Anda di halaman 1dari 67

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis bersifat berulang, kronik dan dapat menginfeksi
pulmo dan ekstrapulmo yang dikarakteristikan dengan terbentuknya
granuloma kaseosa, fibrosis dan kavitas. Tuberkulosis dapat menyebar secara
pulmoner dan ekstrapulmoner. Tuberkulosis paru merupakan bentuk TB yang
sering terjadi yaitu sekitar 80% dari kasus. Tuberkulosis ekstrapulmoner dapat
menyerang beberapa organ selain paru. Hal ini karena penyebarannya yang
bersifat limfogen dan hematogen. 1
Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB paru dengan
sebagian besar penderita adalah 15-55 tahun yang berpotensi menularkan
2
kepada orang lain. WHO memperkirakan adanya 9,5 juta kasus baru dan
2
sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB paru diseluruh dunia. Laporan
WHO tentang insidensi TB secara Global tahun 2010 menyebutkan bahwa
insidensi terbesar TB terjadi di Asia-Tenggara yaitu sebesar 40% dan
Indonesia menempati posisi ke lima setelah Banglades, Buthan, Korea dan
India.3,4
Salah satu bentuk TB ekstrapulmoner yaitu tuberkulosis milier
merupakan adanya manifestasi Mycobacterium tuberculosis (tuberkulosis
diseminata) yang menyebar secara hematogen tetapi berdasarkan konsensus
tuberkulosis anak (2010) mengatakan bahwa TB milier masuk kedalam TB
pulmoner tipe berat.5,6 Berdasarkan data yang didapatkan dari Pedoman
Nasional TB 2011, diketahui bahwa tuberkulosis milier memiliki angka
kejadian sekitar 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka mortalitas yang
tinggi yaitu dapat mencapai 25% pada bayi. 7

1
TB Milier, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu basil M. Tuberculosis
(jumlah dan virulensinya) dan status imunologis pasien (nonspesifik dan
spesifik). 6 Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil
terutama usia kurang dari 2 tahun. Hal ini dikarenakan imunitas seluler
spesifik, fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum
dapat berkembang sempurna sehingga basil TB mudah berkembang biak dan
menyebar keseluruh tubuh. 1,6

B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk mengetahui beberapa hal
berikut ini :

1. Definisi Tuberkulosis Milier


2. Epidemiologi Tuberkulosis Milier
3. Etiologi Tuberkulosis Milier
4. Cara penularan
5. Faktor risiko Tuberkulosis Milier
6. Patofisiologi Tuberkulosis Milier
7. Penegakkan diagnosis Tuberkulosis Milier
8. Penatalaksanaan Tuberkulosis Milier

C. MANFAAT
1. Diharapkan menjadi salah satu bahan masukan bagi instansi kesehatan
dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan di masa mendatang.
2. Diharapkan menjadi bahan pembelajaran yang baik mengenai
Tuberkulosis Milier bagi Mahasiswa Kepaniteraan Klinik RSUD. Prof. dr.
Margono Soekarjo Purwokerto.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
1. Tuberkulosis
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat kronik, berulang dan
merupakan penyakit infeksi pulmo dan ekstrapulmo yang
dikarakteristikan dengan terbentuknya granuloma dengan kaseosa,
fibrosis serta kavitas. 1 Sedangkan, berdasarkan Guidenance for
National Tuberculosis Programmes on Management of Tuberculosis in
Children, tuberculosis merupakan penyakit infeksi kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh
hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated). 8
Basil ini akan masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi lalu
masuk ke paru dan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah
dan sistem limfatik atau secara langsung menyebar ke organ target
tersebut. Tuberkulosis paru merupakan bentuk TB yang sering terjadi
yaitu sekitar 80% dari kasus. Tuberkulosis ekstrapulmo dapat
menyerang beberapa organ selain paru. 1,5
2. Tuberkulosis Milier
Tuberkulosis milier merupakan penyakit limfo-hematogen
sistemik akibat penyebaran Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis
diseminata) dari kompleks primer yang biasanya terjadi dalam waktu
2-6 bulan setelah infeksi awal. TB milier juga menyebabkan acute
respiratory distress syndrome (ARDS). 6

3
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat
dan merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian
yang tinggi. TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil,
terutama usia dibawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi
makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum
berkembang sempurna sehingga bakteri TB mudah berkembang biak
dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier dapat terjadi pada anak
besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer yang tidak
adekuat atau pada usia dewasa akibat reaktivasi bakteri yang dorman.
6,9

Terjadinya TB milier dipengaruhi 3 faktor yaitu bakteri


Mycobacterium tuberculosis (jumlah dan virulensi), status imunologis
penderita (non spesifik dan spesifik) dan faktor lingkungan. Beberapa
kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat menyebabkan
timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi campak,
pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, penggunaan
kortikosteroid jangka lama. 1,6

B. EPIDEMIOLOGI
1. Epidemiologi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB ) paru merupakan penyakit menular yang


masih menjadi perhatian dunia. Penyakit ini merupakan infeksi kronik
jaringan paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.1
Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB paru dengan
sebagian besar penderita adalah 15-55 tahun yang berpotensi
menularkan kepada orang lain. Penanggulangan penyakit TB paru
aktif dilakukan oleh 199 negara di dunia tetapi hingga saat ini belum
ada satu negara pun yang bebas TB paru.11 WHO sejak tahun 1995
mencanangkan strategi Direct-Observed Treatment Short-term
(DOTS) yang kemudian dinyatakan oleh Bank Dunia sebagai
intervensi kesehatan yang paling efektif.7 WHO memperkirakan
adanya 9,5 juta kasus baru dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat

4
TB paru diseluruh dunia. 12

2
Gambar 2.1. Insidensi TB secara Global tahun 2010

Laporan WHO tentang insidensi TB secara Global tahun 2010


menyebutkan bahwa insidensi terbesar TB terjadi di Asia-Tenggara
yaitu sebesar 40% dan Indonesia menempati posisi ke lima setelah
Banglades, Buthan, DPR Korea, dan India.2 Di Indonesia, TB paru
merupakan penyakit menular pertama yang mengancam nyawa dan
merupakan peringkat ke-3 dari 10 penyakit pembunuh terbesar di
2,3
Indonesia Rata-rata insidensi TB yaitu sebesar 189 per 100.000
populasi per tahun. Rata-rata prevalensi TB yaitu 289 per 100.000
populasi per tahun dan rata-rata mortalitas TB yaitu sebesar 27 per
100.000 populasi per tahun. Sedangkan Case Detection Rate hanya
66%. 2,4

Gambar 2.2. Rata-rata Prevalensi TB tahun 1990 dan 2010 2

5
Tabel 2.1. Insidensi, Prevalensi dan Mortalitas di Asia Tenggara (rata-
rata per 100.000 populasi) 2

Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang


bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ,
terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran
hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus
yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan
yang dihadapi yaitu masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta
komplikasi TB . Dengan meningkatnya kejadian TB pada orang
dewasa, maka jumlah anak yang terinfeksi TB akan meningkat dan
jumlah anak dengan penyakit TB pun akan meningkat. 2
Imunisasi BCG tidak menjamin anak bebas dari penyakit
tersebut. Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui percikan
dahak apabila terkena bakteri tersebut terus-menerus dari orang
dewasa di dekatnya maka anak dapat terkena. Di antara sesama anak
kecil sangat kecil kemungkinannya untuk menularkan bakteri ini.
Oleh karena itu, angka anak penderita TB sangat terpengaruh jumlah
orang dewasa yang dapat menularkan TB . 5,6

6
Tuberkulosis terutama menonjol di populasi yang mengalami
nutrisi buruk, lingkungan yang penuh sesak, perawatan kesehatan yang
tidak memadai. Pada anak, kebanyakan terinfeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis di rumahnya dari seseorang yang dekat
dengannya tetapi wabah tuberkulosis anak juga terjadi di lingkungan
sekolah. 7,1
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan
jumlah kasus TB anak per tahun yaitu 5% sampai 6% dari total kasus
TB . Seorang anak dapat terkena infeksi TB tanpa menjadi sakit TB
misalnya terdapat uji tuberkulin positif tanpa ada kelainan klinis,
radiologis dan laboratoris. Tuberkulosis primer pada anak kurang
membahayakan masyarakat karena tidak menular tetapi bagi anak itu
sendiri cukup berbahaya karena dapat menimbulkan TB ekstra
pulmonal yang sering kali menjadi sebab kematian atau menimbulkan
cacat misal pada TB Milier. 8,9
2. Epidemiologi TB Milier
Dari seluruh kasus TB , sekitar 1,5% mengalami TB milier.
WHO melaporkan bahwa sekitar 2-3 juta pasien meninggal tiap
tahunnya akibat TB Milier. Insidensi TB Milier nampak lebih tinggi
di Afrika. Hal ini disebabkan faktor risiko sosial ekonomi yang rendah,
jenis kelamin yaitu lelaki lebih banyak dibanding perempuan dan
faktor kesehatan. Tidak dibuktikan adanya peran genetik dalam hal ini.
10,8

Berdasarkan data yang didapatkan dari Pedoman Nasional TB


2011 diketahui bahwa TB milier ini merupakan salah satu bentuk TB
berat dan dan memiliki angka kejadian sekitar 3-7% dari seluruh kasus
TB dengan angka kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada
bayi). Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil
terutama usia kurang dari 2 tahun. Hal ini dikarenakan imunitas seluler
spesifik, fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan parunya
belum dpaat berkembang sempurna, sehingga basil TB mudah
berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh. Akan tetapi, TB

7
milier juga dapat terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan
penyakit paru primer sebelumnya yang tidak adekuat atau pada usia
dewasa akibat reaktivasi kuman yang dorman. 9,11
TB milier ini, selalu diikuti oleh infeksi primer, dengan atau
tanpa periode laten yang pendek. Infeksi yang terjadi pada TB milier
dikarakteristikan sebagai jumlah yang besar dari basil TB . Walaupun
dengan foto thorax, TB Milier dapat didiagnosis tetapi bila tidak
ditangani dengan segera maka dapat menyebabkan kematian pada
pasien. Sekitar 25% pasien dengan TB Milier dapat terjadi
penyebarluasan ke meningens. 8

