Anda di halaman 1dari 3

Menembus Ekspor dengan Abon Lele

Ikan lele ternyata tak hanya dapat diolah sebagai menu masakan berkuah atau digoreng
dengan bumbu sambal pedas. Di tangan Murti Rahayu, daging lele dapat dibuat abon dengan
nilai ekonomi yang menggiurkan. Bahkan, abon lele buatannya kini mampu menembus pasar
ekspor.
Awalnya coba-coba. Ternyata rasanya tak kalah sama abon sapi. Banyak orang suka,” kata
Murti, pengusaha kecil asal Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, akhir April 2010.
Selain dikenal sebagai daerah pertanian yang subur, wilayah Majenang sejak lama juga dikenal
dengan perikanan daratnya. Air yang melimpah mendukung pengembangan usaha mina
tersebut. Salah satu jenis ikan yang banyak dibudidayakan warga setempat adalah lele.
Namun, melimpahnya lele kerap tak ditunjang pemasaran dan kestabilan harga. Banyak petani
lele pun jatuh bangun.
Kondisi tersebut menjadi keprihatinan tersendiri bagi Murti yang juga menjadi Ketua Asosiasi
Perajin dan Pengusaha Kecil Majenang. Pada pertengahan tahun 2007, dia terpikir membuat
penganan olahan dari lele yang dapat dijual kemasan dan punya nilai ekonomis tinggi.
”Bayangan saya yang pertama adalah mengolah lele menjadi abon. Daging sapi saja bisa jadi
abon, kenapa lele tidak,” tutur ibu tiga anak ini.
Kebetulan, di rumahnya, sejak lama Murti membuka warung lesehan dengan menu aneka
masakan ikan air tawar. Jadi, mengolah lele bukan hal baru.
Dibantu putri bungsunya, Indira K Paramita (29), Murti pun bereksperimen abon lele. Percobaan
awal ini tak sepenuhnya berhasil. Sulit mengurangi tingginya kandungan minyak pada abon
lele. Abon pun cepat tengik atau basi.
Selang beberapa hari, dia menemukan mesin pres tangan untuk mengurangi minyak. Sejak
itu Murti berani menawarkan abon lele buatannya kepada teman dan tetangganya. Respons
mereka positif. Abon lele Murti tak kalah dengan abon sapi.
Murti pun kian percaya diri. Tiga bulan setelah eksperimen, Murti mulai memasarkan abonnya
yang bermerek Nazelia itu ke supermarket di Majenang dan Cilacap. Respons pasar lumayan.
Dalam tiga hari abon lele itu ludes. Permintaan pun mengalir. Dia menjual abonnya seharga Rp
13.000 per satu kemasan plastik seberat 1 ons atau 100 gram.
Murti kian serius menekuni usaha abon lele. Selain celah pasar yang ada, usaha abon lele tak
membutuhkan modal yang besar pada tahapan awal. Hal ini tak terlepas dari relatif murahnya
harga ikan lele di Majenang.
Harga ikan lele hanya Rp 11.000 per kilogram (kg). Setiap kilogram menghasilkan 3 ons abon.
Tiap 1 ons dijual Rp 13.000 sehingga keuntungan kotor tiga kali lipat. Keuntungan itu dikurangi
biaya minyak goreng dan plastik kemasan. ”Untung bersihnya 30-50 persen,” ungkap Murti.
Selain dagingnya, kulit lele dimanfaatkan menjadi keripik. Namun, jumlahnya sangat terbatas.
Dari 10 kg lele, hanya menghasilkan sekitar 15 bungkus keripik ukuran 100 gram. Keripik lele ini
hanya jadi usaha sampingan Murti.
Tak sulit membuat abon lele. Daging ikan lele dibumbui seperti dendeng dengan ketumbar,
merica putih, bawang putih, dan garam serta gula. Setelah direbus dengan bumbu hingga
meresap, barulah digoreng kering.
Daging lele dipres hingga seluruh minyaknya keluar dan tersisa serbuk halus kecoklatan.
Rasanya manis gurih dengan aroma bawang dan ketumbar yang kuat. Ada pula yang dicampur
dengan bawang merah goreng, seperti lazimnya abon sapi.
Abon lele dikemas dalam plastik berlabel. Setiap saat bisa dinikmati. Dengan rasanya yang
gurih, abon ini cukup ditaburkan di atas nasi atau ketan hangat sebagai lauk.
