PENDAHULUAN
1
BAB II
GAMBARAN UMUM
2
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus yang
berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berprilaku sehat.
Kebutuhan pendidikan di Kabupaten Banyuwangi , sejak tahun 2006 sampai
dengan tahun 2014 jumlah sekolah, murid, dan guru Taman Kanak-Kanak (TK)
jumlahnya mempunyai kecenderungan meningkat baik berstatus negeri maupun
swasta. Julmlah TK-PAUD berjumlah 32 sekolah tersebar di seluruh wilayah kerja
puskesmas, SD/ MI berjumlah 23sekolah, SMP/MTS 10 sekolah, SMU/MA berjumlah
9 sekolah dan perguruan tinggi berjumlah 2 institusi.
Program pendidikan dasar atau yang sering disebut-sebut dengan istilah
Program Wajib Belajar Sembilan Tahun, secara kelembagaan di wilayah kerja
puskesmas Sobo sudah dapat dikategorikan cukup memadai, karena Institusi
pendidikan sudah tersebar di seluruh wilayah kelurahan di kecamatan Banyuwangi.
Sedangkan kebutuhan akan kesehatan dapat dilayani di puskesmas, Pustu,
Poskeskel, Pusling, Dokter praktek swasta serta klinik swasta yang tersebar di
seluruh wilayah kerja puskesmas Sobo.
3
BAB III
DERAJAT KESEHATAN
4
1. ANGKA KEMATIAN BAYI
Infant Mortality Rate atau Angka Kematian Bayi (AKB) adalah banyaknya
bayi yang meninggal sebelum usia 11 bulan yang dinyatakan dalam 1000
kelahiran Hidup pada tahun yang sama. Angka Kematian Bayi merupakan aspek
penting dalam menilai keberhasilan pembangunan kesehatan.
Berdasarkan data hasil laporan bulanan puskesmas Sobo selama tahun
2013 kematian bayi usia 0-28 hari sebanyak 2 bayi atau 2.7 / 1000 KH,
sedangkan jumlah kematian bayi sebelum umur 11 bulan sebanyak 17 atau
23.4/1000 KH bayi yang dilaporkan dari 726 kelahiran hidup. Tahun 2014
kematian bayi usia 0-28 hari sebanyak 4 bayi atau 5.5 / 1000 KH, sedangkan
jumlah kematian bayi sebelum umur 11 bulan sebanyak 10 atau 13.8/1000 KH
bayi yang dilaporkan dari 724 kelahiran hidup. Tahun 2015 kematian bayi usia 0-
28 hari sebanyak 7 bayi atau 8.8 / 1000 KH, sedangkan jumlah kematian bayi
sebelum umur 11 bulan sebanyak 11 atau 13.8/1000 KH bayi yang dilaporkan
dari 795 kelahiran hidup
Tren Angka Kematian Bayi (AKB) tergam bar dalam grafiik berikut ini te rhitung
dalam tiga tahun terakhir :
Terget Hasil
11
10
100% 98.90% 1 1
Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan bahwa tahun 2013 ke tahun 2015
terjadi kenaikan Angka Kematian Bayi 0-28 hari, sedangkan bayi kurang dari 11
bulan mengalami penurunan pada taun 2014 dan sedikit naik pada tahun 2015.
Penyebab kematian diantaranya kelaianan jantung bawaan, sepsis serta Berat
Bayi Lahir Rendah (BBLR).
100%
80%
60%
Terget
40%
20%
0%
TH 2015 TH 2014 TH 2015
6
masa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Strategi yang terus dikembangkan
dan ditingkatan adalah peningkatan akses dan cakupan layanan kesehatan ibu,
membangun kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas
sektor dan mitra lainnya dalam melakukan advokasi untuk memaksimalkan
sumber daya yang ada, selain itu yang tak kalah pentingnya adalah mendorong
dan menggerakkan masyarakat dalam memaksimalkan penyediaan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu.
7
Ada 4 strategi dalam upaya pemberantasan polio, yaitu : imunisasi (yang
meliputi peningkatan imunisasi rutin polio, PIN, dan Mop - Up), surveilans AFP,
sertifikasi bebas polio, dan penanganan virus polio di laboratorium. Dari tahun
2013 sampai dengan tahun 2015 tidak di ketemukan kasus polio di UPTD
Puskesmas Sobo.
2. TB Paru
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium Tuberkulosis. Pada tahun 1995 diperkirakan 9 juta pasien TB
dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95 % kasus TB
dan 98 % kematian akibat TB didunia terjadi pada negara-negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian
karena kehamilan,persalinan dan nipas. Sekitar 75 % pasien TB adalah
kelompok usia paling produktif secara ekonomis ( 15 -50 tahun ). Diperkirakan
seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan
rumah tangganya, sekitar 20 -30 %, juka ia meninggal akibat TB maka akan
kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Di Indonesia TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke 5 terbanyak didunia setelah
India,Cina,dll. Dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB
didunia.
Sejak tahun 1995, Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru,
telah dilaksanakan dengan strategi DOTS ( Directly Observed Treatment
Shortcourse chemotherapy ) yang direkomendasi oleh WHO. Kemudian
berkembang seiring dengan GERDUNAS - TB ,maka Pemberantasan Penyakit
Tuberkulosis Paru berubah menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis
(TB) . Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan
stategi kesehatan yang paling cost effective. Cakupan suspek TB Paru tahun
2015 tercapai 264 suspek diperiksa (53 %) dari sasaran 495, sedangkan target
70 % dari saran yaitu 347. Puskesmas sobo belum mencapai target
dikarenakan :
1. Kurangnya Active Promotif dan Penyuluhan terhadap masyarakat tentang
Program Penanggulangan TB Paru.
