Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah


menetapkan bidang kesehatan merupakan salah satu urusan wajib yang harus
dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Penyelenggaraan urusan wajib oleh daerah
merupakan perwujudan otonomi yang bertanggungjawab, yang pada intinya
merupakan pengakuan / pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas
dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah. Tanpa mengurangi arti serta
pentingnya praksarsa daerah dalam penyelenggaraan otonominya dan untuk
menghindari terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada
masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota Wajib melaksanakan kewenangan
dalam bidang tertentu, termasuk didalamnya kewenangan bidang kesehatan.
Untuk mengukur keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan
indikator antara lain Indikator Indonesia Sehat dan Indikator Kinerja dari SPM Bidang
Kesehatan yang sebagian merupakan indikator Milenium Development Goals. Untuk
Indikator kinerja SPM Bidang Kesehatan di UPTD Puskesmas Sobo terdiri atas 18
indikator wajib dan 9 indikator tambahan atau inovasi, serta indikator kinerja lainnya
yang menunjang pelaksanaan kegiatan pembangunan kesehatan.
Salah satu sarana yang dapat digunakan untuk melaporkan hasil
pemantauan terhadap pencapaian kegiatan penyelengaraan pelayanan minimal
adalah Profil Kesehatan Puskesmas Sobo. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Profil Kesehatan puskesmas berisi berbagai data atau informasi yang
menggambarkan tingkat pencapaian sesuai dengan SPM bidang kesehatan di
puskesmas.

1
BAB II
GAMBARAN UMUM

II.1 KEADAAN GEOGRAFIS


Secara geografis Puskesmas Sobo terletak di ujung timur pulau Jawa.
Daerahnya hampir keseluruhan terdiri dari dataran rendah, merupakan daerah
perkotaan dan pusat pemerintahan dengan produksi jasa lebih dominan serta pantai
yang membujur dari arah Utara ke Selatan yang merupakan daerah penghasil
berbagai biota laut.
Berdasarkan garis batas koordinatnya, posisi puskesmas Sobo terletak di
antara 7o14’ – 8o.0’ Lintang Selatan dan 114o21’ – 32o32’ Bujur Timur. Secara
administratif sebelah utara berbatasan puskesmas singotrunan dan kertosari,
sebelah timur Selat Bali, sebelah puskesmas Kabat serta sebelah barat berbatasan
dengan Puskesmas Mojopanggung.
Dengan luas sekitar 19.21 km2, yang sebagian besar merupakan kawasan
perumahan yaitu 1167.91 (HA) atau sekitar 55 %, daerah persawahan sekitar 467.9
ha atau sekitar 21.91 %, tegal dengan luas sekitar 168 ha atau 7.76 %, sungai dll
sekitar 333.65 ha atau 16 %. Sedangkan areal sisanya telah dipergunakan oleh
penduduk untuk berbagai manfaat antara lain jalan, (data kelurahan tahun 2015)

II.2 GAMBARAN UMUM KEPENDUDUKAN


Puskesmas Sobo merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten yang membawahi 7 (tujuh) kelurahan yaitu Penganjuran, Taman Baru,
Kebalenan, Sumberrejo, Pakis, Sobo dan Tukang Kayu. Dengan jumlah penduduk
sebesar 46.208 jiwa, dengan jumlah rumah tangga 13.717 dan mempunyai
kepadatan penduduk sebesar 41.572 jiwa per m2.
Dari lampiran 2 dapat digambarkan, dari jumlah penduduk sebesar 46.208
yang terdiri dari 22636 jiwa penduduk laki-laki dan 23572 jiwa penduduk perempuan,
Rasio Jenis Kelamin Penduduk Kabupaten Banyuwangi adalah sebesar 96 %. Ini
berarti bahwa perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan adalah sebesar 96 :
100.

II.3. GAMBARAN UMUM BIDANG SOSIAL


Kondisi pendidikan merupakan salah satu indikator yang sering ditelaah
dalam mengukur tingkat pembangunan. Melalui pengetahuan, pendidikan
berkontribusi terhadap perubahan perilaku kesehatan. Pengetahuan yang

2
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus yang
berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk berprilaku sehat.
Kebutuhan pendidikan di Kabupaten Banyuwangi , sejak tahun 2006 sampai
dengan tahun 2014 jumlah sekolah, murid, dan guru Taman Kanak-Kanak (TK)
jumlahnya mempunyai kecenderungan meningkat baik berstatus negeri maupun
swasta. Julmlah TK-PAUD berjumlah 32 sekolah tersebar di seluruh wilayah kerja
puskesmas, SD/ MI berjumlah 23sekolah, SMP/MTS 10 sekolah, SMU/MA berjumlah
9 sekolah dan perguruan tinggi berjumlah 2 institusi.
Program pendidikan dasar atau yang sering disebut-sebut dengan istilah
Program Wajib Belajar Sembilan Tahun, secara kelembagaan di wilayah kerja
puskesmas Sobo sudah dapat dikategorikan cukup memadai, karena Institusi
pendidikan sudah tersebar di seluruh wilayah kelurahan di kecamatan Banyuwangi.
Sedangkan kebutuhan akan kesehatan dapat dilayani di puskesmas, Pustu,
Poskeskel, Pusling, Dokter praktek swasta serta klinik swasta yang tersebar di
seluruh wilayah kerja puskesmas Sobo.

3
BAB III
DERAJAT KESEHATAN

Berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bahwa tujuan


Pembangunan Kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan
sumberdaya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.
Derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh banyak faktor. Indikator
keberhasilan pencapaian program ini dapat dilihat dari: 1) Mortalitas, morbiditas, dan
status gizi 2) keadaan lingkungan, perilaku hidup sehat, akses dan mutu pelayanan
kesehatan 3) Pelayanan kesehatan, Sumber Daya Kesehatan, manajemen
kesehatan dan sektor terkait.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap peningkatan kesehatan ibu
termasuk bayi baru lahir, bayi dan balita dengan menyelenggarakan berbagai upaya
dan program inovasi terobosan yang diharapkan dapat mempercepat pencapaian
tujuan global sebagaimana tercantum dalam tujuan MDGs terkait dengan kesehatan
ibu dan anak. upaya ini juga harus di dukung oleh kemampuan manajemen tenaga
pengelola dan pelaksana program KIA.

III.1 ANGKA KEMATIAN


Kejadian kematian dalam suatu kelompok populasi dapat mencerminkan kondisi
kesehatan masyarakat dan keberhasilan pelayanan kesehatan serta berbaggai
program pembangunan kesehatan. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan
kesehatan di bidang kesehatan Ibu,bayi baru lahir dan anak balita dapat dilihat dari
besarnya angka kematian Ibu, bayi dan balita. Indikator Angka Kematian Bayi (AKB)
per 1.000 Kelahiran Hidup, Angka Kematian Balita (AKBAL) per 1.000 Kelahiran
Hidup dan Angka Kematian Ibu (AKI) per 100.000 Kelahiran Hidup. Sampai dengan
tahun 2015 Puskesmas masih menerapkan program inovasi unggulan di bidang
kesehatan ibu dan anak yaitu HarGa PAS dan Anak TOKCer ini yang diyakini
mampu menjadi salah satu upaya percepatan pencapaian target. Melalui inovasi
promosi kesehatan, peningkatan akses layanan dan mutu pelayanan kesehatan
menjadi strategi untuk mewujudkan tujuan program. Selain daripada itu diharapkan
program ini dapat menjadi tolak ukur dalam peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak
yang nantinya berdampak pada peningkatan kesejahteraan keluarga.

4
1. ANGKA KEMATIAN BAYI
Infant Mortality Rate atau Angka Kematian Bayi (AKB) adalah banyaknya
bayi yang meninggal sebelum usia 11 bulan yang dinyatakan dalam 1000
kelahiran Hidup pada tahun yang sama. Angka Kematian Bayi merupakan aspek
penting dalam menilai keberhasilan pembangunan kesehatan.
Berdasarkan data hasil laporan bulanan puskesmas Sobo selama tahun
2013 kematian bayi usia 0-28 hari sebanyak 2 bayi atau 2.7 / 1000 KH,
sedangkan jumlah kematian bayi sebelum umur 11 bulan sebanyak 17 atau
23.4/1000 KH bayi yang dilaporkan dari 726 kelahiran hidup. Tahun 2014
kematian bayi usia 0-28 hari sebanyak 4 bayi atau 5.5 / 1000 KH, sedangkan
jumlah kematian bayi sebelum umur 11 bulan sebanyak 10 atau 13.8/1000 KH
bayi yang dilaporkan dari 724 kelahiran hidup. Tahun 2015 kematian bayi usia 0-
28 hari sebanyak 7 bayi atau 8.8 / 1000 KH, sedangkan jumlah kematian bayi
sebelum umur 11 bulan sebanyak 11 atau 13.8/1000 KH bayi yang dilaporkan
dari 795 kelahiran hidup
Tren Angka Kematian Bayi (AKB) tergam bar dalam grafiik berikut ini te rhitung
dalam tiga tahun terakhir :

ANGKA KEMATIAN BAYI DI UPTD PUSKESMAS SOBO

Terget Hasil

11
10

100% 98.90% 1 1

TH 2015 TH 2014 TH 2015

Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan bahwa tahun 2013 ke tahun 2015
terjadi kenaikan Angka Kematian Bayi 0-28 hari, sedangkan bayi kurang dari 11
bulan mengalami penurunan pada taun 2014 dan sedikit naik pada tahun 2015.
Penyebab kematian diantaranya kelaianan jantung bawaan, sepsis serta Berat
Bayi Lahir Rendah (BBLR).

2. ANGKA KEMATIAN IBU


Dalam tujuan Milleneum Development Goals kelima, yaitu dalam upaya
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), berbagai program kebijakan atau program
inovasi dicanangkan dan dilaksanakan secara progresif oleh pemerintah pusat
maupun daerah. Melaui program Safe Motherhood Initiative yang mendapat
5
dukungan dari berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. Puskesmas Sobo
telah melaksanakan berbagai upaya terkait pencapaian target MDGs dengan
program inovatif dan berbagai kebijakan yang tujuannya tidak lain untuk
menurunkan Angka Kesakitan Ibu dan Angka Kematian Ibu yang diisebabkan
oleh berbagai macam komplikasi yang ditimbulan selama masa kehamilan,
persalinan dan nifas.
Angka kematian ibu mengacu pada jumlah kematian ibu y ang terkait
dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Angka kematian ibu sendiri adalah
banyaknya wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait dengan
gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk kasus kecelakaan
atau insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan masa nifas (42 hari setelah
melahirkan) tanpa memperhitungkan usia kehamilan per 100.000 kelahiran
hidup.
Berdasarkan kasus kematian ibu terkait dengan masa kehamilan, persalinan
dan nifas berdasarkan laporan bulanan Puskesmas Sobo di dapatkan tahun
2013 terdapat 0 kasus dari 726 kelahiran hidup, tahun 2014 terdapat 1 kasus
kematian ibu nifas ( 138.1/100000 KH). tahun 2015 terdapat 1 kasus kematian
ibu nifas ( 125.78/100000 KH). Berdasarkan data yang dilaporkan penyebab
kematian ibu adalah kasus perdarahan.
Berikut ini gambaran grafik penurunan dan kenaikan Angka Ke matian Ibu
sepanjang tahun 2013- 2015:

Kematian Ibu di Puskesmas Sobo


120%

100%

80%

60%
Terget

40%

20%

0%
TH 2015 TH 2014 TH 2015

Berdasarkan grafik diatas dapat disimpulkan Angka Kematian Ibu (AKI)


mengalami kenaikan pada tahun 2014 dan 2015. Kematian ibu dapat dikaitkan
dengan sistem manajemen asuhan kebidanan yang belum optimal terutama
untuk mendeteksi dini factor resiko ibu hamil . Dukungan keluarga sangat di
butuhkan dalam P4K sehingga ada sinergitas antara pemberi layanan kesehatan
dan pengguna layanan kesehatan. Selain itu, pengambilan keputusan yang
terlambat juga berperan mengenai tindakan klinis pada ibu dengan komplikasi

6
masa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Strategi yang terus dikembangkan
dan ditingkatan adalah peningkatan akses dan cakupan layanan kesehatan ibu,
membangun kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas
sektor dan mitra lainnya dalam melakukan advokasi untuk memaksimalkan
sumber daya yang ada, selain itu yang tak kalah pentingnya adalah mendorong
dan menggerakkan masyarakat dalam memaksimalkan penyediaan dan
pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu.

