Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah
“Tauhid Mulkiyah”.
Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya pembahasan, maka dalam
makalah ini masalahnya dibatasi pada :
1. Definisi tauhid mulkiyah beserta dalilnya.
2. Pemimpin(wali) beserta ciri-ciri nya.
3. Pembuat Hukum.
4. Pemerintah beserta fungsinya.
5. Perbedaan Pandangan Mengenai Pembagian Tauhid Mulkiyah/ Hakimiyah

C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan atau penyusunan makalah Pendidikan agama Islam ini
tentang Tauhid Mulkiyah terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum dalam penulisan atau penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas kelompok mata kuliah Pendidikan Agama Islam, dan tujuan khusus dari penulisan makalah
ini adalah untuk membahas tentang Tauhid Mulkiyah yang terdiri dari beberapa sub bab,yaitu:
1. Definisi tauhid mulkiyah beserta dalilnya.
2. Pemimpin(wali) beserta ciri-ciri nya.
3. Pembuat Hukum.
4. Pemerintah beserta fungsinya.
5. Perbedaan Pandangan Mengenai Pembagian Tauhid Mulkiyah/ Hakimiyah

D.Metode Penulisan
Data yang dikemukakan dalam Makalah ini diperoleh melalui membaca dalam situs situs
google.

E. Sestimatika Penulisan
Sistematika penyusunan makalah ini dibagi menjadi tiga bagian utama, yang selanjutnya
dijabarkan sebagai berikut :
Bagaian pertama adalah pendahuluan. Dalam bagian ini penyusun memeparkan beberapa
Pokok permasalahan awal yang berhubungan erat dengan permasalah utama. Pada bagian
pendahuluan ini di paparkan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, sestimatika penulisan.
Bagian Kedua yaitu pembahasan. Pada bagian ini merupakan bagaian utama yang hendak
dikaji dalam proses penyusunan makalah.
Bagian ketiga yaitu Kesimpulan. Pada Kesempatan ini penyusun berusaha untuk
mengemukakan terhadap semua permasalahan-permasalahan yang dikemukakan oleh penyusun
dalam perumusan masalah.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Tauhid Mulkiyah

Yaitu mentauhidkan Allah dalam mulkiyahnya bermakna kita mengesakan Allah terhadap
pemilikan, pemerintahan dan penguasaanNya terhadap alam ini. Dialah Pemimpin, Pembuat
hukum dan Pemerintah kepada alam ini. Hanya landasan kepemimpinan yang dituntut oleh Allah
saja yang menjadi ikutan kita. Hanya hukuman yang diturunkan oleh Allah saja menjadi pakaian
kita dan hanya perintah dari Allah saja menjadi junjungan kita.

Dalil:
Katakanlah (wahai Muhammad) : “Wahai Tuhan yang mempunyai kuasa pemerintahan,
Engkaulah yang memberi kuasa pemerintahan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan
Engkaulah yang mencabut kuasa pemerintahan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah
juga yang memuliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkaulah yang menghina siapa yang
Engkau kehendaki. Dalam kekuasaan Engkaulah saja adanya segala kebaikan. Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
[Ali Imran : 26]

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al Maidah : 50]

Tauhid Mulkiyah menuntuk adanya ke-wala-an secara totalitas kepada Allah, Rasul dan Amirul
Mukmin (selama tidak bermaksiat kepada Allah SWT)

2. Pemimpin(wali)

Wali adalah sebagian dari sifat-sifat mulkiyatullah. Ia membawa arti sifat penguasaan yaitu
sebagai pelindung, penolong dan pemelihara.

“Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an, dan Dia lah
jua yang menolong dan memelihara orang-orang yang berbuat kebaikan.” [Al A’raaf : 50]

"Ciri Seorang Pemimpin Islam" (Menurut Al-Qur'an & Hadis)


1)Taat Kepada Allah & RasulNya;
Firman Allah Ta'ala:
‫اليحبالكافرون هللاا تولوافان فان والرسول اطيعوهللاا قل‬
"Katakanlah:Taatilah Allah dan RasulNya jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir".(Ali-Imran:32)

‫مؤمنين كنتم ان ورسوله واطيعوهللاا‬


"Dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu adalah orang-orang yang beriman".

(Maksud)
"Sesungguhnya jawapan orang-orang Mukmin apabila mereka diajak kepada Allah dan RasulNya agar
Rasul menghukum di antara mereka ialah ucapan‫سمعناواطعنا‬:"Kami dengar dan kami patuh".(An-Nur:51)

2)Beriman Dan Beramal Sholih;


Firman Allah Ta'ala:
‫خيرالبرية هم اولئك امنواوعملواالصالحات الذين ان‬
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal sholih,mereka itulah sebaik-baik makhluk".(Al-
Bayyinah:7)

(Maksud)
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
RasulNya,kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada
Allah,mereka itulah orang-orang yang benar".(Al-Hujurat:15)

(Maksud)
"Sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholih
dan nasihat-menasihati dengan kebenaran dan nasihat-menasihati dengan kesabaran".(Al-Ashr:1-3)

