Makalah Kecerdasan
Makalah Kecerdasan
BAB I
PENDAHULUAN
B. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, batasan masalah yang dapat penulis tuliskan adalah
menjelaskan teori-teori kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan
kecerdasan spiritual.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah diatas, rumusan masalah pada makalah ini adalah bagaimana
pengertian dari teori kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual?
D. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah menjelaskan tentang teori kecerdasan yang terdiri dari
kecerdasan emosional , kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual.
E. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penulisan makalah ini adalah mengetahui pengertian secara
mendalam tentang teori –teori kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual
dan kecerdasan spiritual.
2. Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penulisan makalah ini adalah sebagai sumber pembelajaran bagi
rekan-rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Agama Buddha Jinarakkhita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Inteligensi
Inteligensi merupakan salah satu milik kita yang paling berharga. Namun orang yang paling
cerdas sekalipun tidak sepakat mengenai pengertian inteligensi. Karena inteligensi tidak
dapat diukur secara langsung seperti tinggi dan berat badan seseorang. Pengertian inteligensi
banyak dikemukakan oleh para ahli. Banyak para ahli mengemukakan pendapat yang
berbeda-beda. Beberapa ahli mendeskripsikan inteligensi sebagai keahlian memecahkan
masalah (Problem solving). Ada pula yang mendeskripsikan sebagai kemampuan beradaptasi
dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari.
Menurut John. W. Santrock (2010) inteligensi adalah keahlian memecahkan masalah dan
kemampuan untuk beradaptasi pada pengalaman hidup serta belajar dari pengalaman hidup
sehari-hari.
Menurut Super & Cities pengertian inteligensi dikatakan bahwa “Inteligence has frequently
been defined as the ability to adjust to the environment or to learn from experience” (Super &
Cities, 1962:182 dalam Dalyono,2010). Artinya inteligensi adalah kemampuan menyesuaikan
diri dengan lingkungan atau belajar dari pengalaman.
Selain itu, pendapat lain tentang pengertian inteligensi dikemukakan oleh Heidentich
(Heidentich dalam Haryu Islamudin, 2012:250) yaitu “Intelligence refers to the ability to
learn and to utilize what has been learned in adjusting to unfamiliat situation, or in the
solving of problems” Artinya adalah kecerdasan menyangkut kemampuan untuk belajar dan
menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha penyesuaian terhadap situasi-situasi
yang kurang dikenal, atau dalam pemecahan masalah-masalah.
a. Pembawaan
Pembawaan ditentukan oleh sifat-sifat yang telah ada sejak lahir. Misalnya, dalam sebuah
kelas, seorang guru memberikan materi yang sama, namun tidak menuntut kemungkinan
semua siswa dapat menerima dengan kapasitas yang sama. Hal demikian terjadi karena
kemampuan peserta didik yang berbeda yaitu memiliki kecerdasan yang baik dan tidak
memiliki kecerdasan yang kurang baik.
b. Kematangan
Kematangan yang dimaksud disini adalah kematangan organ tubuh dari hasil pertumbuhan
dan perkembangan. Kematangan itu dapat disebut sebagai kesanggupan organ tubuh dalam
menjalankan fungsinya masing-masing. Misalnya, seorang siswa menerima soal namun tidak
dapat mengerjakan dengan baik, dan merasa sukar karena soal tersebut masih sangat sukar
baginya. Hal demikian terjadi karena, kapasitas soal yang diterima belum sesuai dengan usia
anak didik.
c. Pembentukan
Pembentukan dapat diartikan sebagai segala keadaan diluar diri seseorang yang
mempengaruhi perkembangan inteligensi. Pembentukan itu dapat dilakukan dengan sengaja
(belajar disekolah) dan pembentukan tidak sengaja (pengaruh alam sekitar).
Minat mengarahkan perbuatan manusia kepada tujuan yang hendak dicapai. Dalam diri
manusia terdapat dorongan –dorongan yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan
dunia luar. Dari dorongan untuk berinteraksi dengan dunia luar itu, timbulah minat terhadap
sesuatu. Segala yang ia minati akan mendorongnya untuk melakukan lebih giat dan lebih baik
lagi.
e. Kebebasan
Kebebasan berarti manusia dapat memilih metode-metode yang hendak digunakan dalam
memecahkan masalah. Manusia bebas memilih metode, juga bebas memilih masalah sesuai
kebutuhannya. Dengan adanya kebebasan ini berarti minat itu tidak selamanya menjadi syarat
dalam perbuatan inteligensi.
