Anda di halaman 1dari 63

MAKALAH

PENGURUSAN JENAZAH DAN PEMBAGIAN WARIS


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Disusun Oleh :

Hari Ilham Nur Akbar (1806129)


Gama Inayaturrohman (1806084)
Taopik Rahman (1806078)
Indra Mahpudin (1806097)
Ertin Maryam (1806126)
Rodiaman (1806104)

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI GARUT


TEKNIK INFORMATIKA
2019
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hidup adalah suatu sifat yang melekat pada sebagian makhluk Allah, seperti
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan atau lainnya. Karena hidup merupakan suatu
sifat, maka sudah menjadi kepastian bahwa suatu saat sifat tersebut akan terpisah
dari dzatnya, dengan demikian semua mahluk hidup pasti akan mati, seperti yang
telah digariskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya surat Ali Imrân : 185 :

ِ ‫قَا َل هللاُ تَعَالَى ُك ُّل نَ ْف ٍس ذَائِقَةُ ْال َم ْو‬


)185: ‫ت (آل عمران‬

Artinya: Allah berfirman “Setiap sesuatu yang bernyawa pasti akan merasakan
mati”. (QS. Ali ‘Imrân : 185)

Kematian merupakan sebuah jembatan pemisah antara kehidupan duniawi dan


kehidupan ukhrawi, suatu jembatan yang sangat mengerikan kecuali bagi mereka
yang memperoleh rahmat Allah Swt. Kita hidup pasti akan melalui jembatan
tersebut entah kapan, Dimana, Dan Bersama siapa? Seperti yang telah difirmankan
Allah Swt.

Artinya: Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka


Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan
dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu
Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.(QS. Al-Jummu’at: 08)

Dalam ayat lain berfirman:

Artinya: Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,


Kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh (QS. An-Nisaa’:78)

B. Permasalahan
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang di atas, maka permasalahan yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang kewajiban orang hidup terhadap
orang yang wafat dan juga ilmu pembagian waris.

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang kewajiban
orang hidup terhadap orang wafat menurut 4 madzhab atau imam dan juga ilmu
pembagian waris menurut 4 madzhab atau imam.
BAB II
PEMBAHASAN

A. JENAZAH
Kematian merupakan pintu gerbang pertama untuk menuju akhirat yang
merupakan tempat mempertanggung jawabkan segala perbuatan hamba di dunia
terhadap Allah, oleh karena itu Ulama Fiqh menyimpulkan bahwa hukum
memperbanyak dan selalu mengingat mati adalah sunah, karena akan memotifasi
untuk selalu ingat Allah. Anjuran ini berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan
Imam Turmudzi, Ibnu Mâjah dan Hâkim :

ِ ‫ى ْال َم ْو‬
(‫ت )رواه الترمذى وابن ماجه والحاكم‬ ِ ‫سلَّ َم ا َ ْكثِ ُر ْوا ِم ْن ِذ ْك ِر هَاذ ِِم اللَّذَّا‬
ِ َ‫ت ا‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُّ ‫قَا َل النَّ ِب‬
َ ‫ى‬

Artinya : Nabi bersabda "Perbanyaklah olehmu mengingat sesuatu yang


menghilangkan / memutuskan kenikmatan dunia (mati)”.
(HR. Turmudzi, Ibnu Mâjah dan Hâkim).

Dengan mengingat kematian, otomatis akan ingat atas apa yang telah diperbuat,
terutama hal-hal yang melanggar norma-norma agama, baik yang berhubungan
dengan Allah atau dengan sesama. Dengan demikian maka akan memotifasi rasa
ingin taubat dan senantiasa berbenah diri dari semua perbuatan dosa.
Ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa orang itu hampir mati yaitu:

1. Kakinya lemas,
2. Hidungnya pesek ke dalam
3. Pelipisnya cekung
4. Kulitnya seakan-akan kasar (tidak sebel) dan
5. Matanya sudah tidak ada bayangan.
Hal – Hal Yang Harus Dilakukan Oleh Orang Yang Akan Mendekati
Kematian :

1. Berwasiat terhadap keluarga, teman, atau orang yang dipercayai baik


wasiatnya tentang duniawi atau ukhrawi. Juga meminta keluarga untuk
selalu mendoakan dan menyempurnakan semua hal yang tidak sempat
dikerjakannya. Seperti janji, hutang dan sebagainya
2. Bersikap tenang, tegar dan sabar dari segala hal yang menimpan dirinya,
bedzikir dan berdo’a:

‫اﻻعلى بالرﻓيﻖ وﺃلحقنﻲ وارﺣمنﻲ اﻏفرلﻲ‬

‫اللﻬم‬

3. Jangan sampai putus asa dari rahmat Allah Swt. Mengharaplah ampunan
dari-Nya.
4. Haruslah memperbanyak sifat raja’, mengharap rahmat Allah dari pada sifat
khaufnya.

Hal Yang Harus Dilakukan Keluarga Orang Yang akan mendekati kematian
:

1. Memberi ketenangan dan memberi semangat supaya si sakit kuat dalam


menghadapi semua yang dialaminya
2. Tidak putus asa serta mempunyai tekad hidup yang kuat.
3. Menghindari dan menjauhkan semua yang membuat yang sakit menjadi
tertekan dan sebaiknya keluarga itu melakukan apa yang membuatnya
senang dan punya semangat hidup, memberikan apa yang dia inginkan
sehingga dia merasa bahwa masih ada yang memperhatikan dirinya.
4. Berupaya dan tidak putus asa untuk mencari obat penyembuh bagi
keluarganya yang sakit.
5. Membuat suasana tentram dan damai dengan membacakan ayat suci Al-
Qur’an didekatnya, membacakan surat Yasiin dan surat Ar-Ra’du.
Selanjutnya, sebagai keluarga harus menyuruhnya untuk selalu berdzikir
dan mentalqin dengan ucapan ” ‫“ ﻻ اله اﻻ الله‬
6. Suruhlah orang lain untuk menuntunnya dengan pelan.

Hal Yang Harus Dihindari Ketika Sakaratul Maut

1. Mencaci, menghina yang bisa menimbulkan permusuhan.


2. Buanglah jauh-jauh watak dan perasangka yang tidak baik.
3. Berdoalah yang baik-baik, sebab doa orang yang sakit seperti halnya doa
para malaikat.
4. Jangan melakukan hal yang membahayakan keluarganya seperti
memberikan hartanya sampai lebih 1I3.
5. Jangan memperbanyak bicara dengan orang lain.
Tanda Keberuntungan Dan Kemalangan Bagi Mereka Yang Mati

Tanda keberuntungan:

1. Dahinya berkeringat
2. Mengalirkan air mata
3. Lubang hidungnya membesar
4.
5. Tanda kemalangan:
1. Mendelik seperti orang yang tercekik
2. Warna kulitnya berubah menjadi hitam padam
3. Kedua sisi mulutnya berbusa
4.
5. Hal Yang Harus Dilakukan Bagi Orang Yang Telah Mati Sebelum
Dimandikan
1. Menutup matanya yang terbuka sambil berdo`a:
2. ‫اللﻬم اﻏفرله وا رﺣمه وارﻓﻊ ﺩرجته ﻓى المهﺪﻳين وا ﺣلفه ﻓى عقبه الﻐابرﻳن واﻍﻓرلنا وله ﻳا رﺏ‬
‫العالمين‬
3. ‫وا ﻓﺴﺢ له ﻓﻲ قبره ونور له ﻓيه‬
4. Menutup mulutnya yang terbuka.
5. Melepas semua pakaian yang di kenakan dan menggantinya dengan selimut
(kain yang menutupi mulai dari kepala hingga kaki) sebab pakaian yang
melekat waktu kematiannya menyebabkan dia cepat rusak.
6. Hadapkanlah mayit tersebut kearah qiblat
7. Gunakanlah sesuatu yang mebuat ruangan mayit tersebut menjadi harum,
seperti kemenyan dan sebagainya. Artinya ruangan yang ditempati tidak
bau.
8. Dan perut mayit itu seyogyanya diberi benda asalkan bukan al-Quran.
Sepeti halnya kaca dan lainnya.
9. Membebaskan mayit tersebut dari semua hak yang bersangkutan dengannya
seperti hutang dan hak adami yang lainnya, juga kewajiban yang pernah di
tinggalkannya ketika dia masih sakit, seperi halnya Sholat, puasa, Zakat,
dan kewajiban lainnya yang tidak dia kerjakan pada waktu hidupnya.
1. Pengertian Jenazah
Jenazah, mayat, jasad atau kadaver dalam istilah medis, literal, dan legal,
atau saat dimaksudkan dalam pembedahan, adalah tubuh yang sudah tidak
bernyawa.

2. Hukum Jenazah
Menurut pendapat MALIKI yang masyhur, SYAFI-I dan HANBALI: anak
Adam tidaklah menjadi najis karenakematiannya.
HANAFI berpendapat: anak Adam menjadi najis karena kematiannya.
Oleh karena itu setelah dimandikan barulah ia menjadi suci. Ini juga salah satu qaul
SYAFI-I dan satu riwayat dari HANBALI.

3. Hal yang Harus dilakukan Orang Hidup Terhadap Orang Meninggal

1.1 Memandikan Jenazah

 Hal Yang Harus Dilakukan Sebelum Jenazah Dimandikan :

1. Menutup matanya yang terbuka sambil berdo`a:

‫اللﻬم اﻏفرله وا رﺣمه وارﻓﻊ ﺩرجته ﻓى المهﺪﻳين وا ﺣلفه ﻓى عقبه الﻐابرﻳن واﻍﻓرلنا وله ﻳا رﺏ العالمين‬

‫وا ﻓﺴﺢ له ﻓﻲ قبره ونور له ﻓيه‬

2. Menutup mulutnya yang terbuka.


3. Melepas semua pakaian yang di kenakan dan menggantinya dengan selimut
(kain yang menutupi mulai dari kepala hingga kaki) sebab pakaian yang
melekat waktu kematiannya menyebabkan dia cepat rusak.
4. Hadapkanlah mayit tersebut kearah qiblat
5. Gunakanlah sesuatu yang mebuat ruangan mayit tersebut menjadi harum,
seperti kemenyan dan sebagainya. Artinya ruangan yang ditempati tidak
bau.
6. Dan perut mayit itu seyogyanya diberi benda asalkan bukan al-Quran.
Sepeti halnya kaca dan lainnya.
7. Membebaskan mayit tersebut dari semua hak yang bersangkutan
dengannya seperti hutang dan hak adami yang lainnya, juga kewajiban yang
pernah di tinggalkannya ketika dia masih sakit, seperi halnya Sholat, puasa,
Zakat, dan kewajiban lainnya yang tidak dia kerjakan pada waktu hidupnya.
 Sesuatu Yang perlu Dipersiapkan sebelum Memandikan :

1. Air Mutlaq : Yaitu air yang suci dan mensucikan seperti air sumur, air
sungai, air hujan, air sumber dan lain sebagainya. Jika tidak menemukan air
atau ada tapi tapi sulit untuk memperolehnya atau ada udzur untuk memakai
air seperti orang mati terbakar, maka diperbolehkan untuk diganti dengan
debu yang bersih dan suci (tayammum)
2. Kain atau baju gamis untuk menutupi badan atau aurat mayit, dan lebih baik
kalau keduanya difungsikan secara bersamaan ketika nanti memandikan.
3. Bangku (lencak, mad.) untuktempat memandikan dan di sekelilingnya
dikasih Hijab(GOMBONG)
4. Pohon pisang atau yang lainnya sebagai alas tubuh pada waktu dimandikan,
bisa juga memakai alas kaki orang yang memandikan (jika
berkelompok)Beberapa kain kecil untuk membantu membersihkan kotoran
yng ada di dubur dan kemaluan dengan memperbalkan kain tersebut di
tangan kiri.
5. Harum-haruman seperti kemenyan yang diletakkan di lokasi memandikan,
hal itu dimaksudkan untuk mengantisipasi bau-bau yang tidak sedap,
khawatir tercium orang lain sehingga mengundang pembicaran
6. Kapur atau sabun untuk membantu menghilangkan kotora-kotoran mayit.

 Mayit yang Harus Dimandikan :


Mayitnya orang muslim, walaupun seorang bayi asalkan pernah merasakan
hidup dan lengkap anggota badannya.

 Mayit yang Tidak boleh Dimandikan

1. Orang yang mati Syahid (Orang yang mati karena memerangi orang-orang
kafir dalam menegakan Agama Allah)
2. Kafir Harbi (orang kafir yang memusuhi islam dan muslimin)
3. Bayi yang keguguran (siqtu) dan tidak lengkap anggota badannya, tidak
boleh dimandikan, tapi disunnahkan dikafani dan dikuburkan
4. Mayit yang udzur untuk memakai air (yakni kalau memakai air akan timbul
kemudharatan terhadap si mayit) seperti orang yang mati terbakar dan lain
sebagainya. Dan sebagai gantinya adalah harus ditayammumi.

 Orang yang Harus Memandikan :


Orang yang sejenis (sekelamin) dengan si mayit atau istri dan muhrim si
mayit (jika sendirian).

Empat imam sepakat tentang bolehnya memandikan jenazah suami oleh


istri. Akan tetapi apakah suami boleh memandikan jenazah istrinya?
HANAFI berpendapat: tidak boleh.
MADZHAB LAIN: boleh.
Apabila seorang perempuan meninggal dan tidak ada orang lain selain laki-
laki bukan muhrimnya, atau sebaliknya:

HANAFI, MALIKI dan pendapat yang paling shahih dari SYAFI-I:


hendaknya keduanya ditayamumkan.

HANBALI diperoleh dua riwayat, salah satunya: ditayamumkan.


Orang yang memandikannya harus melapisi kedua tangannya dengan
sarung tangan. Ini adalah pendapat lain dari SYAFI-I.

Al-Awza’i berpendapat: dimakamkan tanpa dimandikan dan tidak


ditayamumkan.

Menurut tiga imam madzab, orang Islam boleh memandikan kerabatnya


yang kafir.

MALIKI: tidak boleh.


Dimustahabkan memandikan jenazah itu, mewudlukannya, menyikat gigi-
giginya, memasukkan jari-jarinya ke dalam lubang hidung serta telinganya,
dan membersihkan keduanya.
HANAFI: hal demikian mustahab.
Jiga janggutnya tebal, hendaknya disisir dengan sisir yang bergigi jarang
dan perlahan-lahan.

HANAFI: tidak perlu dilakukan hal itu.


Jika jenazah yang dimandikan adalah perempuan, hendaknya dijalin
rambutnya menjadi tiga jalinan dan diletakkan ke belakang.

HANAFI: dibiarkan saja seperti keadaannya semula tanpa dijalin

MAYAT WANITA HAMIL


Perempuan hamil apabila meninggal, sedangkan dalam perutnya ada janin
yang masih hidup, maka ia harus dibedah perutnya. Demikian pendapat
HANAFI dan SYAFI-I.

HANBALI berpendapat: tidak boleh dibedah.


Dari MALIKI diperoleh dua keterangan yaitu seperti kedua pendapat di
atas.

JENAZAH ANAK KECIL


Para imam madzab sepakat bahwa anak yang meninggal karena keguguran,
apabila umurnya belum sampai empat bulan, tidak dimandikan dan tidak
dishalatkan. Sedangkan jika ia lahir sesudah umur empat bulan, maka:

HANAFI: jika terdapat petunjuk atas kehidupannya seperti bersin, bergerak


dan menghisap, hendaknya dimandikan dan dishalatkan.

MALIKI juga demikian namun ia mensyaratkan dalam bergerak harus nyata


dan lama sehingga meyakinkan kalau ia lahir dalam keadaan hidup.

SYAFI-I: hendaknya dimandikan.


Menurut pendapat SYAFI-I yang shahih, niat bagi orang yang memandikan
mayat tidak wajib, demikian juga menurut HANAFI.

MALIKI: wajib.
Apabila sesuatu keluar dari tubuh mayat sesudah ia dimandikan, wajib
dihilangkan saja demikian menurut pendapat HANAFI dan MALIKI. Juga
demikian pendapat yang paling shahih dalam madzab SYAFI-I.

HANBALI: wajib dimandikan kembali jika benda itu keluar dari kemaluan.

 Orang yang tidak boleh (haram) memandikan

1. Lain kelamin dengan si mayit


2. Bukan istri atau mahram si mayit
3. Orang yang terkenal membeberkan kejelekan-kejelekan si mayit ketika dia
memandikan.

 Hukum Memandikan Jenazah

Empat imam madzab sepakat bahwa memandikan jenazah hukumnya fardlu


kifayah.

HANAFI dan MALIKI: memandikannya dalam keadaan telanjang lebih


utama asalkan tertutup auratnya.

SYAFI-I dan HANBALI: yang lebih utama adalah dalam keadaan memakai
gamis. Lebih utama lagi menurut SYAFI-I: memandikan langsung di bawah
langit (tanpa atap). Tetapi ada yang berpendapat bahwa yang lebih utama
adalah memandikannya di bawah atap.

Memandikannya dengan air dingin adalah lebih utama (daripada dengan air
hangat) kecuali pada hari yang sangat dingin jika pada tubuhnya terdapat
banyak kotoran.

HANAFI berpendapat: lebih diutamakan memandikan jenazah dengan air


hangat.

Empat imam madzab sepakat bahwa orang yang mati syahid, yakni orang
yang mati dalam pertempuran melawan orang kafir, tidak dimandikan.
Namun mereka berbeda pendapat, apakah ia dishalatkan atau tidak?
Menurut HANAFI dan HANBALI dalam suatu riwayat: dishalatkan.

MALIKI, SYAFI-I dan HANBALI dalam riwayat lain: tidak dishalatkan


karena sudah tidak memerlukan penolong lagi.
Para imam madzab sepakat bahwa perempuan mati dalam keadaan nifas
harus dimandikan dan dishalatkan.

