Anda di halaman 1dari 30

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA Makassar, 4 April 2017

LAPORAN PBL
MODUL 4 “BENGKAK PADA KAKI”
SKENARIO 1

KELOMPOK 2
NURUL AINUN B. 11020150010
ANY MUSTAFA 11020150027
AMIRAH JIHAN AFRY 11020150042
RISNA SRI WAHYUNI M. 11020150053
AMALIAH HAKIM 11020150070
INDAH CHINTYA MAHARANI 11020150089
FEBY WAHYUNI SYAM 11020150104
R. FAUZAN NUMYANI P. 11020150115
NUR ARAFAH SIREGAR 11020150125
M. FAUZAN FAHMY 11020150127

Pembimbing : dr. H. Syamsu Rijal, M.kes, Sp.PA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan PBL modul 4 dengan judul “Bengkak Pada Kaki” ini
dengan baik.

Adapun laporan PBL modul 4 dengan judul “Bengkak Pada Kaki” ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan laporan ini. Terutama kepada dr. H. Syamsu Rijal, M.kes,
Sp.PA, selaku pembimbing kami yang senantiasa membimbing kami dalam
menyelesaikan laporan ini.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki laporan kami.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga dari laporan PBL modul 4 dengan


judul “Bengkak Pada Kaki” dapat memberikan pengetahuan terhadap pembaca.

Makassar, 4 April 2017

Tim Penyusun
Skenario 1

Seorang perempuan berusia 28 tahun datang dengan keluhan bengkak pada


kaki kiei disertai kemerahan sejak sekitar 1 minggu terakhir. Pasien sering
merasakan kram dan kadang seperti rasa baal. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan kemerahan setinggi patella dengan eritema dan pitting edema.
Pulsasi arteri popliteal normal. Saat ini pasien sudah memiliki 2 anak dan
saat ini menggunakan depo provera.

a. Kata Sulit
1. Depo provera: suatu sintesa progresteron yang mempunyai efek seperti
progresteron asli dari tubuh manusia, yang digunakan sebagai kontrasepsi
parenteral.
Referensi: eprints.undip.ac.id

b. Kalimat Kunci
1. Perempuan 28 tahun
2. Bengkak pada kaki kiri disertai kemerahan sekitar 1 minggu terakhir
3. Rasa kram dan kadang seperti rasa baal
4. Ditemukan kemerahan setinggi patella dengan eritema dan pitting edema
5. Pasien memiliki 2 anak dan saat ini menggunakan depo provera

c. Pertanyaan
1. Apa perbedaan penyakit arteri dengan penyakit vena?
2. Bagaimana hubungan penggunaan depo provera terhadap gejala pada
skenario?
3. Bagaimana patofisiologi dari edema serta hubungannya dengan penyakit
kardiovaskular pada skenario?
4. Apa penyebab kram dan rasa baal?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis pada skenario?
6. Apa diagnosis diferensial dari skenario?
7. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario?
8. Bagaimana komplikasi dan prognosis pada penyakit?
d. Jawaban Pertanyaan

1. Apa perbedaan penyakit arteri dengan penyakit vena?

Jawab:

A. Trombosis Arteri

Trombosis arteri adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah arteri


terutama sering terbentuk pada sekitar orifisium cabang arteri dan bifurkasio
arteri. Penyebabnya sebagian besar yaitu karena adanya kelainan jantung seperti
kelainan katup, infark jantung, fibrilasi atrium dan lain-lain. Dapat pula karena
aneurisma aorta, bila trombusnya lepas dan bergerak ke lokasi terjadinya
trombosis. Trombus yang bergerak ini disebut embolus.

Ada 3 hal yang berpengaruh dalam pembentukan trombus ini (trias Virchow):

1. Kondisi dinding pembuluh darah (endotel)


2. Aliran darah yang melambat/statis
3. Komponen yang terdapat dalam darah sendiri berupa peningkatan
koagulabilitas

Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
berat, antara lain:

1. Nyeri pada daerah yang bersangkutan, biasanya pada daerah ekstremitas


dan nadi tidak dapat diraba
2. Mati rasa
3. Kelemahan otot
4. Rasa seperti ditusuk-tusuk

B. Trombosis Vena

Trombosis vena adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama
pada tungkai bawah. Penyebabnya akibat aliran darah menjadi lambat atau
terjadinya statis aliran darah, sedangkan kelainan endotel pembuluh darah jarang
merupakan faktor penyebab.