III.2 ANGKA KESAKITAN


Morbiditas adalah angka kesakitan (insidensi atau prevalensi) dari suatu
penyakit yang terjadi pada populasi dalam kurun waktu tertentu. Morbiditas
berhubungan dengan terjadinya penyakit di dalam populasi, baik fatal maupun
non fatal. Selain menghadapi transisi demografi, Indonesia juga dihadapkan
pada transisi epidemiologi yang menyebabkan beban ganda (double burden). Di
satu sisi masih dihadapi masih tingginya penyakit infeksi (baik re-emerging
maupun new emerging) serta gizi kurang, namun di sisi lain dihadapi pula
meningkatnya penyakit non infeksi dan degeneratif. Bagi kelompok usia
produktif, kesakitan sangat mempengaruhi produktivitas dan pendapatan
keluarga, yang pada akhirnya menyebabkan kemiskinan.
Angka kesakitan penduduk didapat dari hasil pengumpulan data dari sarana
pelayanan kesehatan (Facility Based Data) yang diperoleh melalui sistem
pencatatan dan pelaporan. Adapun beberapa indikator dapat diuraikan sebagai
berilkut:

1. Acute Flaccid Paralysis (AFP)


AFP (Acute Flaccid Paralysis) adalah kondisi abnormal yang ditandai
dengan melemahnya, lumpuhnya atau hilangnya kekuatan otot tanoa
penyebab yang jelas. Hal ini dapat disebabkan oleh penyakit atau trauma yang
mempengaruhi saraf yang berhubungan dengan otot. AFP ini sering juga
dijelaskan sebagai tanda cepat munculnya serangan seperti pada penyakit
polio.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit polio telah dilakukan
melalui gerakan imunisasi polio. Upaya ini juga ditindak lanjuti dengan kegiatan
surveilans epidemiologi secara aktif terhadap kasus-kasus AFP. Kelompok
umur <15 tahun hingga dalam kurun waktu tertentu, untuk mencari
kemungkinan adanya virus polio liar yang berkembang di masyarakat. Dengan
pemeriksaan spesimen tinja dari kasus AFP yang dijumpai.

7
Ada 4 strategi dalam upaya pemberantasan polio, yaitu : imunisasi (yang
meliputi peningkatan imunisasi rutin polio, PIN, dan Mop - Up), surveilans AFP,
sertifikasi bebas polio, dan penanganan virus polio di laboratorium. Dari tahun
2013 sampai dengan tahun 2015 tidak di ketemukan kasus polio di UPTD
Puskesmas Sobo.

2. TB Paru
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium Tuberkulosis. Pada tahun 1995 diperkirakan 9 juta pasien TB
dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95 % kasus TB
dan 98 % kematian akibat TB didunia terjadi pada negara-negara berkembang.
Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian
karena kehamilan,persalinan dan nipas. Sekitar 75 % pasien TB adalah
kelompok usia paling produktif secara ekonomis ( 15 -50 tahun ). Diperkirakan
seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3
sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan
rumah tangganya, sekitar 20 -30 %, juka ia meninggal akibat TB maka akan
kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma
bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Di Indonesia TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat.
Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke 5 terbanyak didunia setelah
India,Cina,dll. Dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB
didunia.
Sejak tahun 1995, Program Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru,
telah dilaksanakan dengan strategi DOTS ( Directly Observed Treatment
Shortcourse chemotherapy ) yang direkomendasi oleh WHO. Kemudian
berkembang seiring dengan GERDUNAS - TB ,maka Pemberantasan Penyakit
Tuberkulosis Paru berubah menjadi Program Penanggulangan Tuberkulosis
(TB) . Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan
stategi kesehatan yang paling cost effective. Cakupan suspek TB Paru tahun
2015 tercapai 264 suspek diperiksa (53 %) dari sasaran 495, sedangkan target
70 % dari saran yaitu 347. Puskesmas sobo belum mencapai target
dikarenakan :
1. Kurangnya Active Promotif dan Penyuluhan terhadap masyarakat tentang
Program Penanggulangan TB Paru.
2. Kurangnya Advokasi dan sosialisasi pada lintas terkait .

8
3. Belum semua Upaya Pelayanan Kesehatan yang ada di wilayah kerja
puskesmas melaksanakan strategi DOTS.
4. Masih banyak penderita yang berobat pada dokter swasta/klinik swasta.
5. Banyak penderita yang mengalami pengobatan terlebih dahulu sebelum
dilakukan penatalaksanaan sesuai strategi DOTS sehingga apabila dirujuk
di puskesmas hasil BTA sudah mengalami negatif.
6. Penemuan Penderita Baru secara Pasif Case Fanding
Hasil pengobatan penderita TB di Kabupaten Banyuwangi pada Tahun
2015sebagai berikut : Angka Konversi ( Conversion Rate ) 100 %, Angka
Kesembuhan (Cure Rate) 100 %, Angka Keberhasilan Pengobatan ( Success
Rate ) 100.

3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari
hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan
adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit Infeksi
Saluran pernafasan Akut (ISPA), khususnya Pneumonia merupakan penyakit
utama penyebab kesakitan dan kematian pada Balita. Tetapi tidak banyak
perhatian terhadap penyakit ini, sehingga Pneumonia disebut juga pembunuh
Balita yang terlupakan atau The Forgotten Killer of Children. Pneumonia
sendiri artinya adalah infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
dan mempunyai gejala batuk, sesak nafas, ronki dan infiltrate pada foto
rontgen. Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus maupun jamur.
ISPA khususnya Pneumonia menjadi penyebab utama kematian pada bayi
dan balita karena pneumonia merupakan penyakit yang akut dan kualitas
penatalaksanaannya masih belum memadai. Oleh karena itu upaya
pengendalian penyakit ISPA menitikberatkan kegiatan penanggulangannya
pada Pneumonia bayi dan balita. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan fokus
penemuan dini dan tata laksana kasus secara cepat dan tepat. Upaya ini
dikembangkan melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
Penemuan dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita dilakukan secara
pasif dan aktif. Penemuan secara pasif yaitu deteksi dini kasus Pneumonia bayi
dan balita, sesuai kriteria klasifikasi kasus dan dilakukan disemua UPK mulai
Poskesdes, Pustu, Puskesmas. Penemuan secara aktif dilakukan oleh petugas
UPK bersama Kader yang secara aktif mendatangi sasaran diwilayah kerja
mereka.

9
Program P2 ISPA menitikberatkan kegiatannya pada penemuan dan
tatalaksana kasus Pneumonia Balita baik secara aktif maupun pasif. Sasaran
kegiatan penemuan dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita adalah 4.45 %
dari jumlah Balita pada tahun 2015 harus ditemukan dan mendapatkan
pelayanan tatalaksana kasus Pneumonia Balita secara benar, dengan target
sebesar 335 penderita Pneumonia Balita.
Hasil pencatatan dan pelaporan cakupan penemuan dan tatalaksana
kasus Pneumonia Balita di Kabupaten Banyuwangi tahun 2015, sebesar 38.2
% dengan jumlah penderita yang dilaporkan oleh puskesmas adalah 128
penderita Pneumonia Balita. Sedangkan target cakupan penemuan dan
tatalaksana kasus Pneumonia Balita pada tahun 2015.
Cakupan penemuan dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita masih
merupakan masalah karena dari tahun ke tahun angkanya masih jauh dibawah
target. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan rendahnya cakupan
penemuan dan tatalaksana kasus Pneumonia Balita diantaranya adalah :
1. Sumber pelaporan rutin terutama hanya berasal dari layanan di puskesmas
saja tidak termasuk layanan kesehatan lain yang ada di wilayah puskesmas
Sobo.
2. Belum semua petugas kesehatan menerapkan Tatalaksana standar P2 ISPA
yang menitik beratkan pada penanganan penyakit Pneumonia pada bayi dan
balita melalui MTBS.
3. ARI Sound Timer sebagai belum dimanfaatkan oleh petugas sebagai alat
untuk deteksi Pneumonia.
4. Kerjasama lintas program dan lintas sektor belum berjalan dengan baik.

4. HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS)


HIV/ AIDS merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV.
Sedangkan AIDS adalah suatu kumpulan gejala yang muncul ketika kondisi
antibody seseorang yang terinfeksi virus HIV tersebut mulai turun. Penyakit ini
sampai saat ini masih menjadi fenomena di masyarakat, bahkan banyak yang
membuat stigma. Sebagai akibat dari stigma tersebut terjadilah lingkaran setan
yang sulit diputuskan antara menyembunyikan/ merahasiakan dan mengawasi
resiko penularan.
Kasus HIV/ AIDS di Kabupaten Banyuwangi pertama kali ditemukan pada
tahun 1999 sebanyak 1 kasus dan terus mulai meningkat sampai dengan tahun
2013 mencapai 1676 kasus dengan 272 penderita sudah meninggal dan 769
dalam kondisi AIDS. Selanjutnya jika dilihat dari factor resiko penularan yang
paling tinggi adalah melalui hubungan seks (81%) kemudian yang kedua adalah

10
melalui (10%), dan dari Ibu ke anak sebanyak (2%). Selain hal tersebut diatas ada
hal yang menakjubkan yaitu adanya kejadian HIV/ AIDS pada ibu rumah tangga
yaitu yang berjumlah 392 kasus dan kejadian pada balita sebanyak 36 kasus.
Apabila dilihat dari penyebarannya, maka semua kecamatan di Kabupaten
Banyuwangi sudah ada penderitanya. Dengan jumlah terbanyak ada di wilayah
Kecamatan Banyuwangi kemudian kecamatan Genteng dan kecamatan
Singojuruh (Profil Kesehatan Banyuwangi, 2014). Sedangkan di Puskesmas Sobo
jumlah kasus IMS yan di temukan adalah 146 kasus. Pengguan kondom pada
penderita dengan keluahan IMS/sindroma mencapai 143 artinya hampir semua
penderita yang di temukan IMS/syndromedi puskesmas atau jaringannya
menggunakan kondom. Jumlah ibu hamil yang mendapatkan informasi HIV
mencapai 763 ( 100%) artinya semua ibu hamil yang datang kepelayanan
mendapatkan konseling/penyuluhan atau informasi tentang HIV. Sedangkan
ibuhamil yang dilakukan testing hiv mencapai 216 (28.3 %) sedangkan targetnya
adalah 60 %. Rendahnya cakupan testing pada ibu hamil di sebabkan oelha
beberapa hal diantaranya :
1. Stigma HIV/AID di masyarakat masih merupakan penyakit yang diakibatkan
karena perilaku yang kurang baik;
2. Kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pemeriksaan sedini mungkin HIV
pada ibu hamil serta janin dan keberlangsungan kesehatan bayi;
3. Masih rendahnya pengetahuan ibu hail terhadap pemeriksaan HIV.

