Anda di halaman 1dari 5

IDENTITAS BUDAYA DALAM KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Tempat wisata memang tak pernah membedakan suku, agama, dan bangsa. Suasana
marak, juga gaduh dan bising seperti itu memang tak bisa ditemui setiap hari di keleteng
kecuali ada acara festival Sam Poo Kong. Acara festifal itu sendiri digelar oleh Indonesia
marketing Association (IMA) Jateng yang bertujuan hemndak mengangkat kelenteng itu
sebagai aset wisata Semarang dan Jateng. Tidak berlebihan kalau dikatakan,tema yang cocok
untuk menyebut pristiwa itu, “Kerukunan dan Kedamain dalam Bingkai Kemajemukan.”
Baik kemajemukan secara etnis, budaya, golongan, maupun agama seperti tercermin dalam
napas kehidupan kelenteng terbesar di Asia Tenggara itu. Ratusan orang mulai dari warga
keturunan Tionghoa, penduduk asli, dan turis bule, berbaur menyaksikan satu pertunjukan
liong samsi barongsai di pelataran kelenteng. Sebelumnya, mereka terkagum-kagum
menikmati Gambang Semarang pimpinan Jayadi dari Jagalan Semarang, di tempat yang
sama.
Berdasarkan hasil persentasi para finalis yang memperagakan cara memasarkan
kelenteng itu, secara garis besar kelima finalis agaknya memiliki pandangan serupa.
Kelenteng Sam Poo Kong merupakan akultarasi dari budaya Cina, Jawa, Budha dan islam.
Kelenteng pada akhirnya juga merupakan asimilasi antar etnis dan agama. Satu contoh,
pengunjung warga keturunan akan sembahyang di makam Kiai Jangkar. Sebaliknya orang
Jawa akan berdoa secara islam. Warna islam memang takbisa ditinggalkan. Bahkan, di lokasi
itu terdapat sebuah goa dan tempat laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming menyebarkan
agama islam. Konon di goa itu, dia mengobati seorang anak buahnya yang sakit (​Suara
Merdeka, Semarang-Senin, 2 juli 2001).
A. Pengertian Identitas Budaya
Saya dan juga Anda, jika mendengar klenteng maka asosiasi kita akan dihubungkan
dengan orang Tionghoa. Kita katakan kelenteng merupakan identitas orang Tionghoa, sama
seperti ‘pura’ identitas orang Hindu,’gereja’ identitas orang Kristen, dan ‘masjid’ sebagai
identitas orang muslim. Kita sering menghubungkan identitas sebuah kebudayaan [1]dengan
pakaian, makanan, rumah, dekorasi, arsitek, artefak, lagu rakyat, dan folklor. Jika kita hendak
mengenal identitas sebuah budaya orang lain maka kita sebenarnya sudah diajak untuk
belajar mengenal kebudayaan mereka, terutama belajar tentang perbedaan budaya.
Kalau anda bertemu dengan orang lain, Anda sering bertnya, ”Anda berasal dari
mana?” Di balik pertanyaan itu ada kenyakinan bahwa setiap orang mempunyai ‘asal’.
Umumnya dalam masyarkat yang disebut Indonesia, ada anggapan bahwa setiap orang
seharusnya memiliki pandangan tentang hakikat asal. Dan yang dimaksud dengan asal mula
itu masih berbau tradisional, walaupun mereka merasa modern, dalam arti masih punya
anggapan tentan asal usul seorang. Misalnya, pandangan tentang keturunan,
kewarganegaraan, agama, kelahiran, dan gambaran tentang identitas lainnya. Kita sedang
mencari identitas orang lain.
Secara etimologis kata identitas berasal dari kata identity yang berarti kondisi atau
kenyataan tentang suatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain, kondisi atau
fakta tentang sesuatu yang sama diantara dua orang atau dua benda, kondisi atau fakta yang
menggambarkan sesuatu yang sama diantara dua orang(individualis)atau dua kelompok atau
benda. Secara teknis, pengertian etimologi identitas di atas hanya sekedar memahami
identitas dengan kata “etnik”, misalnya menyatakan bahwa sesuatu itu mirip dengan orang
lain.
Identitas dipandang sebagai citra diri refleksi yang dikonstruksikan, dialami, dan
dikomunikasikan oleh individu-individu dalam sebuah budaya[2] dan dalam prakti
komunikasi, identitas acapkali tidak hanya memberikan makna tentang pribadi seorang, tetapi
lebih jauh dari itu, menjadi ciri khas sebuah kebudayaan yang melatar belakanginya. Dari ciri
itulah kita mungkin dapat mengungkapkan keberadaan orang itu. Pertanyaannya adalah
bagaimana kalau Anda berada dalam suatu masyaratkat multibudaya? Menurut Jorn K.
Braman, jika disana hadir situasi multibudaya maka di sana pulalah kita memerlukan
identitas budaya.
Kalau kita ingin mengetahui dan menetapkan identitas budaya, kita tidak sekedar
mengetahui karakteristik atau ciri-ciri fisik/biologis semata-mata, tapi mengkaji identitas
kebudayaan sekelompok manusia melalui tatanan berfikir, perasaan, dan cara bertindak.
Kenneth Burke bilang, untuk menentukan identitas budaya sangat tergantung pada bahasa[3],
bagaimana representasi bahasa menjelaskan sebuah kenyataan atas semua identitas yang
dirinci kemudian dibandingkan[4].
B. Identitas Ditinjau dari Makro Mikro Budaya
a. Sistem Makro Budaya
Perbedaan global yang diamati itu secara geografis ditandai oleh faktor-faktor
geopolitik sehingga memperkuat komunikasi antarregional bahkan internasional.
Oleh karena itu, dalam tradisi pembahasan komunikasi antarbudaya kita selalu
membicarakan kebudayaan yang ditampilkan rata-rata melalui perilaku yang
dipraktekkan oleh kebanyakan penduduk dari suatu area geografis, negara-negara
