Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DENGAN ORIENTASI

MASA DEPAN PADA PENYANDANG DISABILITAS


Di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Provinsi Jawa Barat

Disusun Oleh :

Melvin Erdinta
NIM. 7111161070

USULAN PENELITIAN

PROGRAM STUDI S1 PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI

CIMAHI

2019
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia menginginkan kehidupannya berjalan sesuai dengan

apa yang diharapkan seperti menginginkan fisik yang sehat. Menurut WHO

(World Healt Organization) definisi sehat adalah suatu keadaan yang

sempurna yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari

penyakit ataupun kecacatan. Tetapi disisi lain harapan tersebut menjadi sirna

bagi sebagian individu yang memiliki fisik maupun mental kurang sempurna.

Keadaan fisik yang kurang sempurna akan menjadi hambatan di dalam

melaksanakan tugas perkembangan seperti menjalin hubungan baru dengan

teman sebaya, menjalani 6 peran sosial, menerima keadaan fisik, dan

mempersiapkan masa depan (karir, ekonomi, keluarga, dan kemandirian

sosial). (Hurlock, 2006)

Individu yang mengalami keadaan fisik yang tidak normal karena

bawaan dan bukan bawaan akan mempunyai sikap yang berbeda-beda dalam

menghadapi dunia luar, khususnya pada masa remaja. Remaja yang

mengalami cacat fisik bukaan bawaan, seperti terjadi akibat kecelakaan atau

bencana alam akan mengalami penyesuaian diri yang lama dan membuat

remaja tidak begitu saja dapat menerima keadaan dengan mudahnya

mengingat individu sedang dalam masa remaja yang artinya sedang

menyiapkan perkembangan kearah dewasa dengan mengembangkan


2

keterampilan yang dimiliki dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Tidak hanya pada remaja, orang dewasa yang mengalami kecelakaan yang

mengakibatkan cacat fisik pun tetap tidak dapat menerima diri individu

dengan mudah karena akan memepengaruhi aktivitas sehari-hari seperti

bekerja. Keadaan diatas membuat diperlukannya suatu kemampuan mengelola

diri sendiri agar individu yang mengalami disabilitias tetap bertahan dalam

menjalani kehidupannya. (Tentama F., 2012)

Berdasarkan Undang-Undang Replublik Indonesia No. 8 Tahun 2016,

istilah tunadaksa bagi cacat fisik diganti menjadi penyandang disabilitas daksa

atau fisik. Didalam juga dijelaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki

hak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial meliputi hak rehabilitasi sosial,

jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Pemerintah dan

Pemerintah Daerah wajib melakukan penyelenggaraan kesejahteraan sosial

dalam bentuk pelayanan sosial bagi penyandang disabilitas.

Salah satu instansi pemerintah yang melaksanakan penyelenggaraan

kesejahteraan sosial adalah Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas

(BRSPD) di Cibabat–Cimahi, yang merupakan Unit Pelaksanaan Teknis Dinas

di Lingkungan Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat. BRSPD Cibabat-Cimahi

mempunyai fungsi yaitu penyelenggaraan pengkajian bahan petunjuk teknis

rehabilitasi penyandang disabilitas dan penyelenggaraan rehabilitasi sosial

penyandang disabilitas. (https://brspd-cibabat-cimahi.blogspot.com)

Penyusun melakukan peninjauan awal di BRSPD Cibabat-Cimahi pada

bulan September 2019 dengan mewawancarai salah satu pembina. Menurut

hasil wawancara, sebutan penyandang disabilitas yang sedang menjalani


3

rehabilitasi adalah klien. Ada 4 jenis disabilitas yang hanya bisa direhabilitasi

di BRSPD yaitu tunagrahita, tunadaksa, tunawicara dan tunarungu.

