Anda di halaman 1dari 30

UJI EFEKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK KULIT JERUK

NIPIS (Citrus aurontifolia S.)TERHADAP PERTUMBUHAN


Salmonella sp.

PROPOSAL

OLEH :
DESY RATNA SARI MANURUNG
NIM : 140309152

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA
MEDAN
2018
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang......................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 3

1.3 Hipotesis ................................................................................... 3

1.4 Tujuan Penelitian ...................................................................... 3

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 4

2.1 Tanaman Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia S.) .......................... 4

2.1.1 Klasifikasi Jeruk nipis................................................... 4

2.1.2 Nama Daerah ................................................................ 5

2.1.3 Morfologi Tumbuhan.................................................... 5

2.1.4 Kandungan Jeruk Nipis................................................. 5

2.1.5 Kegunaan Kulit Jeruk Nipis ......................................... 6

2.2 Bakeri Sanmonella sp ............................................................... 7

2.2.1 Klasifikasi Bakteri Sanmonella sp ................................ 8

2.2.2 Patogenesis ................................................................... 9

2.3 Media Pengujiian ...................................................................... 10

2.4 Antibakteri ................................................................................ 11

2.5 Antibiotik.................................................................................. 15

2.6 Ekstraksi ................................................................................... 15

i
2.7 Sterelisasi.......................................................................................... 17

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 19

3.1 Metode Penelitian ..................................................................... 19

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 19

3.3 Alat dan Bahan ......................................................................... 19

3.3.1 Alat-alat ........................................................................ 19

3.3.2 Bahan ............................................................................ 19

3.4 Prosedur Kerja .......................................................................... 20

3.4.1 Pengambilan Sampel Kulit Jeruk Nipis ........................ 20

3.4.2 Pembuatan Simplisia Kulit Jeruk Nipis ........................ 20

3.4.3 Pembuatan Ekstrak Kulit Jeruk Nipis ........................... 20

3.4.4 Pembuatan Variasi Konsentrasi .................................... 20

3.5 Uji Aktivitas Bakteri................................................................. 21

3.5.1 Sterilisai Alat ................................................................ 21

3.5.2 Pembuatan Media ......................................................... 21

3.5.3 Pembuatan Media Agar Miring .................................... 22

3.5.4 Peremajaan BakteriSalmonella sp ................................ 22

3.5.5 Kultur Bakteri Salmonella sp........................................ 22

3.5.6 Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit

Jeruk Nipis (Citrus aurontifolia S.) Terhadap Bakteri

Salmonella sp Secara in vitro ....................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 24

LAMPIRAN....................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada mulanya jeruk nipis mempunyai nama Latin Citrus aurantium

subspesies aurantifolia. Dalam perkembangan selanjutnya, jeruk nipis dikenal

dengan nama Citrus aurantifolia Swingle. Kerabat dekat jeruk nipis antara lain

adalah jeruk lemon (Citrus lemon) yang sebelumnya dikenal dengan nama Citrus

medica varietas lemon dan jeruk sukade (Citrus medika) yang sebelumnya disebut

Citrus medica varietas proper (Rukmana, 2003).

Kulit jeruk nipis termasuk lapisan albedo, flavedo, dan lapisan segmennya,

memiliki kandungan flavonoid yang lebih tinggi daripada jus butiran daging

buahnya. Zat-zat dalam kulit jeruk nipis tersebut mampu bekerja sebagai zat anti

inflamasi, anti bakteri, anti mikroba, anti virus, anti ulserogenik, anti oksidan, anti

kanker, menurunkan kadar kolesterol, anti neoplastik, anti tumor, anti platelet,

anti hepatotoksik, serta anti hipertensi (Wardani, 2015).

Biasanya, jeruk nipis ditanam di pekarangan atau di kebun, dapat tumbuh

pada tanah yang kurang subur, asalkan mudah meneruskan air dan mendapat sinar

matahari penuh.Konon, jeruk nipis berasal dari kepulauan Hindia Timur.Di

Indonesia tanaman ini dapat ditemukan pada ketinggian 1-1.00m dpl (Setiawan,

2000).

Jeruk nipis (Citrus aurontifolia S.) termasuk jenis tumbuhan perdu yang

banyak memiliki dahan dan ranting.Batang pohonnya berkayu ulet dan

keras.Sedangkan, permukaan kulit luarnya bewarna tua dan kusam.Tanaman jeruk

1
nipis pada umur 2 tahun sudah mulai berubah.Bunganya berukuran kecil bulat

sebesar bola pingpong bewarna (kulit luar) hijau atau kekuning-kuningan.Buah

jeruk nipis yang sudah tua rasanya asam.Tanaman jeruk umumnya menyukai

tempat yang dapat memperoleh sinar matahari langsung (Arisandi dan

Andriani,2008).

Berdasarkan penelitian, kulit jeruk nipis kaya akan komponen flavonoid,

tanin dan kumarin (Astarini,2010).Flavonoid memiliki fungsi sebagai antioksidan

dan juga dapat menangkal radikal bebas.Selain itu, flavonoid juga mempunyai

kapasitas untuk mengatur aktivitas enzimatik serta menghambat poliferasi sel

(Dhanavade,2011).