2. Kurangnya Advokasi dan sosialisasi pada lintas terkait .
8
3. Belum semua Upaya Pelayanan Kesehatan yang ada di wilayah kerja
puskesmas melaksanakan strategi DOTS.
4. Masih banyak penderita yang berobat pada dokter swasta/klinik swasta.
5. Banyak penderita yang mengalami pengobatan terlebih dahulu sebelum
dilakukan penatalaksanaan sesuai strategi DOTS sehingga apabila dirujuk
di puskesmas hasil BTA sudah mengalami negatif.
6. Penemuan Penderita Baru secara Pasif Case Fanding
Hasil pengobatan penderita TB di Kabupaten Banyuwangi pada Tahun
2015sebagai berikut : Angka Konversi ( Conversion Rate ) 100 %, Angka
Kesembuhan (Cure Rate) 100 %, Angka Keberhasilan Pengobatan ( Success
Rate ) 100.
9
Program P2 ISPA menitikberatkan kegiatannya pada penemuan dan
tatalaksana kasus Pneumonia Balita baik secara aktif maupun pasif. Sasaran
kegiatan penemuan dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita adalah 4.45 %
dari jumlah Balita pada tahun 2015 harus ditemukan dan mendapatkan
pelayanan tatalaksana kasus Pneumonia Balita secara benar, dengan target
sebesar 335 penderita Pneumonia Balita.
Hasil pencatatan dan pelaporan cakupan penemuan dan tatalaksana
kasus Pneumonia Balita di Kabupaten Banyuwangi tahun 2015, sebesar 38.2
% dengan jumlah penderita yang dilaporkan oleh puskesmas adalah 128
penderita Pneumonia Balita. Sedangkan target cakupan penemuan dan
tatalaksana kasus Pneumonia Balita pada tahun 2015.
Cakupan penemuan dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita masih
merupakan masalah karena dari tahun ke tahun angkanya masih jauh dibawah
target. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan rendahnya cakupan
penemuan dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita diantaranya adalah :
1. Sumber pelaporan rutin terutama hanya berasal dari layanan di puskesmas
saja tidak termasuk layanan kesehatan lain yang ada di wilayah puskesmas
Sobo.
2. Belum semua petugas kesehatan menerapkan Tatalaksana standar P2 ISPA
yang menitik beratkan pada penanganan penyakit Pneumonia pada bayi dan
balita melalui MTBS.
3. ARI Sound Timer sebagai belum dimanfaatkan oleh petugas sebagai alat
untuk deteksi Pneumonia.
4. Kerjasama lintas program dan lintas sektor belum berjalan dengan baik.
10
melalui (10%), dan dari Ibu ke anak sebanyak (2%). Selain hal tersebut diatas ada
hal yang menakjubkan yaitu adanya kejadian HIV/ AIDS pada ibu rumah tangga
yaitu yang berjumlah 392 kasus dan kejadian pada balita sebanyak 36 kasus.
Apabila dilihat dari penyebarannya, maka semua kecamatan di Kabupaten
Banyuwangi sudah ada penderitanya. Dengan jumlah terbanyak ada di wilayah
Kecamatan Banyuwangi kemudian kecamatan Genteng dan kecamatan
Singojuruh (Profil Kesehatan Banyuwangi, 2014). Sedangkan di Puskesmas Sobo
jumlah kasus IMS yan di temukan adalah 146 kasus. Pengguan kondom pada
penderita dengan keluahan IMS/sindroma mencapai 143 artinya hampir semua
penderita yang di temukan IMS/syndromedi puskesmas atau jaringannya
menggunakan kondom. Jumlah ibu hamil yang mendapatkan informasi HIV
mencapai 763 ( 100%) artinya semua ibu hamil yang datang kepelayanan
mendapatkan konseling/penyuluhan atau informasi tentang HIV. Sedangkan
ibuhamil yang dilakukan testing hiv mencapai 216 (28.3 %) sedangkan targetnya
adalah 60 %. Rendahnya cakupan testing pada ibu hamil di sebabkan oelha
beberapa hal diantaranya :
1. Stigma HIV/AID di masyarakat masih merupakan penyakit yang diakibatkan
karena perilaku yang kurang baik;
2. Kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pemeriksaan sedini mungkin HIV
pada ibu hamil serta janin dan keberlangsungan kesehatan bayi;
3. Masih rendahnya pengetahuan ibu hail terhadap pemeriksaan HIV.
11
3. Melibatkan Ormas dan LSM dalam edukasi dan sosialisasi tentang HIV/
AIDS.
4. Menyiapkan sarana dan prasana yang memadai melalui Pengadaan
Bahan, alat dan obat untuk mencukupi kebutuhan layanan HIV/ AIDS.
5. Melakukan Sosialisasi dan atau pelatihan perawatan Jenazah sesuai
dengan syarat kesehatan bagi modin dan petugas kesehatan.
