perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya, telah
diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Para sejarawan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan
sebuah asumsi bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif.
Sebagai contoh, sejarawan sekaligus ekonom terkemuka, Josep Schumpeter, sama sekali
mengabaikan peranan kaum Muslimin. Ia memulai penulisan sejarah ekonominya dari para
filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama 500 tahun, dikenal sebagai The
tidak lupa mengakui utang mereka kepada para ilmuwan Yunani, Persia, India dan Cina. Hal ini
sekaligus mengindikasikan inklusivitas para cendekiawan Muslim masa lalu terhadap berbagai
ide pemikiran dunia luar selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah
Saw dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun merupakan empiris yang dijadikan pijakan bagi para
cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal yang jelas, fokus
perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi, pertumbuhan dan
kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama yang menginspirasikan pemikiran ekonomi
Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan fase stagnasi,
sebagai berikut:
a. Fase Pertama.
Fase pertama merupakan fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyyah atau
abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para
fuqaha, diikuti oleh sufi dan kemudian filosof. Pada awalnya, pemikiran mereka berasal dari
orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para ahli mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga
disiplin tersebut.Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan oleh syariah dan, dalam konteks ini,
para fuqaha mendiskusikan fenomena ekonomi. Tujuan mereka tidak terbatas pada
penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Al-Qur’an
dan Hadits Nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility)
yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama
Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan
harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah
dan dapat dibenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua
belah pihak.
Ahli hukum besar ini merupakan seorang pedagang yang beroperasi di Kufah, di
mana pusat kegiatan perdagangan berkembang pesat di sana. Salah satu transaksi yang sangat
populer saat itu adalah bai’ as-salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian,
sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akan disepakati. Abu Hanifah
meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba
menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan
dinyatakan dengan jelas di dalam akad seperti jenis komoditi, mutu dan kuantitas serta waktu
Abdurrahman Al- Al-Awza’i berasal dari Beirut, hidup sezaman dengan Abu
mengizinkan bagi hasil (mudharabah) dari modal yang diajukan, baik modal dalam bentuk
tunai atau pun modal dalam bentuk barang. Sementara para ahli fiqih lainnya bersikeras
Metode Imam Malik yang relevan untuk ekonomi adalah pendekatan hukumnya
yang menggunakan metode maslahah (utilitas, apakah individu atau sosial). Berdasarkan
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dilahirkan di Kufah. Ia pernah menyandang gelar
ahli hukum (qadhi al-qudhat) pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia murid tersohor
imam Abu Hanifah. Kitabnya al-Kharaj, sempat menjadi panduan manual perpajakan pada
masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Kitabnya ini merupakan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan pertanyaan-pertanyaan yang
dibuat oleh dirinya sendiri. Istilah “al-Kharāj” sendiri dalam perspektif Abu Yusuf
mengandung dua makna: Pertama, makna yang berdimensi umum yaitu al-amwāl al-
‘āmmah (keuangan publik), atau sumber pendapatan negara. Hal ini terlihat ketika Abu
seperti ghanīmah, fai’, al-Kharāj, al-jizyah, dan harta-harta yang berkedudukan sebagai
pengganti seperti al-Kharāj dan shadaqah. Kedua, makna al-Kharāj yang berdimensi khusus
terlihat ketika ia menyebutkan sewa tanah atau kompensasi atas pemanfaatan tanah.
tangga. Ia mendefinisikan kerja (al-kasb) sebagai pencarian dalam memperoleh harta melalui
berbagai cara yang halal. Dalam ekonomi Islam, aktivitas demikian termasuk aktivitas
produksi atau segala aktivitas yang menghasilkan barang dan jasa dengan cara yang halal.
Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna jika mengandung
kemaslahatan. Sementara, kemaslahatan hanya bisa dapat dicapai dengan memelihara 5 unsur
pokok kehidupan, yaitu; agama (Ad-Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-
pelaksanaan ibadah kepada Allah, dan karenanya hukum bekerja adalah wajib. Ia
perdagangan (tijarah), pertanian (zira’ah), dan industri (shina’ah). Di antara keempat usaha
Pendapatnya ini sangat mirip dengan pemikiran ekonomi aliran Fisiokratisme 9 abad
membahas keuangan publik. Dari beberapa karya yang masih ada, beberapa telah mendapat
perhatian dari para penulis baru-baru ini, yaitu Kitab Al-Kharaj karya Yahya bin Adam.