Salmonella sp. adalah penyebab utama dari penyakit yang disebarkan

melalui makanan.Pada umumnya, serotipe Salmonella menyebabkan penyakit

pada organ pencernaan.Penyakit yang disebabkan oleh Salmonella disebut

salmonelosis.Ciri-ciri orang yang mengalami salmonelosis adalah diare, keram

perut dan demam.Menurut Entjang (2003) Salmonella sp. merupakan bakteri

bentuk batang, gram negatif, bersifat fakultatif aerob, bergerak dengan flagel,

tidak mampu membentuk spora dan mengeluarkan endotoksin.Gejala yang

dominan yaitu demam disertai diare (Pratiwi, 2008).

Salah satu bakteri patogen penyebab penyakit yaitu Salmonella sp.

Salmonella sp. adalah bakteri batang, tidak berspora pada perwarnaan gram

negatif.Bergerak dengan flagel peritrik Salmonella (Entjang,2003) mempunyai

endotoksin yang berbentuk lipopolisakarida dan protein kompleks. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui efektivitas antibakteri ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus

aurontifolia S.) terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp.

2
1.2 Perumusan Masalah

Apakah Ekstrak Kulit Jeruk Nipis (Citrus aurontifolia S.) dapat

menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella sp ?

1.3 Hipotesis

Ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurontifolia S.) memiliki potensi sebagai

antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui potensi ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurontifolia S.)sebagai

antibakteri yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella sp.

b. Untuk mengetahui konsentrasi yang efisien pada ekstrak kulit jeruk nipis

dalam menghambat bakteri Salmonella sp.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Penelitian ini dapat mejadi referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai

konsentrasi yang efisien pada ekstrak kulit jeruk nipis terhadap bakteri

Sanmonella sp.

b. Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan obat tradisional

dengan menggunakan ekstrak kulit jeruk nipis (Citrus aurontifolia S.) sebagai

antibakteri.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia S.)

Jeruk nipis merupakan salah satu jeruk yang asal usulnya adalah dari India

dan Asia Tenggara.Buah jeruk nipis dapat dilihat pada Gambar 2.1. Menurut

Rukmana (2003) sistematika jeruk nipis adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1 Tanaman Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia S.)

2.1.1 Klasifikasi Jeruk nipis

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Sapindales

Famili : Rutaceae

Genus : Citrus

Spesies : Citrus aurantifolia (Christm.) Swingle. Orth.

Nama Lokal : Jeruk Nipis

4
2.1.2 Nama Daerah

Jeruk nipis memiliki beberapa nama yang berbeda di Indonesia, antara lain

limau asam (Sunda), jeruk pecel (Jawa), jeruk dhurga (Madura), lemo (Bali),

mudutelong (Flores) dan lain sebagainya. Jeruk nipis merupakan tumbuhan obat

dari famili Rutaceae.Penggunaan jeruk nipis dalam pengobatan tradisional antara

lain sebagai obat pelangsing, peluruh dahak (ekspektoran), penurun panas

(antipiretik), dan penghilang bau badan (Winarto, 2003).

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Jeruk nipis (Citrus aurantifolia S.) termasuk salah satu jenis jeruk yang

termasuk jenis tumbuahn perdu yang banyak memiliki dahan dan ranting.

Tingginya sekitar 0,5-3,5 meter. Batang pohonnya berkayu ulet, berduri dan

keras, sedangkan permukaan kulit luarnya berwarna tua dan kusam.Daunnya

majemuk, berbentuk elips, dengan pangkal membulat. Bunganya berukuran

majemuk/tunggal yang tumbuh di ketiak daun atau di ujung batang dengan

diameter 1,5-2,5cm (CCRC Farmasi UGM,2014).

Bakal buah berbentuk bulat setelah menjadi buah berubah bentuk menjadi

bundar seperti bola atau bulat lonjong. Buah jeruk nipis berdiameter 3,5-5,0cm

dengan tebal kulit antara 0,2-0,5mm. Saat masih muda, buah bewarna

kuning.Semakin tua, warna buah semakin hijau muda atau kekuningan. Rasa

buahnya asam segar. Bijinya berbentuk bulat telur pipih dan bewarna putih

kehijauan (Rukmana,2003).

5
2.1.4 Kandungan Jeruk Nipis

Menurut Hariana (2004), buah jeruk nipis memiliki rasa pahit dan sangat

asam. Buah jeruk nipis memiliki beberapa kandungan kimia diantaranya adalah

asam sitrat sebanyak 7-7,6%, damar lemak, mineral, vitamin B1, sitrat limonene,

fellandren, lemon kamfer, geranil asetat, cadinen, linalin asetat. Selain itu,

menurut Fajjriyah (2017) jeruk nipis mengandung vitamin A, kalsium sebanyak

40mg/100g jeruk, fosfor sebanyak 22mg, lemon kamfer, belerang, vitamin B1,

vitamin C, flavonoid, asam sitrat, glikosida, asam amino damar, asam sitrum,

lemak, dan besi. Kandungan flavonoid dalam jeruk nipis berfungsi sebagai

antibakteri.

Tanaman jeruk nipis merupakan salah satu tanaman penghasil minyak

atsiri yang merupakan suatu substansi alami yang dikenal memiliki efek sebagai

antibakteri. Komposisi senyawa minyak atsiri dalam jeruk nipis (Citrus

aurantifolia S.) adalah lemonene (53,92%), α-pinen (0,33%), mirsen (1,58), β-

pinen (0,97), sabinen (2,06) dan isokamfen (0,56%) yang termasuk golongan

hidrokarbon monoterpen, geraniol (1,33%), linalol (1,20%), neral (9,88%), nerol

(1,38), geranial (12,26), geranil asetat (2,03%), α-terpineol (0,42%), sitronelol

(0,67%) dan nerilasetat (4,56%), yang termasuk golongan hidrokarbon

siskuiterpen (Astarini dkk,2010).