maupun benua tersebut. Di sini mem- berikan peluang bagi kita untuk melakukan
suatu prosedur studi antarbudaya atau lintas budaya dengan menetapkan modalita
kebudayaan. Yang disebut modalitas kebudayaan yakni pola- pola perilaku yang
ditampilkan secara terus-menerus sehingga perilaku itu dipandang sebagai
perilaku khas suatu kebudayaan yang mewakili orang-orang dari daerah, wilayah
maupun bangsa tertentu.
b. Sub Kultur dan Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi ada di mana-mana dan kapan saja, baik tatap muka ataupun
bermedia, baik ​dari budaya yang sama maupun berbeda. Komunikasi
antarbudaya (intercultural communication) sendiri merujuk pada komunikasi
antara individu-individu yang latar belakang budayanya berbeda. Individu-individu
ini tidak harus selalu berasal dari Negara yang berbeda, bukan pada rumpun, ras
atau suku budaya, melainkan pada realitasnya bahwa setiap individu sudah
berbeda budaya. Agama sebagai word view sendiri adalah salah satu unsure
budaya tidak pernah kering menjadi kajian. Akan lebih menarik lagi bila
persinggungan komunikasi dan agama yang berbeda (komunikasi antarbudaya)
dalam sebuah bahtera rumah tangga dibahas secara tuntas yang tidak lain
manifestasikan dalam adegium agama ageming aji​[5]​.
Hampir semua orang digolongkan ke dalam atau menjadi anggota dari
sejumlah kelompok dan sebagian orang lain mungkin tidak tergolong dalam
kelompok tertentu. Jenis kelompok pertama disebut salient group, adalah satu
kelompok yang jelas menampilkan suatu nilai budaya tertentu. Kelompok ini
kadang-kadang terstruktur dan sering dikenal sebagai sub kultur, mikro kultur,
atau sebuah kelompok referens yang bermuara pada kelompok makro budaya.
Apa itu sub kultur? Sub kultur adalah istilah yang dipakai untuk mengidentifikasi
suatu kelompok yang mempunyai perilaku spesifik atau "lebih kurang", atau
mungkin "dibawah bahkan "di atas" dari perilaku kelompok kebanyakan subkultur
itu bisa dianut oleh sekelompok orang yang mempunyai persepsi yang timbal
balik sama, bisa dikategorikan dalam peradaban agama, wilayah, geografi,
kesejahteraan atau kekayaan, bahasa kebangsaan, umur, gender, pekerjaan dan
keluarga. Ini yang seringkali dikategorikan sebagai mikro kultur yang budayanya
sangat berpengaruh pada perilaku komunikasi antarbudaya.[6]
C. Faktor Pembentuk Identitas Diri
a. Orang Tua
Ketika orang tua menyediakan dukungan emosional dan kebebasan bagi anak untuk
menjelajahi lingkungannya, maka anak akan berkembang dengan memiliki pemahaman yang
sehat mengenai siapa dirinya. Hal ini juga terjadi pada remaja dalam pencarian identitas yang
sedang dilakukannya. Pembentukan identitas remaja akan berkembang dengan semakin baik
ketika remaja memiliki keluarga yang memberikan “rasa aman” dimana anak dijinkan untuk
dapat melihat ke dunia luar yang lebih luas. Kelekatan anak dengan orang tua, pemberian
kebebasan kepada anak untuk menyampaikan setiap pendapat yang ingin diberikan,
dukungan dan kehangatan dari orang tua, serta adanya komunikasi yang terbuka antara orang
tua dan remaja akan mempengaruhi pembentukan identitas diri remaja.
b. Interaksi dengan Teman Sebaya
Melalui interaksi dengan teman sebaya yang beragam, perolehan remaja mengenai ide dan
nilai juga akan bertambah. Adanya dukungan secara emosi yang diperoleh dari teman dekat
akan membuat remaja saling membantu satu sama lain dalam mencari pilihan-pilihan dan
teman sebaya dapat menjadi model peran bagi remaja pada perkembangan identitas.
Hubungan dengan teman sebaya akan membuat remaja belajar mengenai nilai yang mereka
miliki dalam pertemanan, pilihan akan pasangan hidup nantinya, pencarian informasi
mengenai karir, serta pemilihan remaja akan karir. Selain itu kelompok teman sebaya
merupakan sumber bagi remaja untuk memperoleh pandangan mengenai kasih sayang, rasa
simpati, pemahaman akan orang lain, mengetahui nilai-nilai moral, serta sebagai tempat bagi
remaja untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan dewasa nantinya.
c. Sekolah dan Komunitas
Sekolah dan komunitas yang menawarkan kesempatan yang luas dan beragam dalam hal
pencarian yang dilakukan oleh remaja juga mendukung perkembangan identitas. Sekolah
dapat membantu remaja dalam penyediaan kelas yang memiliki tingkat pemikiran yang
tinggi, kegiatan ekstrakulikuler yang membuat remaja memiliki tanggung jawab dalam peran
yang diambilnya, tersedianya guru atau konselor yang dapat mengarahkan remaja pada
pemilihan akan bidang-bidang yang diminatinya, seperti jurusan yang ingin diambilnya
nantinya, serta tersedianya program-program pembelajaran yang dapat menjadi suatu sarana
dimana remaja dapat memperoleh gambaran mengenai dunia pekerjaan yang sesungguhnya
ketika remaja berada pada usia dewasa nantinya.
d. Kebudayaan
Budaya memiliki pengaruh besar dalam perkembangan identitas, dimana budaya dapat
membentuk adanya self-continuity disamping perubahan diri yang terjadi. Perbedaan budaya
yang terdapat di dalam lingkungan individu akan mempengaruhi bagaimana individu
memandang peran-peran yang mereka miliki dalam lingkungan masyarakat.[7]