Hingga enam bulan pertama, kapasitas produksi abon lele Murti hanya 3 kilogram lele per hari.
Namun, seiring permintaan yang terus meningkat dan pemasaran yang kian luas ke kota-kota
besar, seperti Yogyakarta, Semarang, dan Purwokerto, kebutuhan bahan baku lele pun terus
bertambah.
Apalagi, setelah dia mampu membeli mesin pres dari Surabaya, Jawa Timur, seharga Rp
2 juta, Murti kian percaya diri memasarkan produknya lebih luas. Dengan mesin baru itu,
kualitas abonnya kian tinggi. Saat itu izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan sudah
dikantonginya. Sertifikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menyatakan bahwa abon
lelenya halal.
Pada pertengahan 2008, Murti menjadi mitra binaan PT Pertamina Cilacap. Selain membantu
permodalan melalui kredit lunak, badan usaha milik negara tersebut juga membantu pemasaran
dengan cara memfasilitasi mitra binaannya mengikuti pameran-pameran.
”Saya sangat bersyukur bisa difasilitasi mengikuti pameran. Rasanya tak mungkin kalau
ikut pameran sendiri karena biayanya sangat mahal. Buat ongkos transpor, sewa stan, dan
akomodasinya tinggi,” ujarnya.
Pameran produk kerajinan usaha kecil yang pernah diikutinya, di antaranya, adalah di
Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Keikutsertaan dalam aneka pameran tersebut sangat membantu Murti dalam memperkenalkan
produknya kepada masyarakat. Pernah dalam sebulan dia mendapat kesempatan tiga kali
pameran. Selain dapat memperkenalkan produknya, pada saat pameran Murti juga dapat
menjual abonnya dalam jumlah lumayan besar.
Sayangnya, langkah kreatif Murti lewat abon lele itu kurang mendapat dukungan dari
pemerintah daerah setempat. Jangankan bantuan kredit, fasilitas mengikuti pameran pun
tak pernah ada. ”Pernah diajak pameran sampai pemda, tetapi semua biaya kami yang
menanggung. Malah tombok. Padahal, katanya sudah ada dana dari APBD. Bukannya kami
pelit, tetapi kami ini hanyalah perajin kecil. Toh, kalau produk kami dikenal, yang dapat nama
pemda juga,” katanya.
Sejak tahun 2009, produksi abon lele Murti rata-rata per hari menghabiskan 10 kilogram
lele atau 500 kilogram lele per bulan. Pasarnya pun kian luas hingga Jakarta, Bandung, dan
Denpasar.
Untuk 10 kilogram lele dapat diolah menjadi 3 kilogram abon. Dalam sehari, rata-rata Murti
dapat menghasilkan penjualan kotor Rp 300.000-Rp 400.000.
Saat pameran produk-produk khas Nusantara di Jakarta pada pertengahan 2009, produk
abon lele Murti dilirik konsumen luar negeri. Salah satunya seorang distributor makanan asal
Belanda. Sejak saat itu Murti mulai dapat mengekspor abon lelenya ke Negeri Kincir Angin itu.
Dalam sebulan, rata-rata dia dapat mengekspor 10 kilogram abon lele ke Belanda. Ekspor
tersebut dilakukan melalui distributor di Jakarta.
”Daging ikan lele mengandung protein dan rendah lemak sehingga bisa dikonsumsi oleh
mereka yang berdiet lemak. Karena itulah, orang dari Belanda itu suka abon lele saya,”
katanya.
Sebenarnya, selain dari Belanda, ada permintaan abon lele dari negara lain. Namun, karena
belum memahami prosedur ekspor dan modal yang terbatas, dia belum berani mengambil
kesempatan tersebut.
Meski demikian, dia sudah sangat bersyukur dengan apa yang diraihnya saat ini. Dia tak
menyangka abon lelenya yang dibuat dengan cara sederhana itu kini melanglang buana hingga
ke Eropa.
”Jumlahnya, sih, memang belum banyak, tetapi saya sudah sangat senang karena abon lele
saya disukai banyak orang, bahkan sampai di luar negeri,” kata Murti.

http://theangel.wordpress.com/2010/05/31/menembus-ekspor-dengan-abon-lele/

Anda mungkin juga menyukai