Anda di halaman 1dari 79

Makassar, 23 Maret 2015

LAPORAN PBL
PRODUKSI KENCING MENURUN

Tutor : dr. ARINA F. ARIFIN


Disusun oleh :

KELOMPOK 7
Rizna Ainun Budiman 110 212 0001
Fitri Amiruddin 110 212 0025
Nur Irmayanti Akbar 110 212 0026
Friska Feronika Tawil 110 212 0028
Slamet Salam I Mantali 110 212 0063
Andi Nur Patria 110 212 0078
Nur Sry Hanrdianti 110 212 0077
Andi Dewi Shanti 110 212 0076
Syahrianti Usman 110 212 0145
Ria Rezki Angreni 110 212 0146
Dwi Pangestika Kabalmay 110 212 0147

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial ini. Tak lupa pula kami
haturkan terima kasih banyak kepada dosen pembimbing serta tutor kami, dr.
Laporan tutorial kami kali ini berjudul “Produksi Kencing Menurun” yang
merupakan salah satu bahan materi pembelajaran dalam blok Sistem Uronefrologi.
Kami menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam laporan ini,
baik materi maupun teknik penyajiannya. Oleh karena itu, kami sangat menerima
kritik dan saran yang membangun.
Semoga laporan kami ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana
mestinya.

Makassar, 23 Maret 2015

PENYUSUN

KELOMPOK 7
Skenario :

Seorang pria, 68 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan produksi kencing
berkurang. Gejala ini disertai muntah-muntah, merasa sangat lemas dan malaise. Dua
minggu sebelumnya penderita merasa sangat lemas dan sakit seluruh tubuh, terutama
lengan dan kaki, dan penderita minum obat untuk mengurangi rasa sakit tersebut.

A. Kata Sulit : -

B. Kata Kunci :

 Pria 68 tahun
 Produksi kencing berkurang
 Muntah, lemas, dan malaise
 2 minggu sebelumnya sangat lemas dan sakit seluruh tubuh
 Nyeri terutama tangan dan kaki
 Minum obat untuk mengurangi rasa sakit

C. Pertanyaan :
1. Bagaimana fisiologis pembentukan urin ?
2. Jelaskan faktor-faktor GFR, prinsip hokum starling dan filtrasi ginjal, proses
reabsorbsi dan sekresi di ginjal !
3. Jelaskan fungsi dari nefron, fungsi sel-sel JGA dalam RRA !
4. Bagaimana perubahan biokimia urin dan kompensasi ginjal dalam
keseimbangan asam basa ?
5. Bagaimana karakteristik dan sifat-sifat urin normal ?
6. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan volume urin !
7. Bagaimana etiologi penurunan produksi urin ?
8. Bagaimana patomekanisme produksi urin menurun ?
9. Bagaimana jenis-jenis kelainan pada produksi urin ?
10. Jelaskan patomekanisme dari setiap gejala pada skenario beserta hubungannya
!
11. Bagaimana kaitan konsumsi obat dengan penurunan produksi urin ?
12. Bagaimana langkah-langkah diagnosis terkait dengan skenario ?
13. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario ?
14. Sebutkan differential diagnosis terkait dengan skenario !
15. Bagaimana pencegahan pada skenario ?
D. Klasifikasi Pertanyaan :

1. Bagaimana fisiologis pembentukan urin ?


Jawab :

Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan,
yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian di buang
melalui urin.

Ada tiga proses dasar di ginjal adalah filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan
sekresi tubulus. Tiga proses dasar tersebut yang terlibat dalam pembentukan urin :
filtrasi glomerulus, reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus. Untuk mempermudah
visualisasi tentang hubungan proses-proses di ginjal ini, ada baiknya nefron
“diuraikan” seperti skematis, seperti di gambar berikut :

FILTRASI GLOMERULUS

Sewaktu darah mengalir melalui glomerulus, plasma bebas protein tersaring


melalui kapiler glomerulus ke dalam kapsul Bowman. Dalam keadaan normal, 20%
plasma yang masuk ke glomerulus tersaring. Proses ini, dikenal sebagai filtrasi
glomerulus. adalah langkah pertama dalam pebentukan urin. Secara rerata, 125 ml
filtrat glomerulus (cairan yang difiltrasi) terbentuk secara kolektif dan seluruh
glomerulus setiap menit. Jumlah ini sama dengan 180 liter (sekitar 4,7 galon) setiap
hari. Dengan mempertimbangkan bahwa volume rerata plasma pada orang dewasa
adalah 2,75 liter, maka hal ini berarti bahwa ginjal menyaring keselurhan volume
plasma sekitar 65 kali sehari. Jika semua yang di filtrasi keluar sebagai urin, semua
plasma akan menjadi urin dalam waktu kurang dari setengah jam. Namun, hal ini
tidak terjadi karena tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat di seluruh
panjangnya, sehingga bahan-bahan dapat dipertukarkan antara cairan di dalam
tubulus dan darah dalam kapiler peritubulus.

REABSORBSI TUBULUS

Sewaktu filtrat mengalir melalui tubulus, bahan-bahan bermanfaat bagi tubuh


di kembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Perpindahan selektif bahan-bahan dari
bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke dalam darah ini disebut reabsorbsi tubulus.
Bahan-bahan yang direabsorbsi tidak keluar dari tubuh melalui urin tetapi dibawah
oleh kapiler peritubulus ke sistem vena dan kemudian ke jantung untuk diresirkulasi.
Dari 180 liter plasma yang disaring per hari, sekitar 178,5 liter direabsorbsi. Sisa 1,5
liter di tubulus mengalir ke dalam pelvis ginjal untuk dikeluarkan sebagai urin. Secara
umum, bahan-bahan yang perlu dihemat oleh tubuh secara selektif direabsorbsi,
sementara bahan-bahan yang tidak dibutuhkan dan harus dikeluarkan tetap berada di
urin.

SEKRESI TUBULUS

Proses ginjal ketiga, sekresi tubulus, adalah pemindahan selektif bahan-


bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini meupakan rute
kedua bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah, sedangkan yang
pertama adalah melalui filtrasi glomerulus. Hanya sekitar 20% dari plasma yang
mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi ke dalam kapsul Bowman; sisa 80%
mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus
merupakan mekanisme untuk mengeluarkan bahan dari plasma secara cepat dengan
mengekstrasi sejumlah tertentu bahan dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler
peritubulus dan memindahkannnya ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai hasil
filtrasi.

EKSKRESI URIN

Eksresi urin adalah pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam urin. Ini
bukan merupakan proses terpisah tetapi merupakan hasil dari tiga proses pertama di
atas. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tetapi tidak
direabsorbsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk dieksresikan
sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh.

2. Jelaskan faktor-faktor GFR, prinsip hokum starling dan filtrasi ginjal, proses
reabsorbsi dan sekresi di ginjal !
Jawab :

Fakto-faktor GFR

GFR ditentukan oleh (1) jumlah daya hidrostatik dan osmotic koloid pada membrane
glomerolus, yang menghasilkan tekanan filtrasi akhir dan (2) koefisiensi filtrasi
kapiler glomerulus (Kf) secara sistematis, GFR merupakan hasil Kf dan tekanan
filtrasi akhir.

GFR = K1 x Tekanan filtrasi akhir

Tekanan filtrasi akhir merupakan jumlah daya osmotic koloid dan hidrostatik yang
mendorong atau melawan filtari yang terjadi pada kapiler glomerulus. Daya ini
meliputi : (1) tekanan hidrostatik di dalam kapiler glomerulus (tekanan hidrostatik
glomerulus) PG , yang mendorong filtrasi (2) tekanan hidrostatik dalam kapsula
bowman di luar kapiler yang melawan filtrasi PB, (3) tekanan osmotic koloid protein
plasma di dalam kapiler glomerulus yang melawan filtrasi 𝜋𝐺, dan (4) tekanan
osmotik koloid protein dalam kapsula Bowman yang akan mendorong filtrasi 𝜋𝐵.
(pada keadaan normal konsentrasi protein dalam filtrate glomerulus sedemikian
rendahnya sehingga tekanan osmotic koloid cairan di kapsula bowman dianggap nol).

GFR = K1 x ( PG - PB – 𝜋𝐺 + 𝜋𝐵 )

Meskipun nilai normal untuk penentuan GFR tidakdihitung secaralangsung pada


manusia, namun nilai ini telah dihitung berdasarkan daya normal yang mendorong
dan melawan filtrasi glomerulus pada manusia diduga sebagai berikut :

Daya yang mendorong Filtrasi (mmHg)

Tekanan hidrostatik glomerulus 60

Tekanan osmotic koloid di kapsula Bowman 0

Daya yang melawan Filtrasi (mmHg)

Tekanan hidrostatik di kapsula Bowman 18

Tekanan osmotic koloid di kapiler glomerulus 32

Tekanan filtrasi akhir = 60 – 18 – 32 = + 10 mm Hg


Tekanan Tekanan

hidrostatik osmotic Koloid

Arteriole Aferen Glomerulus Glomerulus Arteriole eferen

(60 mmHg) (32 mmHg)

Tekanan kapsula Bowman


(18 mm Hg)

Tekanan filtrasi = Tekanan Hidrostatik - Tekanan Kapsula Bowman - Tekanan


Onkotik

(10 mmHg) (60 mmHg) (18 mmHg) (32 mmHg)

Beberapa nilai tersebut dapat berubah secara nyata pada berbagai keadaan fisiologis,
sedangkan nilai lainnya terutama berubah pada keadaan penyakit tertentu, seperti
berikut ini :

- Peningkatan GFR Akibat peningkatan koefisiensi Filtrasi kapiler Glomerulus


- Penurunan GFr Akibat peningkatan tekanan Hidrostatik di kapsula Bowman
- Penurunan GFR akibat peningkatan tekanan osmotic koloid di kapiler
glomerulus
- Peningkatan GFR akibat peningkatan tekanan Hidrostatik di kapiler
Glomerulu

Prinsip Hukum Starling


Dalam mekanisme urine volume cairan intertisial dipertahankan oleh hukum starling.
Menurut Hukum Starling “kecepatan dan arah perpindahan air dan zat terlarut
termasuk protein antara kapiler dan jaringan sangat dipengaruhi oleh perbedaan
tekanan hidrostatik dan osmotic masing-masing kompartemen”

Proses pembentukan urine dihasilkan dari 3 proses yang memberikan kecepatan


eksresi berbagai zat dalam urine yang merupakan ketiga proses ginjal. (1) filtrasi
glomerulus, (2) reabsorbsi zat dari tubulus renal ke dalam darah, (3) sekresi zat dari
darah ke tubulus renal.

Filtrasi Glomerulus

Pembentukan urine di mulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan dari kapiler
glomerulus ke dalam kapsula bowman. Seperti kebanyakan kapiler, kapiler
glomerulus juga relative impermeable terhadap protein sehingga cairan hasil filtrasi
yakni filtrate glomerulus pada dasarnya bersifat bebas protein dan tidak menganding
elemen selular, termasuk sel darah merah.

Konsentrasi isi filtrate lainnya termasuk sebagian besar garam dan molekul
organic, serupa dengan konsentrasinya dalam plasma, kecuali beberapa zat dengan
berat molekul ringan, seperti kalsium dan asam lemak. Zatzat tersebut tidak difiltrat
secara bebas karena zat tersebut sebagian terikat pada protein plasma.

Proses filtrasi dibantu oleh beberapa faktor, anatra lain :

1. Membrane kapiler glomerular lebih permeable dibandingkan kapiler lain


dalam tubuh sehingga filtrasi berjalan dengan sangat cepat
2. Tekanan darah dalam kapiler glomerular lebih tinggi dibandingkan tekanan
darah dalam kapiler lain karena diameter arteriole aferen lebih kecil
dibandingkan diameter diameter arteriole eferen.

Berikut ini mekanisme terjadinya filtrasi glomerular :


1. Tekanan hidrostatik (darah) glomerular mendorong cairan dan zat terlarut
keluar dari darah dan masuk ke ruang kapsul bowman
2. Dua tekanan yang berlawanan dengan tekanan hidrostatik glomerular :
1) Tekanan hidrostatik dihasilkan oleh cairan dalam kapsul bowman, tekanan
ini cenderung untuk menggerakkan cairan keluar dari kapsul menuju
glomerulus
2) Tekanan osmotic koloid dalam glomerulus yang dihasilkan oleh protein
plasma adalah tekanan yang menarik cairan dari kapsul bowmanuntuk
memasuki glomerulus
3) Tekanan filtrasi efektif (efektife filtration pressure (EFPI) adalah tekanan
dorong netto. Tekanan ini adalah selisih anatra tekanan yang cendering
mendorong cairan keluar glomerulus menuju kapsul bowman dan tekanan
yang cenderung menggerakkan cairan ke dalam glomerulus dari kapsul
bowman.

EFP = (tekanan hidrostatik glomerular) – (tekanan kapsular) + (tekanan


somotik koloid glomerular)

Reabsorbsi Tubulus

Ketika cairan yang telah difiltrasi ini meninggalkan kapsula bowman dan mengalir
melewati tubulus, cairan ini mengalami perubahan akibat dari adanya reabsorbsi air
dan zat terlarut spesifik kembali ke darah. Sebagian besar filtrate (99%) secara
selektif di reabsorbsi dalam tubulus ginjal melaluidifusi pasif gradient tersebut, atau
difusi terfasilitasi. Sekitar 85% natrium klorida dan air serta semua glukosa dan asam
amino filtrate glomerulus diabsorbsi dalam tubulus kontortus proximal (TC I),
walaupun reabsobsi pada semua bagian nefron

(i) Reabsorbsi ion natrium


1. Ion-ion natrium ditransport secara pasif melalui difusi terfasilitasi
(dengan arrier) dari lumen tubulus konkortus proximal ke dalam sel-
sel epitel tubulus yang konsentrasi ion natriumnya lebih rendah.
2. Ion-ion natrium yang ditransport secara aktif dengan pompa natrium-
kalium akan keluaar dari sel-sel epitel untuk masuk ke cairan
intertisial di dekat kapiler peritubular,
(ii) Reabsobsi ion klor dan ion negative lain
1. Karena ion natrium positif bergerak secara pasif dari cairan tubulus k
eke sel dan secara aktif dari sel ke cairan intertisial peritubular, akan
terbantuk ketidakseimbangan listrik yang justru membantu pergerakan
ion-ion negative
2. Dengan demikian, ion klor dan bikarbonat negative secara pasif
berdifusi ke dalam sel-sel eoitel dari lumen mengikuti pergerakan
natrium yang keluar menuju cairan peritubular dan kapiler tubular.
(iii) Reabsobsi glukosa, fruktosa dan asam amino
1. Carrier glukosa dan asam amino sama dengan carrier ion natrium dan
digerakkan melalui cottransport
2. Carrier pada membrane sel tubulus memiliki kapasitas reabsorbsi
maksimun untuk glukosa, berbagai jenis asam amino dan beberapa zat
terabsobsi lainnya. Jumlah ini di nyatakan dalam maksimum transport
3. Tm untuk glukosa adalah jumlah maksimum yang dapat di transport
per manit yaitu sekitar 200 mg glukosa /100 ml plasma. Jika kadar
glukosa darah melebihi nilai Tm-nya berarti melewati ambang plasma
ginjal sehingga glukosa muncul di urin (glukosuria)
(iv) Reabsorbsi air
Penyerapan air yang dilakukan oleh tubulus proximal dengan cara osmosis
disebut reabsobsi obligat. Penyerapan yang dilakukan oleh tubulus
konkortus distal disebut reabsorbsi fakultatif yaitu penyerapan sesuai
dengan kebutuhan . jika kekurangan cairan dalam darah maka tubulus
kontortus akan menyerap air sehingga tidak terbuang. Sebaliknya jika
tubuh tidak membutuhkan air maka reabsorbsi tidak dilakukan.
Reabsorbsi fakultatif dipengaruhi oleh hormon ADH.
(v) Reabsorbsi Urea
Seluruh urea yang terbentuk setiap hari akan di filtrasi oleh glomerulus,
sekitar 50% orea secara pasif direabsorbsi akibat gradient difusi yang
terbentuk saat air di reabsorbsi. Dengan demikian 50% urea yang difiltrasi
akan dieksresikan dalam urin.
(vi) Reabsorbsi ion anorganik lain, seperti kalium, kalsium, fosfat dan
sulfatserta sejumlah ion anorganik adalah melalui transport aktif.