Semua faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk menentukan inteligensi atau
tindakan seorang anak, kita tidak dapat hanya melihat satu faktor. Inteligensi adalah faktor
total. Keseluruhan peribadi turut serta menentukan dalam perbuatan inteligensi seseorang.
Pada tahun 1948, peneliti Amerika R.W. Leeper memperkenalkan gagasan tentang
“pemikiran emosional”, yang diyakininya sebagai bagian dari pemikiran logis. Akan tetapi,
hanya sebagian kecil psikolog atau pendidik yang melanjutkan pemikiran ini sampai 30
tahun. Kemudian pada tahun 1989, Howard Gardner dari Universitas Harvard menulis
tentang kemungkinan adanya kecerdasan yang bermacam-macam, termasuk yang
disebutkannya kemampuan dalam tubuh adalah kemampuan melakukan introspeksi dan
kecerdasan pribadi. Selain itu, kecerdasan emosional banyak didefinisikan oleh para ahli
yang berbeda-beda.
Menurut Peter Salovy dan John Mayer (1990) dalam John W. Santrock (2010:146)
kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memonitor perasaan diri sendiri dan
perasaan serta emosi orang lain, kemampuan untuk membedakannya, dan kemampuan untuk
menggunakan informasi ini untuk memandu pemikiran dan tindakan dirinya.
Konsep kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman dengan hasil riset terbaru itu cukup
lebih memberikan kesimpulan mengapa orang ber-IQ tinggi gagal dan orang ber-IQ rendah
justru menjadi sukses. Goleman percaya bahwa untuk memprediksi kompetensi seseorang, IQ
seperti yang diukur dengan tes kecerdasan ternyata tidak lebih penting dari kecerdasan
emosional. Dengan hal demikian Daniel Goleman mempopulerkan kecerdasan lain yang
menjadikan orang sukses tanpa IQ tinggi yaitu “Kecerdasan Emosional” (EQ).
Daniel Goleman memberikan fakta nyata terhadap kecerdasan IQ yang tinggi namun tidak
adanya kecerdasan emosional. Contoh kasus tersebut adalah sebagai berikut:
Alasan sesungguhnya mengapa David Pologruto, seorang guru fisika sekolah menengah,
ditusuk dengan sebilah pisau dapur oleh seorang siswa terpandai dikelasnya masih
diperdebatkan. Tetapi, fakta-fakta yang dilaporkan umumnya sebagai berikut:
Jason H, siswa kelas dua yang nilainya selalu A di SMU Coral Spings, Florida, bercita-cita
masuk fakultas kedokteran. Bukan sekedar fakultas kedokteran, bahkan ia memimpikan
Harvard, tetapi, Pologruto, guru fisikanya memberi Jason nilai 80 pada sebuah tes. Karena
yakin bahwa nilai B menghalangi cita-citanya, Jason membawa sebilah pisau dapur
kesekolah, dan dalam suatu pertengkaran dengan gurunya dilaratorium fisika, ia menusuk
gurunya ditulang selangka sebelum dapat ditangkap dengan susah payah.
Hakim memutuskan Jason tidak bersalah, karena pada saat itu, ia dianggap gila untuk
sementara selama peristiwa tersebut. Sebuah panel terdiri dari empat psikolog dan pesikiater
bersumpah bahwa ia gila selama perkelahian itu. Jason mengatakan ia telah berencana untuk
bunuh diri, karena nilai tes tersebut, dan pergi menemui Pologruto untuk mengatakan
kepadanya karena nilainya yang buruk itu. Pologruuto menyampaikan cerita yang berbeda:
“saya rasa ia betul-betul mencoba membunuh saya dengan pisau itu karena ia sangat marah
atas nilai tersebut”.
Setelah pindah kesebuah sekolah swasta, Jason lulus dua tahun kemudian sebagai juara kelas.
