Anda di halaman 1dari 19

1.

PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM KLASIK

Kontribusi kaum Muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan

perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah

diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan

sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif.

Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Josep Schumpeter, sama sekali

mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para

filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The

Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas (1225-1274 M).

Sebaliknya, meskipun telah memberikan kontribusi yang besar, kaum Muslimin

tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal ini

sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai

ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah

Saw dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para

cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus

perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan

kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi

Islam sejak masa awal.

Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi

Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi,

sebagai berikut:
a. Fase Pertama.

Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyyah atau

abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para

fuqaha, diikuti oleh sufi dan kemudian filosof. Pada awalnya, pemikiran mereka berasal dari

orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para ahli mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga

disiplin tersebut.Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini,

para fuqaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada

penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Al-Qur’an

dan Hadits Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility)

yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama

ini antara lain diwakili oleh:

1. Zaid bin Ali (10-80 H/699-738 M)

Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan

harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah

dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua

belah pihak.

2. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)

Ahli hukum besar ini merupakan seorang pedagang yang beroperasi di Kufah, di

mana pusat kegiatan perdagangan berkembang pesat di sana. Salah satu transaksi yang sangat

populer saat itu adalah bai’ as-salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian,

sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akan disepakati. Abu Hanifah

meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba

menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan
dinyatakan dengan jelas di dalam akad seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta waktu

dan tempat pengiriman.

3. Al-Awza’i (88-157 H/707-774 M)

Abdurrahman Al- Al-Awza’i berasal dari Beirut, hidup sezaman dengan Abu

Hanifah. Ia menegakkan kebebasan akad untuk memudahkan orang dalam bertransaksi. Ia

mengizinkan bagi hasil (mudharabah) dari modal yang diajukan, baik modal dalam bentuk

tunai atau pun modal dalam bentuk barang. Sementara para ahli fiqih lainnya bersikeras

menetapkan bahwa modal itu dalam bentuk tunai.

4. Malik (93-179 H/717-796 M)

Metode Imam Malik yang relevan untuk ekonomi adalah pendekatan hukumnya

yang menggunakan metode maslahah (utilitas, apakah individu atau sosial). Berdasarkan

metode maslahahnya, negara Islam berhak memungut pajak dari rakyatnya.

5. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)

Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dilahirkan di Kufah. Ia pernah menyandang gelar

ahli hukum (qadhi al-qudhat) pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia murid tersohor

imam Abu Hanifah. Kitabnya al-Kharaj, sempat menjadi panduan manual perpajakan pada

masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Kitabnya ini merupakan jawaban atas pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan pertanyaan-pertanyaan yang

dibuat oleh dirinya sendiri. Istilah “al-Kharāj” sendiri dalam perspektif Abu Yusuf

mengandung dua makna: Pertama, makna yang berdimensi umum yaitu al-amwāl al-

‘āmmah (keuangan publik), atau sumber pendapatan negara. Hal ini terlihat ketika Abu

Yusuf mendiskusikan tema-tema yang berkaitan dengan sumber pendapatan negara

seperti ghanīmah, fai’, al-Kharāj, al-jizyah, dan harta-harta yang berkedudukan sebagai
pengganti seperti al-Kharāj dan shadaqah. Kedua, makna al-Kharāj yang berdimensi khusus

terlihat ketika ia menyebutkan sewa tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah.

6. Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani (132-189 H/750-804 M)

Dalam kitabnya Al-Kasb, Asy-Syaibani membahas pendapatan dan belanja rumah

tangga. Ia mendefinisikan kerja (al-kasb) sebagai pencarian dalam memperoleh harta melalui

berbagai cara yang halal. Dalam ekonomi Islam, aktivitas demikian termasuk aktivitas

produksi atau segala aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa dengan cara yang halal.

Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna jika mengandung

kemaslahatan. Sementara, kemaslahatan hanya bisa dapat dicapai dengan memelihara 5 unsur

pokok kehidupan, yaitu; agama (Ad-Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-

Nasl) dan harta (Al-Māl).

Asy-Syaibani menegaskan bahwa kerja (yang menjadi unsur utama produksi)

mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan, karena menunjang

pelaksanaan ibadah kepada Allah, dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ia

mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam 4 hal, yakni sewa-menyewa (ijarah),

perdagangan (tijarah), pertanian (zira’ah), dan industri (shina’ah). Di antara keempat usaha

perekonomian tersebut, ia lebih mengutamakan pertanian memproduksi berbagai kebutuhan

dasar manusia yang sangat menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.

