Makalah ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menjalani pendidikan klinik Stase
Anestesiologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmwati
DISUSUN OLEH:
Linda Pratiwi Sulaeman 1112103000035
M. Zikri 1112103000050
M. Ramadhian Prawiro 1112103000053
Khairunnisa Dewi Adawiyah 1112103000092
M. Reza Syahli 1112103000100
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmat islam, iman, dan ikhsan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam kita curahkan kepada baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita ke zaman yang terang benderang ini.
Pertama-tama saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dokter-dokter konsulen anestesi RSUP Fatmawati yang telah mengajarkan kami,
terutama kepada dr. Vera I., SpAn(K)IC sebagai pembimbing sehingga Kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran yang bangun sangat Kami
harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini yang diharapkan
dapat bermanfaat di masa yang akan datang.
Demikian yang dapat saya sampaikan, semoga makalah presentasi kasus
dengan judulPenanganan Syok Hemorragik pada Pasien dengan Atonia
Uteri pasca-Seksio Sesaria ini dapat bermanfaat.
Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia turunkan untuk
penyakit itu obatnya. (HR. Al-Bukhari No. 5678)
Jakarta,Januari 2016
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Terapi transfusi darah dan resusitasi cairan adalah pilihan utama dalam
tatalaksana syok hemoragik. Tatalaksana transfusi darah dan resusitasi cairan
harus dilakukan dengan tepat dan cepat agar menghindari tubuh pasien jatuh
kedalam kondisi yang lebih buruk. Perhitungan cairan masuk dan keluar juga
merupakan hal yang penting dari tatalaksana tersebut.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1.3.Hemoglobin
Terdapat suatu komponen spesial yang hanya pada eritrosit, yaitu
hemoglobin. Hemoglobin memiliki dua bagian. Bagian globin merupakan protein
yang terbentuk dari lipatan rantak polipeptida. Dan, bagian heme yang non-
protein mengandung besi. Setiap hemoglobin dapat mengangkut empat oksigen di
paru. Dan, molekul itu mengangkut 98,5 % total oksigen. Besi ini dapat
memberikan warna merah jika teroksigenasi dan biru jika tidak terdapat oksigen.
Hal ini yang memberikan darah warna. Selain oksigen, hemoglobin mampu
mengangkut karbondioksida, hidrogen, karbon monoksida, dan nitrit oksida.1
Gambar 1. Molekul goblin yang memiliki empat rantai polipeptida dan empat heme 1
Dua ratus lima puluh juta hemoglobin berada didalam satu eritrosit. Hal ini
disebabkan karena sel darah merah tidak memiliki nukleus atau organel.
Sehingga, satu eritrosit dapat mengangkut lebih dari 1 juga molekul oksigen. 1
2.1.2.2. Indikasi
2.1.2.3.1. Distosia
Distosia merupakan indikasi tersering untuk melakukan tindakan
seksio sesaria. Dan, distosia menurut Friedman (1978) adalah kepala bayi yang
tidak dapat masuk pelvis ibu sehingga proses partus gagal.4 Dan, salah satu faktor
penyebabnya adalah mioma uteri yang dilaporkkan oleh Kempe (1993). Dimana
pelvis diblokade secara total oleh mioma uteri yang terdapat pada dinding
posterior uterus.5
2.1.2.3.2. Fetal Distress
Kondisi fetal distress dapat mengancam keselamatan dari fetus. Dan
ini menjadi salah satu indikasi tersering dilakukannya seksio sesaria (25%). 6
Kemudian, Noor (2009) menemukan 38,09 % sebagai indikasi melakukan seksio
sesaria pada ibu hamil yang memiliki mioma uteri.6
2.1.2.3.3. Presentasi Abnormal
Presentasi abnormal merupakan saah satu indikasi untuk melakukan
tindakan seksio sersaria. Dan ini bisa disebabkan oleh mioma uteri pada segmen
bawah.21 Noor (2009) dalam studinya yang dilakukan pada Abbotabad
menemukan sebanyak 19,04 persen angka kejadian presentasi abnormal pada
3.468 kelahiran yang menjadi indikasi melakukan tindakan seksio sesaria.6
2.1.2.4. Teknik
Pertama dilakukan insisi abdominal yang berupa transversal atau
vertikal. Jika insisi transversal dilakukan pada garis pubis dan vertikal pada bawa
umbilikus. Insisi ini dilakukan sampai lapisan peritoneum. Setelah itu serosa
vesikouterina di insisi kearah lateral. Kemudian, dilakukan insisi pada uterus
secara transversal dengan hati-hati agar menghindari cedera pada fetus. Setelah
itu, tangan masuk ke rongga uterus diantara simfisis pubis dan kepala fetus.