Nilai sempurna dari kelas reguler akan memberinya angka A bulat, rata-rata 4.0. Tetapi
karena Jason telah mengikuti banyak kursus lanjutan, nilai rata-ratanya menjadi 4,614 jauh
diatas A+. Meskipun Jason lulus dengan nilai terbaik, guru fisikanya yang lama, David
Pologruto, mengeluh karena Jason tidak pernah meminta maaf atau mau bertanggung jawab
atas serangan tersebut. (Sukidi, 2004:40)
Berdasarkan cerita tersebut, telah jelas bahwa orang yang memiliki tingkat intelektual tinggi,
belum tentu memiliki nilai spiritual yang baik, hingga melakukan tindakan yang tidak
rasional. Banyak orang mengatakan dengan tingkat kecerdasan yang tinggi akan menjadi
orang yang sukses, dan yang memiliki IQ sedang akan hidup dalam kesusahan. Tetapi,
menurut Goleman tidak demikian.
Kecerdasan emosional menyatukan emosi dan kecerdasan. Seorang anak yang memiliki
kecerdasan intelektual yang tinggi, namun emosionalnya tidak terjaga, mereka akan
menggunakan akal buruk kedalam hal-hal yang negatif. Contoh kasus, ketika mereka
memiliki teman akrab namun ia tidak dapat mengendalikan emosional ketika bergaul, ia bisa
saja melakukan tindakan yang merugikan, ia membolos, mengikuti gaya hidup anak sekarang
yang tidak patut dilakukan. Untuk itu, kecerdasan emosional amat penting bagi anak didik.
Dengan mereka memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka mereka akan dapat
menjaga perasaannya dengan berpikir baik, sehingga dapat memilah baik buruknya segala
sesuatu.
Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya
sendiri. Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Selain itu, dengan mengenali emosi diri sendiri akan
memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
Kesadaran diri memungkinkan pikiran rasional memberikan informasi penting untuk
menyingkirkan suasana hati yang tidak menyenangkan.
Menurut Mayer kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang
suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi
dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun
merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu
mudah menguasai emosi.
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat
terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.
Selain itu, mengelola emosi dapat diartikan sebagai upaya menangani emosi sendiri agar
berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapai suatu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi.
Pengendalian emosi tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi,
melainkan memahami suatu emosi yang dirasakan, termasuk emosi yang tidak
menyenangkan. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci
menuju kesejahteraan emosi.
Motivasi merupakan suatu usaha diri untuk merubah hal yang baru menjadi tindakan positif
untuk mencapai suatu tujuan nyata dan cita-cita. Peran memotivasi diri yang terdiri atas
antusiasme dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam segala
aktivitasnya.
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Artinya mampu
merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka,
menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau
masyarakat. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka kita kepada emosi
diri sendiri, maka semakin terampil kita membaca perasaan orang lain.
Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebih sering diungkapkan melalui
pesan nonverbal, seperti melalui suara, ekspresi wajah, gerak –gerik dan sebagainya.
Kemampuan mengindra, memahami dan membaca perasaan atau emosi orang lain melalui
pesan-pesan non verbal ini merupakan intisari dari empati.
Kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan
orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial serta bertindak bijaksana dalam
membina hubungan antar manusia. Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang
membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan membina kedekatan hubungan, meyakinkan
serta mempengaruhi untuk membuat orang lain merasa nyaman. Kemampuan sosial ini dapat
diartikan sebagai kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan.
Murid yang memiliki inteligensi kreatif tinggi biasanya bukan ranking atas dalam kelas.
Strenberg mengatakan bahwa murid yang kreatif mungkin tidak dapat menyelesaikan tugas
pelajaran sesuai dengan guru. Jawaban mereka mungkin tidak lazim atau tepat, namun
jawaban yang aneh sehingga sering disalahkan oleh guru.
Seperti murid dengan inteligensi kreatif tinggi, murid dengan inteligensi praktis sering kali
kesulitan memenuhi keinginan sekolah. Namun, murid ini sering berpestasi diluar kelas.
Kemungkinan mereka memilik keahlian sosial yang tinggi. Sehingga saat dewasa, mereka
terkadang menjadi manager sukses, pengusaha, atau politikus meski catatan prestasi sekolah
yang sedang. Dengan pengertian tersebut, kecerdasan analitis yang dimiliki tidak menjamin
kesuksesan seseorang.