C. ETIOLOGI
1. Etiologi Tuberkulosis
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis,
yang merupakan bakteri berbentuk batang (basil) lengkung, gram
positif, pleomorfik, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Basil
tuberkel ini mempunyai panjang sekitar 2-4µm. Bakteri ini merupakan
aerob obligat yang tumbuh pada media biakan sintetik yang
mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan garam ammonium
sebagai sumber nitrogen. Oleh sebab itu bakteri ini lebih menyenangi
jaringan yang tinggi kandungan oksigennya seperti tekanan oksigen
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada bagian lain,
sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit
tuberkulosis. 12,13
Bakteri ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41ºC. Dinding
selnya kaya akan kompleks lipid yaitu mengandung mycolic acid,
wax-D dan fosfatid. Mycolic acid ini yang membuat bakteri tersebut
tahan asam sehingga warnanya tidak dapat dihilangkan dengan asam
alkohol setelah diberi warna. Ketahanan terhadap asam ini
menyebabkan bakteri memiliki kapasitas untuk membentuk kompleks
mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan. Bila diwarnai maka
bakteri ini akan melawan perubahan warna dengan etanol dan

8
hidrokhlorida atau asam lain. Wax-D merupakan komponen aktif yang
berguna untuk melawan respon imun dan dapat menimbulkan
resistensi terhadap daya bakterisid, antibodi dan komplemen.
Sedangkan fosfatid berperan terhadap terjadinya nekrosis kaseosa. Di
dalam jaringan, bakteri hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag. 13
Cord factor (trehalose dimycolate) yang dimiliki oleh bakteri ini
berhubungan dengan virulensi bakteri. Bakteri ini dapat hidup pada
udara kering maupun dalam keadaan dingin dapat tahan bertahun-
tahun dalam lemari es. Hal ini terjadi karena bakteri bersifat dormant.
Sifat dormant inilah yang menyebabkan bakteri dapat bangkit kembali
dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi. 12,13

Gambar 2.3. Mycobacterium tuberculosis. Panah putih menunjukkan


basil tahan asam pada pewarnaan Ziehl Neelson 13

Gambar 2.4. Mycobacterium tuberculosis yang dilihat pada mikroskop


elektron 14

9
Mikobakterium tumbuh lambat dengan waktu pembentukannya
12-24 jam. Isolasi dari spesimen klinis pada media sintetik padat
biasanya memerlukan waktu 3-6 minggu, dan uji kerentanan obat
memerlukan 4 minggu tambahan. Namun pertumbuhan dapat dideteksi
dalam 1-3 minggu pada medium cairan selektif dengan menggunakan
nutrien radiolabel (system radiometric BACTEC). 13
2. Faktor yang mempengaruhi TB Milier
Terjadinya TB Milier, dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu basil
M. Tuberculosis (jumlah dan virulensinya) dan status imunologis
pasien (nonspesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan
sistem imun juga dapat memudahkan timbulnya TB Milier, seperti
infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili, pertusis, diabetes mellitus,
gagal ginjal, keganansan dan penggunaan kortikosteroid jangka
panjang. Faktor-faktor lain, yang juga ikut mempengaruhi
perkembangan penyakit ini ialah faktor lingkungan, yaitu kurangnya
paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, asap
rokok, penggunaan alkohol serta sosial ekonomi yang rendah. 8,13

D. CARA PENULARAN
Sumber penularan TB paru yaitu penderita TB BTA positif. Pada
waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan bakteri ke udara dalam
bentuk droplet (percikan dahak) dengan diameter1-5μm yang mengandung
Mycobacterium tuberculosis. Droplet yang mengandung bakteri dapat
bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Risiko infeksi
tergantung dari beberapa faktor seperti sumber infeksi, kedekatan dengan
kontak dan banyaknya basil yang terinhalasi. Orang dapat terinfeksi apabila
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Selama
Mycobacterium tuberculosis masuk kedalam tubuh manusia melalui
pernapasan, bakteri tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran linfe,saluran napas,
atau penyebaran langsung kebagian-bagian tubuh lainnya. 10,15

10
Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung dengan kotoran cair
terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi. Peluang penularan
bertambah bila penderita mempunyai ludah dengan basil pewarnaan tahan
asam, infiltrat, dan kaverna lobus atas yang luas, produksi sputum cair,
banyak dan batuk berat serta kuat. 9

Tabel 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemungkinan penularan


Mycobacterium tuberculosis(7

Faktor Deskripsi
Suseptibilitas Status imun dari individu yang terekspos
(Susceptibility)
Infeksius Jumlah tuberkel basilus yang dikeluarkan oleh
(Infectiousness) orang dewasa dengan TB aktif.
Lingkungan sirkulasi udara yang buruk memperbesar
(Environment ) penularan.
Paparan Kedekatan (proximity), frekuensi dan durasi dari
(Exposure) paparan

Daya penularan dari seorang penderita dewasa ditentukan oleh


banyaknya bakteri yang dikeluarkan dari paru. Makin tinggi derajat positif
hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat bakteri ), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan
oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut. 7,10
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection
= ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-2 %.
Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000
penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang
yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB , hanya 10 % dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita TB sehingga dapat diperkirakan
bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 %
penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan

11
seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah
diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS. 13
Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk memperbesar
penularan. Kebanyakan orang dewasa tidak menularkan organisme dalam
beberapa hari sampai 2 minggu sesudah kemoterapi yang cukup, tetapi
beberapa penderita tetap infeksius selama beberapa minggu. Anak-anak
dengan tuberkulosis jarang menginfeksi anak lain maupun orang dewasa.
Basil tuberkel sedikit disekresi oleh endotracheal pada anak dengan
tuberculosis paru, dan batuk sering tidak ada atau tidak ada dorongan batuk
yang diperlukan untuk menerbangkan partikel-partikel infeksius dengan
ukuran yang tepat. 9

E. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi
tuberkulosis pada anak-anak, antara lain adalah anak yang memiliki kontak
dengan orang dewasa dengan TB aktif. Bayi dari seorang ibu yang dengan
sputum BTA positif memiliki faktor risiko tinggi terinfeksi TB . Faktor
risiko lain adalah daerah endemis, kemiskinan serta lingkungan yang tidak
sehat termasuk sirkulasi udara yang tidak baik. Malnutrisi dan keadaan
imunokompromais (seperti infeksi HIV/AIDS, keganasan) juga merupakan
faktor risiko terjadinya penyakit TB . Faktor risiko lainnya adalah faktor
usia. Anak dibawah umur 5 tahun mempunyai risiko yang lebih besar
mengalami progresi infeksi menjadi sakit tuberkulosis. Namun risiko
penyakit TB ini akan berkurang bertahap dengan seiring pertambahan
usia. 7

12
Tabel 2.3. Faktor Risiko terjadinya Tuberkulosis 7

F. PATOGENESIS
Berdasarkan Konsensus Tuberkulosis pada pediatrik tahun 2010,
diketahui bahwa TB milier termasuk dalam TB pulmo yang berat (Severe
Pulmonary TB ). Perkembangan TB milier merupakan perkembangan fokus
infeksi basil Mycobacterium tuberculosis secara hematogen. 9
Setelah paparan dan inhalasi dari basil TB melalui drophlet
infection, maka basil TB ini akan masuk ke saluran pernafasan dan ke
daerah paru. Hal ini diikuti dengan terbentuknya limfangitis paru dan
limfadenopati hilus. Kemudian dalam waktu 3 bulan, apabila kondisi pasien
mengalami penurunan, sanitasi buruk dan keadaan gizi kurang, maka basil
TB akan menyebar secara hematogen, setelah terjadi infeksi primer. Akan
tetapi TB milier, dapat terjadi sebagai TB primer atau mungkin merupakan
perkembangan setelah adanya infeksi awal. 15,16
Droplet yang terinhalasi dapat melewati sistem imun yang berada di
bronkus karena ukurannya yang terlalu kecil dan berpenetrasi ke dalam
alveoli. Hal ini kemudian mengaktifkan mekanisme imunologis non

13
spesifik. Basil tersebut mengaktifkan makrofag alveolar dan sel dendritik
yang berfungsi memfagosit patogen tersebut melalui reseptor makrofag yang
dimilikinya. Lipoarabinomannan mycobacterial yang dimiliki oleh basil ini
dapat menyebabkan basil dapat berikatan dengan reseptor makrofag alveolar
sehingga C3 sebagai komplemen protein dapat bekerja dengan mengikat
dinding sel dan meningkatkan perlawanan terhadap Mycobacterium. M.
tuberculosis juga dapat menginfeksi sel non fagositik pada alveolar space
yaitu M cells, alveolar endothelial, type 1 dan type 2 epithelial cells
(pneumocytes). 15
Pada reaksi awal, makrofag alveolus akan menfagositosis bakteri dan
menghancurkan sebagian besar bakteri tersebut. Makrofag ini juga akan
menginisiasi terbentuknya berbagai reaksi yang berkelanjutan dan
mengontrol terjadinya infeksi akibat bakteri ini, lalu diikuti terjadinya fase
latent tuberculosis atau perubahan. M.tuberculosis diinternalisasi oleh sel
imun fagositik dan bereplikasi secara intrasel sehingga dapat melewai barier
alveolar yang menyebabkan penyebaran secara sistemik. Replikasi intrasel
dan penyebaran secara simultan dari patogen ke kelenjar limfe pulmo dan
ekstrapulmo menyebabkan respon imun adaptif. Kemampuan bakteri ini
untuk bertahan sangatlah kuat sehingga dapat mencegah eliminasi oleh
sistem imun. 15
Pada individu yang terinfeksi, cell-mediated immune response (CMI)
berkembang 2-8 minggu setelah infeksi yang dapat menghentikan
multiplikasi tuberkel basil. Limfosit T teraktivasi oleh makrofag dan sel
imun lain sehingga membentuk granuloma yaitu dinding dari jaringan
nekrotik yang berfungsi untuk membatasi replikasi dan penyebaran tuberkel
basil. 15
Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan biasanya dapat
menghancurkan sebagian besar kuman TB . Makrofag ini juga akan
menginisiasi terbentuknya berbagai reaksi yang berkelanjutan dan
mengontrol terjadinya infeksi akibat basil ini, lalu diikuti terjadinya fase
latent tuberculosis atau perubahan menjadi aktifnya penyakitnya TB yang
disebut sebagai primary progressive tuberculosis. Akan tetapi, pada

14
sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB
dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag yang terjadi setiap 25-32 jam.
Akibat reaksi makrofag dan mycobacterium selanjutnya, akan menghasilkan
enzim proteolitik dan sitokin. Produksi dari sitokin akan merangsang
limfosit T pada proses imunitas. Makrofag akan menggiring antigen dari
basil ini ke permukaan sel T untuk terus bereaksi melawan bakteri ini.
Selain itu, bakteri ini yang tidak dapat dilawan oleh beberapa proses
tersebut akan terus berkembang biak di dalam makrofag sehingga makrofag
tidak mampu menghancurkan bakteri ini dan bakteri tersebut bereplikasi di
dalam makrofag. Bakteri dalam makrofag yang terus berkembang biak
akhirnya akan menyebabkan makrofag lisis dan bakteri tersebut akhirnya
akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni bakteri
di jaringan paru disebut fokus primer GOHN. 9,15
Dari fokus primer, Mycobacterium tuberculosis menyebar melalui
saluran limfe menuju kelenjar limfe regional yaitu kelenjar limfe yang
memounyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah
atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlihat adalah kelenjar limfe parahilus
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru maka yang akan terliat
adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer meruakan gabungan antara
fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis). 9
Waktu yang diperlukan sejak masuknya Mycobacterium tuberculosis
hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa
inkubasi TB . Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam
waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103 -104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. 9