Menurut pendapat TIGA IMAM, orang yang terinjak-injak binatang dalam


suatu pertempuran, terjatuh dari kuda, atau terkena senjata sendiri,
kemudian mati di medan pertempuran melawan orang musyrik, maka ia
dimandikan dan dishalatkan.

SYAFI-I berpendapat: tidak dimandikan dan dishalatkan.

Empat imam sepakat bahwa wajib hukumnya memandikan mayat hingga


bersih, disunnahkan mengganjilkan bilangannya, dengan air hendaknya
dicampur dengan daun bidara serta pada tahab terakhir dengan kapur barus.

HANAFI dan HANBALI berpendapat: dimustahabkan setiap kali


membasuh, airnya dicampur dengan daun bidara.

MALIKI dan SYAFI-I berpendapat: tidak dimustahabkan, kecuali satu kali


saja

Cara-cara Memandikan dan Hal-hal yang Dianjurkan di Dalamnya.

Adapun cara-cara memandikan mayit ada dua cara yang pertama ( cara yang
oleh ulama’ diktakan sebagai cara yang kurang sempurna ) cukup dengan
menyiramkan air keseluruh tubuh mayit cara yang kedua :

yaitu cara yang sempurna yaitu:

1. Haruslah dimandikan ditempat yang sepi, tidak ada yang masuk kecuali
orang yang memandikan dan wali si mayit ( keluarganya ) bisa di buatkan
tabir ( gombong ) tempat memandikan.
2. Semua badan mayit harus tertutupi seperti keterangan di depan.
3. Kepanglah ( gellung) rambut mayit menjadi tiga kepangan, baik mayit
perempuan atau laki-laki yang berambut panjang, agar tidak ada rambut
yang jatuh sebelum dimandikan.
4. Letakkanlah mayit di bangku atau di lencak seperti yang di jelaskan di atas.
5. Mayit diletakkan di atas alas, seperti pohon pisang atau kaki orang yang
akan memandikan agar gampang menjangkau anggota yang sulit dijangkau
seperti dibagian tubuh mayit yang sulit dijangkau.
6. Air yang ingin dipakai untuk memandikan di jauhkan dari lokasi
memandikan ke tempat ke tempat yang tidak terlalu jauh. Hal ini di
maksudkan agar nanti air yang telah di pakai tidak kena pada air yang masih
suci (belum di pakai).
7. Angkatlah kepalanya dengan memberikan alas (jika berkelompok) atau
sandarkan kelutut kanan orang yang memandikan, agar air tidak masuk
kedalam tubuh.
8. Lakukan tekanan (urutan) pada perut mayit dengan tangan kiri anda (orang-
orang yang memandikan) untuk mengeluarkan kotoran-kotoran yang tersisa
dalam perut mayit dan lakukanlah berulang-ulang dengan hati-hati (tidak
kasar)sampai di yakini bahwa isi perut sudah tidak ada lagi.
9. dubur dan kemaluan mayit dengan tangan kiri berbalut kain dan gantilah
kain tersebut dengan kain yang barujika sudah dipakai, dan lakukanlah
sampai tiga kali atau lebih (tergantung kebutuhan).
10. Bersihkanlah mulut, lubang, hidung, kuping, mata, kuku tangan dan kaki
dan anggota yang biasa terkena najis dan kotoran, bersihkanlah dengan air
sampai tidak ada najis atau kotoran tersisa. Namun ingat jangan sampai
menyakiti mayit.
11. Dengan niat memandikan seperti di bawah ini :

‫نوﻳﺖ الﻐﺴل لذه الميتة ﻓرﺿا لله تعالى‬/ ‫نوﻳﺖ الﻐﺴل لﻬذا الميﺖ ﻓرﺿا لله تعالى‬

12. Kemudian siramlah mayit mulai dari kepalanya (rambutnya) dagaunya


(jenggotnya jika ada) kemudian sisirlah keduanya dengan sisir yang besar
giginya, lakukanlah dengan lembut dan hati-hati dan kembalikan lagi
rambut dan jenggot yang jatuh jangan di buangMulailah menyiram dari
anggota mayit yang kanan dan anggota wudhu` sesuai dengan hadits yang
berbunyi:

………. ‫“ بميامنﻬا ومواﺿﻊ الوﺿوﺀ منﻬا ” الﺣﺪ ﻳﺚ رواه الﺸيﺨان‬

13. Kemudian siramlah bagian sebelah kiri mayit.


14. Usahakanlah airnya menyentuh ke seluruh badan mayit sampai ke bagian-
bagian tertentu seperti dubur (bagian yang terlihat ketika dalam keadaan
jongkok) dan di bagian yang tampak pada vagina wanita yang masih
perawan ketika dalam keadaan jongkok, dan hal itu hukumnya adalah wajib.
15. Pada setiap memandikan sunnah disertai dengan sabun dan harum-haruman
yang lain untuk membantu menghilangkan kotoran-kotoran yang lengket,
mengawetkan kulit mayit dan mengharumkan mayit.
16. Kemudian siramlah dengan air yang sedikit dicampur dengan kapur atau
sabun
17. Kemudian wudhu’kanlah mayit tersebut dengan niat sebagai berikut:

‫نوﻳﺖ الوﺿوﺀ المﺴنون لﻬذه الميتة لله تعالى‬/ ‫نوﻳ الوﺿوﺀ المﺴنون لﻬذا الميﺖ لله تعالى‬

18. Kemudian siramlah lagi dengan air murni dan bersih pada seluruh badan
mayit baik luar atau bagian dalam
19. Siraman dari no. 12 sampai no. 18 dihitung satu kali

Catatan:
Lakukanlah (mandikanlah) mayit tiga atau lima kali dan seterusnya (ganjil)
hal itu tergantung kebutuhan pada diri mayit, dan diselesaikan pada
hitungan ganjil juga seperti 3 kali atau 5 kali dan seterusnya.

Hal-hal yang perlu dihindari dalam memandikan

1. Hindari adanya kotoran atau najis yang masih melekat pada badan mayit
2. setelah dimandikan maka dari itu periksalah sebelum selesai dimandikan
3. Hindarkan air yang sudah terpakai dari badan mayit yang sudah bersih.

Catatan:
Jika keluar kotoran dari dubur atau kemaluan maka cukup hanya dengan
membersihkannya saja tampa mengulangnya dari awal yakni
memandikannya lagi dari awal

Jika sudah selesai dimandikan kemudian dipindahkan ke tempat dimana


mayit tersebut akan dikafani. Dipindah dengan cara tetap ditutup dadannya
dengan kain yang kering dan setelah sampai pada tempatnya si mayit
dihanduk agar betul-betul lebih kering.

Dan kalau mayit perempuan sebaiknya dibedaki dan diberi “cellak” dan di
dahinya ditulis lafadz Allah dengan “celak” tersebut.

1.2 MENGKAFANI JENAZAH

Pembiayaan

Biaya dalam mengkafani di ambil dari harta peninggalan yang tidak ada sangkut
pautnya dengan hak orang lain seperti barang gadaian dan sebagainya. Kalau
harta peninggalan di atas tidak ada maka yang berkewajiban untuk membiayai
adalah orang yang punya kewajiban memberi nafkah ketika masih hidup,
jikalau orang yang berkewajiban tidak ada, maka bisa diambil dari baitul-mal,
jika baitul-mal tidak ada maka pembiayaan diambil dari harta orang Islam yang
mampu / kaya

Kadar kain kafan

Boleh dibungkus ( dikafani ) dengan kain yang halal baginya yang dipakai
ketika masih hidup. Perempuan boleh dikafani dengan sutera sedangkan laki-
laki tidak. Karena sutera dilarang dipakai laki-laki ketika masih hidup
sedangkan bagiperempuan sebaliknya. Namun yang afdhol dalam mengkafani
adalah menggunakan kain katun ( QOTNU ) berwarna putih dan sudah pernah
dicuci ( bukan kain baru )
Langkah-langkah mengkafani.

Dalam hal mengkani,kalau kita mengacu kepada haqqullah ( hak Allah) semata,
maka kain yang dibutuhkan hanya sebatas penutup aurat. Bagi laki-laki hanya
sebatas penutup pusar dan lututnya, sedangkan bagi perempuan baik orang yang
merdeka atau budak adalah kain yang dapat menutupi semua anggota tubuhnya
kecuali muka dan kedua telapak tangannya. Adapun bagi banci/waria hukum
mengkafaninya disamakan dengan perempuan.

Akan tetapi kalau dipandang dari haqqullah dan haqqul adami, maka kain kafan
yang dibutuhkan untuk mengkafani laki-laki secara sempurna adalah tiga
lembar kain kafan warna putih. Sedangkan untuk perempuan dan waria adalah
lima lembar kain yang terdiri dari :

 Dua lembar kain panjang yang cukup untuk membungkus seluruh


tubuhnya.
 Kain sarung ( kain pembalut tubuh dari pusar sampai lututnya )
 Baju kurung
 Kerudung (kain penutup kepala dengan bentuk khusus )

Adapun kain kafan untuk anak-anak adalah satu lembar kain kafan yang cukup
untuk membungkus seluruh tubuhnya.Akan tetapi yang lebih utama tetap tiga
lembar kain warna putih.

Cara mengkafani laki-laki.

1. Bentangkan tiga lebar kain kafan yang suda dipotong sesuai denga ukuran
yang dibutuhkan dengan cara disusun, kain yang paling lebar diletakkan
dipaling bawah. Kalau ukuran lebar kain sama, geserlah kain yang ditengah
kekanan sedikit dan yang paling atas kekiri sedikit atau sebaliknya. Dan jika
sendainya lebar kain kafan tidak cukup untuk menyelimuti mayit, maka
geser lagi hingga bisa menutupi mayit. Dan jika tetap tidak bisa
menutupinya, baik karena mayitnya besar atau yang lain, maka lakukan
penambahan sesuai dengan kebutuhan.
2. Lulutlah (berilah) kain kafan dengan wangi-wangian.
3. Persiapkan tiga atau lima utas kain tali dan letakkan dibawah kain yang
paling bawah. Dan agar tali dibagian dada (diatas tangan dan dibawahnya)
tidak mudah bergeser, potonglah dengan bentuk khusus. (satu utas talli yang
dibagi dua, sedangkan ditengan tetap tidak disobek)
4. Persiapkan kafan yang sudah diberi wangi-wangian kayu cendana untuk
diletakkan dibagian anggota badan tertentu antara lain sebagaimana berikut.
a. Bagian Manfad (lubang terus) yang terdiri dari :
Kedua Mata, Hidung, Mulut, Kedua telinga (dan sebaiknya
menggunakan kapasyang lebar, sekiranya bisa menutupi seluruh muka
mayit), Kemaluan dan lubang anus.

b. Bagian anggota sujud, yang terdiri dari :


Dahi, Kedua telapak tangan, Kadua lutut, Jari-jari kedua kaki

c. Bagian persendian dan anggota yang tersembunyi, yang terdiri dari :


Kedua lutut paling belakang, Ketiak, Kedua telinga bagian belakang.

Angkatlah dengan hati-hati dan baringkan diatas kain yang telah


dipersiapkan sebagaimana tersebut diatas.

 Tutuplah bagian anggota badan tertentu sebagaimana tersebut


dinomor 4
 Selimutkan kain kafan pada jenazah selembar demi selembar nulai
dari yang paling atas hingga yang paling bawah, kemudian ikatlah
dengan kain tali yang telah disediakan.

Cara mengkafani perempuan

1. Bentangkan dua lembar kain kafan yang sudah di potong sesuai dengan
ukuran yang di butuhkan.kemudian letakkan pula kain sarung di atasnya di
bagian bawah (tempat di mana badan antara pusar dan kedua lutut di
rebahkan)
2. Persiapan baju kurung dan kerudung di tempatnya.
3. Sediaan tiga atau lima utas kain tali dan letakkandi bawah kain kafan yang
paling bawahyang telah di bentangkan.
4. Sediakan kapas yang sudah diberi wangi-wangian untuk di letakkan
dibagian anggota badan tertentu
5. Angkatlah jenazah dengan hati-hati, kemudian baringkan di atas kain kafan
yang sudah di bentangkan dan yang sudah di lulut dengan wangi-wangian.
6. Letakkan kapas di bagian anggota badan tertentu sebagaimana tersebut di
cara nomor 04 cara mengkafani mayit laki-laki.
7. Selimutkan kain sarung di badan mayit antara pusar dan kedua lutut dan
pasangkan juga baju kurung berikut kain penutup kepala (kerudung).Bagi
yang rambutnya panjang di kepang menjadi dua atau menjadi tiga, dan di
letakkan di atas baju kurung tempatnya di bagian dada.
8. Setelah pemasangan baju kurung dan kerudung selesai, maka selimutkan
kedua kain kafan selembar demi selembar mulai dari yang paling atas
sampai yang paling bawah, setelah selesai ikatlah dengan tiga atau lima tali
yang telah di sediakan.
Cara penempatan tali

Jika tali yang tersedia itu ada tiga ,maka gunakan untuk mengikat
kaki,tangan (dada dan kepala. Jika tali yang tersedia ada lima maka yang harus di
ika adalah kaki,lutut di bawah dan di atas tangan dan yang terahir adalah kepala.cara
mengikat tali dia atas dan di bawah tangan lihat gambar seperti di atas seperti
mengkafani mayat laki-laki.

Catatan : Alangkah praktisnya jika si mayit sudah dalam keadaan kbeatul-betul


kering, (kessap madura, red) lansung saja diletakkan di atas kafan yang sudah di
sediakan. Setelah itu baru kapasnya diletakkan pada tempat yang sudah disebut di
atas.

Anjuran dalam mengkafani

1. Mengunakan kain putih yang terbuat dari kain katun (qotnu)

2. Melulut kain kafan dengan wangi-wangian

3. Memberi kapas di bagin tertentu (lihat rinian pada nomor 04 cara mengkafani
mayat laki-laki)

4. Menggunakan kain kafan dengan hitungan ganjil, tiga lembar lebih utama dari
dua atau empat lembar, akan tetapi penambahan hitungan kain kafan lebih dari satu
lembar lebih baik meskipun satu termasuk hitungan ganjil sebagai penghormatan
pada si mayit, jadi dua lembar lebih utama dari satu lembar.

5. Menggunakan kain yang bagus tapi tidak mahal, yang di maksud di sini adalah
kain yang berwarna putih, bersih, suci dan tebal.

Larangan-larangan dalam mengkafani

• Menggunakan kain kafan yang mahal.

• Menulisi ayat Al-quran atau Asma’ul A’dhom

• Menggunakan kain kafan yang tipis (tembus pandang)

• Berlebih-lebihan dalam mengkafani (israf)

MENGKAFANI MAYAT
Menurut kesepakatan empat imam madzab, mengkafani mayat wajib hukumnya,
serta harus didahulukan keperluan ini daripada membayar utang dan membagi harta
warisan. Sekurang-kurangnya kafan itu sehelai kain yang dapat menutupi seluruh
tubuh mayat.
SYAFI-I, MALIKI dan HANBALI: mustahab mengkafani mayat laki-laki dengan
tiga lapis kain.
HANAFI: boleh dengan sarung, selendang dan gamis.
Disunnahkan kain kafan berwarna putih. Sedangkan untuk mayat perempuan
dimustahabkan rangkap lima, yaitu baju kurung, kain sarung, selimut, kerudung dan
lapis kelima dipergunakan untuk mengikat dua pahanya. Demikian menurut
Pendapat SYAFI-I dan HANBALI.

HANAFI: itulah yang lebih utama, jika hanya tiga lapis maka kerudung diletakkan
di atas gamis di bawah selimut badan.

MALIKI: tidak ada batasan bagi kain kafan itu. Tetapi yang wajib adalah menutup
aurat.

Menurut SYAFI-I dan HANBALI, makruh mengkafani mayat perempuan dengan


kain kumkuma (sejenis batik) dan sutera.

HANAFI: tidak makruh.

Jika istri mempunyai harta, maka ia dikafani dengan kain hasil pembelian hartanya.
Demikian menurut HANAFI, MALIKI dan HANBALI.
Sedangkan jika ia tidak mempunyai harta, menurut MALIKI, hal ini menjadi
kewajibansuaminya.
Muhammad berpendapat: diambilkan dari baitul mal, sebagaimana jika suami
melarat maka diambilkan dari baitul mal. Pendapat ini disepakati oleh para ulama.
HANBALI berpendapat: suami tidak wajib membiayai kafan istrinya.
SYAFI-I: kain kafan diambilkan dari harta peninggalannya. Jika peninggalannya
tidak ada, menjadi tanggungan orang yang wajib memberikan nafkah, seperti
kerabat dan suami. Atau, kalau mayat itu adalah budak maka ditanggung oleh
tuannya. Demikian juga halnya suami, menurut pendapat yang shahih. Yang benar,
menurut para ulama ahli tahqiq pengikut SYAFI-I, kafan istri adalah tanggungan
suami.

Orang yang meninggal ketika sedang ihram tidak boleh diberi wangi-wangian, tidak
boleh dikafani dengan pakaian yanag berjahit dan tidak ditutup kepalanya.
Demikian menurut kesepakatan para imam madzab.
Diriwayatkan dari HANAFI bahwa ihramnya batal lantaran kematiannya. Oleh
karena itu, ia boleh diperlakukan sebagai mayat pada umumnya.

SHALAT JENAZAH
Tidak dimakruhkan shalat jenazah dikerjakan pada tiap-tiap waktu. Demikian
menurut pendapat SYAFI-I.
HANAFI dan HANBALI berpendapat: makruh dikerjakan pada tiga waktu yang
dimakruhkan.
MALIKI: makruh dikerjakan ketika matahari terbit dan ketika matahari terbenam.

Menurut kesepakatan empat imam madzab, shalat jenazah boleh dikerjakan di


dalam masjid, menurut pendapat SYAFI-I dan HANBALI tidak dimakruhkan.
HANAFI dan MALIKI: makruh.

Dimakruhkan meratapi dan memanggil-manggil mayat. Menurut HANAFI tidak


makruh.