Sekresi Tubulus

Mekanisme sekresi tubulus adalah proses aktif yang memindahkan zat keluar dari
darah dalam kapiler peritubular yang melewati sel-sel tubular manuju cairan tubular
untuk dikeluarkan dalam urin.

1. Zat-zat seperti hydrogen, kalium, dan ammonium produk akhir metabolic


kreatinine dan asam hipurat serta obat-obat tertentu (penisilin) dengan cara
aktif dieksresikan ke dalam tubulus
2. Ion hydrogen dan ammonium diganti dengan ion natrium dalam tubulus
kontortus distal dan tubulus pengumpul. Sekresi tubular yang selektif terhadap
ion-ion hydrogen dan ammonium mambantu dalam pengaturan pH plasma
dan keseimbangan asam basa cairan tubuh
3. Sekresi tubular merupakan suatu mekanisme yang penting untuk
mengeluarkan zat-zat kimia asing atau yang tidak diinginkan.

3.Jelaskan fungsi dari nefron, fungsi sel-sel JGA dalam RRA !


Jawab :

Sistem hormon terpenting dan paling terkenal yang terlibat dalam regulasi Na+ adalah
sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRRA). Sel granular apparatus jukstaglomerulus
mengeluarkan suatu hormone enzimatik, renin, kedalam darah sebagai respon
terhadap penurunan NaCl / volume CES / tekanan darah. Fungsi ini adalah tambahan
terhadap peran sel macula densa apparatus jukstaglomerulus dalam autoregulasi.
Secara spesifik, tiga masukan berikut ke sel granular meningkatkan sekresi renin :

1. Sel granular itu sendiri berfungsi sebagai baroreseptor intrarenal. Sel ini peka
terhadap perubahan tekanan di dalam arteriol afferent. Ketika mendeteksi
penurunan tekanan darah sel granular ini mengeluarkan lebih banyak renin.
2. Sel macula densa dibagian tubulus apparatus jukstaglomerulus peka terhadap
NaCl yang melewatinya melalui lumen tubulus. Sebagai respon terhadap
penurunan NaCl, sel macula densa memicu sel granular untuk mengeluarkan
lebih banyak renin.
3. Sel granular disarafi oleh sistem saraf simpatis. Ketika tekanan darah turun
dibawah normal, reflex baroreseptor meningkatkan aktivitas simpatis. Sebagai
bagian dari respon reflex ini, peningkatan aktivitas simpati merangsang sel di
granular mengeluarkan lebih banyak renin

4. Jelaskan perubahan biokimia urin dan keseimbangan asam basa pada ginjal ?
Jawab :
Sistem kompensasi tubuh terhadap perubahan pH diatur oleh 3 sistem :
a. Sistem Buffer
Sistem ini bekerja dalam waktu singkat untuk memperkecil perubahan pH.
Jika [H+] berubah maka reaksi reaksi kimia reversibel sistem dapar yang terlibat
segera bergeser untuk mengompensasi perubahan [H+] . Melalui mekanisme
pendaparan, sebagian besar ion hidrogen lenyap dari cairan tubuh antara waktu
pembentukan dan eliminasinya. Ion-ion dikeluarkan dari larutan dengan
digabungkan dengan salah satu anggota pasangan dapar sehingga ion tersebut tidak
bekontribusi terhadap keasaman cairan tubuh. Karena setiap sistem dapat memiliki
kapasitas terbatas untuk menyerap [H+] maka [H+] yang terus menerus
diproduksi akhirnya harus di eliminasi dari tubuh.

b. Sistem Respiratory
Sistem ini bekerja dengan kecepatan sedang, aktif hanya jika sistem dapar
saja tidak mampu meminimalkan perubahan [H+] . Jika terjadi penyimpangan [H+],
maka sistem dapar segera berespon sementara, penyesuaian pada ventilasi
memerlukan beberapa menit sebelum dimulai. Jika penyimpangan [H+] tersebut
tidak cepat dan tuntas di koreksi oleh sistem dapar maka sistem pernafasan beraksi
dalam beberapa menit kemudian sehingga berfungsi sebagai lini kedua terhadap
perubahan [H+] .
Ketika mendeteksi peningkatan [H+] arteri, kemoreseptor perifer secara
refleks merangsang pusat pernafasan, untuk meningkatkan ventilasi sehingga lebih
banyak CO2 pembentuk asam yang dibuang keluar. Namun sebagai respon
penurunan CO2, kemoreseptor sentral mulai menghambat pusat pernafasan.
Dengan melawan kerja reseptor perifer, kemoreseptor sentral menghentikan
peningkatan kompensatorik ventilasi sebelum pH kembali ke normal. Kebalikan
dari yang diatas, ketika pH mengalami penurunan, maka tubuh menurunkan
ventilasi agar CO2 pembentuk H2CO3 menjadi meningkat untuk mengembalikan
pH yang ada di dalam tubuh.
Namun ketika sistem ini tidak dapat mengompensasi maka Sistem
penyangga selain H2CO3 dan HCO3- plus regulasi ginjal adalah satu satunya
mekanisme yang tersedia untuk melawan kelainan asam basa yang disebabkan
oleh faktor pernafasan ketika mengalami kegagalan

c. Sistem Renal
Sebagian besar [H+] berasal dari asam nonkarbonat dipapar oleh HCO3-
plasma. Karena itu penanganan keseimbangan asam basa oleh ginjal juga
melibatkan HCO3- bergantung pada jumlah H+ di dalam plasma.
Ketika tubuh dalam keadaan asam (kadar [H+] meningkat), maka tubuh akan
melakukan kompensasi untuk mengeliminasi [H+], dan akan menahan HCO3- dan
mengembalikan ke plasma agar dapat mengikat H+ yang membuat keadaan tubuh
menjadi normal.
Begitu juga sebaliknya, Ketika Kadar [H+] di dalam tubuh menurun, maka
kompensasi tubuh yaitu menahan ion H+ yang disekresikan di tubulus dan
berikatan dengan HCO3- sehingga membentuk H2CO3. Di bawah pengaruh
karbonat anhidrase, H2CO3 terurai menjadi CO2 dan H2O. Di dalam sel, H2O dan
CO2 dibawah pengaruh karbonat anhidrase intrasel membentuk H2CO3 dan
terturai menjadi H+ dan HCO3-. H+ akan di tahan di dalam tubuh untuk
menurunkan pH dan HCO3- yang berfungsi untuk mengikat H+ harus dibuang
agar tubuh tidak mengikat lebih banyak H+ dan justru membuat tubuh menjadi
lebih basa

Jadi ketika tubuh mengalami pH yang asam, dan ketika tubuh


mengompensasi untuk mengubah pH menjadi normal, maka urin akan menjadi
asam juga akibat di ekskresikannya H+ di urin. Sementara ketika mengalami pH
yang basa, tubuh akan mengekskresikan HCO3- yang membuat urin menjadi basa.
5. Bagaimana karakteristik dan sifat-sifat urin ?
Jawab :
Berkemih merupakan proses pengosongan vasika urinaria (kandung kemih).
Vasika urinaria dapat menimbulkan rangsangan saraf bila urinaria berisi kurang lebih
250- 450 cc (pada oranf dewasa) dan 200-250 cc (pada anak-anak). Mekanisme
berkemih terjadi karena vesika urinaria berisi urine yang dapat menimbulkan
rangsangan pada saraf-saraf di dinding vesika urinaria. Kemudian rangsangan
tersebut diteruskan melalui medulla spinalis ke pusat pengontrol berkemih yang
terdapat di korteks serebral. Selanjutnya, otak memberikan implus atau rangsangan
melalui medulla spinalis ke neuromotoris di daerah sacral, kemudian terjadi
koneksasi otot detrusor dan relaksasi otot spincter internal. Urine dilepaskan dari
vesika urinaria, tetapi masih tertahan spincter eksternal. Jika waktu dan tepat
memungkinkan dikeluarkan (berkemih).

Urin memiliki berat jenis 1,005-1,030 dan biasanya asam. Volume dan
konsentrasi akhir urea dan zat terlarut bergantung pada asupan cairan. Tidur dan
aktivitas otot juga menghambat produksi urine. Warna kuning gading disebabkan
oleh urobilin, yaitu pigmen empedu. Urin memiliki bau khas, yang bila segar tidak
terlalu berbau. Bau atau kekeruhan biasanya menunjukan infeksi.
Kejernihan. Normalnya jernih karena hanya mengandung sedikit komponen urin.
Bila agak keruh (bahkan keruh), berarti komponen yang ada lebih dari normal. Bisa
mengandung satu jenis komponen atau lebih. Untuk mengetahuinya menggunakan
bantuan mikroskop. Nanti kelihatan komponennya, antara lain sel epitel, Sel darah
merah, sel darah putih, kristal-kristal, jamur, bakteri dll.
Air kemih terdiri dari kira-kira 95% air. Zat-zat sisa nitrogen dari hasil
metabolisme protein, asam urea, amoniak, dan kreatinnin. Flektrolit, natrium,
kalsium, NH3, bikorbonat, fosfat dan sulfat. Taksin, Hormone. Rata-rata dalam satu
hari 1-2 liter, tetapi berbeda-beda sesuai dengan jumlah cairan yang masuk.
Warnanya bening oranye tanpa ada endapan. Baunya tajam. Reaksinya sedikit asam
terhadap lekmus dengan pH rata-rata 6.
Volume urin yang dihasilkan setiap hari bervariasi dari 600 ml sampai 2.500 ml
lebih. Jika volume urin tinggi, zat buangnya diekresikan dalam larutan encer,
Hipotonik (hipoosmotik) terhaadap plasma. Berat jenis urin mendekati berat jenis air
(sekitar 1.003). Jika tubuh perlu menahan air, maka urin yang dihasilkan kental
seingga volume urin yang sedikit tetap mengandung jumlah zat buangan yang sama
yang harus dikeluarkan. Konsentrasi zat terlarut lebih besar, urin hipotonik
(hipoosmotik) terhadap plasma jika berat jenis urin lebih tinggi di atas (1.030).
Komposisi Urin terdiri dari 95% air dan mengandung zat berlarut sebagai
berikut zat buangan nitrogen meliputi urea dari deaminasi protein, asam urat dari
metabolism asam nukleat, dan keratin dari proses penguraian keratin fosfat dalam
jaringan otot. Asam hipurat adalah produk sampingan pencernaan sayuran dan buah.
Badan keton yang di hasilkan dalam metabolisme lemak adalah konstituen normal
dalam jumlah kecil. Elektrolit meliputi ion atrium, klor, kalium, amonium, sulfat,
fosfat, kalsium, dan magnesium. Hormone atau metabolism hormone ada secara
normal dalam urine. Sebagai jenis toksin atau zat kimia asing, pigmen, vitamin, atau
enzim,secara normal ditemukan dalam jumlah kecil.
Konstituen abnormal meliputi albumin, glukosa, sel darah merah, sejumlah
besar badan keton, zat kapur (terbentuk saat zat menggeras dalam tubulus dan
dikeluarkan), dan batu ginjal atau kalkuli. Urin encer berwarna kuning pucat, dan
kuning pekat jia kental, urin segar biasanya jernih dan menjadi keruh juka didiamkan.
Urin memiliki bau yang khas dan cenderung berbau ammonia jika didiamkan. Bau ini
dapat berfariasi sesuai dengan diet ; misalnya, setelah makan asparagus. Pada
diabetes yang tidak terkontrol aseton menghasilkan bau manis pada urin. Asiditas
Atau Alkalinitas. pH urin berfariasi antara 4,8 sampai 7,5 dan biasanya sekitar 6,0.
Tetapi juga tergantung pada diet. Ingesti makanan yang berprotein tinggi akan
meningkatkan asiditas, sementara diet sayuran meningkatkan alkalinitas. Berat Jenis
Urin. Berkisar sekitar 1,001 sampai 1,030 bergantung pada konsentrasi urine.
6. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi volume urine !
Jawab :
1. Faktor internal
a. Hormon Antidiuretik (ADH)
Hormon ADH menjadi faktor internal utama yang berperan dalam
menentukan jumlah pengeluaran urin yang dikeluarkan tubuh. Jika darah yang
akan disaring banyak mengandung air, maka hormon ADH yang disekresikan ke
dalam ginjal semakin sedikit, penyerapan air akan sedikit pula. Akibatnya
produksi urin yang terbentuk menjadi banyak dan cepat memenuhi kantong
kemih.
b. Hormon Insulin
Penyakit diabetes disebabkan oleh kekurangan hormon insulin dalam darah.
Kadar hormon insulin yang rendah menyebabkan produksi urin meningkat
sehingga penderita sering mengeluarkan urin.
c. Kondisi psikologis (emosi dan stress)
Tekanan darah akan meningkat bila seseorang sedang mengalami gejolak
emosi yang tinggi. Hal ini menyebabkan darah lebih banyak untuk disaring.
Begitu pula gangguan psikologis stress yang berpengaruh terhadap kontraksi dan
tekanan pada katup kantung kemih.
d. Kelainan fungsi ginjal
Apabila seseorang menderita penyakit ginjal maka akan berpengaruh pada
kemampuan nefron untuk memproduksi urine.
2. Faktor eksternal
a. Intake cairan
Orang yang banyak minum akan menyebabkan urine yang dikeluarkan lebih
banyak dari dalam tubuh. Ini disebabkan oleh sedikitnya air yang meresap ke
dalam darah sehingga lebih banyak diekskresikan melalui kantong kemih.

b. Suhu lingkungan
Paparan dingin menyebabkan penurunan aliran darah ke permukaan kulit
sehingga darah akan lebih banyak ke organ tubuh, terutama ginjal. Apabila darah
yang menuju ginjal jumlahnya semakin banyak, maka pengeluaran urine pun
banyak.

c. Zat-zat diuretik
Alkohol dan kafein mengandung zat-zat diuretik yang dapat menghambat
pembentukan hormon antidiuretika. Seseorang yang banyak minum alkohol dan
kafein, maka produksi urinenya akan meningkat.

7. Bagaimana etiologi penurunan produksi urin ?


Jawab :
Penyebaboliguria :

A. Pra-renal
1. Hipovolemia, disebabkan oleh :
a. Kehilangan darah/ plasma : perdarahan , luka bakar.
b. Kehilangan cairan melalui gastrointestinal, kulit, ginjal (diuretik, penyakit
ginjal lainnya), pernafasan, pembedahan.
c. Redistribusi cairan tubuh : pankreatitis, peritonitis, edema, asites.
2. Vasodilatasi sistemik :
a. Sepsis.
b. Sirosis hati.
c. Anestesia/ blokade ganglion.
d. Reaksi anafilaksis.
e. Vasodilatasi oleh obat.

