Modul Kebijakan Penanggulangan TB (MD1) 2017 PDF
Modul Kebijakan Penanggulangan TB (MD1) 2017 PDF
MATERI DASAR
KEBIJAKAN PROGRAM
PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
JAKARTA
2017
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
TIM PENYUSUN
Pelindung:
dr. H.M. Subuh, MPPM (Direktur Jendral P2P)
Pengarah:
1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)
2. dr. Asik Surya, MPPM (Kepala Subdit TB)
Sekretaris:
1. Nurjannah, SKM, M.Kes
2. dr. Yullita Evarini Y., MARS
Editor
Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes
Anggota:
1. Audia Jasmin Armanda, SKM
2. dr. Endang Lukitosari, MPH
3. dr. Fatiyah Isbaniah, Sp.P
4. dr. Firza Asnely Putri
5. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
6. H D Djamal, M.Si
7. dr. Hedy B Sampurno, MPH
8. Dra. Katamanis Tarigan, SKM
9. Dr. Novayanti Tangirerung
10. Rizka Nur Fadila, SKM
11. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
12. Saida N. Debataradja, SKM
13. dr. Setiawan Jati Laksono
14. drg. Siti Nur Anisah, MPH
15. dr. Sity Kunarisasi, MARS
16. Sulistyo, SKM, M.Epid
17. Suwandi SKM, M. Epid
18. dr. Wihardi Triman, MQIH
19. dr. Zulrasdi Djairas, SKM
3
DAFTAR ISI
4
DAFTAR SINGKATAN
6
I. DISKRIPSI SINGKAT
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang menular, disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis.
Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya disebut Penanggulangan
TB adalah segala upaya kesehatan yang mengutamakan aspek promotif
dan preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang
ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka
kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan,
Materi Program Penanggulangan TB menguraikan tentang gambaran umum
TB; situasi TB di Dunia dan Indonesia, Menjelaskan program
penanggulangan TB di Indonesia, strategi dan kebijakan penanggulangan
TB; dan pengorganisasian penanggulangan TB.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat yang didukung dengan pelindungan finansial dan pemerataan
pelayanan kesehatan.
Pelaksanakan Program Indonesia Sehat diselenggarakan melalui
pendekatan keluarga, yang mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan
(UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM) secara berkesinambungan,
dengan target keluarga, berdasarkan data dan informasi dari Profil
Kesehatan Keluarga. Pendekatan keluarga adalah salah satu cara
Puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan
mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya
dengan mendatangi keluarga. Puskesmas tidak hanya menyelenggarakan
pelayanan kesehatan di dalam gedung, melainkan juga keluar gedung
dengan pendekatan keluarga dalam upaya menyelesaikan permasalahan
kesehatan di wilayah kerjanya.
V. METODE PEMBELAJARAN
1. CTJ
2. Curah Pendapat
3. Penugasan (Latihan soal)
9
e. Menyampaikan ruang lingkup bahasan dan tujuan
pembelajaran tentang Program Penanggulangan TB yang
sebaiknya dengan menggunakan CTJ
2. Kegiatan Peserta
a. Mempersiapkan diri dan alat tulis yang diperlukan.
b. Mengemukakan pendapat atas pertanyaan Pelatih.
c. Mendengar dan mencatat hal-hal yang dianggap penting.
d. Mengajukan pertanyaan kepada Pelatih bila ada hal-hal yang
belum jelas dan perlu diklarifikasi.
11
adalah sebagai berikut:
- Berbentuk batang dengan panjang 1-10 mikron dan lebar 0,2
- 0,8 mikron.
- Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl
Neelsen, berbentuk batang berwarna merah dalam pemeriksaan
dibawah mikroskop.
- Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa.
- Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4°C sampai minus 70°C.
- Kuman sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultra
violet. Paparan langsung terhada sinar ultra violet, sebagian besar
kuman akan mati dalam waktu beberapa menit. Dalam dahak pada
suhu antara 30-37°C akan mati dalam waktu lebih kurang 1 minggu.
Kuman dapat bersifat dorman.
12
b. Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB, terutama pasien yang mengandung kuman TB
dalam dahaknya. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik). Infeksi akan terjadi apabila
seseorang menghirup udara yang mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali
batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung kuman
sebanyak 0-3500 M.tuberculosis. Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan
sebanyak 4500– 1.000.000 M.tuberculosis.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah infeksi. Lesi
umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung dari daya tahun tubuh
manusia. Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi.
c. Sakit TB
Faktor Risiko menjadi sakit TB
Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
Lamanya waktu sejak terinfeksi
Usia seseorang yang terinfeksi
13
Tingkat daya tahan tubuh seseorang.
Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB).
d. Meninggal dunia
Faktor resiko kematian karena TB:
Akibat dari keterlambatan diagnosis.
Pengobatan tidak adekuat.
Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta.
Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50% diantaranya akan meninggal dan
risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif. Begitu pula pada ODHA,
25% kematian disebabkan oleh TB.
14
Tahapan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Perjalanan alamiah TB
a. Paparan
Peluang peningkatan Jumlah kasus menular di masyarakat
paparan terkait Peluang kontak dengan kasus menular
dengan: Tingkat daya tular dahak sumber penularan
Intensitas batuk sumber penularan
Kedekatan kontak dengan sumber penularan
Lamanya waktu kontak dengan sumber
penularan
Faktor lingkungan: konsentrasi kuman diudara
(ventilasi, sinar ultra violet, penyaringan adalah
faktor yang dapat menurunkan konsentrasi
kuman)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk
terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan
seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan meninggal
dunia karena TB.
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 – 14 minggu setelah infeksi
Reaksi immunologi
Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan kemudian
terjadi komplek antigen – antibody.
Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)
Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam
lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum
penyembuhan lesi
c. Sakit TB
Faktor risiko untuk Konsentrasi / jumlah kuman yang terhirup
menjadi sakit TB adalah Lamanya waktu sejak terinfeksi
tergantung dari : Usia seseorang yang terinfeksi
Tingkat daya tahan tubuh seseorang.
15
Seseorang dengan daya tahan tubuh yang
rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan
berkembangnya TB aktif (sakit TB).
d. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian Akibat dari keterlambatan diagnosis dan
karena TB: atau kesalahan diagnosis
Pengobatan tidak adekuat
Adanya kondisi kesehatan awal yang buruk
atau penyakit penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan selama 5 tahun, 50% akan meninggal
dan risiko ini akan meningkat pada pasien dengan HIV positif.
Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
16
Gambar 1. Perjalanan alamiah dan faktor Risiko Kejadian TB
transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila
Ventilasi dengan HIV:
Kepadatan • 5-10% setiap tahun
Dalam ruangan • >30% lifetime
SEMBUH
Faktor Perilaku
HIV(+)
KRONIS/
TB RESISTEN
OBAT
TERPAJAN INFEKSI
10%
TB MATI
Konsentrasi Kuman Keterlambatan diagnosis
Lama kontak dan pengobatan
Malnutrisi Tatalaksana tak memadai
Penyakit DM, Kondisi kesehatan
immunosupresan
D. TB Resistan OAT
M. tuberculosis dikatakan resistan terhadap OAT, jika M. tuberculosis kebal terhadap
OAT.
Berdasarkan hasil uji kepekaan OAT, terdapat 5 kelompok TB resistan OAT yaitu:
- Monoresistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja.
- Polyresistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
- Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan.
- Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah
satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).
- Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa
resistensi terhadap OAT lain.
17
a. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :
1) Diagnosis tidak tepat,
2) Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,
3) Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat,
4) Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat.
b. Pasien, yaitu karena :
1) Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
2) Tidak teratur menelan paduan OAT,
3) Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya.
4) Gangguan penyerapan obat
c. Program Pengendalian TB , yaitu karena :
1) Persediaan OAT yang kurang
2) Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance).
18
Menurut laporan WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus
TB baru dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta
kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus TB tersebut
ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000 orang (140.000 orang
adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat (TB-RO) dengan kematian 190.000
orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru, diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15
tahun) dan 140.000 kematian/tahun.
Jumlah kasus TB di Indonesia menurut Laporan WHO tahun 2015, diperkirakan
ada 1 juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000
kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus TB dengan
HIV positif (25 per 100.000 penduduk). Angka Notifikasi Kasus (Case Notification
Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129 per 100.000 penduduk. Jumlah
seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya 314.965 adalah kasus baru. Secara nasional
perkiraan prevalensi HIV diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus
TB-RO diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari
kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan ulang.