Pendapatnya ini sangat mirip dengan pemikiran ekonomi aliran Fisiokratisme 9 abad

kemudian, tepatnya pada abad ke-17 M.


7. Yahya bin Adam Al-Qarashi (203 H/818 M)

Masa Abbasiyyah awal tampaknya telah mengilhami banyak penulis untuk

membahas keuangan publik. Dari beberapa karya yang masih ada, beberapa telah mendapat

perhatian dari para penulis baru-baru ini, yaitu Kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam.

8. Abu Ubaid (224 H/828 M)

Pembahasan Keuangan Publik Islam dalam karya Abu Ubaid, al-Amwāl, diawali

dengan judul “Hak pemimpin terhadap rakyatnya dan hak rakyat terhadap pemimpinnya”.

Menurutnya, jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik, maka

kepentingan publik mesti didahulukan.

9. Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M)

Salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal terkait dengan persoalan ekonomi

adalah kecamannya terhadap pembelian dari penjual yang menurunkan harga komoditi dalam

rangka untuk menghalangi orang untuk membeli komoditi yang sama dari pesaingnya.

Dengan demikian, penjual yang menurunkan harga komoditinya akhirnya bisa memonopoli

komoditi tersebut, karena telah menghilangkan persaingan dari penjual lain, dan kemudian ia

dapat mendikte harga sesukanya. Imam Ahmad ingin pemerintah turut campur tangan

menangani kasus tersebut untuk mencegah praktek monopoli dan hal-hal yang tidak

diinginkan.

10. Ibnu Miskawaih (421 H/1030 M)

Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkait dengan aktivitas ekonomi

adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa logam yang

dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui
konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan orang

senang melihatnya.

11. Al-Mawardi (450 H/1058 M)

Abu Al-Hasan Al-Mawardi menulis Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, sebagai rujukan

utama untuk masalah pengawasan pasar, hubungan pertanian dan perpajakan

12. Ibnu Hazm (456 H/1064 M)

Abu Muhammad Ibnu Hazm adalah seorang ahli hukum besar dengan pendekatan

yang unik untuk hukum Islam, dan menolak penalaran analogis (qiyas) serta istihsan. Ia

adalah satu-satunya ahli hukum besar yang menolak penyewaan lahan pertanian. Hal ini

menyisakan dua opsi untuk lahan tersebut, apakah digarap sendiri atau masuk ke dalam

pengaturan bagi hasil dengan penggarap atau pengolah.

13. Nizam Al-Mulk Ath-Thusi (408-485 H/1018-1093 M)

Nizam Al-Mulk menyadari sepenuhnya mengenai 3 arah faktor-faktor

kemakmuran, produktivitas dan efisiensi. Mengamankan kesejahteraan dapat meningkatkan

lebih besar produktivitas yang diharapkan dan efisiensi.

Menurut Nizam Al-Mulk, stabilitas nasional dapat dicapai dengan memastikan

bahwa kebutuhan pokok masyarakat dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin

ketersediaan pasokan yang cukup selama terjadi serangan hama atau gagal panen.

b. Fase Kedua.

Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal

sebagai fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para

cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat

melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan landasan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Di sisi lain, mereka juga menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua

hal; pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyyah dan terbaginya kerajaan ke dalam

beberapa kekuatan regional yang mayoritasnya didasarkan pada kekuatan ketimbang kehendak

rakyat; kedua, merebaknya tindakan korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan

dekadensi moral di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial,

sehingga terjadi gap (jurang pemisah) antara orang kaya dan orang miskin. Tokoh-tokoh pemikir

ekonomi Islam pada fase kedua ini antara lain diwakili oleh:

1. Al-Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali.

Pemikiran-pemikiran ekonominya didasarkan pada pendekatan tasawwuf. Corak

pemikirannya dituangkan dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm Ad-Dīn, Al-Mustashfā’ fī ‘Ilmi Al-

Ushūl dan Mîzān Al-‘Amal. Pemikiran sosio-ekonominya berakar dari sebuah konsep yang ia

sebut “fungsi kesejahteraan sosial Islami”. Menurutnya, kesejahteraan (maslahah) dari suatu

masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan 5 tujuan dasar, yakni agama (Ad-

Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-Nasl) dan harta (Al-Māl). (dalam Ihyā’,

juz 2). Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka

sebuah hierarki utilitas individu dan sosial, yakni mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok

(dharūriyyāt), kebutuhan biasa (hājiyyāt) dan kemewahan (tahsīniyyāt).