Pembahasan Keuangan Publik Islam dalam karya Abu Ubaid, al-Amwāl, diawali
dengan judul “Hak pemimpin terhadap rakyatnya dan hak rakyat terhadap pemimpinnya”.
Salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal terkait dengan persoalan ekonomi
adalah kecamannya terhadap pembelian dari penjual yang menurunkan harga komoditi dalam
rangka untuk menghalangi orang untuk membeli komoditi yang sama dari pesaingnya.
Dengan demikian, penjual yang menurunkan harga komoditinya akhirnya bisa memonopoli
komoditi tersebut, karena telah menghilangkan persaingan dari penjual lain, dan kemudian ia
dapat mendikte harga sesukanya. Imam Ahmad ingin pemerintah turut campur tangan
menangani kasus tersebut untuk mencegah praktek monopoli dan hal-hal yang tidak
diinginkan.
Salah satu pandangan Ibnu Miskawaih yang terkait dengan aktivitas ekonomi
adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa logam yang
dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui
konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan orang
senang melihatnya.
Abu Muhammad Ibnu Hazm adalah seorang ahli hukum besar dengan pendekatan
yang unik untuk hukum Islam, dan menolak penalaran analogis (qiyas) serta istihsan. Ia
adalah satu-satunya ahli hukum besar yang menolak penyewaan lahan pertanian. Hal ini
menyisakan dua opsi untuk lahan tersebut, apakah digarap sendiri atau masuk ke dalam
bahwa kebutuhan pokok masyarakat dipenuhi secukupnya. Negara harus bisa menjamin
ketersediaan pasokan yang cukup selama terjadi serangan hama atau gagal panen.
b. Fase Kedua.
Fase kedua yang dimulai pada abad ke-11 sampai dengan abad ke-15 Masehi dikenal
sebagai fase cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya. Para
cendekiawan muslim di masa ini mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat
melaksanakan kegiatan ekonomi yang seharusnya berdasarkan landasan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Di sisi lain, mereka juga menghadapi realitas politik yang ditandai oleh dua
hal; pertama, disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyyah dan terbaginya kerajaan ke dalam
beberapa kekuatan regional yang mayoritasnya didasarkan pada kekuatan ketimbang kehendak
rakyat; kedua, merebaknya tindakan korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan
sehingga terjadi gap (jurang pemisah) antara orang kaya dan orang miskin. Tokoh-tokoh pemikir
ekonomi Islam pada fase kedua ini antara lain diwakili oleh:
pemikirannya dituangkan dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm Ad-Dīn, Al-Mustashfā’ fī ‘Ilmi Al-
Ushūl dan Mîzān Al-‘Amal. Pemikiran sosio-ekonominya berakar dari sebuah konsep yang ia
sebut “fungsi kesejahteraan sosial Islami”. Menurutnya, kesejahteraan (maslahah) dari suatu
masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan 5 tujuan dasar, yakni agama (Ad-
Dīn), jiwa (An-Nafs), akal (Al-‘Aql), keturunan (An-Nasl) dan harta (Al-Māl). (dalam Ihyā’,
juz 2). Ia mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka
sebuah hierarki utilitas individu dan sosial, yakni mulai dari pemenuhan kebutuhan pokok
Abu Bakr bin Mas’ud Al-Kasani adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka
Mazhab Hanafi yang menganalisis beberapa isu ekonomi dalam karyanya Bada’i Ash-
Shanā’i’. Diskusinya tentang pembagian keuntungan dan liabilitas atas kerugian dalam
kontrakmudharabah, jelas dan tepat. Keuntungan dari modal yang diserahkan pada
ukurannya terhadap risiko dan ketidakpastian, membuat pemodal bertanggung jawab atas
kerugian, jika kerugiannya ada. Al-Kasani juga menjelaskan sifat sewa, ia mendefiniskan
sewa sebagai harga manfaat yang mengalir dari penggunaan barang-barang sewaan.
menelusuri akibat buruk dari penindasan dan pemerasan oleh petugas pajak dan tuan tanah.