IMAM SHALAT JENAZAH


Empat imam madzab berbeda pendapat tentang orang yang berhak mengimami
shalat jenazah.
HANAFI, MALIKI dan HANBALI dan pendapat SYAFI-I dalam qaul qadim:
penguasa lebih berhak, kemudian walinya.
HANAFI: yang lebih utama bagi walinya apabila penguasa tidak datang, adalah
mengajukan seorang imam di kala hidupnya.
SYAFI-I dalam qaul jadid: yang kuat, walinya lebih berhak dari penguasa.

Adapun jika mayat pernah berwasiat kepada seseorang untuk menshalatkannya


maka tidak ada yang lebih berhak di antara para walinya.

Demikian menurut pendapat TIGA IMAM.


HANBALI: orang yang diberi wasiat itu didahulukan atas tiap-tiap wali.
MALIKI: anak didahulukan atas ayah, saudara lebih utama daripada kakek, dan
anak laki-laki lebih utama daripada suami walaupun ayah si anak sendiri.
HANAFI: suami tidak mempunyai kekuasaan apa pun, dan makruh
mendahulukan anak atas bapaknya.

SYARAT SHALAT JENAZAH


Di antara syarat-syarat sahnya shalat jenazah adalah suci dan menutup aurat.
Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.
Asy-Sya’bi dan Muhammad bin Jarir ath-Thabari berpendapat: dibolehkan shalat
jenazah tanpa bersuci.

POSISI MAYAT

Menurut pendapat SYAFI-I, Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan, dalam shalat
jenazah imam berdiri di sisi kepala jenazah laki-laki dan di sisi pinggang jenazah
perempuan.
MALIKI: jika jenazah itu laki-laki, imam berdiri di sisi dadanya. Sedangkan jika
jenazah perempuan, imam berdiridi samping pinggangnya.

JUMLAH TAKBIR
Takbir dalam shalat jenazah ada empat kali. Demikian menurut kesepakatan empat
imam madzab.

Diriwayatkan dariIbnu Sirin: Tiga kali takbir .


Diriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman: lima kali takbir.
Ibnu Mas’ud ra berpendapat: Rasulullah saw. pernah bertakbir dalam shalat jenazah
sembilan kali, pernah tujuh kali, permah lima kali, dan pernah juga empat kali. Oleh
karena itu, bertakbirlah sebanyak imam takbir.
Jika takbir itu lebih dari empat kali maka tidak membatalkan shalat jenazah. Jika
seseorang shalat di belakang imam, lalu imam menambah takbirnya lebih dari
empat kali, maka makmum tidak boleh mengikuti tambahan tersebut.
HANBALI membolehkan mengikutinya sampai tujuh kali takbir.

Menurut pendapat madzab SYAFI-I, dalam semua takbir itu disertai mengangkat
kedua tangan sejajar dengan kedua pundak.
HANAFI dan MALIKI mengatakan: tidak mengangkat kedua tangan kecuali dalam
takbir pertama.

SURAH DALAM SHALAT JENAZAH


Menurut pendapat Imam SYAFI-I dan HANBALI, membaca surah al-fatihah set
elah takbir pertama hukumnya adalah fardlu.
HANAFI dan MALIKI berpendapat: tidak ada suatu ayatpun dari al-Qur’an dalam
shalat jenazah.

Menurut pendapat tiga imam madzab, salam dalam shalat jenazah adalah dua kali.
HANBALI: sekali salam saja, yaitu ke sebelah kanan.

MASBUK DALAM SHALAT JENAZAH


Orang yang datang terlambat hingga ketinggalan sebagian shalat imam,hendaknya
ia langsung memulai shalat, tidak perlu menunggu takbir imam. Demikian menur
ut pendapat SYAFI-I.
HANAFI dan HANBALI: hendaknya ia menanti takbir imam agar dapat bertakbir
bersama-sama.
Dari MALIKI diperoleh dua riwayat.

Orang yang tidak sempat shalat jenazah sebelum jenazah dikuburkan, hendaknya ia
mengerjakan di atas kuburan. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.

Sampai kapan boleh menshalatkanya? Dalam masalah ini terjadi perbedaan


pendapat di kalangan ulama SYAFI-I. ada yang berpendapat satu bulan, demikian
pula pendapat HANBALI. Ada yang berpendapat selama jenazah belum busuk.
Ada yang berpendapat kapan saja. Pendapat yang paling shahih adalah bahwa shalat
jenazah dikerjakan di atas kubur bagi orang yang sudah masuk ke golongan yang
difardlukan shalat jenazah atasnya ketika si mayat tersebut meninggal.
HANAFI dan MALIKI: tidak boleh dikerjakan shalat jenazah di atas kuburnya
kecuali jika ia telah dimakamkan tetapi belum dishalatkan.

SHALAT JANAZAH
‫‪Rukun Sholat Janazah‬‬

‫‪1. Niat‬‬

‫‪Niat sholat hadir jika mayit laki-laki dan menjadi makmum‬‬

‫اصلﻲ على هذاالميﺖ اربﻊ تﻜيبرات ﻓرﺽ كفاﻳة مﺃموما لله تعالى‬

‫اصلﻲ على من صلى عليه اﻻمام ﻓرﺽ كفاﻳة مﺄموما لله تعالى‬

‫اصلﻲ على ما ﺣﻀرمن اموات المﺴلمين ﻓرﺽ ﻙﻓاﻳة مﺄموما لله تعالى‬

‫‪Niat sholat hadir jika mayitnya perempuan dan menjadi imam‬‬

‫اصلﻲ على هذه الميتة اربﻊ تﻜيرات ﻓرﺽ كفاﻳةاماما لله تعالى‬

‫اصلﻲ على من ﺣﻀرت من اموات المﺴلمات ﻓرﺽ كفاﻳة اماما لله تعالى‬

‫‪Niat sholat mayit hadir jika mayitnya laki-laki dan menjadi imam‬‬

‫اصلﻲ على هذا الميتة اربﻊ تﻜيرات ﻓرﺽ كفاﻳة اماما لله تعالى‬

‫اصلﻲ على من ﺣﻀر من اموات المﺴلمين ﻓرﺽكفاﻳة اماما لله تعالى‬

‫‪Niat sholat hadir mayitnya perempuan dan menjadi makmum.‬‬

‫اصلﻲ على هذه الميتة اربﻊ تﻜيبرات ﻓرﺽ كفاﻳةمﺄموما لله تعالى‬

‫اصلﻲ على من صلى عليﻬا اﻻمام ﻓرﺽ كفاﻳة مﺄموما لله تعالى‬

‫اصلﻲ على ما ﺣﻀرت من اموات المﺴلمات ﻓرﺽ‬

‫كفاﻳة مﺄموما لله تعالى‬

‫‪Niat sholat ghoib (tidak ada di hadapan kita) dan menjadi imam.‬‬

‫“‬

‫”‬

‫اصلﻲ‬

‫على من تﺼﺢ الﺼﻼﺓ عليه من اموات المسلمين اربﻊ تﻜبيرات ﻓرﺽ كفاﻳة اماما للهتعالى‬

‫ﻓرﺽ كفاﻳة اماما لله تعالى ‪ sebut namanya‬اصلﻲ على ﻓﻼن ابن ﻓﻼن ﻓﻼنة ابن قﻼن‬

‫اصلﻲ على من ﻏﺴل وكفن ﻓى هذا اليوم ﻓرﺽكفاﻳة امامالله تعالى‬


2. Takbir Empat Kali

Rukun yang kedua dari sholat jenazah adalah takbir sebanyak empat kali. Namuun
jika ada orang bertakbir lebih dari empat kali, maka sholatnya tidak batal, tetap sah
sebab hal itu bisa dikatakan dzikir yang tidak sampai membatalkan sholat.

Takbir pertama harus membaca surat al fatihah. Sunnat di baca dengan pelan-pelan
(as-sir/tidak nyaring) meski pelaksanaan sholat pada malam hari. Sunnat pula di
awali dengan ta`awwudz. Dan tidak sunnat diawali dengan do`a iftitah. Serta tidak
di sunnatkan pula ditambah dengan bacaan surat. Hal ini menurut pendapat yang
mu`tamad, sebab shalat jenazah merupakan sholat yang ringan (takhfif) kemudian
setelah seseorang itu selesai baca fatihah maka harus takbir yang kedua.

Pada takbir yang kedua membaca shalawat kepada Rasulullah. Bacaan sholawat
yang baik itu adalah seperti halnya shalawat yang dianjurkan oleh rasul yang
terkenal dengan nama shalawat ibrahimiyah yaitu:

‫اللﻬم صل على سيﺪنا محمﺪ وعلى آل مﺢمﺪ كما صليﺖ على ابراهيم وعلى ﺃل ابراهﻳم‬

‫ وبارﻙ على محمﺪ وعلى ﺃل محمﺪ كمابارﻙت على ابراهيم وعلى ﺃل ابراهيم ﻓى العالمين انﻚ ﺣميﺪ مﺠيﺪ‬.

Pada takbir yan harus berdo’a pada Allah untuk mayit. Doa yang biasa dibaca
adalah doa yang dibaca oleh Rasulullah:

‫اللﻬم اﻏفرله وارﺣمه وعاﻓه واعﻒ عنه وﺃﻙرم نﺰله ووسﻊ مﺪﺧله واﻏﺴله باالماﺀ والثلﺝ والبرﺩ‬

‫ونقه من الﺨﻄاﻳا كما نقيﺖ الثوباﻷ بيﺾ من الﺪنس وﺃبﺪله ﺩارا ﺧيرا من ﺃهله‬

‫ وﺯوجا ﺧيرا من ﺯوجه وﺃﺩﺧله الﺠنة وﺃعﺪه من عﺪاﺏ القبر ومن عﺪاﺏ النار‬.

.Jka yang meninggal anak-anak dan tidak sampai pada batas baligh, maka doa yang
dibaca adalah:

‫اللﻬم اجعله ﻓرﻃا ﻷبوﻳه وسلفا وﺩﺧرا وﻉﻇة واعتبارا وﺷفيعا وﺛقل به مواﺯنﻬما واﻓرﻍ الﺼبر على قلوبﻬما‬

‫وﻻ تفتنا بعﺪه وﻻتحرمﻬما اجره‬

Jika mayatnya perempuan maka tinggal merubah dhomir (hu) dirubah dengan (ha)
. setelah takbir yang ke tiga ini maka harus takbir yang nomor empat.allahu akbar.

Catatan:

Pada takbir yang ke empat ini musholli (orang yang sholat) sebelum mengucapkan
salam maka disunahkan berdo’a terlebih dahulu. Do’anya adalah;

‫ اللﻬم ﻻ تحرمنا اجره وﻻ تفتنا بعﺪه واﻏفرلنا وله‬.


Kemudian langsung salam mengikuti imamnya. Pertama dia menoleh ke kanan dan
mengucapkan:

‫الﺴﻼم عليﻜم ورﺣمة الله وبركاته‬

Dan kemudian menoleh ke dan mengucapkan kata yang sama.

‫ الﺴﻼم عليﻜم ورﺣمة الله وبركاته‬.

Al- Masbuq Dalam Sholat Jenazah

Apabila ada seseorang ketinggalan takbir dari pada imam maka ia mengkodo’nya
sesuai dengan jumlah takbir yang dia tinggalkan namun Abdullah ibnu Umar dan
Al-Auzai mensinyalir bahwa kita tidak usah mengkodo’ takbir yang
tertinggal,kemudian langsung salam bersama imam.

Janazah yang berhak di Sholati

Merupakan kesepakatan para fuqaha’ bahwa bagi janazah muslim baik laki-laki
maupun perempuan, tua ataupun muda, bahkan bayi sekalipun itu masih di sholati,
bahkan menurut ijma’ ulama’, bayi selama diketahui tanda-tanda kehidupannya
seperti suara bersin, erak dan lain sebagainya itu juga masih punya hak untuk
dishalati.

Siqith

Siqit adalah anak yang lahir dari perut ibunya sebelum waktunya, dalam hal ini
apabila siqit lahir sebelum umur empat bulan maka tidak wajib din shalati, hal ini
tidak terjadi hilaf antara jumhurul fuqaha’dan sebaliknya apabila sampai sampai
empat bulan atau lebih dan istihlal (ada suara bersin,bergerak) maka ia wajib di
sholati menurut ittifaq (kasepakatan)

Syahid

Syahid adalah seorang yang gugur dalam peperangan melawan orang kafir. Imam
Malik dan Asy-syafi’I berpendapat bahwa bagi syuhada’ yang seperti itu tidak
wajib di mandikan dan di sholati dan apabila luka dan masih ada tanda kehidupan
yang sempurna (hayatul mustaqirah) dan tidak lama kemudian dia meninggal maka
wajib di mandikan dan di sholati.

Meninggal karena Had (qisos atau rajam)

Berdasarkan hadist yang di riwayatkan Al-Bukhori dari jabir orang yang meninggal
karena Had seperti dalam hadist ini meninggal karena rajam maka wajib di
sholatkan karena dia sudah taubat dengan sempurna. Seperti halnya orang yang
menjalani hukum rajam karena berzina, hukum qisos karena membunuh, hukum
jilid karena menuduh orang lain telah melakukan perzinahan. Semuanya tetap wajib
disholati dan di mandikan.
Meninggal karena Membunuh

Menurut Al-Khottobi alasan Rasulullah tidak sholat atasnya adalah sebagai siksaan
baginya, agar dijadikan i’tibar bagi orang lain.

SHALAT GHAIB
Menurut pendapat SYAFI-I dan HANBALI: Shalat ghaib dibenarkan.
HANAFI dan MALIKI: tidak sah.

*Tidak dimakruhkan mengubur jenazah pada malam hari. Demikian kesepakatan


empat imam madzab.
Al-Hasan al-Bashri berpendapat: makruh.

Jika diketemukan sebagian anggota badan mayat maka hendaklah ia dimandikan


dan dishalatkan. Demikian menurut pendapat SYAFI-I dan HANBALI.
HANAFI dan MALIKI: jika ditemukan sebagian anggota badan yang lebih banyak,
maka dishalatkan. Sedangkan jika tidak, maka tidak dishalatkan.

ORANG YANG BUNUH DIRI/TERKENA HAD


Empat imam madzab sepakat bahwa orang yang bunuh diri boleh dishalatkan.
Namun mereka berbeda pendapat tentang apakah penguasa wajib menshalatinya?
HANAFI dan SYAFI-I: penguasa wajib menshalatkannya.
MALIKI: orang yang mati bunuh diri atau orang yang mati karena menjalankan
hukum had, maka kepala negara tidak wajib menshalatkannya.
HANBALI berpendapat: tidak boleh kepala negara menshalatkan jenazah
pembunuh dan yang bunuh diri.
Az-zuhri berpendapat: tidak dishalatkan orang yang mati dirajam atau karena qisas.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak suka menshalatkan jenazah orang yang mati bunuh
diri.
Al-Awza’i berpendapat: tidak dishalatkan jenazah orang yang mati bunuh diri.
Qatadah tidak menshalatkan jenazah anak hasil zina.
Al-Hasan tidak menshalatkan jenazah perempuan yang mati dalam keadaan nifas.

SYUBHAT ANTARA MUSLIM ATAU TIDAK


Kabur (Syubhat) Antara Muslim dan Non Muslim Kalau didapatkan mayat dan
tidak diketahui apakah ia muslim atau bukan, maka kalau ia berada di daerah
muslim ia tetap dihukumi seperti orang Islam. Bila tidak, maka bagi orang yang
melihatnya tidak wajib melakukan sesuatu baginya, karena ragu pada dasar taklif
itu (tuntutan syara’). Kalau mayat orang-orang Islam bercampur baur dengan non
Muslim dan tidak bisa dibedakannya; Maka,
HANBALI dan SYAFI-I: Hendaknya dishalat satu persatu dengan niat hanya akan
menshalat yang Islam saja.
HANAFI: Diambil mayoritas. Kalau kebanyakan yang meninggal itu orang-orang
Islam, hendaknya dishalati. Tapi bila tidak, maka tidak usah dishalatkan.

*Apabila orang yang mati syahid dalam keadaan junub maka ia tidak dimandikan
dan tidak dishalatkan. Demikian menurut pendapat MALIKI dan pendapat yang
paling shahih dalam madzab SYAFI-I.
HANAFI: dimandikan dan dishalatkan .
HANBALI: dimandikan tapi tidak dishalatkan.

* Orang yang mati terbunuh dalam memerangi pembangkang bukanlah syahid.


Oleh karena itu ia dimandikan dan dishalatkan. Demikian menurut MALIKI dan
pendapat yang paling kuat dari SYAFI-I.
HANAFI: tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan.
Dari HANBALI diperoleh dua riwayat.

* Menurut pendapat tiga imam madzab, anggota pembangkang yang mati dalam
suatu pertempuran, dimandikan dan dishalatkan.
HANAFI: tidak dimandikan dan tidak dishalatkan.

* Orang yang mati karena teraniaya dan bukan dalam peperangan dimandikan dan
dishalatkan. Demikian menurut pendapat MALIKI, SYAFI-I dan HANBALI.
HANAFI: jika ia terbunuh dengan besi (senjata tajam) maka ia dimandikan.
Sedang jika terbunuh karena suatu yang berat, maka ia dimandikan dan dishalatkan.

*SYAFI-I dan HANBALI: Boleh menshalati mayat yang berada di atas kendaraan
atau dipangku oleh orang lelaki atau dipikul mereka.

* Tiga imam madzab sepakat tentang tidak boleh menyisir rambut mayat. Tetapi
SYAFI-I membolehkan dan mengatakan: boleh menyisirnya secara perlahan.

Empat imam madzab sepakat bahwa apabila orang mati dalam keadaan belum
dikhitan, maka ia tidak boleh dikhitan, tetapi dibiarkan saja seperti keadaannya.

Apakah boleh memotong kuku mayat dan memotong rambutnya jika panjang?
SYAFI-I dalam al-Imla dan HANBALI: boleh.
HANAFI, MALIKI, dan SYAFI-I dalam qaul qadim: tidak boleh.
Bahkan MALIKI sangat keras dalam hal ini sehingga ia mewajibkan ta’zir terhadap
orang yang melakukannya.