2. Al-Kasani (578 H/1182 M)

Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka

Mazhab Hanafi yang menganalisis beberapa isu ekonomi dalam karyanya Bada’i Ash-

Shanā’i’. Diskusinya tentang pembagian keuntungan dan liabilitas atas kerugian dalam

kontrakmudharabah, jelas dan tepat. Keuntungan dari modal yang diserahkan pada
ukurannya terhadap risiko dan ketidakpastian, membuat pemodal bertanggung jawab atas

kerugian, jika kerugiannya ada. Al-Kasani juga menjelaskan sifat sewa, ia mendefiniskan

sewa sebagai harga manfaat yang mengalir dari penggunaan barang-barang sewaan.

3. Najmuddin Ar-Razi (654 H/1256 M)

Najmuddin Ar-Razi adalah seorang pemikir terkemuka abad ke-7 Hijriyyah. Ia

menelusuri akibat buruk dari penindasan dan pemerasan oleh petugas pajak dan tuan tanah.

Menurutnya, pertanian adalah perdagangan dengan Allah. Oleh karenanya, pertanian adalah

kegiatan ekonomi yang terbaik dari sektor industri dan sektor perdagangan jika digarap

dengan baik dan benar. Dengan demikian, pendapatnya ini mirip dengan pendapat tokoh

sebelumnya pada abad ke-2 Hijriyyah, yaitu Asy-Syaibani, dan mirip dengan pendapat kaum

Fisiokratis di kemudian hari pada abad ke-17 Masehi. Selanjutnya, Ar-Razi kemudian

meletakkan kode etik bagi para agen ekonomi dengan menyebutkan hak dan kewajiban

mereka, seperti tuan tanah, petani, dan buruh upahan.

4. Nasiruddin Ath-Thusi (597-672 H/1201-1274 M)

Nasiruddin Ath-Thusi diakui keahliannya dengan risalahnya tentang Keuangan

Publik, yaitu Akhlaq-e-Nasiri (Nasirian Ethics). Ia menyatakan bahwa spesialisasi dan

pembagian tenaga kerja (division of labour) telah menciptakan surplus ekonomi sehingga

memungkinkan terjadinya kerja sama dalam masyarakat untuk saling menyediakan barang

dan jasa kebutuhan hidup. Hal ini merupakan tuntunan alamiah sebab seseorang tidak bisa

menyediakan semua kebutuhannya sendiri sehingga menimbukan ketergantungan satu

dengan lainnya. Akan tetapi, jika proses ini dibiarkan secara alamiah, kemungkinan manusia

akan saling bertindak tidak adil dan menuruti kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang
kuat akan mengalahkan yang lemah. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi (siyāsah) yang

mendorong manusia untuk saling bekerjasama dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.

5. Ibnu Taimiyyah (661-728 H/1263-1328 M)

Nama lengkapnya adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam

bin Abdullah An-Namiri Al-Harrani. Ia memiliki 3 teori keadilan dalam kegiatan ekonomi,

yaitu upah yang adil, laba yang adil dan harga yang adil. Tentang upah yang adil, menurut

Ibnu Taimiyyah, upah yang sepadan diatur dengan tingkat upah yang ditentukan oleh tawar-

menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Ia menyatakan bahwa apabila terjadi

ketidaksempurnaan dalam pasar (bursa) tenaga kerja, di mana para pekerja menolak

memberikan jasa atau tenaga mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya, maka

pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja, sehingga tidak merugikan masyarakat

dan juga tenaga kerja. Tujuan penetapan harga/upah ini adalah untuk menghindari tindakan

eksploitasi dari pihak majikan atau dari pihak pekerja. Pernyataannya ini menunjukkan

hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja sehingga mempengaruhi tingkat upah. Teori

upah yang adil ini mirip dengan teori upah alami (natural wage) dari David Ricardo empat

abad kemudian.

6. Ibnu Al-Qayyim (691-751 H/1292-1350 M)

Ibnu Al-Qayyim, adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka dan pemikiran

sosial. Ia banyak menguraikan pandangan gurunya, Ibnu Taimiyyah, dan menunjukkan

wawasan analitisnya dalam diskusi tentang masalah ekonomi. Ibnu Al-Qayyim

mengidentifikasi 2 fungsi utama uang, yaitu sebagai alat tukar dan sebagai standar nilai. Ia

juga mengobservasi secara signifikan bahwa gangguan fungsi uang ini terjadi ketika orang

mulai mencari uang untuk kepentingan sendiri.


