LAPORAN PBL
MODUL 4 “BENGKAK PADA KAKI”
SKENARIO 1
KELOMPOK 2
NURUL AINUN B. 11020150010
ANY MUSTAFA 11020150027
AMIRAH JIHAN AFRY 11020150042
RISNA SRI WAHYUNI M. 11020150053
AMALIAH HAKIM 11020150070
INDAH CHINTYA MAHARANI 11020150089
FEBY WAHYUNI SYAM 11020150104
R. FAUZAN NUMYANI P. 11020150115
NUR ARAFAH SIREGAR 11020150125
M. FAUZAN FAHMY 11020150127
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan PBL modul 4 dengan judul “Bengkak Pada Kaki” ini
dengan baik.
Adapun laporan PBL modul 4 dengan judul “Bengkak Pada Kaki” ini telah kami
usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar pembuatan laporan ini. Untuk itu kami tidak lupa
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan laporan ini. Terutama kepada dr. H. Syamsu Rijal, M.kes,
Sp.PA, selaku pembimbing kami yang senantiasa membimbing kami dalam
menyelesaikan laporan ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena
itu dengan lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat
memperbaiki laporan kami.
Tim Penyusun
Skenario 1
a. Kata Sulit
1. Depo provera: suatu sintesa progresteron yang mempunyai efek seperti
progresteron asli dari tubuh manusia, yang digunakan sebagai kontrasepsi
parenteral.
Referensi: eprints.undip.ac.id
b. Kalimat Kunci
1. Perempuan 28 tahun
2. Bengkak pada kaki kiri disertai kemerahan sekitar 1 minggu terakhir
3. Rasa kram dan kadang seperti rasa baal
4. Ditemukan kemerahan setinggi patella dengan eritema dan pitting edema
5. Pasien memiliki 2 anak dan saat ini menggunakan depo provera
c. Pertanyaan
1. Apa perbedaan penyakit arteri dengan penyakit vena?
2. Bagaimana hubungan penggunaan depo provera terhadap gejala pada
skenario?
3. Bagaimana patofisiologi dari edema serta hubungannya dengan penyakit
kardiovaskular pada skenario?
4. Apa penyebab kram dan rasa baal?
5. Bagaimana langkah-langkah diagnosis pada skenario?
6. Apa diagnosis diferensial dari skenario?
7. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario?
8. Bagaimana komplikasi dan prognosis pada penyakit?
d. Jawaban Pertanyaan
Jawab:
A. Trombosis Arteri
Ada 3 hal yang berpengaruh dalam pembentukan trombus ini (trias Virchow):
Gejala klinis yang ditimbulkan sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang
berat, antara lain:
B. Trombosis Vena
Trombosis vena adalah pembekuan darah di dalam pembuluh darah vena terutama
pada tungkai bawah. Penyebabnya akibat aliran darah menjadi lambat atau
terjadinya statis aliran darah, sedangkan kelainan endotel pembuluh darah jarang
merupakan faktor penyebab.
Pasien dengan faktor risiko tinggi untuk menderita trombosis vena dalam yaitu
apabila:
1. Bengkak disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan, biasanya pada
ekstremitas bawah. Rasa nyeri bertambah saat berjalan dan tidak
berkurang dengan istirahat.
2. Kadang nyeri dapat timbul ketika tungkai dikeataskan atau ditekuk
3. Daerah yang terkena berwarna kemerahan dan nyeri tekan
4. Dapat dijumpai demam dan takikardi walaupun tidak selalu
Referensi: Aru W. Sudoyo, dkk. Trombosis Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007. Halaman: 1354.
Jawab:
Efek samping lain berupa resistensi insulin ditunjang dengan penemuan fakta
yaitu meningkatnya jumlah asam lemak bebas disertai dengan status resisitensi
insulin juga intoleransi glukosa. Hilangnya komponen hormon estrogenik menjadi
alasan meningkatnya resiko komplikasi vaskuler jika kontrasepsi jenis ini
digunakan oleh wanita penderita diabetes.