2.1.5 Kegunaan Kulit Jeruk Nipis

Kulit jeruk nipis juga memiliki peran penting bagi kesehatan. Kulit jeruk

nipis mengandung komponen yang sangat bermanfaat untuk menurunkan kadar

kolesterol. Kulit buah jeruk nipis mengandung senyawa flavonoid yaitu naringin,

hesperidin, naringenin, hesperitin, rutin, nobiletin, dan tangeretin.Flavonoid

6
merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol yang dapat bekerja sebagai

antioksidan, dan juga sebagai antibakteri dengan mendenaturasi protein sel bakteri

dan merusak sel bakteri (Adindaputri, 2013).

Kulit jeruk nipis termasuk lapisan albedo, flavedo, dan lapisan segmennya,

memiliki kandungan flavonoid yang lebih tinggi daripada jus butiran daging

buahnya. Zat-zat dalam kulit jeruk nipis tersebut mampu bekerja sebagai zat anti

inflamasi, anti bakteri, anti mikroba, anti virus, anti ulserogenik, anti oksidan, anti

kanker, menurunkan kadar kolesterol, anti neoplastik, anti tumor, anti platelet,

anti hepatotoksik, serta anti hipertensi (Wardani, 2015).

2.2 Bakeri Sanmonella sp.

Bakteri Salmonella sp pertama kali ditemukan tahun 1885 pada tubuh babi

oleh Theobald Smith (yang terkenal akan hasilnya pada anafilaksis), namun

Salmonella sp dinamai dari Daniel Edward Salmon, ahli patologi Amerika (Ryan

dan Ray, 2004) dalam (Masita, 2015).

Bakteri Salmonella sp dikenal sebagai agen zoonosis dan merupakan

peringkat kelima dalam zoonosis prioritas, sesuai Keputusan Menteri Pertanian

nomor 4971/2012 tentang zoonosis proritas.Bakteri Salmonella sp merupakan

zoonosis yang banyak menyebabkan kasus pada manusia.Di Indonesia

Salmonellosis adalah suatu penyakit endemis dengan angka kejadian termasuk

yang tertinggi yaitu 358-810/100.000 penduduk/tahun dan angka kematian

demam tifoid di beberapa daerah adalah 2-5%.Jika pangan yang tercemar

Salmonella sp tertelan, dapat menyebabkan infeksi usus yang diikuti oleh diare,

mual, kedinginan dan sakit kepala.Ada 2200 jenis Salmonella dikelompokkan

berdasarkan antigen permukaannya.Bakteri ini dapat menyebabkan komplikasi

7
serius pada individu imunosupresif seperti pasien HIV/AIDS (Anon, 2009) dalam

(Dewi, 2015).

2.2.1 Klasifikasi Bakteri Sanmonella sp

Taksonomi dari Salmonella sp adalah sebagai berikut :

Kingdom : Bacteria

Filum : Proteobakteria

Class : Gamma proteobakteria

Ordo : Enterobakteriales

Family : Enterobakteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonellasp (D’aoust, 2001)

Salmonella sp merupakan bakteri batang lurus, gram negatif, tidak

berspora, dan bergerak dengan flagel peritrik kecuali Salmonella pullorum dan

Salmonella gallinarum (Jawet’z, dkk, 2005) dalam (Masita, 2015). Bakteri ini

bersifat fakultatif anaerob yang dapat tumbuh pada suhu dengan kisaran 5–45°C

dengan suhu optimum 35–37°C dan akan mati pada pH di bawah 4,1. Salmonella

tidak tahan terhadap kadar garam tinggi dan akan mati jika berada pada media

dengan kadar garam di atas 9%. Salmonella sp berbentuk Bacillus dan berupa

rantai filamen panjang ketika berada pada suhu ekstrim yaitu 4-8°C atau pada

suhu 45°C dengan kondisi pH 4.4 atau 9.4. Panjang rata-rata Salmonella sp 2-5

μm dengan lebar 0.8 – 1.5 μm (Masita, 2015).

Ciri-ciri lainnya yaitu berkembang biak dengan cara membelah diri,

mudah tumbuh pada medium sederhana, resisten terhadap bahan kimia tertentu

8
(misal, brilian hijau, natrium tetrationat, natrium deoksikolat) yang menghambat

bakteri enterik lain, oleh karena itu senyawa–senyawa tersebut berguna untuk

inokulasi isolat Salmonella sp dari feses pada medium, serta struktur sel bakteri

Salmonella sp terdiri dari inti (Nukleus), Sitoplasma, dan dinding sel. Karena

dinding sel bakteri ini bersifat gram negatif, maka memiliki struktur kimia yang

berbeda dengan bakteri gram positif (Pratiwi, 2011).

2.2.2 Patogenesis

Patogenesis adalah mekanisme penyebab penyakit.Istilah ini juga dapat

digunakan untuk menggambarkan asal usul dan perkembangan penyakit, apakah

akut, kronis atau berulang.Kata ini berasal dari bahasa Yunani. Patogen

Salmonella sp umumnya terkait dengan pencemaran tinja yang terdeteksi secara

sporadis atau tidak sama sekali (Paola et al,2010).