6. Pemberdayaan LSM secara optimal dalam upaya pendampingan ODHA.
7. Advokasi ke stake holder untuk membuat kebijakan agar setiap calon
pengantin di wajibkan untuk mendapatkakn konseling dan test HIV.
8. Melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam upaya
penanggulangan HIV/ AIDS.
Penyakit Menular Seksual atau sering disebut dengan Infeksi menular
seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan atau virus ini meningkat seiring
dengan perubahan pola atau gaya hidup masyarakat modern yang cenderung
melakukan pergaulan bebas dan free sex. Seperti diketahui, bahwa penyakit
IMS merupakan salah satu jendela atau pintu masuk yang efektif bagi penyakit
HIV/AIDS. Sehingga keterkaitan antara penyakit IMS dan HIV/ AIDS semakin
erat dan berjalan linier. Trend tersebut akan bergeser apabila sudah terjadi
efek spiral dari kasus tersebut. Sehingga sangat mungkin bila seorang ibu
rumah tangga yang tidak berperilaku buruk seperti heteroseks (gonta-ganti
pasangan) juga bisa menderita IMS maupun HIV/ AIDS.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan cakupan program dan
peningkatan layanan IMS antara lain :
a. Kerjasama dengan lintas sektor dan lintas program untuk membangun
jejaring layanan dan penjaringan serta deteksi dini kasus IMS pasca
penutupan lokalisasi terutama dikalangan resiko tinggi.
b. Meningkatkan akses layanan IMS di pelayanan kesehatan dasar
(Puskesmas dan Rumah sakit).
c. Penambahan tenaga Analis kesehatan untuk pemeriksaan IMS.
d. Bekerjasama dengan Praktek swasta ( Dokter, Perawat, Bidan ) dan LSM
serta Organisasi masyarakat seperti; Fatayat NU, Aisyiyah, dan Kader
dalam deteksi dini faktor resiko IMS serta pengembangan sistem rujukan.
e. Melibatkan Ormas dalam sosialisasi tentang deteksi dini IMS dan resikonya.
f. Menyiapkan sarana dan prasana yang memadai melalui Pengadaan Bahan,
alat dan obat untuk mencukupi kebutuhan layanan IMS.
5. Diare
12
Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diare
membunuh 2.195 anak setiap harinya. Kematian anak akibat diare mencapai 1
diantara 9 anak di seluruh dunia, membuat diare menjadi penyebab kematian
kedua terbesar pada anak di bawah usia 5 tahun. Untuk anak-anak dengan
HIV, diare bahkan lebih mematikan. Tingkat kematian untuk anak-anak ini
adalah 11 kali lebih tinggi daripada anak-anak tanpa HIV. Sedangkan menurut
catatan WHO Diare tahun 2011 membunuh 2 juta anak di dunia dalam setiap
tahunnya. Padahal dengan tatalaksana yang benar maka 80% kematian akibat
diare dapat dicegah dengan oralit dan zinc (profils kesehatan, 2014).
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah
kelompok yang paling tinggi menderita diare. Insiden diare balita di Indonesia
adalah 6,7 persen. Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok
umur 12-23 bulan (7,6%) (profil kesehatan, 2014).
Fakta yang terjadi di tingkat nasional dan global ini tidak sesuai dengan
fakta yang terjadi di masyarakat pada umumnya saat ini. Pada kenyataannya
penyakit Diare dikalangan masyarakat umum masih dianggap sebagai penyakit
yng tidak berbahaya dan tidak mematikan. Masih kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang penyakit Diare dan tatalaksana penanganan penderita
Diare secara benar inilah yang menyebabkan masyarakat cenderung
melakukan penanganan kejadian Diare sendiri yang kadang tidak tepat, dan
setelah penderita dalam keadaan dehidrasi berat baru merasa memerlukan
penanganan petugas kesehatan.
Terjadinya dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) pada penderita Diare
adalah hal yang perlu diwaspadai. Cairan dan elektrolit tubuh akan banyak
keluar bersama tinja sehingga tubuh kesulitan menjalankan fungsinya. Oleh
karena itu penyakit Diare menjadi sangat berbahaya bila terjadi pada Balita,
karena kekurangan cairan pada Balita yang menderita Diare dapat menjadi
penyebab kematian. Bayi dan Balita sangat rentan terhadap penyakit Diare
karena perkembangan sistem pencernaan dan kekebalan tubuhnya belum
optimal, sehingga kelompok ini lebih mudah terserang Diare aki bat bakteri
atau virus. Sedang kan penyakit Diare pada orang dewasa selain karena
bakteri dapat pula disebabkan oleh pola makan dan stress.
Cakupan pelayanan penderita Diare di puskesmas sobo tahun 2014 2014
sudah mencapai target 98.9 % atau jumlah penderita yang di laporkan
mencapai 883 kasus.
13
Hasil Cakupan Program Dare Puskesmas Sobo
Tahun 2015
100%
98.90%
Terget Hasil
Dari diagram diatas hasilnya masih di bawah target hal ini di sebabkan karena
beberapa hal yaitu
1. Kurang koordinasinya system pencatatan dan pelaporan antara petugas
dengan pelayanan kesehatan terutama layanan praktek swasta.
2. Pelaporan kejadian diare di masyarakat oleh kader, kurang atau tidak di
laoprkan kepada petugas kesehatan.
3. Jumlah layanan di wilayah kerja puskesmas sobo, lebih banyak swasta
sehingga di perlukan koordinasi.