15
Tabel 2.4. Timetable Tahapan Perjalanan Infeksi Mycbacterium
Tuberculosis 15

Gambar 2.5. Kalender Perjalanan TB Primer 10

Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, mikroorganisme


basil tersebut akan berlanjut tumbuh sampai jumlah yang dicapai cukup
untuk bereaksi dengan sistem imun tubuh. Sehingga, terjadi perubahan pada

16
jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tubekulin. Sekitar
3-8 minggu terjadii perkembangan sensitivitas serta konversi reaktivitas
dermal terhadap tuberkulin. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah,
infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya
respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin
masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh
terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, sistem imun seluler berkembang dan proliferasi
bakteri terhenti tetapi sejumlah kecil bakteri dapat tetap hidup dalam
granuloma. Granuloma ini terbentuk akibat adanya reaksi dengan sistem
imunitas. Selain itu, lesi yang terbentuk merupakan tipe nodular yang
terbentuk akibat adanya akumulasi dari pengaktifan limfosit T dan makrofag
yang terbentuk akibat upaya dalam mempertahankan replikasi basil TB . Hal
ini dapat berlanjut membentuk nekrosis padat di tengah dari lesi yang
terbentuk. Setelah itu, M.tuberculosis dapat merubah ekspresi fenotipnya
seperti protein regulation untuk tetap bertahan. 7,9,15
Sekitar 2 sampai 3 minggu, nekrosis yang terjadi berubah menjadi
nekrosis perkejuan atau nekrosis kaseosa, yang dikarakteristikan dengan
kadar oksigen yang rendah, pH rendah, nutrisi yang terbatas. Kondisi ini
akan menghambat pertumbuhan basil tersebut dan mempertahankan fase
laten yang akan terus berlanjut. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. 7,9,15
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau
kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkejuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru.
Bakteri dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini. 9
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi
yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe

17
regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkejuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut sehingga area bronkus
akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkejuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
keju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 1,2
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.
Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh dan adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. 1,3
Apabila virulensi kuman rendah atau jumlah kuman sedikit atau daya
tahan tubuh yang baik Kompleks Primer akan mengalami resolusi secara
sempurna membentuk fibrosis dan kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Begitu juga kelenjar limfe regional akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi resolusinya biasanya tidak
sesempurna Fokus Primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup
dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (dormant). Selain
mengalami resolusi Kompleks Primer dapat juga mengalami komplikasi dan
dapat menyebar. Penyebaran dapat terjadi secara bronkogen, limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran

18
hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke
seluruh tubuh. Penyebaran hematogen kuman TB dapat berupa 3,):
a) Occult hematogenic spread (penyebaran hematogenik tersamar).
b) Acute generalized hematogenic spread (penyebaran hematogenik
generalisata akut).
c) Protracted hematogenik spread (penyebaran hematogenik berulang-
ulang).
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi yaitu dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui
cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit
sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di
berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya. 4,1
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit,
tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apeks
paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan
menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan
lain-lain. 1,5

19
Week  year

Gambar 2.6. Patogenesis TB Milier 6

Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized


hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Pada bentuk ini,
sejumlah besar Mycobacterium tuberculosis masuk dan beredar dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata
atau TB milier. TB milier ini timbul dalam waktu 3-6 bulan setelah terjadi
infeksi. 2
Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi
diseminata yang menyerupai butir padi-padian atau jewawut (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang tersebar merata (difus) pada paru.yang secara histologi merupakan
granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah
protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu
fokus perkejuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga
sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis,

20
sakit.TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. 7,16
TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama
usia di bawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag,
dan mekanisme lokal pertahanan paru-nya belum berkembang sempurna
sehingga kuman TB mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh
tubuh. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu kuman M.
tuberkulosis (jumlah dan virulensi), status imnologis penderita (nonspesifik
dan spesifik) dan faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari,
perumahan yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat
bius serta sosio ekonomi). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun
juga dapat menyebabkan timbulnya TB milier.1

21
Keterangan :
1. Penyebaran hematogen terjadi secara sporadic (occult hematogenic spread)
dapat juga secara akut dan menyelruh. Bakeri TB akan membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. fokus ini berpotensi mengalami
reaktivasi di kemudian hari
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer, limfangitis dan limfadenitis regional
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya
4. TB pasca primer dapat terjadi akibat dari mekanime reaktivasi fokus lama TB
(endogen) biasanya pada ornag dewasa. TB dewasa juga dapat terjadi akibat
infeksi baru.

Gambar 2.7. Perjalanan Infeksi Mycobacterium Tuberculosis 1,2,3

22
G. IMUNOPATOGENESIS
Terdapat dua macam respon imun pertahanan tubuh terhadap infeksi
tuberkulosis yaitu innate immunity dan imunitas spesifik didapat. Imunitas
spesifik yang didapat ini dibagi menjadi respon imun selular (sel T dan
makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin dan pertahanan secara
humoral (anti bodi-mediated). Respon imun seluler lebih banyak memegang
peranan dalam pertahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis. Pertahanan
secara humoral tidak bersifat protektif tetapi lebih banyak digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis. 3,7
Innate immunity merupakan mekanisme pertahanan tubuh nonspesifik
yang mencegah masuknya dan menyebarnya mikroorganisme dalam tubuh
serta mencegah terjadinya kerusakan jaringan. Beberapa komponen innate
immunity yaitu 7 :
1. Pemusnahan bakteri intraselular oleh sel polimorfonuklear (PMN) dan
makrofag.
2. Aktivasi komplemen melalui jalur alternatif.
3. Degranulasi sel mast yang melepaskan mediator inflamasi
4. Produksi interferon alfa (IFN α) oleh leukosit dan interferon beta (IFN β)
oleh fibroblast yang mempunyai efek antivirus.
5. Pemusnahan mikroorganisme ekstraselular oleh sel natural killer (sel
NK) melalui pelepasan granula yang mengandung perforin.
M. tuberculosis difagositosis oleh makrofag dan sel sendirtik melalui
membrane-bound receptors seperti CR3, scavenger receptor, MMR, TLR,
NOD2 dan DC-SIGN. Hal ini akan memicu aktivasi macrophage signalling
pathways (NF-kB), menyebabkan sekresi pro-inflammatory cytokines,
chemokines dan molekul antimikroba serta aktivasi VDR yang dapat
meginduksi ekspresi antimicrobial peptides seperti cathelicidin dan β-defensin.
Sel PMN mengenali dan memfagosit M. tuberculosis serta mensekresikan
antimicrobial peptides yang berfungsi untuk membunuh bakteri. Sel NK, γδT
cells dan CD1-restricted T cells juga diaktivasi oleh ligand spesifik dan
kemudian mengeluarkan cytotoxic factor dan mensekresikan IFN-γ yang dapat
mengaktifkan makrofag. 8

23
Keterangan :
CR3, complement receptor 3; DC-SIGN, dendritic cell-specific
intercellular-adhesion molecule-3-grabbing non-integrin; INF, interferon;
MMR, macrophage mannose receptor; NK, natural killer; PMN,
polymorphonuclear neutrophils; TLR, toll-like receptors; TNF, tumour
necrosis factor; VDR, vitamin D receptor
Gambar 2.8. Innate immunity terhadap infeksi tuberculosis 8

Imunitas spesifik didapat, bila mikroorganisme dapat melewati


pertahanan nonspesifik/innate immunity, maka tubuh akan membentuk
mekanisme pertahanan yang lebih kompleks dan spesifik. Mekanisme
imunitas ini memerlukan pengenalan terhadap antigen lebih dulu.
Mekanisme imunitas spesifik ini terdiri dari 2,7 :
1. Imunitas humoral
2. Produksi antibodi spesifik oleh sel limfosit B (T dependent dan non T
dependent).
3. Cell mediated immunity (CMI)
Sel limfosit T berperan pada mekanisme imunitas ini melalui:
1. Produksi sitokin serta jaringan interaksinya.
2. Sel sitotoksik matang di bawah pengaruh interleukin 2 (IL-2) dan
interleukin 6 (IL-6).

24
Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen atau
mikroorganisme ke dalam tubuh dan dihadapi oleh sel makrofag yang
selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting cell (APC). Sel ini
akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan sel
yang dapat dikenali oleh sel limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th
ini akan teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit
lain seperti sel limfosit B atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini
kemudian berpoliferasi dan mempunyai fungsi efektor untuk mengeliminasi
2,7
antigen.
Setiap prosesi ini sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui
kontak langsung atau melalui sekresi sitokin regulator. Aksi pengenalan itu
sel T helper (Th) bersama-sama ekspresi MHC kelas II kepada sel Th,
mengaktivasi sel B untuk memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen.
Aktivasi sel T menyebabkan terjadinya diferensiasi sel B menjadi sel plasma
yang kemudian menghasilkan antibodi. Sel B menerima signal dari sel T
untuk berbagi dan berdiferensiasi menjadi antigen precenting cells (APC)
dan sel memori B. 3,6
Respons imun terhadap sebagian besar antigen hanya dimulai bila
antigen telah ditangkap dan diproses serta dipresentasikan oleh sel APC.
Oleh karena itu sel T hanya mengenal imunogen yang terikat pada protein
MHC pada permukaan sel lain. Ada 2 kelas MHC yaitu7 :
1. Protein MHC kelas I
Diekspresikan oleh semua tipe sel somatik dan digunakan untuk
presentasi antigen kepada sel TCD8 yang sebagian besar adalah sel
sitotoksik. Hampir sebagian besar sel mempresentasikan antigen ke sel
T sitotoksik (sel Tc) serta merupakan target/sasaran dari sel Tc tersebut.
2. Protein MHC kelas II.
Diekspresikan hanya oleh makrofag dan beberapa sel lain untuk
presentasi antigen kepada sel TCD4 yang sebagian besar adalah sel T
helper (Th). Aktivasi sel Th ini diperlukan untuk respons imun yang
sesungguhnya dan sel APC dengan MHC kelas II merupakan poros
penting dalam mengontrol respons imun tersebut.