3. Penurunan curah jantung/kegagalan pompa jantung :


a. Renjatan kardiogenik, infark jantung.
b. Gagal jantung kongestif (disfungsi miokard, katub jantung).
c. Tamponade jantung.
d. Disritmia.
e. Emboli paru.
B. Renal
1. Kelainan glomeroulus
2. Reaksi imun
3. Hipertensi maligna
4. Kelainan tubulus
5. Kelainan interstisial
6. Kelainan vaskuler
C. Post-renal
1. Obstruksi intra renal :
a. Instrinsik : asam urat, bekuan darah, kristal asam jengkol.
b. Pelvis renalis : striktur, batu, neoplasma.
2. Obstruksi ekstra renal :
a. Intra ureter : batu, bekuan darah.
b. Dinding ureter : neoplasma, infeksi (TBC).
c. Ekstra ureter : tumor cavum pelvis.
d. Vesika urinaria : neoplasma, hipertrofi prostat.
e. Uretra : striktur uretra, batu, blader diabetik, paraparesis.

8. Bagaimana patomekanisme produksi urin menurun ?


Jawab :
a. Pre renal
Gagal jantung -> hipovolem-> hipotensi -> aktifasi sel saraf simpatis ->
angiotensin II -> vasokonstriksi arteriol aferent-> aliran darah ke ginjal
berkurang -> GFR menurun -> oligouria

b. Renal
Glomerulonefritis -> fungsi glomerulus terganggu -> GFR menurun -> oligouria

c. Post renal
Obstruksi tractus urinarius (hiperplasti ptostat) -> uretra tertekan ->urin sulit
keluar ->oligouria

d. Penurunan aliran darah ke ginjal


 Hipovolemi-> hemorage, dehidrasi, diare atau muntah
Hipovolemi -> aliran darah ke ginjal menurun -> penurunan GFR -> penurunan
pengeluaran air dan zat terlarut -> oligouria

 Obstruksi dan stenosis pada arteri aferen


Obstruksi atau stenosis -> aliran darah ke glomerulus menurun -> GFR menurun -
> oligouria

e. Peningkatan ADH
Meningkatnya osmolaritas ekstraseluler (yang secara praktis meningkatkan Na
plasma) -> meningkatkan osmoreseptor di hipofisis posterior -> ADH dalam
plasma meningkat -> permeabilitas H2O di tubulus distal dan ductus koligentes
pun akan meningkat -> reabsorpsi H2O dan menurunnya ekskresi H2O ->
oligouria

f. Akibat obat
Kortikosteroid -> meningkatkan reabsorpsi Na dan ekskresi K+ dan H+ di tubuli
distal -> biasanya reabsorpsi Na disertai reabsorpsi air -> oligouria

g. NaCl yang menurun


Menurunnya Nacl -> rangsangan renin (vasokonstriktor anterior) ->
vasokonstriktor arterior di glomerulus -> menurunnya tekanan drah kapiler
glomerulus -> menurunnya GFR -> volume urin menurun (oligouria)

9. Bagaimana jenis-jenis kelainan pada produksi urin ?


Jawab :

Poliuria dimana volume urin > 2500 ml/hari

Oligouria dimana volume urin <100-600 ml/hari

Anuria dimana volume urin < 100 ml/hari

Hematuria dimana terdapat darah dalam urin

Glukosuria dimana terdapat glukosa dalam urin

Proteinuria dimana terdapat protein dalam urin

Bilirubinuria dimana terdapat bilirubin dalam urin

Ketonuria dimana terdapat keton dalam urin

Pyuria dimana terdapat pus dalam urin , akibat terlalu banyak jumlah leukosit

Bakterinuria dimana terdapat bakteri didalam urin

10. Jelaskan patomekanisme dari setiap gejala pada skenario beserta hubungannya !
Jawab :

Patomekanisme gatal
Pruritogen menyebabkan ujung serabut saraf C pruritoseptif teraktivasi.
Serabut saraf C tersebut kemudian menghantarkan impuls sepanjang serabut saraf
sensoris. Terjadi input eksitasi dilamina-1 kornu dorsalis sususnan saraf tulang
belakang. Hasil dari impuls tersebut adalah akson reflex mengeluarkan transmitter
yang menghasilkan inflamasi neurogenik ( substansi P, CGRP, NKA dll). Setelah
impuls melalui pemprosesan dikorteks cerebri, maka akan timbul suatu perasaan gatal
dan tidak enak yang menyebabkan hasrat untuk menggaruk bagian tertentu tubuh.

Patomekanisme demam

Agen infeksi (virus) masuk kedalam tubuh dimana system imunitas dalam
tubuh bekerja makrofag leukosit memakan agen infeksi tersebut yang dimana
pengeluaran pirogen endogen (IL-1) akan merangsan sel-sel endotel dihipothalamus
yang akan meningkatkan pengeluaran asam arakidonat lalu pengeluaran
prostaglandin ( PGE-2 ) juga meningkat dan sel point hypothalamus menigkat
sehingga timbul demam.

Patomekanisme nyeri :

1. Transduksi merupakan proses perubahan rangsang nyeri menjadi suatu aktifitas


listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Rangsang ini dapat berupa stimulasi
fisik, kimia, ataupun panas. Dan dapat terjadi di seluruh jalur nyeri.

2. Transmisi adalah proses penyaluran impuls listrik yang dihasilkan oleh proses
transduksi sepanjang jalur nyeri, dimana molekul molekul di celah sinaptik
mentransmisi informasi dari satu neuron ke neuron berikutnya

3. Modulasi adalah proses modifikasi terhadap rangsang. Modifikasi ini dapat terjadi
pada sepanjang titik dari sejak transmisi pertama sampai ke korteks serebri.
Modifikasi ini dapat berupa augmentasi (peningkatan) ataupun inhibisi
(penghambatan).
4. Persepsi adalah proses terakhir saat stimulasi tersebut sudah mencapai korteks
sehingga mencapai tingkat kesadaran, selanjutnya diterjemahkan dan ditindaklanjuti
berupa tanggapan terhadap nyeri tlersebut.

11. Bagaimana kaitan konsumsi obat dengan penurunan produksi urin ?


Jawab :

Obat analgetik antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID)


merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, dan beberapa obat memiliki
perbedaan secara kimia. Namun obat-obat NSAID mempunyai banyak persamaan
dalam efek terapi dan efek sampingnya. Prototype obat golongan ini adaah aspirin,
sehingga sering disebut juga aspirin like drug. Efek terapi dan efek samping dari obat
golongan NSAID sebagian besar tergantung dari penghambatan biosintesis
prostaglandin. Namun golongan NSAID secara umum tidak menghambat biosintesis
leukotrien yang berperan dalam peradangan. Golongan obat NSAID bekerja deengan
menghambat enzim siklo-oksigenase, sehingga dapat mengganggu perubahan asam
arakidonat menjadi prostaglandin. Setiap obat menghambat enzim siklo-oksigenase
dengan cara yang berbeda-beda. Paracetamol dapat menghambat biosintesis
prostaglandin apabila lingkungannya mempunyai kadar peroksida yang rendah seperti
di hipotalamus, sehingga paracetamol mempunyai efek anti-inflamasi yang rendah
karena lokasi peradangan biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan
leukosit. Aspirin dapat menghambat biosintesis prostaglandin dengan cara
mengasetilasi gugus aktif serin dari enzim siklo-oksigenase.trombosit sangat rentan
terhadap penghambatan enzim siklo-oksigenase karena trombosit tidak mampu
mengadakan regenerasi enzim siklo-oksigenase. Semua obat golongan NSAID
bersifat antipiretik, analgesic dan antiinflamasi. Efek samping obat golongan NSAID
didasari oleh hambatan pada system biosintesa prostaglandin. Selain itu, sebagian
besar obat bersifat asam sehingga lebih banyak terkumpul dalam sel yang bersifat
asam seperti di lambung, ginjal dan jaringan inflamasi. Efek samping lainnya adalah
ulkus lambung dan perdarahan saluran cerna, hal ini disebabkan oleh adanya iritasi
akibat hambat biosintesa prostaglandin PGE2 dan prostacyclin. PGE2 dan PGI2
banyak ditemukan dimukosa lambung dengan fungsi untuk menghambat sekresi asam
lambung dan merangsang sekresi mucus usus halus yang bersifat sitoprotektan.
Obat antiradang menururt struktur kimia dapat dibagi menjadi delapan golongan,
diantaranya adalah :

- Turunan asam salisilat, yaitu asam asetilsalisilat dan difunisal


- Turunan pirazolon, yaitu fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, dan
aminopirin
- Turunan para-aminofenol, yaitu fenasetin
- Indometasin dan senyawa yang mash berhubungan, yaitu indometasin dan
sulindak
- Turunan asam propionate, yaitu ibuprofen, naproksen, fenoprofen, ketoprofen
dan flurbiprofen
- Turunan asam antranilat, yaitu asam flufenamat dan asam mefenamat
- Obat antiradang yang tidak mempunyai penggolongan tertentu, yaitu
tolmetin,piroksikam, diklofenak, etodolak
- Obat gout, yaitu kolkisin dan allopurinol

12. Bagaimana langkah-langkah diagnosis terkait dengan skenario ?


Jawab :
A. Anamnesis dan Riwayat Penyakit

Kemampuan seorang dokter dalam melakukan wawancara dengan pasien


ataupun keluarganya diperoleh melalui anamnesis yang sistemik dan terarah. Hal ini
sangat penting untuk mendapatkan diagnosis suatu penyakit. Anamnesis yang
sistemik itu mencakup:

1. Keluhan utama pasien


2. Riwayat penyakit lain yang pernah dideritanya maupun pernah diderita oleh
keluarganya
3. Riwayat penyakit yang diderita saaat ini.
Pasien datang kedokter mungkin dengan keluhan:
1. Sistemik yang merupakan penyulit dari kelainan urologi, antara lain gagal
ginjal (malaise, pucat, uremia) atau demam diserrtai menggigil akibat infeksi
strepurosepsis
2. Lokal (urologi) antara lain nyeri akibat kelainan urologi, keluhan miksi,
kelainan disfungsi seksual, atau infertilitas.

B. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pasien meliputi pemeriksaan tentang keadaan umum pasien
dan pemeriksaan urologi. Seirngkali kelainan-kelainan dibidang urologi memberikan
manifestasi penyakit umum atau sistemik, atau tidak jarang pasien-pasien urologi
menderita penyakit lain.
Adanya hipertensi merupakan tanda dari kelianan ginjal, edema tungkai satu
sisi mungkin akibat obstruksi pembuluh vena karena penekanan tumor buli-buli atau
karsinoma prostat, dan ginekomasti mungkin ada hubungannya dengan karsinoma
testis. Semua keadaan diatas megharuskan dokter untuk memeriksa keadaan umum
pasien secara menyeluruh. Pada pemeriksaan urologi harus diperhatikan setiap organ
mulai dari pemeriksaan ginjal, buli-buli, genitalia eksterna, dan pemeriksaan
neurologi.

C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Urinalsis
Pemeriksaan urinalis merupaka pemeriksaan yang paling sering
dikerjakan pada kasus-kasus urologi. Pemeriksaan ini meliputi uji:
1. Makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis urin
2. Kimiawi meliputi pemeriksaan derajat keasaman / pH, protein, dan
gula dalam urin
3. Mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, CAST (silinder),
atau bentukan lain dalam urin.
D. Pemeriksaan darah
1. Darah rutin
2. Faal ginjal
3. Elektrolit Natrium, kalium, kalsium, dan phospat
4. Faal hepar, faal pembekuan, dan profil lipid
E. Pemeriksaan penanda tumor (tumor marker)
Pemeriksaan penanda tumor antara lain adalah: PAP ( prostatic acid
phosphatase) dan PSA (prostate spesific Antigen) yang sering berguna dalam
membantu menegakkan diagnosis karsinoma prostate, AFP (Alpha Feto Protein) dan
Human Chorinc Gonadotropin (β-HCG) untuk mendeteksi adanya tumor testis jenis
nonseminoma, dan pemeriksaan VMA (Vanyl Mandelic Acid) dalam urin untuk
mendeteksi tumor neuroblastoma. Penanda tumor tersebut hanyalah alat pembantu
menegakkan diagnosis suatu keganasan yang mempunyai sensitifitas dan spesifitas
tertentu.
F. Analisis semen
Pemeriksaan analisis semen dikerjakan pada pasien varikokel atau infertilitas
pria untuk membantu diagnosis atau mengikuti perkembangan hasil pasca terapi atau
pasca operasi infertilitas pria. Pada analisis disebutkan tentang volume ejakulat,
jumlah sperma, motilitas, dan morfologi sprema. Disamping itu, perlu dinilai
kemungkinan adanya leukosit, sel-sel darah merah, dan kadar fruktosa yang rendah
untuk menilai kemungkinan terjadinya penyakit-penyakit pada genetalia interna.
G. Analisis batu
Batu yang telah dikeluarkan dari saluran kemih dilakukan analisis. Kegunaan
analisis batu adalah untuk mengetahui jenis batu guna mencegah terjadinya
kekambuhan dikemudian hari. Pencegahan itu dapat berupa pengaturan diet atau
pemberian obat-obatan. Yang paling penting adalah analisis inti batu, bukannya
melakukan analisis seluruh batu. Hal ini karena terjadinya gangguan metabolisme
yang menyebabkan timbulnya batu dimulai dari pembentukan inti batu.
H. Kultur urine
Pemerikasaan kultur urin diperiksa jika ada dugaan infeksi saluran kemih. Pada
pria, urin yang diambil adalah sampel urin porsi tengah (midstreamurine), pada
wanita sebaiknya diambil melalui katerisasi, sedangkan pada bayi dapat diambil urin
dari aspirasi supra pubik atau melalui alat penampung urin. Jika didapatkan kuman
didalam urin, dibiakkan dalam medium tertentu untuk mencari jenis kuman dan
sekaligus sensitivitas kuman terhadap antibiotika yang diujiakan.
I. Sitologi urine
Pemeriksaan sitologi urin merupakan pemeriksaan sitopatologi sel-sel
urotelium yang terlepas dan terikut urin. Contoh urin sebaiknya diambil setelah
pasien melakukan aktivitas (loncat-locat atau lari ditempat) dengan harapan lebih
banyak sel-sel urotelium yang terlepas didalam urin. Derajat perubahan sel-sel itu
diklasifikasikan dalam lima kelas mulai dari:
1. Normal
2. Sel-sel yang mengalami peradangan
3. Sel-sel atipik
4. Diduga menjadi sel-sel ganas
5. Sel-sel yang sudah mengalami perubahan morfologi menjadi sel ganas
J. Patologi anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan histopatologis yang diambil
melalui biopsi jaringan atau pun melalui operasi. Pada pemeriksaan ini dapat
ditentukan suatu jaringan normal, mengalami proses inflamasi, pertumbuhan benigna,
atau terjadi pertumbuhan maligna. Selain itu pemeriksaan ini dapat menentukan
stadium patologik serta derajat diferensiasi suatu keganasan.
K. Pemeriksaan Radiologi (pencitraan)
Pemeriksaan ini meliputi foto polos, foto dengan kontras, ultrasonografi (USG),
dan pemeriksaan dengan radionuklir.

13. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario ?