HAMLUL MAYIT

1. Pemikul harus berada di bagian depan keranda dan kepalanya berada di antara
dua kayu yang di letakkan di kedua bahunya. Cara ini jika yang memikul hanya dua
orang. Di depan dan di belakang.

2. Jika yang memikul empat orang, maka dua orang ada di bagian depan dan dua
orang yang lain ada di bagian belakang, masing-masing memegang ujung keranda.

3. Di pikul dengan cara mengelilingi keranda sebagaimana hadits yang di


riwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi, Abu Daud dari Ibnu Mas’ud beliau berkata:

‫من تبﻊ الﺠناﺯﺓ ﻓليحمل بﺠوانﺐ الﺴرﻳركلها ﻓانه من الﺴنة ﺛم ان ﺷاﺀ ﻓليﺖﻃوﻉ وان‬

‫ﺷاﺀ ﻓليﺪﻉ‬
4. Dalam hal orang yang memikul haruslah orang laki-laki,tidak boleh perempuan.
sebab perampuan berpotensi mendatangkan fitnah.

Anjuran-anjura dalam memikul

1. Dianjurkan mempercepat jalan yang tidak sampai pada batas lari.

2. Di anjurkan janazah di iringi dengan dzikir ,baca qur’an dan baca sholawat

3. Pengantar dianjurkan berada di depan jenazah.

4. Pengantar dianjurkan berjalan kaki kecuali dalam keadaan dlorurot, maka yang
berkendaraan dianjurkan berada di belakng jenazah.

5. Pengantar dianjurkan menunggu sampai upacara penguburan selesai.

6. Pengantar dianjurkan dekat dengan jenazah.

7. Pengantar dianjurkan berdiri kecuali bagi yang mendahului jenazah maka boleh
berdir atau tidak.

8. Membuat suasana tenang/tidak ramai sambil berpikir tentang kematian dan


sesudahnya.

9. Jenazah hendaknya dalam posisi siap dimasukkan kedalam kubur yakni


kepalanya berada di sebelah utara. Hal ini di maksudkan agar gampang cara
memasukkannya.

Larangan-Larangan dalam Memikul

1. Menyaringkan suara dengan dzikir, baca al-qur’an, shalawat dan sebagainya,

2. Menyertai dengan api, obor,dan sebagainya keuali dibutuhkan seperti pada


malam hari.

3. Diikuti perempuan yang mendatngkan fitnah.

4. Duduk sbelum jenazah diturunkan.

5. Berdesak-desak dalam mengiringi jenazah.

MENGGOTONG MAYAT KE MAKAM


Empat imam madzab sepakat bahwa membawa jenazah dengan baik adalah suatu
kemuliaan mengusungnya di antara dua kayu adalah lebih utama daripada di atas
empat kayu. Demikian menurut pendapat yang paling kuat dalam madzab SYAFI-
I.
An-Nakha’i memakruhkan membawa jenazah di antara dua kayu.
HANAFI dan MALIKI mengatakan: dengan empat kayu adalah lebih utama.
Berjalan di hadapan jenazah adalah lebih utama daripada berjalan di belakangnya.

Demikian menurut pendapat MALIKI, SYAFI-I dan HANBALI.


HANAFI: berjalan di belakangnya adalah lebih utama.
Ats-Tsauri mengatakan: orang yang berkendaraan berjalan di belakang jenazah.
Sedang yang berjalan kaki boleh berjalan dimana ia suka. Pendapat ats-Tsauri ini
berdasarkan sebuah hadits.

MENGGALI MAKAM
Tidak dibolehkan menggali kubur untuk menguburkan jenazah lain kecuali jika
sudah lama, yang menurut adat adalah rusak dan hancur jasadnya. Jika demikian
maka boleh menggalinya. Demikian menurut kesepakatan empat imam madzab.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan: apabila mayat tersebut sudah lama dikubur,
setahun misalnya, maka boleh dikuburkan mayat dalam kuburannya.

*Empat imam madzab sepakat bahwa mengubur jenazah dalam peti tidak disukai.

Kepala orang mati diletakkan di kaki kuburan, lalu ia diturunkan secara perlahan-
lahan ke dalam kubur dari arah kaki kuburan. Demikian menurut pendapat tiga
imam madzab.
HANAFI: jenazah diletakkan di sisi kubur sebelah barat (menghadap kiblat),
kemudian diturunkan ke kuburan dengan posisi melintang.

MATI DI LAUT
Orang yang mati di laut jauh dari tepi pantai, hendaknya diikatkan pada dua bilah
papan, lalu dilemparkan ke laut, jika yang mendiami tepi pantai itu adalah orang-
orang Islam. Sedangkan jika yang mendiami adalah orang kafir, maka jenazah
diikatkan pada benda yang berat, lalu dilempar ke laut agar tenggelam. Demikian
pendapat tiga imam madzab.
HANBALI: hendaknya diikat pada benda yang berat dan dilemparkan ke laut
apabila tidak mungkin dikuburkan.

MENGUBUR MAYIT

Cara menurunkan mayit

1. Diletakkan diujung kubur (disebelah utara kalau di hulukan ke utara) agar


gampang memasukkan tapi kalau hal itu tidak memungkinkan maka di masukkan
dari arah manapun tetap di benarkan, lalu mayit dikeluarkan dengan hati-hati dan
diserahkan kepada orang yang ada di dalam kubur sambil membaca:

‫بﺴم الله وعلى ملة رسول الله‬

2. Diletakkan dengan posisi miring menghadap ke qiblat dan di belakangnya diberi


lubelluhagar simayit tetap menghadap qiblat dalam artian tidak guling ke timur.

3. Dianjurkan pipi mayit disentuhkan ke bumi atau ke lubelluh (madura.peny),


yakni gumpalan-gumpalan tanah yang dipersiapkan atas mayit, hal ini tentunya
setelah kain kafan di pipinya dibuka. Dengan demikian mayit akan nampak
kehinaannya dihadapan Allah. Maka dari itu makruh hukumnya memakai alas,
bantal, peti dan sebagainya bila tidak dibutuhkan, lain halnya bila di butuhkan
seperti tanahnya berair dan sebagainya maka tidak dimakruhkan.

4. Setelah itu mayit di tutup dengan batu bata atau semacamnya sebagai atap bagi
mayit. Namun alngkah baiknya terlebih dahulu dikumandangkan adzan dan
iqomah, baru setelah itu ditimbun dengan tanah sebagai langkah terakhir dalam
menguburkan mayit.

5. Dianjurkan kubur itu hendaknya jangan ditambah dengan tanah selain tanah yang
digali.

Catatan:

Sebelum mayit dikubur, orang-orang yang hadir dianjurkan untuk mengambil


tanah, kemudian tanah tersebut dibacakan.

Pertama: dibacakan: ‫منﻬا ﺧلقناكم‬

Kedua: dibacakan : ‫وﻓيﻬا نعيﺪكم‬

Ketiga: dibacakan : ‫ومنﻬا نﺨرجﻜم تارﺓ ﺃﺧرى‬

Kemudian disertakan kedalam kubur.

Setelah itu mengambil tanah lagi dibacakan surat al-qodr tujuh kali

Tentang Mengubur Mayat dan Bentuk Kubur

Sebenarnya mengubur mayit bukanlah praktek baru yang hanya dilaksanakan


ummat Muhammad, melainkan praktek ini salah satu praktek kuno yang tetap
dipelihara dan tetap dibenarkan pleh syari’at, bahkan praktek ini merupakan praktek
terkuno yang bermula dari kematian seorang anak manusia, yaitu Habil yang
dibunuh oleh Qobil saudaranya sendiri yang sempat mengalami kebingungan cara
menguburnya/menanaminya. Lalu Allah menurunkan ilhamnya melalui seekor
gagak yang menggali-gali tanah dengan paruh dan cakarnya untuk menguburkan
saudaranya yang sudah menjadi mayit, lalu dia menimbunnya sampai menutupinya.

Dengan itulah qobil mengambil ibroh yang nantinya akan menjadi pegangan ummat
manusia di seluruh dunia Allah berfirman dalam surat Al-Maidah.

Artinya: Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi


untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan
mayat saudaranya. Berkata Qabil: “Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu
berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku
ini?” karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal. (QS. al-
Maai’dah:31)
Menguburkan mayit bertujuan untuk menjaga kehormatan mayit dan juga menjaga
agar orang yang masih hidup tidak terganggu olehnya. Dan tentunya karena adanya
alasan agama.

Bentuk kubur ada dua macam:

1. Kuburan yang disebut dengan lahd (landek, madura). Cara membuat lubang ini
adalah lubang yang dasarnya agak diperlebar seperti ukuran mayit.

2. Bentuk syaqqu (jemporean madura,). Lubang ini seperti halnya parit kemudian
dikedua sisinya dibangun dan diberi batu-bata, kemudian mayit diletakkan antara
sisi batu-bata tersebut.

Catatan:

Bagi orang yang menggali kuburan hendaknya dia melebarkan galiannya sekiranya
nanti akan memudahkan orang yang akan meletakkan mayit dan ukuran dalamnya
kuburan yang digali sekitar 216 Cm.

Bentuk Kubur

Kubur itu supaya ditinggikan kira-kira satu jengkal, agar kubur dapat dikenal,
diziarahi dan dimulyakan. Ibnu hibban menceritakan bahwa kubur rasul juga
demikian. Sekarang apakah diperbolehkan melapisi kubur dengan tanah liat? Imam
Haramain dan Imam Ghazali mengatakan tidak boleh. Yang demikian itu tidak
disebutkan oleh kebanyakan ulama` madzhab syafi`I, bahwa beliau mengatakan
tidak mengapa melapisi kubur dengan tanah liat.

Adapun membangun, mengecet dan menulisi kuburan hukumnya makruh, hal ini
apabila milik sendiri, maka seandainya ada orang yang mendirikan bangunan di atas
kubur berupa kubah, bumbung atau pagar keliling hukumnya ditafsil. Jika ditanah
pekuburan untuk umum (yang diwaqafkan) maka boleh dirobohkan. Sebab
mendirikan bangunan pada tanah tersebut hukumnya haram.

Sedangkan menulis nama atau nasab dikubur dengan tujuan agar dikenal, diziarahi
dan dimuliakan maka hukumnya boleh. Dengan catatan sekedar kebutuhan. Apalagi
makam-makam para nabi, ulama` dan orang sholeh. Karena tanpa adanya pengenal
tidak akan diketahui ketika mengalami pergeseran waktu yang pada akhirnya tidak
diketahui pula bahwa makam itu adalah makam orang sholeh yang seyogyanya
diziarahi karena adanya anjuran.

Catatan:

Seperti telah dijelaskan diatas bahwa membangun kubur diatas tanah yang
diwaqafkan hukumnya haran tanpaq adanya pengecualian, tapi ada sebagian ulama`
yang berpendapat bahwa membangun kubur diatas tanah yang diwaqafkan
hukmnya boleh bagi para nabi, syuhada` dan orang-orang sholeh, sekalipun
berbentuk qubah. Tujuannya untuk menghidupkan peziarah yang memang
dianjurkan.

MERATAKAN KUBURAN
Menurut sunnah, kuburan diratakan, dan inilah yang lebih utama menurut pendapat
madzab SYAFI-I yang paling kuat.
HANAFI, MALIKI, dan HANBALI: yang lebih utama ditinggikan tanah di atas
kubur, karena meratakannya itu telah menjadi syi’ar orang Syi’ah.

*Menurut pendapat tiga imam madzab, tidak dimakruhkan memasuki pekuburan


dengan mengenakan sandal.
HANBALI: makruh.

TA'ZIYAH
Empat imam madzab sepakat bahwa ta'ziyah (melayat) hukumnya adalah sunnah.
Tetapi di antara mereka terjadi perbedaan pendapat tentang waktunya.
HANAFI: ta'ziyah hanya disunnahkan sebelum jenazah dikuburkan, tidak berlaku
sesudahnya.
SYAFI-I dan HANBALI: ta'ziyah disunnahkan sebelum jenazah dimakamkan dan
tiga hari sesudahnya.
Ats-Tsauri berpendapat: tidak ada takziyah setelah jenazah dimakamkan.

Duduk-duduk untuk menunggu orang yang menyampaikan ta'ziyah adalah makruh.


Demikian menurut pendapat maliki, SYAFI-I dan HANBALI.

Mengumumkan kematian seseorang dibolehkan. Demikian menurut pendapat


HANAFI dan SYAFI-I.
MALIKI: hal demikian disunnahkan agar kaum Muslimin dapat mengetahuinya.
HANBALI: hal demikian adalah makruh.

BANGUNAN MAKAM
Empat imam madzab sepakat tentang kemustahaban memberi tanda dengan bata
atau bambu di atas kuburan. Tetapi hal itu makruh jika berupa tembok dan kayu.

Menurut tiga imam madzab tidak boleh membangun bangunan di atas kuburan,
tidak boleh dikapur. Tetapi HANAFI membolehkannya.

Empat imam sepakat tentang disunnahkannya membuat lahad di dalam kuburan.


Adapun membuat lubang ke bawah sehingga menyerupai keranda berlawanan
dengan sunnah..
Sifat lahad dibuat lubang di sebelah kiblat supaya mayat berada di bawah kiblat
kuburan sesudah didirikan atau diletakkan batu bata. Adapun sifat yang kedua,
membuat lubang di tengah-tengah, kiri dan kanan kuburan ditembok dengan bata
dan pertengahan kubur dijadikan sebagai keranda.

PAHALA UNTUK MAYAT


Empat imam madzab sepakat bahwa memohon ampun, mendoakan, bersedekah,
berhaji, dan memerdekakan budak dapat membawa manfaat bagi mayat serta akan
sampai pahala kepadanya.

Membaca Al-Qur’an di sisi kubur adalah mustahab. Tetapi HANAFI memakruhkan


membaca al-Qur’an di sisi kubur.

Menurut madzab Ahlus sunnah, siapapun dapat menjadikan pahala amalnya untuk
orang lain berdasarkan hadits dari al-Khats’amiyah.
Ibn ash-Shalah, seorang ulama madzab SYAFI-I mengatakan: tentang
menghadiahkan bacaan al-Qur’an terdapat perbedaan pendapat di antara ahli fiqih.
Kebanyakan dari mereka membolehkan. Sebaiknya jika menghendaki yang
demikian, hendaknya mengucapkan:

‫اللﻬم ﺃوصل ﺛواﺏ ما قراته لفﻼن‬.....

“Allaahumma aushil tsawaaba maa qara’tuhu li fulan….” (Ya Allah, sampaikanlah


pahala apa yang telah aku bacakan kepada si…)

Oleh karena itu, biasakanlah doa tersebut. Tidak ada perbedaan tentang manfaat
doa dan sampainya doa tersebut kepada mayat. Orang yang suka berbuat kebaikan
telah mendapatkan berkah dalam menyampaikan bacaan al-Qur’an dan doa-doa
kepada orang-orang yang meninggal.

Al-Muhib ath-Thabari, salah seorang ulama besar SYAFI-I kemudian, mengatakan:


adapun membaca al-Qur’an di sisi kuburan, seperti (sebagaimana) dijelaskan dalam
kitab al-Bahr adalah mustahab dan dalam al-Hawi telah ditetapkan sampainya
bacaan al-Qur’an kepada mayat serta keadaannya sebagaimana doa. Karena, para
ulama telah membolehkan menancapkan bata pada kuburannya. An-Nawawi
memilih pendapat ini dalam kitabnya ar-Raudhah.

Madzab HANBALI menetapkan sampainya pahala bacaan al-Qur’an kepada mayat


serta dapat menghasilkan kemanfaatan.

Talqin

Sebenarnya Talqin sudah menjadi perdebatan dikalangan ulama`, sebagian mereka


mengatakan bahwa talqin itu tidak dianjurkan bahkan Imam Malik sendiri
memakruhkannya. sedangkan Imam Syafi`i dan Imam Abu Hanifah menganjurkan.
Karena talqin pada dasarnya adalah tadzkir (mengingatkan tentang tauhid).
Sedangkan tadzkir secara umum mempunyai peranan penting dalam segala hal:

” ‫“ ﻓذكر ﻓﺈن الذكر تنفﻊ المﺆمنين‬

Apalagi bagi orang kritis yang dihadapkan pada suatu pilihan yang menetukan
untung rugi seseorang, maka mengingatkan pada kematian dengan cara talqin
sangatlah dianjurkan.

Talqin sendiri dapat dibagi menjdi dua:


1. ( ‫ ) تلقين محتﻀر‬menalqin orang yang sedang sakaratul maut.

2. ( ‫ ) تلقين بعﺪ الﺪﻓن‬menalqin setelah di kubur.

Yang kedua inilah yang dimaksudkan pada pembahasan talqin. Talqin yang kedua
tidak ada kesepakatan di antara empat madzhab. Sedangkan talqin bentuk pertama
semua ulama` mufakat tetang di sunnahkannya karena adanya hadits nabi SAW:

‫ ” من كان ﺃﺧر كﻼمه ﻻاله اﻻ الله‬: ‫ مﻊ ﺧبر الﺼحيﺢ‬, ) ‫لقنو موتاكم ﻻ اله اﻻ الله ( اى من ﺣﻀره الميﺖ‬
‫“ ﺩﺧل الﺞنة‬

Agar kalimat tauhid menjadi ucapan terakhir baginya yang akhirnya bisa
memasukkan kedalam surga.