Menurutnya, pertanian adalah perdagangan dengan Allah. Oleh karenanya, pertanian adalah
kegiatan ekonomi yang terbaik dari sektor industri dan sektor perdagangan jika digarap
dengan baik dan benar. Dengan demikian, pendapatnya ini mirip dengan pendapat tokoh
sebelumnya pada abad ke-2 Hijriyyah, yaitu Asy-Syaibani, dan mirip dengan pendapat kaum
Fisiokratis di kemudian hari pada abad ke-17 Masehi. Selanjutnya, Ar-Razi kemudian
meletakkan kode etik bagi para agen ekonomi dengan menyebutkan hak dan kewajiban
pembagian tenaga kerja (division of labour) telah menciptakan surplus ekonomi sehingga
memungkinkan terjadinya kerja sama dalam masyarakat untuk saling menyediakan barang
dan jasa kebutuhan hidup. Hal ini merupakan tuntunan alamiah sebab seseorang tidak bisa
dengan lainnya. Akan tetapi, jika proses ini dibiarkan secara alamiah, kemungkinan manusia
akan saling bertindak tidak adil dan menuruti kepentingannya sendiri-sendiri. Orang yang
kuat akan mengalahkan yang lemah. Oleh karena itu, diperlukan suatu strategi (siyāsah) yang
Nama lengkapnya adalah Taqiyyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdussalam
bin Abdullah An-Namiri Al-Harrani. Ia memiliki 3 teori keadilan dalam kegiatan ekonomi,
yaitu upah yang adil, laba yang adil dan harga yang adil. Tentang upah yang adil, menurut
Ibnu Taimiyyah, upah yang sepadan diatur dengan tingkat upah yang ditentukan oleh tawar-
menawar antara pekerja dengan pemberi kerja. Ia menyatakan bahwa apabila terjadi
ketidaksempurnaan dalam pasar (bursa) tenaga kerja, di mana para pekerja menolak
memberikan jasa atau tenaga mereka sementara masyarakat sangat membutuhkannya, maka
pemerintah harus menetapkan upah para tenaga kerja, sehingga tidak merugikan masyarakat
dan juga tenaga kerja. Tujuan penetapan harga/upah ini adalah untuk menghindari tindakan
eksploitasi dari pihak majikan atau dari pihak pekerja. Pernyataannya ini menunjukkan
hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja sehingga mempengaruhi tingkat upah. Teori
upah yang adil ini mirip dengan teori upah alami (natural wage) dari David Ricardo empat
abad kemudian.
Ibnu Al-Qayyim, adalah seorang ahli hukum Islam terkemuka dan pemikiran
mengidentifikasi 2 fungsi utama uang, yaitu sebagai alat tukar dan sebagai standar nilai. Ia
juga mengobservasi secara signifikan bahwa gangguan fungsi uang ini terjadi ketika orang
prinsip tindakan individu yang tidak dapat dibiarkan jika membahayakan kepentingan orang
tujuan dari hukum Islam, berimplikasi kuat terhadap perekonomian Islam. Ia juga
berpendirian secara realistis pada kompetensi pemerintah Islam untuk memungut pajak selain
yang ditentukan oleh syari’ah, dalam kasus pajak tersebut memang dibutuhkan oleh negara.
Muqaddimah.
secara sosial dan internasional. Menurutnya, faktor produksi yang utama adala tenaga kerja
manusia. Ia menyatakan bahwa “tenaga manusia sangat penting untuk setiap akumulasi laba
dan modal … Tanpa tenaga manusia, tidak ada hasil yang akan dicapai, dan tidak ada hasil
yang berguna.” Karena itu, manusia harus melakukan produksi guna mencukupi kebutuhan
Al-Maqrizi melakukan studi kasus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang
mengidentifikasi 3 sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban
pajak yang berat terhadap para penggarap, dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Membahas
penyebab ketiga, ia menekankan bahwa emas dan perak adalah satu-satunya jenis uang yang
dapat dijadikan sebagai standar nilai, dalam hal sifatnya dan kesesuaiannya dengan syari;ah.
Nilai emas dan perang jarang naik dalam ukuran yang besar, meskipun nilai fulusmelambung
tinggi.
c. Fase Ketiga.