Jawab :
 Intake cairan seimbang dengan output
 Elektrolit dimana intake na ditambah dengan intake k
 Hiponatreni diberikan nacl
 Hiperkalemi diberikan ca glukosa 10 %, Na HCO3 7,5 %
 Protein intake yaitu didapatkan dari hewani ( telur,susu,daging )

14. Sebutkan differential diagnosis terkait dengan skenario !

Jawab :

A. Gagal ginjal akut (GGA)


a. Definisi
GGA adalah suatu penyakit tidak menular yang merupakan suatu
sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan mendadak (dalam beberapa
jam sampai beberapa hari) laju filtrasi glomerulus (LFG), disertai sisa
metabolisme (ureum dan kreatinin). GGA merupakan suatu sindrom klinis
oleh karena dapat disebabkan oleh berbagai keadaan dengan patofisiologi
yang berbeda-beda. Usia penderita GGA berkisar antara 40-50 tahun, tetapi
hampir semua usia dapat terkena penyakit ini. Menurut penelitian Orfeas
Liangos dkk (2001), dari 558.032 penderita GGA, 51,8% adalah laki-laki,
sedangkan perempuan sebesar 48,2%.6,13

Gagal ginjal akut dibagi dalam 3 kategori, yaitu gagal ginjal akut
prarenal, renal dan pascarenal. Gagal ginjal akut prerenal atau azotemia
prarenal merupakan penyebab tersering, biasanya karena iskemia ginjal yang
lama akibat penurunan perfusi ginjal. Hipoperfusi ginjal menyebabkan
hipotensi sistemik dengan aktivasi kompensatorik sistem saraf simpatis dan
sistem rennin angiotensin aldosteron. Angiotensin menyebabkan
vasokonstriksi ginjal, kulit, dan jaringan vaskuler splanikus, dan aldosteron
menyebabkan retensi garam dan air. Respons ini didesain untuk
mempertahankan tekanan arteri rata-rata sistemik dan perfusi ke organ-organ
yang penting. Pada waktu yang sama, mekanisme autoregulasi ginjal
diaktifkan untuk mempertahankan GFR dan melindungi ginjal terhadap
adanya iskemia. Angiotensin II menyebabkan terjadinya konstriksi arteriol
glomerulus (sehingga meningkatkan tekanan intraglomerulus dan GFR) dan
pada waktu yang sama merangsang produksi prostaglandin ginjal vasodilator
yang juga dapat menyebabkan nyeri.

Iskemia ginjal akut berat dapat diakibatkan oleh syok sirkulasi yang
mengakibatkan kerusakan atau penghancuran sel-sel epitel. Jika hal ini terjadi,
sel-sel tubulus “terlepas” dan menyumbat banyak nefron, sehingga tidak
terdapat keluaran urin dari nefron yang tersumbat. Terjadilah produksi
kencing yang menurun.

Peningkatan kalium dalam darah atau hiperkalemia dapat berakibat


fatal. Karena ginjal tidak dapat mengekskresi cukup ion hydrogen, pasien
dengan gagal ginjal akut dapat mengalami asidosis metabolik. Gejala
neurologis pada asidosis metabolic dapat berupa kelelahan hingga koma yang
disebabkam oleh penurunan pH cairan serebrospinal serta dapat pula terjadi
mual dan muntah.

b. Etiologi
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan penyakit GGA, yaitu:
 Gangguan pra-renal :
1. Hipovolemia, disebabkan oleh:
a. Kehilangan darah/ plasma: perdarahan , luka bakar.
b. Kehilangan cairan melalui gastrointestinal, kulit, ginjal (diuretik,
penyakit ginjal lainnya), pernafasan, pembedahan.
c. Redistribusi cairan tubuh: pankreatitis, peritonitis, edema, asites.
2. Vasodilatasi sistemik:
a. Sepsis.
b. Sirosis hati.
c. Anestesia/ blokade ganglion.
d. Reaksi anafilaksis.
e. Vasodilatasi oleh obat.
3. Penurunan curah jantung / kegagalan pompa jantung:
a. Renjatan kardiogenik, infark jantung.
b. Gagal jantung kongestif (disfungsi miokard, katub jantung).
c. Tamponade jantung.
d. Disritmia.
e. Emboli paru.

 Gangguan Renal
1. Kelainan glomeroulus: Glomerulonefritis akut adalah salah satu jenis
GGA renal yang biasanya disebabkan oleh kelainan reaksi imun yang
merusak glomeruli. Sekitar 95% dari pasien, GGA dapat terjadi satu
sampai tiga minggu setelah mengalami infeksi dibagian lain dalam tubuh,
biasanya disebabkan oleh jenis tertentu dari streptokokus beta grup A.
Infeksi dapat berupa radang tenggorokan streptokokal, tonsilitis
streptokokal, atau bahkan infeksi kulit streptokokal.
2. Reaksi imun
3. Hipertensi maligna
4. Kelainan tubulus: Nekrosis Tubular Akut (NTA) akibat iskemia. Tipe
iskemia merupakan kelanjutan dari GGA prarenal yang tidak teratasi. Jika
iskemia berlangsung cukup berat sampai menyebabkan penurunan yang
serius terhadap pengangkutan zat makanan dan oksigen ke sel-sel epitel
tubulus ginjal dan jika gangguan ini terus berlanjut, kerusakan atau
penghancuran sel-sel epitel dapat terjadi. Jika hal ini terjadi, sel-sel
tubulus hancur terlepas dan menempel pada banyak nefron, sehingga tidak
terdapat pengeluaran urin dari nefron yang tersumbat, nefron yang
terpengaruh sering gagal mengekskresi urin bahkan ketika aliran darah
ginjal kembali pulih normal, selama tubulus masih baik. Beberapa
gangguan yang menyebabkan iskemia ginjal yaitu, hipovolemia,
insufisiensi sirkulasi (syok, payah jantung yang berat, aritmi jantung, dan
tamponade).
5. Kelainan interstisial: Nefritis interstisial akut (dapat terjadi akibat infeksi
yang berat dan dapat juga disebabkan oleh obat-obatan), pielonefritis akut
(proses infeksi dan peradangan yang biasanya mulai di dalam pelvis ginjal
tetapi meluas secara progresif ke dalam parenkim ginjal)
6. Kelainan vaskuler: Trombosis arteri atau vena renalis, vaskulitis.

 Gangguan post-renal :
1. Obstruksi intra renal:
a. Instrinsik: asam urat, bekuan darah, kristal asam jengkol.
b. Pelvis renalis: striktur, batu, neoplasma.

2. Obstruksi ekstra renal:


a. Intra ureter: batu, bekuan darah.
b. Dinding ureter: neoplasma, infeksi (TBC).
c. Ekstra ureter: tumor cavum pelvis.
d. Vesika urinaria: neoplasma, hipertrofi prostat.
e. Uretra: striktur uretra, batu, blader diabetik, paraparesis.
f. Patogenesis

Perjalanan klinis GGA yang dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:

1. Stadium Oliguria
Stadium oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam sesudah
terjadinya trauma pada ginjal. Produksi urin normal adalah 1-2 liter/24jam.
Pada fase ini pertama-tama terjadi penurunan produksi urin sampai kurang
dari 400cc/24 jam. Tidak jarang produksi urin sampai kurang dari 100cc/24
jam, keadaan ini disebut dengan anuria. Pada fase ini penderita mulai
memperlihatkan keluhan-keluhan yang diakibatkan oleh penumpukan air dan
metabolit-metabolit yang seharusnya diekskresikan oleh tubuh, seperti mual,
muntah, lemah, sakit kepala, kejang dan lain sebagainya. Perubahan pada urin
menjadi semakin kompleks, yaitu penurunan kadar urea dan kreatinin. Di
dalam plasma terjadi perubahan biokimiawi berupa peningkatan konsentrasi
serum urea, kreatinin, elektrolit (terutama K dan Na).

2. Stadium Diuresis

Stadium diuresis dimulai bila pengeluran kemih meningkat sampai lebih dari
400 ml/hari, kadang-kadang dapat mencapai 4 liter/24 jam. Stadium ini
berlangsung 2 sampai 3 minggu. Volume kemih yang tinggi pada stadium ini
diakibatkan karena tingginya konsentrasi serum urea, dan juga disebabkan
karena masih belum pulihnya kemampuan tubulus yang sedang dalam masa
penyembuhan untuk mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama
stadium dini diuresi, kadar urea darah dapat terus meningkat, terutama karena
bersihan urea tak dapat mengimbangi produksi urea endogen. Tetapi dengan
berlanjutnya diuresis, azotemia sedikit demi sedikit menghilang, dan pasien
mengalami kemajuan klinis yang benar.

3. Stadium Penyembuhan

Stadium penyembuhan GGA berlangsung sampai satu tahun, dan selama masa
itu, produksi urin perlahan–lahan kembali normal dan fungsi ginjal membaik
secara bertahap, anemia dan kemampuan pemekatan ginjal sedikit demi
sedikit membaik, tetapi pada beberapa pasien tetap menderita penurunan
glomerular filtration rate (GFR) yang permanen.

g. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu :
1. Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual, muntah,
diare, pucat (anemia), dan hipertensi.
2. Nokturia (buang air kecil di malam hari).
3. Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki. Pembengkakan yang
menyeluruh (karena terjadi penimbunan cairan).
4. Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.
5. Tremor tangan.
6. Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.
7. Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang dapat
dijumpai adanya pneumonia uremik.
8. Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan kejang).
9. Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat mengandung darah,
berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)
10. Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan laju
endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan protein), perfusi
renal, serta asupan protein, serum kreatinin meningkat pada kerusakan
glomerulus.
11. Pada kasus yang datang terlambat gejala komplikasi GGA ditemukan
lebih menonjol yaitu gejala kelebihan cairan berupa gagal jantung
kongestif, edema paru, perdarahan gastrointestinal berupa hematemesis,
kejang-kejang dan kesadaran menurun sampai koma.

h. Diagnosis
1. Anamnesis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan
yang telah dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan
tersebut memang merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada
penyakit ginjal kronik (PGK). Beberapa patokan umum yang dapat
membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat
etiologi penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan
perjalanan penyakit (pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan
tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal umumnya
berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan
membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.
(Kasper et al, 2005) Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada
penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi.

2. Pemeriksaan Klinis
Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan
urine output dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan
dengan penggunaan OAINS, ACE inhibitor dan ARB. Pada pemeriksaan fisis
dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular
venous pressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata
penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis.
Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status
hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan
zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin,
asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan
tanda yang menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau
hipertensi maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut
kostovertebra atau suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul
ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah
inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik
gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan
colok dubur menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat.
Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik
dan temuan disfungsi saraf otonom.

3. Pemeriksaan Penunjang
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi
glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prarenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang
transparan. AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,
walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen
atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan
pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis
tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast
pada nefritis interstitial.

i. Penatalaksanaan
1. Sekalipun GGA sudah terjadi (menetap), setiap faktor prarenal harus
dikoreksi dengan maksud memperbaiki sirkulasi dan mencegah
keterlambatan penyembuhan faal ginjal.
2. Defisit volume sirkulasi oleh sebab apapun harus segera diatasi. Sebagai
parameter dapat digunakan pengukuran tekanan vena sentralis jika
fasilitas ada, dengan demikian over hidrasi bisa dicegah.
3. Terhadap infeksi sebagai penyakit dasar harus diberikan pengobatan yang
spesifik sesuai dengan penyebabnya, jika obat-obatan, misalnya
antibiotika diduga menjadi penyebabnya, maka pemakaian obat-obatan ini
harus segera dihentikan. Terhadap GGA akibat nefrotoksin harus segera
diberikan antidotumnya, sedangkan zat-zat yang dapat dialisis harus
dilakukan dialisis secepatnya.
4. Pengaturan Diet. Selama 48-72 jam pertama fase oligurik terjadi
peningkatan urea darah akibat pemecahan jaringan yang hebat. Selama
periode ini pemberian protein dari luar harus dihindarkan. Umumnya
untuk mengurangi katabolisme, diet paling sedikit harus mengandung 100
gram karbohidrat per hari. Seratus gram glukosa dapat menekan
katabolisme protein endogen sebanyak kira-kira 50%. Setelah 3-4 hari
oligurik, kecepatan katabolisme jaringan berkurang dan pemberian protein
dalam diet dapat segera dimulai. Dianjurkan pemberian 20-40 gram
protein per hari yang mempunyai nilai biologis yang tinggi (mengandung
asam amino esensial) seperti telur, susu dan daging. Pada saat ini
pemberian kalori harus dinaikkan menjadi 2000-2500 kalori per hari,
disertai dengan multivitamin. Batasi makanan yang mengandung kalium
dan fosfat (pisang, jeruk dan kopi). Pemberian garam dibatasi yaitu, 0,5
gram per hari.
5. Pengaturan kebutuhan cairan dan keseimbangan elektrolit
6. Dialisis. Tindakan pengelolaan penderita GGA disamping secara
konservatif, juga memerlukan dialisis, baik dialisis peritoneal maupun
hemodialisis. Tindakan ini dilaksanakan atas indikasi-indikasi tertentu.
Pemilihan tindakan dialisis peritonial atau hemodialisis didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan indivual penderita.
7. Operasi. Pengelolaan GGA post renal adalah tindakan pembedahan untuk
dapat menghilangkan obstruksinya. Kadang-kadang untuk dapat dilakukan
operasi diperlukan persiapan tindakan dialisis terlebih dahulu

Terapi Pengganti Ginjal (TPG)


Yang dimaksud Terapi Pengganti Ginjal (TPG) adalah usaha untuk
menggantikan fungsi ginjal penderita yang telah menurun dengan
menggunakan ginjal buatan (dialisis/hemofiltrasi). Pada TPG seperti dialysis
atau hemofiltrasi yang dapat diganti hanya fungsi eksokrin dan fungsi
pengaturan cairan dan elektrolit, serta ekskresi sisa-sisa metabolisme protein.
Sedangkan fungsi endokrin seperti fungsi pengaturan tekanan darah,
pembentukan eritrosit, fungsi hormonal maupun integritas tulang tidak dapat
digantikan oleh jenis terapi ini. Indikasi TPG pada penderita gagal ginjal akut
sangat berbeda bila dibandingkan dengan indikasinya pada gagal ginjal
terminal. Indikasi TPG pada gagal ginjal akut adalah untuk mempertahankan
homeostasis tubuh (live or organ saving) dengan melakukan perbaikan
terhadap gangguan-gangguan homeostasis yang terjadi, disamping dapat
menghindari terjadinya overhidrasi akibat pengobatan. Sedangkan pada gagal
ginjal terminal adalah untuk menggantikan fungsi ginjal secara permanent.
Dibawah ini daftar indikasi TPG untuk penderita gagal ginjal akut:

Kriteria awal untuk pasien kritis dewasa yang memerlukan terapi pengganti
ginjal:
- Oliguria (output urin 200ml/12 jam)
- Anuria (output urin <50 ml/12 jam)
- Hiperkalemia (K+ >6,5 mmol/L)
- Asidemia berat (pH <7,1)
- Azotemia (urea >30 mmol/L)
- Organ signifikan (edema paru)
- Ensefalopati uremia
- Perikarditis uremia
- Neuropati/miopati uremia
- Disnatremia berat (Na >160 atau <15 mmol/L)
- Hipertermi
- Overdosis obat dengan toksin dialysis.

Adanya salah satu gejala pada tabel diatas sudah dapat menjadi
indikasi untuk melakukan TPG. Adanya dua atau lebih gejala menjadi
indikasi kuat untuk segera melakukan TPG.
Ada berbagai jenis TPG yang dapat digunakan untuk penderita gagal
ginjal akut kritis. Dewasa ini CRRT (Continous Renal Replacement Therapy)
dan SLED (Sustained Low Efficiency Dialysis) adalah teknik TPG yang
paling sering digunakan. Masing-masing TPG mempunyai indikasi yang
spesifik, derajat kesulitan dalam teknik, monitoring yang berbeda, serta
perbedaan dalam biaya pengobatan yang dibutuhkan.

Berdasarkan prinsip translokasi ion ada 2 jenis TPG, yaitu:


 Dialisis (Hemodialisis, dialysis peritoneal), prinsip dasarnya adalah osmosis/
dialysis, dibutuhkan cairan dialisat.

