Anda di halaman 1dari 51

OBAT PELUMPUH OTOT

dr. AGUS SHUARSEDANA Sp.An


FISIOLOGI TRANMISI SARAF
OTOT
FISIOLOGI TRANMISI SARAF
OTOT

 Transmisi rangsang saraf ke otot terjadi


melalui hubungan saraf otot.
 Pada bagian ujung saraf motor terdapat
gudang persediaan kalsium, vesikel, atau
gudang asetilkolin, mitokondria, dan
reticulum endoplasmik.
 Pada bagian membran otot terdapat receptor
asetilkolin.
 Asetilkolin dibuat di dalam ujung serabut
saraf motor melalui proses asetilasi kolin
ekstra sel dan koenzim A- diperlukan
enzim asetiltransferase.
 Asetilkolin disimpan dalam kantung atau
gudang yang disebut vesikel.
 Influks ion kalsium memicu keluarnya asetilkolin sebagai transmitter
saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan melekat pada reseptor
nikotinik dan kolinergik di otot.
 Kalau jumlahnya cukup banyak, maka akan terjadi depolarisasi dan lorong
ion terbuka.
Ion natrium dan kalsium masuk, sedangkan ion
kalium keluar, terjadilah kontraksi otot.

Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-


esterase (kolin-esterase khusus atau murni)
menjadi asetil dan kolin, sehingga lorong
tertutup kembali maka terjadilah repolarisasi.
MEKANISME HAMBATAN (BLOK)
SARAF OTOT
1. Hambatan kompetisi atau blok non
depolarisasi
Hambatan gabungan asetilkolin dengan
reseptor di membrane ujung motor, ini
terjadi karena pemberian tubokurarin,
galamin, alkuronium, dan sebagainya
2. Hambatan depolarisasi atau blok
depolarisasi
Obat pelumpuh otot depolarisasi ini bekerja
sebagai agonis ACh. Terjadi hambatan
penurunan kepekaan membrane ujung
motor. Obat tersebut menimbulkan
depolarisasi persisten pada lempeng akhir
saraf.
3. Hambatan lain
a. Hambatan fase II atau blok desensitisasi /
bifasik (blok ganda)
 Disebabkan karena pemberian obat
pelumpuh otot depolarisasi yang berulang-
ulang sehingga fase I (depolarisasi)
membrane berubah menjadi fase II (non
depolarisasi). Mekanisme perubahan ini
belum diketahui
b. Hambatan campuran
 Terjadi karena penyuntikan obat pelumpuh
otot depolarisasi dan non depolarisasi
dilakukan secara simultan.
CIRI KELUMPUHAN OTOT
1. Non Depolarisasi
a. Tidak ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan hipokalemia,
hipotermia, obat anestetik inhalasi (eter,
halotan, enfluran, isofluran)
c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap
pada perangsangan tunggal atau tetanik.
d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.
2. Depolarisasi
a. Ada fasikulasi otot.
b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.
c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian
obat pelumpuh otot non depolarisasi dan
asidosis.
d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang
bertahap pada perangsangan tunggal
maupun tetanik.
e. Belum diatasi dengan obat spesifik
PELUMPUH OTOT DEPOLARISASI

 SCh menempatkan reseptor kolinergik


nikotinik subunit alfa dan bekerja seperti
asetikolin (mendepolarisasi membran post
jungtion).