25
Respon imun primer terjadi sewaktu antigen pertama kali masuk ke
dalam tubuh, yang ditandai dengan munculnya IgM beberapa hari setelah
pemapara. Kadar IgM mencapai puncaknya pada hari ke-7. Pada 6-7hari
setelah pemaparan, barulah bisa di deteksi IgG pada serum, sedangkan IgM
mulai berkurang sebelum kadar IgG mencapai puncaknya yaitu 10-14 hari
setelah pemaparan anti gen. Respon imun sekunder terjadi apabila
pemaparan antigen terjadi untuk yang kedua kalinya, yang di sebut juga
booster. Puncak kadar IgM pada respon sekunder ini umumnya tidak
melebihi puncaknya pada respon primer, sebaliknya kadar IgG meningkat
jauh lebih tinggi dan berlangsung lebih lama. Perbedaan dalam respon ini di
sebabkan adanya sel B dan sel Tmemory akibat pemaparan yang pertama.2.3
Ketika Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam paru – paru,
proteksi utama respon imun spesifik terhadap bakteri intraseluler berupa
imunitas selular. Imunitas seluler terdiri dari sel CD4+ yang mengaktifkan
makrofag yang memproduksi IFN-γ dan CD8+ yang memacu pembunuhan
mikroba serta lisis sel terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respon
terhadap mikroba intraseluler dapat pula membentuk granuloma dan
menimbulkan kerusakan jaringan. Bakteri intraseluler dimakan makrofag
dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam sitoplasma. CD4+
memberikan respon terhadap peptide antigen MHC-II asal bakteri
intravesikular, memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan mikroba dalam fagosom. CD4+ naif dapat berdiferensiasi
menjadi sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk membunuh mikroba yang
dimakan. 6,9
Mycobacterium tuberculosis dapat hidup terus serta melanjutkan
pertumbuhannya di dalam sitoplasma makrofag setelah mereka
difagositosis. Induksi respons kekebalan spesifik sekunder terhadap sejenis
mikroba dapat merangsang tubuh untuk serentak memberikan kekebalan
nonspesifik pada mikroba lain yang mempunyai sifat pertumbuhan yang
sama. 10
Bukti secara eksperimental menunjukkan bahwa pertahanan anti
mikobakteri adalah makrofag dan limfosit T. Sel fagosit mononuklear atau

26
makrofag berperan sebagai efektor utama sedangkan limfosit T sebagai
pendukung proteksi atau kekebalan. 6,10
Mycobacterium tuberculosis di inhalasi sehingga masuk ke paru-paru,
kemudian difagositosi oleh makrofag. Makrofag tersebut mempunyai 3
fungsi utama, yaitu 10 :
a. Memproduksi enzim proteolitik dan metabolit lainnya yang
memperlihatkan efek mycobactericidal.
b. Memproduksi sitokin sebagai respon terhadap M. tuberculosis yakni
IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, TNF-a TGF-b. Sitokin mempunyai efek
imunoregulator yang penting.
c. Untuk memproses dan menyajikan anti gen terhadap limfosist T.
Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai potensi untuk menekan
efek imunoregulator dan menyebabkan manifestasi klinis terhadap
tuberkulosis. IL-1 merupakan pirogen endogen menyebabkan demam
sebagai karakteristik tuberkulosis. IL-6 akan meningkatkan produksi
imunoglobulin oleh sel B yang teraktivasi, menyebabkan hiperglobulinemia
yang banyak dijumpai pada pasien tuberkulosis. TGF berfungsi sama
dengan IFN untuk meningkatkan produksi metabolit nitrit oksida dan
membunuh bakteri serta diperlukan untuk pembentukan granuloma untuk
mengatasi infeksi mikobakteri. Selain itu TNF dapat menyebabkan efek
patogenesis seperti demam, menurunnya berat badan dan nekrosis jaringan
yang merupakan ciri khas tuberkulosis. 2,10
Akibat adanya akumulasi makrofag maka terjadi penimbunan pada
daerah yang terdapat antigen dan terjagi granuloma yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan. Lesi jaringan oleh basil mikobakterium
pada dasarnya memiliki dua tipe, tipe eksudatif dan tipe produktif. Tipe
eksudatif adalah suatu rekasi radang akut; terjadi udema sel leukosit
polimorfonuklear, kemudian monosit terkumpul di sekeliling basil tersebut
yang bersarang di tempat itu. Lesi ini kemungkinan dapat mengalami
sembuh sempuma, nekrosis jaringan atau berkembang menjadi tipe
produktif. Tipe produktif ditandai timbunan sel radang di sekitar basil. Lesi

27
ini tersusun atas banyak tuberkel yang kemudian membesar atau
mengelompok atau mencair dan mengalami proses kaseosa. 2,10
Pada tuberkulosis primer, perkembangan infeksi M. tuberculosis pada
target organ tergantung pada derajat aktivitas anti bakteri makrofag dari
sistem imun alamiah serta kecepatan dan kualitas perkembangan sistem
imun yang di dapat. Oleh sistem imun alamiah, basil akan di eliminasi oleh
kerja sama antara alveolar makrofag dan NK sel melalui sitokin yang
dihasilkannya yakni TNF-a dan INF-g. Mekanisme pertahanan tubuh
terhadap infeksi ini terutama dilakukan oleh sel-sel pertahanan (sel T dan
makrofag yang teraktivasi) bersama sejumlah sitokin. Pada limfonodi
regional, terjadi perkembangan respon imun adaptif, yang akan mengenali
basil tersebut. Tipe respon imun ini sangat tergantung pada sitokin yang
dihasilkan oleh sistem imun alamiah. Dominasi produksi sitokin oleh
makrofag yang mensekresikan IL-12 akan merangsang respon sel Th 1,
sedangkan bila IL-4 yang lebih banyak disekresikan oleh sel-T maka akan
timbul respon oleh sel Th 2. Tipe respon imun ini akan menentukan kualitas
aktivasi makrofag untuk mempresentasikan anti gen kepada sel-T khususnya
melalui jalur MHC kelas-II. 2,10
Selama imunitas adaptif berkembang untuk mempercepat aktivasi
makrofag/monosit, terjadilah bakteremia. Basil menggunakan makrofag
sebagai sarana untuk menyebar dan selanjutnya tumbuh dan menetap pada
sel-sel fagosit di berbagai organ tubuh. Peristiwa ini akan terjadi bila sel-T
spesifik yang teraktivasi pada limfonodi mengalami resirkulasi dan melewati
lesi yang meradang yang selanjutnya akan membentuk granuloma. Pada
peristiwa ini TNF memegang peranan yang sangat vital. Bila respon imun
adaptif berkembang tidak adekuat maka akan timbul manifestasi klinis
akibat penyebaran basil yang berupa tuberkulosis milier atau tuberkulosis
meningen. 2,3

28
Keterangan :
Makrofag yang terinfeksi dan sel dendritik mensekresikan sitokin IL-12,
IL-23, IL-7, IL-15 and TNF-α dan menyajikan antigen kepada CD4+ T
cells (MHC class II), CD8+ T cells (MHC class I), CD1-restricted T
cells (glycolipid antigens) dan γδ T cells (phospholigands). Sel T ini
memproduksi sitokin efektor IFN-γ, yang dapat mengaktivasi makrofag
dan mengeluarkan TNF-α yang berfungsi membunuh Mycobacterium
intraseluler melalui pengeluaran reactive oxygen dan nitrogen
intermediet. CD8+ cytotoxic T cells dapat membunuh Mycobacterium
intraseluler melalui jalur pengeluaran granulysin dan perforin-mediated.
Namun, CD4+ Th2 cells memproduksi sitokin imunosuppresif seperti
IL-4 dan CD4+CD25+FoxP3+ regulatory T (Treg) cells yang
memproduksi IL-10 dan TGF-β yang mensupresi mekanisme
mycobactericidal. Sel Th yang disebut Th17 diproduksi dengan adanya
IL-23 dan memproduksi IL-17 yang penting untuk modulator inflamasi
dan recall memory response. Sel Th17 dapat mengundang neutrofil,
monosit dan IFN-γ-producing CD4+ T cells, serta menstimulasi
chemokine. Namun IFN-γ memiliki pengaruh untuk mensupresi IL-17
yang memproduksi sel Th17. GM-CSF, granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor; IFN, interferon; TGF, transforming growth factor;
TNF, tumour necrosis factor.

Gambar 2.9. Adaptive immunity terhadap infeksi tuberkulosis 8

29
(6)
Gambar 2.10. Tahapan respon kekebalan terhadap M. tuberculosis

Gambar 2.11. Pembentukan granuloma 6

Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama dengan cara


membatasi replikasi bakteri pada fokus infeksi. Granuloma terutama terdiri atas
makrofag dan sel-T. Selama interaksi antara anti gen spesifik dengan sel fagosit
yang terinfeksi pada berbagai organ, sel-T spesifik memproduki IFN-γ dan

30
mengaktifkan fungsi anti mikroba makrofag. Dalam granuloma terjadi
enkapsulasi yang di picu oleh fibrosis dan kalsifikasi serta terjadi nekrosis yang
menurunkan pasokan nutrien dan oksigen, sehingga terjadi kematian bakteri.
Akan tetapi sering terjadi keadaan di mana basil tidak seluruhnya mati tapi
sebagian masih ada yang hidup dan tetap bertahan dalam bentuk dorman. Infeksi
yang terlokalisir sering tidak menimbulkan gejala klinis dan bisa bertahan dalam
waktu yang lama. 2,10
Pada tuberkulosis post primer, pertahanan tubuh di dominasi oleh
pembentukan elemen nekrotik yang lebih hebatdari kasus infeksi primer. Elemen-
elemen nekrotik ini akan selalu dikelurkan sehingga akhirnya akan terbentuk
kavitas. Limfadenitis regional jarang terjadi, M. tuberculosis menetap dalam
makrofag dan pertumbuhannya di kontrol dalam fokus-fokus yang terbentuk.
Pembentukan dan kelangsungan hidup granuloma di kontrol oleh sel-T, di mana
komunikasi antara sel-T dan makrofag di perantarai oleh sitokin. IL-1, TNF-α,
GM-CSF, TGF-b, IL-6, INF-γ dan TNF-β merupakan sitokin yang mengontrol
kelangsungan granuloma, sebaliknya IL-4, IL-5 dan IL-10 menghambat
pembentukan dan perkembangan granuloma. 2,10
Proses aktivasi makrofag oleh sitokin merupakan faktor sentral dalam
imunitas terhadap tuberkulosis. Pada sistem ini, INF-γ telah diidentifikasikan
sebagai sitokin utama untuk mengaktivasi makrofag, yang selanjutnya dapat
menghambat pertumbuhan patogen ini. Pembentukan granuloma dan kavitas di
pengaruhi oleh berbagai macam sitokin sebagai hasil interaksi antara sel-T
spesifik, makrofag yang teraktivasi serta berbagai macam komponen bakterial..3,6
Proses fagositosis makrofag alveolar terhadap kuman TB terjadi melalui
berbagai reseptor antara lain karbohidrat non spesifik, imunologlobulin Fc, sistem
komplemen pada permukaan sel kuman dan sel fagositik. Mekanisme lain melalui
peranan fibronectin binding protein pada proses fagositosis oleh sel fagositik
mononuklerar. Dalam endosomal sel fagositik mononuklear Mycobacterium
tuberculosis hidup bertahan hidup dengan jalan sebagai berikut3,6:
1. Netralisasi fagosomal pada pH yang rendah
2. Interferensi fusi fagolisomone
3. Resisten terhadap enzim lisosomal