Mekanisme patogenesis Salmonella sp umumnya dengan proses infeksi

sistemik. Salmonella sp dapat berasal dari usus kecil, serta jaringan ternak

pedaging dan unggas tanpa menimbulkan tanda-tanda infeksi pada ternak.Sumber

infeksi Salmonellosis adalah kontaminasi karkas dan daging. Proses kontaminasi

dapat terjadi selama processing dan dapat juga berasal dari rekontaminasi daging

dan bahan makanan lain. Processing termal pada temperatur 66°C selama 12

menit atau 60°C selama 30 menit dapat menghancurkan sebagian besar

Salmonella sp (Soeparno, 2005).

Gejala infeksi Salmonella sp atau Salmonellosis umumnya adalah demam,

diare, mual, muntah dan sakit perut.Dalam beberapa kasus, Salmonellosis dapat

menyebar ke aliran darah yang mengakibatkan penyakit yang lebih berat seperti

infeksi arteri, Endokarditis, dan Arthritis (Sartika, 2012).Strategi pencegahan

9
penyakit Salmonellosis yang efektif adalah deteksi kasus, perbaikan sanitasi

lingkungan, pencegahan kontaminasi dalam industri makanan, menekan angka

reaktor Salmonellosis, pendidikan kesehatan masyarakat serta eliminasi sumber

infeksi (Ariyanti dan Supar, 2005) .

2.3 Media Pengujiian

Media adalah suatu kumpulan zat-zat organik dan nonorganik yang

dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri, virus, jamur, parasit (binatang bersel satu)

dan mikroba dengan syarat-syarat tertentu, diantaranya derajat keasaman dan

tingkat inkubasi tertentu.Media pertumbuhan mikroorganisme adalah suatu bahan

yang terdiri dari campuran zat-zat makanan yang diperlukan untuk mikrorganisme

tumbuh. Mikroorganisme memanfaatkan nutrisi dari media berupa molekul-

molekul kecil yang dirakit untuk menyusun komponen sel, dengan media

pertumbuhan dapat dilakukan isolat mikroorganisme menjadi kultur murni dan

juga manipulasi komposisi media pertumbuhan (Pratiwi, 2011).

Menurut Waluyo (2007), penggunaan isolasi seleksi dan diferensiasi biakan

yang didapat. Artinya penggunaan beberapa jenis zat tertentu yang mempunyai

pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakkan mikroba, banyak juga

dilakukan dan digunakan.Sehingga masing-masing media mempunyai sifat

(spesifikasi) tersendiri sesuai dengan maksudnya. Berdasarkan sifat-sifatnya, media

dibedakan menjadi:

a. Media Dasar/ Umum

Media dasar/umum yaitu media pembiakkan sederhana yang mengandung

zat-zat yang umum diperlukan oleh sebagian besar mikroorganisme dan

dipakai juga sebagai komponen dasar untuk membuat media pembiakan lain.

10
b. Media Diperkaya

Media ini dibuat dari media dasar dengan penambahan bahan-bahan lain

umtuk mempersubur pertumbuhan mikroba tertentu yang pada media dasar

tidak dapat tumbuh dengan baik.Untuk itu dibutuhkan beberapa penambahan

nutrisi pengaya kedalam media dasar yang dapat menyokong pertumbuhan

mikroba, misalnya dengan menambahkan darah, serum atau ekstrak hati.

c. Media diferensial

Media ini digunakan untuk membedakan bentuk dan karakter koloni mikroba

yang tumbuh.Beberapa mikroba dapat tumbuh di dalam media ini, tetapi

hanya beberapa jenis saja yang mempunyai penampilan pertumbuhan yang

khas.Media ini berfungsi untuk isolasi dan identifikasi bakteri.

d. Media Selektif

Media ini digunakan untuk menyeleksi pertumbuhan mikroba yang

diperlukan dari campuran mikroba-mikroba lain yang terdapat dalam bahan

yang akan diperiksa. Dengan penambahan zat-zat tertentu mikroba yang

dicari dapat dipisahkandengan mudah.Media ini sangat berguna untuk

identifikasi.Contohnya, Bismuth Sulfite Agar (BSA) yang digunakan untuk

mengisolasi bakteri jenis Salmonella sp.

2.4 Antibakteri

Antibakteri merupakan zat yang mampu menganggu pertumbuhan atau

bahkan mampu mematikan bakteri dengan cara menganggu metabolisme bakteri

yang merugikan (Nuhan, 2015). Aktivitas antimikrobia diukur secara in vitro

untuk menentukan potensi agen antibakteri dalam larutan, konsentrasinya dalam

cairan tubuh atau jaringan, dan kerentanan mikroorganisme tertentu terhadap obat

11
dengan konsentrasi tertentu (Brooks dkk,2008). Penentuan aktivitas antimikrobia

dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode difusi dan meode dilusi.Pada

metode difusi termasuk didalamnya metode disk diffusion (tes Kirby & Bauer), E-

test, ditch-plate technique, cup-plate technique.Sedangkan pada metode dilusi ada

dua metode yaitu dilusi padat dan dilusi cair (Pratiwi,2008).