Untuk menanggulangi hal tersebut diatas maka perlu dilakukan beberapa


upaya yang langsung berkaitan dengan populasi beresiko tersebut. Puskesmas
bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), lembaga donor dan
LSM telah melakukan beberapa upaya penanggulangan penyakit tersebut.
Upaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan cakupan program dan
peningkatan layanan HIV/ AIDS pada masyarakat antara lain :
1. Kerjasama dengan lintas sektor dan lintas program untuk
membangun jejaring layanan dan penjaringan serta deteksi dini
kasus HIV/ AIDS dikalangan resiko tinggi ( Lokalisasi, pelanggan,
IDU) dan resiko rendah (masyarakat um um,ibu hamil).
2. Meningkatkan akses layanan HIV/ AIDS di pelayanan kesehatan
dasar .Penguatan sistem layanan dengan pembekalan para petugas
kesehatan untuk meningkatkan SDM, mengurangi resiko kerja dan
menghilangkan stigma dikalangan petugas kesehatan dengan
membentuk tim Layanan Komprehesip Berkesinambunga ( LKB) .

11
3. Melibatkan Ormas dan LSM dalam edukasi dan sosialisasi tentang HIV/
AIDS.
4. Menyiapkan sarana dan prasana yang memadai melalui Pengadaan
Bahan, alat dan obat untuk mencukupi kebutuhan layanan HIV/ AIDS.
5. Melakukan Sosialisasi dan atau pelatihan perawatan Jenazah sesuai
dengan syarat kesehatan bagi modin dan petugas kesehatan.
6. Pemberdayaan LSM secara optimal dalam upaya pendampingan ODHA.
7. Advokasi ke stake holder untuk membuat kebijakan agar setiap calon
pengantin di wajibkan untuk mendapatkakn konseling dan test HIV.
8. Melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama dalam upaya
penanggulangan HIV/ AIDS.
Penyakit Menular Seksual atau sering disebut dengan Infeksi menular
seksual (IMS) adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual.
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan atau virus ini meningkat seiring
dengan perubahan pola atau gaya hidup masyarakat modern yang cenderung
melakukan pergaulan bebas dan free sex. Seperti diketahui, bahwa penyakit
IMS merupakan salah satu jendela atau pintu masuk yang efektif bagi penyakit
HIV/AIDS. Sehingga keterkaitan antara penyakit IMS dan HIV/ AIDS semakin
erat dan berjalan linier. Trend tersebut akan bergeser apabila sudah terjadi
efek spiral dari kasus tersebut. Sehingga sangat mungkin bila seorang ibu
rumah tangga yang tidak berperilaku buruk seperti heteroseks (gonta-ganti
pasangan) juga bisa menderita IMS maupun HIV/ AIDS.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan cakupan program dan
peningkatan layanan IMS antara lain :
a. Kerjasama dengan lintas sektor dan lintas program untuk membangun
jejaring layanan dan penjaringan serta deteksi dini kasus IMS pasca
penutupan lokalisasi terutama dikalangan resiko tinggi.
b. Meningkatkan akses layanan IMS di pelayanan kesehatan dasar
(Puskesmas dan Rumah sakit).
c. Penambahan tenaga Analis kesehatan untuk pemeriksaan IMS.
d. Bekerjasama dengan Praktek swasta ( Dokter, Perawat, Bidan ) dan LSM
serta Organisasi masyarakat seperti; Fatayat NU, Aisyiyah, dan Kader
dalam deteksi dini faktor resiko IMS serta pengembangan sistem rujukan.
e. Melibatkan Ormas dalam sosialisasi tentang deteksi dini IMS dan resikonya.
f. Menyiapkan sarana dan prasana yang memadai melalui Pengadaan Bahan,
alat dan obat untuk mencukupi kebutuhan layanan IMS.

5. Diare

12
Berdasarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), diare
membunuh 2.195 anak setiap harinya. Kematian anak akibat diare mencapai 1
diantara 9 anak di seluruh dunia, membuat diare menjadi penyebab kematian
kedua terbesar pada anak di bawah usia 5 tahun. Untuk anak-anak dengan
HIV, diare bahkan lebih mematikan. Tingkat kematian untuk anak-anak ini
adalah 11 kali lebih tinggi daripada anak-anak tanpa HIV. Sedangkan menurut
catatan WHO Diare tahun 2011 membunuh 2 juta anak di dunia dalam setiap
tahunnya. Padahal dengan tatalaksana yang benar maka 80% kematian akibat
diare dapat dicegah dengan oralit dan zinc (profils kesehatan, 2014).
Berdasarkan karakteristik penduduk, kelompok umur balita adalah
kelompok yang paling tinggi menderita diare. Insiden diare balita di Indonesia
adalah 6,7 persen. Karakteristik diare balita tertinggi terjadi pada kelompok
umur 12-23 bulan (7,6%) (profil kesehatan, 2014).
Fakta yang terjadi di tingkat nasional dan global ini tidak sesuai dengan
fakta yang terjadi di masyarakat pada umumnya saat ini. Pada kenyataannya
penyakit Diare dikalangan masyarakat umum masih dianggap sebagai penyakit
yng tidak berbahaya dan tidak mematikan. Masih kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang penyakit Diare dan tatalaksana penanganan penderita
Diare secara benar inilah yang menyebabkan masyarakat cenderung
melakukan penanganan kejadian Diare sendiri yang kadang tidak tepat, dan
setelah penderita dalam keadaan dehidrasi berat baru merasa memerlukan
penanganan petugas kesehatan.
Terjadinya dehidrasi (kekurangan cairan tubuh) pada penderita Diare
adalah hal yang perlu diwaspadai. Cairan dan elektrolit tubuh akan banyak
keluar bersama tinja sehingga tubuh kesulitan menjalankan fungsinya. Oleh
karena itu penyakit Diare menjadi sangat berbahaya bila terjadi pada Balita,
karena kekurangan cairan pada Balita yang menderita Diare dapat menjadi
penyebab kematian. Bayi dan Balita sangat rentan terhadap penyakit Diare
karena perkembangan sistem pencernaan dan kekebalan tubuhnya belum
optimal, sehingga kelompok ini lebih mudah terserang Diare aki bat bakteri
atau virus. Sedang kan penyakit Diare pada orang dewasa selain karena
bakteri dapat pula disebabkan oleh pola makan dan stress.
Cakupan pelayanan penderita Diare di puskesmas sobo tahun 2014 2014
sudah mencapai target 98.9 % atau jumlah penderita yang di laporkan
mencapai 883 kasus.

13
Hasil Cakupan Program Dare Puskesmas Sobo
Tahun 2015
100%

98.90%

Terget Hasil

Dari diagram diatas hasilnya masih di bawah target hal ini di sebabkan karena
beberapa hal yaitu
1. Kurang koordinasinya system pencatatan dan pelaporan antara petugas
dengan pelayanan kesehatan terutama layanan praktek swasta.
2. Pelaporan kejadian diare di masyarakat oleh kader, kurang atau tidak di
laoprkan kepada petugas kesehatan.
3. Jumlah layanan di wilayah kerja puskesmas sobo, lebih banyak swasta
sehingga di perlukan koordinasi.
Dilihat dari kualitas pelayanan penanganan penderita Di are Tahun 2015
hasil yang dicapai yaitu :
1. Angka pengguna an oralit 100 %
2. Angka pengguna an Zinc pada Balita Tahun 2015 sebesar 100 % .
3. Target angka penggunaan 0 %.

6. Kusta
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang sangat kompleks.Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi
medis tetapi menulas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional.
Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam
memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan,
kesejahtraan sosial ekonomi pada masyarakat.
Penyakit kusta pada saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk
sebagai petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya
pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang
ditimbulkannya.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan
serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah
dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Akan tetapi melihat kompleksnya masalah panyakit kusta, maka diperlukan

14
program pengendalian secara terpandu dan menyeluruh melalui strategi yang
sesuai dengan endemiditas penyakit kusta. Selain itu juga harus diperhatikan
rehabilitasi sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita
kusta. Pada tahun 2015 tidak ditemukan penderita Kusta. Hal ini disebabkan
karena
1. Metode penemuan masih bersifat pasif
2. Kemungkinan prevalensinya di masyarakat sangat kecil atau memang sudah
tidak ada penderita.
3. Kurang aktifnya petugas dalam penemuan kasus.
Dengan kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan
serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah
dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Akan tetapi melihat kompleksnya masalah panyakit kusta, maka diperlukan
program pengendalian secara terpandu dan menyeluruh melalui strategi yang
sesuai dengan endemiditas penyakit kusta.

7. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)


PD3I merupakan penyakit yang diharapkan dapat diberantas/ditekan dengan
pelaksanaan program imunisasi, merupakan suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga bila kelak terpapar dengan penyakit tersebut dikatakan sakit
atau sakit ringan.
Pada profil kesehatan ini akan dibahas penyakit Tetanus Neonatorum,
Campak, Difteri, Pertusis dan Hepatitis B.

a. Tetanus Neonatorum
Kasus tetanus banyak dijumpai disejumlah negara tropis dan negara
yang masih memiliki kondisi kesehatan tetanus merupakan salah satu penyakit
menular yang paling beresiko mengakibatkan kematian. Tetanus pada bayi
dikenal dengan istilah Tetanus Neonatorum, karena umumnya terdapat pada
bayi baru lahir atau usia dibawah 1 bulan. Penyebabnya adalah spora
Clostridium tetani yang masuk melalui luka tali pusat, karena tindakan atau
perawatan yang tidak memenuhi kebersihan.
Kasus tetanus banyak dijumpai disejumlah negara tropis dan negara
yang masih memilii kondisi kesehatan rendah. Data organisasi kesehatan
dunia menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang adalah
135 kali lebih tinggi dibandingkan negara maju termasuk indonesia pada tahun
2007 jumlah penderita Tetanus Neonatorum melebihi 100 penderita diantara 8

15
negara ASEAN (profil kesehatan kabupaten Banyuwangi, 2014). Pada tahun
2015 di puskesmas Sobo tidak di temukan kasus.

b. Campak
Imunisasi merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah
kematian pada bayi dengan memberikan vaksin. Beberapa imunisasi yang
wajib diberikan pada bayi adalah Polio, BCG, dan Campak. BCG seringkali
digunakan sebagai cerminan proporsi anak-anak yang dilindungi dari bentuk
tuberkulosis yang parah selama 1 tahun pertama hidupnya dan digunakan
sebagai salah satu indikator akses kepelayanan kesehatan.
Penyakit campak adalah salah satu penyebab kematian pada anak.
Campak atau Morbili merupakan penyakit yang akut dan sangat menular dan
sering terjadi pada anak-anak. Campak dapat menular secara langsung
maupun tidak langsung melalui pernafasan dan berkontaminasi sekret orang
yang terinfeksi dan ditandai dengan bintik-bintik merah dikulit, demam,
conjungctivitis, bronchitis.
Upaya pencegahan campak merupakan faktor penting dalam mengurangi
angka kematia balita dengan cara mempertahankan cakupan imunisasi
campak sebesar 90%. Imunisai ini diberikan rata-rata umur 9-12 bulan dan
merupakan imunisasi terakhir yang diberikan kepada bayi diantara imunisasi
wajib lainnya. Pada tahun 2015 di temukan kasus campak pada semua
golongan umur mencapai 25 kasus dan hepatitis 13 kasus.

8. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Demam Berdarah Dengue ( DBD ) masih menjadi masalah kesehatan di
Kabupaten Banyuwangi jumlah kasus meningkat dibanding tahun sebelumnya,
dan luas penyebaran kasusnya merata hampir disemua wilayah puskesmas di
Kabupaten Banyuwangi.
Hal ini nampak dari data cakupan penemuan dan penanganan penderita
DBD tahun 2014 meningkat dibanding tahun sebelumnya. dimana jumlah
penderita DBD pada tahun 2014 sebanyak 9 meningkat menjadi 40 kasus pada
tahun 2015.
DBD ditularkan dari penderita yang sakit atau diduga carrier dengan
bantuan vektor berupa nyamuk Aedes Aegypty sebagai vektor utama dan Aedes
Albopictus sebagai vektor sekundernya. Mengingat wilayah kerja puskemas Sobo
terdiri dari perumahan dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi serta pola
perilaku masyarakat terhadap pemberantasan sarang nyamuk masih rendah,

16
memungkinkan nyamuk aedes dapat tumbuh dan berkembang, sehingga seluruh
wilayah kerja rentan terhadap penularan Demam Berdarah Dengue.
Karena vaksin anti virus DBD belum ada, sehingga belum dapat dilakukan
imunisasi untuk mencegah penyakit DBD, maka cara pemberantasan penyakit
DBD yang paling efektif adalah dengan memutus rantai penularan yaitu dengan
memberantas nyamuk penularnya dan mencegah perkembangbiakan nyamuk.

Upaya yang telah dilakukan untuk memberantas nyamuk Aedes Aegypty dan
Albopictus adalah dengan Pemantaun Jentik Berkala (PJB), Pemberantasan
Sarang Nyamuk ( PSN ) dengan 3M Plus, Abatisasi dan Fogging fokus sebagai
alternative terakhir untuk pemberantasan nyamuk dewasa yang telah
mengandung virus dengue.
Hal ini tidak dapat dilakukan hanya oleh puskesmas serta jaringannya,
mengingat keterbatasan tenaga dan sarana yang ada , untuk itu diperlukan
kerjasama lintas program dan lintas sektor dalam mengupayakan kegiatan PSN
sebagai kegiatan yang paling murah dan efektif dalam memberantas penyakit
DBD yang harus dilakukan serentak dan rutin oleh masyarakat.
Berdasarkan data di atas bahwa terjadi lonjakan yang sangat tinggi
peningkatan kasus penderita TBC hal ini di pengaruhi oleh pola musim dan
perilaku masyarakat yang masih relatif kurang sadar mengenai pemberantasan
sarang nyamuk.
Hasil kegiatan Program Pengendalian Penyakit DBD di Puskesmas Sobo :
a. Peta Endemisitas
Berdasarkan peta endemisitas menunjukkan seluruh wilayah kerja puskesmas
sobo yang merupakan daerah atau wilayah endemis, karena setiap tahun di
temukan kasus DBD.

b. Penanggulangan focus
Penanggulangan focus adalah upaya untuk memberantas nyamuk dewasa
dengan cara fogging/pengasapan. Jumlah penderita DBD pada tahun 2015
sebanyak 9 kasus. Puskesmas sobo melakukan penanggulangan focus pada
14 fokus dengan jumlah rumah difoging sebanyak 1563 rumah dengan biaya
swadaya masyarakat

c. Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemberian abate kepada container sekitar
penderita atau didaerah endemis DBD yang dilakukan oleh petugas

17
puskesmas sebagai upaya untuk membunuh telur aedes. Abatisasi telah
dilakukan pada 211 container dari 7 kelurahan.

d. Pemantauan jentik berkala


Pemantauan jentik berkala dilakukan pada semua wilayah Puskesmas yaitu
setiap kelurahan diambil 100 rumah dengan pengambilan secara acak atau
random sampling untuk memantau keberadaan jentik nyamuk aedes Sp yang
dilakukan setiap tiga bulan sekali pada 2800 rumah. Dari hasil kegiatan
pemeriksaan jentik berkala (PJB) cakupan Angka Bebas Jentik (ABJ) mencapai
96 %. Jumantik terlatih sebanyak 70 yang tersebar di 7 kelurahan.

9. Malaria
Eliminasi malaria sesuai dengan Kepmenkes 293/Menkes/SK/2009/tentang
Eliminasi Malaria, Jawa Timur pada tahun ini masih masuk pada tahap pra
Eliminasi, di tahun 2015 Jawa Timur harus sudah masuk di tahap Eliminasi
Malaria, dimana Indikator eliminasi malaria yaitu tidak ada kasus indigenous di
wilayah Provinsi Jawa Timur dan memiliki surveilans yang baik.

Eliminasi Malaria adalah suatu upaya untuk menghentikan penularan


malaria setempat dalam satu wilyah geografis tertentu, dan bukan berarti tidak
ada kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut,
sehingga tetap dibutuhkan kegiatan kewaspadaan untuk mencegah penularan
kembali. Pada tahun 2015 tidak di temukan kasus malaria di Puskesmas Sobo.

10. Filaria
Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit berupa cacing
filaria, yang terdiri dari Wuchereria Bancrofit, Brugia Malayi dan Burgia Timori .
Penyakit ini menginfeksi jaringan limfe (getah bening). Filariasis menular melalui
gigitan nyamuk yang mengandung cacing filarial dalam tubuhnya. Dalam tubuh
manusia cacing tersebut tumbuh menjadi cacing dewasa dan menetap di jaringan
limfe sehingga menyebabkan pembengkakan di lengan dan organ genital.
(Kemkes RI 2012). Pada tahun 2015 tidak ditemukan kasus filariasis.

11. Kejadian Luar Biasa (KLB)


Kejadian luar biasa adalah suatu kejadian yang mempunyai ciri khusus
seperti timbulnya penyakit yang telah lama dinyatakan hilang, mempunyai
virulensi yang tinggi, mempunyai dampak yang luas, dan lain-lainnya. Pada tahun
2015 ditemukan 1 KLB. Penanganan dan penanggulangan KLB puskesmas sobo

18
sudah dilaksanakan dalam kurun waktu kurang dari 24 jam setiap kasusnya
pencapaian 100% dari kasus yang dilaporkan.

19
BAB IV
UPAYA KESEHATAN

IV.1. PELAYANAN KESEHATAN


1. Pelayanan Antenatal (K1 dan K4)
Antenatal Care atau kunjungan ibu hamil untuk memeriksakan
kehamilannya ke tenaga kesehatan merupakan point penting dalam
keberhasilan melalui masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan baik
bagi ibu maupun bayi. Pelayanan antenatal care dapat dipantau melalui
pelayanan kunjungan baru ibu hamil (K1) untuk melihat akses dan pelayanan
kesehatan ibu hamil sesuai standar paling sedikit empat kali (K4) dengan
distribusi sekali pada triwulan pertama, sekali pada triwulan kedua dan dua kali
pada triwulan ketiga. Pelayanan ANC yang dilakukan pada tenaga kesehatan
meliputi timbang berat badan dan ukur tinggi badan, ukur tekanan darah,nilai
status gizi, ukur tinggi fundus uteri,menentukan presentasi janin dan DJJ,
skrining status imunisasi TT, pemberian tablet tambah darah, periksa
laboratorium, tatalaksana/ penanganan kasus dan temu wicara (konseling).
Dalam setiap pelayanan kesehatan, kehamilan merupakan kejadian yang
selalu mendapatkan perhatian yang luat biasa karena merupakan masa yang
rawan dari segi kesehatan, baik kesehatan ibu hamil maupun janin yang
dikandungnya sehingga dalam masa kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan
secara teratur. Disamping guna menghindari gangguan sedini mungkin dari
segala sesuatu yang membahayakan terhadap kesehatan ibu dan janin juga
digunakan untuk mengantisipasi segala kejadian yang timbul pada masa
kehamilan, melahirkan, masa nifas sampai masa perawatan ibu dan bayi.
Didapatkan data dari laporan Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu
dan Anak (PWS-KIA) di puskesmas Sobo pada tahun 2015. cakupan pelayanan
K1 782 (102%) dari target sebanyak 763 sedangkan cakupan K4 sebanyak 705
(92 %). Dalam ketentuannya diharapkan pencapaian K1 dan K4 seharusnya
seiimbang atau kesenjangan cakupan pelayanan K1 dan K4 tidak boleh lebih d
ari 5 % tetapi dalam pencapaiannya masih lebih dari 5 %, pencapaian ini juga
dikaitkan dengaan rencana strategi Making Pregnancy Safer dengan cakupan
ibu hamil yang melakukan kunjunngan secara lengkap sesuai standar yang
diharapkan ibu hamil mendapatkan layanan tenaga kesehatan pada awal
kehamilannya sebelum usia kehamilan 12 minggu dan datang ke tenaga
kesehatan minimal 4 kali selama masa kehamilannya hal ini berkaitaan dengan
pencapaian target K1 dan K4 selain daripada itu diharapkan ibu hamil tidak

20
terjadi komplikasi selama masa kehamilan, persalinan maupun masa nifas jika
komplikasi itu terjadi dapat segera terdeteksi dan mendapatkan penanganan
yang optimal sehingga akan berkontribusi pada penurunan angka kematian ibu.

2. Pertolongan Persalinan Oleh Tenaga Kesehatan dengan Kompetensi


Kebidanan
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya
di bidang kesehatan, peningkatan kualitas pelayanan menjadi target pemerintah
guna menurunkan Angka Kematian Ibu maupun Angka Kematian Bayi. Salah
satunya adalah mengupayakan pertolongan persalinan dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang berkompeten di bidang kebidanan. Diharapkan setiap
persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten untuk
mencegah adanya komplikasi yang mungkin muncul pada masa kehamilan,
persalinan dan nifas.
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terampil (kompeten)
merupakan rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Menurut data
penelitian di berbagai Negara tingginya cakupan pertolongan persalinan oleh
tenaga kesehatan terampil di yakini dapat membantu menurunkan komplikasi
dan angka kematian ibu. Deparetemen Kesehatan RI merekomendasi
pelaksanaan strategis Making Pregnancy Safer (MPS) dengan tiga pesan kunci :
1) Setiap persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan terampil 2) Setiap
komplikasi obstetric dan neonatal secara adekuat 3) setiap wanita usia subur
mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanggulangan komplikasi keguguran. Cakupan pelayanan persalinan oleh
tenaga kesehatan mencapai 109 % atau 729 persalinan oleh tenaga kesehatan.

3. Pemberian Kaps ul Vitamin A pada Ibu Nifas


Masalah gizi mikro dalam bentuk Kurang Vitamin A (KVA) merupakan salah
satu masalah kurang gizi yang perlu ditanggulangi mengingat dampaknya
terhadap peningkatan angka kesakitan dan angka kematian bayi dan anak
balita.
Strategi pe nanggulangan kurang vitamin A dilaksanakan secara
komprehensif, terdiri dari pembagian suplementasi vitamin A d osis tinggi setiap
bulan Feb ruari dan Agustus, penyuluhan gizi seimbang untuk meningkatkan
konsumsi bahan pangan sumber vitamin A dan fortifikasi pangan. Sasaran
pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas merupakan vitamin A dosis tinggi
(200.000 IU) sebanyak 2 (Dua) kapsul dengan waktu pemberian 1 kapsul
setelah bayi lahir dan 1 kapsul pada hari berikutnya atau paling lama 28 hari

21
setelah melahirkan. Pencapaian kapsul vitamin A pada ibu nifas di puskesmas
soboo tahun 2015 masih mencapai target yang 100 % .