Menalqin orang sakarat maut hendaklah:

Langsung dengan lafadz “ ‫ ” ﻻ اله اﻻ الله‬kecuali orang kafir, maka bagi mereka harus
dengan lafadz penyaksian seperti “ ‫ ” ﺃﺷﻬﺪ‬dan sebaginya, karena tidak dianggap syah
islamnya tanpa adanya lafadz itu, selain itu harus di barengi dengan lafadz “ ‫محمﺪ‬
‫” رسول الله‬. Jadi menalqin orang kafir harus dengan lafadz:

‫ﺃﺷﻬﺪ ان ﻻ اله اﻻ الله و ﺃﺷﻬﺪ ان محمﺪرسول الله‬

• Jangan sekali kali menalqin dengan lafadz yang tidak ada hubungannya dengan
tauhid seperti lafadz “ ‫( ” قل‬katakanlah) dan sebagainya.
• Hendaklah jangan sampai salah menalqin
• Apabila sudah mengikuti apa yang ditalqin, sebaiknya jangan ditalqin dulu selama
tidak bicara dengan kata-kata yang lain, kecuali apabila ia hendak berbicara dengan
kata-kata selain penyaksian tersebut. Waktu itulah baru ia ditalqin lagi agar kalimat
tauhid menjadi kata terakhir baginya.
Menalqin mayit setelah dikubur hendaklah:
• Penalqin hendaklah duduk menghadap kearah kepala mayit
• Hadirin hendaknya berdiri ketika talqin dibacakan.
• Penalqin hendaknya memanggil dengan nama ibunya atau ibu hawa (kalau ibunya
tidak diketahui) seperti “ ‫ ﻳا عبﺪ الله ابن ﻓاﻃمة‬atau ‫ﻳا عبﺪ الله ابن ﺣواﺀ‬
• Lafadz talqin apabila perempuan maka dhomirnya dirubah muaanats begitu juga
sebalkinya seperti: ‫ ﺃذكر‬menjadi “ menjadi “ ‫( ” ﺃذكرﻱ‬inagtlah).
• Talqin hendaknya diulang tiga kali.
• Mayit hendaknya dimintai penyaksian baik kepada para hadirin seperti kata orang
yang menalqin kepada para hadirin. “sekarang saya minta kesaksian kepada para
hadirin bahwa mayit ini baik maka insyaallah ia akan baik. Apakah hadirin
menyaksikan mayit ini baik.

Diringkas Dari Buku Tajhizul Mayit (M2KD Mambaul Ulum Bata-Bata)


BAB III

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Waris

Warisan merupakan segala sesuatu peninggalan (bisa asset dan bisa utang) yang
ditinggalkan oleh pewaris (orang yang meninggal) dan diwasiatkann kepada Ahli
waris. Wujud warisan tersebut dapat berupa harta (harta yang bergerak dan harta
tidak bergerak) dan termasuk juga diwarisi utang (kewajiban). Harta yang bergerak
seperti kendaraan, logam mulia, sertifikat deposito dan lain sebagainya. Harta tidak
bergerak seperti rumah dan tanah. Utang seperti utang kepada pihak ke bank,
saudara dan lain sebagainya.
A. Pengertian Waris Menurut Para Ahli
a. Menurut Iman Sudiyat
Hukum waris adat meliputi aturan aturan-aturan dan keputusan-keputusan
hukum yang bertalian dengan proses penerus/pengoperan dan
peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke
generasi.
b. Menurut Prof Ali Afandi SH
Hukum waris ialah hukum yang mengatur tentang kekayaan yang ditinggalkan
seseorang yang meninggal dunia serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
c. Menurut H. Abdullah Syah, 1994
Hukum waris menurut istilah bahasa ialah takdir “qadar/ketentuan dan pada
sya’ra ialah bagian-bagian yang diqadarkan/ditentukan bagi waris.

B. Waris Menurut Etimologi


Warisan berasal dari bahasa Arab Al-miirats, dalam bahasa arab adalah bentuk
masdar (infinititif) dari kata waritsa- yaritsu- irtsan- miiraatsan. Maknanya
menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’.
Atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

1.2 Landasan Hukum Waris


Sumber hukum waris islam yang utama adalah Al Quran, lalu Hadist, kemudian
ijma’ para ulama dan sebagian kecil hasil ijtihad para mujtahid. Dan berikut
dibawah ini adalah penjelasan atau bahasan lengkap mengenai dasar hukum waris
islam.
A. Al-Quran surah an-nisa ayat 7

‫َﺼيﺐ ِل ِلر َجا ِل‬ ِ َ‫ﺴا ٓ ِء َو ۡٱﻷ َ ۡق َربُونَ ۡٱل َوٲ ِلﺪ‬
ِ ‫ان ت ََرﻙَ ِم َّما ن‬ َ ‫َﺼيﺐ َو ِل ِلن‬ ِ َ‫َكث ُ َر ﺃ َ ۡو ِم ۡنهُ قَ َّل ِم َّما َو ۡٱﻷ َ ۡق َربُونَ ۡٱل َوٲ ِلﺪ‬
ِ ‫ان ت ََرﻙَ ِم َّما ن‬
ۚ ‫َﺼيبا‬ ِ ‫( َّم ۡف ُروﺿا ن‬٧)

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi wanita ada hak bagian [pula] dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.

B. Al-Quran surah an-nisa ayat 11-12

‫ُوصي ُﻜ ُم‬
ِ ‫ٱّللُ ﻳ‬ َّ ‫ﺴآء ُك َّن ﻓَﺈِن ۚ ۡٱﻷُنثَيَ ۡي ِن َﺣ ِظ ِم ۡث ُل ِللذَّك َِر ۚﺃَ ۡولَ ٰـ ِﺪڪ ُۡم ﻓِ ٓى‬ َ ِ‫كَان َۡﺖ َوإِن ۚت ََرﻙَ َما ﺛُلُثَا ﻓَلَ ُﻬ َّن ۡٱﺛنَت َۡي ِن ﻓَ ۡوقَ ن‬
‫ٲﺣﺪَﺓ‬ ِ ‫ﻒ ﻓَلَ َﻬا َو‬ ُ ۡ‫ٲﺣ ٍﺪ ِل ُﻜ ِل َو ِﻷَبَ َو ۡﻳ ِه ۚٱلنِﺼ‬ ِ ‫ُس ِم ۡن ُہ َما َو‬
ُ ‫ﺴﺪ‬ ُّ ‫ۥۤ َو َو ِرﺛَهُ َولَﺪ ۥ لَّهُ ﻳَ ُﻜن لَّ ۡم ﻓَﺈِن ۚ َولَﺪ ۥ لَهُ َكانَ إِن ت ََرﻙَ ِم َّما ٱل‬
ُ‫ﺚ ﻓَ ِِل ُ ِم ِه ﺃَبَ َواه‬ُ ُ‫ُس ﻓَ ِِل ُ ِم ِه إِ ۡﺧ َوﺓ ۥۤ لَهُ َكانَ ﻓَﺈِن ۚٱلثُّل‬ُ ‫ﺴﺪ‬ُّ ‫صيَّ ٍة َبعۡ ِﺪ ِمن ۚٱل‬ ِ ‫ُوصى َو‬ ِ ‫َﻻ َوﺃ َ ۡبنَا ٓ ُؤ ُك ۡم َءابَآؤُ ُك ۡم ۚﺩَ ۡﻳ ٍن ﺃ َ ۡو بِ َہا ٓ ﻳ‬
َ‫ﻀة ۚن َۡفعا لَ ُﻜ ۡم ﺃَ ۡق َرﺏُ ﺃَﻳُّ ُﻬ ۡم ت َۡﺪ ُرون‬
َ ‫ٱّللِ ِمنَ ﻓَ ِرﻳ‬ َّ ۚ ‫ٱّللَ إِ َّن‬
َّ َ‫( َﺣ ِﻜيما َع ِليما َكان‬١١) ۞

‫ﻒ َولَڪ ُۡم‬ ُ ۡ‫ڪ ُم َو َلﺪ لَ ُﻬ َّن ڪَانَ َﻓﺈِن ۚ َولَﺪ َّل ُﻬ َّن ﻳَ ُﻜن َّل ۡم ِإن ﺃ َ ۡﺯ َوٲ ُجڪ ُۡم ت ََرﻙَ َما نِﺼ‬ ُ َ‫ٱلربُ ُﻊ ﻓَل‬
ُّ ‫ڪنَ ِم َّما‬ ۡ ‫بَعۡ ِﺪ ِمن ۚت ََر‬
‫صيَّ ٍة‬ ِ ‫ُوصينَ َو‬ َ ۡ َّ َّ
ُّ ‫ِم َّما ٱلث ُّ ُمنُ ﻓَلَ ُﻬ َّن َولَﺪ لَڪ ُۡم ڪَانَ ﻓَﺈِن ۚ َولَﺪ ل ُﻜ ۡم ﻳَڪُن ل ۡم ِإن ت ََركت ُ ۡم ِم َّما‬
ِ ‫ٱلربُ ُﻊ َولَ ُﻬ َّن ۚﺩَ ۡﻳ ٍن ﺃ ۡو ِب َﻬا ٓ ﻳ‬
‫ڪتُم‬ ۡ ‫صيَّ ٍة بَعۡ ِﺪ ِمن ۚت ََر‬ ِ ‫صونَ َو‬ ُ ‫ث َر ُجل َكانَ َو ِإن ۚﺩَ ۡﻳ ٍن ﺃ َ ۡو ِب َﻬا ٓ تُو‬ ُ ‫ُور‬ َ ‫ﻓَ ِل ُﻜ ِل ﺃ ُ ۡﺧﺖ ﺃ َ ۡو ﺃَخ ۥۤ َولَهُ ۡٱم َرﺃَﺓ ﺃ َ ِو‬
َ ‫ڪلَ ٰـلَة ﻳ‬
‫ٲﺣ ٍﺪ‬ ِ ‫ُس ِم ۡن ُﻬ َما َو‬
ُ ‫ﺴﺪ‬ ُّ ‫ڪانُ ٓواْ ﻓَﺈِن ۚٱل‬ َ ‫ڪثَ َر‬ ۡ َ ‫ڪا ٓ ُء ﻓَ ُﻬ ۡم ذَٲلِﻚَ ِمن ﺃ‬ ُ ‫ﺚ ﻓِى‬
َ ‫ﺷ َر‬ ِ ُ‫صيَّ ٍة بَعۡ ِﺪ ِمن ۚٱلثُّل‬
ِ ‫ص ٰى َو‬ َ ‫ﺩَ ۡﻳ ٍن ﺃ َ ۡو بِ َہا ٓ ﻳُو‬
‫ﻀا ٓ ٍر ﻏ َۡي َر‬
َ ‫صيَّة ۚ ُم‬ ِ ‫ٱّللِ ِمنَ َو‬ َّ ۚ ُ‫ٱّلل‬
َّ ‫( َﺣ ِليم َع ِليم َو‬١٢)

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.


Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya saja, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
Pembagian-pembagian tersebut di atas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
dan sesudah dibayar hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat [banyak] manfa’atnya
bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.(11) Dan bagimu suami-suami seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan sesudah
dibayar hutangnya.(12)
1.2.1 Hukum Waris
Dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang Hukum waris bagi umat islam

A. Pada ayat ke-7 dalam surat an-Nisaa’ Allah Ta’ala menyebutkan tentang hak
bagian harta warisan dari orang tua dan karib kerabat bagi laki-laki dan
perempuan.

‫َﺼيﺐ ِل ِلر َجا ِل‬ ِ َ‫اء َو ْاﻷ َ ْق َربُونَ ْال َوا ِلﺪ‬
ِ ‫ان ت ََرﻙَ ِم َّما ن‬ ِ ‫ﺴ‬َ ِ‫َﺼيﺐ َو ِللن‬ ِ َ‫ﺃ َ ْو ِم ْنهُ قَ َّل ِم َّما َو ْاﻷ َ ْق َربُونَ ْال َوا ِلﺪ‬
ِ ‫ان ت ََرﻙَ ِم َّما ن‬
‫َﺼيبا ۚ َكث ُ َر‬ ِ ‫َّم ْف ُروﺿا ن‬

Artinya, “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua
dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.” (QS. An-Nisaa : 7)

B. Pada ayat ke-11 Allah Ta’ala bercerita tentang bagian yang di dapat dari harta
warisan oleh Ushul (kerabat atas si mayit, seperti, ayah, ibu, kakek dst ke atas)
dan Furu’ (kerabat bawah si mayit, seperti, anak dan cucu dst ke bawah).

‫ُوصي ُﻜ ُم‬ َّ ‫ﺴاء ُك َّن ﻓَﺈِن ۚ ْاﻷُنثَ َيي ِْن َﺣ ِظ ِمثْ ُل ِللذَّك َِر ۚ ﺃَ ْو َﻻ ِﺩ ُك ْم ﻓِﻲ‬
ِ ‫ّللاُ ﻳ‬ َ ِ‫َو ِإن ۚ ت ََرﻙَ َما ﺛُلُثَا ﻓَلَ ُﻬ َّن اﺛْنَتَي ِْن ﻓَ ْوقَ ن‬
‫َﺖ‬ْ ‫اﺣﺪَﺓ كَان‬ ِ ‫ﻒ ﻓَلَ َﻬا َو‬
ُ ‫ﺼ‬ ْ ِ‫اﺣ ٍﺪ ِل ُﻜ ِل َو ِﻷ َ َب َو ْﻳ ِه ۚ الن‬
ِ ‫ُس ِم ْن ُﻬ َما َو‬ ُ ‫ﺴﺪ‬ ُّ ‫َولَﺪ لَّهُ َﻳ ُﻜن لَّ ْم ﻓَﺈِن ۚ َولَﺪ لَهُ َكانَ ِإن ت ََرﻙَ ِم َّما ال‬
ُ
ُ‫ﺚ ﻓَ ِِل ِم ِه ﺃَبَ َواهُ َو َو ِرﺛَه‬ ُ
ُ ُ‫ُس ﻓَ ِِل ِم ِه ِإ ْﺧ َوﺓ لَهُ َكانَ ﻓَﺈِن ۚ الثُّل‬ ُ ‫ﺴﺪ‬ ُّ ‫صيَّ ٍة بَ ْع ِﺪ ِمن ۚ ال‬ ِ ‫ُوصﻲ َو‬ ِ ‫آبَا ُؤ ُك ْم ۚ ﺩَﻳ ٍْن ﺃ َ ْو ِب َﻬا ﻳ‬
‫ﻀة ۚ نَ ْفعا لَ ُﻜ ْم ﺃَ ْق َرﺏُ ﺃَﻳُّ ُﻬ ْم تَﺪ ُْرونَ َﻻ َوﺃ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم‬ َ ‫ّللاِ ِمنَ ﻓَ ِرﻳ‬ َّ ۚ ‫ّللاَ ِإ َّن‬
َّ َ‫َﺣ ِﻜيما َع ِليما َكان‬

Artinya, “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian


warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang
jumlahnya fauqotsnataini (maksudnya dua keatas), maka bagian mereka 2/3 dari
harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia
memperoleh 1/2 (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian
masing-masing 1/6 dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua ibu bapaknya (saja), maka ibunya mendapat 1/3. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat 1/6. (pembagian-
pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan
setelah dibayar) hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di Antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (QS.
An-Nisaa : 11)
C. Selanjutnya Firman Allah Ta’ala pada surat an-Nisaa ayat ke-12, pada ayat ini
Allah Ta’ala menyebutkan tentang bagian harta warisan yang di dapatkan oleh
suami istri dan sudara/I seibu.

‫ﻒ َولَ ُﻜ ْم‬ ْ ِ‫الربُ ُﻊ ﻓَلَ ُﻜ ُم َولَﺪ َل ُﻬ َّن َكانَ ﻓَﺈِن ۚ َولَﺪ لَّ ُﻬ َّن ﻳَ ُﻜن لَّ ْم إِن ﺃ َ ْﺯ َوا ُج ُﻜ ْم ت ََرﻙَ َما ن‬
ُ ‫ﺼ‬ ُّ ‫بَ ْع ِﺪ ِمن ۚ ت ََر ْكنَ ِم َّما‬
‫صيَّ ٍة‬ِ ‫ُوصينَ َو‬ َ َ
ِ ‫الربُ ُﻊ َول ُﻬ َّن ۚ ﺩَﻳ ٍْن ﺃ ْو بِ َﻬا ﻳ‬ َّ َّ
ُّ ‫ِم َّما الث ُّ ُمنُ ﻓَلَ ُﻬ َّن َولَﺪ لَ ُﻜ ْم َكانَ ﻓَﺈِن ۚ َولﺪ ل ُﻜ ْم ﻳَ ُﻜن ل ْم إِن ت ََر ْكت ُ ْم ِم َّما‬
َ
‫صيَّ ٍة َب ْع ِﺪ ِمن ۚ ت ََر ْكتُم‬ ِ ‫صونَ َو‬ ُ ‫ث َر ُجل َكانَ َوإِن ۚ ﺩَﻳ ٍْن ﺃَ ْو بِ َﻬا تُو‬ َ ‫اﺣ ٍﺪ ﻓَ ِل ُﻜ ِل ﺃ ُ ْﺧﺖ ﺃ َ ْو ﺃَخ َولَه ُ ا ْم َرﺃَﺓ ﺃ َ ِو ك ََﻼلَة ﻳ‬
ُ ‫ُور‬ ِ ‫َو‬
‫ُس ِم ْن ُﻬ َما‬ ُ ‫ﺴﺪ‬ َ ْ َ ٰ
ُّ ‫ﺷ َركَا ُء ﻓَ ُﻬ ْم ذَلِﻚَ ِمن ﺃكث َر كَانُوا ﻓَﺈِن ۚ ال‬ ُ ‫ﺚ ﻓِﻲ‬ ُ ُّ
ِ ‫صيَّ ٍة بَ ْع ِﺪ ِمن ۚ الثل‬ِ ‫ص ٰى َو‬ َ
َ ‫ار َﻏي َْر ﺩَﻳ ٍْن ﺃ ْو بِ َﻬا ﻳُو‬ ٍ ‫ﻀ‬ َ ‫ُم‬
ۚ ‫صيَّة‬ َّ ۚ ُ‫ّللا‬
ِ ‫ّللاِ ِمنَ َو‬ َّ ‫َﺣ ِليم َع ِليم َو‬

Artinya, “Dan bagianmu (suami-suami) adalah 1/2 dari harta yang ditinggalkan
oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu
mempunyai anak, maka kamu mendapat 1/4 dari harta yang ditinggalkannya setelah
(dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri
memperoleh 1/4 harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh 1/8 dari harta yang kamu
tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar)
hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak tetapi mempunyai
seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu 1/6 harta. tetapi jika saudara-
saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian
yang 1/3 itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah di bayar)
hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikian ketentuan
Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (QS. An-Nisaa : 12)

D. Pada Firman Allah Ta’ala pada surat an-Nisaa’ ayat ke-176 Allah Ta’ala
menyebutkan tentang bagian harta warisan bagi saudar/I kandung dan
saudar/saudari seayah.

