Abstrak
Latar Belakang: Gangguan refraksi merupakan salah satu penyebab kebutaan di dunia. World Health
Organization (WHO) menyatakan 45 juta orang menjadi buta di seluruh dunia, dan 135 juta dengan
low vision. Dari 66 juta anak usia sekolah (5-19 tahun) di Indonesia, sekitar 10% menderita kelainan
refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kaca mata koreksi masih sangat rendah sekitar 12,5%
dari prevalensi tersebut. Apabila kondisi ini tidak ditangani secara menyeluruh akan berdampak
negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajaran yang akan mempengaruhi
produktivitas dan mutu angkatan kerja (15-55 tahun).
Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan refraksi pada
mahasiwa baru Universitas Mataram angkatan 2014, mengetahui distribusi karakteristik subjek yang
diteliti, meliputi: jenis kelamin, usia, pendidikan orang tua, penghasilan rumah tangga, adanya
gangguan refraksi pada keluarga inti, waktu yang dihabiskan untuk membaca dan bermain game
komputer di rumah, riwayat pemeriksaan ketajaman pengelihatan dan pemakaian kacamata koreksi
sebelumnya, dan gejala gangguan pengelihatan serta untuk mengetahui frekuensi kejadian pada
berbagai tipe gangguan refraksi.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional dengan pengambilan sampel secara
kluster sesuai dengan fakultas pada mahasiswa baru Universitas Mataram angkatan 2014. Pengam-
bilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner, pemeriksaan tajam penglihatan, pemeriksaan
autorefraktokeratometer dan koreksi subjektif pada penderita gangguan refraksi.
Hasil: Penelitian dilakukan pada 183 responden, 67 laki–laki dan 115 perempuan, dengan rerata umur
18,76±1,66 tahun. Responden terbanyak berasal dari fakultas keguruan dan ilmu pendidikan (33%).
Sebagian besar memiliki orang tua dengan tingkat pendidikan terakhir SMA/sederajat (33% dan
31%) dan penghasilan kurang dari 2 juta per bulan (79%). Riwayat pemeriksaan tajam pengelihatan
sebelumnya hanya didapatkan pada 27% responden. Diagnosis terbanyak Myopia Simpleks (OD
8,74%, OS 12,02%) dan terjarang Astigmat Myopia Simpleks (0,55%). Dua puluh empat responden
sudah menggunakan kacamata dengan rerata umur mulai berkacamata 16,58±3,55 tahun. Tidak
didapatkan perbedaan yang bermakna pada riwayat keluarga (p=0,4023). Lama penggunaan gadget
memiliki signifikansi terhadap risiko terjadinya gangguan refraksi (p=0,0177).
Kesimpulan: Myopia Simpleks merupakan diagnosis kelainan refraksi yang paling banyak ditemukan.
Tidak terdapat perbedaan bermakna pada faktor risiko riwayat keluarga dan didapatkan perbedaan
bermakna pada risiko lama penggunaan gadget.
Katakunci
gangguan refraksi, prevalensi, mahasiswa baru
Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
*e-mail: isnasuninto@gmail.com
progresivitas miopia terjadi pada usia 6 sampai 15 ta- diagnosis terbanyak (OD 85.25% dan OS 85.79%), se-
hun. 3 dangkan Astigmat Myopia Simpleks menjadi kelainan
Semakin meningkatnya pemakaian alat canggih pa- refraksi terjarang yang didapatkan hanya 0.55%. Hasil
da anak-anak sangat memungkinkan terjadinya pening- ini berkebalikan dengan penelitian Ovenseri–Ogbomo
katan kejadian gangguan refraksi pada anak sehingga yang melaporkan Astigmatisme sebagai kelainan refrak-
diperlukan pemeriksaan secara dini pada anak sekolah si terbanyak, yaitu 55% dan Myopia hanya didapatkan
dasar. Penemuan kasus dengan lebih cepat memung- pada 18% responden. 4,5