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara lain:
a. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan karena masih
kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil kebijakan, dan pendanaan untuk
operasional, bahan serta sarana prasarana.
b. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum menerapkan
layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan ISTC seperti penemuan
kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat yang tidak baku, tidak dilakukan
pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan yang baku.
c. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam penanggulangan
TB baik kegiatan maupun pendanaan.
Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di Daerah
Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah risiko tinggi seperti daerah
kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman padat seperti pondok
pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
d. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam penemuan
kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan, pencatatan dan pelaporan.
19
Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko terjadinya TB
secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes mellitus, merokok, serta keadaan lain
yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
e. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan meningkatkan
pembiayaan program TB.
f. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat pendidikan
dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang dan pangan yang tidak
memadai yang berakibat pada tingginya risiko masyarakat terjangkit TB.
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil menurunkan
angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun
1990. Angka prevalensi TB yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000
penduduk, pada tahun 2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua indikator
MDG’s untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka insidens yang sudah
tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan terintegrasi supaya Indonesia bisa
mencapai target SDG’s pada tahun 2030 yang akan datang.
A. Tujuan
Melindungi kesehatan masyarakat dari penularan TB agar tidak terjadi kesakitan,
kematian dan kecacatan.
20
B. Target
Target Program Nasional Penaggulangan TB sesuai dengan target eliminasi global
adalah Eliminasi TB pada tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050. Eliminasi TB
adalah tercapainya cakupan kasus TB 1 per 1 juta penduduk.
Tahapan pencapaian target dampak:
Target dampak pada 2020
Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 30% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan
Penurunan angka kematian karena TB sebesar 40% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014.
Target dampak pada tahun 2025
Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 50% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan
Penurunan angka kematian karena TB sebesar 70% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014
Target dampak pada 2030
Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 80% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan
Penurunan angka kematian karena TB sebesar 90% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014.
Target dampak pada 2035
Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 90% dibandingkan angka
kesakitan pada tahun 2014 dan
Penurunan angka kematian karena TB sebesar 95% dibandingkan angka
kematian pada tahun 2014.
21
Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat Peningkatan kolaborasi
layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain sebagainya.
Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/saran diagnostik yang baru.
Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding.
Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan Layanan
Semesta (health universal coverage).
Pengendalian faktor risiko
Promosi lingkungan dan hidup sehat.
Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.
Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB.
Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan dan
keberhasilan pengobatan yang tinggi.
Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB.
Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat.
Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah
Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB.
Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
B. Kebijakan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab
menyelenggarakan Penanggulangan TB.
Penyelenggaraan Penanggulangan TB dilaksanakan melalui upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorang.
Penanggulangan TB harus dilakukan secara terintegrasi dengan penanggulangan
program kesehatan yang berkaitan.
Program kesehatan yang meliputi program HIV dan AIDS, Diabetes Melitus, serta
program kesehatan lain.
Penanggulangan TB secara terintegrasi dilakukan melalui kegiatan kolaborasi antara
program yang bersangkutan.
Penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka
otonomi daerah dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang
meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
22
Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan Pedoman Standar Nasional
sebagai kerangka dasar dan memperhatikan kebijakan global untuk
PenanggulanganTB.
Penemuan dan pengobatan untuk penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang meliputi Puskesmas, Klinik, dan
Dokter Praktik Mandiri (DPM) serta Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)
yang meliputi: Rumah Sakit Pemerintah, non pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru
(RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (B/BKPM).
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB disediakan oleh pemerintah
dan diberikan secara cuma-cuma.
Keberpihakan kepada masyarakat dan pasien TB. Pasien TB tidak dipisahkan dari
keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. Pasien memiliki hak dan kewajiban
sebagaimana individu yang menjadi subyek dalam penanggulangan TB.
Penanggulangan TB dilaksanakan melalui penggalangan kerjasama dan kemitraan
diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat melalui Forum
Koordinasi TB.
Penguatan manajemen program penanggulangan TB ditujukan memberikan kontribusi
terhadap penguatan sistem kesehatan nasional.
Pelaksanaan program menerapkan prinsip dan nilai inklusif, proaktif, efektif, responsif,
profesional dan akuntabel.
Penguatan Kepemimpinan Program ditujukan untuk meningkatkan komitmen
pemerintah daerah dan pusat terhadap keberlangsungan program dan pencapaian
target strategi global penanggulangan TB yaitu eliminasi TB tahun 2035.
Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan
pengobatan TB.
Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis keluarga
dan masyarakat.
Penguatan manajemen program (health system strenghtening)
SDM
Logistik
Regulasi dan pembiayaan
Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
Penelitian dan pengembangan inovasi program
23
5. Pengorganisasi dan Pembagian Peran Penanggulangan TB
a. Tingkat Pusat.
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerdunas-TB yang merupakan forum
kemitraan lintas sektor di bawah koordinasi Menteri Koordinator Pembangunan
Manusia dan Kebudayaan, dan penanggung jawab teknis pengendalian TB yaitu
Menteri Kesehatan R.I. Dalam pelaksanaannya program TB secara Nasional
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, cq. Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung.
b. Tingkat Provinsi.
Di tingkat provinsi Gerdunas-TB Provinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim
Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Dalam
pelaksanaan program TB di tingkat provinsi dikordinasikan Dinas Kesehatan Provinsi.
c. Tingkat Kabupaten/Kota
Di tingkat kabupaten/kota Gerdunas-TB kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah
dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan
kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/Kota
dikordinasikan oleh Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
d. Tingkat fasyankes
Tatalaksana pasien TB dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
1). Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
Berdasarkan kemampuan pemeriksaan mikroskopis FKTP di bagi menjadi :
FKTP Rujukan Mikroskopis (FKTP-RM), yaitu fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis
TB.
FKTP Satelit (FKTP-S) yaitu Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
yang melakukan pembuatan sedian apus sampai fiksasi.
Secara umum konsep pelayanan pasien TB di Balai Pengobatan dan
Dokter Praktek Mandiri (DPM) sesuai dengan kemampuan pelayanan
yang diberikan.
2). Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL)
FKRTL dalam hal ini adalah fasilitas kesehatan RTL yang mampu
memberikan layanan TB secara menyeluruh mulai dari promotif, preventif,
24
kuratif, rehabilitatif dan paliatif untuk kasus-kasus TB dengan penyulit dan
kasus TB yang tidak bisa ditegakkan diagnosisnya di FKTP.
Fasilitas kesehatan yang termasuk dalam FKRTL adalah RS Tipe C, B dan
A, RS Rujukan Khusus Tingkat Regional dan Nasional, Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) dan klinik utama.
Untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi pasien TB secara
berkualitas dan terjangkau, semua fasilitas kesehatan tersebut diatas perlu
bekerja sama dalam kerangka jejaring pelayanan kesehatan baik secara
internal didalam gedung maupun eksternal bersama lembaga terkait
disemua wilayah.
Pembagian peran dan wewenang dalam penanggulangan TB.
Pelaksanaan pembagian peran dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah,
bertujuan untuk:
Meningkatkan komitmen dan kepemilikan program antara pemerintah pusat dan
daerah.
Meningkatkan koordinasi, keterpaduan dan sikronisasi perencanaan,
pelaksanaan dan pemantauan penilaian program.
Efisiensi, efektifas dan prioritas program sesuai dengan kebutuhan.
Meningkatkan kontribusi pembiayaan program bersumber dari dana
pemerintah pusat dan daerah untuk pembiayaan program secara memadai.
25
Pendanaan kegiatan peningkatan SDM Penanggulangan TB terkait dengan
tugas pokok dan fungsi.
Tingkat Provinsi
Melaksanakan ketetapan kebijakan dan strategi program penanggulangan
TB (NSPK).
Menyediakan kebutuhan perbekalan kesehatan, reagensia dan penunjang
laboratorium lain untuk penegakan diagnosis TB sebagai penyangga
kegiatan atau buffer.
Melakukan koordinasi lintas program/lintas sektor dan kemitraan untuk
kegiatan Penanggulangan TB dengan institusi terkait ditingkat provinsi.
Mendorong ketersediaan dan peningkatan kemampuan tenaga kesehatan
Penanggulangan TB.