Jawab:
Sistem vena pada ekstremitas bawah terbagi menjadi 3 subsistem yaitu: (1) vena
superfisial, (2) vena profunda, (3) vena penghubung. Vena superfisial terletak di
jaringan subkutan anggrota gerak dan menerima aliran vena dari pembuluh-
pembuluh darah yang lebih kecil di dalam kulit, jaringan subkutan, dan kaki. Vena
superfisial terdiri dari vena saphena magna dan vena saphena parva. Vena saphena
magna mengalirkan darh dari bagian antero-medial betis dan paha. Vena saphena
parva berjalan di sepanjang sisi lateral dari mata kaki melalui betis menuju ke
lutut, mendapatkan darah ke vena poplitea.
Sistem vena profunda membawa sebagian besar darah vena dari ekstremitas
bawah dan terletak di dalam kompartemen otot. Vena profunda terdiri dari vena
tibialis anterior dan posterior, vena peroneus, vena poplitea, vena femoralis, vena
femoralis profunda, dan vena iliaka. Sistem vena profunda cenderung berjalan
paralel dengan pembuluh darah arteri ekstremitas bawah.Subsistem vena
parofunda an superfisial dihubungkan oleh saluran-saluran pembuluh darah yang
disebut vena penghubung.
Mekanisme terjadinya trombosis adalah: (1) stasis aliran darah, (2) cedera endotel,
(3) hiperkoagulabilitas darah.
Trombosis vena akan meningkatkan resistensi aliran vena dari ekstremitas bawah.
Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena akan terganggu,
menyebabkan peningkatan volume dan tekanan darah vena. Trombosis dapat
melibatkan kantong katup dan merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi
mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah di ekstremitas.
Jawab:
Jawab:
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Lab
a. Peningkatan D-Dimer
b. Penurunan anti-trombin
Pemeriksaan penunjang
1. Venografi
2. USG dopler
Jawab:
Definisi
Etiologi
Patofisiologi
Trombosis vena biasanya terdiri dari fibrin, sel darah merah, dan beberapa
komponen trombosit dan leukosit. Terdapat tiga hal yang berperan dalam proses
terjadinya trombosis (Virchow’s Triad):
1. Stasis vena
Aliran darah vena cenderung lambat, bahkan dapat stasis terutama di daerah
yang mengalami imobilisasi cukup lama. Stasis vena merupakan faktor
predisposisi terjadinya trombosis lokal, karena dapat mengganggu mekanisme
pembersihan aktivitas faktor pembekuan darah sehingga memudahkan
terbentuknya trombosis.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DVT tidak selalu jelas dan sama pada setiap orang. Keluhan
utama pasien DVT adalah tungkai bengkak dan nyeri. Trombosis dapat menjadi
berbahaya apabila meluas atau menyebar ke proksimal. DVT umumnya timbul
karena faktor risiko tertentu, tetapi dapat juga timbul tanpa etiologi yang jelas
(idiopathic DVT).
1. Nyeri
Intensitas nyeri tidak tergantung besar dan luas trombosis. Trombosis vena
di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke
bagian medial dan anterior paha. Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak
spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan intensitasnya mulai dari yang
ringan sampai hebat. Nyeri akan berkurang jika penderita berbaring,
terutama jika posisi tungkai ditinggikan.
2. Pembengkakan
Timbulnya edema dapat disebabkan oleh sumbatan vena proksimal dan
peradangan jaringan perivaskuler. Apabila ditimbulkan oleh sumbatan,
maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan
apabila disebabkan oleh peradangan perivaskuler, bengkak timbul di daerah
trombosis dan biasanya disertai nyeri. Pembengkakan bertambah jika
berjalan dan akan berkurang jika istirahat dengan posisi kaki agak
ditinggikan.
3. Perubahan warna kulit
Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada
trombosis vena dalam dibandingkan trombosis arteri, ditemukan hanya pada
17% - 20% kasus. Kulit bisa berubah pucat dan kadang- kadang berwarna
ungu. Perubahan warna menjadi pucat dan dingin pada perabaan merupakan
tanda sumbatan vena besar bersamaan dengan spasme arteri, disebut
egmasia alba dolens.
