Anda di halaman 1dari 8

DELIK DALAM PIDANA ADAT

Sebelum membahas hukum adat delik lebih jauh ada baiknya bahwa kita harus mengerti
terlebih dahulu apa arti dari delik. A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah ”perbuatan
criminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai oleh Moeljanto itu juga kurang tepat,
karena dua kata benda bersambungan yaitu “perbuatan” dan “pidana”, sedangkan tidak ada
hubungan logis antara keduanya. Jadi, meskipun ia tidak sama istilahnya dengan Moeljanto,
tetapi keduanya rupanya dipengaruhi oleh istilah yang dipakai di jerman, yaitu “Tat”
(perbuatan) atau “handlung” dan tidak dengan maksud untuk menerjemahkan kata “feit”
dalam bahasa Belanda itu. Tetapi A.Z Abidin menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah
padanannya saja, yang umum dipakai oleh para sarjana, yaitu delik (dari bahasa latin
delictum). Memang jika kita perhatikan hampir semua penulis memakai juga istilah “delik”,
begitu pula Oemar Seno Adji, di samping memakai istilah “tindangan pidanan” juga
memakai istilah “delik.
Beikut ini pembagian delik dalam pidana adat :
A. Kesalahan mengganggu keamanan
B. Kesalahan mengganggu ketertiban
C. Kesalahan kesopanan dan kesusilaan
D. Kesalahan dalam perjanjian
E. Kesalahan menyangkut tanah, tanam tumbuhan, dan hasil hutan
F. Kesalahan menyangkut hewan ternak dan perikanan
Untuk menyelesaikan macam-macam delik adat tersebut ada beberapa cara yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan delik adat yaitu:
A. Penyelesaian antara pribadi, keluarga, dan tetangga
Jika terjadi delik adat di pemukiman, kampung, dan sebagainya, maka untuk memulihkan
gangguan yang terjadi di daerah tersebut, langsung diselesaikan oleh pribadi yang
bersangkutan di tempat kejadian, atau di rumah keluarga yang bersangkutan, atau di tempat
kerja yang bersangkutan dan teman rekan kerja, maupun di rumah tetangganya. Misal seperti
kejadian kecelakaan lalu lintas, maka si pelaku kecelakaan langsung menyelesaikan masalah
tersebut di tempat kejadian, dengan bertanggung jawab yaitu membawa si korban ke rumah
sakit terdekat dan menanggung biaya pengobatannya.
Namun tidak hanya selesai di situ, melainkan si pelaku harus menyelesaikan masalah
tersebut juga di rumah si korban. Namun jika perkeara tersebut sudah di tangan alat negara,

1
maka disepakati untuk mencabut gugatan ( jika sudah digugat ) atau memberitahukan bahwa
kedua belah pihak telah berdamai.
B. Penyelesaian Kepala Kerabat atau Kepala Adat
Jika pertemuan antar pihak-pihak yang bersangkutan tidak menyelesaikan masalah yang
telah terjadi, maka yang akan menyelesaikannya adalah Kepala Adat masing-masing pihak.
Apabila kasus perkara delik adat itu dilaksanakan oleh Kepala Adat atau Kepala Kerabat,
untuk kasus mengenai kesusilaan, maka pertemuannya diadakan di rumah Kepala Adat,
dengan menggunakan juru bicara para Ahli Adat. Selain itu ada acara perundingan yang
meliputi ganti kerugian.
C. Penyelesaian Kepala Desa
Jika masyarakat suatu daerah masih bersuku-sukuan, maka semua kasus delik adat
diselesaikan oleh Kepala Adat, namun jika sudah tidak bersuku-sukuan / sudah modern
seperti zaman sekarang kasus tersebut diselesaikan oleh Kepala Desa berdasarkan pasal 10
ayat 1 UU NO.5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, di mana Kepala Desa itu bukan saja
berwenang sebagai penyelenggara urusan pemerintahan umum, tetapi juga termasuk
pembinaan ketentraman dan ketertiban di desa yang dikuasainya. Kepala Desa dapat
menyelesaikan suatu perkara delik adat dengan adanya pengaduan. Cara menyelesaikannya
dengan menyelenggarakan peradilan desa. Upaya yang akan dilakukan Kepala Desa untuk
menyelesaikan suatu perkara adat delik dengan :
 Menerima dan mempelajari pengaduan yang disampaikan kepadanya
 Memerintahkan perangkat desa atau kepala dusun untuk menyelidiki kasus perkara,
dengan menghubungi para pihak yang bersangkutan.
 Mengatur dan menetapkan waktu persidangan serta menyiapkan persidangan di balai
desa.
 Mengundang sesepuh desa untuk mendampingi jalannya persidangan.
 Mengundang para pihak yang berselisih beserta saksinya.
 Menawarkan perdamaian.
 Memeriiksa perkara, mendengarkan keterangan saksi, para sesepuh, dan kepala dusun
yang bersangkutan.
Perbedaan kewenangan Kepala Desa dan Kepala Adat hanya terletak pada peristiwa dan
pelakunya. Kewenangan Kepala Desa hanya untuk menyelesaikan kasus dalam masyarakat
umum yang sudah tidak lagi bersifat persekutuan, sedangkan kewenangan Kepala Adat untuk
menyelesaikan kasus dalam masyarakat persekutuan. Namun diantara Kepala Adat dan