Pemantauan dan pemantapan mutu atau quality assurance untuk
pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis TB.
Monitoring, evaluasi dan pembinaan teknis kegiatan Penanggulangan TB,
pemantapan surveilans epidemiologi TB ditingkat kabupaten/kota.
Pendanaan kegiatan operasional Penanggulangan TB yang terkait dengan
tugas pokok dan fungsi.
Pendanaan kegiatan peningkatan SDM Penanggulangan TB terkait dengan
tugas pokok dan fungsi.
Tingkat Kabupaten/Kota
Melaksanakan ketetapan kebijakan dan strategi program penanggulangan
TB (NSPK).
Menyediakan kebutuhan perbekalan kesehatan dan bahan pendukung
diagnosis.
Menyediakan kebutuhan pendanaan untuk operasional program
Penanggulangan TB.
Melakukan koordinasi lintas program dan lintas sektor serta jejaring
kemitraan untuk kegiatan Penanggulangan TB dengan institusi terkait
ditingkat Kabupaten.
Menyediakan kebutuhan Pendanaan kegiatan peningkatan SDM
Penanggulangan TB di wilayah nya.
Menyediakan bahan untuk promosi TB.
26
6. Konsep Kebijakan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.
Pembangunan Kesehatan
Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. (UU 25 Tahun 2004 Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional)
Pembangunan Kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen
bangsa dalam rangka mencapai tujuan kesehatan yaitu untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan
sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia
yang produktif secara sosial dan ekonomis. (Pasal 2 UU 36/2009)
Kebijakan pembangunan kesehatan tahun 2015-2019 difokuskan pada penguatan
upaya kesehatan dasar (Primary Health Care) yang berkualitas terutama melalui
peningkatan jaminan kesehatan, peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan
dasar dan rujukan yang didukung dengan penguatan sistem kesehatan dan peningkatan
pembiayaan kesehatan. Kartu Indonesia Sehat menjadi salah satu sarana utama dalam
mendorong reformasi sektor kesehatan dalam mencapai pelayanan kesehatan yang
optimal, termasuk penguatan upaya promotif dan preventif.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan menegakkan tiga pilar utama, yaitu: (1)
penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan kesehatan, dan (3) pelaksanaan
jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma sehat dilakukan dengan
strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan, penguatan upaya promotif
dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan pelayanan kesehatan
dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan, optimalisasi sistem
rujukan, dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan continuum of care dan
intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan dengan
strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya.
Kesemuanya itu ditujukan kepada tercapainya keluarga-keluarga sehat.
Paradigma Sehat
27
Berdasarkan prinsip paradigma sehat, Puskesmas wajib mendorong seluruh pemangku
kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko
kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Paradigma
adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya, yang akan
mempengaruhinya dalam berfikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku
(psikomotorik). Paradigma juga dapat berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan
praktik yang diterapkan dalam memandang realitas di sebuah komunitas. Dengan
demikian, Paradigma Sehat dapat didefinisikan sebagai cara pandang, asumsi, konsep,
nilai, dan praktik yang mengutamakan upaya menjaga dan memelihara kesehatan,
tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Dengan Paradigma Sehat maka orang-orang yang sehat akan diupayakan agar tetap
sehat dengan menerapkan pendekatan yang holistik. Selama ini cara pandang, asumsi,
konsep, nilai, dan praktik yang berlaku tampaknya masih menitikberatkan pada
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan – Paradigma Sakit. Apalagi dengan
dilaksanakannya JKN yang saat ini masih lebih memperhatikan penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan bagi perorangan. Oleh sebab itu, dalam kurun waktu lima
tahun ke depan harus dilakukan perubahan, agar Paradigma Sehat benar-benar
diterapkan dalam membangun kesehatan masyarakat, termasuk dalam pelaksanaan
JKN. Perubahan yang dimaksud mencakup perubahan pada penentu kebijakan (lintas
sektor), tenaga kesehatan, institusi kesehatan, dan masyarakat sebagaimana disajikan
dalam tabel berikut
28
pembangunan
kesehatan
29
diupayakan dan dijaga keluarga dan
masyarakat
2. Masyarakat aktif
sebagai kader,
sehingga
terlaksana
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat
melalui UKBM
30
wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Puskesmas tidak hanya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan di dalam gedung, melainkan juga keluar
gedung dengan mengunjungi keluarga di wilayah kerjanya.
Selain itu Puskesmas juga
harus meningkatkan kerjasama dengan jejaringnya (fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama lain di wilayahnya), agar fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama lain tersebut juga turut menyelesaikan masalah-masalah kesehatan keluarga.
Yakni masalah-masalah kesehatan keluarga dari peserta JKN yang dilayaninya.
Keluarga dijadikan fokus dalam pendekatan pelaksanaan program Indonesia Sehat
karena menurut Friedman (1998), terdapat lima fungsi keluarga, yaitu:
1. Fungsi afektif (The Affective Function) adalah fungsi keluarga yang utama untuk
mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan
dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan
psikososial anggota keluarga.
2. Fungsi sosialisasi yaitu proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu
yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan
sosialnya. Sosialisasi dimulai sejak lahir. Fungsi ini berguna untuk membina
sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat
perkembangan anak dan meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
3. Fungsi reproduksi (The Reproduction Function) adalah fungsi untuk mempertahankan
generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
4. Fungsi ekonomi (The Economic Function) yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat dalam mengembangkan
kemampuan individu meningkatkan penghasilan agar memenuhi kebutuhan
keluarga.
5. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (The Health Care Function) adalah
untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki
produktivitas yang tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang
kesehatan. Tugas-tugas keluarga dalam pemeliharaan kesehatan adalah:
1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarganya.
2) Mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat.
3) Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit.
4) Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan untuk kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarganya.
5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan fasilitas kesehatan.
31
Pendekatan keluarga merupakan pengembangan dari kunjungan rumah oleh
Puskesmas dan perluasan dari upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas),
yang meliputi kegiatan berikut:
1. Kunjungan keluarga untuk pendataan/pengumpulan data profil kesehatan
keluarga
dan peremajaan (updating) pangkalan datanya.
2. Kunjungan keluarga dalam rangka promosi kesehatan sebagai upaya promotif
dan
preventif.
3. Kunjungan keluarga untuk menindaklanjuti pelayanan kesehatan dalam gedung.
4. Pemanfaatan data dan informasi dari profil kesehatan keluarga untuk
pengorganisasian/pemberdayaan masyarakat dan manajemen Puskesmas.
Kunjungan rumah (keluarga) dilakukan secara terjadwal dan rutin, dengan
memanfaatkan data dan informasi dari profil kesehatan keluarga (family folder). Dengan
demikian, pelaksanaan upaya Perkesmas harus diintengrasikan ke dalam kegiatan
pendekatan keluarga. Dalam menjangkau keluarga, Puskesmas tidak hanya
mengandalkan UKBM yang ada sebagaimana selama ini dilaksanakan, melainkan juga
langsung berkunjung ke keluarga. Perlu diperhatikan, bahwa pendekatan keluarga
melalui kunjungan rumah ini tidak berarti mematikan UKBM-UKBM yang ada, tetapi
justru untuk memperkuat UKBM- UKBM yang selama ini dirasakan masih kurang efektif.
Pendekatan keluarga adalah pendekatan pelayanan oleh Puskesmas yang
mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya kesehatan
masyarakat (UKM) secara berkesinambungan, dengan target keluarga, didasarkan pada
data dan informasi dari profil kesehatan keluarga (gambar 4). Tujuan dari pendekatan
keluarga adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan akses keluarga beserta anggotanya terhadap pelayanan
kesehatan komprehensif, meliputi pelayanan promotif dan preventif serta
pelayanan kuratif dan rehabilitatif dasar.
2. Mendukung pencapaian Standar Pelayanan Minimum (SPM) kabupaten/kota dan
provinsi, melalui peningkatan akses dan skrining kesehatan.
3. Mendukung pelaksanaan JKN dengan meningkatkan kesadaran masyarakat
untuk menjadi peserta JKN.
4. Mendukung tercapainya tujuan Program Indonesia Sehat dalam Renstra
Kementerian Kesehatan Tahun 2015 – 2019.