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi merupakan fase
tertutupnya pintu ijtihad yang mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada
fase ini, para ulama hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa
yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi
Pada abad terakhir dari sejarah Islam, kita mendapatkan penjelasan yang sangat
jelas dari pemikiran ekonomi Islam dalam karya-karya Shah Waliullah dari Delhi, terutama
namun tidak ada upaya serius untuk mempelajari filsafat ekonominya. Ia menganggap
kesejahteraan ekonomi sangat diperlukan untuk kehidupan yang baik. Dalam konteks ini, ia
evolusi masyarakat dari panggung primitif sederhana dengan budaya yang begitu kompleks
di masanya (di wilayah Delhi dan sekitarnya selama masa-masa terakhir pemerintahan
Mughal). Ia juga menekankan bagaimana pemborosan dan kemewahan yang diumbar akan
menyebabkan peradaban menjadi merosot. Dalam diskusinya tentang sumber daya produktif,
ia menyoroti fakta bahwa hukum Islam telah menyatakan beberapa sumber daya alam yang
menjadi milik sosial. Ia mengutuk praktek monopoli dan pengambilan keuntungan secara
untuk ikut campur tangan dalam urusan perekonomian, demi kemaslahatan publik, yaitu
apakah dengan membangun pabrik industri dan perusahaan, atau dengan menentukan harga
barang perdagangan, atau memberikan hak keadilan kepada para buruh dengan cara
menaikkan gaji minimum mereka, atau dengan cara mengurangi jam kerja mereka, atau
Sang “Penyair Dari Timur” ini memang memiliki pemikiran yang berkisar tentang
hal-hal teknis dalam ekonomi, tetapi lebih pada konsep-konsep umum yang mendasar. Ia
mencontohkan respon Islam terhadap Kapitalisme Barat dan reaksi ekstrim Komunisme Uni
Soviet, dengan menggarisbawahi kelemahan dari kedua sistem tersebut, dan menampilkan
sikap yang lebih baik dengan mengambil jalan tengah sebagaimana yang telah disediakan
oleh Islam. Ia mengajak umat untuk berpegang teguh, dan tidak ragu mengambil intisari dari
pengalaman sejarah manusia. Menurutnya, semangat Kapitalisme, yaitu memupuk modal dan
materi sebagai nilai dasar sistem ini, bertentangan dengan semangat Islam. Demikian pula,
Iqbal sangat prihatin terhadap petani, buruh dan masyarakat lemah lainnya. Ia
menganggap semangat Kapitalis yang eksploitatif menjadi asing bagi Islam. Ia menganggap
bahwa pembentukan keadilan sosial merupakan salah satu bagian dari tugas pemerintahan
Islam, dan memandang zakat sebagai potensi yang efektif untuk menciptakan masyarakat
yang adil.
Pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini merupakan buah pikiran dari para ekonom
Muslim pada abad ke-20 Masehi. Jika dalam pemikiran ekonomi Islam klasik dibagi menjadi 3
fase, maka pemikiran ekonomi Islam kontemporer ini dibagi menjadi 3 aliran, yaitu aliran
Iqtishādunā, aliran Mainstream, dan aliran Alternatif. Masing-masing dari ketiga aliran ini
1. Aliran Iqtishādunā
Corak utama dari aliran ini adalah pemikirannya tentang masalah ekonomi yang muncul
karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat dari sistem ekonomi
yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki
akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu, masalah
ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang tidak terbatas, tetapi karena keserakahan
Aliran ini menolak pernyataan yang menyatakan bahwa masalah ekonomi disebabkan
oleh adanya keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang tersedia
jumlahnya terbatas. Karena hal tersebut bertentangan dengan firman Allah: “Sesungguhnya
Aliran ini dipelopori oleh Baqir Sadr. Nama aliran ini pun diambil dari nama karyanya
Iqtishādunā. Menurutnya, ekonomi Islam adalah cara atau jalan yang dipilih oleh Islam untuk
dijalani dalam rangka mencapai kehidupan ekonominya dan dalam memecahkan masalah
ekonomi praktis sejalan dengan konsepnya tentang keadilan. Baginya, Islam tidak mengurusi
hukum permintaan dan penawaran … (tidak pula) hubungan antara laba dan bunga bank …
(tidak pula) fenomena diminishing returns di dalam produksi, yang baginya merupakan ”ilmu
ekonomi”. Jadi menurutnya, ekonomi Islam adalah doktrin karena ia membicarakan semua
aturan dasar dalam kehidupan ekonomi dihubungkan dengan ideologinya mengenai keadilan
sosial. Sebagai doktrin, sistem ekonomi Islam juga berhubungan dengan pertanyaan ”apa yang
seharusnya” berdasarkan kepercayaan, hukum, konsep dan definisi yang diambil dari Al-Qur’an
dan Hadits. Di dalam doktrin ekonomi Sadr, keadilan menempati posisi sentral, sehingga
menjadi tolak ukur untuk menilai teori, kegiatan dan output ekonomi.