7. Abu Ishaq Asy-Syathibi (790 H/1388 M)

Karya bersejarah Asy-Syathibi tentang prinsip-prinsip hukum Islam, Al-

Muwāfaqāt fī Ushūl Asy-Syarī’ah, bukanlah sebuah risalah tentang ekonomi. Tapi ia

mengklasifikasi 3 tingkatan keinginan manusia, yaitu kebutuhan dasar (dharūriyyāt),

kebutuhan biasa (hājiyyāt), dan kemewahan (tahsīniyyāt). Ia mengelaborasi diskusi tentang

prinsip tindakan individu yang tidak dapat dibiarkan jika membahayakan kepentingan orang

lain. Penekanannya terhadap perlindungan dan penyebarluasan kepentingan sosial sebagai

tujuan dari hukum Islam, berimplikasi kuat terhadap perekonomian Islam. Ia juga

berpendirian secara realistis pada kompetensi pemerintah Islam untuk memungut pajak selain

yang ditentukan oleh syari’ah, dalam kasus pajak tersebut memang dibutuhkan oleh negara.

8. Ibnu Khaldun (732-808 H/1332-1404 M)

Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin

Khaldun Abu Zaid Waliyyuddin Al-Hadhrami. Karya monumentalnya adalah al-

Muqaddimah.

Bagi Ibnu Khaldun, produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan

secara sosial dan internasional. Menurutnya, faktor produksi yang utama adala tenaga kerja

manusia. Ia menyatakan bahwa “tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba

dan modal … Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak ada hasil

yang berguna.” Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan

hidupnya, dan produksi berasal dari tenaga manusia.


9. Al-Maqrizi (766-845 H/1364-1441 M)

Al-Maqrizi melakukan studi kasus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang

terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Al-Maqrizi

mengidentifikasi 3 sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban

pajak yang berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Membahas

penyebab ketiga, ia menekankan bahwa emas dan perak adalah satu-satunya jenis uang yang

dapat dijadikan sebagai standar nilai, dalam hal sifatnya dan kesesuaiannya dengan syari;ah.

Nilai emas dan perang jarang naik dalam ukuran yang besar, meskipun nilai fulusmelambung

tinggi.

c. Fase Ketiga.

Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase

tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada

fase ini, para ulama hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa

yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi

Islam pada fase ini antara lain diwakili oleh:

1. Shah Waliullah Ad-Dahlawi (1114-1176 H/1703-1763 M)

Pada abad terakhir dari sejarah Islam, kita mendapatkan penjelasan yang sangat

jelas dari pemikiran ekonomi Islam dalam karya-karya Shah Waliullah dari Delhi, terutama

karyanyaHujjatullāh Al-Bālighah. Meskipun ia membahas secara panjang lebar di sana,

namun tidak ada upaya serius untuk mempelajari filsafat ekonominya. Ia menganggap

kesejahteraan ekonomi sangat diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia

membahas kebutuhan manusia, kepemilikan, sarana produksi, kebutuhan untuk bekerjasama


dalam proses produksi dan berbagai bentuk distribusi dan konsumsi. Ia juga menelusuri

evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu kompleks

di masanya (di wilayah Delhi dan sekitarnya selama masa-masa terakhir pemerintahan

Mughal). Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar akan

menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber daya produktif,

ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa sumber daya alam yang

menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan pengambilan keuntungan secara

berlebihan dari lahan perekonomian. Ia menjadikan kejujuran dan keadilan dalam

bertransaksi sebagai prasyarat untuk mencapai kemakmuran dan kemajuan.

2. Muhammad Abduh (1266-1323 H/1849-1905 M)

Muhammad Abduh menyatakan bahwa rus Islam mewajibkan kepada pemerintah

untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian, demi kemaslahatan publik, yaitu

apakah dengan membangun pabrik industri dan perusahaan, atau dengan menentukan harga

barang perdagangan, atau memberikan hak keadilan kepada para buruh dengan cara

menaikkan gaji minimum mereka, atau dengan cara mengurangi jam kerja mereka, atau

dengan cara kedua-duanya secara bersamaan.

3. Muhammad Iqbal (1289-1357 H/1873-1938 M)

Sang “Penyair Dari Timur” ini memang memiliki pemikiran yang berkisar tentang

hal-hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih pada konsep-konsep umum yang mendasar. Ia

mencontohkan respon Islam terhadap Kapitalisme Barat dan reaksi ekstrim Komunisme Uni

Soviet, dengan menggarisbawahi kelemahan dari kedua sistem tersebut, dan menampilkan

sikap yang lebih baik dengan mengambil jalan tengah sebagaimana yang telah disediakan

oleh Islam. Ia mengajak umat untuk berpegang teguh, dan tidak ragu mengambil intisari dari
pengalaman sejarah manusia. Menurutnya, semangat Kapitalisme, yaitu memupuk modal dan

materi sebagai nilai dasar sistem ini, bertentangan dengan semangat Islam. Demikian pula,

semangat komunisme yang banyak melakukan pemaksaan kepada masyarakat, juga

bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Iqbal sangat prihatin terhadap petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia

menganggap semangat Kapitalis yang eksploitatif menjadi asing bagi Islam. Ia menganggap

bahwa pembentukan keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari tugas pemerintahan

Islam, dan memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk menciptakan masyarakat

yang adil.