3)(Di Lihat)Bersholat;
(Maksud)Sabda Nabi s.a.w:
"Kelak akan memerintah pembesar-pembesar yang kebijaksanaannya ada yang kamu kenal baik dan tak
baik.Maka siapa membenci yang tidak baik lepaslah dia daripada dosa,bahkan sesiapa mengingkarinya
selamatlah dia.Tetapi sesiapa yang rela bahkan mengikuti yang tidak baik maka berdosalah ia".Sahabat
bertanya bolehkah membunuhnya?Nabi jawab:"Tidak,selagi bersholat".(HR.Muslim 4/1820)

4)Takut Kepada Allah S.W.T;


Firman Allah Ta'ala:
‫مايؤمرون ويفعلون فوقهم من ربهم يخافون‬
"Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa di atas mereka dan melaksanakan apa yang
diperintahkan".(An-Nur:50)

5)Memimpin Dengan Kitabullah Dan Sunnah Nabi s.a.w;


‫وأطيعوا اسمعواله هللاا بكتاب عبديقودكم عليكم ولواستعمل‬
"Sekalipun hanya seorang hamba yang dijadikan pemimpin yang memerintah kamu tetapi sesuai dengan
kitabullah maka hendaklah kamu dengar dan mentaatinya".(HR Muslim no.1838)

‫الكافرون هم فاولئك هللاا بماانزل يحكم لم ومن‬


"Dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah,maka mereka itulah
orang-orang kafir".(QS.Al-Maidah:44)

‫الفايقون هم فاولئك هللاا بماانزل يحكم لم ومن‬


"Sesiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itulah orang yang
fasik".(Al-Maidah:47)
Rasulullah s.a.w mendoakan Kaab b. Ujrah:"semoga Allah memelihara kamu dari era pemerintahan yang
bodoh".Kaab bertanya apakah pemerintahan bodoh itu?Nabi jawab:"Mereka ialah pemerintah yang
datang selepasku tetapi tidak mengikut jejak dan tidak mengikut sunnahku.Sesiapa yang membenarkan
penipuan mereka,mendokong kezaliman mereka maka mereka itu bukan daripada kalanganku dan aku
juga bukan daripada kalangan mereka dan mereka tidak menemuiku di telaga Kautsar.Sesiapa yang tidak
terpengaruh dengan penipuan mereka dan tidak menyokong kejahatan mereka maka mereka termasuk
daripada kalanganku dan aku juga daripada kalangan mereka dan mereka ini akan menemuiku di telaga
Kautsar.(HR.Ahmad,Ibnu Hibban:1723,shahih oleh Al-Albani,Tarhghib wa Tarhib:2242)

6)Adil;
Firman Allah Ta'ala:
‫واالحسان يأمربالعدل هللاا ان‬
"Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan".(An-Nur:90)

(Maksud)Sabda Nabi s.a.w:


"Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil akan berada di atas panggung cahaya di sebelah kanan
Allah azza wa jalla,kedua-dua sisi itu baik keadaan dan kedudukannya,iaitu orang-orang yang berlaku
adil dalam hukum,adil pada keluarga dan adil dalam tugas yang dikuasakan kepada mereka.(HR.Muslim
4/1794)

7)Memerintah Kepada Ketaatan Dan Kebaikan;


Sabda Nabi s.a.w:
‫المعروف انماالطاعةفي‬
"Sesungguhnya ketaatan itu hanyalah pada sesuatu yang makruf(perkara yang baik pada
syara')(HR.Muttafaq 'alaih)

‫والطاعة فإذاأمربمعصيةفالسمع‬
"Maka jika diperintahkan berbuat maksiat,maka ia tidak wajib dengar dan taat".(HR.Muttafaq 'alaih)

(Maksud)Rasulullah s.a.w bersabda:


"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi dan tidak juga mengangkat seorang Khalifah melainkan ada dua
orang kepercayaan yang dekat dengannya.Orang pertama menyuruh untuk berbuat baik dan mendorong
untuk melakukannya,dan orang kedua menyuruh berbuat jahat dan mendorong untuk
melakukannya".(HR.Bukhori 1/501)

8)Tidak Mengkhianati(Amanah);
Firman Allah Ta'ala:
‫تعلمون وانتم وتخونوااماناتكم والرسول امنواالتخونوهللاا ياايهاالذين‬
"Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu sedang kamu mengetahuinya".(Al-
Anfal:27)

9)Menipu/Membohong;
Firman Allah Ta'ala:
‫اثيم افاك لكل ويل‬
"Kecelakaan besarlah bagi tiap-tiap orang berdusta lagi banyak berdosa".(Al-Jaatiyah:7)

Sabda Nabi s.a.w(maksud):


"Tidak ada seseorang hamba yang dipercayai Allah kepadanya memimpin rakyatnya kemudian dia mati
sedangkan pada hari kematiannya dia menipu rakyat,nescaya Allah mengharamkan Syurga
kepadanya".(HR.Muslim 4/1797)

10)Benar;
Firman Allah Ta'ala:

