Anda di halaman 1dari 4

*IMING IMING SI KEPALA HITAM*

Demokrasi bukan untuk diinjak dengan dasar engkau patuh pada kekuasaan
Demokrasi itu hak rakyat yang tak bisa dielak, ini gagasan kami!
Dulu engkau berseru tentang nurani dengan menjunjung tinggi demokrasi
“Ini hak kita, si miskin dan si kaya! Ini hak semua rakyat!”
Tapi sejak engkau berdiri lebih jauh di atas
Kau serukan hal yaang berbeda
“Ini hak kami, hak para petinggi”
Lantas engkau lupakan kami yang menopangmu di bawah

Demokrasi bukan sebuah barang yang dengan mudah engkau jual belikan
Saat di bawah kau berikan harga murah, telinga engkau pasang denga benar
Tapi saat di atas, conge sengaja engkau pelihara.
“aku tak mendengarmu! Kalian terlalu jauh! Kalau bisa naiklah”
Itu yang engkau serukan dengan kaki menginjak kepala kami
Lantas bagaimana suara kami sejajar deengan ejekanmu itu

Demokrasi adalah harga mati, yang sejak dulu telah kita sepakati
Suara rakyat suara Tuhan. Dengarkan dulu baru engkau putuskan!
Demokrasi adalah hak kami, hak bersuara, hak memilih, dan untuk hidup!

*Purbalingga,12-04 – 2000*
*Aditya wisnuaji*

*DEMOKRASI YANG PINCANG*

Langit semakin menua namun tak ada yang berubah dariku, korupsi semakin
merajalela, moral bangsa semakin hancur, penipuan layaknya menjadi hal yang
biasa, para penguasa tetap egois memikirkan kantong sendiri.

Nasib bangsaku menjadi taruhan di meja para pemimpinku, terombang ambing di


tengah samudera bak perahu tanpa nahkoda, berjalan tanpa arah di hempas
gelombang di lautan politik kekuasaan.

Tak ada yang salah dalam politik namun bijaklah dalam memutuskan, jadikan
rakyat sebagai tujuan, bukan untuk kehancuran tapi demi kesejahteraan, agar
mereka dapat hidup nyaman.

Wahai para penguasa.

Rakyatmu menjerit kesakitan karena negaramu diambang kehancuran, janji-janji


tak ubahnya seperti biduan yang kenikmatannya hanya sesaat, kebebasan politik
bukan lagi karena rakyat melainkan hanya kesenangan.
Kepekaan di wajahmu tak lagi kutemukan, karena dipikirmu hanyalah pencitraan,
bagimu kemenangan adalah menjatuhkan lawan, nasib bangsa kini tak lagi
dihiraukan, karena janjimu telah berselingkuh, berubah menjadi lawan.

Kehancurah tak lagi diindahkan, Dekadensi moral semakin meningkat, Mental


perjuangan menjelma mental uang, permata, kekuasaan, kepentingan pribadi,
lagi-lagi rakyatlah yang dikorbankan.

tuan-tuan, aku tidak sedang membual, kini yang kaya semakin kaya, yang miskin
semakin melarat, janji-janji tinggal kenangan, pesta demokrasi jalan untuk
kekuasaan, bagi para pembual yang ingin berkuasa.

Para penguasa tidur dengan perut kenyang, rakyat jelata tidur dengan perut
keroncongan, para penguasa berpesta di restoran, rakyat jelata berjalan menangis
di pinggir jalan.

Tuan-tuan !!!

Jika boleh, ijinkan aku berkata, berkata sesuatu yang nyata, bahwa ini demokrasi
yang pincang.

*Demokrasi, syair*

*“TIADA KATA DUSTA UNTUK PRESIDEN”*

Mr. Presiden, boleh aku bertanya


Untuk siapa istana yang kau diami Untuk siapa karpet merah yang kau tapaki
Tolong katakan, semua itu untuk rakyat yang menderita
Mr. Presiden, boleh aku bertanya lagi
Untuk siapa bendera yang kau kibarkan Untuk siapa pidato yang kau tebarkan
Tolong katakan, semua itu untuk rakyat yang masih nestapa
Mr. Presiden, lelah sudah aku bertanya
Karena di bawah langit nusantara
Masih ada orang salah dibenarkan; Dan orang benar disalahkan
Masih ada orang membenarkan kebiasaan; Daripada membiasakan kebenaran
Masih ada orang membuat alasan; Bukan berbuat karena ada alasan
Mr. Presiden, berpeganglah pada sumpahmu
Agar bangsa ini tak sebatas kamu dan aku
Agar bangsa ini lebih banyak bicara tentang kita
Agar esok, tiada kata dusta untukmu
Mr. Presiden

*Dalam Buku Antologi Puisi Kritik Sosial*


*13 Desember 2014*
*Karya Syarifudin Yunus*

*Kamu Itu Siapa?*

Kamu itu siapa?


Hingga tiba-tiba merasa bisa mengubah nasib kami

Kamu itu dari mana?


Mendadak hadir di tengah sulitnya hidup dengan sekarung janji

Kamu itu kenapa?


Sampai merasa paling bisa membawa amanat berat sebuah negeri

Kamu itu ke mana saja?


Saat piring-piring kami berdenting kering dari butiran nasi

Kamu dulu di mana?


Ketika lapak dan rumah kami hancur tergusur oleh sejuta arogansi

Kamu itu punya apa?


Hingga begitu yakin bisa surutkan lautan kecewa serta air mata duka kami
Lalu ratusan fotomu sudah tersebar di sepanjang jalan dan sudut kota
Berlatar bendera organisasi, dengan jas berdasi, senyum paling memikat juga rambut licin berkilat
Kau jual slogan dan janji-janji surga buat kami
Kau tawarkan hidup paling indah di masa depan
Kau bawakan pula harapan tercantik tentang masa depan sebuah negeri

Kamu itu siapa?


Hingga merasa pernah mengenal kami

*Andri – Surabaya*

*Puisi Karya*
*Anwari WMK*

*WAKTU*

di sebuah negeri.
waktu berhenti berputar
jam jam dinding meleleh
sebab
setiap napas
tanpa masa lampau
setiap sukma
tanpa masa depan

lihat.
bandit, bromocorah
copet, maling dan penipu
berbedak gincu di
istana istana kuasa
bersulang anggur pembesar negeri
serupa raja zaman purba
rakyat dipaham maknakan
ulat, cacing, dan belatung

di sebuah negeri.
waktu berhenti berputar
jam jam dinding meleleh
sebab
pembesar negeri
pesta pora tanpa henti
kala rakyat terbenam
genangan airmata
sebab
sekerat kemanusiaan
segumpal kerakyatan
dimuliakan dengan kepalsuan

dan engkau para pujangga


tersuruk labirin peradaban hantu
dan kalian kaum intelektual
dibisukan takdir kuasa dunia hitam
dan dirimu para agamawan
terhempas tsunami kemunafikan

ooh.....perih.
negeri itu ternyata indonesia.
ooh.....perih......
ooh.....

*Jakarta, 24 September 2010*

Anda mungkin juga menyukai