Tunagrahita adalah individu yang memiliki intelegensi yang signifikan berada

dibawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi prilaku

yang muncul dalam masa perkembangan. Tunadaksa adalah individu yang

memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan

struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan,

termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tunanetra adalah orang

yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunarungu adalah individu yang

memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak

permanen. (https://id.wikipedia.org/wiki/Anak_berkebutuhan_khusus)

Total ada 97 klien yang berada di BRSPD yang berasal dari keluarga

prasejahtera di berbagai daerah di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2019,

namun tidak sembarang klien yang dapat diterima di BRSPD. Klien yang

dapat diterima untuk rehabilitasi harus dapat melakukan activity daily living

yaitu dengan mengurus diri sendiri, juga mampu didik dan mampu dilatih

serta mampu baca tulis. Dari total 97 klien, rata-rata usia klien ada remaja dan

dewasa awal yaitu 15 tahun sampai 25 tahun.

BRSPD melakukan kegiatan rehabilitasi pada kliennya hanya dari

bulan Maret sampai bulan November. Selama 9 bulan BRSPD banyak

mengadakan kegiatan seperti program bimbingan sosial, bimbingan

keterampilan khususnya tatabusana, tatarias, tataboga, otomotif, elektronika,

sablon, pertukangan, pijat, juga adakan pemeriksaan oleh dokter, pembinaan

agama, dan psikologis. Kegiatan ini dilakukan untuk pengembangan klien di


4

balai rehabilitasi dan setelah lulus dari BRSPD ini klien dituntut untuk bisa

mandiri, berfikir positif dan paham potensi yang dimiliki klien. Tujuan lain

yaitu meningkatkan kemampuan sehingga klien mempunyai keahlian khusus

yang didapatkan selama mengikuti kegiatan di BRSPD untuk menunjang

hidupnya di masa depan.

Penyusun melakukan wawancara kepada 4 orang klien yang berada di

BRSPD. Klien pertama dengan inisial I berumur 23 tahun, berjenis kelamin

laki-laki, dan penyandang tuna grahita. Saat dilakukan wawancara, I selalu

tiba-tiba tersenyum dan menutipi senyumannya. I mengalami keterbatasan

sejak dari lari dan I menyadari bahwa dirinya berbeda sejak SD. I menjelaskan

bahwa ia dapat berbicara jelas pada usia 14 tahun, dan sebelumnya I

menggunakan bahasa isyarat. I merasa minder dengan apa yang dialaminya,

namun I dapat melakukan aktifitas nya sehari-hari. I mengikuti kegiatan di

BRSPD bukanlah dari kemauan diri sendiri tetapi didaftarkan oleh kakaknya,

sehingga I merasa tidak nyaman dan tidak betah berada di BRSPD.

Ketidaknyamanan I dikarenakan terdapat ketidakcocokan dengan teman-

temannya, namun jika terjadi konflik dengan teman-temannya I berusaha

untuk mengalah. Saat ditanya mengenai masa depan, setelah lulus dari

BRSPD I berkeinginan membuka panti pijat dan setelah ditanya lebih lanjut I

merasa masih bingung kalau harus kerja apa setelah lulus nanti.

Klien kedua berinisia R berumur 20 tahun, berjenis kelamin laki-laki,

dan penyandang tuna daksa. R mengalami kecelakaan saat kelas 3 SMP,

sehingga menyebabkan cara berjalan R tidak seperti biasanya. Saat ditanya

perasaan mengenai keadaan setelah kecelakaan, R merasa minder dan


5

menyesal. Aktifitas R juga menjadi terbatas misalnya saat bermain dengan

temannya, R merasa sedih dan malu saat tidak bisa ikut bermain futsal

kembali dengan teman-temannya. Walaupun hobi R dulu adalah futsal, tetapi

R sekarang sudah mengantinya dengan bermain tenis meja yang tidak terlalu

menggunakan kaki. R mengikuti kegiatan di BRSPD bukanlah dari kemauan

diri sendiri tetapi didaftarkan oleh orang tua nya, sehingga R merasa tidak

nyaman dan tidak betah berada di BRSPD. Ketidaknyamanan R dikarenakan

terdapat ketidakcocokan dengan teman-temannya, namun jika terjadi konflik

dengan teman-temannya R berusaha untuk mengalah. Saat ditanya mengenai

masa depan R belum terfikirkan untuk kerja apa, namun setelah R lulus dari

BRSPD R akan melanjutkan sekolahnya untuk mendapatkan ijazah SMA.