Pasien dengan faktor risiko tinggi untuk menderita trombosis vena dalam yaitu
apabila:

1. Riwayat trombosis, strok


2. Paska tindakan bedah terutama beda ortopedi
3. Luka bakar
4. Gagal jantung akut atau kronik
5. Penggunaan obat-obat yang mengandung hormon estrogen
6. Kelainan darah bawaan atau didapat yang menjadi predisposisi untuk
terjadinya trombosis

Gejala klinis yang ditimbulkan yaitu:

1. Bengkak disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan, biasanya pada
ekstremitas bawah. Rasa nyeri bertambah saat berjalan dan tidak
berkurang dengan istirahat.
2. Kadang nyeri dapat timbul ketika tungkai dikeataskan atau ditekuk
3. Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan nyeri tekan
4. Dapat dijumpai demam dan takikardi walaupun tidak selalu

Referensi: Aru W. Sudoyo, dkk. Trombosis Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007. Halaman: 1354.

2. Bagaimana hubungan penggunaan depo provera terhadap gejala pada skenario?

Jawab:

Depo provera bisa saja menyebabkan trombo-embolisme karena meningkatan


aktivitas faktor-faktor pembekuan atau karena pengaruh vaskuler secara langsung.
Angka kejadian trombo-embolisme ini dilaporkan 4-9 kali lebih tinggi dari wanita
bukan pemakai pil dari golongan umur yang sama. Kekurangannya antara lain
telah diteliti oleh Dhanjal (2008) bahwa pemakaian depo-provera menunjukkan
peningkatan angka kolesterol total dan LDL (Low-Density Lipoprotein) dan
menurunkan HDL (High-Density Lipoprotein). Oleh karena banyaknya LDL
dalam darah maka akan menyebabkan thrombus.

Efek samping lain berupa resistensi insulin ditunjang dengan penemuan fakta
yaitu meningkatnya jumlah asam lemak bebas disertai dengan status resisitensi
insulin juga intoleransi glukosa. Hilangnya komponen hormon estrogenik menjadi
alasan meningkatnya resiko komplikasi vaskuler jika kontrasepsi jenis ini
digunakan oleh wanita penderita diabetes.

Referensi: Aranthi Wardani. 2010. Pengaruh Pengguaan Kontrasepsi Depo-


Provera Terhadap Terjadinya Abnormalitas Menstruasi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret.

3. Bagaimana patofisiologi dari edema serta hubungannya dengan penyakit


kardiovaskular pada skenario?

Jawab:

Sistem vena pada ekstremitas bawah terbagi menjadi 3 subsistem yaitu: (1) vena
superfisial, (2) vena profunda, (3) vena penghubung. Vena superfisial terletak di
jaringan subkutan anggrota gerak dan menerima aliran vena dari pembuluh-
pembuluh darah yang lebih kecil di dalam kulit, jaringan subkutan, dan kaki. Vena
superfisial terdiri dari vena saphena magna dan vena saphena parva. Vena saphena
magna mengalirkan darh dari bagian antero-medial betis dan paha. Vena saphena
parva berjalan di sepanjang sisi lateral dari mata kaki melalui betis menuju ke
lutut, mendapatkan darah ke vena poplitea.
Sistem vena profunda membawa sebagian besar darah vena dari ekstremitas
bawah dan terletak di dalam kompartemen otot. Vena profunda terdiri dari vena
tibialis anterior dan posterior, vena peroneus, vena poplitea, vena femoralis, vena
femoralis profunda, dan vena iliaka. Sistem vena profunda cenderung berjalan
paralel dengan pembuluh darah arteri ekstremitas bawah.Subsistem vena
parofunda an superfisial dihubungkan oleh saluran-saluran pembuluh darah yang
disebut vena penghubung.

Mekanisme terjadinya trombosis adalah: (1) stasis aliran darah, (2) cedera endotel,
(3) hiperkoagulabilitas darah.

Stasis atau lambatnya aliran darah merupakan predisposisi untuk terjadinya


trombosis dan tampaknya menjadi faktor pendukung pada keadaan imobilisasi
atau saat anggota gerak tidak dapat dipakai untuk jangka waktu lama. Imobilisasi
menghilangkan pengaruh pompa vena perifer, meningkatkan stagnasi dan
pengumpulan darah di ekstremitas bawah. Stasis darah di belakang daun katup
vena dapat menyebabkan penumpukan trombosit dan fibrin, yang mencetuskan
perkembangan trombosis vena.

