Anda di halaman 1dari 6

Istilah pendidikan dalam bahasa Arab, biasa diterjemahkan dengan isitilah, seperti;

tarbiyah dan ta’lim dengan berbagai derivasinya. Kedua istilah tersebut terdapat di
beberapa tempat dalam al-Quran dengan berbagai konteks yang berbeda-beda. Untuk
mengkaji masalah ini, digunakan pendekatan tematik (maudhu’i) dengan meneliti ayat-
ayat yang berhubungan dengan pendidikan. Dari hasil kajian ini dapat disimpulkan
bahwa konsep tarbiyah dan ta’lim adalah proses pembinaan, pengembangan, dan
pemeliharaan serta pemberian bekal berupa ilmu pengetahuan dan keterampilan
kepada peserta didik agar mereka memiliki kepribadian dan sikap mental yang luhur,
sehingga mampu melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini
sesuai dengan daya nalar masing-masing.

Allah telah menurunkan risalah terakhirnya berupa Al-Quran kepada rasul


terakhir pilihannya, Muhammad saw. Sebagai kitab penutup dan juga rasul
penutup, maka Allah memberikan nikmat yang tidak diberikan oleh-Nya kepada
para rasul dan umat-umat yang terdahulu, nikmat tersebut adalah risalah Islam
yang lengkap dan integral berupa Al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.

Sebagai risalah yang lengkap, berarti risalah Muhammadiyah mencakup semua


lini kehidupan manusia, tidak ada satu lini kehidupan pun yang luput dari risalah
ini. Maka dari itulah Allah menegaskan dalam firman-Nya:

“…Tidak kami luputkan dalam Al-Quran sesuatu apa pun….” (Al-An’am: 38)
Dari ayat tersebut maka kita akan jumpai dalam Al-Quran berbagai pembahasan
mengenai kehidupan manusia; hukum, sosial, budaya, politik, ekonomi,
peradaban, dan yang terpenting adalah pendidikan.

Pendidikan merupakan satu dari pembahasan-pembahasan yang ada pada Al-Quran.


Maka pas jika ayat yang pertama kali Allah turunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Adalah perintah untuk membaca. Di samping itu, dalam Al-Quran juga banyak sekali
kisah tentang para nabi yang mendidik kaumnya, juga para ayah mendidik anak-
anaknya sebagaimana Ibrahim mendidik Ismail, Ibrahim mendidik Ishaq, Ishaq
mendidik Ya’kub, Ya’kub mendidik kedua belas anaknya termasuk di antaranya Yusuf
AS. Tak luput pula, bagaimana Allah menerangkan tentang pendidikan yang diberikan
oleh Maryam kepada anaknya Isa as. Juga Hajar kepada anaknya Ismail as.

Dari kisah-kisah yang ada pada Al-Quran tersebut, kita bisa mengambil sebuah hikmah,
ibrah, sekaligus metode dalam pendidikan untuk anak, keluarga, masyarakat, bangsa,
dan juga negara.

Pengertian Pendidikan
Sebelum membahas lebih lanjut, pengetahuan terhadap pengertian pendidikan
merupakan hal yang penting. Sebab jika terjadi perbedaan pengertian dalam hal
pengertian pendidikan, nantinya akan muncul kesalahan persepsi dan pemahaman.

Secara bahasa pendidikan yang dalam bahasa Arab disebut “tarbiyah” memiliki tiga
asal makna. Makna pertama tarbiyah bermakna az-ziyadah dan an-namâ` yang berarti
bertambah atau tumbuh. Makna kedua tarbiyah adalah nasya`a dan tara’ra’ah yang
bermakna tumbuh dan berkembang. Dan makna ketiga, tarbiyah bermakna aslaha yang
berarti memperbaiki.
Sedangkan secara umum pendidikan atau tarbiyah adalah sebuah amal yang
memiliki tujuan dan sebuah seni yang fleksibel dan selalu berkembang. Adapun
tujuannya adalah membentuk karakter kebaikan sesuai dengan fitrah manusia itu
sendiri.

Dengan begitu maka pendidikan atau tarbiyah adalah menjaga supaya manusia tetap
dalam fitrahnya sebagaimana ia dilahirkan supaya tidak tersusupi oleh hawa nafsu yang
dihembuskan setan.

Tujuan Pendidikan dalam Islam


Rasulullah saw. bersabda bahwa “Semua manusia dilahirkan dalam keadaan
fitrah, maka orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, atau
Nasrani, atau majusi. (HR. Bukhari)
Maka untuk menjaga fitrah manusia tetap dalam tauhid dan karakter kebaikan
maka Allah menurunkan risalahnya berupa Al-Quran dan juga Sunnah Rasul-Nya
sebagai buku panduan untuk menjaga fitrah tersebut sekaligus mendidiknya
dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan yang sempurna.