DIAGNOSIS
Diagnosis DVT ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang.
Tanda dan gejala DVT antara lain edema, nyeri, dan perubahan warna kulit
(phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea dolens/ blue leg). Skor
Wells dapat digunakan untuk stratifikasi menjadi kelompok risiko ringan, sedang,
atau tinggi. Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku
yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non-invasive
ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi
tertentu. Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis
DVT belum dapat ditegakkan, maka harus dilakukan magnetic resonance
venography (MRV).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam
pendekatan pasien dengan dugaan trombosis. Riwayat penyakit sebelumnya
merupakan hal yang penting karena dapat diketahui faktor risiko dan riwayat
trombosis sebelumnya. Adanya riwayat trombosis pada keluarga juga merupakan
hal penting.
Pada pemeriksaan fisis, tanda-tanda klinis yang klasik tidak selalu ditemukan.
Gambaran klasik TVD adalah edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri,
dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan yang positif (sakit di
calf atau di belakang lutut saat dalam posisi dorsoflexi).
Diagnosis DVT tidak cukup hanya berdasarkan gejala klinis karena tidak spesifik
ataupun sensitif. Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan
dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan
investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan kemungkinan DVT
rendah, skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang, dan skor 3 atau
lebih menandakan kemungkinan DVT tinggi.
Laboratorium
1. Venografi
Disebut juga sebagai plebografi, ascending contrast phlebography atau
contrast venography. Prinsip pemeriksaannya adalah menyuntikkan zat
kontras ke dalam sistem vena, akan terlihat gambaran sistem vena di betis,
paha, inguinal sampai ke proksimal vena iliaca. Venografi dapat
mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan darah
serta menilai kondisi vena dalam. Venografi digunakan pada kecurigaan
kasus DVT yang gagal diidentifikasi menggunakan pemeriksaan non-
invasif.
2. Flestimografi Impedans
Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif.
USG memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien
yang dicurigai menderita DVT simptomatis dan terletak di daerah
proksimal.
TATALAKSANA
Hanya dilakukan pada kasus yang diagnosisnya sudah jelas ditegakkan mengingat
obat- obatan dapat menimbulkan efek samping serius.
3. Melisis dan membuang bekuan darah serta mencegah disfungsi vena atau
terjadinya sindrom pasca-trombosis
Non-farmakologis
Meluasnya proses trombosis dan emboli paru dapat dicegah dengan antikoagulan
dan fibrinolitik. Prinsip pemberian anti-koagulan adalah safe dan efektif. Safe
artinya antikoagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat
menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli.
Unfractionated Heparin
Warfarin
Dosis standar warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh
hari untuk mendapatkan nilai INR antara 2,0-3,0. Dosis warfarin dipantau
dengan waktu protrombin atau INR. Untuk DVT tanpa komplikasi, terapi
warfarin direkomendasikan tiga sampai enam bulan. Kontraindikasi terapi
warfarin, antara lain perdarahan di otak, trauma, dan operasi yang dilakukan
baru-baru ini.
Pada pasien dengan faktor risiko molekuler diturunkan seperti defisiensi
antitrombin III, protein C atau S, activated protein C resistance, atau
dengan lupus antikoagulan/antibodi antikardiolipin, antikoagulan oral dapat
diberikan lebih lama, bahkan seumur hidup. Pemberian antikoagulan
seumur hidup juga diindikasikan pada pasien yang mengalami lebih dari dua
kali episode trombosis vena atau satu kali trombosis pada kanker aktif.
Terapi Trombolitik
Definisi
Etiologi
Patofisiologi
Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem
tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung
tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung
ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata
serta suatu keadaan patologik berupa penurunan fungsi jantung. Salah satu respon
hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling
pressure) dari jantung atau preload. Respon terhadap jantung menimbulkan
beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan untuk meningkatkan volume
darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan hipertropi otot
jantung. Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi
tubuh yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system
saraf adrenergik.