31
4. Inhalasi dari gugusan aksigen reaktif intermediate
5. Sintesi heat shock protein (HSP)
6. Menghindari dari masuk ke dalam sitoplasma
Mycobacterium tuberculosis mati dan dihancurkan melalui proses aktivasi
makrofag oleh sitokin sel T dan berbagai gugusan oksigen reaktif, nitrogen
intermediate dan pengaturan level zat besi intraseluler. Antigen dari protein
Mycobacterium tuberculosis yang didegradasikan bersama endosom diproses dan
dipresentasikan kepada CD4+ sel T melalui MHC kelas II. Sedangkan antigen
protein kuman TB yang berada dalam sitoplasma di presentasikan kepada CD8+
sel T melalui MHC kelas I. Limfosit T perifer memiliki reseptor sel T (TCR)
dipermukaan sel dan berikatan secara non kovalen dengan CD3 berguna untuk
transuksi signal antigenik ke sitoplasma. Didarah perifer dan organ limfoid 90%
ekspresi sel T sebagai a/b TCR ekspresi sel T sebagai a/b TCR dan 10%g/s TCR.
Peranan a/b TCR CD4+ cell adalah mengenal berbagai fragmen antigen yang
berasal dari endosomal bersama molekul MHC kelas II untuk menghasilkan
berbagai sitokin pada respons imun. 3,6
Pada kasus tertentu CD4+ sel T memiliki efektorlisis seperti pada CD8 + sel
T, selanjutnya a/b TCR CD8+ cell berfungsi untuk mengenal fragmen antigen
kuman TB dari sitosolik bersama MHC kelas I yang besar kemungkinan berasal
dari kompartemen endosomal untuk kemudian ditransfer ke retikulum
endoplasmik. Fungsi a/b TCR adalah mengenal antigen kuman TB melalui
undertermited presenting molecules pada APC dan menghasilkan berbagai sitokin
yang mirip dengan a/b TCR cell untuk tujuan efek sitotoksik pada sel target.
Setelah proses pengenalan antigen selanjutnya T cell precursor mensekresi IL-2.
sel T CD4+ terdiri dari 2 sub populasi yaitu sel CD4 + Th 1 mensekresi IL-2 dan
INF-γ serta sel CD4+ Th2 mensekresikan II-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Kedua
subpopulasi Th 1 dan Th 2 mensekresi IL-3, GM-CSF dan TNF-α. Sel CD4+ Th-0
memiliki kemampuan untuk berdifrensiasi menjadi sel Th-1 atau Th-2. Sel Th-1
berperan untuk mengaktivasi makrofag melalui IFN-γ dan DTH. Sel Th-2
berperan dalam hal produksi antibodi dan inhalasi aktivasi makrofag (IL-10).
Selanjutnya IFN-γ yang dihasilkan oleh sel Th-1 menghambat profilerasi sel Th-2
sementara IL-4 yang dihasilkan Th-2 menghambat peningkatan sel Th-1. Peranan

32
TNF-α adalah sebagai sitokin utama dalam proses pembentukan granuloma dan
banyak ditemukan pada cairan pleura penderita pleuritis TB eksudativa. Sitokin
IL-12 dihasilkan oleh makrofag dan sel B yang berperan untuk mengaktivasi Th-
1. Fungsi utama CD4+ cell effector adalah untuk aktivasi sitolitik pada infeksi M.
tuberkulosis. Sedangkan CD8+ T cell berfungsi pada mekanisme a/b TCR
mediatedlysis sel terinfeksi dan mekanisme apoptosis sel target. Sehingga CD8+
sel T berperan untuk proteksi pada fase awal infeksi. Peranan g/s TCR cell adalah
untuk memperoleh efek sitolitik monosit bersama antigen kuman TB dengan
tujuan mensekresi sitokin pembentuk granuloma.3,6

Gambar 2.12. Pembentukan Granuloma . 6

33
Mycobacterium tuberculosis juga memiliki mekanisme
pertahanan diri di dalam makrofag. Bakteri ini menghindari
mekanisme pembunuhan yang dilakukan oleh makrofag dan
memblokade apoptosis oleh makrofag sebagai mekanisme untuk
membunuh bakteri yang terdapat di dalam makrofag. Bad adalah pro-
apoptotic protein, diinaktivasi ketika difosforilasi. LAM memiliki
peranan multiple termasuk mengaktivasi SHP-1, phosphotyrosine
phosphatase. Downregulation dari Fas, bersama-sama dapat
meningkatkan ekspresi Fas ligand, yang member signal kepada
makrofag untuk berapoptosis akibat mekanisme Fas-positive T cells.

Gambar 2.13. Mekanisme Pertahanan Mycobasterium tuberculosis di


dalam Makrofag 3
Keterangan :
IFN, interferon; IL, interleukin; LAM, lipoarabinomannan; TGF,
transforming growth factor; TNFr2, tumour necrosis factor receptor

34
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding TB milier yaitu11:
1. Acute respiratory distress syndrome
2. Addison disease
3. Blastomikosis
4. Cardiac tamponade
5. Disseminated intravascular coagulation
6. Epididymal tuberculosis
7. Hypersensitivity pneumonitis
8. Pneumocystis carinii pneumonia
9. Pneumonia bakterial
10. Community-acquired pneumonia
11. Pneumonia fungal
12. Pneumonia viral

I. PENEGAKAN DIAGNOSIS
Diagnosis TB milier pada anak dapat ditegakkan dengan adanya
riwayat kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif),
gambaran radiologis yang khas, gambaran klinis dan uji tuberkulin yang
positif. Pada kenyataannya menegakkan diagnosis TB pada anak tidak
selalu mudah karena gejala klinis dan laboraturium tidak khas
1. Manifestasi Klinis
Berdasarkan Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (2008),
mengatakan bahwa manifestasi klinis TB Milier bermacam-macam,
bergantung pada banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala
yang sering dijumpai adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB
pada umumnya, misalnya anoreksia dan BB turun atau gagal tumbuh
pada anak (dengan demam ringan atau tanpa demam), demam lama
dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak nafas. 1,12
Pada anak bila dibandingkan dengan dewasa, gejala menggigil,
keringat malam hari, hemoptisis dan batuk produkstif jarang ditemukan.
Manifestasi klinik yang lebih sering ditemukan pada anak yaitu
limfadenopati perifer dan hepatosplenomegali.13

35
Tuberkulosis milier, juga dapat diawali dengan serangan akut
berupa demam tinggi yang sering hilang timbul (remittent), pasien
tampak sakit berat dalam beberapa hari, tetapi gejala dan tanda
respiratorik belum ada. Sekitar 50% pasien akan mengalami
limfadenopati superfisial, splenomegali dan hepatomegali yang akan
terjadi dalam beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan
berlangsung terus menerus atau kontinu, tanpa diserti gejala respiratorik
atau disertai gejala minimal dan foto rontgen thorax biasanya masih
normal. Beberapa minggu kemudian, hampir diseluruh organ terbentuk
tuberkel difus multipel, terutama diparu, limpa, hati dan sumsum
tulang. 4
Gejala klinis, biasanya timbul akibat gangguan pada paru, yaitu
gejala respiratorik seperti batuk dan sesak nafas yang disertai ronkhi atau
mengi. Pada kelainan paru yang berlanjut, dapat timbul sindrom
sumbatan alveolar, sehingga timbul gejala gangguan pernafasan,
hipoksia, pneumothorax, dan pneumomediastinum. Dapat juga terjadi
gangguan fungsi organ, kegagalan multiorgan serta syok. (4) Gejala lain
yang dapat ditemukan ialah kelainan kulit berupa tuberkuloid, papula
nekrotik, nodul atau purpura. 3

Gambar 2.14. Manifestasi Klinis pada TB Milier Dewasa 13

36
Gambar 2.15. Papul eritematosa pada pasien TB milier 3

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Tuberculin Skin Test (TST)
Tuberculin Skin Test (TST) disebut juga Mantoux Test. Ada 2
jenis tuberkulin yang dipakai yaitu OT (Old Tuberkulin) dan
Tuberkulin PPD (Purified Protein Derivatif) dan ada 2 jenis
tuberkulin PPD yang dipakai yaitu PPD-S (Seibert) dan PPD-RT23.
Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikan 0,1 ml PPD-RT 23 2TU,
PPD-S 5 TU atau OT 1/2000 secara intrakutan. Pembacaan
dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter
melintang dari indurasi yang terjadi. Seseorang yang menerima
vaksin BCG dapat memberikan hasil yang positif pada TST. Hal ini
dikarenakan efek BCG pada hasil TST kurang lebih bermakna
selama 15 tahun dan akan minimal terjadi pada setelah 10 tahun.
Interpretasi hasil test Mantoux 4 :
1) Indurasi 10 mm atau lebih → reaksi positif
Arti klinis adalah sedang atau pernah terinfeksi dengan kuman
Mycobacterium tuberculosis.
2) Indurasi 5 – 9 mm → reaksi meragukan
Arti klinis adalah kesalahan teknik atau memang ada infeksi
dengan Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang
dengan konsentrasi yang sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10
mm atau lebih berarti infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis. Kalau tetap 6 – 9 mm berarti cross reaction atau
BCG, kalau tetap 6 – 9 mm tetapi ada tanda – tanda lain dari