Dilihat dari kualitas pelayanan penanganan penderita Di are Tahun 2015
hasil yang dicapai yaitu :
1. Angka pengguna an oralit 100 %
2. Angka pengguna an Zinc pada Balita Tahun 2015 sebesar 100 % .
3. Target angka penggunaan 0 %.
6. Kusta
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks.Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi menulas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional.
Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahtraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Penyakit kusta pada saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagai petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya
pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang
ditimbulkannya.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan
serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah
dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Akan tetapi melihat kompleksnya masalah panyakit kusta, maka diperlukan
14
program pengendalian secara terpandu dan menyeluruh melalui strategi yang
sesuai dengan endemiditas penyakit kusta. Selain itu juga harus diperhatikan
rehabilitasi sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita
kusta. Pada tahun 2015 tidak ditemukan penderita Kusta. Hal ini disebabkan
karena
1. Metode penemuan masih bersifat pasif
2. Kemungkinan prevalensinya di masyarakat sangat kecil atau memang sudah
tidak ada penderita.
3. Kurang aktifnya petugas dalam penemuan kasus.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan
serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah
dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Akan tetapi melihat kompleksnya masalah panyakit kusta, maka diperlukan
program pengendalian secara terpandu dan menyeluruh melalui strategi yang
sesuai dengan endemiditas penyakit kusta.
a. Tetanus Neonatorum
Kasus tetanus banyak dijumpai disejumlah negara tropis dan negara
yang masih memiliki kondisi kesehatan tetanus merupakan salah satu penyakit
menular yang paling beresiko mengakibatkan kematian. Tetanus pada bayi
dikenal dengan istilah Tetanus Neonatorum, karena umumnya terdapat pada
bayi baru lahir atau usia dibawah 1 bulan. Penyebabnya adalah spora
Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau
perawatan yang tidak memenuhi kebersihan.
Kasus tetanus banyak dijumpai disejumlah negara tropis dan negara
yang masih memilii kondisi kesehatan rendah. Data organisasi kesehatan
dunia menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah
135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju termasuk indonesia pada tahun
2007 jumlah penderita Tetanus Neonatorum melebihi 100 penderita diantara 8
15
negara ASEAN (profil kesehatan kabupaten Banyuwangi, 2014). Pada tahun
2015 di puskesmas Sobo tidak di temukan kasus.
b. Campak
Imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah
kematian pada bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang
wajib diberikan pada bayi adalah Polio, BCG, dan Campak. BCG seringkali
digunakan sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk
tuberkulosis yang parah selama 1 tahun pertama hidupnya dan digunakan
sebagai salah satu indikator akses kepelayanan kesehatan.
Penyakit campak adalah salah satu penyebab kematian pada anak.
Campak atau Morbili merupakan penyakit yang akut dan sangat menular dan
sering terjadi pada anak-anak. Campak dapat menular secara langsung
maupun tidak langsung melalui pernafasan dan berkontaminasi sekret orang
yang terinfeksi dan ditandai dengan bintik-bintik merah dikulit, demam,
conjungctivitis, bronchitis.
Upaya pencegahan campak merupakan faktor penting dalam mengurangi
angka kematia balita dengan cara mempertahankan cakupan imunisasi
campak sebesar 90%. Imunisai ini diberikan rata-rata umur 9-12 bulan dan
merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara imunisasi
wajib lainnya. Pada tahun 2015 di temukan kasus campak pada semua
golongan umur mencapai 25 kasus dan hepatitis 13 kasus.
16
memungkinkan nyamuk aedes dapat tumbuh dan berkembang, sehingga seluruh
wilayah kerja rentan terhadap penularan Demam Berdarah Dengue.
Karena vaksin anti virus DBD belum ada, sehingga belum dapat dilakukan
imunisasi untuk mencegah penyakit DBD, maka cara pemberantasan penyakit
DBD yang paling efektif adalah dengan memutus rantai penularan yaitu dengan
memberantas nyamuk penularnya dan mencegah perkembangbiakan nyamuk.
Upaya yang telah dilakukan untuk memberantas nyamuk Aedes Aegypty dan
Albopictus adalah dengan Pemantaun Jentik Berkala (PJB), Pemberantasan
Sarang Nyamuk ( PSN ) dengan 3M Plus, Abatisasi dan Fogging fokus sebagai
alternative terakhir untuk pemberantasan nyamuk dewasa yang telah
mengandung virus dengue.
Hal ini tidak dapat dilakukan hanya oleh puskesmas serta jaringannya,
mengingat keterbatasan tenaga dan sarana yang ada , untuk itu diperlukan
kerjasama lintas program dan lintas sektor dalam mengupayakan kegiatan PSN
sebagai kegiatan yang paling murah dan efektif dalam memberantas penyakit
DBD yang harus dilakukan serentak dan rutin oleh masyarakat.
Berdasarkan data di atas bahwa terjadi lonjakan yang sangat tinggi
peningkatan kasus penderita TBC hal ini di pengaruhi oleh pola musim dan
perilaku masyarakat yang masih relatif kurang sadar mengenai pemberantasan
sarang nyamuk.