Dialysis peritoneal
Dialysis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu
penanganan pasien GGA, menggunakan membran peritoneum yang bersifat
semipermeabel.

a. Prinsip dasar dialisis peritoneal


Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai kateter peritoneum untuk
dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung
kateter terletak dalam kavum douglasi. Setiap kali 2 liter cairan dialisis
dimasukkan ke dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran
peritoneum bentindak sebagai membran dialisis yang memisahkan antara
cairan dialisis dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam pembuluh
darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme seperti ureum, kreatinin, kalium,
dan toksin lain yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginjal, pada
gangguan faal ginjal akan tertimbun dalam plasma darah karena kadarnya
yang tinggi akan melalui difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk
dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan oleh tubuh. Sementara itu
setiap waktu cairan dialisat yang sudah di keluarkan diganti dengfan cairan
dialisat baru.
Cairan dialisat adalah cairan yang mengandung elektrolit dengan kadar
seperti dalam plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat :
natrium, kalsium, magnesium, klorida, laktat glukosa. Pada umumnya cairan
dialisat tidak mengandung kalium karena tujuannya untuk mengeluarkan
kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal.

b. Indikasi dialisis peritoneal


1. Dialisis peritoneal pencegahan : dilakukan setelah diagnosis GGA
ditegakkan
2. Dialisis peritoneal dilakukan ats indikasi :
- indikasi klinis : keadaan umum jelek dan gejala klinis nyata
- indikasi biokimiawi : ureum darah > 200 mg % ; kalium < 6
mEq/ L ; HCO3 < 10-15 mEq/ L ; pH < 7,1

Keuntungan dialysis peritoneal bila dibandingkan dengan


hemodialisis, secara teknis lebih sederhana, cukup aman, serta cukup efisien
dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan disetiap
rumah sakit.
 Filtrasi (CRRT) prinsip dasarnya adalah filtrasi/konveksi, dibutuhkan cairan
substitusi.
CRRT merupakan terapi penggati ginjal yang berkesinambungan
Prinsip dasar CRRT
Membuang (translokasi) zat- zat dengan kadar yang berlebihan keluar tubuh.
Zat-zat ini dapat berupa yang terlarut dalam darah (solute), seperti toksin
ureum, kalium, dll. Atau zat peralutnya yaitu air atau serum darah (solution).
Di dalam proses CRRT tranlokasi terjadi di dalam ginjal buatan (dialyzer),
yang terdiri dari 2 kompartemen atau ruangan, yaitu kompartemen darah dan
kompartemen dialisa. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran
semipermeabel. Perbedaan tekanan antara kedua kompartemen disebut trans
membran pressure (TMP). Darah dari dalam tubuh akan dialirkan ke
kompartemen darah, sedang cairan dialisat dialirkan ke kompartemen dialisat.
Translokasi dapat terjadi dengan mekanisme difusi atau ultrafiltrasi.

j. Prognosis
Kematian biasanya disebabkan karena penyakit penyebab, bukan gagal
ginjal itu sendiri. Prognosis buruk pada pasien lanjut usia dan bila terdapat
gagal organ lain. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30%-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal napas
10%, dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan
sebagainya.

k. Pencegahan
GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat
kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati
akibat zar kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-Asetyl
cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik. Pemberian
kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga
menyebabkan GGA.
l. Komplikasi

Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia,


asidosismetabolik, hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat
pada keadaanhiperkatabolik. Pada oligurik dapat timbul edema kaki,
hipertensi dan edema paru,yang dapat menimbulkan keadaan gawat.
Hiperkalemia terjadi karena beberapa hal seperti ekskresi melalui ginjal
terganggu, perpindahan kalium keluar sel, kerusakan sel akibat proses
katabolik, trauma, sepsis, infeksi, atau dapat juga disebabkan karenaasupan
kalium yang berlebih, keadaan ini berbahaya karena bisa menyebabkan henti
jantung dalam keadaan diastolik. Asidosis terjadi karena bikarbonat darah
menurunakibat ekskresi asam nonvolatile terganggu dimana juga
meningkatkan anion gap.Hipokalsemia sering terjadi pada awal GGA dan
pada fase penyembuhan GGA. Komplikasi sistemik seperti:
1.Jantung, Edema paru, aritmia dan efusi pericardium.
2.Gangguan elektrolit Hiperkalemia, hiponatremia, dan asidosis
3.Neurologi:Iiritabilitas neuromuskular, tremor, dan koma,
4.Gangguan kesadaran dan kejang.
5.Gastrointestinal: Nausea, muntah, gastritis, dan ulkus peptikum.
6.Perdarahan gastrointestinal
7.HematologiAnemia, dan diastesis hemoragik
8.InfeksiPneumonia, septikemia, dan infeksi nosokomial.
9.Hambatan penyembuhan luka.
B. Gagal ginjal kronik (GGK)
a. Definisi
Adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal
yang bersifat menahun, berlangsung progresif, dan cukup lanjut.
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas
dasar derajat (stage) penyakit dan dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas
dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcorft-Gault sebagai berikut:
LFG (ml/menit/1,73m²) = (140-umur)x berat badan / 72x kreatinin
plasma(mg/dl) pada perempuan dikalikan 0,85

Derajat Penjelasan LGF (mL/mnt/1,73m2)


1 Kerusakan ginjal dgn LGF normal atau >90
>>
2 Kerusakan ginjal dgn LGF << ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dgn LGF << sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dgn LGF << berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis

b. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan
populasi 18 juta diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal
pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan
sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun.
c. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses
yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal menyebabkan
hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya
kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang
diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses
adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi
berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan
penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah
tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya
hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis
renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factorß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan
terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan
fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini
penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve),
pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron
yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

d. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a.Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes malitus, infeksi
traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus
Eritomatosus Sistemik (LES),dll.
b.Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma
Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,
kalium, khlorida).

e. Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-
Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal.
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri,leukosuria

f. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit GGK meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi

g. penatalaksanaan

Derajat Rencana tatalaksana


1 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (
progession) fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardiovaskuler
2 menghambat pemburukan (progession)
fungsi ginjal
3 evaluasi dan terapi komplikasi
4 persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 terapi pengganti ginjal

Terapi Nonfarmakologis:
a. Pengaturan asupan protein:
Tabel 4. Pembatasan Asupan Protein pada Penyakit GGK
LFG ml/menit Asupan protein g/kg/hari
>60 tidak dianjurkan
25-60 0,6-0,8/kg/hari
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 g
asam amino esensial atau asam keton
<60 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g proteinuria
atau 0,3 g/kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton.
b. Pengaturan asupan kalori: 35 kal/kgBB ideal/hari
c. Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah
yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh
d. Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total
e. Garam (NaCl): 2-3 gram/hari
f. Kalium: 40-70 mEq/kgBB/hari
g. Fosfor:5-10 mg/kgBB/hari. Pasien HD :17 mg/hari
h. Kalsium: 1400-1600 mg/hari
i. Besi: 10-18mg/hari
j. Magnesium: 200-300 mg/hari
k. Asam folat pasien HD: 5mg
l. Air: jumlah urin 24 jam + 500ml (insensible water loss)

Terapi Farmakologis :
a. Kontrol tekanan darah
-Penghambat EKA atau antagonis reseptor Angiotensin II → evaluasi
kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan.
- Penghambat kalsium
- Diuretik
b. Pada pasien DM, kontrol gula darah →hindari pemakaian metformin dan
obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM
tipe 1 0,2 diatas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%
c. Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 g/dl
d. Kontrol hiperfosfatemia: polimer kationik (Renagel), Kalsitrol
e. Koreksi asidosis metabolik dengan target HCO20-22 mEq/l
f. Koreksi hiperkalemia
g. Kontrol dislipidemia dengan target LDL,100 mg/dl dianjurkan golongan
statin
h. Terapi ginjal pengganti.

C. Batu saluran kemih

a. Definisi
Batu saluran kemih menurut tempatnya digolongkan menjadi batu ginjal
dan batu kandung kemih. Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam
ginjal dan mengandung komponen kristal nserta matriks organik. Lokasi batu
ginjal ditemukan khas dicalyx dan di pelvis dan apabila keluar maka akan terhenti
di ureter atau di kandung kemih.
Batu ginjal sebagian besar mengandung batu kalsium. Batu oksalat,
kalium oksalat, atau kalsium fosfat secara bersama dapat dijumpai sampai 65-
85%dari jumlah keseluruhan batu ginjal.

b. Epidemiologi
Di rumah sakit di Amerika Serikat dilaporkan kejadian batu ginjal sekitar
7-10 pasien untuk setiap untuk setiap 1000 pasien rumah sakit dan insiden di
laporkan sekitar 7-21 pasien untuk setiap 10.000 orang dalam setahun.
Di Indonesia, pada tahun 1983 di Rumah Sakit DR. Sardjito dilaporkan
64 pasien di rawat dengan batu saluran kemih, batu ginjal 75% dan batu kandung
kemih 25%. Kejadian batu saluran kemih terdapat sebesar 57/10.000 pasien rawat
inap. Pada tahun 1986 di laporkan prevalensi batu saluran kemih sebesar
80/10.000 pasien rawat inap.

c. Etiologi dan Patomekanisme


Sebenarnya aksi reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya.Batu
ginjal bisa terbentuk jika ditemui satu atau lebih faktor pembentuk kristal kalsium
dan menimbulkan agregasi pembentukan batu. Subyek normal dapat
mengekskresikan nukleus kristal kecil. Proses pembentukan batu dimungkinkan
dengan kecendrungan ekskresi agregat kristal yang lebih besar.
Proses perubahan kristal yang terbentuk pada tubulus menjadi batu masih
belum jelas. Diperkirakan bahwa agregasi kristal menjadi cukup besar sehingga
tertinggal dan biasanya tertimbun pada ductus kolektivus akhir. Selanjutnya
secara perlahan, timbunan akan membesar Pengendapan ini di perkirakan timbul
pada bagian sel epitel yang mengalami lesi. Kelainan ini kemungkinan
disebabkan oleh kristal sendiri

d. Faktor Resiko Penyebab Batu


1. Hiperkalsiuria
Kelainan yang dapat menyebabkan hematuri tanpa ditemukan pembentukan
batu. Peningkatan ekskresi kalsium di dalam air kemih dengan atau tanpa resiko
pembentukan batu kalsium idiopatik. Kejadian hiperkalsiuria dilaporkan dalam 3
bentuk. (1) hiperkalsiuria absortif di mana ditandai dengan kenaikan absorpsi
kalsium dari lumen usus. (2) Hiperkalsiuri puasa yang ditandai dengan adanya
kelebihan kalsium diduga berasal dari tulang. (3) Hiperkalsiuri ginjal disebabkan
karena kelainan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal.
2. Hipositrauria
Penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya
sitrat berkurang, merupakan suatu mekanisme lain dalam pembentukan batu
ginjal. Peningkatan reabsorbsi ginjal terjadi pada keadaan diare kronik, asidosi
metabolik kronik, dan lain lain.
Sitrat berfungsi untuk mengikat kalsium membentuk larutan kompleks yang
tidak terdisosiasi pada tubulus. Hasilnya, kalsium bebas untuk mengikat oksalat
berkurang. Sitrat juga dianggap penghambat proses aglomerasi kristal.
3. Hiperurikosuria
Peningkatan asam urat air kemih yang dapat memicu pembentukan batu
kalsium.
4. Penurunan Jumlah Air kemih
Keadaan ini akibat cairan masuk sedikit, yang dapat menimbulkan
pembentukan batu dengan peningkatan reaktan dan pengurangan aliran kemih.
Penambahan masukan air dapat dihubungkan dengan rendahnya jumlah kejadian
batu kambuh.
5. Jenis cairan yang diminum
Jenis minuman yang masuk dapat memperbaiki masukan cairan yang kurang.
Minuman soft drink lebi dari 1 liter perminggu dapat menyebabkan pengasaman
dengan asam fosfor dapat meningkatkan resiko penyakit batu. Kejadian ini tidak
jelas tetapi sedikit beban asam dapat meningkatkan ekskresi kalsium dan asam
urat dalam air kemih dan mengurangi kadar sitrat air kemih.

6. Hiperoksaluria
Kenaikan sekresi oksalat di atas normal. Peningkatan yang kecil saja dapat
mengakibatkan perubahan cukup besar dan dapa memacu presipitasi kalsium
oksalat dengan derajat yang lebih besar di bandingkan keaikan absolut sekresi
kalsium.
7. Ginjal Spongiosa medulla
Pembentuksn batu kalsium meningkat pada kelainan ginjal spongiosa,
medula, terutama pada pasien dengan predesposisi faktor metabolik hiperkalsiuria
atau hiperurikosuria. Kejadian ini diperkirakan akibat adanya kelainan duktus
kolektivus terminal dengan daerah statis yang memacu presipitasi kristal dan
kelekatan epitel tubulus.
8. Faktor diet
Faktor diet dapat berperan penting dalam mengawali pembentukan batu :
- Masukan Natrium Klorida
Dapat meningkatkan ekskresi kalsium
- Masukan Protein
Masukan protein yang tinggi dapat menyebabkan pembentukan batu. Ini
disebabkan karena peningkatan kalsium dan asam urat. Penurunan pH dapat
menyebabkan presipitasi asam urat menjadi nidus pembentukan batu kalsium.
- Masukan Kalsium
Diet kalsium tinggi diperkirakan dapat menimbulkan penyakit batu.
Pemberian masukan kalsium pada saat makan juga akan mengikat masukan
oksalat dengan maksimal di bandingkan dengan saat di berikan di luar makan
karena kalsium kehilangan kesempatan untuk mengikat masukan oksalat sehingga
oksalat tetap di ekskresi dan kalsium tetap bebas di dalam lumen intestinal.
Akhirnya akan terjadi kenaikan absorbsi kalsium dan kenaikan ekkresi dari
oksalat di air kemih.
- Masukan Kalium
Diet tinggi kalium dapat mengurangi resiko pembentukan batu dengan
menurunkan ekskresi kalsium dan dengan meningkatkan ekskresi sitrat dalam air
kemih.
- Sukrosa
Sukrosa dan turunan karbohidrat lainnya dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan ekskresi dari kalium tanpa diketahui mekanismenya.
- Vitamin
Dalam dosis besar dapat menyebabkan pembentukan batu oksalat. Ini terjadi
karena asama askorbat atau vitamin c di metabolisir menjadi oksalat.
Suatu penelitian mendapatkan penurunan resiko terbentuknya batu karena
mengonsumsi vitamin B6 lebih dari 40mg/hari pada perempuan namu tidak pada
laki-laki.
Selain itu, vitamin ini juga bermanfaat mengurangi sekresi oksalat.
- Asam lemak
Pemberian suplemen kapsul minyak ikan, menunjukkan penurunan ekskresi
kalsium pada air kemih sebesar 36% dan ekskresi oksalat sebesar 51%
- Masukan Air
Peningkatan masukan air dapat mengurangi resiko pembentukan batu. Dengan
meningkatnya volume air kemih, maka tingkat kejenuhan kalsium oksalat
menurun sehingga mengurangi kemungkinan pembentukan Kristal

e. Gejala Klinik
1. Kolik Ginjal
2. Nyeri pinggang
3. Demam

f. Diagnosis
 Ultrasonografi
1. Menunjukkan ukuran, bentuk, posisi.
2. Pada penderita wanita yang sedang hamil
3. Dapat dikteahui adanya batu dengan warna yang tampak yaitu radiolusen
 Pemeriksaan Radiografi (foto abdomen biasa)
4. Tunjukkan ukuran, bentuk dan oosisi
5. Membedakan batu kalsifikasi
6. Densitas tinggi : kalsium oksalat dan kalsium fosfat
7. Densitas rendah : struvit, sistin, dan campuran
8. Indikasi dilakukan uji kualitatid sistin pada pasien usia muda
 Urogram
9. Det6eksi batu radiolusen sebagai efek pengisian (fillinf)
10. Menunjukkan lokasi batu dalam sistem kolektivus
11. Menunjukkan kelainan anatomis
 CT Scan
12. Helikal dan kontras
 Investigasi Biokimiawi
13. Pemeriksaan pH (biasanya asam)
14. BJ urin
15. Sedimen air kemih untuk menentukan hematuria, leukosituria dan
kristaluria.
16. Pemeriksaan kultur kuman juga penting untuk mendeteksi infeksi saluran
kemih.

f. Penatalaksanaan
Untuk mencegah presipitasi batu baru, di sesuaikan dengan keadaan metaboli
yang ada.
1) Hiperkalsiuria idiopatik
Batasi pemasukan garam dan diberikan diuretic tiazid seperti hidroklorotiazid
25-50mg/hari. Regimen ini dapat menurunkan ekskresi kalsium sebanya 250
mg/hari . Keduanya dapat menurukan insiden baru baru sebesar 90%. Bila
perlu ditambah kalium sitrat atau lithium bikarbonat.
2) Pemberian fosfat netral (ortophospat)
Mengurangi ekskresi kalium dan meningkatkan ekskresi inhibitor kristalisasi
(seperti pirofosfat)
3) Hiperurikosuria
Alopurinol 100-300 mg/hari. Pembentukan batu baru menurun 80%.
4) Hipositraturia
Diberikan kalium sitrat. Dimana akan menurunkan insiden pembentukan batu
dari 1,2 menjadi 0,1 pertahun.

