio-spiritual pasien. Kegiatan yang perlu dilakukan dalam tahap
implementasi yaitu dengan tahap meliputi data dasar, mempelajari rencana, menyesuaikan
rencana yang telah disusun, analisa umpan balik, mengkomunikasikan hasil asuhan keperawatan
(Triyoga, 2015, p. 7).

2.3.7 Evaluasi

(Triyoga, 2015, pp. 8-9). Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien terhadap standar
atau kriteria yang ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai. Penulisan pada tahap evaluasi
proses keperawatan yaitu terdapat jam melakukan tindakan, data perkembangan pasien yang
mengacu pada tujuan, keputusan apakah tujuan tercapai atau tidak, serta ada tanda tangan atau
paraf. Evaluasi adalah tahapan akhir dari proses keperawatan. Evaluasi disini menyediakan nilai
informasi yang mengenai pengaruh dalam hal perencanaan (intervensi) yang telah direncanakan
secara seksama dan merupakan hasil dari perbandingan yang diamati dengan cara melihat hasil
dari kriteria hasil yang telah dibuat pada tahap perencanaan tersebut. (Hidayat, 2010, p. 41).

Anda mungkin juga menyukai