Kepala tersebut diangkat secara pelan-pelan melalui insisi. Sesudah fetus
diamankan, luka insisi tadi ditutup dengan melakukan penjahitan.4
2.1.2.5Komplikasi
2.1.2.5.1.Perdarahan Post-Partum
Terdapat peningkatan tiga kali lipat risiko morbitas ibu pada tindakan
seksio sesarea dibanding persalinan pervaginam berupa perdarahan yang
kemudian menjadi pengambilan keputusan untuk histerektomi atau transfusi,
ruptur uterin, komplikasi anastetik, hematoma, henti jantung, gagal ginjal akut,
bantuan ventilasi, tromboemboli vena, infeksi, atau syok hipovolemik.7 Hal ini
bisa disebabkan dari banyaknya variasi faktor risiko. Faktor risiko berupa seksio
sesaria yang dilakukan secara darurat, dimana dilakukan ketika sudah terdapat
dilatasi dari serviks sebesar 9-10 cm. Selain itu, dibandingkan dengan wanita yang
melahirkan pada umur 25-49, wanita berumur lebih dari 40 tahun memiliki odds
ratio yang lebih tinggi (1,41). Dan juga jika dilakukannya seksio sesaria yang
berulang dapat terjadi perlengketan dan meningkat seiring dengan banyaknya
frekuensi tindakan tersebut. Kemudian kondisi yang dapat menurunkan
kontraktilitas uterus. Selain yang diatas terdapat mioma uteri, kelainan pembekuan
darah, plasenta previa, dan lahir prematur yang juga menjadi faktor risiko dari
perdarah post-partum pada tindakan seksio sesaria.8
Gangguan fatal homeostasis tubuh dapat dihasilkan dari perdarahan yang
banyak. Pertama, kondisi henti jantung, syok, dan kematian dapat dihasilkan dari
menurunnya volume darah yang banyak karena perdarahan besar akut.
Kehilangan sel darah merah yang banyak merupakan penyebabnya selain
penurunan volume darah. Kedua, jika berlanjut, perfusi organ akan berkurang
karena distribusi oksigen terganggu. Sebagai respon dari kondisi ini teraktivasilah
sistem fisiologi tubuh untuk menjaga kehidupan.9
Adaptasi curah jantung dan tonus vaskular merupakan manifestasi klinis
perdarahan akut yang bertujuan untuk mencegah terjadinya henti sirkulasi dan
menjaga perfusi oksigen ke jaringan. Ketika, seseorang kehilangan darah lebih
dari 20 persen total volume akan mengalami peningkatan kerja jantung.
Takikardia dan hipotensi yang tampak pada kondisi ini. Jika, kehilangan darah
sudah sampai 30-40 %, penurunan curah jantung dan mulai ada tanda-tanda shok.
Saat ini pasien menjadi tidak bergerak, takikardia, takipnea, dan kulit dingin.
Kondisi ini dapat berkurang jika ditangani namun bila tidak akan berujung kepada
kerusakan organ dan kematian. Risiko kematian sangat tinggi jika perdarahan
lebih dari sama dengan 50 persen.10
Kondisi perdarahan ini merupakan nomer satu pembunuh ibu dalam
praktik kebidanan. Dan, tindakan seksio sesaria merupakan penyebab dari
perdarahan yang banyak. Perdarahan yang terjadi berkisar kurang dari 500 sampai
atau lebih dari 1000 ml.9
Untuk mengatasi ini, ketika bahu sudah dilahirkan, diberikan 20 unit
per liter oksitosin dalam cairan kristaloid dengan cara iv sebanyak 10ml/menit.