Walaupun cedera endotel diketahui dapat mengawali pembentukan trombus, lesi


yang nyatatidak selalu dapat ditunjukkan. Tetapi, perubahan endotel yang tidak
jelas, yang disebabkan oleh perubahan kimiawi, iskemia atau anoksia, atau
peradangan dapat terjadi. Penyebab kerusakan endotel yang jelas adalah trauma
langsung pada pembuluh darah dan infus intravena atau zat-zat yang mengiritasi.

Hiperkoagulabilitas darah bergantung pada interaksi kompleks antara berbagai


maca variabel, termasuk endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan dan
trombosit, komposisi, dan sifat-sifat aliran darah. Keadaan hiperkoagulasi timbul
akibat perubahan salah satu variabel.

Trombosis vena akan meningkatkan resistensi aliran vena dari ekstremitas bawah.
Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena akan terganggu,
menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah vena. Trombosis dapat
melibatkan kantong katup dan merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi
mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah di ekstremitas.

Referensi: Price, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Volume 1. Edisi 6. 2005. Jakarta:EGC. Halaman: 674-679.

4. Apa penyebab kram dan rasa baal?

Jawab:

 Aliran Darah Yang Tidak Adekuat


Aliran darah yang tidak adekuat atau sirkulasi aliran arteri dan vena yang
jelek dapat menimbulkan rasa kram dan baal karena akan menyebabkan
tidak adekuatnya oksigen ke jaringan otot, yang dapat menyebabkan pula
rasa sakit.
 Saraf yang Terjepit
Saraf atau nervus yang tertekan, dapat menimbulkan rasa kram dan baal
karena mengganggu penghantaran impuls sensoris maupun motoris ke
perifer.
 Kekurangan Mineral
Kekurangan mineral dapat mengakibatkan kram dan baal karena mineral
dibutuhkan untuk kontraksi dan transmisi saraf.

Referensi: Melissa Conrad Stoppler, MD. Journal of Muscle Cramp. Medically


reviewed on 04/21/2016

5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis pada skenario?

Jawab:
Anamnesis

1) Menanyakan keluhan utama pasien bengkak kaki kiri


a.) Onset terjadinya edema : seminggu terakhir
b.) Tanyakan ada atau tidaknya keluhan lain yang menyertai seperti :
 Kram
 Rasa baal
 Nyeri
 Hangat
 Eritema
c.) Tanyakan ada atau tidaknya faktor resiko yang mendukung keluhan:
 Penyakit gagal jantung
 Bed rest
 Duduk lama
 Kehamilan
 Pil kb seperti depo provera
d.) Menggali riwayat penyakit terdahulu yang sama dan yang berkaitan, untuk
menilai apakah penyakit sekarang ada hubungannya dengan yang lalu.
2) Menggali riwayat penyakit keluarga dan lingkungan dengan menanyakan
apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama.
3) Melakukan cek silang

Pemeriksaan Fisis

1) Inspeksi dan Palpasi


a.) Inspeksi bagian yang edema, perhatikan adanya pulsasi
b.) Meraba pulsasi dengan ujung jari pada lokasi yang benar
c.) Lakukan palpasi untuk melihat apakah ada pitting edema

Pemeriksaan Lab

a. Peningkatan D-Dimer
b. Penurunan anti-trombin

Pemeriksaan penunjang

1. Venografi
2. USG dopler

Referensi: Berdasarkan skenario 1 dari modul PBL 4 “Bengkak Pada Kaki”

6.Apa diagnosis diferensial dari skenario?

Jawab:

A. Deep Venous Thrombosis (DVT)

Definisi

Trombosis Vena Dalam (DVT) merupakan penggumpalan darah yang terjadi di


pembuluh balik (vena) sebelah dalam. Terhambatnya aliran pembuluh balik
merupakan penyebab yang sering mengawali TVD. Penyebabnya dapat berupa
penyakit pada jantung, infeksi, atau imobilisasi lama dari anggota gerak.