‫الصادقين وكونوامع امنوااتقوهللاا ياايهاالذين‬


"Hai orang-orang yang beriman,bertaqwalah kepada Allah,dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yang benar".(At-Taubah:119)

‫باالسحار والمستغفرين والمنفقين والقانتين والصادقين الصابرين‬


"(Iaitu) Orang-orang yang sabar dan yang benar dan yang taat dan yang menafkahkan hartanya dan yang
memohon ampun di waktu sahur".(Ali-Imran:17)

11)Berilmu;
Firman Allah Ta'ala:
‫بغيرعلم ظلموااهواءهم الذين اتبع بل‬
"Akan tetapi orang-orang zalim mengikut hawanafsu tanpa ilmu".(Ar-Rum:29)

Sabda Nabi s.a.w:


‫فانتظرالساعة غيرأهله إذاوسداألمرإلى‬
"Apabila urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah terjadinya qiamat".(HR.Bukhori
no.6496)

12)Tidak Zalim;
Firman Allah Ta'ala:
‫لهم قيلل ظلمواقوالغيرالذى الذين فبدل‬
"Lalu orang-orang yang zalim mengganti perintah dengan yang tidak diperintahkan kepada
mereka".(QS.Al-Baqarah:59)

‫الظالمون هم فاولئك يتعدحدودهللاا ومن‬


"Sesiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka mereka itulah orang yang zalim".(Al-Baqarah:229)

‫الظالمون هم فاولئك هللاا بماانزل يحكم لم ومن‬


"Sesiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itulah orang yang
zalim".(Al-Maidah:45)

‫النار ظلموافتمسكم الذين والتركنواالى‬


"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api
Neraka".(QS.Hud:113

Sabda Nabi s.a.w:


‫منهم كون أن شرالرعاءالحطمةفإياك ان‬
"Sesungguhnya sejahat-jahat pemimpin adalah pemimpin yang zalim.Maka janganlah kamu termasuk
daripada golongan mereka".(HR.Muttafaq'alaih)

13)Tidak Melampau Batas;


Firman Allah Ta'ala:
‫والتطيعواامرالمسرقين‬
"Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melampau batas".(Asy-Syu'ara:151)

14)Tidak Menyesatkan;
Firman Allah Ta'ala:
‫ربنااتهم‬،‫لعناكبيرا والمنهم العذاب من ضعفين وقالواربناانااطعناسادتناوكبراءنافاضلوناالسبيالذ‬
"Dan mereka berkata:'Ya Tuhan kami,sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami lalu mereka menyesatkan kami dari jalan(yang benar).Ya Tuhan
kami,timpakanlah azab kepada mereka azab dua kali ganda dan laknatlah mereka dengan laknat yang
besar".(Al-Ahzab:67-68)

15)Mengutamakan(agama) Keimanan;
Firman Allah Ta'ala:
‫الظالمون هم فاولئك منكم يتولهم ومن االيمان استحبواالكفرعلى اولياءان واخوانكم امنواالتتخذوااباءكم ياايهاالذين‬
"Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu jadikan bapa-bapa kamu dan dan saudara-saudara kamu
sebagai pemimpin-pemimpin(pelindung) sekiranya mereka mengutamakan kekafiran atas keimanan dan
sesiapa yang menjadikan mereka pemimpin kamu maka mereka itu adalah orang yang zalim.(At-
Taubah:23)

16)Tidak Mengutamakan Kenikmatan Dunia;


Firman Allah Ta'la:
‫وكانوامجرمين ظلموامااترفوافيه الذين واتبع‬
"Dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka dan
mereka itu adalah orang-orang yang berdosa".(Hud:116)

17)Tidak Mementingkan Diri Sendiri(Mementingkan Rakyat);


Sabda Nabi s.a.w:
‫اثرةوامورتنكرونها بعدى انهاستكون‬
"Sepeninggalanku nanti akan ada pembesar-pembesar negara yang mementingkan diri sendiri dan
bertindak dengan tindakkan yang tidak kamu sukai".(HR.Muslim 4/1811)

18)Berjasa Kepada Manusia;


Sabda Nabi s.a.w:
‫اليه يؤتى ان يحب الذى الناس الى االخروليأت واليوم باهلل وهويؤمن منيته الجنةفلتأته النارويدخل عن يزحزح ان احب ومن‬
"Sesiapa yang ingin bebas daripada Neraka dan mahu masuk ke Syurga,maka hendaklah ia menemui
kematiannya dalam beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah ia berjasa kepada umat manusia
sesuai dengan yang diinginkan oleh mayarakat itu.(HR.Muslim 4/1812)

19)Tidak Mempersulitkan;
Dari Aisyah r.a berkata:Aku mendengar Rasulullah s.a.w berdoa di rumahku,katanya:
‫فارفقبه بهم شيئافرفق امرامتى من ولى ومن عليه فاشقق عليهم شيئافشق امرامتي من ولى من اللهم‬
"Ya Allah,sesiapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan umatku lalu dia mempersulitkan
urusan mereka maka persulitkanlah pula dia,dan sesiapa yang menjabat suatu jabatan lalu dia berusaha
menolong mereka maka tolonglah dia".(HR.Muslim 4/1795)