Klien ketiga berinisial D berumur 22 tahun, berjenis kelamin laki-laki,

dan penyandang tuna netra. D hanya bisa melihat cahaya bayangan dengan

sangat buram atau tidak jelas. D sudah biasa melakukan aktifitasnya sehari-

hari karena D mengalami ketebatasan penglihatan sejak dari lahir. D bisa

menggunakan smart phone walaupun dengan jarak yang sangat dekat dengan

mata dan juga bisa menggunakan perangkat komputer untuk menggambar

secara digital. Beda dengan yang lain, D mengikuti kegiatan di BRSPD atas

kemauan diri sendiri bukan karena orang lain karena R memiliki cita-cita

setelah lulus dari BRSPD untuk berkerja dalam bidang desain grafis.

Klien keempat berinisial D berumur 27 tahun , berjenis kelamin wanita

dan penyandang tuna wicara. Saat mewawancarai D penyusun dibantu klien I

sebagai penerjemah bahasa isyarat. D sangat antusias menjawab pertanyaan

dari penulis. Sejak lahir D mengalami keterbatasan dalam mendengar, namun


6

orang tua D mengajarkan D bahasa isyarat dan rasa bersyukur. D selalu

bersyukur atas keadaan yang dialaminya dan bersikap ramah walaupun sering

diejek oleh temannya. D menceritakan bahwa ia dibandingkan dengan teman-

temannya, D sangat antusias dalam mengikuti kegiatan dikelas tatarias. Hal

tersebut dikarenakan setelah lulus dari BRSPD, D sangat memiliki keinginan

untuk dapat berkerja di salon yang berada di daerah asalnya.

Dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan penyusun,

penyandang disabilitas mampu menjalani aktifitas kesehariannya walaupun

dengan keterbatasan yang dimiliki. Dalam keterbatasan yang dimiliki

penyandang disabilitas tetap memiliki rasa minder atau tidak percaya diri,

namun mereka tetap berfikir jernih dengan bersyukur dan optimis.

Penyandang disabilitas juga memiliki harapan untuk masa depannya yang

lebih baik.

Adversity Quotient menurut Stoltz (2005: 9) diartikan sebagai

kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara

teratur. Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan

ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap

berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang

sedang terjadi. Kondisi atau tuntutan yang dihadapi klien di BRSPD

menyebabkan dilema adversitas. Suatu dilema adversitas yang dialami

misalnya disaat mereka menentukan masa depannya seperti apa tetapi mereka

harus memikirkan mampukah keadaan mereka saat ini. Klien yang tinggal di

BRSPD yang memiliki segala keterbatasan akan mengupayakan masa depan

mereka agar lebih baik.


7

Menurut Nurmi (dalam Steinberg, 2009), orientasi masa depan adalah

gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya dalam konteks masa depan.

Klien di BRSPD harus mempunyai orientasi masa depan karena sesuai dengan

tujuan atau tuntuntan BRSPD setelah lulus bahwa klien dituntut agar memiliki

kualitas kemampuan sosial, mental, fisik, dan keterampilan yang didapatkan.

Harapan lain adalah agar klien mempunyai perubahan dalam hal fungsi

sosialnya, berfikir positif dan harus mampu berkomunikasi dengan masyarakat

di lingkungan sosialnya, tidak hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun

dengan keterbatasannya. Kemudian, setelah keluar dari balai rehabilitasi klien

dapat berkerja secara mandiri tanpa meminta batuan kepada orang lain.

