Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM ADAT

MASALAH PERKAWINAN ADAT

Disusun Oleh:

Harkirtan Kaur

01051180030 / Kelas A
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Hukum Adat

ini dengan tepat waktu.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum

Adat. Dalam makalah ini, penulis memaparkan tentang pembahasan kasus yang

berkaitan dengan perkawinan Hukum Adat.

Penulis makalah sejauh ini tidak menemukan kesulitan yang berarti dalam

pembuatan makalah ini. Penulis pun pun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen pembimbing Hukum Adat kami yang terhormat Ibu Quoriena

Mesakaraeng, yang telah memberikan ilmu dan bimbingan kepada penulis

dalam pembuatan makalah ini.

2. Kepada orang tua penulis yang telah memberi dukungan dan doa dalam

pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,

penulis menerima kritik dan saran dari pihak lain untuk membantu memperbaiki

makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi

pembaca.

Tangerang, 17 Oktober 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Hukum perkawinan merupakan bagian dari hukum keluarga, dimana hukum

keluarga diartikan sebagai keseluruhan peraturan mengenai hubungan hukum

yang bersangkutan dengan kekeluargaan karena sedarah, perkawinan, kekuasaan

orang tua, dan lain-lain. Hubungan keluarga ini sangat penting untuk menentukan

hubungan anak dengan orang tua, masalah pewarisan harta, perwalian dan

pengampuan. Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan yang

berhubungan dalam suatu perkawinan.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena

perkawinan bukan hanya menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi

dalam budaya timur khususnya Indonesia, perkawinan juga menyangkut urusan

keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu

yang suci, maka setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan

dengan kaedah-kaedah agama. Manusia dalam hidup bermasyarakat ternyata tidak

dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia satu dengan yang

1
lainnya. Hal itu dikarenakan sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk

sosial yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup

bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia

baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.

Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah

mencapai usia tertentu maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia

ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melaluinya bersama dengan orang

lain yang bisa dijadikan curahan hati, penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan

duka. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan

suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut

sebagai sebuah perkawinan.

Namun, dalam Masyarakat Hukum adat sering dijumpai beberapa kasus yang

berkaitan tentang perkawinan. Dalam makalah ini akan dibahas tentang kasus

pasangan yang dinikahkan oleh kepala adat setelah terpergok berduaan di

Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Dalam kasus pernikahan Hukum Adat di Sulawesi Selatan ini, kedua sejoli

bernama Manai dan Sugiani dipergoki oleh warga tengah berduaan di sebuah

Kebun Rambutan di desa Belapunranga, Kecamatan Parangloe,Kabupaten Gowa.

Menurut kepala desa dan warga sekitar, ini merupakan suatu hal yang dinamakan

siri yang berarti masalah hukum adat.

Saat didapati sedang berduaan, warga nyaris ingin mengeroyok kedua sejoli

tersebut yang berujung pada orang tua Sugiani menyerang orang tua Manai karena

menganggap telah melakukan hal yang berhubungan dengan siri. Hal ini tentunya

bertentangan dengan Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan: Kekerasan terhadap

orang maupun barang yang dilakukan secara bersama-sama, yang dilakukan di

muka umum seperti perusakan terhadap barang, penganiyayaan terhadap orang

atau hewan, melemparkan batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang

3
barang sehingga berserakan. Hal ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim

sendiri yang dilakukan di depan umum.1

Perseteruan mereka akhirnya dapat dilerai oleh Kepala Adat setempat dibantu

oleh aparat kepolisian. Pernikahan pun dilakukan secara sederhana di kediaman

Kepala Adat setempat setelah dilakukan perdamaian.

