Anda di halaman 1dari 7

PROFIL PENGUSAHA

Edam Burger
1. PENGUSAHA HIDUPLAH SEDERHANA
• Pembawaannya sederhana, tak ubahnya seperti pegawai lain.
Sambil tersenyum hangat, ia pun memperkenalkan diri. “Aduh
maaf, ya, saya tidak terbiasa rapi, hanya pakai oblong dan
celana pendek,” tutur Made Ngurah Bagiana, sang pemilik
Edam Burger. Beberapa saat kemudian, Made bercerita.)
• Terus terang, saya suka malu dibilang pengusaha sukses yang
punya banyak pabrik dan outlet. Bukan tidak mensyukuri, tapi
saya hanya tak mau dicap sombong. Saya mengawali semua
usaha ini dengan niat sederhana: bertahan hidup. Makanya,
sampai sekarang saya ingin tetap menjadi orang yang
sederhana. Sesederhana masa kecil saya di Singaraja, Bali.
2. Ingin Jadi Sukses harus Mandiri dan
Bekerja Keras
• Orang tua memberi saya nama Made Ngurah Bagiana. Saya lahir pada
12 April 1956 sebagai anak keenam dari 12 bersaudara. Sejak kecil,
saya terbiasa ditempa bekerja keras. Malah kalau dipikir-pikir, sejak
kecil pula saya sudah jadi pengusaha. Bayangkan, tiap pergi ke
sekolah, tak pernah saya diberi uang jajan. Kalau mau punya uang, ya
saya harus ke kebun dulu mencari daun pisang, saya potong-potong,
lalu dijual ke pasar.
• Menjelang hari raya, saya pun tak pernah mendapat jatah baju baru.
Biasanya, beberapa bulan sebelumnya saya memelihara anak ayam.
Kalau sudah cukup besar, saya jual. Uangnya untuk beli baju baru.
Lalu, sekitar usia 10 tahun, saya harus bisa memasak sendiri. Jadi,
kalau mau makan, Ibu cukup memberi segenggam beras dan lauk
mentah untuk saya olah sendiri.
3. Keinginan Untuk Berubah Jadi Lebih Baik
• Begitulah, hidup saya bergulir hingga menamatkan STM bangunan tahun 1975.
Bosan di Bali, saya pun merantau ke Jakarta tanpa tujuan. Saya menumpang di
kontrakan kakak saya di Utan Kayu. Untuk mengisi perut, saya sempat menjadi
tukang cuci pakaian, kuli bangunan, dan kondektur bis PPD.
• Kerasnya kehidupan Jakarta, tak urung menjebloskan saya pada kehidupan
preman. Bermodal rambut gondrong dan tampang sangar, ada-ada saja ulah yang
saya perbuat. Paling sering kalau naik bis kota tidak bayar, tapi minta uang
kembalian. (Sambil berkisah, Made terbahak tiap mengingat pengalaman masa
lalunya. Berulang kali ia menggeleng, lalu membenarkan letak kacamatanya).
• Toh, akhirnya saya pensiun jadi preman. Gantinya, saya berjualan telur. Saya beli
satu peti telur di pasar, lalu diecer ke pedagang-pedagang bubur. Ternyata, usaha
saya mandeg. Saya pun beralih menjadi sopir omprengan. Bentuknya bukan
seperti angkot ataupun mikrolet zaman sekarang, masih berupa pick-up yang
belakangnya dikasih terpal. Saya menjalani rute Kampung Melayu – Pulogadung –
Cililitan.
• Tahun 1985, saya pulang ke kampung halaman, kami memutuskan kembali ke Ibu
Kota untuk mengadu nasib. Kami membeli rumah mungil di daerah Pondok Kelapa.
Waktu itu saya bisnis mobil omprengan. Awalnya berjalan lancar, tapi karena
deflasi melanda tahun 1986-an, saya pun jatuh bangkrut. Kerugian makin
membengkak. Saya harus menjual rumah dan mobil. Lalu, saya hidup mengontrak.
4. Terus Berusaha dan harus Gigih pantang
Menyerah
• Titik cerah muncul di tahun 1990. Saya pindah ke Perumnas Klender.
Tanpa sengaja, saya melihat orang berjualan burger. Saya pikir, tak
ada salahnya mencoba. Saya nekad meminjam uang ke bank, tapi
tak juga diluluskan. Akhirnya saya kesal dan malah meminjam Rp 1,5
juta ke teman untuk membeli dua buah gerobak dan kompor.
• Bahan-bahan pembuatan burger, seperti roti, sayur, daging, saus,
dan mentega, saya ecer di berbagai tempat. Dibantu seorang teman,
saya menjual burger dengan cara berkeliling mengayuh gerobak.
Burger dagangannya saya labeli Lovina, sesuai nama pantai di Bali
yang sangat indah.
• Banyak suka dan duka yang saya alami. Susahnya kalau hujan turun,
saya tak bisa jalan. Roti tak laku, Akhirnya, ya, dimakan sendiri.
Pabrik Roti
5. Jalankan Inovasi dan Kreatifitas Kita
• Di awal-awal saya jualan, tak jarang tak ada satu pun pembeli yang menghampiri,
padahal seharian saya mengayuh gerobak. Mereka mungkin berpikir, burger itu
pasti mahal. Padahal, sebenarnya tidak. Saya hanya mematok harga Rp 1.700 per
buah. Baru setelah tahu murah, pembeli mulai ketagihan. Dalam sehari bisa laku
lebih dari 20 buah.
• Untuk mengembangkan usaha, saya mengajak ibu-ibu rumah tangga berjualan
burger di depan rumah atau sekolah. Mereka ambil bahan dari saya dengan
harga lebih murah. Sungguh luar biasa, upaya saya berhasil. Dalam dua tahun,
gerobak burger saya beranak menjadi lebih dari 40 buah. Saya pun pensiun
menjajakan burger berkeliling dan menyerahkan semua pada anak buah.
• Tak berhenti sampai di situ, tahun 1996 saya mencoba membuat roti sendiri dan
membuat inovasi cita rasa saus. Seminggu berkutat di dapur, hasilnya tak
mengecewakan. Saya berhasil menciptakan resep roti dan saus burger bercita
rasa lidah orang Indonesia. Rasanya jelas berbeda dengan burger yang dijual di
berbagai restoran cepat saji.

Anda mungkin juga menyukai