Anda di halaman 1dari 3

Combro yang telah menjadi makanan populer di Jawa Barat ini, naik kelas dengan sejumlah inovasi di

tangan Atmaja. Hasilnya, konsumen harus rela antri untuk hanya untuk membeli beberapa potong.
Gila! Hanya combro. Hari gini untuk bisa menikmati combro, yang merupakan makanan populer di masyarakat
(Sunda: oncom di jero atau oncom di dalam, red.) saja, para penikmatnya harus berjuang. Telat sedikit, jangan
berharap Anda kebagian. Itulah fakta yang terlihat dari antrian pembeli makanan khas masyarakat Jawa Barat
yang mangkal di Jalan Suryakencana, Bogor, ini. Adalah Combro Atmaja alias combro rajikan Pak Atmaja yang
mampu menyedot konsumen bukan hanya di sekitar Bogor, melainkan juga dari Jakarta, Tangerang, Bandung,
Semarang, Surabaya, bahkan Belanda, Jepang, dan Singapura.

“Padahal sebenarnya combro ini tidak ada bedanya lho dengan combro-combro lain. Mungkin, karena setiap hari
saya selalu mengganti minyak gorengnya. Selain itu, barangkali karena bahan bakunya, saya menggunakan
singkong Mangu yang kualitasnya paling bagus dibandingkan singkong-singkong lain. Juga menggunakan cabai
kampung yang walau kecil dan ramping bentuknya, tapi pedasnya pas. Sedangkan, bahan oncom yang saya
gunakan adalah oncom merah atau tanpa bahan pengawet. Lebih dari itu, tentu trik atau cara mengolahnya,
termasuk cara menggulungnya,” kata Atmaja, mengira-ngira kelebihan produknya sehingga memancing orang
menyemut.

Namun yang pasti, Atmaja yang dalam menjalankan usahanya dibantu dua saudara dan seorang tetangganya ini,
lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas. Bahkan, boleh percaya boleh tidak, dia sendiri tidak terlalu
menggubris apakah usahanya rugi atau untung. Bahkan dia tak terlalu mau tenggelam seharian mengurus
bisnisnya. Hal ini terbukti dari “jam kerjanya” yang hanya tiga jam/hari. “Masalahnya yaitu tenaga kerja kami
terbatas. Capeklah kalau harus berdagang seharian. Jadi begitu jualan kami habis, ya, kami pulang untuk
beristirahat. Lalu, mempersiapkan bahan-bahan untuk berjualan keesokannya,” ujarnya, polos.

Di samping itu, ternyata bisnis Atmadja juga dibatasi oleh ketersediaan bahan baku. Seperti yang disebutkan di
atas, salah satu bahan bakunya sangat spesial dan suplainyapun sangat terbatas. Singkong Mangu semakin sulit
didapat dan kalaupun tersedia harganya mahal, sehingga dia terpaksa tidak lagi menggunakan singkong ini dan
menggantinya dengan singkong lain, yang kualitasnya sedikit di bawah singkong Mangu. “Dulu, karena sangat
mempertimbangkan kualitas, kalau kehabisan singkong Mangu saya memilih untuk tidak berjualan. Jadi dalam
tujuh hari (seminggu, red.), kadang-kadang saya hanya berjualan tiga atau empat hari,” lanjutnya.

Dengan “jam kerja” dari jam 11.00 hingga jam 14.00, pada hari kerja Atmaja menggoreng (baca: menjual) 400
combro dari 20 kg adonan dan 800 combro dari 40 kg adonan pada hari libur atau akhir pekan. Dengan demikian,
dari harga combro Rp1.200,- per buah, setiap hari dia mampu meraup omset sekitar Rp480 ribu sampai Rp960
ribu. Pendapatan ini di luar pesanan untuk pesta perkawinan dan dari lima pelanggan tetapnya, di antaranya
beberapa hotel di sekitar Bogor, yang masing-masing memesan 100–200 buah per pelanggan. “Saya tidak bisa
menerima pesanan lebih dari itu, khawatir tidak dapat memenuhi tepat pada waktunya. Di samping itu, juga
kualitas singkong yang saya peroleh. Kalau hari itu saya tidak bisa mendapatkan singkong yang kualitasnya
bagus, saya terpaksa menolak pesanan. Sebenarnya, kalau dituruti, saya bisa membuat 1.000–2.000 combro
setiap harinya,” kata Atmaja yang tidak menerima pesanan, saat sedang berjualan.

Berbeda dengan combro lain yang lebih sedap disantap saat masih hangat, makanan berbentuk bulat lonjong
made in dapur Atmaja ini masih tetap renyah, gurih, dan tentu saja lezat meski sudah dingin. Tapi untuk
menghindari basi, untuk pesanan, combro Atmaja biasanya digoreng setengah matang. “Combro saya bertahan
dua hari,” jelasnya. Sedangkan untuk pembeli ketengan (satuan, red.), tergantung permintaan konsumen apakah
ingin digoreng matang atau setengah matang.

Usaha combro ini sebenarnya bisnis keluarga yang sempat terhenti pada 1998, karena berbagai situasi ekonomi
yang sulit. Dengan mengerahkan modal harian Rp200 ribu hingga Rp250 ribu (setiap lima hari sekali, modal ini
membengkak menjadi Rp400 ribu bila persediaan gas, kantung plastik, dan dus pembungkus habis, red.), laba
kotor yang diraupnya hanya sekitar Rp250 ribu. “Jadi kalau dibilang harga combro saya kemahalan, saya kira itu
keliru,” katanya.

Melihat minat konsumen yang semakin besar ini, ke depannya, Atmaja berencana membangun pabrik yang
mampu menghasilkan 3.000–4000 combro per hari, dengan syarat singkong selalu tersedia.

Demikan pula dengan jumlah tenaga kerja yang bertugas menggulung parutan singkongnya harus diperbanyak.
Lantas, untuk variasinya produknya akan ditambahkan misro, pisang goreng, tempe goreng, dan tahu goreng
Sumedang, “Untuk sementara ini, saya hanya ingin memiliki ruangan khusus berukuran 4 x 4 meter untuk
mengganti gerobak ini dan terus berusaha menjaga mutu produk.

Karena, sesepele apa pun pekerjaan itu, tidak ada yang boleh dikerjakan dengan main-main, termasuk dalam
membuat combro,” tegas Atmaja yang belum berani membuka cabang di Jakarta. Memang hanya combro, tapi
dengan berbagai terobosan dan inovasi, maka makanan “kelas rakyat” ini akan diminati orang dan tentu menjadi
peluang bisnis yang menjanjikan.

Anda mungkin juga menyukai