Diberikan sampai uterus kontraksi secara adekuat. Jika sudah tercapai, dapat
diturunkan dosisnya menjadi 5 sampai 10 unit. Dengan kontraksi uterus dapat
menjepit pembuluh darah uterus. Selain itu, diberikan cairan ringer atau kristaloid
dengan 5 persen dekstros melalui intravena. Biasanya sebanyak 2 L sampai 3 L
diberikan disaat tindakan operatif.4
2.1.6 SYOK HEMORAGIK
2.1.6.1 DEFINISI SYOK
Syok adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya gangguan
sistem sirkulasi yang mengakibatkan tidak adekuatnya perfusi dan oksigenasi
untuk mempertahankan metabolisme aerobik sel secara normal.11 Terdapat 3
sindrom syok, yaitu hemoragik, kardiogenik, dan inflamasi. Pada syok hemoragik
kegagalan dari sirkulasi perifer dikarenakan penurunan volume darah dan venous
return, yang kemudian penurunan cardiac output/ mean arterial pressure. Pada
syok kardiogenik yang terjadi adalah kegagalan pompa jantung sehingga cardiac
output menurun. Dalam syok inflamasi, sirkulasi kecil yang terkena sehingga
terdapat peningkatan resistensi perifer yang idkarenakan oleh respon inflamasi
sistemik.12
2.1.6.4 ETIOLOGI
Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah
efektif. Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya
akan menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan defisit
volume darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok hipovolemik
disebabkan oleh perdarahan (internal atau eksternal) atau karena
kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio.
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan
intravaskuler, misalnya terjadi pada :
1. Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan pada organ
dalam seperti hemothoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik
terganggu.
2. Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung
kehilangan darah yang besar. Misalnya fraktur humerus menghasilkan
500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml
perdarahan.
3. Kehilangan cairan intravaskular lain yang dapat terjadi karena
kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :
Gastrointestinal : peritonitis,pankreatitis, dan gastroenteritis.
Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
Luka bakar ( kombusio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat
berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya
pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan
menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan
menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya
asam laktat, asam piruvat,asam lemak, dan keton. Yang penting dalam
klinik adalah fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis
adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang
harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan.13
3. Hipotensi
Hipotensi terjadi akibat volume darah yang berkurang, yang kemudian
menyebabkan venous return menurun dan lama-kelamaan tekanan darah
juga akan menurun sebagai hasil dari volume sirkulasi yang menurun.
4. Perubahan Status Mental
Hal ini terjadi akibat penurunan perfusi oksigen ke otak. Pasien akan
menunjukkan gejala seperti agitasi. Penurunan kesadaran dapat terjadi
apabila terjadi kehilangan darah yang lebih dari 2 liter.
5. Penurunan Jumlah Urin
Akibat pengalihan vaskularisasi ke otak, jantung, dan hati, maka akan
terjadi penurunan aliran darah ke ginjal yang bermanifestasi klinis pada
penurunan jumlah urin.
6. Akral Dingin
Hal ini juga disebabkan oleh hal yang sama, yaitu peningkatan aliran darah ke
organ vital, dan penurunan aliran darah ke tempat lain yang berarti penurunan
perfusi ke kulit sehingga kulit teraba dingin, dan lembab, terutama daerah
akral.1
2.1.6.6 PATOFISIOLOGI
Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan
mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi,
kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.
1. Sistem hematologi
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat
dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi
pembuluh darah (melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu,
platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan
membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh
darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan
penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu
sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan
menjadi bentuk yang sempurna.
2. Sistem Kardiovaskuler
Kondisi hipotensi dan hipovolemik akan dikompensasi oleh
jantung dengan meningkatkan denyut jantung, peningkatan kontraktilitas
miokardium, dan konstriksi pembuluh darah perifer yang berhasil dari
stimulasi sistem saraf simpatis pada jantung dan pembuluh darah oleh
jantung dan pusat vasomotor pada reticular activating substance pons dan
medulla oblongata. Cardiac Reserve adalah jumlah maksimum darah yang
dapat dipompa diatas nilai normal ketika olahraga atau kompensasi defisit
dalam batas fisiologis. Kemudian, myocardial functional reserve adalah
bagian sehat dari miokard jantung yang dapat kompensasi terhadap variasi
venous return dengan meningkatkan kontraktilitas sesuai dengan Hukum
Frank-Starling, sehingga menyebabkan meningkatnya kemungkinan syok
kardiogenik. Hal ini dikarenakan penurunan elastisitas jantung yang
menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastol pada ventrikel sehingga
meningkatkan tekanan dinding dan peningkatan konsumsi oksigen (VO2),
yang kemudian pada akhirnya menurunkan cardiac output. Pada akhirnya
akan berefek keseluruh miokardium sehingga terjadi disfungsi ventrikel.
Penurunan pompa jantung merupakan akhir dari kompensasi jantung jika
tidak tertangani secara cepat.12
3. Oxygen Delivery
Distribusi oksigen ke sel (DO2) berhubungan oleh sistem respirasi
serta bergantung pada jumlah hemoglobin (Hb). Aliran darah keseluruh
tubuh berhubungan dengan cardiac output. Kedua hal itu berfungsi
menjaga distribusi oksigen pada sel atau jaringan. Total Distribusi oksigen
(DO2[mlO2/min per m2]) adalah hasil dari cardiac index (l/min per m2) dan
arterial oxygen content (CaO2). Kemudian, pada kondisi aerobik.