Etiologi

Berdasarkan “Virchow’s Triad”, terdapat 3 faktor stimuli terbentuknya


tromboemboli, yaitu kelainan dinding pembuluh darah, perubahan aliran darah,
dan perubahan daya beku darah. Selain faktor stimuli, terdapat faktor protektif
yaitu inhibitor faktor koagulasi yang telah aktif (contoh: antitrombin yang
berikatan dengan heparan sulfat pada pembuluh darah dan protein C yang
teraktivasi), eliminasi faktor koagulasi aktif, dan kompleks polimer fibrin oleh
fagosit mononuklear dan hepar, serta enzim fibrinolisis.

Patofisiologi
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses
terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):

1. Stasis vena

Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di daerah
yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu mekanisme
pembersihan aktivitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan
terbentuknya trombosis.

2. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan dalam proses pembentukan


trombosis vena, melalui:

 Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.


 Aktivasi sel endotel oleh sitokin yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan
jaringan dan proses peradangan.

3. Perubahan daya beku darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan sistem pembekuan darah dan


sistem fibrinolisis. Kecenderungan trombosis terjadi apabila aktivitas
pembekuan darah meningkat atau aktivitas fibrinolisis menurun. DVT sering
terjadi pada kasus aktivitas pembekuan darah meningkat, seperti pada
hiperkoagulasi, defisiensi anti-trombin III, defisiensi protein-C, defisiensi
protein S, dan kelainan plasminogen.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang. Keluhan
utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat menjadi
berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT umumnya timbul
karena faktor risiko tertentu, tetapi dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT).

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa:

1. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena
di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke
bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak
spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang
ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika penderita berbaring,
terutama jika posisi tungkai ditinggikan.

2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan,
maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah
trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak
ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada
17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadang- kadang berwarna
ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan dingin pada perabaan merupakan
tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme arteri, disebut
egmasia alba dolens.

DIAGNOSIS
Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.

Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri, dan perubahan warna kulit
(phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/ blue leg). Skor
Wells dapat digunakan untuk stratifikasi menjadi kelompok risiko ringan, sedang,
atau tinggi. Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku
yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non-invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi
tertentu. Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis
DVT belum dapat ditegakkan, maka harus dilakukan magnetic resonance
venography (MRV).

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Riwayat penyakit sebelumnya
merupakan hal yang penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat
trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis pada keluarga juga merupakan
hal penting.

Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan.
Gambaran klasik TVD adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri,
dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif (sakit di
calf atau di belakang lutut saat dalam posisi dorsoflexi).

Diagnosis DVT tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis karena tidak spesifik
ataupun sensitif. Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan
dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan
investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan kemungkinan DVT
rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang, dan skor 3 atau
lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi.
Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium mendapatkan peningkatan kadar D-dimer dan


penurunan antitrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin.
Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA atau latex agglutination
assay. D-dimer <0,5 mg/ mL dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan
ini sensitif tetapi tidak spesifik, sehingga hasil negatif sangat berguna untuk
eksklusi DVT, sedangkan nilai positif tidak spesifik untuk DVT, sehingga tidak
dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT.

Pemeriksaan radiologis penting untuk mendiagnosis DVT. Beberapa jenis


pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis DVT,
yaitu:

1. Venografi
Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast phlebography atau
contrast venography. Prinsip pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat
kontras ke dalam sistem vena, akan terlihat gambaran sistem vena di betis,
paha, inguinal sampai ke proksimal vena iliaca. Venografi dapat
mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan darah
serta menilai kondisi vena dalam. Venografi digunakan pada kecurigaan
kasus DVT yang gagal diidentifikasi menggunakan pemeriksaan non-
invasif.
2. Flestimografi Impedans

Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah


tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif untuk trombosis vena femoralis dan
iliaca dibandingkan vena di daerah betis.

3. Ultrasonografi (USG) Doppler

Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif.
USG memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien
yang dicurigai menderita DVT simptomatis dan terletak di daerah
proksimal.

4. Magnetic Resonance Venography

Prinsip pemeriksaan ini adalah membandingkan resonansi magnetik antara


daerah dan aliran darah vena lancar dengan yang tersumbat bekuan darah.
Pemeriksaan ini tidak menggunakan kontras, hanya memanfaatkan
kandungan methemoglobin bekuan darah.

TATALAKSANA

Hanya dilakukan pada kasus yang diagnosisnya sudah jelas ditegakkan mengingat
obat- obatan dapat menimbulkan efek samping serius.