2
Kepala Desa dapat bekerjasama untuk menyelesaikan delik adat yang terjadi di kalangan
penduduk yang berbeda latar belakang adat / suku / daerah asalnya untuk menentukan hukum
yang digunakan untuk mengatasi kedua belah pihak yang berselisih.
D. Penyelesaian Keorganisasian
Sudah sejak zaman dahulu terbentuk organisasi-organisasi yang berada di tiap-tiap daerah,
misal organisasi perantauan, organisasi pemuda dan pemudi, dan masih banyak lagi.
Jika terjadi perselisihan antar anggota, maka yang akan menyelesaikan perselisihan
tersebut adalah pemimpin organisasi tersebut. Namun jika perselisihan terjadi antar anggota
yang berbeda organisasi, maka yang akan menyelesaikan perselisihan tersebut adalah
pemimpin masing-masing organisasi tersebut.
Ada pula dasar hukum penyelesaian perkara di pengadilan terdapat pada pasal 75 RR lama
yang menyatakan, apabila Gubernur Jenderal tidak memperlakukan perundang-undangan
golongan Eropa bagi golongan Bumi putera dan golongan Bumi putera tidak menyatakan
dengan suka rela tunduk pada hukum perdata Eropa, maka untuk golongan Bumi putera,
hakim harus menggunakan hukum adat, apabila hukum adat tersebut tidak bertentanngan
dengan dasar-dasar keadilan yang umum dipakai. Tetapi jika aturan hukum adat tersebut
bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau jika terhadap perkara bersangkutan tidak ada
aturan hukum adatnya, maka hakim harus memakai dasar-dasar umum hukum perdata dan
hukum dagang Eropa sebagai pedoman. Sehingga dalam hal mengadili perkara delik adat di
muka pengadilan harus menjunjung tinggi nilai keadilan.
Adapun jenis-jenis delik dalam lapangan hukum adat beserta pidana lainnya yaitu :
a. Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa perimbangan antara
dunia lahir dan dunia ghaib serta segala pelanggaran yang memperkosa dasar susunan
masyarakat. Misalnya : berkhianat, bersekongakol dengan musuh, membuka rahasia
masyarakat, hukumannya sangat berat dapat di bunuh atau dibuang seumur hidup dalam
lingkungan masyarakatnya.
b. Delik terhadap kepala persekutuan adat, dianggap sebagai delik terhadap masyarakat
seluruhnya, karena kepala adat adalah penjelmaan dari masyarakat. Ancaman hukumannya
atau reaksi adatnya tergantung berat ringannya perbuatan, yang paling ringan adalah minta
maaf dengan melakukan upacara tertentu.
c. Perbuatan sihir atau tenung yang dalam KUHP tidak termasuk delik, Karena ada
kepercayaan bahwa dengan tenung dan sihir ini keseimbangan magis akan terganggu
karenanya. Orang yang terkenal sebagai ahli sihir yang biasanya menggunakan magis
hitam ( black magic ) mengganggu dapat di bunuh.