kinkan penanganan yang lebih segera sehingga kualitas c. Faktor Risiko Kelainan Refraksi
penglihatan baik dan diharapkan prestasi belajar me- Sejumlah 24 orang responden sudah menggunakan ka-
ningkat. camata dengan rerata umur mulai berkacamata adalah
16.58 tahun (simpang baku 3.55). Pada kelompok res-
ponden dengan kelainan refraksi didapatkan hasil yang
sama besar antara riwayat kacamata pada keluarga po-
2. Metode Penelitian sitif dan riwayat keluarga negatif, sementara sebagian
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang (cross-
sectional) dengan pengambilan sampel secara kluster
sesuai dengan fakultas pada mahasiswa baru Universi- Tabel 1. Karakteristik Responden
tas Mataram angkatan 2014. Pengambilan data akan Jumlah
dilakukan dengan menggunakan kuisioner, pemeriksaan Karakteristik
tajam penglihatan, pemeriksaan autokeratometer pada Umur, rerata (simpang baku) 18,76 (1,66)
penderita gangguan refraksi. Jenis Kelamin
Laki-laki, n(%) 67 (37)
Laki-laki, n(%) 115 (63)
Fakultas
3. Hasil dan Pembahasan Budidaya Perairan 4 (2)
a. Karakteristik Responden Ekonomi 28 (15)
Dari penelitian ini didapatkan total 183 responden, 67 FISIP 1 (1)
laki–laki (37%) dan 115 perempuan (63%). Rerata umur Hukum 3 (2)
yang didapatkan adalah 18.76 tahun dengan standar de- Keguruan dan Ilmu Pendidikan 61 (33)
viasi 1.66. Mahasiswa yang menjadi responden, paling Kehutanan 5 (3)
banyak berasal dari fakultas keguruan dan ilmu pen- MIPA 7 (4)
didikan (33%) dan paling sedikit dari fakultas teknik Pertanian 37 (20)
(8%). Sebagian besar responden memiliki orang tua, Peternakan 18 (10)
baik ayah maupun ibu, dengan tingkat pendidikan tera- Sosiologi 1 (1)
khir SMA/sederajat (33% dan 31%) dan berpenghasilan Teknik 15 (8)
kurang dari 2 juta tiap bulannya (79%). Riwayat pe- Teknik Elektro 1 (1)
meriksaan refraksi sebelumnya hanya didapatkan pada Teknologi Pangan dan Agroindustri 2 (1)
sebagian kecil responden (27%). Pendapatan Orang Tua
Hasil ini lebih besar dibanding penelitian di Gha- Kurang dari 2 juta 145 (79)
na yang melaporkan hanya sebagian kecil responden 2 juta - 8 juta 37 (20)
(0.6%) yang pernah menjalani pemeriksaan refraksi se- NA 1 (1)
belumnya, dan tidak didapatkan hubungan antara riwa- Pendidikan Ayah
yat pemeriksaan dengan kondisi sosial ekonomi orang Tidak sekolah 12 (7)
tua. 4 SD/sederajat 51 (28)
b. Kelainan Refraksi SMP/sederajat 15 (8)
Rerata Spherical Equivalent (SE) Autorefraktometer SMA/sederajat 61 (33)
pada penelitian ini adalah OD –1.64±1.15D dan OS Diploma 10 (5)
–1.7±1.04D. Tajam pengelihatan naturalis terburuk pada Sarjana 29 (16)
OD adalah 6/60 dan tajam pengelihatan terburuk OS ada- Pascasarjana 5 (3)
lah 20/180. Midelfart melaporkan rerata SE yang lebih Pendidikan Ibu
kecil, yaitu sebesar –0.59±1.75D setelah sebelumnya Tidak sekolah 23 (13)
menyingkirkan responden dengan tajam pengelihatan SD/sederajat 57 (31)
kurang dari 0.5 atau 20/40 pada salah satu mata. 5 SMP/sederajat 32 (17)
Pada pemeriksaan refraksi terhadap seluruh respon- SMA/sederajat 57 (31)
den Emetropia sebagai didapatkan diagnosis terbanyak, Diploma 1 (1)
yaitu OD 85.25% dan OS 85.79%. Ini lebih besar diban- Sarjana 12 (7)
ding dengan penelitian Midelfart di Norwegia yang men- Pascasarjana 1 (1)
dapatkan prevalensi Emetropia pada kelompok umur Pemeriksaan Refraksi
20–25 tahun sebesar 51.8%. Pada kelompok responden Sudah 50 (27)
dengan kelainan refraksi, didapatkan Myopia sebagai Belum 133 (73)
Jurnal Kedokteran
Prevalensi Gangguan Refraksi 3
Jurnal Kedokteran