20)Sombong;
Firman Allah Ta'ala:

‫ظلماوعلوا وجحدواستيقنتهاانفسهم‬
"Dan mereka mengingkarinya kerana kezaliman dan kesombongan(mereka) padahal hati mereka
meyakini(kebenaran)nya".(An-Naml:14)

‫مختاالفخور كان اليحبومن هللاا ان‬


"Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri".(An-
Nisa':36)

21)Tidak Mengharap Dan Meminta-Minta Jawatan(Pemimpin);


Sabda Nabi s.a.w;

‫عليه والاحداحرص احداساله علهذاالعمل على النولى اناوهللاا‬


"Demi Allah,aku tidak akan mengangkat seseorang untuk memangku pekerjaan ini(jawatan) kepada
seseorang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang mengharapkannya".(Muttafaq 'alaih)

(Maksud)
Sedangkan pekerjaan itu(jawatan) adalah amanah yang pada hari qiamat kelak dipertanggungjawabkan
dengan risiko yang penuh kehinaan dan penyesalan,kecuali bagi orang yang memenuhi syarat dan dapat
melaksanakan tugas yang dibebani kepadanya dengan baik".(HR.Muslim 4/1793)

22)Tidak Rasuah Dan Menerima Hadiah(Untuk kepentingan/balasan);


Sabda Nabi s.a.w:
‫والمرتشي الراشي لعن وسلم عليه هللاا صلى النبي‬
"Nabi melaknat pemberi rasuah dan penerima rasuah".(HR.Abu Daud(3580),Tirmidzi(1337),Ibnu
Majah(2313),juga diriwayatkan oleh Ahmad,IbnuHibban dan Al-Hakim)

‫فيأتينافيقول نستعمله العامل فمابال‬:‫افالقعدفى عملكم هذامن‬،‫امال له يهدى فنظرهل وامه ابيه بيت وهذااهدلى‬
"Mengapakah seseorang pegawai yang kami angkat menjalani seseuatu pekerjaan,kemudian dia datang
kepada kami lalu berkata:'Ini daripada hasil pekerjaan yang tuan serahkan kepada saya dan ini orang
hadiahkan kepada saya'.Mengapa dia tidak duduk sahaja di rumah orang tuanya dan dia tunggu(saja)
apakah ada orang(datang) memberi hadiah kepadanya atau tidak?"
(HR.Muttafaq 'alaih,Al-Lu'lu-u Wal Marjan 2:286)

23)Tidak Menggelapkan Harta/Wang Rakyat(Negara);


Sabda Nabi s.a.w:
‫القيامة يوم به غلواليأتى كان فكتمنامخيطافافوقه عمل على منكم استعملناه من‬
"Barangsiapa yang kami angkat di antara kamu memangku suatu jabatan lalu disembunyikannya terhadap
kami sebuah jarum atau yang lebih kecil daripada itu,maka perbuatannya itu adalah penggelapan.Dia akan
datang pada hari kiamat membawa barang yang digelapkannya itu".(HR.Muslim 4/1801)

24)Memakmurkan Rakyat/Negara;
Sabda Nabi s.a.w:
‫الجنة معهم يدخل االلم وينصح اليبهدلهم ثم امرامسلمين اميريلى مامن‬
"Tidak seorang pun Amir yang menguasai atau memerintah kaum Muslimin,tetapi dia tidak berjuang
dengan sungguh-sungguh dan tidak memberikan pengarahan untuk kemakmuran(kecukupan/keperluan)
mereka,nescaya Allah tidak membolehkannya bersama-sama mereka ke Syurga".(HR.Muslim 4/1798)

25)Tidak Mengikut Hawa Nafsu;


Firman Allah Ta'ala:
‫فرطا امره وكان هوىه ذكرناواتبع عن اغفلناقلبه من والتطع‬
"Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan daripada mengingat Kami dan
menuruti hawa nafsunya serta urusannya itu melampau batas".(Al-Kahfi:28)

‫فمثله واتبع االض اخلدالى ولكنه‬،‫ان كمثل هوىه‬،‫يلهث اوتتركه يلهث عليه تحمل الكلب‬
"Dan tetapi dia cenderung kepada hawa nafsunya yang rendah,maka perumpamaannya seperti anjing jika
kamu menghalaunya dihulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menghulurkan
lidahnya(juga)".(Sl-A'araf:176)

3. Pembuat Hukum

Hakiman atau pembuat hukum juga adalah sebahagian dari sifat mulkiyatullah. Ia mesti
diikhtiraf oleh manusia dan tunduk hanya kepada hukum-hukum yang telah diturunkan olehNya
saja karena hak mencipta hukum itu hanya terhadap kepada Allah semata-mata. “Apa yang kamu
sembah, yang lain dari Allah, hanyalah nama-nama yang kamu menamakannya, kamu dan datuk
nenek kamu, Allah tidak pernah menurunkan sembarang bukti yang membenarkannya.
Sebenarnya hukum (yang menentukan amal ibadat) hanyalah bagi Allah. Ia memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah melainkan Dia. Yang demikian itulah agama yang betul, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Yusuf : 50]