Kecerdasan intelektual dijelaskan dengan berbagai macam teori. Banyak teori-teori dari
berbagai ahli menyebutkan pengertian-pengertian inteligensi yang berbeda. Teori –teori
kecerdasan intelektual itu adalah sebagai berikut:
a. Teori Uni-facktor
Wilhelm Stern memperkenalkan inteligensi dengan sebutan “Uni- factor theory”. Menurut
teori ini, inteligensi adalah kemampuan umum. Karena itu, inteligensi bersifat umum. Reaksi
terhadap lingkungan dalam menyesuaikan diri mereka dan dalam memecahkan masalah
bersifat umum. Kapasitas umum itu dapat timbul akibat pertumbuhan biologis atau akibat
belajar. Kapasitas umum yang ditimbulkan lazim disebut sebagai “G”.
b. Teori Two-faktors
Seorang ahli matematika bernama Charles Sperman, mengajukan sebuah teori tentang
inteligensi. Teori ini dikenal dengan sebutan “Two kind of factors theory”. Artinya dalam
teori belajar ini terdapat dua faktor mental terhadap kecerdasan seseorang. Kedua faktor
mental itu disebut dengan faktor yang diberi kode “G” dan faktor yang diberi kode “S”.
Faktor “G” mewakili kekuatan mental yang berfungsi dalam setiap tingkah laku mental
individu, sedangkan faktor “S” menentukan tindakan-tindakan mental untuk mengatasi
permasalahan.
Faktor “G” yang terdapat dalam inteligensi seseorang, memiliki kemampuan atau kapasitas
untuk mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Mereka dapat mempelajari bermacam-macam
pelajaran seperti matematika, bahasa, sains, dan sebagainya dengan simbol abstrak.
Sedangkan mereka yang inteligensinya terdapat faktor “S” yaitu didasarkan pada gagasan.
Artinya, fungsi otak tergantung kepada ada dan tidaknya struktur atau koneksi yang tepat
bagi situasi atau masalah tertentu. Dengan demikian, luasnya faktor “S” mencerminkan kerja
khusus dari otak, bukan karena struktur khusus otak. Faktor “S” lebih tergantung terhadap
organisasi neurologist yang berhubungan dengan keamampuan –kemampuan khusus.
c. Teori Multi-Factors
Teori intelligensi Multi Faktors dikembangkan oleh E.L Thorndike. Menurut teori ini,
inteligensi terdiri dari bentuk-bentuk hubungan antara stimulus dan respon. Hubungan neural
ini yang dapat mengerahkan tingkah laku individu. Misalnya, ketika seseorang mampu
menghafal sebuah materi pembelajaran dengan mudah, menghafal puisi, serta melakukan
pekerjaan berarti ia dapat melakukan karena terbentuknya koneksi-koneksi didalam sistem
syaraf akibat belajar dan latihan.
d. Teori Primary-Mental-Abilities
1) Kemampuan numerikal/matematis
6) Kemampuan mengingat.
e. Teori Sampling
Teori Sampling dikemukakan oleh Godfrey H Thomson pada tahun 1916 dan kemudian
disempurnakan kembali pada tahun 1935 dan 1948. Menurut teori ini, inteligensi merupakan
berbagai kemampuan sampel. Dunia berisikan berbagai bidang pengalaman. Berbagai bidang
pengalaman dikuasai oleh pikiran manusia. Masing –masing bidang hanya terkuasai sebagian
saja, dan ini mencerminkan kemampuan mental seseorang.
Inteligensi beroperasi dengan terbatas pada sampel dari berbagai kemampuan dan
pengalaman dunia nyata. Sebagai gambaran, misalnya sebagian A dan B, atau dapat pula
sebagian dari bidang A, B dan C.
