Anda di halaman 1dari 5

Pencegahan dan Penanggulangan Ancaman Disintegrasi Bangsa.

Permasalahan konflik yang terjadi saat ini antar partai, daerah, suku, agama dan lain-
lainnya ditenggarai sebagai akibat dari ketidak puasan atas kebijaksanaan pemerintah pusat,
dimana segala sumber dan tatanan hukum dinegara ini berpusat. Dari segala bentuk
permasalahan baik politik, agama, sosial, ekonomi maupun kemanusiaan, sebenarnya memiliki
kesamaan yakni dimulai dari ketidakadilan yang diterima oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya sehingga menimbulkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat, terutama bila kita
meninjau kembali kekeliruan pemerintah masa lalu dalam menerapkan dan mempraktekkan
kebijaksanaannya.

Konflik yang berkepanjangan dibeberapa daerah saat ini sesungguhnya berawal dari
kekeliruan dalam bidang politik, agama, ekonomi, sosial budaya, hukum dan hankam. Kondisi
tersebut lalu diramu dan dibumbui kekecewaan dan sakit hati beberapa tokoh daerah, tokoh
masyarakat, tokoh partai dan tokoh agama yang merasa disepelekan dan tidak didengar aspirasi
politiknya serta para eks tapol/Napol. Akumulasi dari kekecewaan tersebut menimbulkan
gerakan radikal dan gerakan separatisme yang sulit dipadamkan.

Dalam kecenderungan seperti itu, maka kewaspadaan dan kesiapsiagaan nasional dalam
menghadapi ancaman disintegrasi bangsa harus ditempatkan pada posisi yang tepat sesuai
dengan kepentingan nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu untuk mencegah ancaman
disintegrasi bangsa harus diciptakan keadaan stabilitas keamanan yang mantap dan dinamis
dalam rangka mendukung integrasi bangsa serta menegakkan peraturan hukum sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

1. Pancasila sebagai landasan Idiil. Pancasila sebagai landasan idiil telah


diterima dan diyakini kebenarannya oleh setiap warga negara Indonesia sebagai ideologi dan
dasar negara. Kata Pancasila secara eksplisit tidak disebutkan dalam pembukaan UUD 1945,
akan tetapi kelima sila lengkap termuat didalamnya dimana setiap sila mempunyai kaitan yang
erat dengan sila lainnya dan tidak dapat dipisahkan. Konsekuensi dengan diterima dan diyakini
kebenarannya tersebut maka merupakan kewajiban bagi seluruh warga negara Indonesia untuk
mengamalkan dan menghayati Pancasila secara utuh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. UUD 1945 sebagai Landasan Konstitusional. Sejak proklamasi kemerdekaan


RI, bangsa Indonesia resmi menjadi bangsa yang berdaulat dan berhasil menetapkan UUD 1945
sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, yang berisi norma-norma, aturan-aturan
dan ketentuan- ketentuan yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara. Pasal 30 ayat 1
menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pertahanan dan
keamanan negara. Berkaitan dengan pasal ini merupakan proses yang menyadarkan warga
negara akan kewajiban yang harus dilakukan dan sekaligus ingin mengembangkan kemampuan
warga negara untuk dapat melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu persatuan dan kesatuan
mutlak dijaga dan dipertahankan serta ditumbuh kembangkan, sebab hanya persatuan dan
kesatuanlah yang dapat mencegah dan menanggulangi segala bentuk ancaman apapun serta dari
manapun datangnya.

3. Wawasan Nusantara sebagai landasan visional. Wawasan nusantara adalah


merupakan cara pandang bangsa Indonesia yang manifestasinya ditentukan oleh dialog antara
bangsa dengan lingkungannya, baik alam maupun sosial yang digunakan untuk memotivasi dan
menggerakan setiap upaya mencapai tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.

Untuk itu harus mempunyai pengertian yang sama, wawasan nusantara versi Lemhanas
yang dijadikan sebagai pegangan pokok yaitu “cara pandang bangsa Indonesia yang berlingkup
demi kepentingan nasional, yang berlandaskan Pancasila, tentang diri dan lingkungannya, serta
tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupannya yang beragam dan
dinamis, dengan menggunakan persatuan dan kesatuan wilayah Indonesia, yang tetap
menghargai dan menghormati ke Bhinnekaan dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara untuk mewujudkan cita-cita nasional”.

Guna mewujudkan persatuan dan kesatuan yang kokoh, berdasarkan wawasan


nusantara perlu diarahkan untuk menumbuh kembangkan kesadaran cinta tanah air pada setiap
warga negara, yang selanjutnya akan terpatri semangat rasa sebangsa dan setanah air yang pada
akhirnya rela berkorban demi tegaknya persatuan dan kesatuan.

4. Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional. Ketahanan nasional sebagai


landasan konsepsional pada dasarnya adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa dalam
menangkal setiap ancaman, untuk menjamin kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta perjuangan untuk mencapai tujuan nasional.

Keadaan ini akan dapat terlaksana dengan baik apabila setiap warga negara
memiliki kepatuhan terhadap semua aturan dan tatanan yang berlaku dimasyarakat pada semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada zaman reformasi ini dengan berbagai krisis
yang berdampak munculnya beraneka ragam tuntutan masyarakat, menggunakan isue-isue
universal, masyarakat menghendaki perubahan-perubahan yang mendasar diberbagai tatanan
kehidupan dan sistem berbangsa dan bernegara. Dibeberapa wilayah bermunculan kelompok-
kelompok separatis yang menghendaki memisahkan diri dari NKRI, bahkan tindakan-tindakan
anarkis yang bernuansa SARA .

Dampak semua itu telah menimbulkan berbagai kecemasan tentang masa depan bangsa
yang penuh ketidak pastian, sebagai akibat berkembangnya pemikiran primordialisme sempit
yang dikumandangkan oleh golongan tertentu yang dikemas dengan muaranya tuntutan hati
nurani rakyat dan ujungnya merupakan kepentingan politik, kelompok atau golongan.
Dalam situasi seperti ini sudah saatnya merapatkan barisan untuk membangun
kembali potensi bangsa yang sudah retak dan lunturnya rasa nasionalisme, untuk memperkokoh
ketahanan nasional sebagai landasan konsepsional sehingga dapat diwujudkan keuletan dan
ketangguhan yang handal sesuai harapan.

5. Ketetapan MPR Nomor : V / MPR / 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan


Kesatuan Nasional. Sejak awal berdirinya NKRI para pendiri negara menyadari bahwa
keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus
diakui, diterima dan dihormati yang kemudian diwujudkan dalam semboyan “Bhinneka Tunggal
Ika”. Namun disadari bahwa ketidakmampuan untuk mengelola kemajemukan dan
ketidaksiapan sebagian masyarakat untuk menerima kemajemukan tersebut, serta dampak
peninggalan penjajah Belanda yang selalu tidak menghendaki terjadinya persatuan dibumi
Indonesia karena sangat membahayakan bagi keberadaannya, yang dulu dikenal dengan politik
“devide et impera”.

Kondisi ini ditanamkan oleh Belanda pada sebagian rakyat Indonesia, bahkan masih
digunakan secara turun-temurun khususnya yang terjadi pada RMS dan OPM, hingga saat ini
masih terjadi gejolak yang selalu membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, apabila hal
tersebut dapat dikaji penyebab utamanya adalah belum disosialisasikannya sikap perilaku
menghormati privacy seseorang dalam suatu tata hukum bermasyarakat, dan semakin lama
dibiarkan berkembangnya campur tangan memasuki wilayah privacy perorangan maka dapat
mengakibatkan tumbuh menjadi sumber konflik.

Hal tersebut telah melahirkan ketidakadilan konflik vertikal antara pusat dan daerah,
maupun konflik horizontal serta konflik komunal antar berbagai unsur masyarakat, dalam
bebagai perbedaan yang muncul. Usaha untuk mewujudkan gerakan reformasi secara konsekuen
dan konsisten dalam mengakhiri berbagai konflik yang bersifat multidimensi harus memerlukan
kesadaran dan rasa nasionalisme seluruh warga negara.

Dari beberapa kajian beberapa narasumber maka dapat disimpulkan adanya lima faktor
utama yang bisa menjadi penyebab utama masalah disintegrasi bangsa.

Pertama, krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama. Krisis di sektor ini
selalu merupakan faktor amat signifikan dalam mengawali lahirnya krisis yang
lain (politik-pemerintahan, hukum, dan sosial). Secara garis besar, krisis
ekonomi ditandai merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi dan
terpuruknya nilai tukar, turunnya kemampuan produksi akibat naiknya biaya
modal, dan terhambatnya kegiatan perdagangan dan jasa akibat rendahnya daya
saing. Muara dari semua ini adalah tutupnya berbagai sektor usaha dan
membesarnya jumlah pengangguran dalam masyarakat.

Kedua, krisis politik berupa perpecahan elite di tingkat nasional, sehingga


menyulitkan lahirnya kebijakan yang utuh dalam mengatasi krisis ekonomi.
Krisis politik juga bisa dilihat dari absennya kepemimpinan politik yang
mampu membangun solidaritas sosial untuk secara solid menghadapi krisis
ekonomi. Dalam situasi di mana perpecahan elite pusat makin meluas dan
kepemimpinan nasional makin tidak efektif, maka kemampuan pemerintah dalam
memberi pelayanan publik akan makin merosot,akibatnya kepercayaan
masyarakat kepada pemerintah akan semakin menipis.