َّ ‫ْس َهلَﻚَ ا ْم ُرؤ إِ ِن ۚ ْالﻜ ََﻼلَ ِة ﻓِﻲ ﻳُ ْفتِي ُﻜ ْم‬


َ‫ّللاُ قُ ِل ﻳَ ْﺴت َ ْفتُونَﻚ‬ َ ‫ﻒ ﻓَلَ َﻬا ﺃ ُ ْﺧﺖ َولَه ُ َولَﺪ لَهُ لَي‬ ْ ِ‫َﻳ ِرﺛ ُ َﻬا َوه َُو ۚ ت ََرﻙَ َما ن‬
ُ ‫ﺼ‬
‫ان ﻓَلَ ُﻬ َما اﺛْ َنتَي ِْن كَا َنتَا ﻓَﺈِن ۚ َولَﺪ لَّ َﻬا ﻳَ ُﻜن لَّ ْم إِن‬ ِ َ ‫ﺴاء ِر َجاﻻ إِ ْﺧ َوﺓ كَانُوا َوإِن ۚ ت ََرﻙَ ِم َّما الثُّلُث‬ َ ِ‫َﺣ ِظ ِمثْ ُل ﻓَ ِللذَّك َِر َون‬
‫ّللاُ ﻳُبَيِنُ ۚ ْاﻷُنثَ َيي ِْن‬ َّ ‫َﻀلُّوا ﺃَن لَ ُﻜ ْم‬ ِ ‫ّللاُ ۚ ت‬ َّ ‫ﺷ ْﻲءٍ ِب ُﻜ ِل َو‬ َ ‫َع ِليم‬

Artinya, “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah,


“Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan
dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya
(saudara perempuannya itu) 1/2 dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya
yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak
mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya 2/3 dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-
laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)
kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.
An-Nisaa’ : 176)

E. Adapun hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bercerita tentang


harta warisan yaitu sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫(عليه متفﻖ) ذكر رجل ﻷولى ﻓﻬو بقﻲ ﻓما بﺄهلﻬا الفرائﺾ ﺃلحقوا‬

Artinya, “Berikanlah bagian-bagian itu (harta warisan) kepada keluarganya


yang berhak (mendapatkannya), jika masih ada yang tersisa maka yang utama
mendapatkannya adalah lelaki terdekat (kekerabatannya).” (Muttafaqun ‘alaihi)

F. Setelah disebutkan hak-hak warisan yang berkaitan dengan keluarga mayit di


atas, maka pada dalil berikut ini berkaitan dengan hak-hak warisan bagi orang
yang memerdekakan budak yaitu mu’tiq/mu’tiqah. Rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda-,

‫ﺃعتﻖ لمن الوﻻء إنما‬

Artinya, “sesungguhnya wala’ itu bagi yang memerdekakan budak.” (HR.


Bukhari)

Yang dimaksud dengan wala’ pada hadits di atas adalah berkeitan dengan harta
warisan yang ditinggalkan oleh mantan seorang budak yang di tetapkan oleh
Rasulullah menjadi milik orang yang membebaskannya jika tidak ada ‘ashabah dari
keluarganya.

G. Kemudian Allah Ta’ala dan Rasul-Nya menyebutkan hak yang akan di dapat
oleh karib kerabat mayit yang tidak termasuk kedalam ashabul furud dan
‘ashabah. Ketika seorang mayit tidak memiliki ashabul furud dan ‘ashabah
yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisannya.

Allah Ta’ala berfirman,

‫ﻀ ُﻬ ْم ْاﻷ َ ْر َﺣ ِام َوﺃُولُو‬


ُ ‫ﺾ ﺃَ ْولَ ٰى بَ ْع‬
ٍ ‫ﺏ ﻓِﻲ بِبَ ْع‬ َّ (‫اﻷنفال‬: 75)
ِ ‫ّللاِ ِكتَا‬

Artinya, “Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya


lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab
Allah.” (QS. Al-Anfaal : 75)

H. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

‫له وارث ﻻ من وارث الﺨال‬

Artinya, “Paman dari jalur ibu mewarisi orang yang tidak memiliki pewaris.”
(HR. al-Baihaqi)
1.3 Syarat dan Rukun Waris
Dalam hal ini penulis menemukan tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh
para ulama, tiga syarat tersebut adalah:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya
dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris meninggal
dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing (Daud Ali,
1990:40).
Hadis Waris
Dari Ibnu Abbas radiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabdam”Bagikanlah
harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak
laki-laki yang paling utama. ” (HR Bukhari)
َ ُ ‫ ﺯَ ْﻳ ٍﺪ ب ِْن ﺃ‬t ‫سو ُل قَا َل قَا َل‬
‫سا َمةَ َع ْن‬ ُ ‫ال ُم ْﺴ ِل َم الﻜَاﻓِ ُر َوﻻَ الﻜاَﻓِ َر ال ُم ْﺴ ِل ُم ﻳَ ِر‬
ُ ‫ هللاِ َر‬r َ‫ث ﻻ‬
Dari Usamah bin zaid radhiyallahuanhu berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda,”Seorang muslim tidak mendapat warisan dari orang kafir dan orang kafir
tidak mendapat warisan dari seorang muslim. (HR Jamaah kecuali An-Nasai)

Adapun rukun waris harus terpenuhi pada saat pembagian harta warisan. Rukun
waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam, yaitu:
1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah meninggal
dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama dibedakan menjadi 3 macam:
a) Mati Haqiqy (mati sejati).
Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh orang
banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang jelas dan
nyata.

b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis).


Mati Hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal
meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat
Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung
selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab
lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai
macam segi kemungkinannya.
c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).
Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris) berdasarkan
dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul perutnya atau
dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati, maka dengan
dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap ibunya.
2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan
kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat
meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup.
Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml).
Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu: antara muwaris dan ahli waris
tidak ada halangan saling mewarisi.
3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya
perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat (Ahmad Rofiq,
2001:29).

2.4 Hak dan Kewajiban Ahli Waris


Hak dan Kewajiban Ahli Waris dalam Islam

Rasulullah saw. bersabda:

ٍ ‫س ْو ُل قَا َل قَا َل َعب‬


‫َّاس اب ِْن َع ِن‬ ٰ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ﺾ ﺃَ ْه ِل بَيْنَ ْال َما َل ا ْق ِﺴ ُموا َو‬
ٰ ‫سلَّ َم َعلَ ْي ِه‬ ِ ِ‫علَى ْالفَ َرائ‬
َ ‫ﺏ‬
ِ ‫ّللاِ ِكتَا‬
ٰ (‫رواه‬
‫)ﺩاوﺩ وابو مﺴلم‬

Artinya:
“Dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, ‘ Rasulullah saw. telah bersabda, ‘Bagilah harta
pusaka antara ahli-ahli waris menurut (ketentuan) kitab Allah’.” (HR. Muslim dan
Abu Dawud):

Dalam Kompilasi Hukum Islam;

Pasal 175

(1). Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah:

- mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;

- menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan, termasuk


kewajiban pewaris maupun penagih piutang;

- menyelesaikan wasiat pewaris;

- membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.

(2). Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya
terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya.

Hak pewaris timbul sebelum terbukanya harta peninggalan dalam arti bahwa
pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam sebuah
testament atau wasiat.

Isi wasiat tersebut dapat berupa :

1. Erfstelling, yaitu suatu penunjukan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris
untuk mendapatkan sebagian atau keseluruhan harta peninggalan. Orang yang
ditunjuk dinamakan testamentair erfgenaam (ahli waris menurut wasiat).

2. Legaat, adalah pemberian hak kepada seseorang atas dasar tastement atau wasiat
yang khusus. Pemberian itu dapat berupa :

a. ( hak atas) satu atau beberapa benda tertentu;

b. ( hak atas) seluruh dari satu macam benda tertentu;

c. ( hak atas sebagian / seluruh warisan (Pasal 957 KUHpdt).

Kewajiban si pewaris adalah merupakan pembatasan terhadap haknya ditentukan


undang – undang.

Ia harus mengindahkan adanya legitieme portie, yaitu suatu bagian tertentu dari
harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan
warisan.

Hak ahli waris dapat diperinci sebagai berikut:'


Setelah terbuka warisan, ahli waris diberikan hak untuk menentukan sikap:

1. Menerima secara penuh (zuivere aanvaarding), yaitu

dapat dilakukan secara tegas atau secara lain.

Dengan tegas yaitu jika penerimaan tersebut dituangkan dalam suatu akte

yang memuat penerimaannya sebagai ahli waris.

Baik secara diam – diam,atau terang-terangan,

jika ahli waris tersebut melakukan perbuatan penerimaannya sebagai ahli waris dan
perbuatan tersebut harus mencerminkan perbuatan penerimaan terhadap warisan

yang meluang,(menerima) yaitu dengan mengambil, menjual atau melunasi hutang


– hutang pewaris.

2. Menerima dengan reserve (hak untuk menukar) Voorrecht van boedel


beschriyving atau beneffeciare aanvaarding.

Hal ini harus dinyatakan pada Panitera Pengadilan Negeri ditempat waris terbuka.

Akibat yang terpenting dalam warisan secara beneficare ini adalah bahwa

kewajiban untuk melunasi hutang – hutang dan beban lain si pewaris dibatasi

sedemikian rupa sehingga pelunasannya dibatasi menurut kekuatan warisan,

dalam hal ini berarti si ahli waris tersebut tidak usah menanggung pembayaran
hutang dengan kekayaan sendiri, jika hutang pewaris lebih besar dari harta
bendanya.

Adapun kewajiban – kewajiban seorang ahli waris beneficiair, ialah :

a. melakukan pencatatan adanya harta peninggalan dalam waktu 4 (empat) bulan


setelahnya ia menyatakan kehendaknya kepada Panitera Pengadilan Negeri,

bahwa ia menerima warisan secara beneficiair.

b. Mengurus harta peninggalan sebaik – baiknya.

c. Selekas – lekasnya membereskan urusan warisan (

“Dewa Made Suartha boedel tot effenheid brengen”).

d. Apabila diminta oleh semua orang berpiutang harus memberikan tanggungan

untuk harga benda – benda yang bergerak beserta benda – benda yang tak bergerak
yang tidak diserahkan kepada orang – orang berpiutang yang memegang hypothek.

e. Memberikan pertanggungan jawab kepada sekalian penagih hutang dan orang –


orang yang menerima pemberian secara legaat.

Pekerjaan ini berupa menghitung harga serta pendapatan – pendapatan yang


mungkin akan diperoleh,

jika barang – barang warisan dijual dan sampai berapa persen piutang – piutang dan
legaten itu dapat dipenuhi.

f. Memanggil orang – orang berpiutang yang tidak terkenal,dalam surat kabar


resmi. 3.Menolak warisan. Hal ini mungkin jika ternyata jumlah harta kekayaan
yang berupa kewajiban membayar hutang lebih besar dari pada hak untuk
menikmati harta peninggalan.

1.5 Ahli Waris dan Bagiannya


Di bawah ini akan dijelaskan tentang pembagian masing-masing ahli waris, dengan
kemungkinan-kemungkinan kadar bagiannya, atau kemungkinan memperoleh atau
tidaknya.

a. Anak laki-laki

Kemungkinan memeperoleh warisan:

1) Mendapatkan semua harta warisan, apabila tidak mempunyai anak perempuan,


ibu bapak, suami/istri.

2) Sebagai ‘ashabah binafsih, setelah diambil bagian dzawil furudh. Dan akan
memperoleh seluruh sisa jika tidak ada anak perempuan. Bila ada anak perempuan,
maka bagiannya adalah dua kali bagian perempuan.

b. Cucu laki-laki dari anak laki-laki

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Jika tidak terhijab, ia sebagai ‘ashabah binafsih; bisa memperoleh seluruh sisa
warisan, jika tak ada cucu perempuan dari anak laki-laki; jika ada cucu perempuan
(dari anak laki-laki), bagiannya dua kali bagian cucu perempuan.

2) Tidak memperoleh warisan (terhijab), bila ada anak laki-laki.

c. Bapak
Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Dapat terhijab nuqshan.

2) 1/6 bagian, jika ada ahli waris anak atau cucu laki-laki.

3) 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan.

4) ‘Ashabah, jika tidak ada anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan.

d. Kakek dari pihak bapak

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab hirman, jika ada bapak.

2) 1/6 bagian, jika ada anak atau cucu laki-laki.

3) 1/6 bagian ditambah ‘ashabah, jika ada anak atau cucu perempuan.

4) Sebagai ‘ashabah, apabila tidak ada anak/cucu laki-laki maupun perempuan.

e. Saudara laki-laki sekandung

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki
atau bapak.

2) ‘Ashabah binafsih, bisa memperoleh seluruh sisa warisan.

3) 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara baik laki-laki maupun perempuan.

f. Saudara laki-laki sebapak

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijan hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki,
bapak, saudara laki-laki sekandung atau saudara perempuan sekandung.

2) ‘Ashabah binafsih.

3) 1/3 bagian jika lebih dari satu orang saudara sebapak baik laki-laki maupun
perempuan.

g. Saudara laki-laki seibu

Kemungkinan memperoleh warisan:


1) Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau
perempuan dari anak laki-laki, bapak, kakek dari pihak bapak.

2) 1/3 bagian jika teerdiri dari dua orang atau lebih.

3) 1/6 bagian jika hanya satu orang.

h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari saudara
sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki paman sekandung, anak
laki-laki paman sebapak

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab hirman.

2) Bisa ‘ashabah binafsih.

i. Suami

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak atau cucu.

2) ½ bagian jika tidak ada anak atau cucu.

3) ¼ bagian jika ada anak atau cucu.

j. Anak perempuan

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Tidak dapat terhijab.

2) ½ bagian jika hanya seorang dan tidak ada anak laki-laki.

3) 2/3 bagian jika lebih dari satu orang dan tidak ada anak laki-laki.

4) ‘Ashabah bil ghairi jika ada anak laki-laki.

k. Cucu perempuan dari anak laki-laki

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Dapat terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, dua anak perempuan atau lebih.

2) 1/2 bagian, jika hanya seorang, tidak ada cucu laki-laki, atau seorang anak
perempuan.

3) 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak laki-laki atau seorang
anak perempuan.
4) 1/6 bagian, jika ada anak perempuan tapi tidak ada cucu laki-laki.

l. Ibu

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih.

2) 1/3 bagian jika tidak ada anak, cucu, atau dua orang saudara atau lebih.

3) 1/3 dari sisa, jika termasuk gharawain. Gharawain adalah jika ahli waris terdiri
dari suami, ibu dan bapak, atau istri, ibu dan bapak.

4) 1/6 bagian jika ada anak, cucu atau dua orang saudara atau lebih.

m. Nenek

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab hirman, jika ada anak, ibu atau bapak.

2) 1/6 bagian (untuk seorang atau dua orang nenek) jika ada anak, ibu atau
bapak).

n. Saudara perempuan kandung

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki,
bapak.

2) 1/2 bagian, jika hanya seorang atau tidak ada anak, cucu perempuan atau
saudara laki-laki sekandung.

3) 2/3 bagian, jika dua orang atau lebih dan tidak ada anak, cucu perempuan,
atau saudara laki-laki sekandung.

4) Bisa ‘ashabah bil ghairi, jika ada saudara laki-laki kandung.

5) Bisa ‘ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki-laki kandung, tapi ada
ahli waris anak perempuan, atau cucu perempuan, atau anak, dan cucu perempuan.

o. Saudara perempuan sebapak

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki, cucu laki-laki, bapak, dua orang
atau lebih saudara perempuan kandung atau saudara perempuan kandung bersama
anak/cucu perempuan.
2) 1/2 bagian, jika seorang dan tidak ada saudaara laki-laki, bapak, anak, cucu
perempuan atau saudara perempuan kandung.

3) 2/3 bagian, jika terdiri dari dua orang atau lebih dan tidak ada ahli waris anak,
cucu perempuan, saudaara laki-laki sebapak atau saudara perempuan sekandung.

4) 1/6 bagian, jika ada seorang saudara perempuan kandung tetapi tidak ada
anak, cucu perempuan atau saudara laki-laki sebapak.

5) ‘Ashabah bil ghairi jika ada saudara laki-laki sebapak.

6) ‘Ashabah ma’al ghairi, jika tidak ada saudara laki-laki sebapak, atau saudara
perempuan kandung. Tetapi ada ahli waris anak perempuan atau cucu perempuan.

p. Saudara perempuan seibu

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab hirman, jika ada anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki
dari anak laki-laki, cucu perempuan dari anak laki-laki, bapak, atau kakek dari
pihak bapak.

2) 1/3 bagian jika terdiri dari dua orang atau lebih.

3) 1/6 bagian jika hanya seorang.

q. Istri

Kemungkinan memperoleh warisan:

1) Bisa terhijab nuqshan, jika ada anak atau cucu.

2) ¼ bagian, jika tidak ada anak atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan.

3) 1/8 bagian jika ada anak atau cucu baik laki-laki maupun perempuan.