37
tubeculosis yang jelas maka harus dianggap sebagai mungkin
sering kali infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis.
3) Indurasi 0 – 4 mm → reaksi negatif.
Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis.
Reaksi positif palsu terhadap tuberculin dapat disebabkan
oleh sensitisi silang terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis.
Reaksi silang ini biasanya sementara selama beberapa bulan sampai
beberapa tahundan menghasilkan indurasi kurang dari 10 – 12mm.
Vaksinasi sebelumnya (BCG) juga dapat menimbulkan reaksi
terhadap uji kulit tuberculin. Sekitar setengah dari bayi yang
mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan uji kulit
tuberculin reaktif, dan reaktivitas akan berkurang 2 – 3 tahun
kemudian pada penderitayang pada mulanya memiliki uji kulit
positif. 14
b. Funduskopi
Tuberkuloid koroid dapat dikarakteristikan sebagai tuberkel
single atau multipel, berwarna putih keabuan atau kekuningan dan
berdiameter 0,5–3 mm dapat dilihat di koroid mata. Tuberkel koroid
tidak terlihat di semua pasien tetapi ditemukan pada 13-87% pasien,
dan jika ditemukan dini dapat menjadi tanda yang sangat spesifik
dan sangat membantu diagnosis TB Milier oleh karena itu pada
pasien TB Milier perlu dilakukan funduskopi untuk menemukan
tuberkel koroid. 3

Gambar 2.16. Tuberkel Koroid 3

38
c. Uji serologis
TB umumnya dilakukan dengan cara ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay), untuk mendeteksi antibodi IgG
terhadap cord factor berguna untuk serodiagnosis paru aktif. Titer
antibodi faktor anti cord menurun sampai normal setelah pemberian
obat anti tuberkulosis. Uji peroksidase-anti-peroksidase (PAP)
merupakan uji serologis imunoperoksidase yang menggunakan kit
histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG
spesifik terhadap basil TB . 12
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari
pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA,
pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis dan pemeriksaan PCR.
Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan
karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas
lambung. Dari hasil bilas lambung didapatkan hanya 10 % anak
yang memberikan hasil positif. Pada kultur hasil dinyatakan positif
jika terdapat minimal 10 basil per milliliter spesimen. Saat ini PCR
masih digunakan untuk keperluan penelitian dan belum digunakan
untuk pemeriksaan klinis rutin. 14
e. Uji interferon
Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T
dengan antigen tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB . Bila
sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen
TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang
kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini
belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB . 14
f. Teknik biomolekuler
Reaksi rantai polimerase (PCR-Polimerase Chain Reaction)
merupakan pemeriksaan yang sensitif. PCR menggunakan DNA
spesifik yang dapat mendeteksi meskipun hanya ada 1

39
mikroorganisme dalam bahan pemeriksaan seperti sputum, bilasan
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau darah. Dengan
PCR mungkin juga dapat dideteksi adanya resistensi basil TB
terhadap obat anti tuberkulosis. Teknik biomolekular PCR
merupakan harapan meskipun manfaatnya dalam bidang klinik
berlum cukup diteliti. 14
g. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya
kadang-kadang meragukan. Pada TB bisa didapatkan leukositosis
dan Laju Endap Darah (LED) yang meningkat. Bila penyakit mulai
sembuh, jumlah leukosit kembali normal dan laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi. 3
Mekanisme imunologi telah berimplikasi menyebabkan
supresi sumsum tulang dan TB milier sehingga menyebabkan
pasnsitopenia dan anemia hipoplastik. Hiponatremia pada TB
milier disebabkan oleh gangguan fungsi neurohipofisis yang tidak
dapat meregulasi pegeluaran Antidiuretic hormone (ADH),
antidiuretik pada jaringan paru dipengaruhi oleh TB sehingga
terjadi gangguan pengeluaran ADH dari hipofisis posterior. 12

40
Tabel 2.5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium darah pada
TB milier 12
Laboratorium Darah
Hematologi Anemia
Leukositosis
Neutrofilia
Lymfositosis
Monositosis
Thrombositosis
Leukopeni
Limfopenia
Thrombositopeni
Peningkatan ESR (Erythrocyte Sedimentation
Rate)
Peningkatan CRP (C-reactive protein)
Biokimia Hiponatraemia
Hipoalbuminaemia
Hipercalcaemia
Hipophosphatemia
Hiperbilirubinaemia
Peningkatan serum transaminase
Peningkatan serum alkaline phosphatase
Peningkatan serum ferritin

h. Pemeriksaan bakteriologis TB
Pemeriksaan bakteriologis untuk mendapatkan bahan
pemeriksaan bakteriologis berupa sputum pada anak sangat sukar,
sebagai gantinya biasanya dilakukan bilasan lambung karena cairan
lambung mengandung sputum yang tertelan. Cairan ini pun
sebenarnya kurang memuaskan disamping kesulitan untuk
mendapatkan biakan metode pembiakan basil TB memerlukan
waktu cukup lama sehingga dibutuhkan suatu metode pembiakan
yang lebih baik. Saat ini dipakai sistem BACTEC.12
i. T-cell-based interferon-gamma release assay (IGRAs)
IGRAs memiliki spesifitas yang sangat baik (lebih tinggi
dibandingkan tuberkulin) dan tidak dipengaruhi oleh vaksinasi
BCG. 12
j. Gambaran Radiologis
Gambaran radiologis yang khas, juga merupakan salah satu
alat bantu diagnostik pada tuberkulosis milier ini. Lesi milier dapat

41
terlihat pada foto Rontgen Thorax dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran basil secara hematogen. TB milier secara klasik
digambarkan sebagai “millet-like” yaitu bintik bulat atau tuberkel
halus (millii) 1-3mm yang tersebar merata di seluruh lapangan
paru. Bentukan ini terlihat sekitar 1-3% dari semua kasus TB .
Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada foto Rontgen
thorax, dapat dilihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju. 12

Gambar 2.17. Gambaran Rontgen Thorax Pasien Tuberkulosis


Milier 3

Pasien yang terdiagnosis TB milier, harus dipikirkan


mengalami TB tulang. Oleh karena itu dapat dilakukan
pemeriksaan foto polos vertebrae dan ditemukan osteoporosis,
osteolitik dan destruksi korpus vertebrae, disertai penyempitan
diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan
mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravetebral. pada
foto AP, abses paravetebral di daerah servikal berbentuk sarang
burung ( bird’s nest ), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada
daerah lumbal abses berbentuk fusiform pada stadium lanjut terjadi
destruksi vertebrae yang hebat sehingga timbul kifosis
pemeriksaan foto dengan zat kontras sedangkan pemeriksaan
melografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum

42
tulang atau dapat juga dilakukan pemeriksaan CT scan atau CT
dengan mielografi serta pemeriksaan MRI.3
k. Pemeriksaan analisis cairan serebrospinal
Pasien yang terdiagnosis TB milier harus dipikirkan
menderita Meningitis TB.Diagnosis pasti ditegakkan melalui
pemeriksaan lumbal pungsi dengan analisis cairan serebro spinal
(CSF) untuk mengetahui terdapatnya organisme atau antigennya
dalam CSF. Pada pemeriksaan cairan CSF akan didapatkan warna
xantokrom, peningkatan protein, jumlah sel 200 – 500/mm.limfosit,
glukosa menurun (lebih dari 50% gula darah) dan kultur 50%
positif. 3
l. Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma
yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai
karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah
granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia
langhans (multinucleat giant cell). 3
3. Penegakkan diagnosis berdasarkan WHO
1) Dicurigai TB ( suspected tuberculosis)
Anak sakit dengan riwayat kontak penderita TB dengan BTA positif:
keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan
berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, batuk dan mengi yang
tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit
pernafasan
pembesaran kelenjar superfisial yang tidak sakit
2) Mungkin TB (probable tuberculosis)
Uji tuberculin positif (10 mm atau lebih)
Foto roentgen paru sugestif TB
Pemeriksaan histopatologis biopsy sugestif TB
Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT

43
3) Pasti TB (confirmed tuberculosis)
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
4. Sistem skoring
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis
baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem
skor IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan
menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi
digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk
diagnosis TB anak. 14

Tabel 2.6. Sistem Skoring TB Pediatrik 15

Catatan : Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter

Hal-hal yang perlu diperhatikan :


1) Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti asma, sinusitis dan lain-lain.
2) Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien
dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

44
3) Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
4) Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
5) Gambaran sugestif TB , berupa pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal dengan atau tanpa infiltrate, konsolidasi
segmental/lobar;kalsifikasi dengan infiltral, atelektasis, tuberkuloma.
Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara
khusus.
6) Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
7) Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
8) Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut
9) Perlu perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini:
Tanda bahaya: kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran kegawatan
lain, misalnya sesak napas, foto toraks menunjukkan gambaran milier,
kavitas, efusi pleura, gibbus dan koksitis
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya
sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi
lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya.

J. PENATALAKSANAAN
1. Aspek Medikamentosa
Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin
(S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan
ditambah dengan pirazinamid,etambutol, dan streptomisin. Obat lain

45
(second line, lini kedua) adalah paraaminosalicylic acid (PAS),
cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin,
levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin,
amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR. 16

16
Tabel 2.7. OAT Lini Pertama
Dosis
Dosis harian
Nama Obat maksimal Efek Samping
(mg/kgBB/hari)
(mg/hari)
Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis,
neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin** 10-20 600 Gastrointestinal,
reaksi kulit,
hepatitis,
trombositopenia,
peningkatan
enzim hati,
cairan
tubuh berwarna
oranye
kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati,
atralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik,
ketajaman
penglihatan
berkurang,
buta warna
merah-hijau,
penyempitan
lapang
pandang,
hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis,
nefrotoks
* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak
boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.
** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain
karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin
diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut
kosong (satu jam sebelum makan.