32
Pelaksanaan Pendekatan Keluarga
Satu keluarga adalah satu kesatuan keluarga inti (ayah, ibu, dan anak) sebagaimana
dinyatakan dalam kartu keluarga. Keluarga yang terdapat kakek dan atau nenek atau
individu lain dalam satu rumah tangga, maka rumah tangga tersebut dianggap terdiri
lebih dari satu keluarga. Suatu keluarga dinyatakan sehat atau tidak digunakan
beberapa penanda atau indikator. Dalam rangka pelaksanaaan Program Indonesia
Sehat telah disepakati adanya dua belas indikator utama untuk penanda status
kesehatan sebuah keluarga. Kedua belas indikator utama tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Keluarga mengikuti program Keluarga Berencana (KB)
2. Ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan
3. Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap
4. Bayi mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif
5. Balita mendapatkan pematauan pertumbuhan
6. Penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standar
7. Penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur
8. Penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan
9. Anggota keluarga tidak ada yang merokok
10. Keluarga sudah menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
11. Keluarga mempunyai akses sarana air bersih
12. Keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat
Berdasarkan indikator tersebut, dilakukan penghitungan Indeks Keluarga Sehat (IKS)
dari setiap keluarga, sedangkan keadaan masing-masing indikator mencerminkan
kondisi PHBS dari keluarga yang bersangkutan.
Pelaksanaan pendekatan keluarga ini
memiliki tiga hal yang harus diadakan atau dikembangkan, yaitu:
1. Instrumen yang digunakan di tingkat keluarga.
2. Forum komunikasi yang dikembangkan untuk kontak dengan keluarga.
3. Keterlibatan tenaga dari masyarakat sebagai mitra Puskesmas. Instrumen yang
diperlukan di tingkat keluarga adalah sebagai berikut:
1) Profil Kesehatan Keluarga (selanjutnya disebut Prokesga), berupa family
folder, yang merupakan sarana untuk merekam (menyimpan) data keluarga
dan data individu anggota keluarga. Data keluarga meliputi komponen rumah
sehat (akses/ketersediaan air bersih dan akses/penggunaan jamban sehat).
Data individu anggota keluarga mencantumkan karakteristik individu (umur,
33
jenis kelamin, pendidikan, dan lain-lain) serta kondisi individu yang
bersangkutan, seperti mengidap penyakit (hipertensi, tuberkulosis, dan
gangguan jiwa) dan perilakunya (merokok, ikut KB, memantau pertumbuhan
dan perkembangan balita, pemberian ASI eksklusif, dan lain-lain).
2) Paket Informasi Keluarga (selanjutnya disebut Pinkesga), berupa flyer, leaflet,
bukusaku, atau bentuk lainnya, yang diberikan kepada keluarga sesuai
masalah kesehatan yang dihadapinya, misalnya: Flyer tentang Kehamilan dan
Persalinan untuk keluarga yang ibunya sedang hamil, Flyer tentang
Pertumbuhan Balita untuk keluarga yang mempunyai balita, Flyer tentang
Hipertensi untuk mereka yang menderita hipertensi, dan lain-lain.
3) Forum komunikasi yang digunakan untuk kontak dengan keluarga dapat
berupa forum- forum berikut.
4) Kunjungan rumah ke keluarga-keluarga di wilayah kerja Puskesmas.
4. Diskusi kelompok terarah (DKT) atau biasa dikenal dengan focus group
discussion (FGD) melalui Dasawisma dari PKK.
5. Kesempatan konseling di UKBM-UKBM (Posyandu, Posbindu, Pos UKK, dan
lain-lain).
6. Forum-forum yang sudah ada di masyarakat seperti majelis taklim, rembug desa,
selapanan, dan lain-lain.
Keterlibatan tenaga dari masyarakat sebagai mitra dapat diupayakan dengan
menggunakan tenaga-tenaga berikut:
1. Kader-kader kesehatan, seperti kader Posyandu, Posbindu, Poskestren, PKK,
dan
lain-lain.
2. Pengurus organisasi kemasyarakatan setempat, seperti pengurus PKK,
pengurus
Karang Taruna, pengelola pengajian, dan lain-lain.
34
membangun dan menentukan wilayah kerja Puskesmas, faktor wilayah, kondisi
geografis, dan kepadatan/jumlah penduduk merupakan dasar pertimbangan.
Penyelenggaraan Puskesmas terdapat 6 (enam) prinsip, yaitu; 1) Prinsip Paradigma
Sehat. 2) Prinsip Pertanggungjawaban Wilayah. 3) Prinsip Kemandirian Masyarakat. 4)
Prinsip Pemerataan. 5) Prinsip Teknologi Tepat Guna. 6) Prinsip Keterpaduan dan
Kesinambungan.
Peran Pembina Keluarga
1. Mengumpulkan data kesehatan keluarga (menggunakan formulir Profil
35
Kesinambungan.
Peran Pembina Keluarga
1. Mengumpulkan data kesehatan keluarga (menggunakan formulir Profil
Kesehatan Keluarga / proke
2. Melakukan analisis data secara sederhana
3. Melakukan identifikasi masalah
4. Melakukan intervensi, penyuluhan/pendidikan kesehatan (menggunakan paket
informasi keluarga / pinkesga) sebagai berikut :
1) Menjelaskan hal-hal penting berkaitan dengan kesehatan ibu hamil,
melahirkan
dan nifas, termasuk tentang tanda bahaya kehamilan 4T (4
Terlalu, yaitu Terlalu Muda, Terlalu Tua, Terlalu Sering, Terlalu Banyak) dan
kehamilan yang tidak diinginkan.
2) Menjelaskan hal-hal penting berkaitan dengan Air Susu Ibu (ASI) dan manfaat
pemberian ASI eksklusif kepada bayi.
3) Menjelaskan hal-hal penting berkaitan dengan imunisasi dasar dan manfaat
pemberian imunisasi dasar kepada bayi.
4) Mengenali secara sederhana balita pendek (stunting) dan menjelaskan hal-hal
penting berkaitan dengan kesehatan dan perkembangan balita.
5) Mengenali secara sederhana penderita tuberkulosis dan menjelaskan hal hal
penting berkaitan dengan pencegahan dan pengobatan tuberkulosis.
6) Mengenali secara sederhana (dengan pengukuran) penderita hipertensi dan
menjelaskan hal-hal penting berkaitan dengan pencegahan dan pengobatan
hipertensi.
7) Menjelaskan hal-hal penting berkaitan dengan kandungan zat-zat berbahaya
dalam rokok dan menjelaskan bahaya merokok bagi kesehatan.
8) Mengenali secara sederhana penderita gangguan jiwa dan menjelaskan hal-
hal penting berkaitan dengan penanganan penderita.
9) Mengenali secara sederhana bentuk jamban sehat dan menjelaskan manfaat
jamban bagi kesehatan.
10) Mengenali secara sederhana ciri-ciri air bersih dan menjelaskan manfaat
air bersih bagi kesehatan.
11) Menjelaskan tentang manfaat keluarga berencana (KB), jenis-jenis alat
kontrasepsi (kelebihan dan kekurangannya) serta cara-cara memperoleh
pelayanan KB.
36
12) Menjelasakan tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan cara-cara
menjadi peserta JKN atau asuransi kesehatan lain.
5. Meremajakan (update) data keluarga dalam Profil Kesehatan Keluarga (Family
Folder).
6. Pengembangan kompetensi dapat dilakukan sesuai dengan penambahan
muatan indikator lokal spesifik di masing-masing daerah.
37
dilakukan, di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan. Bimbingan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan mengirim petugas ke Puskesmas,
guna membantu memecahkan masalah-masalah yang dihadapi Puskesmas.
Bimbingan juga dapat dilakukan dengan mempersilakan Puskesmas yang
menghadapi masalah penting untuk berkonsultasi ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di luar jadwal yang telah ditetapkan.
3. Pemantauan dan Pengendalian
Pemantauan dan pengendalian dilaksanakan dengan mengembangkan sistem
pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sehingga Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mengetahui IKS tingkat kecamatan dari masing-
masing kecamatan di wilayah kerjanya, dan menghitung IKS tingkat kabupaten/kota.
38
dan bagaimana mekanisme koordinasinya. Selain itu juga untuk menentukan jadwal
kunjungan Dinas Kesehatan Provinsi ke Dinas-dinas Kesehatan Kabupaten/Kota di
wilayahnya dalam rangka bimbingan. Bimbingan terutama dilakukan untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan
pendekatan keluarga oleh Puskesmas.