3
d. Perbuatan yang dianggap mencemarkan suasana batin masyarakat, yang menentang
kesucian masyarakat, dapat dianggap delik yang mencemarkan masyarakat seluruhnya.
Misalnya, orang yang mencemarkan tempat ibadah atau tempat lainya, orang yang
melakukan hubungan seks di kuburan, dsb. Reaksi adat terhadap pelanggaran semacam ini
berupa kewajiban untuk mengadakan upacara adat, upacara pembersihan agar kesucian
dalam suasana batin masyarakat dapat dipulihkan kembali.
e. Hubungan kelamin atau juga perkawinan antara orang-orang yang menurut adat tidak
dibenarkan, merupakan delik yang cukup berat. Larangan semacam ini (yang biasanya
disebut incest) mungkin belasan berlalu dekatnya hubungan darah ( misalnya perkawinan
anak dengan ibunya, kakak dengan adiknya ), atau karena adanya larangan kawin dengan
orang dari satu clan/satu marga yang patrilineal, yang dianggap dapat mendatangkan
malaetaka atau menimbulkan kehidupan yang tidak sehat. Dapat disamakan dengan
perbuatan terlarang ini ialah antara perempuan bangsawan dengan laki-laki dari golongan
rakyat biasa atau dari kasta yang lebih rendah yang dianggap mengganggu keseimbagan
batin dalam masyarakat ( misalnya pada masyarakat bugis dan Makassar, di Sulawesi
selatan, masyarakat hindu dibali dan sebagainya )
f. Mengenai reaksi adat dalam hal semacam ini, ditiraja mendapatkan pidana yang berat
yaitu dicekik sampai mati, seperti yang pernah terjadi dibugis, Makassar, dan juga ambon.
g. Hamil diluar nikah, juga merupakan delik pidana yang berat dan dianggap sebagai
menentang kepentingan hukum masyarakat setempat. Dibugis dan Makassar, gadis yang
hamil diluar nikah ini dapat dibunuh atau diasingkan selamanya dari masyarakat.
h. Melarikan wanita, juga dianggap delik yang cukup berat. Keluarga gadis yang mendapat
malu ( pada zaman dahulu ) berhak membunuh orang yang melarikan gadis tersebut
kecuali kalau mereka berdua kemudian mencari perlindungan kepada kepada adat atau
keistana raja atau kepada kepala/pemuka agama yang mendamaikan kedua belah pihak.
Jika tercapai perdamaian, fihak laki-laki harus membayar uang antaran ( sunrong ) dan
denda ( pappasala ) kepada fihak gadis, sebelum mereka dikawinkan.
i. Perzinahan juga merupakan pelanggaran terhadap kehormatan keluarga dan melanggar
kepentingan hukum seseorang sebagai suami serta merupakan perbuatan yang menodai
kesucian masyarakat. Dibatak orang yang diketahui berzina dengan istri orang lain harus
menyelenggarakan upacara pembersihan masyarakat yang disebut pengurasion.
j. Pembunuhan yang merupakan perbuatan yang memperkosa jiwa seseorang, dalam hukum
adat tidak selamanya merupakan perbuatan pidana yang dapat dihukum, seperti
pembunuhan terhadap orang yang berzina, pada suku bangsa dayak budak belian dapat

4
dikorbankan untuk keperluan upacara kematian, juga didaerah ini dulu pernah terkenal
dengan kebiasaan mengayau (memenggal kepala orang dari lain suku) untuk menambah
kekuatan ghaib pada masyarakat dan keluarga yang bersangkutan, sehingga pembunuhan
semacam ini tidak akan mendapatkan hukuman.
k. Melukai orang, tidak merupakan perbuatan yang langsung memperkosa kepentingan
hukum masyarakat seluruhnya, melainkan hanya memperkosa kepentingan hukum orang
yang dilukai atau keluarganya. Reaksi adat yang biasanya dilakukan adalah timbulnya
kewajiban membayar denda oleh orang yang melukai kepada orang yang dilukai atau
keluarganya. Didaerah aceh ada pepatah yang berbunyi : darah ditimbang, luka di ukur,
cacad dibela, mati dibalas. Di minangkabau ada pepatah salah cangcang mambari pampeh
(melukai orang membawa denda)
l. Pencurian dan perampokan merupakan delik yang tidak langsung memperkosa
kepentingan hukum masyarakat seluruhnya, melainkan kepentingan hukum orang seorang,
yaitu fihak orang yang mempunyai barang. berat ringannya reaksi adat terhadap pencurian
ini tergantung dari sifat barang yang dicuri. Biasanya orang yang mencuri menurut hukum
adat akan dihukum untuk mengembalikan atau membayar kembali harga barang yang
dicuri ditambah sejumlah denda kepada orang yang kecurian. Tetapi perampokan yang
telah berkali-kali dilakukan dapat menyebabkan seorang perampok diasingkan dari
masyarakat yang bersangkutan, bahkan dapat pula dibunuh.
m. Pengrusakan barang atau tanaman oleh ternak yang lepas, dapat mengakibatkan ternak itu
dibunuh, atau orang yang menderita kerugian karena ternak itu dapat menuntut ganti rugi
kepada sipemilik ternak tersebut.
Ada perbedaan antara hukum pidana adat dengan system hukum pidana KUHP
1. Di dalam KUHP ditegaskan ,yang dapat di pidana hanya seorang manusia;sedang didalam
hukum pidana adat,persetujuan hukum umumnya dapat di bebani tanggung jawab pidana
seperti di Batak,Ambon dll. Sebuah kampung si penjahat atau tempat terjadinya delik,
dapat wajib membayar denda atau ganti kerugian kepada suku/family yang telah di
rugikan;demikian juga family /suku sipenjahat menanggung hukuman yang di jatuhkan
atas salah seorang anggota dari suku tersebut.
2. Di dalam KUHP seseorang dapat di pidana karena sengaja (dolus/opzet)atau khilaf artinya
orang tersebut bertanggung jawab karena kesalahan .ada beberapa delik seperti
pembunuhan atau melukai orang hingga hingga terluka berat sudah terang ada unsur
kesengajaan ,sebaliknya delik yang mengganggu keseimbangan kehidupan batin
masyrakat.