5) Hiperoksaluria enterik
Diusahakan pengurangan absorbsi oksalat intestinal dan diberikan banyak
masukan cairan.
Kalium sitrat untuk mengoreksi asidosis metabolik.
Kalsium karbonat oral 1-4mg/hari untuk mengikat oksalat di lumen intestinal.
6) Batu Kalsium fosfat
Seperti pada pasien kalsium oksalat dapat diberikan kalsium sitrat

g. Pencegahan
 Turunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan oksalat)
 Tingkatkan konsentrasi inhibitor pembentuk batu
1. Sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari) atau minum jeruk nipis 2
buah sesudah makan dan 4 ons jus lemon di tambah dengan air 2liter)
 Pengaturan diet
2. Meningkatkan masukan cairan
3. Masukan cairan terutama pada malam hari akan meningkatkan aliran
kemih dan menurunkan konsentrasi pembentukan batu di dalam air kemih.
4. Hindari masukan minum gas (soft drink) lebih dari satu liter perminggu
5. Kurangi masukan protein sebesar 1 g/kgBB/hari
6. Membatasi masukan natrium yaitu 80-100 mq/hari
7. Pembatasan masukan kalsium tidak di anjurkan karena akan menimbulkan
peningkatan absorbsi oksalat oleh pencernaan, peningkatan ekskresi
oksalat dan meningkatkan saturasi kalsium oksalat air kemih.

D. Karsinoma Bulibuli

Karsinoma Buli-Buli atau juga bisa disebut karsinoma vesika urinaria (kandung
kemih)
merupakan keganasan kedua setelah karsinoma prostat. Tumor ini dua kali lebih
banyak
mengenai laki-laki daripada wanita. Terdapat kasus yang melaporkan, pernah
mengeluhkan
kencing yang berwarna merah dan bercampur darah.

a. Definisi
Kandung kemih adalah sebuah organ tubuh yang menyerupai sebuah
‘kantung’ dalam pelvis yang menyimpan urin yang diproduksi ginjal. Urin
dialirkan ke kandung kemih melalui saluran yang dikenal sebagai ureter.
Kandung kemih dibagi menjadi beberapa lapisan, yaitu :

a. Epitelium, bagian transisional dari epitel yang menjadi asal datangnya sel
kanker.
b. Lamina propria, lapisan yang terletak di bawah epitelium.
c. Otot detrusor, lapisan otot yang tebal dan dalam terdiri dari lapisan-
lapisan otot halus yang tebal yang membentuk lapisan dinding otot
kantung kemih.
d. Jaringan perivesikal lembut, lapisan terluar yang terdiri dari lemak,
jaringan-jaringan, dan pembuluh darah.

Buli-buli sendiri terdiri dari 3 lapis otot detrusor yang saling beranyaman.
Di bagian dalam adalah otot longitudinal, di tengah otot sirkuler, dan yang
terluar otot. longitudinal. Mukosa buli-buli terdiri atas sel-sel transisional
yang sama seperti pada mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter, dan uretra
posterior. Pada dasar buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum
membentuk suatu segitiga yang disebut trigonum buli-buli. Secara anatomik,
buli-buli terdiri atas 3 permukaan, yaitu permukaan superior yang berbatasan
dengan rongga peritoneum, dua permukaan inferiolateral, dan permukaan
posterior. Permukaan superior merupakan lokus minoris (daerah terlemah)
dinding buli-buliBuli-buli berfungsi menampung urine dari ureter dan
kemudian mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi
(berkemih). Dalam menampung urine, buli-buli mempunyai kapasitas
maksimal, yang volumenya untuk orang dewasa kurang lebih 300-450 ml.
Sedangkan kapasitas buli pada anak menurut Koff adalah: (Umur + 2) x 30
ml. Pada saat kosong, buli-buli terletak di belakang simfisis pubis dan pada
saat penuh berada di atas simfisis sehingga dapat dipalpasi dan diperkusi.
Buli-buli yang terisi penuh memberikan rangsangan pada saraf aferen dan
menyebabkan aktivasi pusat miksi di medula spinalis segmen sakral S2-4. Hal
ini akan menyebabkan kontraksi otot detrusor, terbukanya leher buli-buli, dan
relaksasi sfingter uretra sehingga terjadilah proses miksi.

b. Perjalanan Penyakit

Karsinoma buli merupakan 2% dari seluruh keganasan, dan merupakan


keganasan kedua terbanyak pada sistem urogenitalia setelah karsinoma
prostat. Tumor ini dua kali lebih sering
menyerang pria daripada wanita. Di daerah industri kejadian tumor ini
meningkat tajam. Karsinoma buli-buli yang masih dini merupakan tumor
superfisial. Tumor ini lama kelamaan
dapat mengadakan infiltrasi ke lamina propria, otot, dan lemak perivesika
yang kemudian
menyebar langsung ke jaringan sekitarnya. Di samping itu tumor dapat
menyebar secara limfogen maupun hematogen. Penyebaran limfogen menuju
kelenjar limfe, perivesika, obturator, iliaka eksterna, dan iliaka komunis.
Penyebaran hematogen paling sering ke hepar, paru-paru dan tulang.

c. Etiologi dan faktor resiko


Penyebab-penyebab tumor buli semakin banyak dan rumit, dan beberapa
substansi-substansi dalam industri kimia diyakini bersifat karsinogenik
(Hueper, 1942). Salah satunya adalah sifat karsinogenisitas dari β-
naphthylamine yang telah ditemukan. Substansi ini diyakini terbawa dalam
urine dan menyebabkan asal tumor dalam kaitannya dengan kontak dengan
permukaan mukosa vesika dalam waktu lama. Substansi kimia lainnya yang
diwaspadai bersifat karsinogenik adalah benzidine.

Keganasan buli-buli tejadi karena induksi bahan karsinogen yang banyak


terdapat di sekitar
kita. Beberapa faktor resiko yang mempermudah seseorang menderita
karsinoma buli-buli
adalah:
1. Pekerjaan
Pekerja pabrik kimia, terutama pabrik cat, laboratorium, pabrik korek api,
tekstil, pabrik kulit, dan pekerja salon/ pencukur rambut sering terpapar
oleh bahan karsinogen berupa senyawa amin aromatik (2- naftilamin,
benzidine, dan 4-aminobifamil).
2. Perokok
Resiko untuk mendapat karsinoma buli-buli pada perokok 2-6 kali lebih
besar dibanding dengan bukan perokok. Rokok mengandung bahan
karsinogen amin aromatik dan nitrosamin.
3. Infeksi saluran kemih
Telah diketahui bahwa kuman-kuman E. Coli dan Proteus spp
menghasilkan nitrosamin yang merupakan zat karsinogen.
4. Kopi, pemanis buatan, dan obat-obatan
Kebiasaan mengkonsumsi kopi, pemanis buatan yang mengandung
sakarin dan siklamat, serta pemakaian obat-obatan siklofosfamid yang
diberikan intravesika, fenasetin, opium, dan obat antituberkulosa INH
dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan resiko timbulnya
karsinoma buli-buli.

d. Bentuk tumor
Tumor buli terdapat dalam bentuk papiler, tumor non invasif (in situ),
noduler (infiltratif) atau campuran antara bentuk papiler dan infiltratif.
e. Jenis histopatologi

Sebagian besar (90%) tumor buli-buli adalah karsinoma sel transisional.


Tumor ini bersifat multifokal yaitu dapat terjadi di saluran kemih yang
epitelnya terdiri atas sel transisional yaitu di pielum, ureter, atau uretra
posterior. Sedangkan jenis yang lainnya adalah karsinoma sel squamosa
(10%) dan adenokarsinoma (2%).

a. Karsinoma sel transisional


Sebagian besar dari seluruh tumor buli adalah karsinoma sel
transisional. Tumor ini biasanya berbentuk papiler, lesi eksofitik,
sesile atau ulcerasi. Carsinoma in situ berbentuk datar (non papiler
anaplastik), sel-sel membesar dan nukleus tampak jelas. Dapat terjadi
dekat atau jauh dari lesi oksofitik, dapat juga fokal atau difuse.
Karsinoma urotelial datar adalah tumor yangsangat agresif dan
bertumbuh lebih cepat dari tumor papilari.

b. Karsinoma non sel transisional


· Adenokarsinoma
Terdapat 3 kelompok adenokarsinoma pada buli-buli, di antaranya
adalah:
1. Primer terdapat di buli-buli
Biasanya terdapat di dasar dan di fundus buli-buli. Pada beberapa
aksus sistitis glandularis kronis dan ekstrofia vesika pada perjalanan
lebih lanjut dapat mengalami degenerasi menjadi adenokarsinoma
buli-buli.
2. Urakhus persisten
Adalah sisa duktus urakhus yang mengalami degenerasi maligna
menjadi adenokarsinoma.
3. Tumor sekunder yang berasal dari fokus metastasis dari organ lain,
diantaranya adalah prostat, rektum, ovarium, lambung, mamma, dan
endometrium.

· Karsinoma sel skuamosa


Karsinoma sel skuamosa terjadi karena rangsangan kronis pada buli-
buli sehingga sel
epitelnya mengalami metaplasia berubah menjadi ganas. Rangsangan
kronis itu dapat terjadi karena infeksi saluran kemih kronis, batu buli-
buli, kateter menetap yang dipasang dalam jangka waktu lama,
infestasi cacing schistosomiasis pada buli-buli, dan pemakaian obat
siklofosfamid secara intravesika.

· Karsinoma yang tidak berdiferensiasi


Merupakan tipe tumor yang jarang (kurang dari 2 % dari seluruh tipe
tumor buli). Tumor ini tidak memiliki karakteristik tertentu yang
membedakannya dari tumor lain, dan kata
undifferentiated merujuk kepada sifat alamiah sel-sel tersebut yang
bersifat anaplastik. Dalamkarsinoma yang tidak terdiferensiasi, sel-
selnya belum matang sehingga diferensiasi ke arah pola yang jelas
seperti papilari, epidermoid atau adenokarsinoma tidak terjadi.

· Karsinoma campuran
Terdapat 4-6 % dari seluruh tipe tumor. Merupakan kombinasi antara
bentuk transisional, glandular, skuamosa, dan tidak berdiferensiasi.
Yang tersering adalah campuran bentuk transisional dan skuamosa.

c. Karsinoma epitelian dan non epithelial


Karsinoma epiteliai di buli ditemukan dengan adenoma villi, tumor
karsinoid, karsinosarkoma, dan melanoma. Karsinoma non epitelial
ditemukan bersama dengan feokromositoma, limfoma,
koriokarsinoma, dan tumor mesenkim

f. Stadium / Derajat invasi tumor

Penentuan derajat invasi tumor berdasarkan sistem TNM dan stadium


menurut Marshall.

TNM Marshall Uraian


Tis 0 Karsinoma in situ
Ta 0 Tumor papilari invasif
T1 A Invasi submukosa
T2 B1 Invasi otot superfisial
T3a B2 Invasi otot profunda
T3b C Invasi jaringan lemak
prevesika
T4 D1 Invasi ke organ sekitar
N1-3 D1 Metastasis ke limfonudi
regional
M1 D2 Metastasis hematogen

Pembagian Grade berdasarkan derajat diferensiasi sel tumor :

1. Tumor berbentuk papiler, masih berdiferensiasi baik, ukuran relatif kecil


dengan dasar yang sempit. Tumor hanya menyebar di jaringan di bawah
lamina propria, tidak ke dalam dinding otot kantung kemih atau lebih. Tidak
ada kelenjar limfe yang terlibat. Dapat diatasi dengan cara transuretral, namun
sudah radio-resistant.

2. Tumor berbentuk papiler, dengan diferensiasi yang kurang baik, cenderung


menginvasi lamina propria atau otot detrusor. Ukuran tumor lebih besar dari
Grade 1, dan berhubungan lebih luas dengan dinding vesika. Sering dapat
diatasi dengan reseksi transuretral. Kurang berespon dengan radio terapi.

3. Tumor cenderung berbentuk noduler dan invasif, menyebar sampai ke


dalam muscularis propria, yang melibatkan jaringan-jaringan lunak di sekitar
kantung kemih, prostat, uterus, atau vagina. Masih belum ada organ limfe
yang terpengaruh hingga tahap ini. Transuretral dan sistektomi tidak terlalu
berpengaruh, namun masih sensitif terhadap radio terapi.

4. Tumor telah menyerang pelvis atau dinding abdominal, atau telah


menyerang hingga jaringan limfe. Transuretral dan sistektomi tidak terlalu
berpengaruh, namun masih sensitif terhadap radio terapi.

Pembagian Stage berdasarkan derajat invasi tumor :

· Stage 0 : menunjukkan tumor papilar, namun belum menginvasi lamina


propria

· Stage A : tumor sudah menginvasi lamina propria, namun belum menembus


otot dinding vesika.

· Stage B1 : neoplasma sudah menyebar superficial sampai setengah dari otot


detrusor.

· Stage B2 : tumor ditemukan jauh di dalam lapisan otot.


· Stage C : tumor menyebar sampai lapisan lemak perivesikal atau ke
peritoneum.

· Stage D : tumor sudah bermetastasis.

g. Palpasi bimanual
Palpasi bimanual dikerjakan dengan narkose umum pada saat sebelum dan
sesudah reseksi tumor TUR buli-buli. Jari telunjuk kanan melakukan colok
dubur atau colok vagina, sedangkan tangan kiri melakukan palpasi buli di
daerah suprasimfisis untuk memperkirakan luas infiltrasi tumor.

h. Gejala klinis
Gejala pada kanker buli-buli tidaklah spesifik. Banyak penyakit-penyakit lain,
yang termasuk
kondisi inflamasi, melibatkan ginjal dan kandung kemih, menunjukkan gejala
yang sama. Gejala pertama yang paling umum adalah adanya darah dalam
urin (hematuria). Hematuria dapat terlihat dengan mata telanjang, ataupun
berada dalam level mikroskopik. Gejala seperti adanya iritasi pada urinasi
juga dapat dihubungkan dengan kanker kantung kemih, seperti rasa sakit dan
terbakar ketika urinasi, rasa tidak tuntas ketika selesai urinasi, sering urinasi
dalam jangka waktu yang pendek. Iritabilitas vesikal dengan atau tanpa sakit
biasanya menandakan adanya infiltrasi, walaupun tidak dalam semua
kasus.Waspadai bila pasien datang dengan mengeluh hematuria yang bersifat:
1. Tanpa disertai rasa nyeri (painless).
2. Kambuhan (intermitten).
3. Terjadi pada seluruh proses miksi (hematuria total).