Jika Al-Quran dan juga sunnah sudah dijadikan pedoman dalam mendidik, tidak
diragukan lagi hasil didikan tersebut akan menuai kesuksesan sebagaimana
kesuksesan Lukman dalam mendidik anak-anaknya yang secara gamblang Allah
tegaskan dalam surat-Nya, surat Lukman.

Ustadz ‘Atif as-Sayid dalam bukunya at-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa manhajuha


wa mualimuha menerangkan bahwa pendidikan dalam pandangan Islam adalah
pembentukan karakter sehingga menjadi insan yang sempurna dari segi jasad, ruh, dan
akhlaq berdasarkan apa yang menjadi misi Islam.
Singkatnya, pendidikan dalam Islam bertujuan untuk menjadikan manusia sebagai
insan yang bertakwa. Sebab takwa merupakan sebaik-baik bekal untuk menghadapi
hari esok. Tanpa takwa manusia akan merasakan kesengsaraan yang amat pada hari
mendatang.

Inilah output sesungguhnya dari pendidikan dalam Islam. Takwa yang memiliki maka
berusaha untuk melaksanakan apa yang Allah perintahkan sesuai dengan kemampuan
hamba-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sekuat tenaga inilah tujuan utama.
Sebab, jika seseorang sudah memiliki sifat taqwa, berarti pendidikan terhadapnya telah
berhasil.
Tiga Objek Pendidikan Dalam Al-Quran
Al-Quran membagi objek pendidikan menjadi tiga objek. Yang pertama adalah
objek individual. Kedua adalah objek keluarga dan orang-orang dekat, dan ketiga
adalah objek masyarakat.

Objek individual. Maksud dari objek individual adalah bahwa objek pendidikan
tersebut adalah dirinya sendiri. Yakni seseorang mendakwahi dirinya sendiri. Hal
ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. sebelum Allah menurunkan
wahyu kepada beliau saw. Allah memberikan beliau semacam wahyu untuk
menyendiri di dalam gua Hira. Tak lain tujuannya adalah untuk mendakwahi diri
sendiri dengan mentadaburi alam dan melihat keadaan sekitar berupa masyarakat
Makah yang sangat jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.

Objek dakwah individual inilah yang Allah singgung dalam Al-Quran surat at-Tahrim
ayat keenam. Allah berfirman yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka….” (At-Tahrim: 6)
Dalam ayat yang lainnya, bahkan Allah memperingatkan orang yang gemar
berdakwah kepada orang lain, tapi dirinya sendiri tidak ia dakwahi, dalam artian
dia tidak melaksanakan apa yang ia sampaikan kepada orang lain. Allah
berfirman yang artinya:

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak
kamu kerjakan.” (Ash-Shaf: 3)
Ayat ketiga dari surat ash-shaf tersebut memberikan kita sinyal bahwa individu
kita perlu kita perbaiki, maka dari itulah objek pertama adalah individu bukan
yang lainnya. Di samping itu, ketika kita memberikan sebuah pengajaran kepada
orang lain, atau orang dekat semisal anak sendiri, namun ternyata apa yang kita
perintahkan kepada orang lain tersebut tidak kita kerjakan, kemudian apa yang
akan mereka katakan tentang diri kita? pastinya adalah cemoohan.

Selanjutnya yang kedua adalah objek keluarga dan orang-orang yang dekat
dengan kita. Ini adalah sasaran kedua setelah individu. Sebagaimana firman Allah
di atas, Allah menyebutkan “Jagalah dirimu” setelah itu Allah melanjutkan “dan
keluargamu”. Ibarat penjagaan polisi dari terorisme, individu ada di ring pertama dan
keluarga ada di ring kedua.
Dakwa seseorang kepada keluarga dekatnya dan juga kepada orang-orang yang hidup
bersamanya, mulai dari teman dan kolega, merupakan dakwah yang dilakukan oleh
para nabi termasuk Nabi Muhammad saw.

Nabi Muhammad saw. ketika mendapat perintah untuk berdakwah, beliau tidak
langsung menuju ke Ka’bah di mana Ka’bah adalah tempat berkumpulnya
masyarakat Makah waktu itu, tetapi beliau berdakwah kepada keluarganya
terlebih dahulu. Hal ini juga atas petunjuk dari Allah langsung sebagaimana
firmannya:
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang dekat.” (Asy-Syu’arâ’:
214)
Sebab itulah mengapa orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan wanita
adalah Khadijah, siapa beliau? Istri Nabi. Dari golongan anak kecil Ali bin Abi
Thalib, siapa beliau? Sepupu sekaligus anak asuh Nabi. Dari kalangan orang
dewasa Abu Bakar, siapa beliau? kolega bisnis Nabi sekaligus sahabat karibnya.