Hasil kegiatan Program Pengendalian Penyakit DBD di Puskesmas Sobo :
a. Peta Endemisitas
Berdasarkan peta endemisitas menunjukkan seluruh wilayah kerja puskesmas
sobo yang merupakan daerah atau wilayah endemis, karena setiap tahun di
temukan kasus DBD.
b. Penanggulangan focus
Penanggulangan focus adalah upaya untuk memberantas nyamuk dewasa
dengan cara fogging/pengasapan. Jumlah penderita DBD pada tahun 2015
sebanyak 9 kasus. Puskesmas sobo melakukan penanggulangan focus pada
14 fokus dengan jumlah rumah difoging sebanyak 1563 rumah dengan biaya
swadaya masyarakat
c. Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemberian abate kepada container sekitar
penderita atau didaerah endemis DBD yang dilakukan oleh petugas
17
puskesmas sebagai upaya untuk membunuh telur aedes. Abatisasi telah
dilakukan pada 211 container dari 7 kelurahan.
9. Malaria
Eliminasi malaria sesuai dengan Kepmenkes 293/Menkes/SK/2009/tentang
Eliminasi Malaria, Jawa Timur pada tahun ini masih masuk pada tahap pra
Eliminasi, di tahun 2015 Jawa Timur harus sudah masuk di tahap Eliminasi
Malaria, dimana Indikator eliminasi malaria yaitu tidak ada kasus indigenous di
wilayah Provinsi Jawa Timur dan memiliki surveilans yang baik.
10. Filaria
Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing
filaria, yang terdiri dari Wuchereria Bancrofit, Brugia Malayi dan Burgia Timori .
Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Filariasis menular melalui
gigitan nyamuk yang mengandung cacing filarial dalam tubuhnya. Dalam tubuh
manusia cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan
limfe sehingga menyebabkan pembengkakan di lengan dan organ genital.
(Kemkes RI 2012). Pada tahun 2015 tidak ditemukan kasus filariasis.
18
sudah dilaksanakan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setiap kasusnya
pencapaian 100% dari kasus yang dilaporkan.
19
BAB IV
UPAYA KESEHATAN
20
terjadi komplikasi selama masa kehamilan, persalinan maupun masa nifas jika
komplikasi itu terjadi dapat segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan
yang optimal sehingga akan berkontribusi pada penurunan angka kematian ibu.
21
setelah melahirkan. Pencapaian kapsul vitamin A pada ibu nifas di puskesmas
soboo tahun 2015 masih mencapai target yang 100 % .
22
Tahun 2015 jumlah sasaran ibu hamil mencapai 782 sedangkan jumlah
ibu hamil dengan resiko tinggi berdasarkan 20% dari proyeksi sasaran ibu hamil
yaitu data yang di dapat dari PWS-KIA sebanyak 153 dengan komplikasi
kebidanan yang ditangani sebanyak 161 (105%).
23
angka drop out penggunaan alat kontrasepsi. Masa subur seseorang
mempunyai pengaruh penting dal am proses terjadinya keham ilan, sehingga
peluang wanita hamil dan melahirkan menjadi cukup tinggi. Menurut hasil
penelitian masa subur seor ang wanita antara umur 15-4 9 tahun. Oleh karena
itu untuk mengatur jumla h kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita/
pasangan lebih di priorita skan untuk menggunakan alat/cara KB yang lebih
modern dengan tujuan m engurangi komplikasi yang muncul saat ber-KB yang
dikaitkan dengan kesehatan reproduksi jangka panjang.
Tingkat pencapaian pelayanan keluarga berencana dapat di gambarkan
melalui cakupan peserta KB yang ditunjukkan dengan kelompok sasaran
program yang sedang menggunakan alat kontrasepsi, tempat pelayanan serta
jenis kontrasepsi yang digunakan akseptor.
Cakupan Pelayanan Keluarga Berencana Aktif di Puskesmas Sobo pada
tahun 2015 sebesar (59.8%) atau 5947 dari jumlah Pasangan Usia Subur (PUS)
9853. sedangkan cakupan pengguna KB baru sebanyak 429 (29 %).
24
ini merupakan salah satu indikator kinerja pelayanan minimal pada sasaran
dimaksud.
Dalam rangka melaksanakan pelayanan neonatus, petugas
kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan bayi dan juga konseling
mengenai perawatan bayi baru lahir. Pelayanan tersebut meliputi
pelayanan kesehatan dasar neonatal dasar, pemberian vitamin K,
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan penyuluhan perawatan
neonates di rumah menggunakan buku KIA. Puskesmas Sobo Kunjungan
Neonatus (KN Lengkap) tahun 2015 sebesar 98 %
b. Kunjungan Bayi
Setiap bayi (usia 0-11 bulan) diharapkan mendapatkan pelayanan
sesuai standar oleh tenaga kesehatan yang kompeten minimal 4 kali.
Pelayanan kesehatan tersebut meliputi pemberian lima imunisasi dasar
lengkap, pemberian vitamin A (bayi diatas usia 6 bulan), Stimulasi Deteksi
dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) bayi, dan penyulu han
perawatan kesehatan bayi di rumah yang sesuai dengan prosedur
perawatan bayi yang benar. Dengan program kunjungan bayi diharapakan
setiap bayi hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal.
Cakupan Kunjungan bayi paripurna di puskesmas Sobo di tahun
2015 sebesar 610 (91.7%) dari target 665 bayi yang ada. Kualitas
pelayanan kunjungan bayi diharapkan akan mampumempercepat
penurunan angka kematian bayi meningkatkan kualitas dan kelangsungan
hidup bayi sesuai dengan harapan program inovasi Kabupaten Banyuwangi
Anak Tumbuh Optimal Berkualitas dan Cerdas (Anak TOKCer).