Tujuan tatalaksana DVT fase akut adalah:

1. Menghentikan bertambahnya trombus

2. Membatasi bengkak tungkai yang progresif

3. Melisis dan membuang bekuan darah serta mencegah disfungsi vena atau
terjadinya sindrom pasca-trombosis

4. Mencegah terjadinya emboli

Non-farmakologis

Penatalaksanaan non-farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi


morbiditas pada serangan akut serta mengurangi insidens post- trombosis
syndrome yang biasanya ditandai dengan nyeri, kaku, edema, parestesi, eritema,
dan edema. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena pasien
dianjurkan untuk istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki, dan
dipasang compression stocking dengan tekanan kira-kira 40 mmHg.
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada bedrest,
tujuan bedrest pada pasien DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli
pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan berlebihan tungkai yang mengalami
DVT dapat membuat bekuan (clot) terlepas dan “berjalan” ke paru. Penggunaan
compression stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3 minggu ketika
diagnosis DVT ditegakkan dapat menurunkan risiko post-trombosis syndrome.
Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan
mereka yang memiliki fungsi vena yang jelek.

Meluasnya proses trombosis dan emboli paru dapat dicegah dengan antikoagulan
dan fibrinolitik. Prinsip pemberian anti-koagulan adalah safe dan efektif. Safe
artinya antikoagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat
menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli.

 Unfractionated Heparin

Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dosisnya


dititrasi berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time (APTT).
Nilai APTT yang diinginkan adalah 1,5- 2,5 kontrol. Mekanisme kerja
utama heparin adalah: 1) meningkatkan kerja antitrombin III sebagai
inhibitor faktor pembekuan, dan 2) melepaskan tissue factor pathway
inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.

Diberikan dengan cara bolus 80 IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan


infus 18 IU/ kgBB/jam. APTT, masa protrombin (protrombin time /PT) dan
jumlah trombosit harus diperiksa sebelum memulai terapi heparin, terutama
pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, riwayat operasi sebelumnya,
kondisi-kondisi seperti peptic ulcer disease, penyakit hepar, kanker, dan
risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency).

Efek samping perdarahan dan trombositopeni. Heparin dapat dihentikan


setelah empat sampai lima hari pemberian kombinasi dengan warfarin jika
International Normalized Ratio (INR) melebihi 2.0 kg 2x sehari atau 1,5
mg/kg 1x sehari. Dalteparin disetujui hanya untuk pencegahan DVT. Pada
penelitian klinis, dalteparin diberikan dengan dosis 200 IU/kgBB/hari (dosis
tunggal atau dosis terbagi dua kali sehari). FDA telah menyetujui
penggunaan tinzaparin dengan dosis 175 IU/kg/hari untuk terapi DVT.

Pilihan lain adalah fondaparinux. Fondaparinux adalah pentasakarida


sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin. Diberikan
subkutan, bioavailabilitasnya 100%, dengan konsentrasi plasma puncak 1,7
jam setelah pemberian. Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi
kondisi akut dengan dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg), atau
10 mg (BB >100 kg) subkutan, sekali sehari.

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang


dibanding pada penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara
lain kelainan darah, riwayat stroke perdarahan, metastasis ke central
nervous system (CNS), kehamilan, peripartum, operasi abdomen atau
ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. LMWH
diekskresikan melalui ginjal, pada penderita gangguan fungsi ginjal,
dosisnya harus disesuaikan atau digantikan oleh UFH.

 Warfarin

Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian warfarin


segera setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya memerlukan satu
minggu atau lebih. Oleh karena itu, LMWH diberikan bersamaan.

Bolus 80 unit/ kgBB, kemudian 18 unit/ kg/ jam


Dosis awal
dengan infus
APTT <35 detik (<1 kali Bolus 80 unit/ kgBB, kemudian 4 unit/ kg/ jam
kontrol) dengan infus
APTT 35 – 45 detik (1,2- Bolus 40 unit/ kgBB, kemudian 2 unit/ kg/ jam
1,5 kali kontrol) dengan infus
APTT 46– 70 detik (1,5-
Tidak ada perubahan
2,3 kali kontrol)
APTT 71– 90 detik (2,3-
Kecepatan infus diturunkan 2 unit/ kgBB/ jam
3,0 kali kontrol)
APTT >90 detik (>3 kali Hentikan infus selama 1 jam lalu turunkan kecepatan
kontrol) infus rata-rata 3 unit/ kgBB/ jam

Low-Molecular-Weight Heparin (LMWH) dibandingkan dengan


unfractionated heparin, LMWH lebih menguntungkan karena waktu paruh
biologis lebih panjang, dapat diberikan subkutan satu atau dua kali sehari,
dosisnya pasti dan tidak memerlukan pemantauan laboratorium. Pada pasien
DVT, heparin subkutan tidak kurang efektif dibandingkan unfractionated
heparin infus kontinyu.