Konsumsi oksigen sistemik (VO2) adalah sama dengan metabolic rate dan
bervariasi sehubungan dengan kebutuhan energi tubuh. Kemudian, VO2
dapat dihitung dengan Ficks principle sebagai perbandingan antara rates
of oxygen delivered dan oxygen leaving the tissues: VO2 = cardiac index x
(CaO2 CmvO2), dimana CmvO2 adalah oksigen yang ada didalam darah
vena.
Kondisi kehilangan darah dapat menurunkan cardiac output dan
DO2 dengan perubahan VO2, karena aliran darah dialihkan kepada jaringan
yang lebih membutuhkan metabolisme lebih tinggi. Oleh karena itu,
mitokondria tidak dapat melakukan metabolisme secara aerobik dan VO2
menurun.19 Gangguan dalam proses diatas dapat menyebabkan hypoxia,
yaitu rendahnya jumlah oksigen pada jaringan. Klasifikasi kekurangan
oksigen dibagi menjadi makrosirkulasi, maldistribusi, dan rendahnya
kadar oksigen untuk dikonsumsi. Hypoxemia atau kegagalan respirasi,
merupakan yang tersering dari kasus hypoxia yang terjadi karena
gangguan pertukaran gas. Bila syok merupakan penyebab hypoxemia atau
disoxia yang terjadi pada organ dan jaringan. Hypoxemia terjadi ketika
delivery (DO2) dan consumption (VO2) oksigen turun. Pada kondisi
perdarahan akut, gambaran klinis hipoxia akan terlihat secara signifikan
jika Hb pasien +3 g/dl.
4. Sistem Renal
Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan
peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan
mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan
dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dan hati. Angotensin II
mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan
pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan
menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan
menyebabkan retensi air.
5. Sistem Neuroendokrin
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan
meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH
dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap
penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap
penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara
tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam
(NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.13,14
- Darah Lengkap
- Analisa Gas Darah
- Kadar Elektrolit (Na, K, Cl)
- Tes faal ginjal (ureum, kreatinin, BUN)
- Golongan darah (bila perlu transfusi darah)
- Tes kehamilan
- EKG (untuk monitoring jantung)15
2.1.6.8 PENATALAKSANAAN
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan
untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan
mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada
penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat
diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai
dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (airway) harus bebas kalau
perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (breathing) harus
terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian
oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (circulation) pada syok
hipovolemik harus diatasi dengan pemberian cairan intravena. Segera
menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat,
yang juga bisa merupakan penyebab syok16.
PEMERIKSAAN FISIK
Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk
memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-
tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran.
a) Airway & Breathing17
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan
cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan
oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.
Airway (Jalan Nafas) :
Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu
look, listen, dan feel. Look atau melihat yaitu melihat ada
tidaknya obstruksi jalan napas, berupa agitasi: (hipoksemia),
penurunan kesadaran (hipercarbia), pergerakan dada dan
perut pada saat bernapas (see saw-rocking respiration),
kebiruan pada area kulit perifer pada kuku dan bibir
(sianosis), adanya sumbatan di hidung, posisi leher, keadaan
mulut untuk melihat ada tidaknya darah. Tahapan kedua
yaitu listen atau mendengar, yang didengar yaitu bunyi
napas. Ada dua jenis suara napas yaitu suara napas tambahan
obstuksi parsial, antara lain: snoring, gurgling,
crowing/stridor, dan suara parau (laring) dan yang kedua
yaitu suara napas hilang berupa obstruksi total dan henti
napas. Terakhir yaitu feel, pada tahap ini merasakan aliran
udara yang keluar dari lubang hidung pasien.
b) Breathing (Pernafasan)17 :
- Look (Melihat)
Melihat apakah pasien bernapas, pengembangan dada apakah napasnya
kuat atau tidak, keteraturannya, dan frekuensinya.
- Listen (Mendengar)
Suara nafas vesikuler atau tidak, terdapat suara nafas tambahan atau tidak
- Feel
Merasakan pengembangan dada saat bernapas, lakukan perkusi, dan
pengkajian suara paru dan jantung dengan menggunakan stetoskop.
c) Circulation
Pertama dilakukan pengamatan yang berhubungan dengan perfusi
jaringan. denyut jantung saat diraba, berdenyut selama berapa kali per
menitnya, ada tidaknya sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat dingin
pada tubuh pasien, menghitung capillary refill time, ada tidaknya akral dingin.