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa
keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai
pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya dapat pula
terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak tampak tanda-tanda
gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal gagal jantung akibat
CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan aktivitas saraf simpatis dan
sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin vasopressin yang
kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan tekanan
darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan
curah jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan
volume darah arteri yang efektif. Hal ini akan merangsangmekanisme kompensasi
neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan
meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan
kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera
teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung
akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak
terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan
fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung
yang berdilatasi tidak efisien secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan
energi terbatas (misal pada penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan
gangguan kontraktilitas.
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel.
Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari
trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter. Disamping itu keadaan penyakit
jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan menurunkan aliran darah ke
miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard dengan komplikasi gangguan
irama dan sistem konduksi kelistrikan jantung. Beberapa data menyebutkan
bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan presentase
kematian jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi
ventrikel menurun. WHO menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi
akibat penurunan fungsi mekanis jantung, seperti penurunan aktivitas listrik,
ataupun keadaan seperti emboli sistemik (emboli pulmo, jantung) dan keadaan
yang telah disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf
simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah
jantung, bila mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan
yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri
untuk mempertahankan curah jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah
utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang
dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan.
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung
pada tiga faktor yaitu:
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang mengisi
jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya
regangan serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada
tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar
kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di hasilkan untuk
memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di timbulkan oleh tekanan
arteriole.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur pasien, beratnya
gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung yang terlibat,
apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan penampilan
jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan:
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal
nocturnal dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual, muntah,
asites, hepatomegali, dan edema perifer.
Terapi Farmakologi
1) Diuretik (Diuretik tiazid dan loop diuretik)
Mengurangi kongestif pulmonal dan edema perifer, mengurangi gejala volume
berlebihan seperti ortopnea dan dispnea noktural peroksimal, menurunkan
volume plasma selanjutnya menurunkan preload untuk mengurangi beban kerja
jantung dan kebutuhan oksigen dan juga menurunkan afterload agar tekanan
darah menurun.
2) Antagonis aldosteron
Menurunkan mortalitas pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat.
3) Obat inotropik
Meningkatkan kontraksi otot jantung dan curah jantung.
4) Glikosidadigitalis
Meningkatkan kekuatan kontraksi otot jantung menyebabkan penurunan
volume distribusi.
5) Vasodilator (Captopril, isosorbit dinitrat)
Mengurangi preload dan afterload yang berlebihan, dilatasi pembuluh darah
vena menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan
kapasitas vena.
6) Inhibitor ACE
Mengurangi kadar angiostensin II dalam sirkulasi dan mengurangi sekresi
aldosteron sehingga menyebabkan penurunan sekresi natrium dan air. Inhibitor
ini juga menurunkan retensi vaskuler vena dan tekanan darah yg menyebabkan
peningkatan curah jantung.
Terapi Non-farmakologi
Penderita dianjurkan untuk membatasi aktivitas sesuai beratnya keluhan seperti:
diet rendah garam, mengurangi berat badan, mengurangi lemak, mengurangi
stress psikis, menghindari rokok, olahraga teratur.
Referensi: repository.usu.ac.id
C. Varises
Definisi
Epidemiologi:
Prevalensi varises diperkirakan antara 5-30% populasi dewasa, lebih sering terjadi
pada perempuan dibandingkan pria (3:1), meskipun studi saat ini menunjukkan
prevalensi lebih besar pada pria.2 The San Valentino Screening Project
menemukan bahwa di antara 30.000 subjek yang dinilai secara klinis dan
ultrasonografi duplex, prevalensi varises sebesar 7% dan CVI simptomatik 0,86%.
Dari Framingham Heart Study diperkirakan bahwa insiden tahunan varises pada
perempuan 2,6% dan pada pria 1,9%.
Faktor resiko:
Faktor keturunan
Wanita>pria
Kehamilan
kurang gerak
terlalu banyak berdiri
Kegemukan.