2. Aliran Mainstream
Corak utama dari pemikiran aliran ini adalah kebalikan dari aliran Iqtishādunā dalam
memandang masalah ekonomi. Menurut aliran ini, masalah ekonomi timbul memang
dikarenakan kelangkaan (scarcity) Sumber Daya Alam sementara keinginan manusia tidak
terbatas. Untuk itu, manusia diarahkan untuk melakukan prioritas dalam memenuhi segala
kebutuhannya. Dan keputusan dalam menentukan skala prioritas tersebut tidak dapat dilakukan
semaunya sendiri karena dalam Islam sudah ada rujukannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Aliran ini ditokohi oleh 4 tokoh utama, yaitu Muhammad Abdul Mannan, Muhammad
Practice (1970) dan The Making of Islamic Economic Society (1984). Ia mendefinisikan
ekonomi Islam sebagai “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi
rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.” Ketika ekonomi Islam dihadapkan pada masalah
”kelangkaan”, maka bagi Mannan, sama saja artinya dengan kelangkaan dalam ekonomi Barat.
Bedanya adalah pilihan individu terhadap alternatif penggunaan sumber daya, yang dipengaruhi
oleh keyakinan terhadap nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, menurut Mannan, yang membedakan
sistem ekonomi Islam dari sistem sosio-ekonomi lain adalah sifat motivasional yang
mempengaruhi pola, struktur, arah dan komposisi produksi, distribusi dan konsumsi. Dengan
demikian, tugas utama ekonomi Islam adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
asal-usul permintaan dan penawaran sehingga dimungkinkan untuk mengubah keduanya ke arah
(1971) dan Some Aspects of The Islamic Economy (1978). Ia mendefinisikan ekonomi Islam
sebagai “respon para pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi yang dihadapi pada zaman
mereka masing-masing. Dalam usaha ini, mereka dibantu oleh Qur’an dan Sunnah, baik sebagai
dalil dan petunjuk maupun sebagai eksprimen.” Siddiqi menolak determinisme ekonomi Marx.
Baginya, ekonomi Islam itu modern, memanfaatkan teknik produksi terbaik dan metode
organisasi yang ada. Sifat Islamnya terletak pada basis hubungan antarmanusia, di samping pada
sikap dan kebijakan-kebijakan sosial yang membentuk sistem tersebut. Ciri utama yang
membedakan perekonomian Islam dan sistem-sistem ekonomi modern yang lain, menurutnya,
adalah bahwa di dalam suatu kerangka Islam, kemakmuran dan kesejahteraan ekonomi
merupakan sarana untuk mencapai tujuan spritual dan moral. Oleh karena itu, ia mengusulkan
perubahan dalam orientasi nilai, penataan kelembagaan dan tujuan yang dicapai.