2.6 Penghalang dan Penggugur Ahli Waris


Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani ‘al-irs adalah hal-hal yang
menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta
peninggalan al-muwarris. Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut antara
lain :
1. Karena Membunuh
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak berhak mendapatkan
warisan. hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW.:
Pembunuh tidak berhak mewarisi harta orangyang dibinuhnya.
Sangat beralasan jika seorang pembunuhtidak berhak atas harta yang ditinggalkan
oleh orang yang dibunuhnya. Sebab, ia membunuh karena ingin cepat mendapatkan
harta warisan.
Oleh sebab itu, orang yang membunuh akan terhalang oleh perbuatannya untuk
mendapatkan harta warisan dari orang yang dibunuhnya, sebagaimana
terhalangnyadari warisan seseorang yang membunuh untuk pamannya, yang
diungkapkan dalam surat al-Baqarah: 72
ْ‫َّارﺃْت ُ ْم نَ ْفﺴا قَت َْلت ُ ْم َوإِذ‬ َّ ‫ت َ ْﻜت ُ ُمونَ ُك ْنت ُ ْم َما ُم ْﺨ ِرﺝ َو‬
َ ‫ّللاُ ۚ ﻓِي َﻬا ﻓَاﺩ‬
“ Dan (Ingatlah), ketika kamu membunuh seseorang lalu kamu tuduh-menuduh
tentang itu. Akan tetapi, Allah menyingkapkan yang selama ini kamu
sembunyikan”.
Ada perbedaan dikalangan fuqaha entang penentuanjenis pembunuhan. Ulama
Hanafiyah menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris
adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat. Adapun ulama
Malikiyah berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan
yang dapat menggugurkan hak waris.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai
penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya diqishash,membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu, tidak
tergolong sebagai penggugur hak waris. Menurut ulama Syafi’iyah, pembunuhan
dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun
hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukum rajam, atau bahkan
hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau
hukuman mati pada umumnya.
2. Pebedaan agama.
Orang muslim hanya memberi waris kepada muslim. Jika yang menunggal dunia
orang muslim, sedangkan ahli warisnya bukan muslim, ahli waris itu tidak berhak
mendapatka harta warisan. Rasulullah SAW bersabda:
Orang islam tidak mendapat waarisan dari orang kafir, dan orang kafir tidak
mendapat warisan dari orang islam.
Berdaasarkan lahirnya hadist ini semua ilama mazhab sepaka bawa orang muslim
dan orang kafirtidak saling mewarisi.
Sebagian ulama berpendapat bahwa murtad merupakan penggugur hak mewarisi,
yakni orang yang telah keluar dari islam. Berdasarkan ijma’ para ulama, murtad
termasuk dalam kategori perbedaan agama sehingga orang murtad tidak dapat
mewarisi orang islam. Adapun hak waris seseorangyang kerabatnya murtad, terjadi
perbedaan pendapat. Jumhur fuqaha ( Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah yang
sahih ) berpendapat bahwa orang muslim tidak boleh menerrima harta waris dari
orang yang murtad karena oaring muslim tidak mewariskan kepadaa orang kafir,
dan orang murtad tergolong orang yang kafir.
3. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiaannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba
sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk
menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap melakukan perbuatan hokum.
Firman Allah SWT menunjukkan :
‫ﺿ َر‬ َ ُ‫لى ر ﻳَ ْق ِﺪ َّﻻ كا َّم ْملُ ْو ا َعبْﺪ َمثُﻼ هللا‬
َ ‫ﺏ‬ ٰ ‫ﺷ ْىءٍ َع‬
َ . . . . ۞ ‫ النحل‬: ۵٧ ۞
“Allah telah membuat perumpamaan (yakni) seorang budak (hamba sehaya ) yang
dimiliki yng tidak dapay bertindak terhadap sesuatu pun . . . ”. (QS. al-Nahl : 75 ).
Islam sangat tegas tidak menyetujui adanya perbudakan, sebaliknya sangat
menganjurkan agar setiap budak hendaknya dimerdekakan. Pada hakikatnya
perbudakan tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan (humanism ) dan rahmat
yang menjadi ide dasar ajaran islam. Melalui sanksi-sanksi hokum pelaku
pelanggaran atau kejahatan, memerdekakan budak merupakan salah satu alternative
hokum. Ini dimaksud agar secepatnya perbudakan dihapuskan dari muka bumi.
4. Berlainan Negara
Adapun berlainan Negara yang menjadi penghalang mewarisi adalah apabila
diantara ahli waris dan muwarrisnya berdomisili di dua Negara yang berbeda
kriterianya seperti apabila dua Negara sama-sama muslim, menurut para ulama,
tidak menjadi penghalang mewarisi.
Dasar hukum yang dijadikan landasan Mayoritas Ulama, antara muwarris dan ahli
waris yang berbeda Negara yang sama- sama muslim tidak terhalang haknya
mewarisi adalah sabda Nabi SAW :
ِ‫ان ذَا ا‬ ٰ ‫لى ﻓَ ُﻬ َما ْالﺴ َِﻼ َح ا َ ِﺧ ْي ِه َع‬
ِ ‫لى اَ َﺣﺪ ُ ُه َما َجعَ َل اْل ُم ْﺴ ِل َم‬ ِ ‫اﺣبَه ﻓَ ِاذَاقَت َ َل َج َﻬنَّ َم َﺣ ْر‬
ٰ ‫ق َع‬ ِ ‫ص‬َ ‫ﻓَقُ ْلنَا َج ِميْعا ﺩَﺧ ََﻼهَا ا َ َﺣﺪ ُ ُه َما‬
‫س ْو َل‬ َ َ‫ ْال َم ْقت ُ ْو ِل ﻓَ َمابَا ُل تِ ُل ٰهذَااْلقَا هللاِ ﻳ‬ˁ ‫اﺣبَه قَﺪْا َ َراﺩَقَتْ َل اِنَّهُ قَا َل‬
ُ ‫ار‬ ِ ‫ص‬َ . ۞ ‫۞ البﺨارى رواه‬
“ Apabila dua orang muslim seorang (mengajak perang saudaranya) dengan
membawa pedang , maka keduanya telah beradu di tepi Jahanam. Apabila salah
seorang membunuh kawannya, kedua-duanya sama-sama masuk neraka. Kami
bertanya, “Ya Rasulullah SAW ini adalah untuk si pembunuh, lalu bagaimana si
terbunuh ? Beliau menjawab: “Sesungguhnya ia juga menginginkan membunuh
kawannya”. (Riwayat Imam Bukhari).
Jadi yang lebih prinsip tampaknya adalah soal berbeda agama antara ahli waris dan
muwarris-nya. Meskipun berbeda Negara, jika tidak ada perbedaan agama, tidak
ada halangan.
2.7 Simulasi Perhitungan Waris
1. Dengan cara menyebutkan pembagian masing-masing ahli waris sesuai dengan
ta’silul masalahnya, lalu diberikan bagiannya.
Misalnya si mati meninggalkan harta Rp. 120.000 dan meninggalkan ahli waris :
isteri, ibu dan paman. Maka ta’silul masalahnya 12, karena isteri mendapatkan 1/4,
dan ibu mendapatkan 1/3.
– Isteri mendapatkan /4 dari 12 = 3, sehingga ¼ dari 120.000 = 30.000
– Ibu 1/3 dari 12 = 4, maka 1/3 dari 120.000 = 40.000
– Paman ashabah mendapatkan sisa yaitu 5, maka 120.000 – 30.000 – 40.000 =
50.000
2. Atau dengan mengalikan bagian setiap ahli waris dengan jumlah harta waris,
kemudian dibagi hasilnya dengan ta’silul mas’alah, maka akan keluar bagiannya.
Contoh seperti di atas, prakterknya.
– Isteri bagiannya 3 x 120.000 = 360.000 : 12 = 30.000
– Ibu bagiannya 4 x 120.000= 480.000 : 12 = 40.000
– Paman bagiannya 5 x 120.000 = 600.000 : 12 = 50.000
3. Atau membagi jumlah harta waris dengan ta’silul mas’alah, lalu hasilnya
dikalikan dengan bagian ahli waris, maka akan keluar hasilnya.
Contoh seperti di atas, prkateknya.
-Isteri bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 3 (1/4 dari 12) = 30.000
-Ibu bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 4 (1/3 dari 12) = 40.000
-Paman bagiannya 120.000 : 12 = 10.000 x 5 (sisa) = 50.000
Contoh 1
Harta waris Rp 24.000,-. Ahli waris: bapak, ibu dan 2 anak laki-laki. Maka;
Bapak, 1/6 x 24.000 = 4.000
Ibu, 1/6 x 24.000 = 4.000
2 Anak Laki-laki, ashabah = 16.000 (atau 8.000/Anak)

Contoh 2
Harta waris Rp 24.000,-. Ahli waris: istri, ibu, bapak, 2 anak laki-laki. Maka;
Istri, 1/8 x 24.000 = 3.000
Ibu, 1/6 x 24.000 = 4.000
Bapak, 1/6 x 24.000 = 4.000
2 Anak Laki-laki, ashabah = 13.000 (atau 6.500/Anak)

Contoh 3
Harta waris Rp 24.000,-. Ahli waris: bapak, kakek dan anak perempuan. Maka;
Bapak, 1/6 x 24.000 = 4.000
Anak Perempuan, 1/2 x 24.000 = 12.000
Sisanya diberikan kepada bapak sebagai ashabah
Kakek, mahjub

Contoh 4
Harta waris Rp 15.000,-. Ahli waris: suami, bapak dan ibu. Maka;
Suami, 1/2 x 15.000 = 7.500
Ibu, 1/3 x (15.000 - 7.500) = 2.500
Bapak, ashabah

Contoh 5
Harta waris Rp 160.000,-. Ahli waris: kakek, nenek, 2 orang istri. Maka;
2 Istri, 1/4 x 160.000 = 40.000 (atau 20.000/Istri)
Nenek, 1/3 x (160.000 - 40.000) = 40.000
Kakek, ashabah

Contoh untuk kasus 'aul


Harta waris Rp 21.000,-. Ahli waris: suami dan 2 saudari sekandung (perlu diingat
bahwa suami mendapat 1/2 bagian, sedang 2 saudari sekandung mendapat 2/3
bagian), maka dengan menyamakan penyebutnya didapat hasil seperti berikut;
Suami 1/2 atau 3/6, sedangkan
2 saudari sekandung mendapat 2/3 atau 4/6
Jadi akumulasinya menjadi 7/6. Karena inilah kemudian ditempuh 'aul, yaitu
dengan membulatkan angka penyebutnya sehingga jumlahnya menjadi 7/7
('aul-nya: 1), sehingga bagian menjadi suami 3/7 bukan 3/6, dan bagian 2 saudari
sekandung 4/7, bukan 4/6. Maka penghitungannya menjadi;
Suami, 3/7 x 21.000 = 9.000
2 Saudari Sekandung, 4/7 x 21.000 = 12.000 (atau 6.000/Orang)

Contoh untuk kasus rad


Harta waris Rp 6.000,-. Ahli waris: ibu dan seorang anak perempuan. Maka;
Ibu, 1/6 x 6.000 = 1.000
Anak Perempuan, 1/2 x 6.000 = 3.000
Dengan penghitungan ini ternyata didapati sisa harta waris Rp 2.000,-. Karena
itulah sisa harta ini kemudian dibagi lagi kepada ibu dan anak perempuan, dengan
perbandingan 1 : 3 (nilai ini didapat dari perbandingan bagian ibu dan anak
perempuan).
1/6 + 1/2 = 1/6 + 3/6 = 4/6, dijadikan 4/4, dengan perbandingan 1 : 3, maka 1/4
untuk ibu dan 3/4 untuk anak perempuan.
Namun dengan catatan, untuk rad ini ada beberapa syarat, yaitu:
Adanya ashabul furudl (selain suami/istri, dikarenakan mereka bukan termasuk
kerabat nasabiyah, akan tetapi kerabat sababiyah: sebab perkawinan)
Tidak adanya ashabah
Adanya kelebihan harta waris
‫ﻀة نَ ْفعا لَ ُﻜ ْم ﺃَ ْق َرﺏُ ﺃَﻳُّ ُﻬ ْم تَﺪ ُْرونَ ﻻ‬
َ ‫ّللاِ ِمنَ ﻓَ ِرﻳ‬
َّ ‫ّللاَ إِ َّن‬
َّ َ‫َﺣ ِﻜيما َع ِليما َكان‬
"...kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui, Maha Bijaksana."(An-Nisa': 11)

1.8 Kasus-Kasus Khusus Ahli Waris


1. Seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempunyai ahli waris, maka
untuk siapakah harta warisnya?

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t ketika menafsirkan surat Al-Anfal


ayat 75 mengatakan: “Tidaklah mewarisi harta si mayit kecuali karib kerabatnya
dari para ‘ashabah maupun ashhabul furudh (ahli waris, pen.). Jika tidak didapati
para ahli waris tersebut maka yang mewarisinya adalah yang terdekat hubungannya
dengan si mayit dari kalangan dzawil arham (para kerabat dekat yang tidak
termasuk ashhabul furudh dan tidak pula ‘ashabah).” (Taisirul Karimirrahman, hal.
289)

Pendapat inilah yang difatwakan oleh sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, juga Abu Hanifah, Ahmad bin
Hanbal, serta generasi akhir dari kalangan mazhab Maliki dan Syafi’i.1 Demikian
pula yang dipilih Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. (Lihat Al-
Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102, program Al-Maktabah
Asy-Syamilah II, Tashilul Faraidh, hal. 73 dan At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil
Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 263-264)
Siapa sajakah yang termasuk dzawil arham itu?
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Mereka ada sebelas jenis:
1) Para cucu dari anak-anak perempuan dan anak-anak para cucu perempuan dari
anak lelaki (cicit) dan ke bawahnya.
2) Anak saudara perempuan secara mutlak; sekandung, sebapak saja dan seibu saja
(keponakan).
3) Anak perempuan dari saudara lelaki; sekandung dan sebapak saja, tidak termasuk
yang seibu (keponakan) dan para cucu perempuan dari jalur anak lelaki saudara
tersebut.
4) Anak saudara seibu (keponakan).
5) Paman (seibu); baik paman (saudara bapak yang seibu) dari si mayit, paman
bapak (saudara kakek seibu) dari si mayit atau paman kakek (saudara buyut lelaki
seibu) dari si mayit.
6) Bibi dari jalur bapak secara umum; baik bibi dari jalur bapak si mayit, bibi kedua
orangtua si mayit dari jalur bapaknya masing-masing, bibi dari kakek si mayit dari
jalur bapaknya (saudara perempuan buyut lelaki dari kakek) ataupun bibi dari nenek
si mayit dari jalur bapaknya (saudara perempuan buyut lelaki dari nenek).
7) Anak perempuan paman dari jalur bapak; baik yang sekandung, sebapak saja
ataupun seibu saja (saudara sepupu).
8) Paman dan bibi (saudara-saudara ibu; baik yang sekandung, sebapak saja
ataupun seibu saja).
9) Para kakek yang bukan termasuk ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur
bapak. Seperti bapaknya ibu (kakek) dan juga bapaknya nenek (buyut lelaki) dari
jalur bapak, dsb.
10) Para nenek yang bukan dari ahli waris, baik dari jalur ibu maupun jalur bapak.
Seperti; Ibunya kakek (buyut perempuan) dari jalur ibu dan ibunya buyut lelaki
menurut pendapat yang memasukkan keduanya ke dalam dzawil arham, dsb.
11) Semua kerabat yang mempunyai keterkaitan dengan si mayit melalui
(perantara) sepuluh jenis yang telah disebutkan sebelumnya.” (Lihat Al-Fawaidul
Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102, program Al-Maktabah Asy-
Syamilah II)

Bukankah dzawil arham tersebut tidak mempunyai ketentuan khusus dalam


hal perwarisannya? Dengan cara apakah mereka mendapatkan bagiannya?
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan cara perwarisannya.
Namun jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa perwarisannya dengan cara
tanzil, yaitu dengan memosisikan masing-masing dari dzawil arham tersebut (baik
lelaki maupun perempuan) seperti posisi ahli waris yang menjadi perantaranya
dengan si mayit. Misalnya, cucu lelaki dari anak perempuan dan cucu perempuan
dari anak perempuan, mereka diposisikan seperti anak perempuan (ibu mereka).
Anak lelaki dan anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan), mereka
diposisikan seperti saudara perempuan (ibu mereka). Tak dibedakan antara yang
lelaki dengan yang perempuan, karena yang dijadikan patokan dalam masalah ini
adalah ahli waris perantaranya bukan dzat dari dzawil arham tersebut. (Lihat Al-
Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal. 102, program Al-Maktabah
Asy-Syamilah II, At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hal.
266-267 dan Al-Khulashah Fi Ilmil Faraidh, hal. 240)

2. Di antara hikmah dilebihkannya jatah waris anak lelaki dua kali lipat dari jatah
waris anak perempuan
Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi t berkata: Firman Allah l:
“Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian harta waris untuk) anak-anak
kalian. Yaitu: bagian (jatah) seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan.” (An-Nisa’: 11)
di dalamnya memang tidak disebutkan hikmah dilebihkannya jatah waris anak
lelaki atas jatah waris anak perempuan, sementara status keduanya sama dalam hal
kekerabatannya dengan si mayit. Akan tetapi pada bagian lain dari Al-Qur’an Allah
l telah mengisyaratkannya, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (lelaki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan
karena mereka (lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (An-Nisa’:
34)
Hal itu disebabkan bahwa seorang (lelaki) yang bertanggung jawab terhadap
perempuan (istri) yang dipimpinnya dan dituntut untuk selalu menafkahinya, maka
(harta)nya dimungkinkan selalu berkurang. Sedangkan si perempuan (istri) yang
selalu dipimpin dan dinafkahi tersebut, hartanya ada harapan terus bertambah. (Atas
dasar itu) amat jelas sekali hikmah dilebihkannya jatah waris anak lelaki atas jatah
waris anak perempuan, yaitu untuk menutup segala kekurangan pada harta anak
lelaki yang dimungkinkan selalu terancam berkurang tersebut.
1.9 Hikmah Waris
Dalam pembagian waris kita mengetahui bahwa dengan adanya pembagian
waris mengandung sebuah hikmah atau manfaat untuk kita sendiri maupun
oranglain. Ada beberapa hikmah dalam membagikan harta menurut hukum waris.