5. Jumlah ibu hamil yang mendapatkan Tablet Fe1 dan Fe3


Anemia gizi besi merupakan anemia paling sering terjadi pada ibu hamil, yang
disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga kebutuhan zat besi
(Fe) untuk pembentukan sel darah merah tidak cukup. Hal ini dikarenakan :
1) Hipervolemia (bertambahnya volume dari plasma darah), menyebabkan
terjadinya pengenceran darah, dimulai sejak usia kehamilan 10 minggu dan
mencapai puncaknya dalam usia kehamilan antara 32 dan 36 minggu,
2) Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma,
3) Kurangnya zat besi dalam makanan
4) Kebutuhan zat besi meningkat,
5) Gangguan pencernaan dan absorpsi, yang dipengaruhi oleh enzim yang ada
dalam saluran pencernaan.
Pada umumnya anemia dapat diatasi dan dicegah dengan memperbaiki
pola makan yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang kaya zat besi terutama
bahan pangan hewani. Namun hal ini sering tidak terpenuhi karena sumber
pangan hewani sangat mahal. Oleh karena itu ibu hamil dianjurkan minum
Tablet Tambah Darah (TTD). Didalam setiap TTD mengandung 200 mg Sulfat
Ferosus (yang setara dengan 60 mg besi elemental ) dan 0,25 mg asam folat.
Pemberian zat besi pada ibu hamil melalui TTD mulai diberikan sejak
pemeriksaan pertama dilakukan yang pelaksanaannya terpadu dengan program
Kesehatan Ibu dan Anak. Selama masa kehamilannya ibu hamil diharapkan
mendapat minimal 90 TTD dan segera setelah melahirkan setiap hari 1 TTD
sampai 42 hari setelah melahirkan. Untuk pemberian TTD yang pertama atau
Fe1 diharapkan tepat waktu sesuai dengan pemeriksaan pertama pada
Trimester I (3 Bulan pertama masa kehamilan). Sasaran ibu hamil pada tahun
2015 mencapai 794 (104%).

6. Ibu Hamil Resiko Tinggi yang Ditangani


Penanganan masalah kesehatan ibu hamil merupakan prioritas yang tidak
dapat diabaikan begitu saja. Dalam memberikan pelayanan khusunya oleh
tenaga bidan di desa dan Puskesmas, beberapa ibu hamil yang memiliki resiko
tinggi dan memerlukan pelayanan kesehatan karena terbatasnya dalam
memberikan pelayanan, maka kasus tersebut perlu dilakukan upaya rujukan ke
unit pelayanan kesehatan yang memadai.

22
Tahun 2015 jumlah sasaran ibu hamil mencapai 782 sedangkan jumlah
ibu hamil dengan resiko tinggi berdasarkan 20% dari proyeksi sasaran ibu hamil
yaitu data yang di dapat dari PWS-KIA sebanyak 153 dengan komplikasi
kebidanan yang ditangani sebanyak 161 (105%).

7. Neonatal Resiko Tinggi yang Ditangani


Kelahiran bayi dengan keadaan sehat, tanpa komplikasi jelas menjadi
harapan keluarga. Akan tetapi, kondisi fisik bayi baru lahir pada dasarnya masih
sangat rentan terhadap serangan penyakit. Bayi hingga usia kurang dari satu
bulan merupakan golongan umur yang memiliki resiko gangguan kesehatan
yang paling tinggi. Upaya penanganan kesehatan yang dilakukan untuk
mengurangi resiko tersebut antara lain dengan melakukanbpertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan pada neonatus.
Penanganan neonatus risti/komplikasi yang meliputi asfiksia, tetanus
neonatorum,sepsis,trauma lahir, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah), sindroma
gangguan pernafasan dan kelainan nonatal yang mendapat pelayanan oleh
tenaga kesehatan yang terlatih yaitu dokter, dan bidan di polindes, puskesmas,
rumah bersalin dan rumah sakit pemerintah maupun swasta.
Pada tahun 2015, ditemukan 109 kasus neonatal resiko tinggi yang
ditangani ( target proyeksi adalah 99 kasus).

8. Pelayanan Keluarga Berencana.


Program Keluarga Berencana diselenggarakan oleh pemerintah dengan
tujuan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, yang nantinya diharapkan
dapat berkontribusi dalam peningkatan mutu sumber daya manusia . Sesuai
dengan hasil Konferensi Internasional Population and Development ( ICPD ) di
Kairo tahun 1994, serta visi dan misi BKKBN yaitu pendekatan Keluarga
Berencana (KB) ke arah pendekatan kesehatan reproduksi. Program KB dan
Kesehatan Reproduksi saat ini tidak hanya ditujukan untuk penurunan angka
kelahiran namun dikaitkan pula pada dengan tujuan untuk pemenuhan hak-hak
reproduksi, promosi, pencegahan, penanganan masalah-masalah kesehatan
reproduksi dan seksual serta menjaga kesehatan dan kesejahteraan ibu,bayi
dan anak.
Target pemerintah Indonesia mengenai kesehatan reproduksi yang akan
dicapai sampai pada tahun 2015 yang terangkum dalam indikasi keberhasilan
program Millenium Development Goals (MDGs) adalah cakupan layanan KB
pada pasangan usia subur (PUS) 70%, penurunan prevalensi kehamilan “4
terlalu” mencapai 50%, penurunan kejadian komplikasi KB serta penurunan

23
angka drop out penggunaan alat kontrasepsi. Masa subur seseorang
mempunyai pengaruh penting dal am proses terjadinya keham ilan, sehingga
peluang wanita hamil dan melahirkan menjadi cukup tinggi. Menurut hasil
penelitian masa subur seor ang wanita antara umur 15-4 9 tahun. Oleh karena
itu untuk mengatur jumla h kelahiran atau menjarangkan kelahiran, wanita/
pasangan lebih di priorita skan untuk menggunakan alat/cara KB yang lebih
modern dengan tujuan m engurangi komplikasi yang muncul saat ber-KB yang
dikaitkan dengan kesehatan reproduksi jangka panjang.
Tingkat pencapaian pelayanan keluarga berencana dapat di gambarkan
melalui cakupan peserta KB yang ditunjukkan dengan kelompok sasaran
program yang sedang menggunakan alat kontrasepsi, tempat pelayanan serta
jenis kontrasepsi yang digunakan akseptor.
Cakupan Pelayanan Keluarga Berencana Aktif di Puskesmas Sobo pada
tahun 2015 sebesar (59.8%) atau 5947 dari jumlah Pasangan Usia Subur (PUS)
9853. sedangkan cakupan pengguna KB baru sebanyak 429 (29 %).

9. Bayi dengan Berat badan lahir rendah (BBLR)


Pemerintah telah berupaya keras untuk menurunk an Angka kematian bayi
yang sebagian besar penyebabnya adalah ba yi dengan berat badan lahir rendah.
Bayi dikatakan lahir dengan berat bad an rendah bilamana berat lahir bayi kurang
dari 2500 gram. Banyak factor yang menjadi penyeb ab bayi lahir dengan berat
badan rendah, BBLR juga dibedakan dala m 2 kategori, yaitu BBLR karena
premature atau BBLR karena Intrauterine Growth Retardation (IUGR), yaitu bayi
yang lahir cukup bulan te tapi berat badannya kurang. Di negara berkembang,
banyak BBLR dengan IUGR karena ibu berstatus gizi buru k, anemia, malaria,
dan menderita penyakit menular seksual (PMS ) sebelum konsepsi atau pa da
saat kehamilan.Jumlah BBLR yang dilaporkan di Kabupaten Banyuwangi pada
tahun 2015 sebanyak 4 (0.5 %) dari 795 kelahiran hidup.

10. Kunjungan Neonatus dan Kunjungan Bayi


a. Kunjungan Neonatus
Bayi hingga usia kurang dari satu bulan merupakan golongan umur
yang paling rentan terhadap serangan penyakit dan memilki resiko
kesehatan paling tinggi. Upaya kesehatan yang dilakukan untuk
mengurangi resiko tersebut antara lain dengan pemantauan pertumbuhan
dan perkembangan dengan melakukan kunjungan neonatus pada tenaga
kesehatan. Bayi baru lahir berumur (0-28 hari) minmal dua kali, satu kali
pada umur 0-7 hari (KN1) dan satu kali lagi pada umur 8-28 hari. Program

24
ini merupakan salah satu indikator kinerja pelayanan minimal pada sasaran
dimaksud.
Dalam rangka melaksanakan pelayanan neonatus, petugas
kesehatan melakukan pemeriksaan kesehatan bayi dan juga konseling
mengenai perawatan bayi baru lahir. Pelayanan tersebut meliputi
pelayanan kesehatan dasar neonatal dasar, pemberian vitamin K,
Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) dan penyuluhan perawatan
neonates di rumah menggunakan buku KIA. Puskesmas Sobo Kunjungan
Neonatus (KN Lengkap) tahun 2015 sebesar 98 %

b. Kunjungan Bayi
Setiap bayi (usia 0-11 bulan) diharapkan mendapatkan pelayanan
sesuai standar oleh tenaga kesehatan yang kompeten minimal 4 kali.
Pelayanan kesehatan tersebut meliputi pemberian lima imunisasi dasar
lengkap, pemberian vitamin A (bayi diatas usia 6 bulan), Stimulasi Deteksi
dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK) bayi, dan penyulu han
perawatan kesehatan bayi di rumah yang sesuai dengan prosedur
perawatan bayi yang benar. Dengan program kunjungan bayi diharapakan
setiap bayi hidup sehat, tumbuh dan berkembang secara optimal.
Cakupan Kunjungan bayi paripurna di puskesmas Sobo di tahun
2015 sebesar 610 (91.7%) dari target 665 bayi yang ada. Kualitas
pelayanan kunjungan bayi diharapkan akan mampumempercepat
penurunan angka kematian bayi meningkatkan kualitas dan kelangsungan
hidup bayi sesuai dengan harapan program inovasi Kabupaten Banyuwangi
Anak Tumbuh Optimal Berkualitas dan Cerdas (Anak TOKCer).

11. Jumlah bayi yang diberi ASI Eksklusif


Anak merupakan aset masa depan yang akan melanjutkan pembangunan di
suatu negara. Bayi usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan
perkembangan yang pesat, sehingga diistilahkan sebagai periode emas
sekaligus periode kritis. Periode emas dapat berubah menjadi periode kritis
yang akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bayi, baik pada
saat ini maupun masa selanjutnya. ASI merupakan cairan hidup karena
diciptakan oleh Tuhan untuk mencukupi kebutuhan gizi bayi sejak lahir
sampai usia 24 bulan, yang diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan
dan kelangsungan hidupnya. ASI mengandung zat-zat gizi yang tidak
ditemukan dalam makanan / minuman olahan manusia apapun. Pentingnya
pemberian ASI Eksklusif terlihat dari peran dunia yaitu pada tahun 2006

25
WHO (World Health Organization) mengeluarkan Standar Pertumbuhan Anak
yang kemudian diterapkan di seluruh dunia yang isinya adalah menekankan
pentingnya pemberian ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai usia 6 bulan.
Setelah itu bayi mulai diberikan makanan pendamping ASI sambil tetap
disusui hingga usianya mencapai 2 tahun.
Di Puskesmas Sobo hasil pemantauan jumlah bayi yang diberi ASI
eksklusif diperoleh dari laporan rutin puskesmas setiap bulan Februari dan
Agustus. Pada tahun 2015 prosentase bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif
mencapai 140 % atau 975 bayi.