3. Pemantauan dan Pengendalian
Pemantauan dan pengendalian dilaksanakan dengan mengembangkan sistem
pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Provinsi,
sehingga Dinas Kesehatan Provinsi dapat mengetahui IKS tingkat kabupaten/kota dari
masing-masing kabupaten dan kota di wilayah kerjanya, dan menghitung IKS tingkat
provinsi.
39
oleh Kementerian Kesehatan adalah sebagai berikut.
1. Kebijakan dan Pedoman
Kebijakan dan pedoman yang harus disiapkan oleh
Kementerian Kesehatan meliputi, hal-hal berikut:
a. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Penyelenggaraan Program
Indonesia Sehat Dengan Pendekatan Keluarga.
b. Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Terpadu Program Indonesia Sehat
dengan
Pendekatan Keluarga.
c. Peta Jalan (Road Map) Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga.
d. Pedoman Pembiayaan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Kelaurga
(Perencanaan Teritegrasi dari berbagai Sumber Dana-Kapitasi-
BOK-CSR)
e. Petunjuk teknis untuk sosialisasi kepada para pemangku kepentingan.
f. Petunjuk teknis untuk para petugas Puskesmas pelaksana kunjungan rumah
(pembina keluarga), kader, dan petugas Nusantara Sehat.
g. Pedoman untuk Petugas Puskesmas Pengolah dan Penganalisis Profil
Kesehatan Keluarga
h. Aplikasi dan Buku Panduan Aplikasi Program Indonesia Sehat Dengan
Pendekatan Keluarga
i. Buku saku pembina keluarga.
j. Kurikulum Pembekalan Petugas Pembina Keluarga.
k. Modul-modul untuk Pembekalan Petugas Pembina Keluarga.
l. Kurikulum Pelatihan Petugas Pengolah dan Penganalisis Profil Kesehatan
Keluarga.
m. Blanko atau Prototipe Blanko Profil Kesehatan Keluarga (cetakan dan
elektronik).
n. Paket Informasi Kesehatan Keluarga atau Prototipenya
o. Media penyuluhan/lembar balik untuk petugas Pembina Keluarga atau
prototipenya.
p. Aplikasi (perangkat lunak) pemantauan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga yang terintegrasi dengan Sistem Informasi yang ada.
40
2. Pengembangan Sumber daya
Adanya peningkatan alokasi anggaran untuk sektor kesehatan, Kementerian Kesehatan
dapat menyediakan dana untuk pelaksanaan program kesehatan prioritas dengan
pendekatan keluarga. Penyediaan dana dilakukan secara bertahap, sesuai dengan
pentahapan pelaksanaan program prioritas, dan terutama diperuntukkan bagi:
Kelengkapan sarana dan prasarana Puskesmas, Penyelenggaraan pelatihan tenaga
kesehatan dan Biaya operasional.
Khusus untuk pelatihan, Kementerian Kesehatan
berkewajiban untuk menetapkan kurikulum dan modul-modulnya. Pelaksanaannya tentu
bekerjasama dengan dinas kesehatan, khususnya Dinas Kesehatan Provinsi.
41
Peran dan tanggung jawab lintas sektor
Masalah kesehatan adalah masalah yang multi dimensi, yakni banyak sekali faktor
penentu (determinan)nya. Sebagian besar faktor penentu tersebut bahkan berada di luar
jangkauan (tugas dan wewenang) sektor kesehatan. Misalnya, salah satu faktor yang
cukup besar pengaruhnya terhadap Angka Kematian Ibu melahirkan adalah karena
banyaknya terjadi pernikahan dan kehamilan dalam usia yang masih sangat muda.
Untuk itu diperlukan pengaturan agar tidak terjadi pernikahan dalam usia yang terlalu
muda. Penyusunan dan penerbitan peraturan tentang hal ini jelas berada di luar tugas
dan wewenang sektor kesehatan.
Sehubungan dengan hal tersebut, disadari bahwa
keberhasilan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga juga sangat
ditentukan oleh peran dan tanggung jawab sektor-sektor lain di luar sektor kesehatan
(lintas sektor).
Sebagaimana telah dikemukakan, keberhasilan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga diukur dengan Indeks Keluarga Sehat, yang merupakan komposit
dari 12 indikator. Semakin banyak indikator yang dapat dipenuhi oleh suatu keluarga,
maka status keluarga tersebut akan mengarah kepada Keluarga Sehat. Sementara itu,
semakin banyak keluarga yang mencapai status Keluarga Sehat, maka akan semakin
dekat tercapainya Indonesia Sehat.
Apabila ditinjau dari segi pencapaian masing-masing indikator Keluarga Sehat, dapat
diidentifikasi peran dan tanggung jawab lintas sektor yang disajikan pada tabel 2.
Indikator keluarga
No. Pendukung keberhasilan Pihak yg terkait
Sehat
42
-kemenpan & rb
6. Kampanye nasional kb
-kemenkominfo
-kemenkes &
4. Promosi oleh nakes & kader
Jajarannya
Pkk ttg persalinan di fasilitas
-kemdagri/pemda &
Kesehatan
Jajarannya
3 Bayi mendapat imunisasi 1. Tersedianya pelayanan Kemenkes & jajarannya
Dasar lengkap Imunisasi dasar di puskesmas &
Fktp lain
2. Promosi oleh nakes/di faskes Kemenkes & jajarannya
Ttg imunisasi dasar
3. Promosi oleh pemuka2 agama Kemenag & jajarannya
Ttg imunisasi dasar
43
Indikator keluarga
No. Pendukung keberhasilan Pihak yg terkait
Sehat
Perkantoran/perusahaan
-kemenpan & rb
-kemenaker &
Jajarannya
3. Promosi oleh nakes/di faskes Kemenkes & jajarannya
Ttg asi eksklusif
4. Promosi oleh kader pkk ttg asi Kemendagri/pemda &
Eksklusif Jajarannya
5. Kampanye nasional pemberian -kemenkes &
Asi eksklusif Jajarannya
-kemenkominfo
44
No. Indikator keluarga Pendukung keberhasilan Pihak yg terkait
3. Promosi oleh nakes/di faskes Kemenkes & jajarannya
Ttg pengobatan tb paru
Jajarannya
7. Promosi oleh nakes/di faskes Kemenkes & jajarann
Ttg pengobatan hipertensi
-kemenaker &
Jajarannya
4. Promosi oleh kader pkk ttg Kemendagri/pemda &
Pengobatan & perlakuan thd Jajarannya
Penderita
45
No. Indikator keluarga Pendukung keberhasilan Pihak yg terkait
Sehat
Puskesmas/fktp & rs
2. Pembatasan iklan rokok dlm - kemenkominfo
Berbagai bentuk
- kemendag &
Jajarannya
3. Pemberlakuan kawasan Kemendagri/pemda &
Dilarang merokok di Jajarannya
Perkantoran/perusahaan &
Tempat2 umum
- kemenristekdikti
46
No. Indikator keluarga Pendukung keberhasilan Pihak yg terkait
Sehat
47
7. Kegiatan-kegiatan tersebut harus diintegrasikan ke dalam langkah-langkah
manajemen Puskesmas yang mencakup P1 (Perencanaan), P2 (Penggerakan-
Pelaksanaan), dan P3 (Pengawasan-Pengendalian-Penilaian).
Puskesmas harus membagi wilayah kerjanya menjadi beberapa wilayah binaan
berdasarkan desa yang disesuaikan dengan luas wilayah, jumlah keluarga, jumlah
tenaga pendata dan kondisi geografis.
Menetapkan petugas pembina keluarga
Setiap tenaga kesehatan Puskesmas
dapat diajukan sebagai Pembina Keluarga dengan focal pointnya adalah tenaga
perawat dan bidan.
Menyusun SK Tim Pendekatan Keluarga
Penanggungjawab oleh Kepala
Puskesmas dengan melibatkan seluruh tenaga kesehatan sebagai pembina
keluarga
Melakukan sosialisasi dengan lintas sector, perangkat desa,RW, RT, PKK dan
kader kesehatan
48
esensial
Alat pemerintah pusat dalam memastikan bahwa setiap WNI memperoleh
pelayanan
esensial yang sama
Alat kontrol masyarakat atas penyelenggaraan pemerintahan daerah Untuk
meningkatkan akuntabilitas pemda terhadap masyarakat.