1. Persamaan Hak Menjadi Adil


Sebelum Islam diturunkan, pada masyarakat Arab, Romawi, dan Yahudi telah
terdapat hukum waris yang masing-masing mereka ciptakan sendiri. Semua
hukum waris tersebut memandang bahwa harta warisan sepenuhnya hak
pribadi. Dengan demikian pemilik harta berhak memberikan wasiat kepada
orang yang ia kehendaki.

Sistem pembagian harta warisan masyarakat jahiliyah di atas tentu saja sangat
tidak adil. Sejak datangnya Islam, pembagian harta waris memiliki ketentuan
dan ukuranya masing masing yang dibagi dengan berlandaskan keadilan. Allah
subhanahu wa ta’ala sangat membenci kedzaliman bahkan Dia
mengaharamkan untuk Dirinya sendiri.
eadilan hukum yang sudah disyariatkan ini, berdasarkan Allah swt, Pencipta
dan Pengatur alam semesta ini, bukan keadilan berdasarkan akal manusia yang
amat sangat terbatas.

Dalam hukum waris, Allah menentukan bahwa bagian anak laki-laki setara
dengan dua anak perempuan, ini karena kodrat laki-laki diciptakan sebagai
pemimpin untuk kaum hawa. Laki-laki berkewajiban memimpin, menjaga dan
menafkahi kaum wanita. Dengan demikian, ysriat ini memenuhi unsur keadilan
yang tidak perlu dikhawatirkan.

ِ َ‫اء َعلَى قَ َّوا ُمون‬


‫الر َجا ُل‬ ِ ‫ﺴ‬ َ ِ‫ﻀ َل بِ َما الن‬ َّ ‫ّللاُ َﻓ‬ َ ‫ﺾ َعلَ ٰى بَ ْع‬
َّ ‫ﻀ ُﻬ ْم‬ ٍ ‫ﺼا ِل َحاتُ ۚ ﺃ َ ْم َوا ِل ِﻬ ْم ِم ْن ﺃ َ ْنفَقُوا َوبِ َما بَ ْع‬
َّ ‫ﻓَال‬
َ َ
‫ﺐ َﺣاﻓِظات قانِت َات‬ ْ َ
ِ ‫ّللاُ َﺣ ِفظ بِ َما ِللﻐَ ْي‬ َّ ُ ُ ُ ُ َ
َّ ۚ ‫اجﻊِ ﻓِﻲ َواه ُﺠ ُروه َُّن ﻓ ِعظوه َُّن نﺸوﺯَ ه َُّن تَﺨَاﻓونَ َوالﻼتِﻲ‬ ْ ِ ‫ﻀ‬ َ ‫ْال َم‬
‫ط ْعنَ ُﻜ ْم ﻓَﺈ ِ ْن ۚ َواﺿ ِْربُوه َُّن‬ َ َ‫سبِيﻼ َعلَ ْي ِﻬ َّن ت َ ْبﻐُوا ﻓَ َﻼ ﺃ‬ َ ۚ ‫ّللاَ إِ َّن‬َّ َ‫َكبِيرا َع ِليًّا َكان‬

“Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian lainnya (kaum
wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) memberikan nafkah dari hartanya.”
(QS. An-Nisa: 34)

Masyarakat yang menilai bahwa syariat Islam kurang adil biasanya


berpendapat, pembagian waris akan lebih jika dibagi rata, laki-laki maupun
perempuan. Jika ditilik dari kodrat laki-laki dan perempuan, ini justru tidak
adil.
2. Mempercepat Persaudaraan
Dengan meratanya pembagian harta kepada ahli waris sesuai dengan hukum
syara, maka ahli waris satu sama lain semakin merasakan ikatan saudara
senasib. Teknis pembagian harta warisan dilakukan dengan musyawarah secara
kekeluargaan dan kasih sayang. Hal ini demi mempererat persaudaraan.
3. Termasuk Golongan yang Memurnikan AjaranNya
‫ّللاَ ﻓَاﺩْعُوا‬ ِ ‫ْالﻜَا ِﻓ ُرونَ ك َِرهَ َولَ ْو الﺪِﻳنَ لَهُ ُم ْﺨ ِل‬
َّ َ‫ﺼين‬
Orang yang mempelajari dan mengamalkan faraidh, InsyaAllah akan termasuk
golongan orang-orang yang memurnikan ibadah kepada-Nya. Allah berfirman,
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun
orang orang kafir tidak menyukainya.” (Qs al-Mu’min : 14)
4. Menjauhkan Diri Dari Sifat Serakah
Dengan adanya pembagian harta warisan yang adil berdasarkan hukum Islam,
setiap ahli waris harus patuh pada ketentuan tersebut. Pada pembagian harta ini
ahli waris tidak mungkin mementingkan dirinya sendiri. Dengan demikian
hubungan waris menjauhkan diri dari sikap egois, serakah, dan mendidik
taslim (tunduk patuh) pada ketentuan Allah. Menuntut ilmu itu hukumnya
wajib, termasuk mempelajari ilmu pembagian harta warisan (faraidh).

Rasulullah memperingatkan kepada umat Islam supaya sungguh-sungguh


mempelajari faraidh. Beliau bersabda, “Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah
kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah faraidh, karena
sesungguhnya aku seorang yang akan mati. Dan ilmu akan terangkat, dan bisa
jadi akan ada dua orang yang berselisih, tetapi mereka tak bertemu dengan
orang yang menyampaikan kepada mereka hukumnya.” (HR Ahmad, Tirmizi,
dan Nasai).

1.10 Sejarah Waris


Jauh sebelum Islam datang, peradaban manusia telah mengenal sistem pembagian
waris. Pada zaman Jahiliyah, misalnya, bangsa Arab sudah menerapkan pembagian
waris yang amat merugikan kaum wanita. Saat itu, yang berhak mendapatkan hak
waris dari orang yang meninggal dunia hanyalah kaum Adam.

Waris di Era Awal Islam

Sebelum turun ayat Alquran yang mengatur tentang waris, di awal perkembangan
Islam masih berlaku landasan pengangkatan anak dan sumpah setia untuk dapat
mewarisi. ‘’Lalu berlaku alasan ikut hijrah serta alasan dipersaudarakannya sahabat
Muhajirin dan Ansar,’’ papar Dja’far.
Yang dimaksud dengan alasan ikut hijrah, papar Dja’far, adalah jika seorang
sahabat Muhajirin wafat, maka yang mewarisinya adalah keluarga yang ikut hijrah.
Sedangkan, kerabat yang tak ikut hijrah tak mewaris. Jika tak ada satupun
kerabatnya yang ikut hijrah, maka sahabat Ansar-lah yang akan mewarisinya.

‘’Inilah makna yang terkandung dari perbuatan Nabi SAW yang


mempersaudarakan sahabat Ansah dan Muhajirin,’’ ujar Dja’far. Di awal
perkembangan Islam, Rasulullah SAW juga mulai memberlakukan hak waris-
mewarisi antara pasangan suami-istri.

Nabi Muhammad SAW kemudian memberlakukan kewarisan Islam dalam sistem


nasab-kerabat yang berlandaskan kelahiran. Hal itu sebagaimana yang disebutkan
dalam Alquran surah al-Anfal ayat 75. Dengan berlakunya sistem nasab-kerabat,
maka hak mewarisi yang didasarkan atas sumpah setia mulai dihapuskan.

Warisan atas alasan pengangkatan anak juga telah dihapuskan sejak awal
kedatangan Islam. Menurut Dja’far, hal itu mulai diberlakukan sejak turunnya
Firman Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
menghapus akibat hukum yang timbul dari pengangkatan Zaid bin Haris sebagai
anak angkatnya. (QS 33:5, 37, dan 40).

Di zaman sebelum turunnya ayat waris, Rasulullah SAW kedatangan istri Sa’ad bin
ar-Rabi bersama dua anak perempuannya. Ia lalu berkata, ‘’Ya Rasulullah, ini dua
anak Sa’ad bin ar-Rabi yang mati syahid pada Perang Uhud bersamamu. Paman
mereka merampas semua harta mereka tanpa member bagian sedikitpun.’’

‘’Mudah-mudahan Allah segera memberi penyelesaian mengenai masalah ini,’’


sabda Rasulullah.

Tak lama setelah itu, turunlah ayat tentang waris dalam surah an-Nisa ayat 11.
Setelah turunnya ayat-ayat tentang waris itu, maka jelaslah orang-orang yang
berhak menjadi ahli waris (Ashab al-Furudl). Semua pihak -- laki-laki, perempuan,
anak, ibu, bapak, suami, istri, saudara kandung, saudara sebapak, saudara seibu,
kakek, nenek, dan cucu-- memiliki bagian dalam waris.

Rasulullah SAW amat menganjurkan umatnya untuk melaksanakan hukum waris


sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Alquran. Semua yang sudah diatur dalam
Alquran bertujuan memberikan keadilan pada setiap orang. Selain itu, Rasul juga
memerintahkan umat Islam untuk mempelajari dan mendalami ilmu waris (faraidl)
ini.

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘’Pelajarilah ilmu waris
dan ajarkan, karena ilmu waris merupakan separuh ilmu. Ilmu waris adalah ilmu
yang mudah dilupakan dan yang pertama kali dicabut dari umatku.’’ (HR Ibnu
Majah dan Daruquthni).
Ilmu waris merupakan ilmu yang pertama kali diangkat dari umat Islam. Cara
mengangkatnya adalah dengan mewafatkan para ulama yang ahli dalam bidang ini.
Orang yang paling menguasai ilmu waris di antara umat Rasulullah SAW adalah
Zaid bin Tsabit.

‘’Tak heran para imam mazhab menjadikan Ziad bin Tsabit sebagai rujukan dalam
ilmu waris,’’ ungkap Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam Ahkamul
Mawarits: 1.400 Mas’alah Miratsiyah.

1.11 Beberapa Dalil Waris


a. Ayat waris untuk anak

ِ ‫ﺴاء ُك َّن ﻓَﺈِن اﻷُنثَيَي ِْن َﺣ ِظ ِمثْ ُل ِللذَّك َِر ﺃَ ْوﻻَ ِﺩ ُك ْم ﻓِﻲ ّللاُ ﻳ‬
‫ُوصي ُﻜ ُم‬ َ ِ‫َﺖ َوإِن ت ََرﻙَ َما ﺛُلُثَا ﻓَلَ ُﻬ َّن اﺛْنَتَي ِْن ﻓَ ْوقَ ن‬
ْ ‫اﺣﺪَﺓ كَان‬
ِ ‫َو‬
َ
‫ﻒ ﻓَل َﻬا‬ُ ‫ﺼ‬
ْ ِ‫الن‬

Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.


Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak
perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa’ : 11)

b. Ayat waris untuk orang tua

‫اﺣ ٍﺪ ِل ُﻜ ِل َوﻷَبَ َو ْﻳ ِه‬


ِ ‫ُس ِم ْن ُﻬ َما َو‬
ُ ‫ﺴﺪ‬ ُّ ‫ﺚ ﻓَِل ُ ِم ِه ﺃَبَ َواهُ َو َو ِرﺛَهُ َو َلﺪ َّله ُ ﻳَ ُﻜن َّل ْم َﻓﺈِن َو َلﺪ َله ُ َكانَ ِإن ت ََرﻙَ ِم َّما ال‬ ُ ُ‫َكانَ ﻓَﺈِن الثُّل‬
ُ
ُ‫ُس ﻓَِل ِم ِه ِإ ْﺧ َوﺓ لَه‬ ُ ‫ﺴﺪ‬ُّ ‫صيَّ ٍة بَ ْع ِﺪ ِمن ال‬
ِ ‫ُوصﻲ َو‬ ِ ‫ﻀة نَ ْفعا لَ ُﻜ ْم ﺃ َ ْق َرﺏُ ﺃَﻳُّ ُﻬ ْم تَﺪ ُْرونَ ﻻَ َوﺃَبنا ُؤ ُك ْم آبَآ ُؤ ُك ْم ﺩَﻳ ٍْن ﺃ َ ْو ِب َﻬا ﻳ‬
َ ‫ﻓَ ِرﻳ‬
َ‫َﺣ ِﻜيما َع ِليما َكانَ ّللاَ ِإ َّن ّللاِ ِمن‬

Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih
dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ : 11)

c. Ayat waris buat suami dan istri

.‫ﻒ َولَ ُﻜ ْم‬ُ ‫ﺼ‬ ْ ِ‫الربُ ُﻊ ﻓَلَ ُﻜ ُم َولَﺪ لَ ُﻬ َّن َكانَ ﻓَﺈِن َولَﺪ لَّ ُﻬ َّن َﻳ ُﻜن لَّ ْم ِإن ﺃ َ ْﺯ َوا ُج ُﻜ ْم ت ََرﻙَ َما ن‬
ُّ ‫ص َّي ٍة َب ْع ِﺪ ِمن ت ََر ْكنَ ِم َّما‬
ِ ‫ُوصينَ َو‬ ِ ‫ﻳ‬
‫الربُ ُﻊ َولَ ُﻬ َّن ﺩَﻳ ٍْن ﺃَ ْو ِب َﻬا‬
ُّ ‫صيَّ ٍة َب ْع ِﺪ ِمن ت ََر ْكتُم ِم َّما الث ُّ ُمنُ ﻓَلَ ُﻬ َّن َولَﺪ لَ ُﻜ ْم َكانَ ﻓَﺈِن َولَﺪ لَّ ُﻜ ْم ﻳَ ُﻜن لَّ ْم ِإن ت ََر ْكت ُ ْم ِم َّما‬ِ ‫َو‬
َ‫صون‬ ُ ‫ﺩَﻳ ٍْن ﺃَ ْو ِب َﻬا تُو‬

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya.Paraistri memperoleh
seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar utang-utangmu. (QS. An-Nisa’ : 12)

d. Ayat waris Kalalah

Kalalah lainnya adalah seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
saudara perempuan.

َ ‫ﻒ ﻓَلَ َﻬا ﺃ ُ ْﺧﺖ َولَهُ َولَﺪ لَهُ لَي‬


َ‫ْس َهلَﻚَ ا ْم ُرؤ إِ ِن ْال َﻜﻼَلَ ِة ﻓِﻲ ﻳُ ْف ِتي ُﻜ ْم ّللاُ قُ ِل ﻳَ ْﺴتَ ْفتُونَﻚ‬ ُ ‫ﺼ‬
ْ ِ‫ت ََرﻙَ َما ن‬

Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi


fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya. (QS. An-Nisa’ : 176)
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Warisan merupakan
segala sesuatu peninggalan (bisa asset dan bisa utang) yang ditinggalkan oleh
pewaris (orang yang meninggal) dan diwasiatkann kepada Ahli waris.

Tujuan ilmu mawaris adalah membagi harta warisan sesuai dengan


ketentuan Nash (Al-Qur’an dan Sunnah) sesuai dengan keadilan sosial dan tugas
serta tanggung jawab masing-nasing ahli waris.

Terdapat 25 ahli waris yang diatur dalam ketentuan hukum waris islam,yang
dapat mewarisi harta pewaris yang terdiri dari 15 orang laki-laki dan 10 orang
perempuan.

Ahli Waris Laki-Laki Terdiri Dari:

1. Anak laki-laki

2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah

3. Ayah

4. Kakek dari ayah dan terus ke atas

5. Saudara laki-laki kandung

6. Saudara laki-laki seayah


7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
9. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
10. Paman yang sekandung dengan ayah
11. Paman yang seayah dengan ayah
12. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
13. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak

Ahli Waris Perempuan Terdiri Dari:


1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki,dan terus kebawah
3. Ibu
4. Nenek (ibu dari ibu) dan terus ke atas
5. Nenek (ibu dari ayah),dan terus kebawah
6. Saudara perempuan kandung
7. Saudara perempuan seayah
8. Saudara perempuan seibu
9. Istri

10. orang perempuan yang memerdekakan budak

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya
untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
produktivitas kerja
Bahaya yang dihadapi dalam rumah sakit ; Bahaya kebakaran dan ledakan
dari zat/bahan yang mudah terbakar atau meledak (obat– obatan), Bahan beracun,
korosif dan kaustik , Bahaya radiasi , Luka bakar ,Syok akibat aliran listrik ,Luka
sayat akibat alat gelas yang pecah dan benda tajam & Bahaya infeksi dari kuman,
virus atau parasit.

B. Saran
Kondisi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) khususnya di Indonesia
secara umum diperkirakan termasuk rendah. Pada tahun 2008 Indonesia menempati
posisi yang buruk jauh di bawah Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand.
Kondisi tersebut mencerminkan kesiapan daya saing pelayanan dan kualitas
saranan kesehatan Indonesia di dunia internasional masih sangat rendah. Indonesia
akan sulit menghadapi persaingan global karena mengalami ketidakefisienan
pemanfaatan tenaga kerja (produktivitas kerja yang rendah). Padahal kemajuan
pelayanan tersebut sangat ditentukan peranan mutu tenaga kerjanya. Karena itu
disamping perhatian instansi itu sendiri, pemerintah juga perlu memfasilitasi
dengan peraturan atau aturan perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Nuansanya harus lebih bersifat manusiawi dan bermartabat.
Keselamatan kerja telah menjadi perhatian di kalangan pemerintah dan bisnis sejak
lama. Faktor keselamatan kerja menjadi penting karena sangat terkait dengan
kinerja karyawan dan pada gilirannya pada kinerja pelayanan kesehatan. Semakin
tersedianya fasilitas keselamatan kerja semakin sedikit kemungkinan terjadinya
kecelakaan kerja.
DAFTAR PUSTAKA

Allen, carol Vestal, 1998, Memahami Proses keperawatan dengan pendekatan latihan ,
alih bahasa Cristantie Effendy, Jakarta : EGC
Depkes RI, 1991, pedoman uraian tugas tenaga keperawatan dirumah sakit,
Jakarta.:Depkes RI
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996

Anda mungkin juga menyukai