Seringkali karsinoma buli-buli tanpa disertai gejala disuri, tetapi pada


karsinoma in situ atau karsinoma yang sudah mengadakan infiltrasi luas tidak
jarang menunjukkan gejala iritasi bulu-buli.Hematuria dapat menimbulkan
retensi bekuan darah sehingga pasien datang meminta
pertolongan karena tidak dapat miksi. Keluhan akibat penyakit yangtelah
lanjut berupa gejala obstruksi saluran kemih bagian atas atau edematungkai.
Edema tungkai ini disebabkan karena adanya penekanan aliran limfe oleh
massa tumor atau oleh kelenjar limfe yang membesar di daerah pelvis.terdapat
nyeri pinggang jika tumor menyumbat saluran kemih sehingga terjadi
hidronefrosis.

i. Diagnosis
Walaupun hematuria dan iritabilitas vesikal merupakan gejala yang paling
sering dan menonjol dalam tumor epithelial, kedua gejala tersebut juga
seringkali terjadi sebagai bentuk dari kondisi-kondisi lain yang melibatkan
organ urogenital lain. Dalam tubuh orang dewasa, terutama yang berumur di
atas 40 tahun, harus diwaspadai secara serius akan kemungkinan adanya
kanker kandung kemih, terutama bila dalam urin tidak ditemukan adanya basil
tuberkulus.Pada pemeriksaan fisik terhadap penderita kanker buli biasanya
jarang ditemui adanya kelainan karena tumor tersebut merupakan tumor epitel
transisional kandung kemih yang letaknya superfisial dari buli-buli.Tumor
tersebut baru dapat diraba bila tumor tersebut sudah tumbuh keluar dari
dinding buli-buli. Mengingat pada kanker ini mudah terjadi metastasis ke
kelenjar limfe regional, hati dan paru-paru.

Ada beberapa alat diagnosa yang dapat digunakan untuk melakukan diagnose
terhadap kanker kantung kemih. Namun sebuah diagnosa difinitif hanya
dapatdilakukan setelah memeriksa jaringan kantung kemih yang dilakukan
oleh seorang patologis.

Beberapa pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk membantu


mendiagnosis kanker buli:

1. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan yang ditemukan biasanya hanya ditemukan dalam darah dan
urin. Gejala anemia dapat dijumpai bila ada perdarahan dari tumor yang
sudah lanjut. Dapat juga ditemukan gejala ganggunan fungsi ginjal berupa
peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam darah yang terjadi bila
tumor tersebut menyumbat kedua muara ureter. Selain pemeriksaan
laboratorium rutin, diperiksa pula:
· Sitologi urin, yaitu pemeriksaan sel-sel urotelium yang terlepas bersama
urin.
· Antigen permukaan sel dan flow cytometri, yaitu mendeteksi adanya
kelainan kromosom sel-sel urotelium.
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Foto Polos Abdomen dan Pielografi Intra Vena (PIV)
digunakan sebagai pemeriksaan baku pada penderita yang diduga
memiliki keganasan saluran kemih termasuk juga keganasan buli-buli.
Pada pemeriksaan ini selain melihat adanya filling defek pada buli-buli
juga mendeteksi adanya tumor sel transisional yang berada di ureter atau
pielum, dan dapat mengevaluasi ada tidaknya gangguan pada ginjal dan
saluran kemih yang disebabkan oleh tumor buli-buli tersebut.
Didapatkannya hidroureter atau hidronefrosis merupakan salah satu tanda
adanya infiltrasi tumor ke ureter atau muara ureter. Jika penderita alergi
terhadap zat yang digunakan pada pemeriksaan PIV, maka dapat
dilakukan pemeriksaan USG. Foto toraks juga perlu dilakukan untuk
melihat bila ada metastasis ke paru-paru.
3. Sistoskopi dan biopsy
Sistoskopi dilakukan oleh urologis, mengevaluasi kantung kemih dengan
pemeriksaan visual langsung dengan menggunakan sebuah alat khusus
yaitu cytoscope. Identifikasi dari sebuah tumor biasa dilakukan dengan
cytoscopy. Banyak tumor yang muncul dari bagian yang lebih tergantung
dari kantung kemih, seperti basal, trigonum, dan daerah di sekitar
orifisium vesika.
Namun mereka juga dapat muncul dimana saja. Pemeriksaan sistoskopi
(teropong buli-buli) dan biopsi mutlak dilakukan pada penderita dengan
persangkaan tumor buli-buli, terutama jika penderita berumur 40-45
tahun. Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat ada atau tidaknya tumor di
buli-buli sekaligus dapat dilakukan biopsi untuk menentukan derajat
infiltrasi tumor yang menentukan terapi selanjutnya. Selain itu
pemeriksaan ini dapat juga digunakan sebagai tindakan pengobatan pada
tumor superficial (permukaan).
4. CT scan atau MRI
Berguna untuk menentukan ekstensi tumor ke organ sekitarnya. CT
scanning merupakan x-ray detail dari tubuh, yang menunjukkan
persimpangan-persimpangan dari organ-organ yang mana tidak
ditunjukkan oleh sinar x-ray konvensional. MRI lebih sensitif dari CT
Scan, yang memberikan keuntungan dapat mendeteksi kelenjar limfe yang
membesar didekat tumor yang menunjukkan bahwa kanker telah
menyebar ke kelenjar limfe.

j. Diagnosis Banding
· Tumor ginjal atau tumor ureter
· Endometriosis
· Benign Prostatic Hipertrofi
· Batu ginjal, ureter, buli
· Tuberculosis traktus urinarius
· Tumor cervix

k. Komplikasi
Dapat terjadi infeksi sekunder kandung kemih yang parah bila terdapat
ulserasi tumor. Pada obstruksi ureter, jarang terjadi infeksi ginjal. Bila tumor
menginvasi leher buli, maka dapat terjadi retensi urin. Cystitis, yang mana
sering kali berada dalam tingkat yang harus diwaspadai, merupakan hasil dari
nekrosis dan ulserasi dari permukaan tumor. Ulserasi ini terkadang dapat
dilihat dalam kasus tumor-tumor yang tidak menembus, dari beberapa
gangguan dengan aliran darah, tetapi muncul dalam 30 persen kasus dimana
tumor menembus. Kantung kemih yang terkontraksi dengan kapasitas yang
sangat kecil dapat mengikuti ulserasi dengan infeksi dan infiltrasi ekstensif
dalam dinding kantung kemih.Kembalinya tumor dalam kantung kemih dapat
menunjukkan tipe lain dari komplikasi. Jika pertumbuhan tumor kembali
terjadi di area yang sama, kemungkinan hal tersebut adalah hasil dari
perawatan yang kurang profesional dan kurang layak pada tumor asalnya.
Namun tumor, yang muncul di tempat lain di dalam kandung kemih harus
berasal dari asal yang berbeda.
Kematian tidak jarang terjadi dikarenakan oleh komplikasi yang timbul karena
disebabkan oleh tumor itu sendiri atau perawatan atas tumor tersebut.
Hidroneprosis dan urosepsis, dengan gagal renal, toxemia, cachexia, dan
kelelahan fisik dari iritabilitas vesikal, sering kali menjadi suatu gambaran
yang harus diperhatikan. Hidronefrosis dapat disebabkan oleh oklusi ureter.
Bila terjadi bilateral, terjadilah uremia.

l. Terapi
Tindakan yang pertama kali dilakukan pada pasien karsinoma buli-buli adalah
reseksi buli-buli transuretra atau TUR buli-buli. Pada tindakan ini dapat
ditentukan luas infiltrasi tumor. Terapi selanjutnya tergantung pada
stadiumnya, antara lain:
1. Tidak perlu terapi lanjutan akan tetapi selalu mendapat pengawasan yang
ketat atau wait
and see.
2. Instilasi intravesika dengan obat-obat Mitosimin C, BCG, 5-Fluoro Uracil,
Siklofosfamid, Doksorubisin, atau dengan Interferon Dilakukan dengan
cara memasukkan zat kemoterapeutik ke dalam bulimelalui kateter. Cara
ini mengurangi morbidatas pada pemberian secara sistemik. Terapi ini
dapat sebagai profilaksis dan terapi, mengurangi terjadinya rekurensi pada
pasien yang sudah dilakukan reseksi total dan terapi pada pasien dengan
tumor buli superfisial yang mana transuretral reseksi tidak dapat
dilakukan. Zat ini diberikan tiap minggu selama 6-8 minggu, lalu
dilakukan maintenan terapi sebulan atau dua bulan sekali. Walaupun
toksisitas lokal sering terjadi, toksisitas sistemik jarang terjadi karena ada
pembatasan absorbsi di lumen buli. Pada pasien gross hematuri sebaiknya
menghindari cara ini karena dapat menyebabkan komplikasi sistemik
berat. Efisiensi obat dapat dicapai dengan membatasi intake cairan
sebelum terapi, pasien dianjurkan berbaring dengan sisi berbeda, tidak
berkemih 1-2 jam setelah terapi.
3. Sistektomi parsial, radikal atau total
Sisteksomi parsial dilakukan pada tumor infiltratif, soliter yang berlokasi
di sepanjang dinding posterolateral atau puncak buli. Pada sistektomi
radikal dilakukan pengangkatan seluruh buli dan jaringan atau organ
disekitarnya. Pada pria, dilakukan pengangkatan buli, jaringan lemak
sekitarnya, prostat dan vesika seminalis. Pada wanita dilakukan
pengangkatan buli, ceviks, uterus, vagina anterior atas,
ovarium.Sistektomi radikal adalah pengangkatan buli-buli dan jaringan
sekitarnya (pada pria berupa sistoprostatektomi) dan selanjutnya aliran
urin dari kateter dialirkan melalui beberapa cara diversi urine, antaralain:
a. Ureterosigmoidostomi
Yaitu membuat anastomosis kedua ureter ke dalam sigmoid. Cara ini
sekarang tidak banyak dipakai lagi karena banyak menimbulkan
penyulit.
b. Konduit usus
Yaitu mengganti buli-buli dengan ileum sebagai penampung urin,
sedangkan untuk mengeluarkan urin dipasang kateter menetap melalui
sebuah stoma. Saat ini tidak banyak dikerjakan lagi karena tidak
praktis.
c. Diversi urin kontinen
Yaitu mengganti buli-buli dengan segmen ileum dengan membuat
stoma yang kontinen (dapat menahan urin pada volume tertentu). Urin
kemudian dikeluarkan melalui stoma dengan kateterisasi mandiri
secara berkala. Cara diversi urin ini yang terkenal adalah cara Kock
pouch dan Indiana pouch.
d. Diversi urin Orthotopic
Adalah membuat neobladder dari segmen usus yang kemudian
dilakukan anastomosis dengan uretra. Teknik ini dirasa lebih fisiologis
untuk pasien, karena berkemih melalui uretra dan tidak memakai
stoma yang dipasang di abdomen.
4. Radiasi eksterna
Radiasi eksterna diberikan selama 5-8 minggu. Merupakan alternative
selain sistektomi radikal pada tumor ilfiltratif yang dalam. Rekurensi
lokal sering terjadi.

5. Terapi ajuvan dengan kemoterapi sistemik antara lain regimen


sisplatinum- Siklofosfamid dan Adriamisin

Stadium Tindakan
Superficial TUR buli/ Fulgurasi
(stadium 0-A) Instilasi intravesika
Invasive TUR buli
(Stadium B-C-D1) Sistektomi/ radiasi
Metastasis Ajuvantivus kemoterapi
(stadium D2) Radiasi paliatif

Pada pasienn tumor buli kadang ditemukan metastase regional atau metastase
jauh. Dan sekitar 30-40% pasien denagn tumor invasif akan bermetastase jauh
meskipun sudah dilakukan sistektomi radikal dan radioterapi.Pemberian
single kemoterapi agent atau kombinasi menunjukkan respon yang baik pada
pasien tumor buli metastase. Respon meningkat pada pemberian- kombinasi:
methotrexate,8vinblastin, cisplastin, doxorubicin, siklofosfamid.

m. Kontrol berkala
Semua pasien karsinome buli harus mendapatkan pemeriksaan secara berkala,
dan secara rutin dilakukan pemeriksaan klinis, sitologi urin serta sistoskopi.
Jadwal pemeriksaan berkala itu pada:
1. Tahun pertama dilakukan setiap 3 bulan sekali.
2. Tahun kedua setiap 4 bulan sekali.
3. Tahun ketiga dan seterusnya: setiap 6 bulan.

n. Prognosis
Tumor superfisial yang berdiferensiasi baik dapat timbul kembali, atau
muncul papiloma baru. Dengan kewaspadaan konstan, sistoskopi berkala
diperlukan minimal 3 tahun. Tumor baru juga dapat dikontrol dengan cara
transuretral, tapi bila muncul kembali, kemungkinan akan menjadi lebih
invasif dan ganas. Sistektomi dan radio terapi harus dipertimbangkan
kemudian.Secara umum, prognosis tumor buli bergantung pada derajat invasi
dan diferensiasi. Pada tumor Grade 1,2, Stage 0, A, B1 hasil terbaik
didapatkan dengan reseksi transuretral. Sistektomi dapat untuk mengatasi 15-
25% tumor Grade 3,4, Stage B2, C dengan persentasi kematian saat operasi
sebesar 5-15%. Radioterapi pada neoplasma ganas dapat mengontrol 15-20%
neoplasma selama 5 tahun.

Tumor papilari yang tidak menembus hanya berada pada kantung kemih.
Mereka memiliki
karakteristik untuk tidak bermetastasis kecuali mereka melewati proses
perubahan ganas, menembus lapisan membran dasar dan menembus dinding
kantung kemih. Tumor jenis ini dapat selalu dihancurkan dengan sempurna
dengan fulgurasi, radium ataupun elektroeksisi. Beberapa mungkin
menghilang setelah terapi rontgen dalam atau proses instilasi atas podofilin.
Adalah sangat penting untuk memeriksa pasien dalam interval reguler.
Sehingga adanya tumor yang kembali datang dapat dikenali lebih awal dan
dapat diobati sebagaimanaseharusnya. Jika pemeriksaan ini dilakukan dalam
interval tiap enam hingga delapan bulan pada awalnya, dan perlahan-lahan
waktu interval yang dibutuhkan semakin panjang, maka prognosisnya dapat
dikatakan sukses.Tumor kantung kemih yang menembus jauh lebih serius dan
cepat atau lambat akan bermetastasi. Beberapa pembelajaran otopsi
menunjukkan bahwa kejadian metastasis dan
ekstensi ekstra vesikel secara langsung adalah proporsional dengan tingkat
kedalaman sejauh apa tumor tersebut telah menembus dinding kantung kemih.
Metode apapun dari perawatan yang mana mampu untuk secara sempurna
melenyapkan tumor utama yang superfisial dan menembus akan dapat
memberikan tingkat bertahan hidup 5 tahun yang baik. Dalam kasus dari
prosedur konservatif, bukti atas sebuah efisiensi sama dengan yang dicapai
dari reseksi segmental atau sistektomi jelas akan tergantung kepada segregasi
pra-operasi dari tumor yang superfisial yang mana terletak cukup
dalam.Tumor yang telah menyebar ke lebih dari setengah jalan melewati
muskularis biasanya tidak lagi terlokasi ke kantung kemih. Kemungkinan
bertahan hidup 5 tahun dari kasus-kasus seperti ini setelah sistektomi
sederhana hanya 10 persen. Ketika tumor menembus hingga sangat dalam,
muncul kemungkinan kematian yang lebih tinggi setelah kegagalan untuk
membuang semua tumor tersebut dengan sistektomi. Elektrosisi transurethral
dan elektrokoagulasi diketahui memberikan kenyamanan untuk berbulan-
bulan dan bahkan bertahun-tahun. Terkadang radiasi eksternal dengan kontrol
dari hemorrhage dan transplantasi uretral ke dalam kulit akan mengurangi
iritabilitas vesikal. Lebih jauh lagi, pemecahan dari arus urinase dalam kasus
tertentu dapat diikuti oleh penurunan dari masa total dari tumor.Secara umum,
pandangan-pandangan sebagian besar bergantung pada apakah tumor tersebut
terlokasi di kantung kemih saja atau telah menyebar ke daerah di luar nya.
Tumor yang terlokalisasi biasanya telah menginfiltrasi kurang dari setengah
jalan menembus muskularis. Sebuah prognosis yang bagus dapat diharapkan
tercapai hanya setelah pemusnahan menyeluruh dari lokalisasi tumor sejenis
dan kontrol atas kemungkinan datang kembalinya tumor yang teridentifikasi
lewat pemeriksaam sistoskopik secara reguler sepanjang sisa hidup pasien.
iritabilitas vesikal, sering kali menjadi suatu gambaran yang harus
diperhatikan. Hidronefrosis dapat disebabkan oleh oklusi ureter. Bila terjadi
bilateral, terjadilah uremia.