5
3. Di dalam KUHP tiap tiap delik yang menentang kepentingan negara atau kepentingan
umum adalah soal prorangan atau tanggung jawab perorangan tetapi menurut system
hukum adat , delik delik yang menyangkut kepentingan umum atau seluruh desa
seseorang, di dalam banyak hal menjadi persoalan bagi seseorang yang berbuat dan
golongan/family karena menyangkut kepentingan desa.
4. Menurut KUHP di ambil sebagai dasar bahwa hanya seorang individu dapat dipidana,bila
ia mempunyai sikap psikis untuk bertanggung jawab.
Di dalam literature terutama di daerah minangkabau bahwa di daerah itu seorang gila
yang membunuh orang.di samakan perlakuanya dengan orang yang biasa atau norml. Jadi
gilanya seseorang tidak mempengaruhi berat ringanya daya upaya yang harus di lakukan
terhadap delik yang telah di lakukan oleh orang gila itu.
Di Bali terdapat berita bahwa orang gila dan anak yang belum berumur 8 tahun tidak
boleh di hukum kecuali bila ia melakukan delik yang termasuk berat, yang di sebut sadta taji,
seperti melakukan pembakaran, meracun orang,menghina raja,memperkosa dll.Anak anak di
Bali di anggap kurang umurnya bila dia belum mencapai tinggi badan 1,5 meter belum
memotong gigi atau belum bekerja di sawah.tetapi bila anak anak melakukan perbuatan delik
sampai tiga kali berturut turut dapat di hukum kehilangan kedudukan kasta tidak dapat
perlindungan hukum sama sekali.
5. KUHP tidak membedakan orang yang satu dengan yang lain sebagaimana telah kita
ketahui di dalam system hukum adat besar atau kecil kepentingan hukum seseorang
sebagai individu, tergantung pada kedudukanya atau fungsi di dalam masyarakat.
Khususnya di masayarakat Bugis atau Makassar, terdapat tingkat tingkat standen di dalam
masyarakat seorang dari tingkat yang atas (bangsawan) lebih penting dari orang tingkat
bawah. Seperti juga di Bali orang yang termasuk “Triwangsa”lebih penting dari rakyat
biasa. Karena itu pula delik yang di lakukan seorang dari tingkat atas di anggap bertambah
berat. Jadi bertambah berat hukuman terhadap seseorang, jika bertambah tinggi orang
yang di rugikan atau di hina, apalagi sesuatu hinaan terhadap raja atau kepala adat.jadi di
dalam KUHP tidak terdapat pandangan seperti hukum adat, tanpa pandang orang kalau dia
berbuat jahat tetap pidana.
6. KUHP melarang orang bertindak sendiri menegaskan hukum atas perbuatan orang lain
terhadap dirinya melakukan tindakan hukum sendiri atau main hakim sendiri, oleh karena
membawa prinsip, bahwa segala delik termasuk hukum public, menjadi soal negara atau
terlepas dari soal soal privat, sebaliknya di dalam system hukum adat terdapat keadaan
seseorang yang terkena di perbolehkan bertindak sebagai hakim. Contoh seorang