12. Pelayanan Imunisasi


Kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas bidang
kesehatan, sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk
mencapai Millenium Development Goals (MDGs), Khususnya menurunkan
angka kematian pada anak. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat
tercapai bila perlindungan yang diberikan mencapai hasil yang optaimal.
Pencapaian Universal Child Immunization pada dasarnya merupakan suatu
gambaran terhadap cakupan atas imunisasi secara lengkap pada sekelompok
bayi yang merupakan upaya perlindungan sedini mungkin. Bila cakupan UCI
dikaitkan dengan batas wilayah tertentu, berarti dalam wilayah tersebut dapat
digambarkan besarnya tingkat kekebalan masyarakat atau bayi (herd
immunity) terhadap penularan PD3I. Dalam hal ini Pemerintah menargetkan
pencapaian UCI pada wilayah administrasi desa/kelurahan.
Suatu kelurahan telah mencapai target UCI apabila ≥ 80 % bayi di
desa/kelurahan tersebut mendapat Imunisasi Dasar Lengkap (IDL). Cakupan
untuk kelurahan UCI Puskesmas Sobo mencapai 100 % target.
Cakupan imunisasi DPT-HB dan Campak sangat berkaitan karena
menentukan angka Drop Out (DO). Angka DO di Puskesmas mencapai 8,6 %
(maksimal + 10 %). Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan sweeping
berkualitas pada bayi yang status imunisasinya kurang lengkap dan melakukan
backlog fighting /penyulaman pada bayi usia 1 – 3 tahun yang belum lengkap
status imunisasinya.

Angka Cakupan imunisasi BCG mencapai 116.3 % ( 812 balita dari


sasaran balita proyeksi adalah 698).

13. Cakupan pemberian Vitamin A pada bayi, anak balita dan ibu nifas

26
Masalah gizi mikro dalam bentuk Kurang Vitamin A (KVA) merupakan
salah satu masalah kurang gizi yang perlu ditanggulangi mengingat dampaknya
terhadap peningkatan angka kesakitan dan angka kematian bayi dan anak
balita. Dari berbagai studi prevalensi kurang vitamin A subklinis (serum retinol ,<
20 µg/dl) menunjukkan penurunan yang sangat signifikan, yaitu dari 14,6 %
pada tahun 2007 (Survei Nasional Gizi Mikro), menjadi 0,8% pada tahun 2011
(South East Asia Nutrition Survey / SEANUTS).
Strategi penanggulangan kurang vitamin A dilaksanakan secara
komprehensif, terdiri dari pembagian suplementasi vitamin A dosis tinggi setiap
bulan Februari dan Agustus, penyuluhan gizi seimbang untuk meningkatkan
konsumsi bahan pangan sumber vitamin A dan fortifikasi pangan. Cakupan
pemberian vitamin A yaitu 100 % atau 355 balita usia 6-11 bulan, sedangkan
117,3 % pada balita usia 12-59 bulan atau 3342 balita dari target proyeksi yaitu
2848 balita.

14. Jumlah balita ditimbang


Upaya pemantauan pertumbuhan balita dilakukan melalui penimbangan
Posyandu secara rutin setiap bulan. Karena dengan adanya kegiatan ini dapat
berguna untuk memantau pertumbuhan anak, memantau kesehatan anak,
mencegah terjadinya masalah gizi dan deteksi dini masalah gizi anak. Cakupan
penimbangan diposyandu dilihat dari indikator D/S yang merupakan indikator
berkaitan dengan pelayanan gizi pada balita dan pelayanan kesehatan dasar
misalnya imunisasi dan penanggulangan diare. Dari analisa data riskesdas
tahun 2007 memperlihatkan bahwa dengan
semakin tingginya cakupan D/S, maka semakin tinggi cakupan balita
mendapat vitamin A, semakin tinggi cakupan imunisasi dan semakin rendah
prevalensi gizi kurang. Berdasarkan pemantauan selama satu tahun di
Kabupaten Banyuwangi menunjukkan rata – rata Tingkat Partisipasi Masyarakat
(D/S) Tahun 2015 sebesar 85.7 %.
Balita Bawah Garis Merah
Balita yang ditimbang berat badannya berada dibawah garis merah pada KMS
(Kartu Menuju Sehat) di puskesmas sobo mencapai 19 balita ( < 2,5 % dari
jumlah balita seluruhnya).

27
15. Cakupan balita gizi buruk yang mendapat perawatan
Kuran Energi dan Protein (KEP) pada anak masih menjadi masalah
gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan
dasar tahun 2010, sebanyak 13% berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9%
berstatus gizi buruk. Data yang sama menunjukkan 13,3% anak kurus,
diantaranya 6% anak sangat kurus dan 17,1 % anak memiliki kategori sangat
pendek. Keadaan ini berpengaruh pada masih tingginya angka kematian bayi.
Menurut WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi
kurang dan gizi buruk, oleh karena itu masalah gizi perlu ditangani secara
cepat dan tepat.
Perawatan gizi buruk dilaksanakan melalui rawat inap dan rawat jalan.
Anak gizi buruk disertai komplikasi penyakit dirawat di Puskesmas Perawatan /
TFC (Therapeutic Feeding Center) atau Rumah Sakit Pemerintah atau Rumah
Sakit Swasta. Sedangkan anak gizi buruk tanpa komplikasi dapat dirawat jalan.
Perawatan anak gizi buruk dirumah dilakukan melalui pembinaan petugas
kesehatan dan dokter.
Jumlah gizi buruk yang ditemukan pada tahun 2015 sebanyak 25 kasus
semua sudah mendapat perawatan.

16. Pelayanan Kesehatan Balita dan Anak Pra sekolah, Usia sekolah dan
Remaja
Balita dan anak pra sekolah adalah harapan masa depan bangsa.
Sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pemantauan secara intensif
terhadap perkembangannya. Pelayanan kesehatan pada kelompok balita dan
anak pra sekolah, dilakukan dengan pelaksanaan pemantauan dini terhadap
tumbuh kembang, deteksi dini masalah kesehatan anak menggunakan MTBS
dan penanganannya serta pelayanan rujukan ke fasilitas yang lebih mampu.
Pelayanan tersebut dilakukan di dalam gedung dan di luar gedung seperti
posyandu, Taman Kanak-Kanak, tempat penitipan anak, Panti Asuhan dan
sebagianya oleh dokter, bidan perawat yang memiliki kompetensi klinis anak,
DDTK,MTBM,MTBS. Adapun kelompok usia sekolah dan remaja merupakan
pelayanan perpaduan lintas program dan lintas sector. Pemeriksaan kesehatan
anak sekolah dasar/sederajat, serta
pelayanan kesehatan pada remaja yang dilakukan secara berjenjang
(penjaringan awal oleh guru dan kader kesehatan terlatih, penjaringan lanjutan
oleh tenaga kesehatan).
Cakupan pelayanan kesehatan anak balita di puskesmas pada tahun
2015 sebesar 2178 (78.1%) dari target sebanyak 2790 yang berhasil di deteksi

28
tumbuh kembangnya. Dengan cakupan pelayanan anak pra sekolah 705 (45.8
%) dengan sasaran 1540.

17. Cakupan Pelayanan Kesehatan Siswa SD dan setingkat


Usaha kesehatan sekolah disingkat UKS adalah suatu usaha yang
dilakukan sekolah untuk menolong murid dan juga warga sekolah yang sakit di
kawasan lingkungan sekolah. UKS biasanya dilakukan di ruang kesehatan suatu
sekolah. UKS memiliki pedoman yang biasa disebut Trias UKS, yaitu:
1. Pendidikan Kesehatan
2. Pelayanan Kesehatan
3. Pembinaan Sekolah Lingkungan Sehat
Penjaringan kesehatan merupakan salah satu bentuk dari pelayanan
kesehatan yang bertujuan untuk mendeteksi dini siswa yang memiliki masalah
kesehatan agar segera mendapatkan penanganan sedini mungkin. Penjaringan
kesehatan dilakukan pada peserta didik kelas 1 SD, kelas 7 SMP/MTs dan
Kelas 10 SMA/SMK/MA yang meliputi pemeriksaan kebersihan perorangan
(rambut, kulit dan kuku) pemeriksaan status gizi melalui pengukuran
antropometri, pemeriksaan ketajaman indera (penglihatan dan pendengaran),
pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, pemeriksaan laboratorium untuk anemia
dan kecacingan, dan pengukuran kebugaran jasmani.
Untuk target dalam SPM bidang kesehatan adalah penjaringan murid
SD setingkat I dengan target 95 % dari semua murid baru. Pencapaian untuk
tahun 2015 antara lain sejumlah 976 (100 %) dari seluruh murid Sd kelas 1,
untuk murid kelas VII mencapai 1281 (100%), serta murid kelas X mencapai
1226 (100%).

18. Pelayanan Kesehatan Pra Usila dan Usila (60 Th +)


Pelayanan kesehatan yang baik adalah manakala pelayanan kesehatan
itu merata untuk semua lapisan masyarakat dengan semua golongan umur,
tidak terkecuali lansia. Peningkatan derajat kesehatan lansia sudah sepatutnya
untuk menjadi salah satu perhatian khusus. Sebab, dengan adanya keadaan
lansia sejahtera maka dapat dikatakan suatu negara dapat menunjukkan
pembangunan di bidang kesehatan yang baik.
Pada suatu negara yang telah maju maka peningkatan usia lanjut
sangat signifikan dan jumlah kelahiran sangat rendah, sehingga pertambahan
penduduk menjadi sangat lambat. Di Indonesia peningkatan usila yang tinggi
masih disertai dengan tingkat kelahiran yang tinggi pula sehingga pertambahan
penduduk menjadi sangat tinggi. Cakupan kesehatan pra usia lanjut dan usia

29
lanjut di Puskesmas tahun 2015 sebesar 4530 (32.9%) dari jumlah sasaran
lansia sebanyak 13757. Dalam upaya meningkatkan cakupan perlu
mengaktifkan posyandu lansia dan membentuk kelompok lansia dengan tujuan
agar lansia lebih produktif di usia lanjutnya. Sehingga diharapakan lansia ini
tidak hanya menjadi beban negara akan tetapi menuju tua, sehat dan produktif,
keberhasilan pembangunan kesehatan selain dari sisi sumber daya manusia
yang produktif juga dari usia non produktif dan salah satunya penentu
keberhasilan pembangunan kesehatan adalah peningkatan status derajat
kesehatan pada lanjut usia. Sehingga diharapkan status kesehatan yang baik
akan memperpanjang usia dan kehidupan. Selain itu, juga menekankan
diperluasnya peran aktif para lansia di semua tatanan masyarakat.