Kemudian dirasakan isi setiap denyut pada arteri yang diraba (nadi radialis,
brakhialis, dan carotis). Setelah itu memastikan akses intravena yang cukup.
Dan jumlah perdarahan pada luka.
AKSES VASKULER
Akses vaskuler harus dilakukan dengan benar. Hal ini dapat
dilakukan pemasangan 2 kateter intravena berukuran besar ( minimum nomor 16 )
pada vena perifer sebelum menggunakan jalur vena sentral. Kateter intravena
yang tepat untuk dipilih adalah ukuran besar karena kecepatan aliran berbanding
lurus dengan 4 kali radius kanul dan digunakan yang pendek karena berbanding
terbalik dengan panjangnya.
Tempat yang terbaik adalah vena di lengan bawah atau kubiti. Bila
tidak memungkinkan dapat digunakan vena darah sentral yang terdiri dari vena-
vena femoralis, jugularis, atau vena subclavia. Pada anak-anak dibawah usia 6
tahun, jarum intraosseus lebih dipilih sebelum menggunakan jalur vena sentral.
Setelah kateter intravena sudah terpasang, contoh darah diambil
untuk pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan laboratorium
yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan. Analisis gas darah arteri
juga dapat dilakukan pada saat ini. Foto toraks harus diambil setelah pemasangan
CVP pada vena subklavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisi
kateter dan mengevaluasi kemungkinan terjadinya pneumotoraks atau
hemotoraks.
TERAPI CAIRAN AWAL
Larutan kristalloid yang elektrolit isotonik hangat, misalnya Ringer
laktat atau normal saline, biasa digunakan untuk resusitasi awal. Cairan ini dapat
mengisi volume intravaskuler dalam waktu singkat serta mengisi cairan yang
hilang dalam ruang interstisial dan intraseluler. Kemudian, pada tahap awal
resusitasi diberikan bolus cairan secepatnya. Jumlahnya 1 hingga 2 liter untuk
dewasa dan 20 ml/kg untuk anak-anak. Pemberian cairan kristaloid adalah 1 ml
darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid, sehingga adekuat untuk
meresusitasi volume plasma, interstisial, dan intraselular. Ini merupakan hukum 3-
untuk-1. Kemudian, respon resusitasi dari pasien harus dinilai dengan adanya
bukti perfusi dan oksigenasi oksigen yang adekuat ( yaiut melihat keluaran urin,
tingkat kesadaran, dan perfusi perifer). Jika tekanan darah meningkat dengan
cepat sebelum perdarahan benar-benar terkontrol, ini dapt memperparah
perdarahan. Jika digunakannya cairan koloid untuk resusitasi, jumlah perdarahan
yang terjadi berbanding lurus dengan jumlah cairan koloid yang akan diberikan.
Tujuan yang terpenting dalam resusitasi adalah mengembalikan perfusi organ
serta kembalinya keseimbangan.
EVALUASI TERHADAP RESUSITASI CAIRAN DAN PERFUSI ORGAN
Evaluasi dengan menilai tanda-tanda dan gejala-gejala dari perfusi
organ untuk menentukan respon pasien. Pulihnya tekanan darah, tekanan nadi,
dan denyut nadi merupakan tanda-tanda yang menggambarkan perfusi kembali
normal. Namun, pengamatan tersebut bukan informasi yang adekuat. Perbaikan
dari kondisi CVP dan sirkulasi kulit merupakan bukti penting dari perfusi yang
membaik. Selain itu, jumlah produksi urin sebanyak 0,5 ml//kg/jam pada orang
dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak, dan 2 ml/kg/ jam pada bayi
menggambarkan baik perfusi organ ginjal. Kemudian dalam syok hipovolemik
dini akan mengalami alkalosis respiratorik karena takipnea. Kemudia akan diikuti
dengan asidosis metabolik ringan pada fase awal syok dan tidak membutuhkan
terapi. Hal ini dikarenakan metabolisme secara anaerobik akibat penurunan
perfusi jaringan dan menghasilkan asam laktat.
Setelah pemberian cairan awal, selanjutnya dokter dapat
memodifikasi rencana tersebut berdasarkan respon yang diberikan oleh pasien.