 Hambatan neuromuskuler terjadi karena


membran post sinaps tidak dapat
memberikan respons pada pelepasan
asetilkolin berikutnya yang disebut juga
hambatan fase I.
Contoh obat pelumpuh otot
depolarisasi
 Suksametonium (Succynil Choline)
Indikasi : pelumpuh otot jangka pendek.
Kegunaan : untuk mempermudah / fasilitas
intubasi trakea, karena mula kerja cepat dan
lama kerja yang singkat. Juga dipakai untuk
memelihara relaksasi otot dengan cara
pemberian kontinyu per infuse atau suntikan
intermitten.2
 Dosis : 1-2 mg / kg BB / IV
 Mula kerja : 1-2 menit dengan lama 3-5 menit.
 Cara pemberian : IV / IM / Intra lingual / Intra bukal
Efek samping : 1
 Nyeri otot pasca pemberian
 Peningkatan tekanan intra ocular
 Peningkatan tekanan intracranial.
 Peningkatan intragastrik.
 Peningkatan kadar kalium plasma.
 Hati-hati pada luka bakar atau gagal
ginjal.
 Aritmia jantung
 Lama kerja yang memanjang
Kontra indikasi absolut :
 Hiperkalemia, > 5.5 meq/L, misal pada
gagal ginjal.
 Kelainan otot: malignant hyperthermia,
myastenia gravis, muscular distrophy
 Trauma otot masive
 Luka bakar, 7-60 hari
 Luka tusuk orbita, karena meningkatkan
tekanan intraokuler
 Gangguan neurology : paraplegia,
neurodegenerative disease.5)
Kontraindikasi relative :
 Disfungsi hepar.
 Cholinester rendah (n: 80-120 u), akan
terjadi prolonged: liver disease, anemia
gravis malnutrisi dan insektisida
organofosfat.5)
PELUMPUH OTOT NON DEPOLARISASI
Manfaat obat ini di bidang anestesiologi antara lain
untuk :
 Memudahkan dan mengurangi cidera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea.
 Membuat relaksasi tindakan selama pembedahan.
 Menghilangkan spasme laring dan reflex jalan napas
atas selama anesthesia.
 Memudahkan pernapasan kendali selama anesthesia.
 Mencegah terjadinya fasikulasi otot karena obat
pelumpuh otot depolarisasi.
Berdasarkan susunan molekul, maka
pelumpuh otot non depolarisasi
digolongkan menjadi :
 Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin,
metokurium, atrakurium, doksakurium,
mivakurium.
 Steroid : pankuronium, vekuronium,
pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
 Eter-fenolik : gallamin.
 Nortoksiferin : alkuronium.
Contoh obat pelumpuh otot
nondepolarisasi
1. Tubokurarin Klorida (Kurarin)
 Merupakan, suatu derivat isoquinolin yang
berasal dari tanaman tropis Chondronderon
tomentosum.
 Pada dosis terapeutik menyebabkan
kelumpuhan otot mulai dengan ptosis,
diplopia, otot muka, rahang, leher, dan
ekstremitas. Paralisis otot dinding abdomen
dan diafragma terjadi paling akhir.
 Lama paralisis bervariasi antara 15-50 menit
Sifat :
 Blokade ganglion simpatis, dilatasi kapiler, inotropik negatif.
 Terjadi kumulatif.

Kontra indikasi :
 Asma bronchial
 Renal disfungsi
 Myastenia gravis
 Diabetes melitus
 Hipotensi
 Dosis : paralisis otot intraaabdominal : 10-15mg
 intubasi trakea : 10-20mg.
 Cara pemberian : IV / IM
 Efek samping : hipotensi dan bradikardia

Reaksi samping utama:


 Kardiovaskuler : Hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradikardi sinus.
 Pulmoner : Hipoventilasi, apneu, bronkospasme, laringospasme, dispneu.
 Muskuloskelet : apabila tidak adekuat, akan menyebabkan blok lama.
 Dermatologik : Ruam, urtikaria. 7.

 Ekskresi : ginjal, kadang-kadang hepar.