DAFTARPUSTAKA
[1] Liliweri, Alo Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya, LKiS, Yogyakarta, 2002
2​ ​Turnomo Rahardjo​, ​Mu'ammar Ramadhan​ ​Menghargai perbedaan kultural: mindfulness dalam
komunikasi antaretnis, ​Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
4 Liliweri, Alo Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
5 Ali, mukti (2017). Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Agama Jawa. Pustaka ilmu
6Liliweri, Alo Prasangka & konflik: komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur, PT LKiS
Pelangi Aksara, 2005
7 ​Berk, Laura E. (2007). Development Through The Lifespan. United State of America: Pearson
Education

[1] Liliweri, Alo (2002). Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.
[2]​ ​Turnomo Rahardjo​, ​Mu'ammar Ramadhan​ (​2005). ​Menghargai perbedaan kultural: mindfulness
dalam komunikasi antaretnis. ​Yogyakarta:​ P
​ ustaka Pelajar,

[3]​Catatan, Bahasa sebagai unsur kebudayaan yang non material


[4]​Liliweri, Alo ​(2005). Prasangka & konflik, komunikasi lintas budaya masyarakat multikultur:
PT LKiS Pelangi Aksara.
[5]​ Ali, mukti (2017). Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Agama Jawa. Pustaka ilmu
[6]​ Liliweri, Alo (2003). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[7]​ ​Berk, Laura E. (2007). Development Through The Lifespan. United State of America:
Pearson Education

Anda mungkin juga menyukai