Pembahasan mengenai siapakah pembuat hukum merupakan pembahasan terpenting dan


mendesak untuk dijelaskan. Karena dari sinilah pembahasan mengenai hukum dengan berbagai
ragam dan klasifikasinya itu kemudian bisa dijelaskan. Al-Hâkim dalam konteks ini bukanlah
pemegang kekuasaan yang akan menerapkan segala hal dengan kekuasaan yang ada ditangannya,
melainkan sumber yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan (al-af'âl) dan benda (al-
asyyâ'). Karena yang ada di muka bumi ini tidak lain selain dua hal di atas, yakni benda atau
perbuatan.
Oleh karena manusia telah menjadi objek pembahasan di dunia ini, maka keluarnya
hukum itu tidak akan terlepas dari dan dalam rangka mengatur manusia. Dengan demikian, harus
ada hukum yang mengatur perbuatan manusia dan benda yang mempunyai kaitan dengan
perbuatannya. Lalu, siapakah zat satu-satunya yang berhak mengeluarkan hukum tersebut;
manusia ataukah Allah? Atau dengan kata lain, apakah syara' ataukah akal?

Jawaban atas pertanyaan di atas sebenarnya tidak terlepas dari perdebatan mengenai al-
hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela). Alasannya, karena pembahasan mengenai keluarnya
hukum esensinya merupakan pembahasan mengenai sikap manusia untuk menentukan
perbuatan; apakah harus dilaksanakan, ditinggalkan atau dipilih, baik untuk dilaksanakan
ataupun ditinggalkan. Pada waktu yang sama sikap manusia terhadap perbuatan tersebut
ditentukan oleh pandangannya mengenai sesuatu, apakah al-hasan (terpuji), al-qabîh (tercela),
ataukah tidak al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela)? Dengan kata lain, pembahasan mengenai
zat yang berhak mengeluarkan hukum ini sebenarnya merupakan pembahasan tentang tahsîn
(penentuan terpuji) dan taqbîh (penentuan tercela).[1] Dengan demikian, pembahasan mengenai
hukum (keputusan) yang dibutuhkan sebenarnya adalah pembahasan mengenai al-hasan (terpuji)
dan al-qabîh (tercela). Lalu apakah hukum al-hasan (terpuji) dan al-qabîh (tercela) tersebut
tunduk pada akal atau syara'? Inilah yang perlu dibahas. Ini dengan anggapan, bahwa tidak ada
hukum yang tunduk pada selain kedua hal di atas.

Sedangkan hukum perbuatan dan benda pada dasarnya bisa dilihat berdasarkan tiga
perspektif yang berbeda. Pertama, hukum perbuatan dan benda dari realitas substansialnya.
Kedua, keserasian dan tidaknya dengan tabiat dan kecenderungan fitrah manusia. Ketiga,
keterpujian dan ketercelaannya, atau pahala dan dosa. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa hukum
perbuatan dan benda dari realitas substansial serta keserasian dan tidaknya dengan
kecenderungan fitrah manusia memang tunduk kepada akal manusia. Karena selain syara' tidak
mengaturnya, akal memang mampu melakukannya. Misalnya, bodoh, kurang dan miskin adalah
qabîh (buruk), sementara pandai, sempurna dan kaya adalah hasan (baik). Adapun yang
berhubungan dengan benda, misalnya, gula dianggap hasan dan racun disebut qabîh. Karena itu,
jika perbuatan dan benda tersebut dilihat dari realitas substansial serta keserasian dan tidaknya
dengan fitrah manusia jelas bisa dihukumi dengan akal.

Akan tetapi pada aspek yang ketiga, yakni aspek keterpujian dan ketercelaan serta pahala
dan dosa, hukum perbuatan dan benda tersebut tidak tunduk kepada akal manusia, selain tunduk
dan patuh kepada syara'. Misalnya, keterpujian iman, taat dan dusta di medan perang, serta
ketercelaan kufur, maksiat dan dusta terhadap rezim kufur di luar medan peperangan adalah
contoh-contoh yang tidak bisa diputuskan oleh akal manusia.[2]

Di sinilah persoalannya, ketika penilaian terhadap al-hasan (terpuji) dan al-qabîh