2. Doksakurium
 Obat penyekat neuromuskuler nondepolarisasi aksi lama. Bersifat
mengantagonis aksi asetilkolin, sehingga menimbulkan blok dari
transmisi neuromuskuler. Doksakurium 2,5 hingga 3 kali lebih poten
daripada pankuronium.
 Obat ini tidak mempunyai efek hemodinamik yang secara klinis
bermakna.7
 Oleh anestetik volatil kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30%-40%) dan
lamanya blokade neuromuskular diperpanjang (hingga 25%). Paralisis
rekurens dengan kuinidin. Diantagonis oleh inhibitor antikolinesterase
(neostigmin, edrofonium, dan piridostigmin).
Dosis intubasi : 0,05-0,08 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
 Kardiovaskuler : Hipotensi, kemerah-
merahan, fibrilasi ventrikel, infark miokard.
 Pulmoner : Hipoventilasi,
apneu,bronkospasme.
 SSP : Depresi.
 Anuria
 Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
 Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat
menyebabkan blok yang diperpanjang.
3. Pipekuronium
 Obat penyekat neuromuskular
nondepolarisasi beraksi lama ini
merupakan turunan piperzinum.
 Waktu awitan dan lamanya serupa
dengan pankuronium dengan dosis
yang sebanding.
 Secara klinis tidak mempunyai efek
hemodinamik yang bermakna. Jarang
terjadi pelepasan histamin.
Dosis intubasi : 0,07-0,085 mg/kg/I.V
Reaksi samping utama :
 Kardiovaskuler : Hipotensi, hipertensi,
bradikardi, infark miokard.
 Pulmoner : Hipoventilasi, apneu.
 SSP : Depresi.
 Anuria
 Dermatologik : Ruam, Urtiakaria.
 Muskuluskelet : Blok yang tidak adekuat
menyebabkan blok yang diperpanjang.
Pankuronium Bromida (Pavulon)
steroid sintesis paling banyak dipakai di
Indonesia.
 Kemasan : ampul 2ml larutan yang
mengandung pankuronium bromide 4mg.
 Mula kerja terjadi pada menit 2-3 untuk
selama 30-40menit.
 Berikatan kuat dengan globulin plasma dan
berikatan sedang dengan albumin.
 Mempunyai efek kumulasi pada pemberian
berulang, karena itu dosis
pemeliharaan/rumatan harus dikurangi.
 Pankuronium menyebabkan sedikit pelepasan
histamine dan hipertensi karena memiliki efek
inotropik positif serta takikardia karena efek
vagolitik.
 Ekskresi : ginjal (60-80%) dan sebagian lagi
empedu (20-40%)

 Dosis : relaksasi otot : 0,08mg / kg BB/ IV


(dewasa)
 rumatan : ½ dosis awal.
 intubasi trakea : 0,15mg /kg BB/ IV
Kontra indikasi :
 Hipertensi
 Kelainan otot : malignant hyperthermia
 Miastenia gravis
 Muscular distrophy.6.

Reaksi samping utama :


 Kardiovaskular : Takikardia, hipertensi
 Pulmoner : Hipoventilasi, apneu,
bronkospasme.
 Alergik : kemerahan, syok anafilaktik.
5. Galamin (flaxedil)
 Obat pelumpuh otot non depolarisasi
sintetik.
 Kemasan : ampul 2ml atau 3ml larutan 4%.
Larutan dapat dicampur dengan thiopental.
 Lama kerja obat Berkisar 15-20 menit. Mula
kerja sangat berhubungan dengan aliran
darah otot. Mempunyai efek yang lemah pada
ganglion saraf dan tidak menyebabkan
pelepasan histamine.
 Memiliki sifat seperti atropine yaitu
menyebabkan takikardia walaupun pada
dosis kecil (20mg). Karena itu galamin cukup
baik dipakai bersama anestetik halotan.
 Kenaikan tekanan darah dapat terjadi,
tetapi ringan. Galamin dapat menembus
sawar darah plasenta, tetapi tidak sampai
mempengaruhi kontraksi uterus.
Ekskresi : ginjal dan sebagian kecil empedu.
Penggunaan klinik :
 Memudahkan intubasi trakea. Dosis : 80-
100mg IV ditunggu selama 2-3menit.
 Relaksasi pembedahan. Dosis : 2mg / kg BB
/ IV. Pada dosis sebesar 40mg jarang sampai
menimbulkan paralisis diafragma dan pasien
dapat tetap bernapas spontan walaupun
sebagian otot rangka mengalami
kelumpuhan. Teknik seperti ini sering
dipakai untuk prosedur ginekologik.
 Sebagai profilaksis bradikardia selama
anesthesia umum, misalnya pada
pembedahan bola mata.
Kontra indikasi :
 Pasien dengan takikardia
 Fungsi ginjal yang buruk atau ancaman
gagal ginjal.