Untuk menjamin tercapainya sasaran dan prioritas pembangunan nasional bidang
kesehatan, dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2016, Menteri
Kesehatan telah menetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan.
SPM Bidang Kesehatan merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dalam penyediaan pelayanan kesehatan yang berhak diperoleh setiap warga secara
minimal. SPM Bidang Kesehatan sebagaimana tersebut meliputi :
1. Setiap ibu hamil mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar.
2. Setiap ibu bersalin mendapatkan pelayanan persalinan sesuai standar.
3. Setiap bayi baru lahir mendapatkan pelayanankesehatan sesuai standar.
4. Setiap balita mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.
5. Setiap anak pada usia pendidikan dasar mendapatkan skrining kesehatan sesuai
standar.
6. Setiap warga negara Indonesia usia 15 s.d. 59 tahun mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar.
7. Setiap warga negara Indonesia usia 60 tahun ke atas mendapatkan skrining
kesehatan sesuai standar.
8. Setiap penderita hipertensi mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.
9. Setiap penderita Diabetes Melitus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.
10. Setiap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mendapatkan pelayanan kesehatan
sesuai standar.
11. Setiap orang dengan TB mendapatkan pelayanan TB sesuai standar.
12. Setiap orang berisiko terinfeksi HIV (ibu hamil, pasien TB, pasien IMS,
waria/transgender, pengguna napza, dan warga binaan lembaga pemasyarakatan)
mendapatkan pemeriksaan HIV sesuai standar.
Jika disimak indikator untuk Indeks Keluarga Sehat, dapat diketahui bahwa dari 12 SPM
tersebut di atas, sebanyak tujuh SPM akan dapat dicapai atau didukung pencapaiannya
dengan diterapkannya pendekatan keluarga. Ketujuh indikator yang akan mendukung
tercapainya SPM tersebut adalah:
49
1. Ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan
2. Bayi mendapat imunisasi dasar lengkap
3. Bayi mendapat air susu ibu (ASI) eksklusif
4. Balita mendapatkan pematauan pertumbuhan
5. Penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standar
6. Penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur
7. Penderita gangguan jiwa mendapatkan pengobatan dan tidak ditelantarkan
Dengan demikian, bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, pendekatan keluarga
merupakan salah satu cara yang sangat besar artinya bagi terlaksananya SPM Bidang
Kesehatan. Jika SPM menghendaki cakupan pelayanan secara universal (total
coverage), demikian pun dengan pendekatan keluarga. Dalam pendekatan keluarga,
Puskesmas harus mendata seluruh (total coverage) dari keluarga yang ada di wilayah
kerjanya dan mengatasi masalah-masalah kesehatan yang dihadapi setiap anggota
keluarga.
Penguatan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non instruktif,
guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar mampu
mengidentifi kasi masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, merencanakan dan
melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat. (Permenkes No.
65 th 2013 tentang pedoman pelaksanaan dan pembinaan pemberdayaan masyarakat
bidang kesehatan)
UKMB adalah wahana pemberdayaan masyarakat yang dibentuk atas dasar kebutuhan
masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk dan bersama masyarakat dengan bimbingan dari
petugas Puskesmas, lintas sektor dan lembaga terkait lainnya.
Pembina UKBM :
Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) : kelompok kerja yang tupoksinya
mempunyai keterkaitan dalam pembinaan penyelenggaraan/ pengelolaan Desa atau
Kelurahan Siaga Aktif, Forum Desa dan Kelurahan Siaga Aktif serta Pengelola Desa
atau Kelurahan Siaga Aktif
Bentuk UKBM antara lain Posyandu, Poskesdes, Posbindu Penyakit Tidak Menular,
UKS, Saka Bhakti Husada (SBH), Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), Pos UKK
dan lain- lain.
Pendekatan keluarga melalui kunjungan rumah ini tidak berarti mematikan UKBM-UKBM
yang ada, tetapi justru untuk memperkuat UKBM-UKBM yang selama ini dirasakan
masih kurang efektif.
50
Gerakan Masyarakat
Gerakan masyarakat (Germas) hidup sehat merupakan upaya untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan bagi setiap orang untuk hidup sehat agar
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud.
Tujuan umum dari Gerakan Masyarakat Hidup Sehat adalah untuk: (a) menurunkan
beban penyakit menular dan penyakit tidak menular, baik kematian maupun kecacatan;
(b) menurunkan beban pembiayaan pelayanan kesehatan karena meningkatnya
penyakit; (c) menghindarkan terjadinya penurunan produktivitas penduduk; dan (d)
menghindarkan peningkatan beban finansial penduduk untuk pengeluaran kesehatan.
Adapun tujuan khusus dari Gerakan Masyarakat Hidup Sehat adalah untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gaya hidup sehat dalam upaya di bawah
payung aksi promotif dan preventif serta menurunkan faktor risiko utama penyakit
menular dan tidak menular terutama melalui meningkatkan aktifitas fisik teratur dan
terukur, konsumsi sayur dan buah dan melakukan deteksi dini penyakit
Kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung Gerakan Masyarakat Hidup Sehat,
antara lain : (1) Melakukan aktivitas fisik, (2) Mengonsumsi sayur dan buah (3) Tidak
merokok, (4) Tidak mengonsumsi alkohol, (5) Memeriksa kesehatan secara rutin, (6)
Membersihkan lingkungan, dan (7) Menggunakan jamban.
Penguatan P2PTM
Penyakit Tidak Menular (PTM) utama (kardiovaskuler, kanker, diabetes melitus, penyakit
paru obstruktif kronik dan gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan) terutama
di negara berkembang telah mengalami peningkatan dengan cepat sehingga
berdampak pada peningkatan angka kesakitan dan kematian. Global Status Report on
NCD World Health Organization (WHO) tahun 2010 melaporkan bahwa 60% penyebab
kematian semua umur di dunia adalah karena PTM. Di Indonesia dalam kurun waktu
tahun 1995- 2007, kematian akibat PTM mengalami peningkatan dari 41,7% menjadi
59,5%.
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat adalah suatu tindakan yang sistematis dan terencana
yang dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa dengan
kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku sehat untuk meningkatkan kualitas
hidup.
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan 2013 menunjukkan bahwa telah terjadi
peningkatan secara bermakna, diantaranya prevalensi penyakit stroke meningkat dari
51
8,3 per mil pada 2007 menjadi 12,1 per mil pada 2013. Tingginya prevalensi bayi
dengan BBLR (10%, tahun 2013) dan lahir pendek (20%, tahun 2013), serta tingginya
stunting pada anak balita di Indonesia (37,2%, 2013) perlu menjadi perhatian oleh
karena berpotensi pada meningkatnya prevalensi obese yang erat kaitannya dengan
peningkatan kejadian PTM. Data disabilitas berdasarkan provinsi menurut Riskesdas
tahun 2013 menunjukkan, prevalensi penduduk dengan disabilitas tertinggi adalah
Sulawesi Selatan (23,8%) dan terendah adalah Papua Barat (4,6%). Penyebab
disabilitas tertinggi di Indonesia pada kelompok umur 24 – 59 bulan yaitu Disabilitas
Netra, Disabilitas Wicara, Sindroma Down, Disabilitas Daksa, Bibir Sumbing, Disabilitas
Rungu, Disabilitas Grahita dan Cerebral Palsy. Dengan demikian, pencegahan dan
pengendalian PTM juga perlu mengintegrasikan dengan upaya-upaya yang mendukung
1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) melalui pendekatan keluarga secara holistik.
Pencegahan dan pengendalian PTM yang efektif membutuhkan interaksi efektif antar
fasilitas pelayanan kesehatan dari tingkat primer hingga tingkat rujukan, yang meliputi
pelayanan promotif, preventif, kuratif, paliatif dan rehabilitatif terhadap kasus-kasus
PTM. Pelayanan kesehatan dengan keluarga sebagai titik tumpu perkuatan dari seluruh
aktivitas yang berjalan secara efektif merupakan kunci keberhasilan penanggulangan
PTM. Dengan demikian, seluruh fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama secara
bertahap harus diupayakan mampu melakukan penanggulangan PTM secara
terintegrasi dengan pemusatan terhadap keluarga.