A. Metode difusi menurut Pratiwi (2008), yaitu :

Metode disk diffusion (tes Kirby & Bauer) menggunakan cakram kertas saring

yang berisi larutan antimikrobia kemudian diletakkan pada media agar yang

sebelumnya telah ditanami mikroorganisme sehingga larutan antimikrobia

dapat berdifusi pada media agar tersebut.Daerah yang jernih mengindisikan

adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh larutan antimikrobia

pada permukaan media agar.

a. Metode E-test digunakan untuk menentukan Konsentrasi Hambat

Minimum (KHM), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikrobia

untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme.Pada metode ini

cakram kertas yang mengandung larutan antimikrobia dari konsentrasi

terendah hingga tertinggi diletakkan pada permukaan media agar yang

telah ditanami oleh mikroorganisme uji. Pengamatan dilakukan pada area

jernih yang terlihat menunjukkan konsentrasi larutan antimikrobia yang

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media agar.

b. Ditch-plate technique. Metode ini hampir sama dengan disk diffusion,

tetapi teknik ini dibuat sumur pada media agar yang telah ditanami

mikroorganisme uji dan pada sumur tersebut diberi agen antimikrobia

yang akan diuji.

12
B. Metode dilusi menurut Pratiwi (2008), yaitu :

Metode dilusi cair/broth dilution test.Metode ini digunakan untuk mengukur

konsentrasi hambat minimum (KHM) dan konsentrasi bunuh minimum

(KBM).Cara yang dilakukan adalah dengan membuat pengenceran agen

antimikrobia pada media cair yang ditambahkan mikroorganisme uji.

Larutan uji agen antimikrobia pada konsentrasi terkecil yang terlihat jernih

tanpa adanya pertumbuhan mikroorganisme uji ditetapkan sebagai KHM.Larutan

yang ditetapkan sebagai KHM selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa

penanaman mikroorganisme uji ataupun agen antimikrobia kemudian diinkubasikan

selama 18-24 jam.Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan

sebagai KBM.

Menurut Vandepitte dkk (2011), ada beberapa faktor teknis yang

mempengaruhi ukuran zona hambat pada metode difusi kertas cakram antara lain :

a. Kepekatan inokulum

Pengenceran inokulum yang terlalu encer akan mengakibatkan zona hambat

menjadi lebih lebar, sedangkan pengenceran inokulum yang terlalu pekat

maka ukuran zona hambat akan lebih sempit.

b. Waktu peletakkan cakram kertas

Jika cakram kertas diletakkan setelah bakteri uji diinokulasikan pada suhu

ruang yang lebih lama maka akan mengakibatkan diameter zona hambat

menjadi mengecil.

c. Suhu inkubasi

Suhu optimal untuk pertumbuhan bakteri dan untuk uji aktivitas antibakteri

adalah 35ºC. Jika suhu lebih rendah dari 35ºC maka zona hambat yang

13
dihasilkan akan lebih lebar dan waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan

efektif akan lebih panjang.

d. Waktu inkubasi

Masa inkubasi yang baik untuk pengujian adalah 16-18 jam.Jika data hasil

pengujian diambil tidak sesuai dengan waktu tersebut maka data yang diambil

tidak valid.

e. Ukuran lempeng, ketebalan media agar, dan pengaturan jarak antimikrobia.

Ukuran cawan petri standar untuk uji aktivitas antibakteri adalah berdiameter.

9-10cm dan diisi 6-7 cakram kertas pada tiap agar. Pengaturan jarak cakram

yang tepat sangat penting untuk mencengah tumpang tindih zona hambat,

media agar yang tipis akan mengakibatkan zona hambat yang terbentuk

menjadi lebih lebar, begitu sebaliknya pada media agar yang tebal.

f. Potensi cakram antimikroba

Diameter zona hambat terkait dengan jumlah antibakteri yang terserap pada

kertas cakram. Semakin banyak larutan antibakteri yang terserap dalam

cakram kertas maka diameter zona hambat yang dihasilkan akan semakin

luas.

g. Komposisi media

Media juga mempengaruhi ukuran zona hambat. Media yang spesifik akan

mempercepat pertumbuhan bakteri, mempercepat penyerapan zat antibakteri,

dan aktivitas antibakteri.

Menurut Davis dan Stont dalam Allo (2016), berdasarkan zona hambat

yang terbentuk maka aktivitas antibakteri dapat digolongkan yaitu antibakteri

yang tergolong lemah (zona hambat yang terbentuk <5mm), sedang (zona hambat

14
antara 5-10mm, kuat (zona hambat antara 10-19mm), dan tergolong sangat kuat

(zona hambat ≥ 20𝑚𝑚).

2.5 Antibiotik

Antibiotika adalah senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme (bakteri,

jamur) yang mempunyai efek menghambat atau memberhentikan suatu proses

biokimia mikroorganisme lain. Sifat antibiotika adalah harus memiliki sifat

toksisitas selektif setinggi mungkin artinya obat tersebut harus bersifat sangat

toksik untuk mikroba tetapi relatif tidak toksik untuk hospes (Setiabudy, 2007).

Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu

mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda

dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desinfektan membunuh kuman dengan

menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman untuk hidup.Antibiotik

tidak efektif menangani infeksi akibat virus, jamur, atau nonbakteri lainnya,

(Setiabudy, 2007).Pemberian antibiotika biasanya diberikan dalam dosis yang

menyebabkan bakteri segera mati.

2.6 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu

pelarur cair. Senyawa aktif dalam simplisia dapat digolongkan kedalam golongan

minyak atsiri, alkaloid, flavonoida, dan lain-lain. Simplisia yang diekstraksi

mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut

seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain (Depkes RI, 2000).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat

aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang

15
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau

serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Depkes RI, 1995).