Gejala klinik:
Mula-mula kaki dan tungkai terasa berat, diikuti otot yang mudah pegal,
kaku, panas dan sakit di seputar kaki maupun tungkai. Biasanya rasa sakit
dirasakan menjelang malam, akibat tidak lancarnya aliran darah.
Mudah kram, meski kaki dalam kondisi santai.
Muncul pelebaran pembuluh darah yang mirip jaring laba-laba (spider
navy).
Perubahan warna kulit (pigmentasi) di seputar mata kaki, akibat tidak
lancarnya aliran darah. Kadang diikuti dengan luka di sekitar mata kaki
yang sulit sembuh.
Edema karena adanya pembendungan darah.
Perubahan pada pembuluh vena luar, misalnya di betis bagian belakang
tampak urat kebiru-biruan dan berkelok-kelok. Keadaan ini merupakan
gejala varises kronis (varicous vein).
Patomekanisme:
Penatalaksanaan:
Penyakit varises adalah penyakit yang tergolong ringan dan tidak menimbulkan
masalah kesehatan yang serius. Sehingga tidak mempengaruhi sirkulasi ataupun
menyebabkan masalah kesehatan jangka panjang. Jika pengobatan diperlukan
maka dokter terlebih dahulu akan melakukan pengobatan sederhana berupa
penggunaan stoking kompresi selama enam bulan dan menyarankan untuk
mengubah pola hidup sang pasien seperti berolahraga yang teratur dan
mengangkat atau meninggikan tungkai saat beristirahat. Namun jika varises sudah
terlalu parah atau menyebabkan komplikasi maka dapat diobati dengan ablasi
endothemal (menutup pembuluh darah dengan panas), sclerotherapy (busa khusus
untuk menutup pembuluh darah) dan operasi pengangkatan vena yang rusak.
Jawab:
4. Obat Phlebotropik
Digunakan untuk memperlancar aliran darah linfe
Diosmin
5. Obat Hemorheological
Memperlancar aliran darah
Pentoxifilin
Cilostazol
6. Dieuretik
Jawab:
a. Komplikasi
1. Pulmonary Embolism
Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis atau
percabangannya akibat bekuan darah yang berasal dari tempat lain.
Tanda dan gejalanya tidak khas, seringkali pasien mengeluh sesak
napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk sampai hemoptoe,
palpitasi, penurunan saturasi oksigen. Kasus berat dapat mengalami
penurunan kesadaran, hipotensi bahkan kematian. Standar baku
penegakan diagnosis adalah dengan angiografi, namun invasif dan
membutuhkan tenaga ahli. Dengan demikian, dikembangkan metode
diagnosa klinis, pemeriksaan D-Dimer dan CT-angiografi.
2. Post-Thrombotic Syndrome
Terjadi akibat inkompetensi katup vena yang terjadi pada saat
rekanalisasi lumen vena yang mengalami trombosis, atau karena sisa
trombus dalam lumen vena. Sindrom ini ditandai oleh bengkak dan
nyeri berulang dan progresif, dapat terjadi dalam 1 sampai 2 tahun
setelah kejadian trombosis vena dalam pada 50% pasien. Pada
beberapa pasien dapat terjadi ulserasi, biasanya di daerah perimaleolar
tungkai. Ulserasi dapat diberi pelembap dan perawatan luka. Setelah
ulkus sembuh pasien harus menggunakan compressible stocking untuk
mencegah berulangnya post thrombotic syndrome. Penggunaan
compressible stocking dapat dilanjutkan selama pasien mendapatkan
manfaat tetapi harus diperiksa berkala.
b. Prognosis
Sebagian besar kasus DVT dapat hilang tanpa adanya masalah apapun jika
ditangani secara tepat dan tepat. Namun penyakit ini dapat kambuh.
Beberapa orang dapat mengalami nyeri dan bengkak berkepanjangan pada
salah satu kakinya. Pada pasien dengan riwayat terjadi emboli paru, maka
pengawasan harus dilakukan lebih ketat dan teratur.