2. Pemikiran ekonomi islam komprehensif

Pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini merupakan buah pikiran dari para ekonom

Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3

fase, maka pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran

Iqtishādunā, aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga aliran ini

memiliki corak pemikiran yang berbeda-beda.

1. Aliran Iqtishādunā

Corak utama dari aliran ini adalah pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul

karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi

yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki

akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak

memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena keserakahan

manusia yang tidak terbatas.

Aliran ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan

oleh adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia

jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya

Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Q.S. al-Qamar: 49).

Aliran ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya

Iqtishādunā. Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk

dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah

ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya, Islam tidak mengurusi

hukum permintaan dan penawaran … (tidak pula) hubungan antara laba dan bunga bank …

(tidak pula) fenomena diminishing returns di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu

ekonomi”. Jadi menurutnya, ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua

aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan

sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan pertanyaan ”apa yang

seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan definisi yang diambil dari Al-Qur’an

dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr, keadilan menempati posisi sentral, sehingga

menjadi tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan output ekonomi.

2. Aliran Mainstream

Corak utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam

memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang

dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak

terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala
kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan

semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-

Sunnah. Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad

Nejatullah Siddiqi, Syed Nawab Haidar Naqvi, dan Monzer Kahf.

a. Muhammad Abdul Mannan.

Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; Islamic Economics: Theory and

Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan

ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi

rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah

”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat.

Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi

oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan

sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang

mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan

demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah

distribusi yang lebih adil.

b. Muhammad Nejatullah Siddiqi.

Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karya-karyanya; The Economic Enterprise in Islam

(1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam

sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman

mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai
dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx.

Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode

organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada

sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang

membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya,

adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi

merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan

modifikasi teori ekonomi Neo-Klasik konvensional dan peralatannya untuk mewujudkan

perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang dicapai.

c. Syed Nawab Haidar Naqvi.

Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; Ethics and Economics: An Islamic

Synthesis (1981). Ia mendefinisikan ekonomi Islam sebagai “perilaku muslim sebagai

perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi pemikiran

Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya

manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika

ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti bahwa

etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah

yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip

Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam kebijakan-

kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias tersebut mencerminkan

penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan sebagai egalitarianisme. Ini adalah

suatu butir penting yang sering kali ia tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah

diperlukannya suatu peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan
sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan dasar, tetapi juga

sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar barang maupun faktor

produksi, demikian pula negara berperan sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara

Islam sebagai perwujudan atau penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai

penyedia, penopang dan pendorong kegiatan ekonomi.

d. Monzer Kahf.

Pemikiran ekonominya dituangkan dalam karyanya; The Islamic Economy: Analytical of

The Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi

”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan perilaku manusia

dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat

sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni

aksioma, sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi

Sosialisme. Dengan pandangannya ini, ia mencela kelompok-kelompok ekonom Islam tertentu.

Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras perbedaan

antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan antara

keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan.

Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi

ekonomi Barat yang sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba

menyamakan antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah

menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja,

padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori produksi.

Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam kerangka atau
kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya

seperti filosofinya, prinsip atau aksiomanya, serta fungsi aktualnya.

3. Aliran Alternatif

Aliran ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik

sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran

Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya

sudah ditemukan tokoh-tokoh sebelumnya, sedangkan aliran Mainstream dikritik sebagai

jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta

memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini. Namun

aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga telah

dikritik. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.

a. Timur Kuran.

Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa

ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “The Economyc System in Contemporary

Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of Middle East

Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary

Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.

b. Sohrab Behdad.

Pemikirannya dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in

Contemporary Islamic Economic Thought: A Critical Perspective” dalam jurnal Review of

Social Economy Volume 47 tahun 1989.


c. Abdullah Saeed.

Ia adalah seorang Profesor Studi Arab-Islam di University of Melbourne, Australia.

Pemikirannya bisa ditemukan dalam tulisan artikel-artikelnya, yaitu; “Islamic Banking in

Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic,

Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of

Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.

Anda mungkin juga menyukai