Kecerdasan spiritual merupakan salah satu kecerdasan yang menjadi puncak kecerdasan atau
menjadi kecerdasan tertinggi. Artinya, kecerdasan spiritual lebih tinggi daripada kecerdasan
emosional dan kecerdasan intelektual. Seperti yang dikatakan oleh Zohar dan Marshall bahwa
kecerdasan spiritual adalah landasan untuk menjalankan atau memfungsikan IQ dan EQ
secara efektif. Terdapat alasan mengapa SQ lebih tinggi daripada EQ dan IQ terlihat dari
argumen tentang kecerdasan spiritual. Enam argumen tersebut yaitu, Segi perenial SQ, Mind
Body Soul, kesehatan spiritual, kedamaian spiritual, kebahagiaan spiritual dan kearifan
spiritual.
Terlihat jelas bahwa kecerdasan spiritual lebih tinggi, dan memfungsikan kecerdasan yang
lain. Untuk melahirkan manusia yang memiliki SQ tinggi, dibutuhkan pendidikan yang tidak
hanya memperhatikan pengembangan IQ melainkan pengembangan EQ dan SQ sekaligus.
C. Struktur Kecerdasan
Setelah memilah ketiga kecerdasan yaitu kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual dan
kecerdasan spiritual, tentunya dari ketiga kecerdasan tersebut memiliki perbedaan yang
signifikan. Dengan adanya perbedaan itu, maka adanya pola relasi. Pada intinya ketiga
kecerdasan tersebut ada pada diri kita. Kecerdasan emosional mengambil wilayah disekitar
emosi diri kita, karena yang lebih mengembangan emosi supaya menjadi cerdas, tidak
cenderung marah.
Terlihat dari sudut pandang produk kecerdasan dan kebahagiaan, kecerdasan emosional lebih
mengacu pada emosional happiness (kebahagiaan secara insting-emosional), kecerdasan
intelektual mengacu pada intellectual happiness(kebahagiaan dan bahkan kepuasan
intelektual-material). Sedangkan kecerdasan spiritual akan menghasilkan spiritual
happiness (kebahagiaan spiritual).
Paparan atas struktur kecerdasan tersebut di atas dapat diringkas dalam bentuk tabel dibawah
ini:
JENIS KECERDASAN
No Perspektif
EQ IQ SQ
A. Simpulan
Inteligensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan kegiatan
belajar dan kemampuan mengatasi masalah-masalah. Kecerdasan seseorang dapat dilihat dari
beberapa faktor yaitu faktor pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan
yang khas, dan kebebasan.
Inteligensi bukan hanya kemampuan analitis tinggi atau bersifat kognitif, namun inteligensi
terdapat beberapa tiga jenis yaitu emosional inteligensi, intelektual inteligensi dan spiritual
inteligensi. Emosional inteligensi diaktifkan oleh emosi, intelektual inteligensi dijalankan
oleh nalar atau kognitif seseorang. Sedangkan spiritual inteligensi dijalankan oleh spiritual
yang baik dari diri seseorang. Dari ketiga kecerdasan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing dan saling berhubungan satu sama lain dalam aplikasi di
kehidupan dan dunia pendidikan.
Memiliki kecerdasan intelektual tinggi tanpa adanya kecerdasan emosional akan membawa
dampak yang buruk. Selain itu, adanya kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional
yang baik tanpa ada kecerdasan spiritual yang baik akan berdampak yang buruk pula. Melihat
kondisi tersebut, kecerdasan spiritual sangat penting dalam aplikasinya di kehidupan dan
dunia pendidikan.
Terlihat jelas bahwa kecerdasan spiritual dapat memfungsikan kecerdasan yang lain. Untuk
dapat memiliki SQ dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya memperhatikan pengembangan
IQ melainkan pengembangan EQ dan SQ sekaligus.
B. Saran
Berdasarkan simpulan diatas, penulis memberikan saran kepada para pembaca bahwa kita
perlu memiliki kecerdasan intelektual yang tinggi, namun kita perlu memperhatikan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual kita. Kecerdasan spiritual menjadi landasan
dalam mejalankan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Dengan memiliki
kecerdasan spiritual yang baik, maka sebagai seorang pelajar akan dapat mengembangkan
kecerdasan lainya sesuai dengan sila yang baik.
Rekan-rekan pembaca yang baik, selain dari saran tersebut penulis menyadari dalam
penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat
penulis harapkan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi lebih ba
DAFTAR PUSTAKA
Steven S. Stein, dan Howard E. Book, Ledakan EQ:15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional
Di
Susun Oleh
FERA SAFIRA