Dimana resusitasi dapat dilanjutkan dalam ruang operasi. Kemudian, penting
untuk membedakan pasien yang hemodinamis stabil dengan mereka yang
hemodinamis normal. Pasien dengan hemodinamis stabil bisa saja masih ada
takikardia, takipnea, dan oliguria yang mana pada kondisi ini resusitasi cairannya
masih kurang dan masih dalam kondisi syok. Sebaliknya, pasien dengan
hemodinamis normal adalah yang tidak menunjukan adanya tanda-tanda perfusi
jaringan tidak adekuat. Pola respon-respon pasien dibagi menjadi tiga kelompok,
yaitu respon cepat, respon sementara, dan respon minimum atau tanpa respon.
Pada respon cepat, pasien menunjukan respon yang cepat terhadap
bolus cairan awal dan hemodinamis tetap normal setelah bolus cairan awal selesai
dan diteruskan dengan pemberian cairan maintenance. Pasien-pasien seperti ini
biasanya kehilangan volume darahnya minimal atau kurang dari 20%. Tidak ada
indikasi pemberian bolus cairan atau darah. Kemudian intervensi operatif masih
mungkin diperlukan.
Pada respon sementara, pasien ini memberikan respon pada cairan
awal namun ketika diberikan cairan maintenance, hemodinamik pasien turun
kembali. Kondisi ini menggambarkan masih adanya kehilangan darah yang
berlangsung atau resusitasi yang tidak cukup. Pasien ini biasanya kehilangan
darah sebanyak 20-40%. Pemberian bolus cairan dan transfusi darah masih
diperlukan pada pasien kondisi ini.
Pada respon minimal, yaitu pasien tidak adanya respon terhadap
pemberian cairan dan darah menandakan perlunya tindakaninterbensi secepatnya
berupa operasi atau angioembolization untuk menghentikan perdarahan. Pada
kasus-kasus yang jarang tidak ada respon ini dapat terjadi karena gagalnya pompa
jantung akibat trauma tumpul jantung, cardiac tamponade, atau tension
pneumothorax.18
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
No. RM : 01404648
Nama : Ny. S.C.
Usia : 40 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : Tamatan SLTP
Alamat : Jl. Teratai Putih Rengas Ciputat Timur Tangsel
II. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati pada tanggal 10 Januari 2016
dalam kondisi tidak sadar dan merupakan rujukan dari RSCK. Riwayat
pasien didapatkan dari perawat RSCK serta alloanamnesis kepada suami.
Keluhan utama
Riwayat Ginekologi
Riwayat Kehamilan
G3P3A0
Riwayat Obstetri
Pasien sudah pernah melakukan seksio sesaria secara elektif sebanyak 2
kali. Seksio sesaria tersebut dilakukan pada Tahun 1999 dan 2006. Penyulit yang
tertera adalah riwayat seksio yang berulang.
D: GCS = E2 M4 Vopa
Mata = Konjungtiva pucat (klinis Hb +3) sklera tidak
ikterik
Jantung = S1 S2 reguler, murmur gallop negatif
Paru = Vesikuler, Rhonki di kedua lapang paru tidak
ditemukan, wheezing negatif
Abdomen = Membuat supel, bising usus positif
Ekstremitas : Akral hangat (-), CRT >3 detik, pitting edema (-)
FUNGSI GINJAL
13 mg/dL 20-40 mg/dL
Ureum Darah 0.4 mg/dL 0.6-1.5 mg/dL
Kreatinin Darah
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu
Glukosa Darah Sewaktu 179 mg/dL 70-140 mg/dL
HEMOSTASIS HEMAT
APTT 72.6 detik 26.3 40.3
Kontrol APTT 30.7 detik -
PT 30.1 detik 11.5 14.5
Kontrol PT 13.6 detik -
INR 2.66 -