Menurut Depkes RI (2000), ada beberapa metode ekstraksi :

A. Cara dingin

Ekstraksi dengan cara dingin terdiri dari :

a. Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruang (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti

dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti

dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan

maserat pertama dan seterusnya.

b. Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada

temperatur ruang. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap

maserasi antara, tahap perkolasi, sebenarnya (penetasan/penampungan

ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang

jumlahnya 1-5 kali bahan.

B. Cara panas

Ekstraksi dengan cara panas terdiri dari :

a. Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

16
pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu

pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

b. Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang

umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontiniu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

c. Didesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada

temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur

40-50ºC.

d. Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana

infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98ºC)

selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok adalah infus dengan waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur

sampai titik didih air.

2.7 Sterilisasi

Sterilisasi merupakan suatu proses yang dilakukan untuk tujuan membunuh

atau menghilangkan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada suatu objek atau

spesimen. Cara-cara sterilisasi (Pratiwi,2008) yaitu :

a. Sterilisasi dengan bahan kimia, contoh : senyawa fenol dan turunannya.

Desinfektan ini digunakan misalnya untuk membersihkan area tempat bekerja.

b. Strelisasi kering digunakan untuk alat-alat gelas misalnya cawan petri dan tabung

reaksi.Walau sterilisasi selama ±2 jam, berdaya penetrasi rendah. Ada dua

metode sterilisasi panas kering yaitu dengan insinerasi, yaitu pembakaran dengan

api bunsen dan oven dengan temperatur sekitar 160-170ºC.

17
c. Sterilisasi basah, biasanya menggunakan uap panas bertekanan dalam autoklaf.

Media biakkan, larutan dan kapas dapat disterilkan dengan cara ini. Autoklaf

merupakan suatu alat pemanas bertekanan tinggi dengan meningkatnya suhu air

maka tekanan udara akan bertambah dalam autoklaf yang tertutup rapat. Sejalan

dengan meningkatnya tekanan diatas tekanan udara normal, titik akhir

meningkat.Biasanya pemanasan autoklaf berada pada suhu 121ºC selama 15

menit.

d. Filtrasi bakteri, digunakan untuk mensterilkan bahan-bahan yang terurai atau

tidak tahan panas.

18
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat Eksperimental dengan melakukan penelitian untuk

melihat aktivitas dari ekstrak etanol kulit jeruk nipis (Citrus aurontifolia S.)

terhadap pertumbuhan bakteri Salmonella sp.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi

Universitas Sari Mutiara Indonesia. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juli

2018.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat-alat

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah alat-alat gelas, autoklaf,

blender, cawan Petri, cawan porselen, gelas penutup, hot plate, jangka sorong,

jarum ose, inkubator, kertas perkamen, kertas saring, kapas, kassa steril, rotary

evavorator, lemari pendingin, lemari pengering, neraca kasar, neraca listrik, oven,

pencadang logam, pemanas air, pipet mikro, pinset, lampu bunsen, kompor.

3.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kulit jeruk

nipis, Nutrient Agar (NA), Mueller Hinton Agar (MHA), suspensi Mc. Farland,

bakteri Salmonella sp, akuades dan etanol 96%, Kloramfenikol.

19
3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Pengambilan Sampel Kulit Jeruk Nipis

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit jeruk nipis yang

diambil dari daerah Medan Tembung, Sumatera Utara. Pengambilan sampel

dilakukan secara purposif tanpa membandingkan dengan jeruk nipis lainnya.

3.4.2 Pembuatan Simplisia Kulit Jeruk Nipis

Setelah jeruk nipis telah diambil, dilakukan sortasi basah di bawah air

mengalir untuk memisahkan jeruk nipis dari debu atau kotoran lainnya. Setelah

bersih dari kotoran jeruk nipis ditiriskan kemudian dipisahkan dari daging

buahnya. Kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 45°C hingga

meremah, lalu diblender hingga halus. Kulit jeruk nipis yang telah menjadi serbuk

disimpan dalam wadah yang kering.

3.4.3 Pembuatan Ekstrak Kulit Jeruk Nipis

Sebanyak 200 gram serbuk kering jeruk nipis dimaserasikan dengan

pelarut etanol 70% sebanyak 1.5 liter didalam wadah tertutup rapat selama 3 hari

terlindung dari cahaya matahari sambil diaduk kemudian disaring sehingga

diperoleh maserat.

Hasil saringan kemudian diuapkan pelarutnya menggunakan rotary

evavorator, sehingga didapat ekstrak kental yang bebas dari pelarut.Mekstrak

yang dihasilkan digunakan untuk pengujian selanjutnya.

3.4.4 Pembuatan Variasi Konsentrasi

20
Variasi konsentrasi ekstrak jerut nipis dibuat dengan melarutkan ekstrak

dengan aquadest steril hingga konsentrasi yang ingin diperoleh. Ekstrak dibuat

dalam konsentrasi 10%, 20%, dan 30%

3.5 Uji Aktivitas Bakteri Salmonella sp

3.5.1 Sterilisai Alat

Alat-alat yang digunakan dalam uji aktivitas antibakteri ini, disterilkan

terlebih dahulu sebelum dipakai. Alat-alat gelas disterilkan didalam oven pada

suhu 170°C selama 1 jam. Media disterilkan di Autoklaf pada suhu 121°C selama

15 menit. Jarum ose dan pinset dengan lampu bunsen (Lay, 1994).