19. Pelayanan Kesehatan Mata/ Pencegahan Kebutaan.


Penemuan kasus mata tidak hanya dilkukan secara pasif artinya pasien
dengan gangguan mata atau dengan keperluan tertentu (surat keterangan
sehat) datang kepalayanan kesehatan dan jaringannya, juga di lakukan secara
aktif melalui screening (penjaringan) melalui anak sekolah kelas I mulai SD
sampai dengan SMU. Hasil capainnya yaitu kasus mata yang di tangani 307
kasus, kasus kelainan refraksi 285 kasus, Buta katarak 1 kasus, operasi
katarak dan kasus rujukan 100 %

20. Pelayanan Kesehatan Telinga/Pencegahan Gangguan Pendengaran.


Penemuan kasus telinga tidak hanya dilkukan secara pasif artinya
pasien dengan gangguan telingaa atau dengan keperluan tertentu (surat
keterangan sehat) datang kepalayanan kesehatan dan jaringannya, juga di
lakukan secara aktif melalui screening (penjaringan) melalui anak sekolah kelas
I mulai SD sampai dengan SMU. Hasil capainnya yaitu kasus telinga yang di
tangani .382 kasus, komplikasi opersi 0 %, kasus rujukan ke spesialis

21. Pelayanan Kesehatan Jiwa


Upaya kesehatan jiwa melibatkan seluruh komponen masyarakat
misalnya karang taruna, pejuang kesehatan, kelompok PKK dan kader
posyandu balita atau lansia , dalam penemuan deteksi dini pada penderita
gannguan jiwa. Hasil capainnya ada jumlah kelompok masyarakat yang di
bina/dilatih tentang kesehatan jiwa 100 % (7 kelompok), jumlah gamgguam jiwa
yang di rujuk oleh kader/masyarakat 120 kasus (33.3%), Penanganan kasus
jiwa 112 dan kasus jiwa yng di rujuk 9

30
IV. 2 AKSES DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN
1. Jaminan Kesehatan Pra Bayar
A. Jaminan Kesehatan Nasional
Kesehatan adalah hak dasar setiap orang, dan semua warga negara
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. UUD 1945 mengamanatkan
bahwa jaminan kesehatan bagi masyarakat, khususnya yang miskin dan
tidak mampu, adalah tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Pada
UUD 1945 Perubahan, Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pemerintah menjalankan UUD 1945 tersebut dengan mengeluarkan UU
No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) untuk
memberikan jaminan sosial menyeluruh bagi setiap orang dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak menuju terwujudnya
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil,dan makmur. Sesuai dengan UU
No 40 Tahun 2004, SJSN diselenggarakan dengan mekanisme Asuransi
Sosial dimana setiap peserta wajib membayar iuran guna memberikan
perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau
anggota keluarganya. Dalam SJSN, terdapat Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) yang merupakan bentuk komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan
jaminan kesehatan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Sebelum JKN, pemerintah telah berupaya merintis beberapa bentuk
jaminan sosial di bidang kesehatan, antara lain Askes Sosial bagi pegawai
negeri sipil (PNS), penerima pensiun dan veteran, Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan (JPK) Jamsostek bagi pegawai BUMN dan swasta, serta
Jaminan Kesehatan bagi TNI dan Polri. Untuk masyarakat miskin dan tidak
mampu, sejak tahun 2005 Kementerian Kesehatan telah melaksanakan
program jaminan kesehatan sosial, yang awalnya dikenal dengan nama
program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin
(JPKMM), atau lebih populer dengan nama program Askeskin (Asuransi
Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin). Kemudian sejak tahun 2008 sampai
dengan tahun 2013, program ini berubah nama menjadi program Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Seiring dengan dimulainya JKN per 1 Januari 2014, semua program
jaminan kesehatan yang telah dilaksanakan pemerintah tersebut (Askes
PNS, JPK Jamsostek, TNI, Polri, dan Jamkesmas), diintegrasikan ke dalam
satu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
Sama halnya dengan program Jamkesmas, pemerintah bertanggungjawab

31
untuk membayarkan iuran JKN bagi fakir miskin dan orang yang tidak
mampu yang terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Kepesertaan program JKN terdiri dari PBI APBN, PBI APBD, Pekerja
Penerima upah (PPU), Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU)/Mandiri dan
Bukan Pekerja (BP).

B. Jaminan Kesehatan Daerah


Lahirnya SJSN melalui penetapan UU No. 40 tahun 2004 , member peluang
bagi pemerintah mempunyai dasar menolong masyarakat miskin di bidang
kesehatan melalui asuransi. Atas dasar itu lahirlah Jaminan Kesehatan
Masyarakat dan sesuai Kepmenkes No. 125/Menkes/SK/II/2008
diterbitkannya Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat. Selanjutnya lahirlah Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda)
berdasarkan persetujuan judicial review atas U U No. 40 tahun 2004 pasal 5
dari Mahkamah Konstitusi atau MK. Disetujuinya judicial review oleh MK,
menjadikan seluruh pemerintah daerah di Indonesia menyelenggarakan
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).Program Jamkesda adalah program
jaminan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk menjamin masyarakat miskin yang belum menjadi
peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) Program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Jamkesda di Provinsi Jawa Timur dilaksanakan berdasarkan
Peraturan Gubernur No. 4 tahun 2009 tentang Sistem Jaminan Kesehatan
Daerah dan Peraturan Gubernur Nomor 45 tahun 2011 tentang Pejabat
Pengelola Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Daerah (BPJKD)
Provinsi Jawa Timur.
Mulai Tahun 2012 Jamkesda menjadi program unggulan Gubernur
Jawa Timur, sehingga menjadi kewajiban bagi kabupaten/kota untuk
melaksanakan. Dana Jamkesda dianggarkan secara sharing antara
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten/Kota yang
merupakan pelayanan kesehatan yang dijamin untuk masyarakat miskin non
kuota meliputi rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas dan jaringannya.
Dasar penganggaran secara sharing tersebut tertuang dalam Perjanjian Kerja
Sama antara Gubernur Jawa Timur dengan Bupati se Propinsi Jawa Timur
tentang Pembiayaan Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang
selalu diperbaharui setiap tahunnya.

2. Upaya Pelayanan Kesehatan

32
Upaya pelayanan kesehatan dasar yang ada di puskesmas adalah
pelayanan rawat jalan. Pelayanan kesehatan tersebut bisa dididapatkan di
puskesmas dan jarinagnnya meliputi Pustu Tukang kayu, Posling ( Yankes Mo-
Duit), Poskeskel di lima kelurahan yaitu Penganjuran, Taman Baru, Kebalenan,
Sumberrejo dan Pakis.

3. Pelayanan Kesehatan Rujukan (RS)


Bila masyarakat mengalami gangguan kesehatan berat dan
penanganan penyakit tersebut di luar kemampuan puskesmas, maka dilakukan
rujukan ke Rumah Sakit. Rumah Sakit merupakan fasilitas pelayanan kesehatan
yang melaksanakan kegiatan kuratif, rehabilitatif dan sekaligus berfungsi
sebagai pelayanan kesehatan rujukan.
Jumlah fasilitas pelayanan kesehatan rujukan di Kabupaten
Banyuwangi tahun 2015 sebanyak 13 Rumah Sakit dengan rincian Rumah Sakit
umum pemerintah 2 buah, Rumah Sakit umum swasta 7 buah, Rumah Sakit
Khusus 4 (tabel 70). Adapun rasio Rumah Sakit terhadap penduduk 1:121.581
artinya satu fasilitas pelayanan kesehatan rujukan melayani 121.581 jiwa
penduduk (profil kesehatan kabupaten Banyuwangi, 2014).

IV.3. PERILAKU HIDUP MASYARAKAT


PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran
sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang, keluarga, atau masyarakat
mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif
dalam mewujudkan kesehatan.Jumlah PHBS yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari pun sangat banyak, bahkan bisa mencapai ratusan. Misalnya
tentang mengkonsumsi multi vitamin, istirahat yang cukup, membuang sampah pada
tempatnya, hingga mampu mengendalikan emosi diri. Sedangkan yang akan dibahas
disini adalah PHBS dalam lingkungan rumah tangga. PHBS rumah tangga adalah
upaya untuk memberdayakan anggota rumah tangga, agar tahu, mau dan mampu
melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat serta berperan aktif dalam gerakan
kesehatan di masyarakat.
Terdapat 10 indikator PHBS di dalam rumah tangga, yakni :
1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan
2. Memberi bayi ASI Eksklusif
3. Menimbang Balita setiap bulan
4. Menggunakan Air Bersih
5. Mencuci tangan pakai.

33
6. Gunakan Jamban Sehat
7. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu
8. Makan buah dan sayur setiap hari
9. Melakukan aktifitas fisik setiap hari
10. Tidak merokok di dalam rumah
Berdasarkan hasil survei PHBS dengan menggunakan kartu kesehatan keluarga dari
sampel keluarga yang disurvei sejumlah 2764 ( 21%) KK didapatkan keluarga yang
ber-PHBS sejumlah 1971 (71.3%). Sedangkan Target keluarga ber-PHBS pada
tahun 2015 adalah 50 % dari keluarga yang di survei. Permasalahan yang muncul
antara lain masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak merokok di dalam
rumah, asi ekslusif dan tidak menggunakan jamban sehat.

IV.4. KEADAAN LINGKUNGAN


1. Rumah Sehat
Rumah sehat adalah rumah tempat tinggal yang memenuhi syarat kesehatan
yaitu rumah yang memiliki jamban sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan
sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik, kepadatan hunian
yang sesuai dan lantai tidak terbuat dari tanah. Rumah yang tidak sehat akan
berisiko menjadi sumber penularan berbagai jenis penyakit(Depkes RI, 2007).
Wilayah kerja puskesmas pada tahun 2915 terdapat 13049 Rumah. Dari
jumlah tersebut rumah yang memenuhi syarat 5844 (66.6%).

2. Akses Air Minum Berkualitas Layak


Air minum yang berkualitas (layak) adalah Air minum yang terlindung meliputi
air ledeng (keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air
hujan (PAH) atau mata air dan sumur terlindung, sumur bor atau sumur pompa,
yang jaraknya minimal 10 meter dari pembuangan kotoran, penampungan limbah,
dan pembuangan sampah. Tidak termasuk air kemasan, air dari penjual keliling,
air yang dijual melalui tanki, air sumur dan mata air tidak terlindung.
Sarana air bersih di wilayah kerja puskesmas PDAM 11.921 buah,
Sumur gali 638 buah dan HIPAM 2 buah. Saran air bersih yang memenuhi
persayaratan kesehatan 91.2 % atau 7362 buah, sedangkan anggota keluarga
yang mengakses terhadap sarana air bersih tersebut mencapai 100%.

3. Sarana Sanitasi Dasar (Jamban Sehat)


Jumlah Kepala Keluarga ( KK) yang memiliki akses terhadap jamban mencapai
77,5 % (target 73 %). Sedangkan jamban yang memenuhi persyaratan kesehatan
mencapai 100%. Kelurahan yang ODF (Open Defecation Free) berjumlah )1

34
kelurahan dari 7 kelurahan. Tetapi kelurahan Taman baru berpotensi ODF 2 (dua)
kelurahan yaitu Tukang Kayu dan Penganjuran

4. Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)


STBM adalah suatu pendekatan partisipatif yang mengajak masyarakat untuk
mengalisa kondisi sanitasi mereka melalui suatu proses pemicuan, sehingga
masyarakat dapat berpikir dan mengambil tindakan untuk meninggalkan
kebiasaan buang air besar mereka yang masih di tempat terbuka dan sembarang
tempat. Pendekatan yang dilakukan dalam STBM menyerang/menimbulkan rasa
ngeri dan malu kepada masyarakat tentang kondisi lingkungannya. Melalui
pendekatan ini kesadaran akan kondisi yang sangat tidak bersih dan tidak
nyaman di timbulkan. Dari pendekatan ini juga ditimbulkan kesadaran bahwa
sanitasi (kebisaan BAB di sembarang tempat) adalah masalah bersama karena
dapat berimplikasi kepada semua masyarakat sehingga pemecahannya juga
harus dilakukan dan dipecahkan secara bersama. Dari 7 kelurahan yang sudah
ODF adalah kelurahan Taman Baru.

5. Tempat-tempat Umum
Tempat – Tempat Umum merupakan suatu sarana yang dikunjungi
banyak orang dan berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit. Sedangkan
tempat-tempat umum yang sehat adalah tempat umum dan pengolahan makanan
dan minuman yang memenuhi syarat kesehatan yaitu memiliki sarana air bersih,
tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang
cukup, luas lantai ( luas ruangan) yang cukup memadai.
Monitoring di lakukan setahun sekali terhadap tempat-tempat umum
meliputi Puskesmas 100%, Sekolah ( TK, SD, SMP, SMU ) 100%, Hotel 0 %,
pasar 100 %, kolam renang 100 %. tempat umum yang memenihi persyaratan
kesehatan meliputi Puskesmas 100%, Sekolah ( TK, SD, SMP, SMU ) 100%,
Hotel 100.%, pasar 100%, kolam renang 100%.
.
6. Tempat Umum Pengelolaan Makanan (TUPM)
Tempat Pengelolaan Makanan (TUPM) merupakan suatu sarana yang
dikunjungi banyak orang dan berpotensi menjadi tempat penyebaran penyakit.
TUPM meliputi hotel, restoran, pasar sekolah dan lain- lain. Sedangkan TUPM
sehat adalah tempat umum dan pengolahan makanan dan minuman yang
memenuhi syarat kesehatan yaitu memiliki sarana air bersih, tempat pembuangan
sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang cukup, luas lantai ( luas
ruangan) yang cukup memadai.