Fibrinogen 60 mg/dl 200 400
D-Dimer 100 ng/ml < 300
OLOGI
ANALISA GASDARAH
pH 7.450 7.370 - 7.440
PCO2 23.1 mmHg 35.0 - 45.0 mmHg
PO2 142.5 mmHg 83.0 108.0 mmHg
HCO3 15.7 mmol/L 21.0 28.0 mmHg
O2 saturasi 99% 95 99 %
BE (Base Excess) -6.0 mmol/L -2.5 2.5 mmol/L
Total CO2 16.4 mmol/L 19.0 24.0 mmol/L
ELEKTROLIT DARAH VER/HER/K2DW VER/HER/KHER/R
Natrium (Darah) 132 mmol/l 135 - 147mmol/l
Kalium (Darah) 3.54 mmol/l 3.10 5.10 mmol/l
Klorida (Darah) 114 mmol/l 95 - 108mmol/l
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI 19 U/l 0-34 U/l
SGOT 14 U/l 0-40 U/l
SGPT 3.10 g/dL 6.00 8.00
Protein Total 1.50 g/dL 3.40 4.80
Albumin 1.60 g/dl 2.50 3.00
Globulin 0.40 mg/dl 0.10 1.00
Bilirubin Total 0.20 mg/dl <0.2
Bilirubin Direk 0.20 mg/dl <0.6
Bilirubin Indirek 40 IU/L 330 - 140
Alkali Fosfatase
13 mg/dl 20-40 mg/dL
FUNGSI GINJAL
0.4 mg/dl 0.6-1.5 mg/dL
Ureum Darah
Kreatinin Darah
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu
Glukosa Darah Sewaktu 191 mg/dL 70-140 mg/dL
JANTUNG H
Asam Laktat 55.2 mmol/L 0.5 2.2
HEMOSTASIS EMAT
APTT 40.2 detik 26.3 40.3
Kontrol APTT 30.7 detik -
PT 16.2 detik 11.5 14.5
Kontrol PT 13.6 detik -
INR 2.66 -
Fibrinogen 151 mg/dl 200 400
D-Dimer 100 ng/ml < 300
OLOGI
ANALISA GASDARAH
pH 7.406 7.370 - 7.440
PCO2 29.0 mmHg 35.0 - 45.0 mmHg
PO2 218.0 mmHg 83.0 108.0 mmHg
HCO3 17.8 mmol/L 21.0 28.0 mmHg
O2 saturasi 99.6% 95 99 %
BE (Base Excess) -5.4 mmol/L -2.5 2.5 mmol/L
Total CO2 18.7 mmol/L 19.0 24.0 mmol/L
ELEKTROLIT DARAH VER/HER/K2DW VER/HER/KHER/R
Natrium (Darah) 137 mmol/l 135 - 147mmol/l
Kalium (Darah) 3.12 mmol/l 3.10 5.10 mmol/l
Klorida (Darah) 106 mmol/l 95 - 108mmol/l
Calcium Ion 0.97 mmol/l 1 1.15 mmol/l
ANALISA GASDARAH
pH 7.277 7.370 - 7.440
PCO2 34.7 mmHg 35.0 - 45.0 mmHg
PO2 129.7 mmHg 83.0 108.0 mmHg
HCO3 15.8 mmol/L 21.0 28.0 mmHg
O2 saturasi 98.3 % 95 99 %
BE (Base Excess) -9.9 mmol/L -2.5 2.5 mmol/L
Total CO2 16.9 mmol/L 19.0 24.0 mmol/L
ELEKTROLIT DARAH VER/HER/K2DW NG/l/HER/KHER/R
Natrium (Darah) 135 mmol/l 135 - 147mmol/l
Kalium (Darah) 2.98 mmol/l 3.10 5.10 mmol/l
Klorida (Darah) 106 mmol/l 95 - 108mmol/l
Kalsium ion 1.05 mmol/l 1-1.15 mmol/l
SERO IMUNOLOGI
PCT-Q Semi Kuantitatif >=0.5 - < 2.0 ng/L Resiko sedang
menjadi sepsis berat
Saran = monitor 6-24
jam kemudian
Laboratorium (12/01/2016 pukul 10:38:02 PM)
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
ANALISA GAS DARAH
pH 7.459 7.370 - 7.440
PCO2 31 mmHg 35.0 - 45.0 mmHg
PO2 200.4 mmHg 83.0 108.0 mmHg
HCO3 21.5 mmol/L 21.0 28.0 mmHg
O2 saturasi 99.4 % 95 99 %
BE (Base Excess) -1.2 mmol/L -2.5 2.5 mmol/L
Total CO2 22.5 mmol/L 19.0 24.0 mmol/L
3.4 TIMELINE
10/01/2016
21:45
S=
Perdarahan pervaginam --> Post HT sejak 6 jam (dirujuk karena tidak ada
ICU di RS CK)
Rujukan dari RS luar, post SC 0055-1030 riwayat BSC 2x (elektif); Hb pre
OP 12,4, operasi tidak ada masalah. Perdarahan intraoperasi 1000 cc. dan post
HT 2 jam SMRS. Sejak 6 jam SMRS pasien mengeluh kedinginan, TD 90/60
N=68 RR=20. Kontraksi uterus lembek, perdarahan 500 cc. RL+Gelofusin, 2 jam
kemudian masih perdarahan. Hb=5,2 diputuskan (1930 2030) diputuskan untuk di
rujuk.
O=
E2 M4 Vopa. Tampak sakit berat.