Ketiga, krisis sosial dimulai dari terjadinya disharmoni dan bermuara pada
meletusnya konflik kekerasan di antara kelompok-kelompok masyarakat (suku,
agama, ras). Jadi, di kala krisis ekonomi sudah semakin parah, yang
akibatnya antara lain terlihat melalui rontoknya berbagai sektor usaha,
naiknya jumlah penganggur, dan meroketnya harga berbagai produk, maka
kriminalitas pun akan meningkat dan berbagai ketegangan sosial menjadi sulit
dihindari. Dalam situasi seperti ini, hukum akan terancam supremasinya dan
kohensi sosial terancam robek. Suasana kebersamaan akan pupus dan rasa
saling percaya akan terus menipis. Sebagai gantinya, eksklusivisme, entah
berdasar agama, ras, suku, atau kelas yang dibumbui sikap saling curiga yang
terus menyebar dalam hubungan antarkelompok. Bila berbagai ketegangan ini
tidak segera diatasi, maka eskalasi konflik menjadi tak terhindarkan.
Disharmoni sosial pun dengan mudah akan menyebar. Modal sosial berupa
suasana saling percaya, yang merupakan landasan bagi eksistensi sebuah
masyarakat bangsa, perlahan-lahan akan hancur.

Keempat, intervensi internasional yang bertujuan memecah-belah, seraya


mengambil keuntungan dari perpecahan itu melalui dominasi pengaruhnya
terhadap kebijakan politik dan ekonomi negara-negara baru pascadisintegrasi.
Intervensi itu bergerak dari yang paling lunak, berupa pemberian advis yang
membingungkan kepada pemerintah nasional yang pada dasarnya sudah kehilangan
arah,yaitu dapat berupa provokasi terhadap kelompok-kelompok yang berkonflik hingga yang
paling berbahaya yaitu berupa suplai
kebutuhan material untuk memperkuat kelompok-kelompok yang berkonflik itu,contohnya
suplay senjata.

Proses intervensi terakhir ini amat mungkin terjadi saat pemerintah nasional
sudah benar-benar tak berdaya mengontrol lalu lintas informasi, komunikasi,
mobilitas sosial, serta transportasi darat, laut, dan udara. Bila ini
terjadi, maka jalan menuju disintegrasi semakin jelas, hanya menunggu waktu
sebelum menjadi kenyataan.

Kelima, demoralisasi tentara dan polisi dalam bentuk pupusnya keyakinan


mereka atas makna pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagai
bhayangkari negara. Demoralisasi itu, pada kadar yang rendah dipengaruhi
oleh merosotnya nilai gaji yang mereka terima akibat krisis ekonomi.

Untuk mencegah disintegrasi yang memicu pergerakan separatis,maka hal – hal yang
menurut kami perlu dilakukan yaitu dengan beberapa penanggulangan atau pencegahan dengan
cara:

1.Perbaikan Pada Faktor Ekonomi.

Harapan satu-satunya adalah investasi melalui


proyek-proyek pemerintah, misalnya, untuk pembangunan infrastruktur
transportasi secara besar-besaran sebagai upaya menampung tenaga kerja dan
memutar roda ekonomi. Namun, ini memerlukan syarat adanya kepemimpinan
nasional yang kreatif dan terpercaya karena integritasnya, tersedianya
cadangan dana pemerintah yang cukup, serta bantuan teknis melalui komitmen
internasional. Tanpa terobosan investasi baru, krisis ekonomi akan
berlanjut.Krisis ekonomi akan memperlemah kemampuan negara untuk
menutupi berbagai ongkos pengelolaan kekuasaan dan pemeliharaan berbagai
fasilitas umum.

2.Perbaikan Pada Proses Politik.

Perbaikan pada situasi politik bangsa ini dapat dilakukan bilamana Pemimpin
Negara,dalam hal ini Presiden,mempunyai pemimpin yang tegas dan dapat diandalkan,sehingga
tidak terjadi suasana politik yang tidak sehat yang dapat membuat masyarakat tidak percaya
kepada pemerintah.Hal ini dapat membuat masyarakat berupaya membentuk pemerintahan
sendiri.

3.Perbaikan Pada Krisis Sosial.

Pemerintah diharuskan peka terhadap kemungkinan konflik perpecahan antar


suku,ras,dan agama karena bangsa kita merupakan bangsa yang majemuk,yang dapat dilakukan
Pemerintah yaitu memupukan rasa solidaritas dan smangat persatuan INDONESIA,dan
pendekatan terhadap tokoh – tokoh daerah.

Anda mungkin juga menyukai