(tercela) perbuatan dan benda tersebut tidak diklasifikasikan; antara mana yang tunduk pada akal
dan tidak. Akibatnya, penilaian tersebut menjadi kacau. Ini terlihat dengan jelas dalam
perdebatan ulama' kalam dan ushul fiqih. Mazhab Mu'tazilah, sebagaimana yang dikutip oleh
Abd al-Karîm Zaydân dan Muhammad Husayn Abdullâh, menyatakan bahwa perbuatan dan
benda bisa dinilai al-hasan dan al-qabîh secara substanstif (zhâti). Menurut mereka, akal
berperan mengenali al-hasan dan al-qabîh perbuatan dan benda melalui sifat masing-masing,
atau konsekuensi manfaat dan mudaratnya. Maka, apa yang dipandang al-hasan oleh akal,
menurut mereka, di mata Allah juga al-hasan, dan demikian sebaliknya. Pandangan ini bertolak
belakang dengan pandangan mazhab Ahlussunnah-Asy'ariyyah, yang menyatakan bahwa
perbuatan dan benda tidak bisa dinilai al-hasan dan al-qabîh secara substanstif (zhâti).
Menurutnya, penilaian al-hasan dan al-qabîh tersebut harus bersumber dari perintah pembuat
syariat, bukan substansi perbuatannya. Sementara Ahlussunnah-Mâturidiyyah dan mayoritas
Hanafiyyah menyatakan, bahwa perbuatan dan benda bisa dinilai al-hasan dan al-qabîh
berdasarkan sifat-sifatnya serta maslahat dan mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkannya. [3]

Inilah kompleksitas pembahasan mengenai al-hasan dan al-qabîh. Tetapi, setelah


persoalan tersebut berhasil diurai dan diklasifikasikan sebagaimana ketiga kategori di atas, maka
persoalan al-hasan dan al-qabîh ini menjadi jelas. Kongklusinya, al-hasan dan al-qabîh ada
yang bisa ditentukan oleh akal, ketika yang dinilai adalah realitas substansial perbuatan atau
benda, serta keserasian dan tidaknya perbuatan dan benda tersebut dengan kecenderungan fitrah
manusia. Namun, penilaian terhadap perbuatan dan benda yang berkaitan dengan konsekuensi
pahala dan dosa, atau keterpujian dan ketercelaannya, sama sekali tidak bisa ditentukan oleh akal
manusia. Maka, dalam hal ini hanya Allahlah satu-satunya zat yang bisa menentukan status ke-
hasan-an dan ke-qabîh-an perbuatan dan benda tersebut.

Mengenai kasus yang terakhir ini, bisa diajukan dua argumentasi. Pertama, secara
rasional, realitas yang terakhir ini tidak bisa dijangkau oleh indera manusia. Karena tidak bisa
dijangkau oleh indera manusia, maka status ke-hasan-an dan ke-qabîh-an realitas tersebut tidak
bisa ditentukan oleh akal manusia. Jika penilaian tersebut tetap diserahkan kepada manusia,
manusia pasti akan menentukannya berdasarkan kecenderungannya; jika perbuatan dan benda
tersebut sesuai dengan kecenderungannya, pasti akan dinilai al-hasan, dan dinilai al-qabîh jika
sebaliknya. Akibatnya penilaian manusia terhadap perbuatan dan benda tersebut tunduk kepada
hawa nafsu atau tendensi pribadi, bukan tunduk kepada apa yang seharusnya digunakan untuk
menilai. Jika ini terjadi, penilaian terhadap perbuatan dan benda dinyatakan al-hasan dan al-
qabîh tersebut akan beragam seiring dengan keberagaman manusia dan zamannya. Hal ini terjadi
karena tidak ada seorang pun yang mampu membuat hukum yang tetap sepanjang zaman. Karena
itu, penilaian, keputusan dan hukum tersebut harus berasal dari Allah SWT. Bukan dari yang
lain.

Kedua, secara syar'i, syara' telah menetapkan bahwa penentuan al-hasan dan al-qabîh
harus tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya, sebaliknya syara' telah melarang pengambilan hukum
(keputusan) yang didasarkan kepada hawa nafsu. Firman Allah SWT:

ِ ‫ق َوه َُو َخي ُْر ا ْل َف‬


{ َ‫اص ِلين‬ َّ َ‫} إِ ِن ا ْل ُح ْك ُم إِالَّ ِ ََّلِلِ يَقُصُّ ا ْلح‬
Sekali-kali keputusan hukum itu hanya di tangan Allah; Dialah zat yang Maha Memutuskan
kebenaran, sedangkan Dialah sebaik-baik Pemberi keputusan. (QS. al-An'âm [6]: 57).
{ ‫َّللاُ َوالَ تَت َّ ِب ْع أ َ ْه َوا َء ُه ْم‬
َّ ‫} َوأ َ ِن احْ ُك ْم بَ ْينَ ُه ْم ِب َما أ َ ْن َز َل‬
Hendaklah kamu hukumi (perkara) di antara mereka berdasarkan apa yang diturunkan oleh
Allah, dan janganlah kamu (Muhammad) mengikuti hawa nafsu mereka. (QS. al-Mâidah [5]:
49).