Reaksi samping utama :


 Kardiovaskuler : Takikardi, Aritmia,
Hipotensi
 Pulmoner : Hipoventilasi, Apneu
 Muskuloskelet : Blok tidak adekuat, blok
yang diperpanjang.7)
6. Alkuronium Klorida (alloferine)
 Merupakan sintetik toksiferin, suatu
alkaloid dari tanaman Strychnos
toksifera.
 Kemasan : ampul 2ml yang
mengandung 10mg Alkuronium
klorida. Larutan tidak dapat
dicampur thiopental.
 Mula kerja terjadi pada menit ke 3
untuk selama 15-20menit.
 Tidak bersifat pelepas histamine
jaringan, tetapi dapat menghambat
ganglion simpatik sehingga dapat
menyebabkan hipotensi terutama
pada pasien dengan penyakit
jantung.
 Dapat berpotesiensi ringan dengan
N2O-tiopental-narkotik. 2.
 Dosisrelaksasi pembedahan : 0,15mg
/ kg BB / IV dewasa
 0,125-0,2 mg / kg BB / IV anak-anak.
 Dosis intubasi trakea : 0,3 mg/ kg BB
/ IV
 Ekskresi
: ginjal (70%) dalam bentuk
utuh dan sebagian kecil melalui
empedu.
7. Atrakurium Besilat (tracrium)
 Merupakan obat pelumpuh otot non
depolarisasi yang relative baru yang
mempunyai struktur bensilisoquinolin
yang berasal dari tanaman Leontice
leontopeltalum.
Keunggulan atrakurium dibanding obat
terdahulu :
 Metabolisme terjadi di dalam darah
(plasma) terutama melalui suatu reaksi
kimia unik yang disebut eliminasi
Hoffman. Reaksi ini tidak tergantung dari
fungsi hati dan ginjal.
 Tidak mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang.
 Tidak menyebabkan perubahan
kardiovaskuler yang bermakna.
 Mula kerja atrakurium pada dosis intubasi
adalah 2-3menit. Mula dan lama kerja
atrakurium bergantung pada dosis yang
dipakai. Pada umumnya adalah 15-
35menit.
 Dosis : intubasi : 0,5-0,6mg / kg BB/ IV
 relaksasi otot : 0,5-0,6 mg / kg BB / IV
 pemeliharaan : 0,1-0,2 mg / kg BB / IV
 Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi
secara spontan (sesudah lama kerja obat
berakhir) atau dibantu dengan pemberian
anti kolinesterase.