Lihatlah, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah keluarga dan orang-
orang dekat beliau. Mengapa? karena objek tarbiyah beliau memang orang-orang
terdekat pada mulanya.

Kita juga bisa melihat bagaimana Nabi Ibrahim mendidik Ismail. Dari hasil didikan
beliau, muncul sosok Ismail yang sangat taat dengan perintah Allah juga perintah
bapaknya, meskipun lehernya harus dipertaruhkan. Lihatlah juga bagaimana Nabi
Ya’kub mendidik Yusuf. Hasil didikan beliau memunculkan sosok Yusuf yang pemurah,
penyabar, dan pemaaf. Padahal jika mau, Yusuf bisa saja membalas kelakuan buruk
kakak-kakaknya ketika beliau menjadi menteri ekonomi di Mesir kala musim paceklik
datang.

Selanjutnya, objek ketiga berupa masyarakat. Tentu Islam hadir tidak hanya untuk
menshalihkan individu tertentu dan atau keluarga tertentu, melainkan untuk
menshalihkan semua orang yang menginginkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Secara tegas Allah memperingatkan kepada kita agar kita tidak tiga egois dengan
keadaan orang lain. Allah berfirman yang artinya:

“Dan takutlah kalian terhadap fitnah yang tidak ditimpakan hanya untuk orang-
orang yang zhalim saja dan ketahuilah bahwasanya azab Allah amatlah keras.”
Ayat ini memberikan indikasi bahwa kita jangan merasa aman ketika kita sudah
shalih. Padahal di samping kanan dan kiri kita masih banyak orang yang berbuat
kezhaliman. Maka dari sini kita paham bahwa objek ketiga dari pendidikan adalah
masyarakat umum.

Namun, apakah seseorang harus shalih individunya dahulu sebelum mendidik


keluarga dan masyarakat? Tentu tidak. Yang diperlukan adalah sikap tawazun
atau keseimbangan antara menshalihkan diri sendiri dengan menshalihkan
keluarga dan menshalihkan masyarakat. Sebab itulah Rasulullah
menyampaikan, “Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat.” Artinya apa yang
kita sampaikan adalah apa yang kita ketahui.
Rasulullah dalam mendidik masyarakat pun tidak menunggu keluarganya shalih
semua. Kita lihat paman beliau, Abu Lahab dan istrinya Ummu Jamil, keduanya
adalah keluarga dekat Nabi saw. namun mereka tetap ingkar dan Rasul pun tetap
melanjutkan tugasnya mendidik masyarakat Makah.

Prioritas pendidikan dalam Al-Quran


Dalam kajian fiqih kita akan menemukan apa yang oleh para ulama dinamakan dengan
fiqih urutan masalah atau fiqih prioritas. Fiqih prioritas adalah cabang ilmu fiqih yang
membahas amalan apa yang sebaiknya didahulukan atas amalan-amalan lainnya. Fiqih
prioritas ini membahas mana yang baik dan mana yang lebih baik. Mana yang buruk
dan mana yang lebih buruk. Dengan fiqih prioritas, umat muslim akan dapat
mengamalkan ajaran Islam dengan cermat dan efektif.

Begitu pula dalam hal pendidikan. Ada pendidikan yang sedini mungkin harus diajarkan
dan ada pendidikan yang harus menunggu waktu-waktu tertentu untuk diajarkan. Orang
tua dan juga pendidik semisal guru, ustadz, dan pendidik lainnya, harus memahami hal
ini. Sehingga pendidikan yang diberikan lebih efektif dan mengena. Banyak terjadi,
karena kecakapan yang kurang dalam masalah prioritas, guru mengajarkan hal-hal
yang tidak penting dan meninggalkan hal-hal yang penting. Atau juga mengajarkan hal
yang penting namun meninggalkan hal yang lebih penting.

Hal-Hal yang Menjadi Prioritas Pengajaran


Yusuf al-Qardhawi menyebutkan bahwa misi para nabi adalah mengajarkan tiga hal
penting. Ketiga hal ini harus diprioritaskan atas hal-hal yang lainnya dan hendaknya
ketiga hal tersebut adalah pelajaran pertama yang diterima oleh anak didik. Ketiga hal
tersebut merupakan intisari dari risalah para nabi. Ketiganya adalah: dakwah tauhid,
dakwah iman kepada hari akhir, dan dakwah menyeru kebaikan.