Lebih tegas lagi Allah SWT. berfirman:

َ ‫سى أَ ْن ت ُِح ُّبوا‬


‫ش ْيئًا‬ َ ‫ع‬ َ ‫سى أ َ ْن تَك َْرهُوا‬
َ ‫ش ْيئ ًا َوه َُو َخي ٌْر لَ ُك ْم َو‬ َ ‫علَ ْي ُك ُم ا ْل ِقتَا ُل َوه َُو ك ُْر ٌه لَ ُك ْم َو‬
َ ‫ع‬ َ ‫} ُك ِت‬
َ ‫ب‬
{ َ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َوأ َ ْنت ُ ْم الَ تَ ْعلَ ُمون‬
َّ ‫َوه َُو ش ٌَّر لَ ُك ْم َو‬

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 216)

Berdasarkan uraian dan argumentasi di atas, maka bisa disimpulkan, bahwa yang
dikatakan al-hasan adalah apa saja yang dinyatakan hasan (baik dan terpuji) oleh syara',
sedangkan al-qabîh adalah apa saja yang dinyatakan qabîh (buruk dan tercela) oleh syara'. [5]

4. Pemerintah

Aamiran atau pemerintah satu lagi sifat mulkiyatullah yang perlu diketahui oleh setiap
muslim. Allah memiliki Arasy dan memerintah seluruh mahluk ciptaannya ini dengan ketentuan
daripadanya. Dia yang menciptakan dan Dia yang mengarahkan menurut apa yang
dikehendakiNya.

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa
lalu. Ia bersemayam di atas Arasy. Ia melindungi malam dengan siang yang mengiringinya
dengan deras (silih berganti) dan (Ia pula yang menciptakan) matahari dan bulan serta bintang-
bintang, (semuanya) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, kepada Allah jualah tertentu urusan
menciptakan (sekalian mahluk) dan urusan pemerintahan. Maha Suci Allah yang mencipta dan
mentadbirkan sekalian alam.” [Al A’raaf : 50]

Fungsi pemerintahan

Pemerintahan adalah suatu amanat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang berkesempatan


memegang tampuk pimpinannya. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Abu Dzarr ra berkata:
“Bertanya aku kepada Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, tidak dapatkah engkau memberiku
jabatan seorang wali di salah satu wilayah?”. Rasulullah seraya memukul pundakku bersabda:

‫بحقّّ ها وادّى الّذي عليه فيها‬


ّ ‫ياابا ذ ّر إنّك ضعيف وإنّها أمانة وإنّها يوم القيامة خزي وندامة إالّ من أخذها‬

“Hai Abu Dzarr, engkau adalah seorang yang lembut, sedang jabatan yang engkau minta adalah
suatu amanat yang akan merupakan penyesalan dan kehinaan di hari kiamat, kecuali bagi orang
yang dapat menegakkan haknya dan memnuhi kewajibannya”.
Dan sebagai pemegang amanat, sang penguasa dalam pemerintahan hendaklah
menyerahkan jabatan-jabatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak kepada orang-
orang yang amin dapat dipercaya dan dikenal kejujurannya, yang kuat fisik dan mentalnya dan
cakap melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Maka jika diajukan, untuk menduduki
suatu jabatan, orang yang sepatutnya diundurkan atau diundurkan seseorang yang selayaknya
menduduki suatu jabatan, maka hal itu akan mendatangkan murka Allah dan musibah-Nya.
Diriwayatkan oleh Yazid bin Sufyan bahwa Khalifah Abubakar r.a. berpesan kepadanya
tatkala mengutusnya pergi ke Syam sebagai wali: “Hai Yazid, apa yang sangat aku takutkan dari
padamu, ialah bahwa engkau akan mengutamakan sanak kerabatmu untuk didudukkan dalam
pemerintahan. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
‫ ال يقبل هللاا منه صرفا وال عدال حتّى يدخله جهنّم‬،‫من ولّى من أمر المسلمين شيئا فأ ّمر عليهم أحدا محاباة فعليه لعنة هللاا‬
“Barangsiapa menjadi wali (penguasa) bagi kepentingan umat Islam lalu mengangkat seseorang
(untuk suatu jabatan) hanya karena pilih kasih, maka laknat Allah akan menimpa atasnya dan
Allah tidak akan menerima dari padanya ibadah apapun, fardhu atau sunnah, sampai ia
dimasukkan Jahannam”.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw. bersabda:


‫من استعمل رجال على عصابة من المسلمين وفيهم من هو أرضى هلل منه فقد خان هللاا ورسوله ولمؤمنين‬
“Barangsiapa mengangkat seseorang untuk mengepalai suatu kelompok muslimin, pada hal di
antara mereka ada yang lebih diridhai oleh Allah dari orang yang diangkat itu, maka ia telah
mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan para mukminin”. (Rw. Alhakim).
Perbendaharaan negara adalah juga amanat di tangan penguasa. Ia wajib menyimpannya
di tempat yang patut, menafkahkannya untuk hal-hal dan perbelanjaan yang bermanfaat dan
berguna bagi kepentingan jamaah dan perorangan serta akan membawa kebahagiaan dan
kesejahteraan bagi ummat dan negara.

Pada suatu ketika Rasulullah saw. memegang bulu onta di tangannya seraya berkata kepada para
sahabatnya:
‫ال يح ّل لي من مالكم هذا وال هذه الوبرة‬
“Tidaklah halal bagiku walau sehelai bulu ini pun dari harta bendamu”. (Dimasksud
perbendaharaan negara).