Keluarga sebagai bagian dari Masyarakat mempunyai peran penting dalam pencegahan
PTM, antara lain dalam menumbuhkan budaya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
pada komunitas. PHBS pada pencegahan PTM dilakukan melalui penerapan perilaku
“CERDIK” yang merupakan akronim dari “Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan
asap rokok, Rajin aktifitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, Istirahat yang cukup
dan Kelola stres”.
Upaya-upaya kesehatan berbasis masyarakat seperti Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) PTM sangat penting untuk mengendalikan faktor-faktor risiko PTM. Oleh
karena itu, setiap keluarga harus didorong untuk bertanggung jawab atas perilakunya,
termasuk penerapan perilaku CERDIK. Posbindu PTM sebagai wujud peran serta
masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan deteksi dini, pemantauan dan intervensi serta
tindak lanjut dini faktor risiko PTM secara mandiri dan berkesinambungan. Kegiatan ini
meliputi pengukuran dan pemeriksaan faktor risiko PTM, upaya pengendalian faktor
risiko PTM, penanggulangan gangguan Indera dan identifikasi gangguan fungsional,
52
surveilans faktor risiko PTM, pemantauan dan penilaian perkembangan kemajuan
pencapaian kinerja Posbindu PTM. Posbindu PTM juga dikembangkan pada masyarakat
sebagai bentuk kewaspadaan dini terhadap PTM mengingat hampir semua faktor risiko
PTM pada awalnya tidak memberikan gejala.
Di sisi lainnya, lingkungan seharusnya dibangun untuk memberikan ruang bagi publik
untuk membuat pilihan yang sehat dan menghindari faktor-faktor penyebab timbulnya
masalah kesehatan, termasuk penyakit tidak menular. Salah satu bentuk upaya ini
dilakukan melalui Implementasi Kawasan Tanpa Rokok terutama di 7 tatanan antara lain
fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain,
tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum dan tempat lain yang
ditetapkan sebagaimana amanat Undang-Undang-undang No.36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
Pencegahan dan pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular seharusnya juga
diterapkan berbasis siklus tahapan kehidupan (life-course approach). Oleh karena itu,
upaya tersebut dianjurkan untuk dilakukan sejak usia dini, usia remaja, usia kerja hingga
usia lanjut. Dengan demikian, sekolah merupakan lembaga yang penting dalam
pencegahan PTM pada usia anak dan remaja. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang
antara lain menumbuhkan budaya PHBS atau penerapan perilaku CERDIK pada
komunitas sekolah termasuk guru, administrator dan peserta didik. Tenaga-tenaga
Pembina UKS di sekolah, Puskesmas dan pemerintah daerah setempat mempunyai
peran besar terhadap kegiatan ini, termasuk menjadi role model. Untuk itu, komponen
upaya pencegahan dan pengendalian PTM pada program UKS selayaknya menjadi
program wajib Puskesmas agar pengendalian faktor risiko dan deteksi dini dapat
dilakukan sejak usia dini. Sementara untuk target sasaran usia produktif dan usia lanjut,
pencegahan dan pengendalian PTM dapat dilakukan melalui program perluasan
“Posbindu PTM” di tempat kerja dan di kelompok-kelompok masyarakat, serta integrasi
kegiatan Posbindu PTM dan Posyandu Lansia termasuk juga dengan program “Rumah
Sehat Desa” dari lintas sektor.
Pelayanan Terpadu PTM untuk fasilitas kesehatan tingkat pertama, khususnya di
Puskesmas akan menjamin terlaksananya deteksi dini faktor risiko PTM seperti
Pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar perut, tekanan darah, gula darah, profil
lemak darah, pemeriksaan fungsi paru sederhana, pemeriksaan IVA dan SADANIS,
diagnosa dini serta pengobatan esensial PTM, termasuk penguatan tata-laksana faktor
risiko antara lain upaya berhenti merokok (UBM) maupun konseling faktor risiko PTM
53
lainnya. UBM dilaksanakan di Puskesmas bertujuan untuk menghentikan
ketergantungan individu terhadap rokok secara bertahap melalui konseling dan motivasi
tanpa penggunaan obat.
Keterpaduan tata laksana kasus PTM seperti Hipertensi dan Diabetes dilakukan dengan
penggunaan charta risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh darah sehingga pengelolaan
risiko dapat terpantau secara efektif. Selain itu, sistem rujukan termasuk juga rujuk balik
perlu diperkuat untuk menjamin penanganan kegawat-daruratan dan kasus-kasus PTM
yang perlu dirujuk. Agar upaya penguatan menjadi lebih optimal, diperlukan sinkronisasi
dengan pola pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ketersediaan peralatan
dan obat-obatan esensial PTM sesuai standar di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama akan mendukung terlaksananya pelayanan terpadu PTM secara optimal dan
efektif.
Dalam penanggulangan kanker saat ini diprioritaskan pada kanker leher rahim dan
kanker payudara dikarenakan ke-2 kanker ini yang terbanyak di masyarakat. Kegiatan
tersebut berupa deteksi dini kanker leher rahim/ kanker serviks dengan metode Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat (IVA) yang dilakukan pada wanita telah aktif secara seksual
terutama pada usia 30 – 50 tahun untuk menemukan lesi prekanker dan mengatahui
adanya perubahan sel di dinding rahim. Pada lesi pre kanker akan menampilkan bercak
putih yang menandakan hasilnya positif setelah dipulas dengan asam asetat atau asam
cuka (3 – 5%). Hasil IVA positif akan dilakukan tindakan krioterapi sehingga dapat
mencegah terjadinya kanker leher rahim lebih lanjut. Sementara itu, perlindungan
kesehatan bagi perempuan terhadap kanker leher rahim dilakukan dengan pemberian
Vaksinasi HPV. Untuk pemeriksaan payudara dikenal dengan SADANIS (Pemeriksaan
Payudara Klinis) karena dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih untuk menemukan
benjolan payudara sedini mungkin agar secepatnya dapat dilakukan tindakan.
Penanggulangan gangguan fungsional dilaksanakan dengan memperkuat layanan
rehabilitatif di Puskesmas dan destigmatisasi para penyandang disabilitas di masyarakat
melalui upaya peningkatan edukasi dan advokasi sehingga para penyandang disabilitas
memiliki kesamaan dan kesempatan akses yang selayaknya.
54
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah
Program JKN ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kesehatan bagi seluruh
masyarakat Indonesia, baik Penerima Bantuan Iuran (PBI) ataupun Non-PBI. Dalam
pengembangan JKN ini Kementerian Kesehatan fokus pada pengembangan benefit
package, menggunakan sistem pembiayaan asuransi dengan azas gotong royong, serta
melakukan kendali mutu dan kendali biaya pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan JKN dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit),
serta kendali mutu dan biaya. Kesemuanya itu ditujukan kepada tercapainya keluarga-
keluarga sehat. Tanda kepesertaan JKN adalah Kartu Indonesia Sehat (KIS)
55
Anti korupsi merupakan kebijakan untuk mencegah dan menghilangkan peluang bagi
berkembangnya korupsi. Anti korupsi adalah pencegahan. Pencegahan yang dimaksud
adalah bagaimana meningkatkan kesadaran individu untuk tidak melakukan korupsi dan
bagaimana menyelamatkan uang dan aset negara.
Penyebab korupsi terdiri atas faktor internal dan faktor eksternalpri: Faktor internal
merupakan penyebab korupsi yang datangnya dari diri pribadi atau individu, sedangkan
faktor eksternal berasal dari lingkungan atau sistem.
Upaya pencegahan korupsi pada dasarnya dapat dilakukan dengan menghilangkan,
atau setidaknya mengurangi, kedua faktor penyebab korupsi tersebut. Faktor internal
sangat ditentukan oleh kuat tidaknya nilai-nilai anti korupsi tertanam dalam diri setiap
individu. Nilai-nilai anti korupsi tersebut antara lain meliputi kejujuran, kemandirian,
kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras, sederhana, keberanian, dan keadilan.
Nilai-nilai anti korupsi itu perlu diterapkan oleh setiap individu untuk dapat mengatasi
faktor eksternal agar korupsi tidak terjadi. Untuk mencegah terjadinya faktor eksternal,
selain memiliki nilai-nilai anti korupsi, setiap individu perlu memahami dengan mendalam
prinsip- prinsip anti korupsi yaitu akuntabilitas, transparansi, kewajaran, kebijakan, dan
kontrol kebijakan dalam suatu organisasi/ institusi/ masyarakat. Oleh karena itu
hubungan antara prinsip-prinsip dan nilai-nilai anti korupsi merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan.