A: dalam OPA, lendir saliva positif -> suction
B: Spontan 28x/ menit, Saturasi Oksigen =71%
Dipasang Non-rebreathing mask (NRM) O2 10l/m
Saturasi : 96%
C: TD=90/60 mmHg N=145x/m
Terpasang IV line (2)
Kiri = tramadol 1 amp/500 cc RL. Sisa 200 cc
Kanan = RL kolf 500 cc. sisa 300 cc
Diambil Lab sampel --> DPL, UL, GDS, OT,PT,Ur/Cr, Albumin,
AGD, PT/aPTT
Crossmatch darah amprah--> PRC 1000 cc, FFP 1000 cc
FC berisi urin 500 cc kning --> dibuang
Perdarahan di OK luar 1000 cc
Drain 900 cc
3.5 Resume
3.7 Tatalaksana
Non medikamentosa :
- Cairan resusitasi : Loading Kristaloid NaCl 0,9% 2000 cc, kolloid Hess
1000 cc
- Transfusi : PRC hingga Hb 10g/dl, FFP 1000 cc
Medikamentosa :
- Asam tranexamat 3x1 gram IV
- Ranitidine 2x1 amp IV
- Ondansentron 3x1 amp IV
- Paracetamol 4x1 gram IV
- Antibiotik double drugs : Metronidazol 3x500 mg IV, Ceftriaxone 1 x
2gram IV
3.8 Prognosis
ad vitam : dubia ad bonam
ad functionam : dubia ad malam
ad sanactionam : dubia ad malam
BAB IV
ANALISIS KASUS
Setelah itu, akses intravena ditentukan, pemilihan ini terutama pada vena
perifer sebelum vena sentral. Pada pasien, sudah terpasang IV line pada tangan
kanan dan kiri sehingga memudahkan untuk memulai resusitasi cairan awal.
Resusitasi cairan berdasarkan jumlah perdarahan yang terhitung yaitu 1900 mL,
tatalaksana awal yang diberikan merupakan terapi cairan. Cairan yang dipilih
adalah kristalloid karena selain mengisi ruang intravaskular dapat mengisi ruang
intertisial. Dengan hukum 3 untuk 1 dihasilkan 5700 ml kristalloid yang dapat
diberikan, agar dapat mengisi ruangan intravaskuler sebanyak 1900 ml. Namun
jika, dipilih menggunakan koloid, jumlah cairan yang diberikan sesuai dengan
jumlah perdarahan.18 Pada kasus ini, pemberian cairan dikombinasikan antara
kristaloid dengan koloid. Kristaloid yang diberikan adalah NaCl 0,9% sebanyak
2000 mL, maka yang mengisi ruang intravaskuler sebanyak sekitar 700 mL. Dan
Koloid yang diberikan adalah hexastarch (HES) sebanyak 1000 cc. Jadi, total
yang dapat bertahan dalam intravaskular sebanyak 1700 cc. Pemberian cairan ini
secara bolus, atau pada kondisi langsung kolf diberikan tekanan agar kecepatan
cairan masuk meningkat. Kemudian setelah resusitasi cairan awal yang dilakukan,
langkah selanjutnya adalah menilai produksi urin dan respons cepat pasien. 18
Setelah pemberian lasix sebanyak 80mg iv (jam 00.15), Jumlah produksi urin
meningkat sebanyak 1500 cc dengan warna kuning. Indikasi pemberian lasix pada
pasien ini adalah untuk mencegah overload cairan. Sehingga jika dihitung 0,5 cc
dikalikan dengan 60 kg menjadi 300 cc produksi urin per jam dimana menjadi 600
cc per 2 jam. Pada saat ini urin pasien 1500 cc per 2 jam. Dapat diartikan bahwa
terdapat peningkatan produksi urin yang menandakan perfusi organ ginjal yang
terjaga. Kemudian, kondisi hemodinamik pasien mengalami peningkatan tekanan
darah menjadi 100/70 mmHg dan frekuensi nadi 142 x/mnt. Namun pada saat ini
pasien mengalami kejang yang kemungkinan dikarenakan oleh kondisi otak yang
kekurangan oksigen. Setelah itu, kondisi hemodinamik pasien menurun kembali,
yaitu tekanan darah menjadi 81/45 mmHg dan frekuensi nadi 116 x/m. Ini
menandakan kondisi pasien masih ada perdarahan aktif, sehingga sesuai termasuk
golongan respon yang sementara. Kondisi pasien seperti ini memerlukan cairan
tambahan serta transfusi darah.