E. Infeksi Saluran Kemih (ISK)


a. Definisi

ISK Merupakan istilah umum yang menujukkan keberadaan mikroorganisme dalam


urin. Adanya bakteri dalam urin disebut bakteriuria. Bakteriuria bermakna menunjukkan
pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari 105 colony forming units (CFU) pada
biakan urin. Bakteriuria bermakna tanpa disertai manifestasi klinis ISK disebut
bakteriuria asimptomatik. Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai manifestasi klinis
disebut bakteriuria simptomatik. Infeksi saluran kemih dibagi berdasarkan lokasinya
yaitu saluran kemih atas dan bawah.
b. Epidemiologi :
Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung
menderita ISK dibandingkan laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan,
kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus).

c. Etiologi :
Umumnya ISK disebabkan oleh mikroorganisme tunggal seperti :
1. Escherichia coli merupakan mikroorganisme yang paling sering diisolasi dari pasien
ISK
2. Mikroorganisme lain yang sering ditemukan adalah Proteus sp, klebsiella sp dan
stafilokokus dengan koagulase negatif.
3. Infeksi yang disebabkan oleh pseudomonas jarang ditemukan kecuali pasca katerisasi.

d. Patogenesis patogen urin pada ISK :


Patogenesis bakteriuria asimptomatik menjadi simptomatik dengan presentasi klinis
tergantung patogenesis bakteri dan status kesehatan pasien sendiri (host).
 Peranan patogenesis bakteri. Meliputi peranan perlekatan bakteri pada mukosa dan
peranan faktor virulensi lainnya seperti toksin Escherichia coli dan fimbriae.
 Peranan bakterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae
merupakan salah satu pelengkap patogenisitas yang mempunyai kemampuan untuk
melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P fimbria akan
terikat pada P blood group antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas
dan bawah. Fimbriae dari strain E. coli ini dapat diisolasi hanya dari urin segar.
 Peranan faktor virulensi lainnya. Kemampuan untuk melekat (adhesion)
mikroorganisme atau bakteri tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun non-
fimbriae. Pada saat ini dikenal beberapa adhesion seperti fimbriae (tipe 1, P, dan S),
non fimbrial adhesion (DR haemaglutinin atau DFA component of DR blood group),
fimbrial adhesion (AFA-1 dan AFA-III), M-adhesions, G-adhesions dan curli
adhesions.
Sifat patogenisitas lain dari E. coli berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa
toksin seperti α-haemolisin, CNF-1, dan iron uptake system (aerobactin dan
enterobactin) . Hampir 95% α-haemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan
dengan pathogenicity islands (PAIS) dan hanya 5% terikat pada gen plasmid.
Resistensi uropatogenik E. coli terhadap serum manusia dengan perantara beberapa
faktor terutama aktivasi sistem komplemen termasuk membrane attack complex
(MAC). Menurut beberapa peneliti uropatogenik mikroorganisme (MO) ditandai
dengan ekspresi faktor virulensi ganda. Beberapa sifat uropatogen MO : seperti
resistensi serum, sekuestrasi besi, pembentukan hidroksat dan antigen K yang
muncul mendahului manifestasi klinis ISK. Gen virulensi dikendalikan faktor luar
seperti suhu, ion besi, osmolaritas, pH, dan tekanan oksigen.
 Faktor virulensi variasi fase. Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk
mengalami perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase
MO ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi diantara individu
dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalam
kandung kemih dan ginjal.
 Peranan status kesehatan pasien. Meliputi faktor presdiposisi dan status imunologi
dari pasien.
Peranan Faktor Tuan Rumah (Host).
 Faktor predisposisi pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung
hipotesis peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus ISK.
Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan penting
untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bakteri sering mengalami
kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kemih.
Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat
menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka terhadap infeksi.

e. Patofisiologi ISK :
Pada individu normal, laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena
dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat kolonisasi
mikroorganisme non-pathogenic fastidious gram-positive dan gram negatif 2. Hampir
semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam saluran
kemih yang lebih distal, misalnya kandung kemih28. Pada beberapa pasien tertentu
invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks
vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di
klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi
sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat S. Aureus.

f. Manifestasi klinis ISK :


Pielonefritis akut (PNA) antara lain demam (39,5-40,5)0C, disertai gejala menggigil,
sakit pinggang. Manifestasi ini sering didahului gejala-gejala ISK bawah (sistitis); ISK
bawah (sistitis) antara lain sakit suprapubik, polaksiuria, nokturia, disuria, stranguria.
Sedangkan pada sindrom uretra akut (SUA), manifestasinya sulit dibedakan dengan
sistitis. Sering ditemukan pada perempuan usia 20-50 tahun.

g. Pemeriksaan penunjang dan diagnosis ISK :


Analisis urin rutin pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin serta
jumlah bakteri/ml urin merupakan protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK.
Pemeriksaan lainnya seperti renal imaging. Namun pemeriksaan ini tidak boleh rutin dan
harus berdasarkan indikasi klinis yang kuat seperti ultrasonography (USG), radiografi
(foto polos perut, pielografi IV, sistogram miksi) dan isotop scanning.

h. Tatalaksana
 ISK bawah :
Prinsip manajemen meliputi intake cairan yang banyak, antibiotika yang adekuat dan
terapi simptomatik antara lain dengan antibiotika tunggal seperti ampisilin 300 mg,
trimetropim 200 mg. Bila infeksi menetap disertai memperlihatkan kelainan urinalisis
diperlukan terapi konvensional selama 5-10 hari. Pada SUA dengan jumlah bakteri 103-
105 diperlukan antibiotika yang adekuat. Untuk yang anaerob diberikan antimikroba
yang sesuai seperti quinolon.
 ISK atas :
Pielonefritis akut. Pada umumnya pasien memerlukan rawat inap untuk menjaga status
hidrasi dan untuk terapi antibiotika parenteral paling sedikit selama 48 jam.
The infection disease society of America menganjurkan satu dari tiga alternatif terapi
antibiotika IV sebagai terapi awal 72 jam sebelum diketahui mikroorganismenya sebagai
penyebabnya seperti flourokuinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin dan
sefalosforin spektrum luas.

F. GNAPS (Granuloma Nefritis Akut Pasca Streptococcus)


a. Definisi
GNAPS adalah suatu bentuk peradangan glomerulus yang secara
histopatologi menunjukkan proliferasi & inflamasi glomeruli yang didahului
oleh infeksi group A β-hemolytic streptococci (GABHS) dan ditdandai
dengan gejala nefritik.

b. Prevalensi
GNAPS dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun tersring pada
golongan umur 5-15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi. Referensi lain
menyebutkan pada anak usia 6-10 tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada laki-
laki dan perempuan, namun laki-laki dua kali lebih sering dari pada
perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Diduga
ada faktor resiko yang berhubungan dengan umur dan jenis kelamin. Suku
atau ras tidak berhubungan dengan prevalensi penyait ini, tapi kemungkinan
prevalensi meningkat pada orang yang sosial ekonominya rendah, sehingga
lingkungan tinggalnya tidak sehat.

c. Etiologi
Timbulnya GNA didahului infeksi eksternal, terutama di saluran napas
atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta haemolyticus golongan A tipe
12, 4, 16, 25, dan 49. Antara infeksi bakteri dan timbulnya GNA terdapat
masa laten selama 10 hari. GNA juga dapat disebabkan oleh sifilis, keracunan
(timah hitam, tridion), amiloidosis, trombosis vena renalis, penyakit kolagen.

d. Patofisiologi
Pada GNAPS terjadi reaksi radang pada glomerulusyang
menyebabkanfiltrasi glomerulus berkurang, sedangkan aliran darah ke ginjal
biasanya normal. Hal tersebut akan menyebabkan filtrasi fraksi berkurang
sampai dibawah 1%. Keadaan ini akan menyebabkan reabsorbsi di tubulus
proksimal berkurang yang akan mengakibatkan tubulus distalis meningkatkan
proses reabsorbsinya, termasuk NA, sehingga akan menyebabkan retensi Na
dan air.
Penelitian-penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa retensi Na dan
air didukung oleh keadaan berikut ini:
1. Faktor-faktor endothelial dan mesangial yang dilepaskan oleh proses radang
di glomerulus.
2. Overexpression dari epithelial sodium channel.
3. Sel-sel radang interstitial yang meningkatkan aktivitas angiotensin intrarenal.
Faktor-faktor inilah yang seccara keseluruhan menyebabkan retensi Na
dan air, sehingga dapat menyebabkan edema dan hipertensi.
Efek proteinuria yang terjadi pada GNAPS tidak sampai menyebabkan
edema lebih berat, karena hormon-hormon yang mengatur ekspansi cairan
ekstraseluler seperti renin angiotensin, aldosteron dan ati deuretik hormon
((ADH) tidak meingkat. Edema yang berat dapat terjadi pada GNAPS bila
ketiga hormon tersebut meningkat.

e. Manifestasi klinis
Hematuria, oliguria, edema ringan terbatas disekitar mata atau seluruh
tubuh, dan hipertensi. Dapat timbul gejala gastrointestinal seperti muntah,
tidak nafsu makan, konstipasi, dan diare. Bila terdapat ensefalopati hipertensif
dapat timbul sakit kepala., kejang, dan kesadaran menurun.

f. Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi
pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebgaai berikut:
Gejala-gejala klinik:
1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai Full blown
case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oligouria yang
merupakan gejala-gejala khas GNAPS.
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan pemeriksaan lain berupa
adanya torak eritrosit, hematuria, dan proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus β
hemolitikus grup A.
Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan atas kelainan sedimen
urin (hematuria mikroskopik), proteinuria dan adanya epidemi/kontak dengan
penderita GNAPS.

g. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan laju endap darah meninggi,
kadar hemoglobin menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan
air). Pada pemeriksaan urin jumlah urin berkurang, berat jenis meninggi,
hematuria makroskopik dan ditemukan albumin (+), eritrosit (++), leukosit
(+), silinder leukosit, eritrosit, dan hialin. Ureum dan kreatinin darah
meningkat.

h. Komplikasi
1. Gagal ginjal akut.
2. Ensefalopati Hipertensi (HF).
3. Gagal jantung, edema paru, dan retinopati hipertensif.

i. Penatalaksanaan
a. Istirahat selama 1-2 minggu.
b. Berikan penisilin pada fase akut.
c. Makanan. Pada fase akut berikan makanan rendah protein (1g/kgBB/hari) dan
rendah garam (1 g/hari).
d. Obati hipertensi.
e. Bila anuria berlangsung lama (5-7 hari) maka ureum harus dikeluarkan dari
dalam darah dengan beberapa cara misalnya dialisis peritoneum dan
hemodialisis.
f. Diuretik furosemid intravena (1 mg/kgBB/kali) dalam 5-10 menit tidak
berakibat buruk pada hemodinamika ginjal dan filtrasi glomerulus.
g. Bila timbul gagal jantung, berikan digitalis, sedativum, dan oksigen.

j. Prognosis
Diperkirakan 95% pasien akan sembuh sempurna, 2% meninggal
selama fase akut, dan 2% menjadi glomerulonefritis kronik.
15. Bagaimana pencegahan pada skenario ?
Jawab :
Mengatur asupan gizi yang baik agar mencegah kekurangan darah (Anemia),
yang bisa memicu terjadinya kerusakan pada pembuluh darah pada ginjal. Selain
itu, menghindari merokok dan meminum alcohol. Serta menjalani pola hidup
yang sehat dengan olahraga teratur.
DAFTAR PUSTAKA

1. B. Purnomo,basuki. 2014. Dasar-Dasar Urologi Ed.3.Jakarta : Sagung Seto.


2. Sherwood, Lauralee.Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta :
EGC. 2011.
3. Hidayat, A.Aziz, dkk. 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika
4. Freaks, Eni. 2009. Fungsi Ginjal dan Proses Pembentukan Urine.
www.eni.web.ugm.ac.id
5. Sudoyo, Aru W; Setyohadi, Bambang;dkk. Buk Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi V Jilid II. Jakarta : Interna Publishing. 2009.
6. Purnomo,BB.Dasar-Dasar Urologi Edisi kedua. Sagung seto.jakarta 2003
7. Sjamsuhidayat,R dan win de jong. Buku ajar ilmu bedah. EGC. Jakarta 2005
8. Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta.
2009
9. Coad,jane. 2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Bidan. Buku kedokteran
EGC. Jakarta.
10. Sloane, Ethel. 2003. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Pemula. EGC Penerbit
Buku Kedokteran.Jakarta.
11. Uliyah, Musrifatul, 2008. Keterampilan Dasar Praktek Klinik. Salemba
Medika. Jakarta.
12. Wirawan,R. 2010. http://www.smallcrab.com/kesehatan/795-penilaian-hasil-
pemeriksaan-urine. Jakarta. Diakses tanggal 15 juli 2011
13. Sukandar, Enday, editor. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung : Bagian Ilmu
Penyakit Dalam FK UNPAD; 2006.
14. Price, Sylvia A. and Lorraine M. Wilson, editor; AlihBahasa, dr. Brahm U.
Pendit, dkk. Patofisiologi Volume II. Edisi 6. Jakarta : EGC; 2005
15. Ilmu penyakit dalam edisi 3 jilid 2.
16. Djuanda A, Hamza M, Aisyah S: Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi 5
jakarta: balai penerbit FK UI, 2007
17. Freddberg IM, Elsen AZ, wolff K, et al: Fitzpetrick’s Dermatology general
medicine, edisi 6. New York : McGraw-Hill,2003.
18. Sudoyo WA, Setyiohado B, Idrus A, Simadibrata M, Setiati S, dkk. Ilmu
Penyakit Dalam edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
19. Alam, Samsir. Gagal Ginjal. Jakarta: Gramedia; 2007 Ilmu Penyakit Dalam
Jilid 2
20. Price, Sylvia A. dan Lorrane M. Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
21. Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi
11. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
22. Mansjoer Arif. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Media
Aaesculapius FKUI. 2000
23. Rauf S, Albah H, Aras Jusli. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokokus. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012.
24. Purnomo Basuki. 2008. Dasar-Dasar Urologi Edisi Kedua. Sagung Seto.
Jakarta
25. Ganiswara, S., et al. 1995. Farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta : bagian
farmakologi fakultas kedokteran UI.
26. Ajar ilmu penyakit dalam , jilid 2 , edisi v
27.

Anda mungkin juga menyukai