Seperti halnya unfractionated heparin, LMWH dikombinasi dengan


warfarin selama empat sampai lima hari, dihentikan jika kadar INR
mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin disetujui oleh FDA (U.S. Food and
Drug Administration) untuk pengobatan DVT dengan dosis 1 mg sebagai
terapi penghubung hingga warfarin mencapai dosis terapeutiknya. Untuk
pasien yang mempunyai kontraindikasi enoxaparin (contohnya: gagal
ginjal), heparin intravena dapat digunakan sebagai tindakan pertama.
Tindakan ini memerlukan perawatan di rumah sakit.

Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh
hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. Dosis warfarin dipantau
dengan waktu protrombin atau INR. Untuk DVT tanpa komplikasi, terapi
warfarin direkomendasikan tiga sampai enam bulan. Kontraindikasi terapi
warfarin, antara lain perdarahan di otak, trauma, dan operasi yang dilakukan
baru-baru ini.
Pada pasien dengan faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi
antitrombin III, protein C atau S, activated protein C resistance, atau
dengan lupus antikoagulan/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral dapat
diberikan lebih lama, bahkan seumur hidup. Pemberian antikoagulan
seumur hidup juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua
kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker aktif.

 Terapi Trombolitik

Tidak seperti antikoagulan, obat-obat trombolitik menyebabkan lisisnya


trombus secara langsung dengan peningkatan produk plasmin melalui
aktivasi plasminogen. Obat- obat trombolitik yang direkomendasikan FDA
meliputi streptokinase, recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA),
dan urokinase.

Terapi trombolitik bertujuan memecah bekuan darah yang baru terbentuk


dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan.
Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengan catheter-
directed thrombolysis (CDT). Trombolitik sistemik dapat menghancurkan
bekuan secara cepat tapi risiko perdarahan juga tinggi. Risiko perdarahan
pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan heparin.
Indikasi trombolisis antara lain trombosis luas dengan risiko tinggi emboli
paru, DVT proksimal, threatened limb viability, ada predisposisi kelainan
anatomi, kondisi fisiologis baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari
6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi.

Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding diathesis/ trombositopeni,


risiko perdarahan spesifik organ (infark miokard akut, trauma
serebrovaskuler, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal
hati atau gagal ginjal, keganasan (metastasis otak), kehamilan, stroke iskemi
dalam 2 bulan, hipertensi berat tidak terkontrol (SBP>180 mmHg,
DBP>110 mmHg).
 Trombektomi

Terapi open surgical thrombectomy direkomendasikan untuk DVT yang


memiliki kriteria di antaranya adalah DVT iliofemoral akut, tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau trombolitik ataupun mechanical
thrombectomy gagal, lesi tidak dapat diakses oleh kateter, trombus sukar
dipecah dan kontraindikasi antikoagulan. Setelah tindakan pembedahan,
heparin diberikan selama 5 hari, pemberian warfarin harus dimulai 1 hari
setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan sesudahnya. Untuk hasil
maksimal pembedahan sebaiknya dilakukan dalam 7 hari setelah onset
DVT. Pasien phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan
dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi.

Referensi: Putra Jayanegara. Jurnal Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein


Thrombosis. Continuing Medical Education. Halaman: 652-656.

B. Congestive Heart Failure (CHF)

Definisi

Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung memompa darah dalam


jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan
nutrien. Gagal jantung kongestif adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan
fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau disertai
peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif
yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan.

Etiologi

Gagal jantung kongestif dapat disebabkan oleh:


1) Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab kelainan
fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial, dan penyakit
degeneratif atau inflamasi.
2) Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam laktat). Infark
miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului terjadinya gagal
jantung. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif, berhubungan
dengan gagal jantung karena kondisi yang secara langsung merusak serabut
jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3) Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4) Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung merusak
serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
4) Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang sebenarnya,
yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme biasanya terlibat
mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung (stenosis katup
semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah (tamponade,
perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV), peningkatan mendadak
afterload.

Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem
tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung
tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung
ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata
serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon
hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling
pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan
beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume
darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot
jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi
tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system
saraf adrenergik.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai
pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda
gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat
CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan
curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan
volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsangmekanisme kompensasi
neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera
teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan
fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung
yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan
energi terbatas (misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan
gangguan kontraktilitas.
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel.
Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari
trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu keadaan penyakit
jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke
miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan
irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung. Beberapa data menyebutkan
bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase
kematian jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi
ventrikel menurun. WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi
akibat penurunan fungsi mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik,
ataupun keadaan seperti emboli sistemik (emboli pulmo, jantung) dan keadaan
yang telah disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf
simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung, bila mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan
yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri
untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah
utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang
dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
pada tiga faktor yaitu:
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi
jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan
arteriole.

Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya
gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat,
apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan
jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan:
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal
nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah,
asites, hepatomegali, dan edema perifer.

Terapi Farmakologi
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume
berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan
volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja
jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan
darah menurun.
2) Antagonis aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4) Glikosidadigitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan
volume distribusi.
5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)
Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah
vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan
kapasitas vena.
6) Inhibitor ACE
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi
aldosteron sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor
ini juga menurunkan retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan
peningkatan curah jantung.

Terapi Non-farmakologi
Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan seperti:
diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi
stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur.

Referensi: repository.usu.ac.id

C. Varises

Definisi

Varises adalah vena normal yang mengalami dilatasi akibat pengaruh


peningkatanan tekanan vena yang merupakan suatu manifestasi yang dari sindrom
insufiensi vena dimana pada sindrom ini aliran darah dalam vena mengalami arah
aliran retrograde atau aliran balik menuju tungkai yang kemudian mengalami
kongesti. Pelebaran vena dekat dengan permukaan kulit sehingga vena tampak
menonjol pada kulit.

Epidemiologi:

Prevalensi varises diperkirakan antara 5-30% populasi dewasa, lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan pria (3:1), meskipun studi saat ini menunjukkan
prevalensi lebih besar pada pria.2 The San Valentino Screening Project
menemukan bahwa di antara 30.000 subjek yang dinilai secara klinis dan
ultrasonografi duplex, prevalensi varises sebesar 7% dan CVI simptomatik 0,86%.
Dari Framingham Heart Study diperkirakan bahwa insiden tahunan varises pada
perempuan 2,6% dan pada pria 1,9%.

Faktor resiko:

 Faktor keturunan
 Wanita>pria
 Kehamilan
 kurang gerak
 terlalu banyak berdiri
 Kegemukan.

Gejala klinik:

 Mula-mula kaki dan tungkai terasa berat, diikuti otot yang mudah pegal,
kaku, panas dan sakit di seputar kaki maupun tungkai. Biasanya rasa sakit
dirasakan menjelang malam, akibat tidak lancarnya aliran darah.
 Mudah kram, meski kaki dalam kondisi santai.
 Muncul pelebaran pembuluh darah yang mirip jaring laba-laba (spider
navy).
 Perubahan warna kulit (pigmentasi) di seputar mata kaki, akibat tidak
lancarnya aliran darah. Kadang diikuti dengan luka di sekitar mata kaki
yang sulit sembuh.
 Edema karena adanya pembendungan darah.
 Perubahan pada pembuluh vena luar, misalnya di betis bagian belakang
tampak urat kebiru-biruan dan berkelok-kelok. Keadaan ini merupakan
gejala varises kronis (varicous vein).

Patomekanisme:

Awal mulanya terjadi varises diperkirakan bahwa dinding pembuluh darah


menjadi lemah pada beberapa bagian. Bagian ini kemudian melebar dan menjadi
lebih menonjol. Jika ini terjadi di dekat katup maka katup dapat menjadi bocor
dan darah bisa mengalir balik. Setelah ini terjadi di salah satu katup ada tekanan
ekstra pada vena sehingga dapat menyebabkan pelebaran vena yang semakin
parah dan kebocoran katup yang lebih parah juga. Darah kemudianmengumpul
pada vena yang membesar dan membuatnya menjadi edema.