3.5.2 Pembuatan Media

3.5.2.1 Pembuatan Nutrient Agar (NA)

Komposisi : Lab-lenco powder 10,0 g

Yeast extrack 2,0 g

Peptone 5,0 g

Sodium chloride 5,0 g

Agar 15,0 g

Cara pembuatan :

Sebanyak 28 gram media Nutrien Agar (NA) dilarutkan dalam air suling

steril ad 1000 ml kemudian dipanaskan hingga larut, dalam keadaan panas larutan

tersebut dimasukkan kedalam erlenmeyer, lalu disterilkan di autoklaf pada suhu

121°C selama 15 menit (Oxod, 2013).

3.5.2.2 Media Mueller Hinton Agar (MHA)

Komposisi: Beef infusion 3g

Bacto-casamino acid 5 g

21
Pati 1,5 g

Bacto Agar 17 g

Air suling sampai 1L

Cara pembuatan :

Sebanyak 38 g media Mueller Hintion Agar (MHA) dilarutkan kedalam air

suling steril secara sedikit demi sedikit, kemudian volumenya dicukupkan hingga

1 liter dan dipanaskan sampai terlarut sempurna. Media disterilkan dalam autoklaf

pada temperatur 121°C selama 15 menit (Difco, 1997).

3.5.2.3 Pembuatan Suspensi Mc. Farland

Komposisi : Larutan asam sulfat 1% v/v 99,5 ml

Larutan Batrium Klorida 0,5 ml

Cara pembuatan :

Dicampurkan kedua larutan diatas dalam tabung reaksi dan dikocok

sampai homogen.Sehingga diperoleh suspensi dengan tingkat kekeruhan yang

dikenal dengan kekeruhan standar Mc. Farland. Apabila kekeruhan suspensi

bakteri uji sama dengan kekeruhan suspensi Mc. Farland, maka konsentrasi

suspensi bakteri uji adalah 108 CFU/ml.

3.5.3 Pembuatan Media Agar Miring

Sebanyak 3 ml media Nutrient Agar (NA) dimasukkan ke dalam tabung

reaksi steril, didiamkan pada temperatur kamar sampai media memadat pada

posisi miring kira-kira kemiringan 45°. Media yang telah padat disimpan di dalam

lemari pendingin pada suhu 5°C (Ditjen POM, 1993).

3.5.4 Kultur Bakteri Salmonella sp.

22
Koloni bakteri diambil dengan menggunakan jarum ose steril =, lalu

ditanam pada media Nutrient Agar (NA) miring dengan caradigoreskan. Media

tersebut selanjutnya diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 36-37°C selama

18-24 jam (Ditjen POM, 1995).

3.5.6 Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Kulit Jeruk Nipis

(Citrus aurontifolia S.) Terhadap Bakteri Salmonella sp. Secara in

vitro

Pengujian antibakteri dilakukan terhadap ekstrak etanol kulit jeruk nipis

dengan menggunakan metode difusi dengan cara sumuran.

Cara kerja :

Dituangkan sebanyak 20ml media Mueller Hinton Agar suhu kamar

kedalam cawan petri yang telah disterilkan dan dibiarkan membeku. Dipipet 0,1

ml suspensi bakteri dengan konsentrasi 106 CFU/ml kemudian dimasukkan ke

dalam media dan diratakan dengan kaca bengkok diseluruh permukaan media,

biarkan selama ± 5 menit. Kemudian pada media ini dibuat lubang dengan

menggunakan pencetak lubang.

Pada tiap lubang dimasukkan ekstrak etanol kulit jeruk nipis sebanyak 0,1

ml dengan berbagai konsentrasi. Kemudian dilakukan pra inkubasi selama 15

menit.Lalu diinkubasi dalam inkubator pada suhu 37°C selama 18-24 jam.Setelah

itu diukur diameter daerah hambatan pertumbuhan (daerah bening) disekitar

lubang.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adindaputri, Z.U., Purwanti, N., Ivan, A.W. (2013). Pengaruh Ekstrak Kulit Jeruk
Nipis (Citrus Aurontifolia Swingle) Konsentrasi 10% Terhadap Aktivitas
Enzim Glukosiltransferase Streptococcus mutans dalam Majalah
Kedokteran Gigi.Volume 20.Jilid 2. Halaman 126-131.

Arisandi, Y., dan Andriani, Y. (2008). Khasiat Berbagai Tanaman Obat Untuk
Pengobatan. Cetakan III. Jakarta : Eska Media. Halamn 166-171.

Ariyanti, T., Supar. 2005. Cemaran Salmonella Enteritidis pada Ternak dan
Roduknya. Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk
Peternakan.Jurnal Penelitian.Diakses tanggal 05 November 2016.

Astarini , Niluh Putu Febrina, Perry Burhan, Yulfi Zetra. 2010. Minyak Atsiri dari
Kulit Buah Citrus grandis, Citrus aurantium. (L.) dan Citrus aurantifolia
(RUTACEAE) Sebagai Senyawa Antibakteri dan Insektisida :Prosiding
Skripsi Semester Genap2009/2010 SK-091304. Jurusan Kimia : Institut
Teknologi Sepuluh Nopember. http://digilib.its.ac.id/public/ITS-
Undergraduate-13463-Paper.pdf diakses pada tanggal 11 Juni 2016.