Kasus perkawinan adat yang terjadi di Sulawesi Selatan Ini dapat dikategorikan

sebagai jenis perkawinan lari bersama. Bakal sejodoh lari bersama dengan tiada

peminangan atau pertunangan secara formeel, ialah perkawinan lari bersama atau

sama-sama melarikan diri ( Wegloophuwelijk of Vluchthuwelijk ).2 Di Sulawesi

Selatan perbuatan lari bersama itu adalah pelanggaran adat ( Adat Delict ),

perkawinannya baru dilaksanakan kalau sudah dan diwaktu diadakan

perdamaian .3

Pemecahan masalah dalam kasus tersebut mencerminkan sifat masyarakat hukum

adat yang sangat taat dengan tradisi dan erat hubungannya dengan sesuatu yang

berbau mistis, yang terlihat dari kepercayaan sang Kepala Adat yang mengatakan

1 https://m.hukumonline.com
2 Ter Haar: Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Hlm. 165
3 Ibid

4
bahwa apabila terjadi hal-hal siri yang melanggar peraturan Adat, apabila tidak

ditangani dengan baik maka akan menyebabkan malapetaka.

Penulis juga berpendapat bahwa peristiwa ini tidak sesuai dengan pendapat dari

Prof. Hazairin yang mengatakan bahwa peristiwa perkawinan sebagai tiga buah

rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk menjamin ketenangan,

kebahagiaan, dan kesuburan. Tentu kebahagiaan dan ketenangan tidak terdapat

dalam peristiwa ini karena adanya unsur kericuhan dimana keluarga pihak

perempuan menyerang keluarga pihak laki-laki karena telah melakukan perbuatan

asusila. Selain itu, pihak orang tua mempelai juga tentu tidak bahagia, dan malah

memperoleh rasa malu karena perkawinan anaknya dilakukan atas dasar perbuatan

asusila yang dilarang dan tidak disukai oleh masyarakat hukum adat.

5
BAB III

KESIMPULAN

Peristiwa perkawinan adat yang telah dibahas oleh penulis merupakan suatu

tindakan yang disebut siri atau tindakan yang melanggar Hukum Adat.

6
Perkawinan adat yang dilakukan oleh kedua pihak dengan cara melarikan diri atau

atas dasar perbuatan zina sangatlah dilarang dalam adat Sulawesi Selatan.

Pada kasus tersebut disebutkan juga bahwa orang tua dari pihak perempuan ingin

menyerang orang tua mempelai laki-laki dimana hal ini tidak bisa sepenuhnya

dibenarkan. Pelaku pelanggaran aturan adat merupakan kedua pihak, maka

seharusnya memang Kepala Adat lah yang menjadi penengah atas masalah ini.

Dalam tradisi negara Timur khususnya Indonesia yang sampai sekarang masih

menganut sistem hukum adat, pernikahan merupakan ajang penyatuan. Namun

penyatuan yang dimaksud bukanlah sekedar penyatuan antara individu dengan

individu, melainkan makna pernikahan juga merupakan penyatuan bagi kedua

keluarga mempelai. Maka dari itu, akan menjadi suatu hal yang sangat

memalukan apabila sepasang lelaki dan perempuan yang tidak memiliki ikatan

tertangkap basah sedang atau akan melakukan perbuatan asusila. Tentu saja hal ini

akan menjadi perhatian para masyarakat adat sekitar. Namun demikian, selalu ada

jalan keluar dalam tiap masalah. Dalam kasus ini, masalah dapat diselesaikan

dengan cara berdamai dan kemudian pernikahan pun dapat digelar. Hal ini

tentunya juga sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam Pancasila yaitu

nilai musyawarah dan mufakat dimana apabila terdapat suatu masalah, maka jalan

keluar yang ditempuh haruslah dipikirkan dengan kepala dingin dan dengan

7
membahasnya secara kekeluargaan dengan pihak yang bersangkutan.

8
DAFTAR PUSTAKA

https://regional.kompas.com/read/2018/01/16/09294731/tepergok-berduaan-di-ke

bun-rambutan-pasangan-kekasih-ini-dinikahkan.

https://m.hukumonline.com

Haar, Ter. 2013.Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Balai Pustaka

Anda mungkin juga menyukai