46
16
Gambar 2.18. Alur Penatalaksanaan TB

Gambar 2.19. Alur Penatalaksanaan TB di Puskesmas 16

47
a. OAT Lini Pertama
1) Isoniazid
Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat
antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat
bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan
metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang),
bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada
intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh
jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan
asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang
(adverse reaction) yang sangat rendah. 16
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa
diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari,
dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang
tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg,
dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup
biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum,
dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama
paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui
asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat
daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB
yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu
(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar
darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi
tidak membahayakan. 1,16
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu
hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada
anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar
pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami
peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi

48
dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa
penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar
transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang
menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium
tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis. 1
2) Rifampisin
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan
ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat
membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh
isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem
gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan),
dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini,
rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20
mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid
, dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis
isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan
isoniazid. 15,16
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari
isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah
perubahan warna urin, ludah, sputum dan air mata, menjadi
warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin
adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan
hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai
dengan peningkatan kadar transaminase serum yang
asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid,
terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi
maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat
menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan
kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi
dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin,

49
digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium
warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul
150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai
digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB.
Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat
pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan
pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi. 16
3) Pirazinamid
Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi
baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid
hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada
saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis
15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari.
Kadar serum puncak 45 μg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah
kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid
aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan
pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis,
atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi
klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya
adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna.
Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid
tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid,
dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan 1,16
4) Etambutol
Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi
toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas
bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan
dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu,
berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya
resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-

50
20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal.
Kadar serum puncak 5 μg dalam waktu 24 jam. Etambutol
tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari , tetapi
tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis. 16
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna.
Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan
toksisitas utam adalah neuritis optikus dan buta warna merah-
hijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya.
Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan
TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak
dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan
pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat
jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.
14,16

5) Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik
terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral,
sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler.
Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB
tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase
intensif meningitis TB dan MDR-TB . Streptomisin diberikan
secara intramuscular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari,
maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 μg/ml dalam waktu
1-2 jam. 15,16
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang
meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak
meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan
pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya

51
saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap
isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama
streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala
berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas
ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta,
sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada
wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin
yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. 16

Tabel 2.8. Obat-obatan Lini Kedua Tuberkulosis 3

b. Panduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif
(2 bulan pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar
pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan
dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan
atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk
membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat
jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada
orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari, bukan dua
atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi

52
ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat
tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk
sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin,
isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin,
isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya
diberikan rifampisin dan isoniazid. 16
Penatalaksanaan TB milier pada fase intesif (selama 2
bulan pertama) diberikan 4-5 macam OAT kombinasi rifampisin,
isoniazid, pirazinamid dan etambutol atau streptomisin. Pada fase
lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid sampai 9-12 bulan
sesuai dengan perkembangan klinis. Terapi adjuvan seperti
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi
dalam tiga dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off hingga 2-6 minggu. 4,16
Kortikosteroid mempunyai kemanpuan mencegah atau
menekan berkembangnya manifestasi inflamasi dan juga
mempunyai nilai yang tinggi pada pengobatan penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan reaksi imun, baik kondisi yang
berhubungan dengan imnunitas humoral maupun seluler.
Penggunaan kortikosteroid memberi bermacam-macam efek, tetapi
yang penting dalam kaitannya dengan infeksi khususnya
tuberkulosa adalah sifat anti inflamasi. Mekanis kerja
korikosteroid yaitu dengan menembus membran sel, kemudian
didalam sitoplasma berikatan dengan suatu reseptor protein
interseluler spesifik. Komplek reseptor steroid selanjutnya
meninggalkan sitoplasma dan menuju inti sel, didalam inti sel
mensintesa suatu protein baru yang mempengaruhi transkripsi dan
translasi asam inti, sehingga terjadi perubahan inti sel.
Kortikosteroid tidak hanya menghambat fenomena awal dari
inflamasi, tetapi juga mampu menghalau manifestasi lanjutannya.
Dalam proses inflamasi bahan ini selain mampu mempertahankan

53
tonus pembuluh darah. Agar peristiwa diapedesis leukosit,
ekstravasasi cairan yang menyebabkan terjadinya odema setempat,
serta migrasi sel-sel leukosit ke lokasi radang dapat dihambat.
Proliferasi sel-sel fibroblas yang merupakan bagian dari proses
reparasi juga dihambat oleh kortikosteroid. 2,10
Penatalaksanaan yang tepat akan memberikan perbaikan
radiologis TB milier dalam waktu 4 minggu. Respons keberhasilan
terapi antara lain hilangnya demam setelah 2-3 minggu
pengobatan, peningkatan nafsu makan, perbaikan kualitas hidup
sehari-hari dan peningkatan berat badan. Gambaran milier pada
foto toraks berangsur-angsur menghilang dalam 5-10 minggu tetapi
mungkin juga belum ada perbaikan sampai beberapa bulan. 4,16
Sedangkan, menurut WHO 2006 dalam Guidance for
National Tuberculosis Programmes on the management of
tuberculosis in children, pada TB Milier direkomendasikan
diberikan kortikosteroid, yaitu yang sering dipakai ialah prednison
dengan dosis 2mg/kgbb/hari selama 4 minggu full dose (dibagi
dalam 3 dosis) kemudian diturunkan secara perlahan (tappering
off) selama 1-2 minggu sebelum obat tersebut dihentikan. Dosis
prednison dapat ditingkatkan menjadi 4 mg/kgbb/hari maksimal 60
mg/hari pada kasus anak yang berat karena rifampisin dapat
menurunkan konsentrasi kortikosteroid akan tetapi apabila
dosisnya berlebih maka akan menyebabkan supresi imun berlebih.
Oleh karena itu, pada tahap awal sebaiknya seluruh anak-anak
yang terdiagnosis TB Milier, harus dirawat dirumah sakit sampai
keadaan klinis pasien stabil. 17

Tabel 2.9. Dosis OAT Kombipak pada anak15

54
Tabel 2.10. Dosis OAT FDC (Fixed Dose Combination) 15

Keterangan:
1) Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah
sakit
2) Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
3) Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
4) Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
5) OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh
atau digerus sesaat sebelum diminum.

c. Evaluasi Hasil Pengobatan


Evaluasi hasil pengobatan sebaiknya dilakukan tiap bulan.
Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi.
Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit
dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah
evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis
yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya
penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk,
perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan
baik, maka pengobatan dilanjutkan. 1,16
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu
dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan
radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura atau
bronkopneumonia TB . Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks
perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan,
sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks
dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan

55
sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.
Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada
dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan
sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi
perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis,
mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien
ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke
sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. 16
Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali
diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat,
kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi
asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan
klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang
pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu
subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-
obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna
kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6
bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka
kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6
bulan. 15,16

d. Evalusai Efek Samping Pengobatan


OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek
samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan
rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam
dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu
diperhatikan adalah hepatotoksisitas. 16
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis
isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis
rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi.

56
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-
Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat
Transaminase (SGPT) hingga ≥ 5 kali tanpa gejala atau ≥ 3 kali
batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin
total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan
beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus,
anoreksia, nausea dan muntah.4
Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya
kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati
ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa
ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang
tidak terlalu tinggi (moderate) dapat mengalami resolusi spontan
tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan ≥ 5 kali tanpa
gejala, atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala
memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan
dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin
dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat
ini cukup menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan
rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang
dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan
tepat. 16
Apabila peningkatan enzim transaminase ≥ 5 kali tanpa
gejala atau ≥ 3 kali batas normal disertai dengan gejala, maka
semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase
diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan
kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya
dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin
dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan
pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat.
Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi
berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (fulldose)
dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan. 1

57
2. Aspek Non Medikamentosa
a. Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik
apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan
dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini
menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan
terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan
keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung
terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly
observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah
direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program
penanggulangan TB , dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak
tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat
memberikan angka kesembuhan yang tinggi. 16
Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima
16
komponen yaitu sebagai berikut :
1) Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk
dukungan dana.
2) Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis.
3) Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO).
4) Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu
terjamin.
5) Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan
pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB .
b. Sumber penularan dan case finding
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB , maka
harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut
tertular TB . Sumber penularan adalah orang dewasa yang
menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.
Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan

58
radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah
ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular,
dengan cara uji tuberculin. 16
Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka
anak disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau
tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut
dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin. 16
c. Aspek edukasi dan sosial ekonomi
Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi.
Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan
dalam jangka waktuyang cukup lama, maka biaya yang diperlukan
cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik,
meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin dan mikronutrien.
Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan
medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal.
Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui
mengenai TB . Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena
sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang
disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi,
kecuali pada TB berat. 16
d. Pencegahan
1) Imunisasi BCG
Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Guérin) diberikan
pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml
dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah
insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak
subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan
sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3
bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan

59
kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak
pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi. 16,18
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti,
yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk
mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada
anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap
terjadinya TB milier, meningitis TB , TB sistem skletal, dan
kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan
positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan
dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak
dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi
BCG relative aman, jarang timbul efek samping yang serius.
Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan
limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%.
Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi
imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi
buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda
hingga bayi mencapai berat badan optimal. . 16,18
2) Kemoprofilaksis
Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu
kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder.
Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi TB , sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah
berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada
kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10
mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini
diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular,
terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi
(uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian
profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif
dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi
(BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika

60
terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien.
Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah
dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan
kemudian untuk evaluasi lebih lanjut. 16
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang
telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji
tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal.
Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi
hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk
berkembang menjadi sakit TB , yaitu anak-anak pada keadaan
imunokompromais. Contoh anak-anak dengan
imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili,
varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama
(sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB
baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari
12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder
adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder
dan terapi TB , tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon
dan efek samping obat 16

K. KOMPLIKASI
Tuberkulosis milier dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang
dapat memperburuk keadaan pasien. Komplikasi pada TB milier terbagi
atas 3 bagian, yakni paru, hematogen dan limfogen. Pada paru dapat
menyebabkan ARDS, pneumothorax, abses paru. Hematogen dapat
menyebabkan meningitis TB , tuberculoma dan TB enteritis. Sedangkan
penyebaran secara limfogen ialah lymphodenitis TB . 12
Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu
komplikasi yang jarang terjadi pada TB milier, yang mungkin muncul
bahkan setelah pengenalan antituberkulosis terapi. Kematian telah
dilaporkan setinggi 100% walaupun sudah diterapi adekuat dengan
pengobatan. Sekitar 7% kasus tuberkulosis milier berhubungan dengan

61
sindrom ini. Patogenesis ARDS secara keseluruhan belum dapat diketahui
secara pasti. ARDS menyebabkan terjadinya kasus infeksi akibat
lipopolisakarida yang dihasilkan oleh mycobacterial tersebut. Salah satu
produknya ialah lipoarabinomannan yang menginduksi produksi tumor
necrosis factor (TNF) pada makrofag dan hal inilah yang memodulasi
timbulnya ARDS. 2
Pasien yang mengalami tuberkulosis milier dapat mengakibatkan
terjadinya pneumothorax. Insidensi pneumothorax jarang, sekitar 1,3%-
1,5% pada tuberkulosis milier. Gejala-gejala klinis yang dapat terlihat pada
pasien tuberculosis milier yaitu terdapat tanda kesulitan bernafas, batuk
kering dan perubahan fungsi dan struktur anatomi jantung. Gejala-gejala ini,
juga terlihat pada pasien TB milier dengan pneumothorax, akan tetapi jika
dengan pneumothorax akan terlihat peningkatan dispneu dan nafas pendek
pada pasien. Sehingga, dalam pemeriksaan fisik sukar untuk dibedakan
antara TB milier saja atau TB milier dengan pneumothorax. Jika hal ini
terjadi, maka penanganan secara emergency harus segera dilakukan, karena
pada fase ini, pasien dapat jatuh ke dalam ARDS. Patogenesis
pneumothorax dalam tuberkulosis milier belum diketahui secara pasti, akan
tetapi diduga akibat proses kaseosa atau nekrosis di subpleural akibat nodul
milier dan hal ini dapat terjadi ruptur sehingga memicu terperangkapnya
udara yang menyebabkan pneumothorax. Selain itu, tuberkulosis milier akut
dapat menyebabkan emphysematous lung. Hal ini dapat disebabkan karena
penyebarannya bilateral, simultan dan atau adanya pneumothorax rekuren
pada pasien, sehingga memicu timbulnya gambaran emphysematous lung.
6,12