Penatalaksanaan:

Penyakit varises adalah penyakit yang tergolong ringan dan tidak menimbulkan
masalah kesehatan yang serius. Sehingga tidak mempengaruhi sirkulasi ataupun
menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang. Jika pengobatan diperlukan
maka dokter terlebih dahulu akan melakukan pengobatan sederhana berupa
penggunaan stoking kompresi selama enam bulan dan menyarankan untuk
mengubah pola hidup sang pasien seperti berolahraga yang teratur dan
mengangkat atau meninggikan tungkai saat beristirahat. Namun jika varises sudah
terlalu parah atau menyebabkan komplikasi maka dapat diobati dengan ablasi
endothemal (menutup pembuluh darah dengan panas), sclerotherapy (busa khusus
untuk menutup pembuluh darah) dan operasi pengangkatan vena yang rusak.

Cara mencegah varises:

 Setelah beraktivitas seharian, berbaringlah dengan posisi kaki dan tungkai


lebih tinggi dari jantung selama 20 menit. Bagi yang sudah terkena varises
usahakan tidur dengan posisi seperti ini untuk melancarkan peredaran
darah ke jantung.
 Lakukan olahraga secara rutin
 Tidak berdiri terlalu lama
 Jangan memijat terlalu keras daerah varises, karena dapat menyebabkan
pecahnya pembuluh darah vena.
 Perbanyak makan yang berserat tinggi, dan kurangi yang mengandung
protein hewani
Referensi: Winardi, Ronald. Gangguan Vena Bagian Bedah Jantung dan
Pembuluh Darah. Jakarta, Indonesia.

7. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario?

Jawab:

1. Pemberian Antikoagulan Oral (Warfarin)


 Minimal 5 hari (sebaiknya 3 bulan)
 Target terapi INR 2-3
 Dosis 1-3 mg/hari

2. Pemberian Antikoagulan Parenteral


 Heparin Intravena
UFH : Bolus 5000 IU lanjut 1000 IU/Jam
 Enoxaparin Subkutan
 Fondaparinux Subkutan
Mulai hari pertama + oral antikoagulan. Lama pemberian minimal 5-7 hari

3. Pemberian Fibrinolitik Percutaneus


Untuk mencegah komplikasi sindroma post trombotik
 Streptokinase
 Urokinase
 Tissue Plasminogen Activator

4. Obat Phlebotropik
Digunakan untuk memperlancar aliran darah linfe
 Diosmin

5. Obat Hemorheological
Memperlancar aliran darah
 Pentoxifilin
 Cilostazol

6. Dieuretik

Referensi: Lily L. Rilantono. Penyakit Kardiovaskular (PKV). FK UI. Halaman:


361. Deep Venous Thrombosis (DVT) oleh Dr. dr. Idar Mappangara, Sp.PD,
Sp.JP(K)

8. Bagaimana komplikasi dan prognosis pada penyakit?

Jawab:

a. Komplikasi
1. Pulmonary Embolism
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau
percabangannya akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain.
Tanda dan gejalanya tidak khas, seringkali pasien mengeluh sesak
napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai hemoptoe,
palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami
penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku
penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan
membutuhkan tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode
diagnosa klinis, pemeriksaan D-Dimer dan CT-angiografi.

2. Post-Thrombotic Syndrome
Terjadi akibat inkompetensi katup vena yang terjadi pada saat
rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena sisa
trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan
nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun
setelah kejadian trombosis vena dalam pada 50% pasien. Pada
beberapa pasien dapat terjadi ulserasi, biasanya di daerah perimaleolar
tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah
ulkus sembuh pasien harus menggunakan compressible stocking untuk
mencegah berulangnya post thrombotic syndrome. Penggunaan
compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan
manfaat tetapi harus diperiksa berkala.

b. Prognosis
Sebagian besar kasus DVT dapat hilang tanpa adanya masalah apapun jika
ditangani secara tepat dan tepat. Namun penyakit ini dapat kambuh.
Beberapa orang dapat mengalami nyeri dan bengkak berkepanjangan pada
salah satu kakinya. Pada pasien dengan riwayat terjadi emboli paru, maka
pengawasan harus dilakukan lebih ketat dan teratur.

Referensi: Andi Putra Jayanegara. Diagnosis dan Tatalaksana Deep Vein


Thrombosis. Continuing Medical Education. RSUD dr. Doris Sylvanus. Palangka
Raya. Kalimantan Tengah.

Anda mungkin juga menyukai