25
WHO (World Health Organization) mengeluarkan Standar Pertumbuhan Anak
yang kemudian diterapkan di seluruh dunia yang isinya adalah menekankan
pentingnya pemberian ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan.
Setelah itu bayi mulai diberikan makanan pendamping ASI sambil tetap
disusui hingga usianya mencapai 2 tahun.
Di Puskesmas Sobo hasil pemantauan jumlah bayi yang diberi ASI
eksklusif diperoleh dari laporan rutin puskesmas setiap bulan Februari dan
Agustus. Pada tahun 2015 prosentase bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif
mencapai 140 % atau 975 bayi.
13. Cakupan pemberian Vitamin A pada bayi, anak balita dan ibu nifas
26
Masalah gizi mikro dalam bentuk Kurang Vitamin A (KVA) merupakan
salah satu masalah kurang gizi yang perlu ditanggulangi mengingat dampaknya
terhadap peningkatan angka kesakitan dan angka kematian bayi dan anak
balita. Dari berbagai studi prevalensi kurang vitamin A subklinis (serum retinol ,<
20 µg/dl) menunjukkan penurunan yang sangat signifikan, yaitu dari 14,6 %
pada tahun 2007 (Survei Nasional Gizi Mikro), menjadi 0,8% pada tahun 2011
(South East Asia Nutrition Survey / SEANUTS).
Strategi penanggulangan kurang vitamin A dilaksanakan secara
komprehensif, terdiri dari pembagian suplementasi vitamin A dosis tinggi setiap
bulan Februari dan Agustus, penyuluhan gizi seimbang untuk meningkatkan
konsumsi bahan pangan sumber vitamin A dan fortifikasi pangan. Cakupan
pemberian vitamin A yaitu 100 % atau 355 balita usia 6-11 bulan, sedangkan
117,3 % pada balita usia 12-59 bulan atau 3342 balita dari target proyeksi yaitu
2848 balita.
27
15. Cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan
Kuran Energi dan Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah
gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan
dasar tahun 2010, sebanyak 13% berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9%
berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan 13,3% anak kurus,
diantaranya 6% anak sangat kurus dan 17,1 % anak memiliki kategori sangat
pendek. Keadaan ini berpengaruh pada masih tingginya angka kematian bayi.
Menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi
kurang dan gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara
cepat dan tepat.
Perawatan gizi buruk dilaksanakan melalui rawat inap dan rawat jalan.
Anak gizi buruk disertai komplikasi penyakit dirawat di Puskesmas Perawatan /
TFC (Therapeutic Feeding Center) atau Rumah Sakit Pemerintah atau Rumah
Sakit Swasta. Sedangkan anak gizi buruk tanpa komplikasi dapat dirawat jalan.
Perawatan anak gizi buruk dirumah dilakukan melalui pembinaan petugas
kesehatan dan dokter.
Jumlah gizi buruk yang ditemukan pada tahun 2015 sebanyak 25 kasus
semua sudah mendapat perawatan.
16. Pelayanan Kesehatan Balita dan Anak Pra sekolah, Usia sekolah dan
Remaja
Balita dan anak pra sekolah adalah harapan masa depan bangsa.
Sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pemantauan secara intensif
terhadap perkembangannya. Pelayanan kesehatan pada kelompok balita dan
anak pra sekolah, dilakukan dengan pelaksanaan pemantauan dini terhadap
tumbuh kembang, deteksi dini masalah kesehatan anak menggunakan MTBS
dan penanganannya serta pelayanan rujukan ke fasilitas yang lebih mampu.
Pelayanan tersebut dilakukan di dalam gedung dan di luar gedung seperti
posyandu, Taman Kanak-Kanak, tempat penitipan anak, Panti Asuhan dan
sebagianya oleh dokter, bidan perawat yang memiliki kompetensi klinis anak,
DDTK,MTBM,MTBS. Adapun kelompok usia sekolah dan remaja merupakan
pelayanan perpaduan lintas program dan lintas sector. Pemeriksaan kesehatan
anak sekolah dasar/sederajat, serta
pelayanan kesehatan pada remaja yang dilakukan secara berjenjang
(penjaringan awal oleh guru dan kader kesehatan terlatih, penjaringan lanjutan
oleh tenaga kesehatan).
Cakupan pelayanan kesehatan anak balita di puskesmas pada tahun
2015 sebesar 2178 (78.1%) dari target sebanyak 2790 yang berhasil di deteksi
28
tumbuh kembangnya. Dengan cakupan pelayanan anak pra sekolah 705 (45.8
%) dengan sasaran 1540.
29
lanjut di Puskesmas tahun 2015 sebesar 4530 (32.9%) dari jumlah sasaran
lansia sebanyak 13757. Dalam upaya meningkatkan cakupan perlu
mengaktifkan posyandu lansia dan membentuk kelompok lansia dengan tujuan
agar lansia lebih produktif di usia lanjutnya. Sehingga diharapakan lansia ini
tidak hanya menjadi beban negara akan tetapi menuju tua, sehat dan produktif,
keberhasilan pembangunan kesehatan selain dari sisi sumber daya manusia
yang produktif juga dari usia non produktif dan salah satunya penentu
keberhasilan pembangunan kesehatan adalah peningkatan status derajat
kesehatan pada lanjut usia. Sehingga diharapkan status kesehatan yang baik
akan memperpanjang usia dan kehidupan. Selain itu, juga menekankan
diperluasnya peran aktif para lansia di semua tatanan masyarakat.