6
melarikan gadis melakukan zinah atau mencuri, atas perbuatan ini dia tertangkap basah.
Maka pihak yang merasa terkena dan mendapat malu menurut faham adat boleh bertindak
menegakkan hukum ( anatara lain di Batak, Minangkabau).
7. KUHP tidak mengadakan perbedaan barang satu dengan barang yang lain Yang Menjadi
obyek dalam perbuatan pidana artinya mencuri sebuah atau serumpun singkong adalah
sama dengan mencuri perhiasan permata yang terdapat di dalam rumah. Tetapi menurut
hukum adatmencuri atau merusak barang orang lain yang mengandung nilai religious yang
tinggi misalnya barang pusaka, di anggap delik yang lebih berat di banding dengan
mencuri sebuah benda biasa. Jadi di dalam hukum adat ada perbedaan nilai, sedang di
dalam KUHP tidak ada perbedaan penilaian itu.
8. Dalam KUHP soal membantu berbuatberbuat pidana membujuk atau ikut berbuat terdapat
perbedaan perbedaan sedang menurut hukum adat siapa saja yang turut membantu
melakukan wajib menyelenggarakan pemulihan kembali perimbangan hukum yang telah
merusak masyarakat jadi segala orang yang ikut berbuat harus ikut bertanggung jawab
maka di dalam hukum adat tidak di bedakan antara:medeplichig membantu melakukan
atau mededaderschap ikut melakukan dan medepgler orang yang ikut serta
9. Di dalam hukum adat suatu percobaan yang tidak berarti tidak di pidana sebab hukum
pidana memidana seseorang karena semata mata mencoba melakukan delik.sebab kita
ingat dalam system delik adat,suatu reaksi adat hanya di adakan jika suatu kepentingan
hukum nyata terganggu atau pertimbangan hukum dalam suatu masyarakat mendapat
cedera sehingga perlu memulihkanya kembali menurut cara cara adat, dengan demikian
apabila tidak terjadi gangguan umum, tidak ada alasan untuk bertindak. Contoh: bila ada
seseorang mencoba untuk membunuh orang lain dengan jalan menembak akan tetapi
orang itu kemudian hanya mendapat luka luka saja, maka seseorang yng mencoba
menembak itu di hukum , bukan karena akan membunuh , akan tetapi karena melukai
seseorang ;sebab pelanggaran hukum yang nyata hanya itu saja yaitu luka. Atau bila telah
di adakan penembakan, tidak melukai seseorang pun, dia akan di hukum, karena ia
melepaskan tembakan kepada seseorang,mungkin mengejutkan orang banyak atau
menimbulkan huru hara, maka ia akan di hukum karena melanggar ketentuan hukum.
10. Dalam KUHP, orang akan di pidana oleh karena perbuatanya yang terakhir, tidak karena
perbuatanya yang terakhir, tidak karena perbuatanya yang dulu dulu, kecuali bila ia
mengulangi kejahatanya.
Menurut van vollenhoven, penyesalan itu mungkin tidak menghapuskan kejahatan, tetapi
memberi keringanan,sebaliknya orang yang terkenal sebagai penjahat, bila ia berbuat salah

7
dan mengakui kesalahanya,boleh di hukum berat, misalnya dengan membuang ke luar
masyarakat , seperti halnya di tanah Batak, Minangkabau, Ada pepatah Batak mengatakan:
“jika saya berbuat salah, maka saya akan memperbaiki/memulihkan kesalahan saya itu, tetapi
bila saya berbuat yang dulu lagi berarti saya mengulangi”.
Di dalam delik adat di kenal 3 istilah yang berhubungan dengan pembuangan dengan
pembuangan seseorang ke luar masyarakat adat, yaitu:
1. Istilah buang sirih yaitu orang di buang ke luar masyarakat , apabila seseorang karena
tabiatnya selalu membuat malu keluarganya, Maka di buanglah, dengan uacapan salah
satu orang tua dari marga itu, misalnya dengan mengatakan “ia tidak kami akui lagi di
dalam marga kami”.
2. Istilah buang hutang yaitu jika orang senantiasa berhutang, tetapi ia tidau mau
membayar, keluarganya akan menanggung perbuatan itu, tetapi bila akhirnya kehabisan
harta, familinya akan berhenti menanggung untuk selanjutnya. Dia akan di keluarkan
dari family karena perbuatan berhutang.
3. Di dalam hukum adat masih ada hukuman lain yang di sebut: buang ting karang, yaitu
pembuangan untuk selama lamanya karena perbuatan jahat yang senantiasa dilakukanya
, sehingga memberatkan bagi seluruh masyarakat. Mayarakat hukum pun enggan
mempunyai anggota yang demikian itu, tidak sanggup memperbaiki lagi dan kepadanya
di jatuhkan hukuman yang berat.

Anda mungkin juga menyukai