Pertama, Tauhid. Inilah yang pertama kali harus diajarkan kepada siapa pun. Termasuk
anak-anak. Tauhid merupakan kunci dari semua kunci. Puncak ilmu dari semua ilmu.
Ibarat rumah, maka tauhid adalah dasar bangunan. Jika dasar rapuh, rumah akan
rapuh. Jika kuat, rumah akan kuat.
Tauhid adalah dakwah para nabi dan rasul. Semenjak Allah mengangkat Nuh alaihi
salam sebagai rasul sampai Allah mengutus Muhammad saw. sebagai penutup nabi
dan rasul, kesemuanya membawa satu risalah, yaitu risalah tauhid. Dalam banyak ayat
Allah menerangkan akan esensi dakwah tauhid para nabi dan rasul.
Dalam surat Hud, Nuh as. menyeru kepada kaumnya “Agar kamu tidak menyembah
selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat
menyedihkan.” Begitu pula nabi-nabi setelahnya. Menyerukan hal yang sama yakni
tauhid. Sebagaimana ayat yang sering dijadikan Rasulullah hujjah ketika beliau
menyurati para penguasa Timur Tengah:
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah
dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling
maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang
berserah diri (kepada Allah).” (Ali-Imran: 64)
Inilah dakwah para rasul yang utama. Maka seyogianya, setiap pendidik muslim, yang
diajarkan kepada anak didiknya adalah ketauhidan. Sebab tauhid adalah kunci dari
surga. Siapa yang tidak mendapatkan tauhid, tidak akan pernah mencicipi bau harum
surga.
Kedua, Iman kepada hari akhir. Setalah mengetahui hakikat tauhid, maka pelajaran
kedua yang diprioritaskan atas yang lainnya adalah keimanan kepada hari akhir.
Mengapa demikian? sebab dengan keimanan kepada hari akhir, seseorang akan
mengetahui kenapa dia harus dilahirkan ke dunia, dan kenapa diperintahkan ini dan itu
di dunia.
Manusia harus paham akan hari akhir. Mengimani bahwa setelah hari akhir ada
kehidupan yang lebih abadi dan lebih baik dari pada kehidupan di dunia. yang mana
kehidupan yang lebih baik tersebut tidak akan didapat kecuali dengan kebaikan di alam
dunia.

Dengan kesadaran bahwa suatu saat dia akan mati, maka seseorang akan sadar
bahwa hidup aslinya bukan di dunia melainkan di akhirat. Dia juga akan sadar dengan
pendidikan para guru bahwa di akhirat hanya ada dua tempat; surga dan neraka. Jika ia
tidak di surga maka ia di neraka. Jika ia tidak di neraka berarti ia di surga. Insan mana
yang tidak menginginkan surga?

Dengan pemahaman bahwa akan ada kehidupan setelah kematian, dan kehidupan
tersebut lebih nikmat dari kenikmatan dunia dan lebih sengsara dari kesengsaraan
dunia, dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan kenikmatan hari
akhir.

Yang ketiga, adalah pendidikan untuk beramal kebaikan. Baik dan berbuat baik adalah
fitrah manusia. Maka pendidikan berfungsi untuk menjaga kebaikan tersebut dan
jangan sampai ternodai oleh kesyirikan dan kezhaliman. Semua nabi dan semua rasul
dalam berbagai risalah langitnya telah memerintahkan para kaumnya untuk berbuat
baik. Misalnya kaum Madyan. Kaum Madyan adalah kaumnya Nabi Syu’aib. Nabi
Syu’aib memerintahkan kaumnya untuk tidak berlaku curang dalam timbangan dan
takaran. Nabi Luth memerintahkan kaumnya untuk tidak bersyahwat terhadap satu
jenis. Dan juga Nabi Muhammad yang dalam Al-Quran menganjurkan bahkan
memerintahkan kita semua untuk melakukan kebaikan dan berusaha sekuat tenaga
untuk menjauhi keburukan dan kezhaliman.
Tiga hal tersebutlah yang harus diutamakan untuk diajarkan oleh seorang pendidik atau
murabbi sebelum mengajarkan hal-hal yang lainnya. Tidak akan ada manfaatnya jika
seorang pendidik mampu mendidik anaknya menjadi ahli kimia, ahli fisika, dan lain-lain,
namun dia gagal mengajarkan ketauhidan, akhirnya anaknya bermain syirik. Dia juga
gagal mengajarkan sopan santun, sehingga akhlak pergaulannya dengan sesama
sangat buruk. Semoga Allah mengaruniai kita kekuatan dalam mendidik hawa nafsu
kita dan anak-anak didik kita. Amin. (dakwatuna.com/hdn)

Anda mungkin juga menyukai