30
IV. 2 AKSES DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN
1. Jaminan Kesehatan Pra Bayar
A. Jaminan Kesehatan Nasional
Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. UUD 1945 mengamanatkan
bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang miskin dan
tidak mampu, adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pada
UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah menjalankan UUD 1945 tersebut dengan mengeluarkan UU
No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk
memberikan jaminan sosial menyeluruh bagi setiap orang dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak menuju terwujudnya
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil,dan makmur. Sesuai dengan UU
No 40 Tahun 2004, SJSN diselenggarakan dengan mekanisme Asuransi
Sosial dimana setiap peserta wajib membayar iuran guna memberikan
perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau
anggota keluarganya. Dalam SJSN, terdapat Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan
jaminan kesehatan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Sebelum JKN, pemerintah telah berupaya merintis beberapa bentuk
jaminan sosial di bidang kesehatan, antara lain Askes Sosial bagi pegawai
negeri sipil (PNS), penerima pensiun dan veteran, Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) Jamsostek bagi pegawai BUMN dan swasta, serta
Jaminan Kesehatan bagi TNI dan Polri. Untuk masyarakat miskin dan tidak
mampu, sejak tahun 2005 Kementerian Kesehatan telah melaksanakan
program jaminan kesehatan sosial, yang awalnya dikenal dengan nama
program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin
(JPKMM), atau lebih populer dengan nama program Askeskin (Asuransi
Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin). Kemudian sejak tahun 2008 sampai
dengan tahun 2013, program ini berubah nama menjadi program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Seiring dengan dimulainya JKN per 1 Januari 2014, semua program
jaminan kesehatan yang telah dilaksanakan pemerintah tersebut (Askes
PNS, JPK Jamsostek, TNI, Polri, dan Jamkesmas), diintegrasikan ke dalam
satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Sama halnya dengan program Jamkesmas, pemerintah bertanggungjawab
31
untuk membayarkan iuran JKN bagi fakir miskin dan orang yang tidak
mampu yang terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Kepesertaan program JKN terdiri dari PBI APBN, PBI APBD, Pekerja
Penerima upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/Mandiri dan
Bukan Pekerja (BP).
32
Upaya pelayanan kesehatan dasar yang ada di puskesmas adalah
pelayanan rawat jalan. Pelayanan kesehatan tersebut bisa dididapatkan di
puskesmas dan jarinagnnya meliputi Pustu Tukang kayu, Posling ( Yankes Mo-
Duit), Poskeskel di lima kelurahan yaitu Penganjuran, Taman Baru, Kebalenan,
Sumberrejo dan Pakis.
33
6. Gunakan Jamban Sehat
7. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktifitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah
Berdasarkan hasil survei PHBS dengan menggunakan kartu kesehatan keluarga dari
sampel keluarga yang disurvei sejumlah 2764 ( 21%) KK didapatkan keluarga yang
ber-PHBS sejumlah 1971 (71.3%). Sedangkan Target keluarga ber-PHBS pada
tahun 2015 adalah 50 % dari keluarga yang di survei. Permasalahan yang muncul
antara lain masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak merokok di dalam
rumah, asi ekslusif dan tidak menggunakan jamban sehat.
34
kelurahan dari 7 kelurahan. Tetapi kelurahan Taman baru berpotensi ODF 2 (dua)
kelurahan yaitu Tukang Kayu dan Penganjuran
5. Tempat-tempat Umum
Tempat – Tempat Umum merupakan suatu sarana yang dikunjungi
banyak orang dan berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit. Sedangkan
tempat-tempat umum yang sehat adalah tempat umum dan pengolahan makanan
dan minuman yang memenuhi syarat kesehatan yaitu memiliki sarana air bersih,
tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang
cukup, luas lantai ( luas ruangan) yang cukup memadai.
Monitoring di lakukan setahun sekali terhadap tempat-tempat umum
meliputi Puskesmas 100%, Sekolah ( TK, SD, SMP, SMU ) 100%, Hotel 0 %,
pasar 100 %, kolam renang 100 %. tempat umum yang memenihi persyaratan
kesehatan meliputi Puskesmas 100%, Sekolah ( TK, SD, SMP, SMU ) 100%,
Hotel 100.%, pasar 100%, kolam renang 100%.
.
6. Tempat Umum Pengelolaan Makanan (TUPM)
Tempat Pengelolaan Makanan (TUPM) merupakan suatu sarana yang
dikunjungi banyak orang dan berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit.
TUPM meliputi hotel, restoran, pasar sekolah dan lain- lain. Sedangkan TUPM
sehat adalah tempat umum dan pengolahan makanan dan minuman yang
memenuhi syarat kesehatan yaitu memiliki sarana air bersih, tempat pembuangan
sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang cukup, luas lantai ( luas
ruangan) yang cukup memadai.
35
Peminaan Pengolahan makanan (TPM) yang di bina mencapai 99.4 %.