Upaya Pencegahan Korupsi : Pembentukan Lembaga Anti-Korupsi, Pencegahan Sosial
dan Pemberdayaan Masyarakat dan Pencegahan Korupsi di Sektor Publik. Peluang
bagi berkembangnya korupsi dapat dihilangkan dengan melakukan perbaikan sistem
(sistem hukum, sistem kelembagaan) dan perbaikan manusianya (moral dan
kesejahteraan).
VIII. REFERENSI
Peraturan Menteri Kesehatan TB No.67 tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis
Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2015-2019
Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2015-2019
Modul Keluarga Sehat 2017
56
IX. LAMPIRAN
A. LAMPIRAN 1.
Standar Internasional untuk Pelayanan Tuberkulosis
(International Standards for TB Care/ISTC) edisi ke 2
International for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi
guideline Program Pengendalian TB yang konsisten dengan rekomendasi WHO.
ISTC edisi pertama dikeluarkan pada tahun 2006 dan pada tahun 2009 direvisi.
Terdapat penambahan standar dari 17 standar menjadi 21 standar yang terdiri dari :
Standar diagnosis (standar 1-6)
Standar pengobatan (standar 7-13)
Standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain
(standar 14-17)
Standar kesehatan masyarakat (standar 18-21)
Prinsip dasar ISTC tidak berubah. Penemuan kasus dan pengobatan tetap menjadi
hal utama. Selain itu juga tanggungjawab penyedia pelayanan kesehatan untuk
menjamin pengobatan sampai selesai dan sembuh. Seperti halnya pada edisi
sebelumnya, edisi 2009 ini tetap konsisten berdasarkan rekomendasi internasional
dan dimaksudkan untuk melengkapi bukan untuk menggantikan rekomendasi lokal
atau nasional.
Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis
paru harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 kali yang
diperiksa di laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika mungkin paling tidak
satu spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.
*) lihat addendum
Standar 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita
tuberkulosis ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya
diambil untuk pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan histopatologi.
*) lihat addendum
57
Standar 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya
menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.
Standar 5
Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan
kriteria berikut: minimal dua kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif
(termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai
tuberkulosis; dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas
(catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M. tuberculosis
complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita
tuberkulosis). Untuk pasien ini biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien
yang sakit berat atau diketahui atau diduga terinfeksi HIV, evaluasi diagnostik
harus disegerakan dan jika bukti klinis sangat mendukung ke arah tuberkulosis,
pengobatan tuberkulosis harus dimulai.
Standar 6
Pada semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (yakni paru,
pleura, dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi
bakteriologis harus dilakukan dengan pemeriksaan dahak (dengan cara batuk,
kumbah lambung, atau induksi dahak) untuk pemeriksaan mikroskopik dan
biakan. Jika hasil bakteriologis negatif, diagnosis tuberkulosis harus didasarkan
pada kelainan radiografi toraks sesuai tuberkulosis, riwayat terpajan kasus
tuberkulosis yang menular, bukti infeksi tuberkulosis (uji tuberkulin positif atau
interferon gamma release assay) dan temuan klinis yang mendukung ke arah
tuberkulosis. Untuk anak -yang diduga menderita tuberkulosis ekstra paru,
spesimen dari lokasi yang dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan
mikroskopik, biakan, dan histopatologis.
*) lihat addendum
58
Standar 8
Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi paduan obat yang disepakati secara internasional
menggunakan obat yang bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial
seharusnya terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase
lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid dan rifampisin yang diberikan selama
4 bulan. Dosis obat anti tuberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan
rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri dari kombinasi 2
obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan pirazinamid),
dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat
direkomendasikan.
*) lihat addendum
Standar 9
Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) terhadap pengobatan,
suatu pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan
kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan
penyelenggara kesehatan, seharusnya dikembangkan untuk semua pasien.
Pengawasan dan dukungan seharusnya berbasis individu dan harus
memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan dan
layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien.
Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah
penggunaan berbagai upaya untuk menilai dan mengutamakan kepatuhan
terhadap paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Upaya ini
seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah
pihak, yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan. Upaya ini dapat mencakup
pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy-DOT) serta
identifikasi dan pelatihan bagi pengawas menelan obat (untuk tuberkulosis dan,
jika memungkinkan, untuk HIV) yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien
dan sistem kesehatan. Insentif dan dukungan, termasuk dukungan keuangan
dapat diberikan untuk mendukung kepatuhan.
Standar 10
Respons terhadap terapi pada pasien tuberkulosis paru harus dimonitor
dengan pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) saat fase
inisial selesai (dua bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus
dahak harus diperiksa kembali pada bulan ketiga dan jika positif, biakan dan uji
resistensi terhadap isoniazid dan rifampisin harus dilakukan. Pada pasien
59
tuberkulosis ekstra paru dan pada anak, penilaian respons pengobatan terbaik
adalah secara klinis.
*) lihat addendum
Standar 11
Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan
terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi
resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien.
Uji sensitivitas obat seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua
pasien yang sebelumnya pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif
setelah pengobatan tiga bulan selesai dan pasien gagal pengobatan, putus
obat, atau kasus kambuh setelah pengobatan harus selalu dinilai terhadap
resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi obat, biakan dan
uji sensitivitas/resistensi obat setidaknya terhadap isoniazid dan rifampisin
seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimalkan kemungkinan
penularan. Upaya pengendalian infeksi yang memadai seharusnya dilakukan
sesuai tempat pelayanan.
Standar 12
Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang
disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati
dengan paduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini
kedua. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola
sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti. Paling tidak
harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk obat suntik, harus
diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Tindakan yang
berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang
berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus
dilakukan.
Standar 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis,
dan efek samping seharusnya dibuat untuk semua pasien.
60
STANDAR UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV DAN KONDISI
KOMORBID LAIN
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang
menderita atau yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini
merupakan bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah
dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien
dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV, dan pasien
dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan yang
erat antara tuberkulosis dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi HIV
yang tinggi pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan
dan penatalaksanaan kedua infeksi.
Standar 15
Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi
untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama
masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses
obat anti retroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi.
Bagaimanapun juga pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda.
Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol
sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak
menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis
laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.
Standar 17
Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh
terhadap kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil
pengobatan tuberkulosis. Saat rencana pengobatan mulai diterapkan,
penyelenggara kesehatan harus mengidentifikasi layanan-layanan tambahan
yang dapat mendukung hasil yang optimal bagi semua pasien dan
menambahkan layanan-layanan ini pada rencana penatalaksanaan. Rencana
ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan untuk
penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-
61
penyakit yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes mellitus,
program penanganan kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang, program
berhenti merokok, dan layanan pendukung psikososial lain, atau layanan-
layanan seperti perawatan selama masa kehamilan, setelah melahirkan dan
perawatan bayi.
62
ADDENDUM
Standar 1
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan yang
sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.
Standar 2
Bila hasil pemeriksaan BTA 1 negatif, maka dilakukan pemeriksaan sputum kedua
pagi hari. Satu spesimen harus berasal dari pagi hari.
Standar 3
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB
paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin, pada anak.
Standar 6
Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan dari kasus
tuberkulosis yang menular, bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau
interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB.
Standar 8
Secara umum terapi TB diberikan selama 6 bulan, namun pada TB Ekstraparu
(meningitis TB, TB tulang, TB milier, TB Kulit, dan lain-lain) terapi TB dapat diberikan
lebih lama sesuai evaluasi medis.
Khusus untuk anak, rejimen yang diberikan terdiri atas RHZ. E ditambahkan bila
penyakitnya berat.
Standar 9
Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru BTA negatif
dapat dinilai dengan foto toraks.
Standar 10
Apabila menangani TB anak dan TB Kulit maka cari sumber penularnya
Standar 11
Pemberian Isoniazid untuk profilaksis sedang dalam proses persiapan menjadi
program nasional
Standar 12
Pelaksanaan pelaporan akan difasilitasi dan dikoordinasikan oleh dinas kesehatan
setempat, sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku
63