perwakilan dari ciri khas masyarakat muslim.” Ada 3 tema besar yang mendominasi pemikiran
Naqvi dalam ekonomi Islam. Pertama, kegiatan ekonomi dilihat sebagai suatu subjek dari upaya
manusia yang lebih luas untuk mewujudkan masyarakat yang adil berdasarkan pada prinsip etika
ilahiyyah, yakni keadilan (Al-’Adl) dan kebajikan (Al-Ihsān). Menurutnya, hal itu berarti bahwa
etika harus secara eksplisit mendominasi ekonomi dalam ekonomi Islam, dan faktor etika inilah
yang membedakan sistem ekonomi Islam dari sistem ekonomi lainnya. Kedua, melalui prinsip
Al-’Adl wa Al- Ihsān, ekonomi Islam memerlukan suatu bias yang melekat dalam kebijakan-
kebijakan yang memihak kaum miskin dan lemah secara ekonomis. Bias tersebut mencerminkan
penekanan Islam terhadap keadilan, yang ia terjemahkan sebagai egalitarianisme. Ini adalah
suatu butir penting yang sering kali ia tekankan dalam tulisannya. Dan ketiga adalah
diperlukannya suatu peran utama negara dalam kegiatan ekonomi. Negara tidak hanya berperan
sebagai regulator kekuatan-kekuatan pasar dan penyedia (supplier) kebutuhan dasar, tetapi juga
sebagai partisipan aktif dalam produksi dan distribusi, baik di pasar barang maupun faktor
produksi, demikian pula negara berperan sebagai pengontrol sistem perbankan. Ia melihat negara
Islam sebagai perwujudan atau penjelmaan amanah Allah tatkala ia meletakkan negara sebagai
d. Monzer Kahf.
The Functioning of The Islamic Economic System (1978). Ia tidak mengusulkan suatu definisi
”formal” bagi ekonomi Islam, tetapi karena ilmu ekonomi berhubungan dengan perilaku manusia
dalam hal produksi, distribusi dan konsumsi, maka ekonomi Islam, menurutnya, dapat dilihat
sebagai sebuah cabang dari ilmu ekonomi yang dipelajari dengan berdasarkan paradigma (yakni
aksioma, sistem nilai dan etika) Islam, sama dengan studi ekonomi Kapitalisme dan ekonomi
Ia menengarai suatu kelompok yang mencoba untuk menekankan dengan terlalu keras perbedaan
antara ekonomi Islam dan Barat. Kelompok itu tidak memahami bahwa perbedaan antara
keduanya sebenarnya terletak pada filosofi dan prinsipnya, bukan pada metode yang digunakan.
Di pihak lain, terdapat juga kelompok lain yang secara implisit menerima asumsi-asumsi
ekonomi Barat yang sarat nilai. Kelompok lain yang ia tegur adalah mereka yang mecoba
menyamakan antara ekonomi Islam dan Fiqih Mu’amalat. Kelompok ini, menurutnya, telah
menyempitkan ekonomi Islam sehingga hanya berisi sekumpulan perintah dan larangan saja,
padalah seharusnya mereka membicarakan hal-hal seperti teori konsumsi atau teori produksi.
Semua kelompok tersebut tidak memahami posisi ekonomi Islam dalam kerangka atau
kategorisasi cabang ilmu pengetahuan serta tidak pula bisa memisah-misahkan berbagai seginya
3. Aliran Alternatif
Aliran ini dikenal sebagai aliran yang kritis secara ilmiah terhadap ekonomi Islam, baik
sebagai ilmu maupun sebagai peradaban. Aliran ini mengkritik kedua aliran sebelumnya. Aliran
Iqtishādunā dikritik karena dianggap berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya
jiplakan ekonomi aliran Neo-Klasik dan Keynesian dengan menghilangkan unsur riba serta
memasukkan variabel zakat dan akad, sehingga tidak ada yang orisinil dari aliran ini. Namun
aliran ini tidak hanya mengkritik ekonomi Islam saja, ekonomi konvensional pun juga telah
dikritik. Tokoh-tokoh aliran ini adalah Timur Kuran, Sohrab Behdad, dan Abdullah Saeed.
a. Timur Kuran.
Ia adalah seorang dosen ekonomi di Southern California University, USA. Pemikirannya bisa
Islamic Thought: Interpretation and Assessment”, dalam International Journal of Middle East
Studies Volume 18 tahun 1986, dan “On The Notion of Economic Justice in Contemporary
Islamic Thought”, dalam International Journal of Middle East Studies Volume 21 tahun 1989.
b. Sohrab Behdad.
Pemikirannya dapat ditemukan dalam tulisan artikelnya yang berjudul “Property Rights in
Practice: A Critical Look at The Murabaha Financing Mechanism” dalam Journal of Arabic,
Islamic & Middle Eastern Studies tahun 1993, dan “The Moral Context of The Prohibition of
Riba in Islam Revisited” dalam American Journal of Islamic Social Science tahun 1995.