Dengan rincian sebagai berikut : rumah makan 75 % (3kali), kantin sekolah 74 %
(23 kali), Rumah Tangga 52 %(25 kali), Jasa Boga 80 % (8kali). Adapaun dari
tempat pengolahan makanan tersebut yang memenuhi persyaratan kesehatan
mencapai 92.9.%
36
BAB V
SUMBER DAYA KESEHATAN
37
mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB serta kegiatan lainnya yang
menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera, Berfungsi sebagai
wahana gerakan reproduksi keluarga sejahtera, gerakan ketahanan keluarga
dan gerakan ekonomi keluarga sejahtera. Kegiatan Pokok Posyandu : KIA, KB,
Imunisasi, Gizi, Penanggulangan diare
Untuk mengukur kemandirian posyandu dilakukan pengukuran/strata
telaah kemandirian Posyandu yang diukur setiap 6 bulan sekali . Posyandu
dikatakan aktif apabila memenuhi target purnama dan mandiri (Puri). Dari hasil
telaah kemandirian posyandu pada tahun 2015 dari 76 posyandu balita yang ada
di puskesmas dikategorikan posyandu pratma 0, posyandu madya 12 (15,7 %),
purnama 53 (69.7%) dan mandiri sejumlah 11 (14.4%). Dari jumlah tersebut
yang termasuk kategori aktif (purnama dan mandiri) sejumlah 63 (82.9 %)
posyandu.
Poskeskel merupakan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat
yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan penyediaan pelayanan
kesehatan dasar bagi masyarakat desa untuk mempermudah akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Kegiatan utama poskesdes yaitu pengamatan
dan kewaspadaan dini (surveilans, lingkungan dan masalah kesehatan lainnya),
penanganan kegawatdaruratan kesehatan dan kesiapsiagaan terhadap bencana
serta pelayanan kesehatan. Selain itu juga mencakup pertolongan persalinan
dan pelayanan KIA. Poskesdes merupakan salah satu indikator sebuah desa
disebut desa siaga. Dari 7 kelurahan di wilayah puskesmas semua telah ada
poskeskelnya kecuali kelurahan tukan kayu karena sudah terdapat Pustu dan
Kelurahan Sobo sudah terdapat Puskesmas Induk. Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif merupakan salah satu indikator dalam Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten dan Kota. Target yang harus dicapai pada tahun 2015
adalah 80% desa dan kelurahan yang ada di Indonesia telah menjadi Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif.
Desa Siaga Aktif merupakan pengembangan dari Desa Siaga, yaitu Desa atau
Kelurahan yang :
1. Penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar
yang memberikan pelayanan setiap hari melalui Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti,
Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu (Pustu), Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas), atau sarana kesehatan lainnya.
2. Penduduknya mengembangkan Usaha Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) dan melaksanakan survailans berbasis
38
masyarakat (meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi,
lingkungan dan perilaku), kedaduratan kesehatan dan penanggulangan bencana,
serta penyehatan lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Dari hasil pendataan strata Desa siaga aktif tahun 2015 didapatkan 7 kelurahan
(100%) aktif. Desa siaga aktif terdiri dari 5 (77,7%) aktif kembang dan 2 ( 22,3 %)
paripurna.
V.3 TENAGA KESEHATAN
1. Persebaran dan Jumlah Tenaga Kesehatan
Pembangunan kesehatan berkelanjutan membutuhkan tenaga kesehatan
yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitas. Tenaga kesehatan yang
berkualitas diiringi dengan pendidikan yang berkualitas pula sehingga
menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dalam bidangnya.
Persebaran ketersediaan tenaga kesehatan baik yang bekerja di sektor
pemerintah maupun swasta perlu diketahui agar pendistribusian ketenagaan di
masing-masing pelayanan kesehatan dapat terkoordinir.
Adapun jumlah SDM Kesehatan dibedakan menurut 9 kelompok yaitu
medis sebanyak 18 orang, keperawatan sejumlah 9 orang, Kebidanan 21
orang, farmasi sejumlah 13 orang, gizi 5 orang, sanitasi sebanyak 36 orang,
kesehatan masyarakat sebanyak 3 orang.
2. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Penduduk
Jumlah, persentase dan rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk
menurut jenisnya disajikan pada tabel di bawah ini
Jenis STANDAR
N Rasio/ KONDISI KESENJA
Tenaga PUSKESMA
O SAAT INI NGAN
Kesehatan 100000 S
Jumlah
Penduduk 100000 46895
Dokter
1 Umum 45 21 13 8
2 Dokter Gigi 13 6 6
3 Perawat 180 84 12 72
4 Bidan 120 56 21 35
Perawat
5 Gigi 18 8 2 6
Ass.
6 Apoteker 24 11 13
7 SKM 16 8 5 3
8 Sanitarian 18 8 2 6
9 Nutrisionis 18 8 1 7
JUMLAH 75 139
39
V.4. Pembiayaan
1. APBD-Kabupaten
Pembiayaan Upaya kesehatan Masyarakat yang berasal dari APBD-
Kabupaten Banyuwangi merupakan belanja langsung dalam bentuk kegiatan
Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Banyuwangi ( JPKMB) yang
berjumlah Rp. 195.504.00,00 ( seratus Sembilan puluh lima lima ratus empat
ribu rupiah), Anggaran yang terserap 94.42 % atau 166.860.883,00 ( seratus
enam puluh enam delapan ratus enam puluh ribu rupiah).
40
BAB VI
PENUTUP
41