 Atrakurium merupakan obat pelumpuh


otot non depolarisasi terpilih untuk pasien
geriatric atau dengan kelainan jantung,
hati, dan ginjal yang berat. 2.
Reaksi samping utama:
 Kardiovaskuler : Hipotensi, vasodilatasi,
takikardi sinus, bradikardi sinus.
 Pulmoner : Hipoventilasi, apneu,
bronkospasme, laringospasme, dispneu.
 Muskuloskelet : apabila tidak adekuat,
akan menyebabkan blok lama.
 Dermatologik : Ruam, urtikaria.
8. Vekuronium (nocuron)
 Obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
baru dan homolog pankuronium bromide
yang berkekuatan lebih besar dengan lama
kerja yang singkat.
 Tidak memiliki efek kumulasi pada
pemberian berulang atau kontinyu per
infuse.
 Tidak menyebabkan perubahan fungsi
kardiovaskuler yang bermakna.
 Kemasan : ampul berisi bubuk vekuronium 4mg. Pelarut yang
dipakai antara lain akuades, garam fisiologis, RL, atau D5%
sebanyak 2ml.
 Dosis : 0,1mg / kg BB / IV
 Mula kerja terjadi pada menit 2-3 dengan lama kira-kira 30menit.
 Reaksi samping utama :
 Kardiovaskular : bradikardia.
 Pulmoner : Hipoventilasi, apneu.7
9. Mivacurium
 Merupakan pelumpuh otot kerja
pendek/singkat yang dihidrolisa oleh kolin
esterase plasma dengan kecepatan yang
ekuivalen pada 88% dari SCh.
 Dosis : 80 ug/kgBB onset 2-3 menit durasi
12-20 menit
 Durasi dari mivakuriumk 2 x SCh atau 30-
40% dari non depol intermediate.
 Blokade pada penderita chirosis hepatis
mempunyai onset yang sama tetapi
mengalami pemanjangan pada durasi.
PILIHAN PELUMPUH OTOT 1.
 Gangguan faal ginjal : atrakurium,
vekuronium
 Gangguan faal hati : atrakurium
 Miastenia gravis : dosis 1/10
atrakurium
 Bedah singkat : atrakurium,
rokuronium, mivakuronium
 Kasus obstetric : semua dapat
digunakan kecuali galamin.
TANDA-TANDA KEKURANGAN PELUMPUH
OTOT
 Cegukan (hiccup)
 Dinding perut kaku.
 Ada tahanan pada inflasi paru.
PENAWAR PELUMPUH OTOT
 Pemulihan tonus otot rangka akibat
pengaruh obat pelumpuh otot non
depolarisasi bisa berlangsung secara
spontan setelah masa kerja obat berakhir.
Namum mempercepat pemulihannya perlu
diberikan obat antagonisnya, yaitu golongan
obat anticholinesterase.
Salah satu obat yang termasuk populer yang
digunakan adalah neostigmin metilsulfat
atau prostigmin.
 Neostigmin metilsufat atau prostigmin:
 Merupakan obat anticholinesterase yang berkhasiat menghambat
kerja enzim cholinesterase untuk menghidrolisis Ach.
 Akumulasi Ach pada hubungan saraf otot akan meningkatkan
kemampuan Ach untuk berkopetensi dengan obat pelumpuh otot
non depolarisasi sehingga hantaran saraf otot kembali berlangsung
normal dan tonus otot pulih kembali.
 Di pihak lain, akumulasi Ach pada ujung saraf cholinergik akan
menyebabkan peningkatan aktivitas saraf cholinergik baik
nikotiniknya maupun muskariniknya.
 Peningkatan aktivitas cholonergik tersebut
akan menimbulkan tanggapan pada beberapa
organ, antara lain bradikardi, hiperperistaltik,
dan spasme saluran cerna, peningkatan
sekresi kelenjar saluran cerna, saluran nafas
dan kelenjar keringat: spasme bronkus,
miosis, dan kontraksi vesika urinaria dan
dapat dinetralisir oleh obat anticholinergik
(sulfas atropin) sehingga dalam setiap
penggunaannya untuk memulihkan efek obat
pelumpuh otot non depolarisasi, neostigmin
harus diberikan bersama-sama sulfas atropin,
dalam satu spuit atau diberikan terpisah,
tergantung kondisi pasien saat itu.
Penggunaan klinik prostigmin:
 Untuk memulihkan tonus otot setelah
pemakaian obat pelumpuh otot non
depolarisasi
 Untuk memulihkan peristatik usus akibat
manipulasi pembedahan atau paralitik
ileus
 Digunakan sebagai obat pilihan pada
miatenia gravis.
Dosis dan cara pemberiannya:
 Untuk memulihkan tonus otot akibat
pengaruh obat pelumpuh otot, neostigmin
akan diberikan secara bertahap mulai dengan
dosis 0,5mg IV, selanjutnya dapat diulang
sampai dosis total 5mg.
 Neostigmin dapat diberikan bersama-sama
dengan sulfas atropin dengan dosis 1-1,5mg.
 Pada keadaan tertentu misalnya: takikardi
atau demam, pemberian sulfas atropin
dipisahkan dan diberikan setelah prostigmin.

Anda mungkin juga menyukai