Berdasarkan hasil dari penelitian, Yosiana (2015) dalam penelitian

yang berjudul ”Hubungan Antara Orientasi Masa Depan dan Daya Juang

Terhadap Kesiapan Kerja Pada Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik di Universitas” menunjukkan terdapat hubungan yang positif

antara orientasi masa depan dan daya juang terhadap kesiapan kerja pada

mahasiswa tingkat akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Mulawarman Samarinda. Hal tersebut juga berkaitan dengan penelitian ini

yang ingin mengungkap orientasi masa depan remaja dan hubungannya

dengan adversity quotient. Oleh karena itu penting untuk dilakukan penelitian

bagaimana adversity quotient berhubungan dengan orientasi masa depan

penyandang disabilitas di BRSPD. Berdasarkan latar belakang diatas maka,

penyusun perlu menguji penelitian yang berjudul “Hubungan antara Adversity

Quotient dengan Orientasi Masa Depan Penyandang Disabilitas di Balai

Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas”.


8

1.2 Identifikasi Masalah

Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas merupakan suatu

lembaga di Indonesia yang berada dibawah pengawasan Dinas Sosial yang

didalamnya terdapat penyandang disabilitas yang diberikan kesejahteraan

sosial. Khususnya pada penyandang tunadaksa yang memiliki keterbatasan

dan permasalahan yang berhubungan dengan fisiknya. Pentingnya pemahaman

tentang apa yang dibutuhkan untuk mampu menghadapi permasalahan

ataupun kesulitan yang berhubungan dengan keadaan fisik yang dialami untuk

memenuhi tuntutan setelah keluar dari balai rehabilitasi yaitu dapat berkerja di

perusahaan dan mampu bersaing dengan orang lain dengan tidak memandang

keterbatasan fisiknya. Dibutuhkannya orientasi masa depan bagi penyandang

disabilitas yang berguna untuk tuntutan setelah keluar dari balai rehabilitasi

mengenai kelanjutan masa depannya nanti. Walaupun penyandang disabilitas

di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas yang memiliki segala

keterbatasan, mereka akan berusaha mengupayakan masa depan mereka agar

lebih baik.

Berdasarkan uraian diatas, maka penyusun mencoba

mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:

 Bagaimana gambaran adversity quotient penyandang disabilitas di Balai

Rehabilitasi Sosisal Penyandang Disabilitas?

 Bagaimana gambaran orientasi masa depan penyandang disabilitas di

Balai Rehabilitasi Sosisal Penyandang Disabilitas?

 Apakah ada hubungan antara adversity quotient dengan orientasi masa

depan di Balai Rehabilitasi Sosisal Penyandang Disabilitas?


9

1.3 Maksud dan Tujuan

1.3.1 Maksud

Maksud dari usulan penelitian ini adalah untuk memberikan data

empiris mengenai hubungan adversity quotient dengan orientasi masa

depan pada penyandang disabilitas di Balai Rehabilitasi Sosial

Penyandang Disabilitas Provinsi Jawa Barat.

1.3.2 Tujuan

Adapun tujuan dari usulan penelitian ini adalah untuk memperoleh

gambaran secara umum mengenai adversity quotient dan orientasi

masa depan yang dimilik penyandang disabilitas, serta menguji adanya

hubungan antara adversity quotient dan orientasi masa depan

penyandang disabilitas.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai adversity quotient dan orientasi masa depan pada

penyandang disabilitas dalam Psikologi, khusus nya bagi bidang

ilmu psikologi

2. Sebagai sumbangan informasi bagi penelitian selanjutnya yang

hendak melakukan penelitian mengenai adversity quotient dan

orientasi masa depan.

1.4.2 Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah:


10

1. Memberi pengetahuan dan informasi yang berguna kepada klien

disabilitas di BRSPD mengenai adversity quotient dan orientasi

masa depan, sehingga penyandang disabilitas dapat memahami dan

mengenal diri sendiri serta mulai memikirkan pentingnya orientasi

masa depan sehingga mereka bisa menyusun tujuan dan rencana

yang akan diwujudkan dimasa yang akan datang.

2. Memberi informasi kepada Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang

Disabilitas Provinsi Jawa Barat, bahwa pentingnya meningkatkan

adversity quotient yang dimiliki penyandang disabilitas bagi masa

depan klien.

1.5 Kerangka Pikir

1.6 Hipotesa penelitian

Anda mungkin juga menyukai