CCRC Farmasi UGM. 2014. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia S.) diunduh dari
http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?pageid=183 dan diakses pada tanggal 11
Juni 1017.

D’aoust, J. V. 2001. Salmonella.Di dalam: Labbe’ RG, Garcia S, editor. Guide to


Foodborne Pathogens. New York, A John Wiley & Sons, Inc.,
Publication.hlm 163-191.

Davis, W.W.dan Stout, T.T., 1971, Disc Plate Method of Microbiological


AntibioticAssay, Microbiology 22, pp.659-665.

De Paola, A., J.L. Jones, J. Woods, W. Burkhardt, K.R. Calci, J.A. Krantz, J.C.
Bowers, K. Kasturi, R.H. Byars, E. Jacobs, D. Williams-Hill, and K. Nabe.
2010. Bacterial and Viral Pathogens in Live Oysters, 2007 United States
Market Survey. Appl Environ Microbiology. Jurnal Penelitian, 2754-
2768.Diakses tanggal 05 November 2016.

24
Departemen Kesehatan RI, 2000, Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta, 17, 31-32 .

Depkes.(1995).Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Hal 300-304, 306.

Dhanavade, M.J, Jalkute, C.B, Ghosh, J.S, dan Sonawane, K.D (2011). Study
antimicrobial activity of lemon (Citrus lemon L.) peel extract dalam
British Journal Pharmacology of Toxicology. Volume 2(3). Halaman 22-
119.

Difco Manual of Laboratories.(1997). Dehydrated Culture Media and Reagent


forMycrobiological and Clinical Laboratory Procedure.Ninth Edition.
Detroit Michigan. Hal.32-33.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI. Halaman 7, 855, 891, 896-898.

Entjang, I. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk akademi keperawatan.PT


Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Fajjriyah, Noor. 2017. Kiat Sukses Budidaya Bawang Merah. Yogyakarta :


Penerbit Bio Genesis..

Hariana, Arief. 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya.Jakarta : Penerbit Penebar


Swadaya.

Jawetz, Melnick dan Adelberg. 2005. Mikrobiology Kedokteran (Buku 2).


Penerjemah : N. Widorini. Jakarta : Penerbit Salemba Medika

Lay, B.W (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada Halaman 67.

Masita, I. A. 2015. Deteksi Salmonella sp. pada Daging Sapi Di Pasar


Tradisional dan Pasar Modern Di Kota Makassar.Skripsi.Diakses tanggal
05 November 2016.

Nuhan, Felisia Anita. 2015. Skrining Antibakteri Kombinasi Ekstrak Etanol


Temulawak, Meniran, Kemukus, dan Beluntas Terhadap Staphylococcus
aureus, Escherichia coli,dan Salmonella typhi. Skripsi.Universitas Katolik
Widya Mandala. Surabaya. Diunduh dari
http://repository.wima.ac.id/5079/1/Abstak.pdf diakses pada tanggal
17Juni 2017perbaikan). Jakarta: Gaya Baru.

Pratiwi S.T. 2008. Mikrobiology Farmasi . Jakarta. Penerbit Erlangga.

25
Pratiwi, Erni. 2011. Pemeriksaan Salmonella. http://id.scribd. com/doc/54252133/
tugas-bakteri2. Diakses tanggal 09 November 2016.

Rukmana, Rahmat. 2003. Jeruk Nipis, Prospek Agribisnis, Budidaya


danPascapanen. Yogyakarta : Kanisius.

Ryan, J. K & Ray, G. C., 2004, Sherris Medical Microbiology An Introduction


toInfections Diseases, Edisi 4, 21-55, USA, Mc Graw Hill
Setiabudy, Rianto. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V (cetak ulang dengan

Setiawan, D. (2000). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia.Jilid 2. Jakarta. Trubus


Agriwidya. Halaman 85-86.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi Ke-4. Gadjah Mada.
University Press, Yogyakarta.

Vandepitte, J., J.. Verhaegen, K. Engbaek, P. Rohner, P. Piot, dan C. C Heuck.


2011. Prosedur Laboraorium Dasar Untuk Bakteriologi Klinis. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Waluyo. L. 2007. Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang

Wardani, P.R. (2015). Pengaruh Ekstrak Etanol Kulit Jeruk Nipis (Citrus
aurontifolia (Christm.) Swingle) Terhadap Penyembuhan Ulkus Traumatik
Pada Rattus norvegicus Strain Wistar.Skripsi.Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Winarto W.P. 2003.Memanfaatkan Bumbu Dapur Untuk Mengatasi Aneka


Penyakit.Jakarta : AgroMedia Pustaka.

26
Lampiran 1. Kerangka Konsep Penelitian

Kulit Jeruk Nipis

Dipisahkan dari kotoran

Dicuci, Ditiriskan

Dipisahkan dari kulit buahnya

Dikeringkan di dalam Oven pada


suhu 45oC

Simplisia Kulit Jeruk Nipis

Dihaluskan (Diblender)

Serbuk Simplisia Kulit jeruk


Nipis

Serbuk Simplisia
Kulit Jeruk nipis 200 gram

Maserasi Kulit Jeruk Nipis

Direndam dengan Etanol 70%


Selama 3 jam

Disaring, Dipindahkan ke
dalam botol
Diuapkan selama 3 hari

27
Ekstrak Kulit Jeruk Nipis Uji Aktivitas Antibakteri
dengan Metode In-vitro

Anda mungkin juga menyukai