35
Peminaan Pengolahan makanan (TPM) yang di bina mencapai 99.4 %.
Dengan rincian sebagai berikut : rumah makan 75 % (3kali), kantin sekolah 74 %
(23 kali), Rumah Tangga 52 %(25 kali), Jasa Boga 80 % (8kali). Adapaun dari
tempat pengolahan makanan tersebut yang memenuhi persyaratan kesehatan
mencapai 92.9.%

36
BAB V
SUMBER DAYA KESEHATAN

V.1 SARANA KESEHATAN


Sarana kesehaan yang ada adalah satu puskesmas induk serta jarinannya
yang merupakan type puskesmas perkotaan dengan rawat jalan yang melakukan
upaya kesehatan wajib yaitu pelayanan promosi kesehatan, kesehatan
lingkungan, gizi masyarakat, kesehatan ibu dan anak, pencegahan dan
pemberantasan penyakit dan pengobatan. Sedangkan pelayanan
pengembangan meliputi pelayanan kesehatan lansia, kesehatan indra,
kesehatan gigi dan mulut, kesehatan indra, kesehatan batra dan kesehatan
perawatan kesehatan masyarakat.
Jaringan puskesmas meliputi satu puskesmas pembantu di kelurahan
tukan kayu, satu puskesmas keliling serta lima poskeskel di lima kelurahan yaitu
Penganjuran, Taman Baru, Kebalenan, Sumberrejo dan Pakis.
Selain jaringan puskesmas, terdapat jejaring yang meliputi satu rumah
bersalin, tiga belas dokter praktek swasta, enam belas bidan praktek , enam
praktek perawat dan satu klinik swasta.
Adapun Rumah sakit sebagai rujukan adalah Rumah Sakit Blambangan
Banyuwangi yang jaraknya ± 5 Km, Rumah sakit yasmin ± 6 km, Rumah sakit
Islam ± 7 km dan rumah sakit Fatimah denan jarak ± 3 km.

V.2. Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM)


Pemerintah baik pusat maupun daerah tidak akan menanggulangi masalah
kesehatan sendirian, tetapi harus didukung oleh segenap lapisan masyarakat.
Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
berbagai upaya dilakukan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang
ada di masyarakat. Langkah tersebut tercermin dalam pengembangan sarana
Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM). UKBM di antaranya
terdiri dari Pos Pelayanan Terpadu (Poyandu), Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) di Desa Siaga, Tanaman Obat Keluarga (Toga) dan Pos Obat Desa
(POD).
Pengertian Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan
dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan.
Tujuan Posyandu Tujuan posyandu antara lain: Menurunkan angka kematian
bayi (AKB), angka kematian ibu (ibu hamil), melahirkan dan nifas,
Membudayakan NKBS, Meningkatkan peran serta masyarakat untuk

37
mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB serta kegiatan lainnya yang
menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera, Berfungsi sebagai
wahana gerakan reproduksi keluarga sejahtera, gerakan ketahanan keluarga
dan gerakan ekonomi keluarga sejahtera. Kegiatan Pokok Posyandu : KIA, KB,
Imunisasi, Gizi, Penanggulangan diare
Untuk mengukur kemandirian posyandu dilakukan pengukuran/strata
telaah kemandirian Posyandu yang diukur setiap 6 bulan sekali . Posyandu
dikatakan aktif apabila memenuhi target purnama dan mandiri (Puri). Dari hasil
telaah kemandirian posyandu pada tahun 2015 dari 76 posyandu balita yang ada
di puskesmas dikategorikan posyandu pratma 0, posyandu madya 12 (15,7 %),
purnama 53 (69.7%) dan mandiri sejumlah 11 (14.4%). Dari jumlah tersebut
yang termasuk kategori aktif (purnama dan mandiri) sejumlah 63 (82.9 %)
posyandu.
Poskeskel merupakan upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat
yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan penyediaan pelayanan
kesehatan dasar bagi masyarakat desa untuk mempermudah akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan. Kegiatan utama poskesdes yaitu pengamatan
dan kewaspadaan dini (surveilans, lingkungan dan masalah kesehatan lainnya),
penanganan kegawatdaruratan kesehatan dan kesiapsiagaan terhadap bencana
serta pelayanan kesehatan. Selain itu juga mencakup pertolongan persalinan
dan pelayanan KIA. Poskesdes merupakan salah satu indikator sebuah desa
disebut desa siaga. Dari 7 kelurahan di wilayah puskesmas semua telah ada
poskeskelnya kecuali kelurahan tukan kayu karena sudah terdapat Pustu dan
Kelurahan Sobo sudah terdapat Puskesmas Induk. Desa dan Kelurahan Siaga
Aktif merupakan salah satu indikator dalam Standar Pelayanan Minimal Bidang
Kesehatan di Kabupaten dan Kota. Target yang harus dicapai pada tahun 2015
adalah 80% desa dan kelurahan yang ada di Indonesia telah menjadi Desa dan
Kelurahan Siaga Aktif.
Desa Siaga Aktif merupakan pengembangan dari Desa Siaga, yaitu Desa atau
Kelurahan yang :
1. Penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar
yang memberikan pelayanan setiap hari melalui Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti,
Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu (Pustu), Pusat Kesehatan
Masyarakat (Puskesmas), atau sarana kesehatan lainnya.
2. Penduduknya mengembangkan Usaha Kesehatan Bersumberdaya
Masyarakat (UKBM) dan melaksanakan survailans berbasis

38
masyarakat (meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi,
lingkungan dan perilaku), kedaduratan kesehatan dan penanggulangan bencana,
serta penyehatan lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
Dari hasil pendataan strata Desa siaga aktif tahun 2015 didapatkan 7 kelurahan
(100%) aktif. Desa siaga aktif terdiri dari 5 (77,7%) aktif kembang dan 2 ( 22,3 %)
paripurna.
V.3 TENAGA KESEHATAN
1. Persebaran dan Jumlah Tenaga Kesehatan
Pembangunan kesehatan berkelanjutan membutuhkan tenaga kesehatan
yang memadai baik dari segi jumlah maupun kualitas. Tenaga kesehatan yang
berkualitas diiringi dengan pendidikan yang berkualitas pula sehingga
menghasilkan tenaga kesehatan yang profesional dalam bidangnya.
Persebaran ketersediaan tenaga kesehatan baik yang bekerja di sektor
pemerintah maupun swasta perlu diketahui agar pendistribusian ketenagaan di
masing-masing pelayanan kesehatan dapat terkoordinir.
Adapun jumlah SDM Kesehatan dibedakan menurut 9 kelompok yaitu
medis sebanyak 18 orang, keperawatan sejumlah 9 orang, Kebidanan 21
orang, farmasi sejumlah 13 orang, gizi 5 orang, sanitasi sebanyak 36 orang,
kesehatan masyarakat sebanyak 3 orang.
2. Rasio Tenaga Kesehatan Terhadap Penduduk
Jumlah, persentase dan rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk
menurut jenisnya disajikan pada tabel di bawah ini
Jenis STANDAR
N Rasio/ KONDISI KESENJA
Tenaga PUSKESMA
O SAAT INI NGAN
Kesehatan 100000 S
Jumlah
Penduduk 100000 46895
Dokter
1 Umum 45 21 13 8
2 Dokter Gigi 13 6 6
3 Perawat 180 84 12 72
4 Bidan 120 56 21 35
Perawat
5 Gigi 18 8 2 6
Ass.
6 Apoteker 24 11 13
7 SKM 16 8 5 3
8 Sanitarian 18 8 2 6
9 Nutrisionis 18 8 1 7
JUMLAH 75 139

39
V.4. Pembiayaan
1. APBD-Kabupaten
Pembiayaan Upaya kesehatan Masyarakat yang berasal dari APBD-
Kabupaten Banyuwangi merupakan belanja langsung dalam bentuk kegiatan
Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Banyuwangi ( JPKMB) yang
berjumlah Rp. 195.504.00,00 ( seratus Sembilan puluh lima lima ratus empat
ribu rupiah), Anggaran yang terserap 94.42 % atau 166.860.883,00 ( seratus
enam puluh enam delapan ratus enam puluh ribu rupiah).

2. DANA BANTUAN OPERASIONAL KESEHATAN (BOK)


Dana Bantuan Operasional (BOK) merupakan bantuan pemerintahan pusat
kepada pemerintah daerah dalam melaksanakan SPM Bidang kesehatan
untuk mencapai MDGs bidang kesehatan tahun 2015 melalui peningkatan
kinerja Puskesmas dan jaringannya sera Poskeskel dan Posyandu dalam
meyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif dan preventif.
Pemanfaatan dana BOK tersebut berdasarkan hasil perencanaan yang yang
disepakati dalam Lokakarya Mini Puskesmas yang di selenggarakan secara
rutin/ periodic sesuai kondisi wilayah kerja puskesmas.
Puskesmas Sobo mendapatkan alokasi dana sebesar Rp. 151.205.000,00
(seratus lima puluh satu juta dua ratus lima ribu rupiah) yang di manfaatkan
100 % dalam upaya peningkatan kinerja puskesmas dan jaringannya. Alokasi
tersebut 66 % ( Rp.99.877.500,00) di gunakan untuk pelayanan prioritas, 24 %
(Rp. 36.337.500,00) kegiatan penunjang kesehatan, 10 % (Rp. 15.057.500,00)
manajemen kesehatan.

3. Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional


Dana kapitasi jaminan nasional merupakan anggran dari hasil pelayanan
kesehatan di puskesmas terhadap peserta JKN. Dana yang di serap untuk
jasa pelayanan kesehatan 671.110.200,00 (enam ratus tujuh puluh satu
seratus sepuluh ribu dua raus rupiah), operasional puskesmas Rp.
140.047.900, 00 ( seratus empat puluh empat puluh tujuh ribu Sembilan ratus
rupiah) sedangkan untuk obat dan pengadaan alat dan bahan kesehatan di
karenakan penadaan melalui dinas kesehatan masih terserap Rp.
125.007.393,00 ( seratus dua puluh lima tujuh ribu tia ratus Sembilan puluh tia
rupiah).

40
BAB VI
PENUTUP

Perencanaan suatu kegiatan sangat penting dan menentukan suatu


keberhasilan program. Dan perencanaan harus dibuat berdasarkan pada data yang
valid dan up to date. Data dan Informasi kesehatan merupakan salah satu aspek
terpenting bagi pimpinan organisasi dalam mengambil kebijakan dalam pelaksanaan
manajemen, maka penyediaan data dan informasi yang berkualitas sangat
diperlukan.
Di bidang kesehatan, data dan informasi ini diperoleh melalui
penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan. Salah satu output utama Sistem
Informasi Kesehatan adalah berupa Profil Kesehatan yang merupakan paket yang
disajikan dalam bentuk kumpulan informasi yang sangat penting, karena dibutuhkan
oleh berbagai pihak baik jajaran kesehatan sendiri, lintas sektor, maupun
masyarakat.
Profil Puskesmas Sobo juga dapat menjadi salah satu bahan untuk menilai
pencapaian program. Dengan adanya penyajian data dan informasi dalam
puskesmas dalam bentuk narasi dan lampiran, dapat digunakan untuk mengambil
langkah-langkah perbaikan dalam setiap program, sehingga hasilnya dapat lebih
dirasakan oleh masyarakat dalam bentuk pelayanan yang bermutu dan terjangkau.

41

Anda mungkin juga menyukai