Tuberkulosis enteritis juga merupakan manifestasi ekstrapulmoner


dari tuberkulosis pulmoner, dan hal ini terjadi sekitar 15-20% dari pasien
tuberculosis pulmoner yang aktif. Chung dkk (2006) melaporkan bahwa
tuberkulosis intestinal dapat merupakan salah satu komplikasi tuberkulosis
milier yang ditandai dengan nyeri abdomen dan demam. 6,12

62
Tabel 2.11. Komplikasi TB Milier12
Komplikasi Tuberkulosis Milier
Sistemik Cryptic miliary tuberculosis
Pireksia yang tidak diketahui asalnya
Syok, disfungsi multi organ
Pulmo Acute respiratory distress syndrome
“Air leak” syndrome
(pneumothorax, pneumomediastinum)
Empiema akut
Hematologi Myelopthisic anaemia
Immune haemolytic anaemia
Endocrinological
Thyrotoxicosis
Renal Failure due to granulomatous destruction of
the interstitium
Immune complex glomerulonephritis
Kardiovaskular Perikarditis dengan atau tanpa efusi perikardial
Sudden cardiac death
Mycotic aneurysm of aorta
Native valve, prosthetic valve endocarditis
Hepatik Cholestatic jaundice
Lainnya Presentation as focal extra-pulmonary tuberculosis

Berdasarkan hal tersebut maka tuberkulosis enteritis merupakan


suatu differential diagnosis pada pasien yang memiliki keluhan bagian
abdomen terutama riwayat tuberkulosis pulmner sebelumnya.
Tuberkulosis intestinal didiagnosis dengan konfirmasi laparotomi dan
biopsi darurat. Oleh karena itu, pasien diberikan OAT selama 12 bulan dan
kortikosteroid. Sekitar 25% pasien dengan TB milier, dapat berlanjut
sampai mengenai sistem saraf pusat yaitu meningitis TB dan tuberculoma.
Setelah mendapatkan beberapa minggu terapi yang efektif, maka
diharapkan pasien mengalami perbaikan klinis yang signifikan, dan
memiliki hasil negatif pada pemeriksaan sputum basil tahan asam, dan
retraksi nampak minimal. Namun, yang harus diyakini bahwa pasien
benar-benar tidak lagi menular. Tidak adanya hasil sputum yang positif
pada pasien tersebut, sehingga dapat menjamin perlindungan saat paparan
dengan orang lain. Terapi harus diawasi secara langsung, sehingga hasil
dapat optimal untuk memastikan kepatuhan dan mencegah kekambuhan
pada pasien. 4

63
Menurut Buku Panduan Nasional Tuberkulosis Anak 2011
mengungkapkan bahwa terkadang pada TB Milier Akut yang menyeluruh
(acute generalized miliary) dapat terjadi tuberkulosis kelenjar limfe
superfisialis. Manifestasi klinis tersering, terjadi di kelenjar leher (cervical
adenitis, limfadenitis kolli), kemudian terdapat juga didaerah aksila dan
ingunial. Tuberkulosis kelenjar leher umumnya di bagian anterior. Anemia
aplastik juga merupakan salah satu komplikasi dari tuberkulosis milier.
Patogenesisnya secara lebih rinci tidak diketahui secara pasti. 15

H. PROGNOSIS
Prognosis tuberkulosis milier dipengaruhi oleh umur anak, lama
infeksi, luas lesi, gizi, sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan
adekuat dan infeksi lain. Adanya infeksi HIV, multydug resistance (MDR)
dan reaksi obat (rash, hepatitis dan trombositopenia) dengan TB milier
berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pada TB
milier terjadi peningkatan morbiditas dan mortilitas sebesar 20-25%. 4,12
Prognosis penderita penyakit tuberkolosis milier adalah baik bila
diagnosa dini dapat diketahui dan dilakukan pengobatan yang tepat.
Komplikasi yang sering adalah menigitis tuberkolosis terutama pada dewasa
muda. Angka mortalitas yang diakibatkan oleh TB milier bila tidak diobati
100% dan bila diobati dengan tepat akan berkurang menjadi 10% hal ini
dapat di dapati di Amerika Serikat , di negara lain angka kematian bervariasi
berkisar 10%-28%. 1

64
III. KESIMPULAN

1. Tuberkulosis milier adalah penyakit limfo-hematogen sistemik akibat


penyebaran Mycobacterium tuberculosis (tuberculosis diseminata) dari
kompleks primer yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan setelah infeksi
awal.
2. Tuberkulosis milier memiliki angka kejadian sekitar 3-7% dari seluruh kasus
TB dengan angka mortalitas yang tinggi yaitu dapat mencapai 25% pada bayi.
3. Sumber penularan TB paru yaitu penderita TB BTA positif yang menularkan
saat batuk atau bersin mengandung Mycobacterium tuberculosis.
4. Faktor risiko TB milier yaitu usia, lokasi geografi, imunitas tubuh, kondisi
medik, genetik, stress, faktor lingkungan dan Mycobacterial.
5. Penyebaran TB milier yaitu secara limfo-hematogen dan melibatkan reaksi
imun non-spesifik dan spesifik.
6. Diagnosis banding TB milier yaitu ARDS, Addison disease, Blastomikosis,
Cardiac tamponade, DIC dan Pneumonia.
7. Diagnosis TB milier pada anak dapat ditegakkan dengan adanya riwayat
kontak dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran
radiologis yang khas, gambaran klinis, uji tuberkulin yang positif.
8. Penatalaksanaan TB milier yaitu meliputi aspek medikamentosa seperti
pemberian OAT dan kortikosteroid serta aspek non medikamentosa.
9. Komplikasi TB mliier meliputi sistemik, pulmo, hematologi,renal,
kardiovaskular, hepatik dan enteral.
10. Prognosis tuberkulosis milier dipengaruhi oleh umur anak, lama infeksi, luas
lesi, gizi, sosial ekonomi keluarga, diagnosis dini, pengobatan adekuat dan
infeksi lain.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Grange JM, Zumla AI. Tuberculosis. In Cook GC, editor. Manson's Tropical
Disease 22nd edition. Elsevier Ltd; London, 2008 : p. 1-57.

2. World Health Organization. Tuberculosis Control in the South-East Asia


Region. The Regional Report. 2012: p. 77-83.

3. World Health Organization. WHO. [Online].; 2010 [cited 2012 November 28.
Available from:
http://whqlibdoc.who.int/publications/2010/9789241564069_eng.pdf..

4. World Health Organization. Global Tuberculosis Report. 2012: p. 2-98.

5. Rahajoe NN, Setyanto DB. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. In Buku Ajar
Respirologi Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2012:
p. 194-227.

6. Basir D, Yani FF. Tuberkulosis dengan Keadaan Khusus. In Buku Ajar


Respirologi Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2012:.
p. 228-45.

7. Kemenkes RI. Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia. In Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Jakarta, 2011: p. 16-59.

8. World Health Organization. Management of TB meningitis and miliary TB .


Guidance for national tuberculosis programmes on management of
tuberculosis in children. 2006: p. 10-50.

9. Kelompok Kerja TB Anak IDAI. Diagnosis & Tatalaksana Tuberkulosis


Anak. Departemen Kesehatan Indonesia. Jakarta, 2008.

10. CDC. CDC. [Online].; 2008 [cited 2012 November 28. Available from:
http://wonder.cdc.gov/wonder/PrevGuid/p0000425/p0000425.asp.

11. Reviono , Probandari AN, Pamungkasari EP. Keterlambatan Diagnosis Pasien


Tuberkulosis Paru di RSUD dr. Moewardi Surakarta. Journal of Respiratory
Indonesian. 2008; 28 1: p. 1-10.

12. World Health Organization. WHO. [Online].; 2009 [cited 2012 November 28.
Available from: http://www.who.int/TB
/publications/global_report/2009/key_points/en/index.html.

13. Rahajoe NN, Setiawati L. Tatalaksana TB . In Buku Ajar Resoirologi.


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2012: p. 214-27.

66
14. Said M, Boediman I. Imunisasi BCG pada Anak. In Buku Ajar Respirologi
Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2012: p. 252-259.

15. Kar A. Characterization, Classification and Taxonomy of Microbes. In


Pharmaceutical Microbiology. New Age International Ltd. New Delhi, 2008:
p. 23-62.

16. Levinson W. Mycobacteria. In Review of Medical Microbiology and


Immunology. The McGraw-Hill Companies. United State of America, 2008: p.
25-45.

17. Barrera L. The Basic of Clinical Bacteriology. In Palomino JC, Leao SC,
Ritacco V, editors. Tuberculosis 2007 From Basic science to patient care.
BourcillierKamps Ltd. Brazil, 2007: p. 93-112.

18. Ahmad S. Pathogenesis, immunology and Diagnosis of Latent Mycobacterium


tuberculosis Infection. Clinical and Developmental Immunology. 2010
October 26; 2011: p. 1-17.

19. Lyadova I. Inflammation and Immunopathogenesis of Tuberculosis


Progression, Understanding. [Online].: InTech; 2012 [cited 2012 November
28. Available from:
http://www.intechopen.com/books/understandingtuberculosis-analyzing-the-
origin-of-mycobacterium-tuberculosis-pathogenicity/inflammation-
andimmunopathogenesis-of-tuberculosis-progression.

20. Munasir Z. Respon Imun terhadap Bakteri. Sari Pediatri. 2001 Maret; 2: p.
193-7.

21. Dheda K, Schwander SK, Zhu B, Van Vyl-Smit RN, Zhang Y. The
immunology of tuberculosis. Respirology. 2010; 15: p. 433-50.

22. Lessnau KD, Luise C, Masci JR, Talavera F, Glatt A, Cunha B. Emedicine.
[Online].; 2012 [cited 2012 November 28. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/221777-overview.

23. Avalos GG, Montes de Oca EP. Classic and New Diagnostic Approaches to
Childhood Tuberculosis. Journal of Tropical Medicine. 2012 Januari 2; 2012.

24. Surendra KS, Alladi M, Abhishek S. Challenges in the diagnosis & treatment
of miliary tuberculosis. Indian Journal Medical Respirology. 2012 May;: p.
703-30.

67

Anda mungkin juga menyukai