Semua hak-hak yang sah bagi rakyat yang diperintah adalah juga amanat di pundak penguasa
yang memerintah dan bahwa ia bertanggung jawab atas pelaksanaannya yang merata sehingga
sampai kepada tiap orang secara individu. Diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
‫كلّكم راع ومسؤل عن رعيّته فاإلمام راع ومسؤل عن رعيّته‬
“Tiada orang dari pada kamu adalah penggembala dan bertanggung jawab tentang
penggembalaannya. Seorang imam adalah juga penggembala dan bertanggung jawab atas
rakyatnya”. Bersabda Rasulullah saw.:
‫مامن إمام يغلق بابه دون ذوى الحاجات والخلّة والمسكنة إالّ أغلق هللاا أبواب السّماء دون خلّته وحاجته ومسكنة‬
“Tiada seorang imam (wali penguasa) yang menutup pintunya bagi orang fakir miskin dan
orang-orang yang butuh, melainkan Allah akan menutup pintu-pintu langit bagi kebutuhan dan
kemiskinannya”. Diriwayatkan oleh Aththabarani dari Ibnu Abbas bahwa Rasululah saw.
bersabda:
‫مامن أ ّمتى أحد ولّي من أمر الملمين شيئا لم يحفظهم بما يحفظ به نفسه إالّ لم يجد رائحة الجنّة‬
“Tiada seorang dari umatku yang menjadi wali, lalu tidak menjaga mereka (rakyatnya)
sebagaimana ia menjaga dirinya, melainkan orang itu tidak akan tercium baunya syurga”.

Diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Khalifah Umar ra menulis surat kepada salah seorang
walinya bernama Utbah bin Fargat, di antaranya berbunyi: “Sesungguhnya itu (pewalian)
bukanlah hasil jerih payah ayahmu atau ibumu atau jerih payahmu sendiri, maka berilah
kepuasan kepada para muslimin sebagaimana engkau memberi kepuasan kepada dirimu sendiri
dan janganlah sekali-kali bersenang-senang dan mengenakan pakaian sutra dan gaya orang-orang
musyrik”.
Seorang penguasa bertanggung jawab terhadap keamanan wilayahnya ia harus
menjaganya agar tiap orang dari pada rakyatnya merasa aman bagi dirinya, agamanya,
kehormatannya, harta bendanya dan kebebasannya. Ia juga harus menegakkan keadilan dan
perlakuan yang sama di antara rakyat sehingga tiap orang memperoleh haknya penuh dan
sempurna. Ia juga dituntut agar melaksanakan proyek-proyek yang berguna dan bermanfaat bagi
kepentingan umum yang dapat meningkatakan kesejahteraan masyarakat seperti memperluas
lapangan kerja lewat perdagangan, perindustrian, dan pertanian. Di samping itu berkewajiban
pula meningkatkan kecerdasan rakyat lewat pengajaran dan pendidikan fisik maupun mental.
Dan tidak kurang pentingnya adalah usaha pemerintah untuk menjaga persatuan umat agar tetap
kuat menghadapi segala rongrongan dari dalam maupun dari luar serta menolak ancaman dan
penyerbu-penyerbu.

Pemerintah berkewajiban:

1. Memberi biaya dan perbelanjaan yang cukup untuk kepentingan dakwah dan penyebaran
islam agar mencapai seluruh penjuru dunnia.
2. Mengatur rencana dakwah yang rapi dan praktis dengan menggunakan cara-cara dan
sarana-sarana yang menjamin suksesnya dakwah dan meluasnya pengaruh Islam di atas
bumi Allah.

Sungguh berat beban amanat yang diemban oleh seorang penguasa dalam pemerintahan Islam.
Karena jika tidak dilaksanakan secara jujur, adil, bersih sesuai dengan tuntunan Ilahi, maka akan
merupakan penyesalan dan kehinaan di hari kiamat, sebagaimana telah disabdakan oleh
Rasulullah saw.

Tidakkah Khalifah Umar berkata tentang tanggung jawabnya yang berat sebagai penguasa:
“Demi Allah andaikan seekor onta terpeleset di Irak, karena jalan yang rusak yang belum aku
tatar, aku akut kepada Allah akan minta pertanggungan jawabku tentang kealpaan itu”.

Adalah menjadi ukuran bagi baik-buruknya suatu pemerintahan, ialah suara rakyat yang
diperintah. Pemerintah yang baik, adil dan bersih akan menimbulkan rasa puas dan hormat dalam
hati rakyat yang akan mentaati segala perintah dan undang-undangnya dengan kesadaran dan
penuh rasa disiplin. Sebaliknya pemerintah yang kotor, dzalim, kejam dan korup akan dibenci
oleh rakyat dan akan kehilangan kewibawaan, sehingga segala peraturan dan udang-undangnya
dicemoohkan dan tidak diindahkan dan apabila ada yang mentaatinya maka ia karena terpaksa
dan takut, bukan karena kesadaran sebagai rakyat yang berdisiplin dan patuh. Bersabda
Rasulullah saw.:
‫وشر أئ ّمتكم الّذين تبغضونهم ويبغضونكم وتلعنونهم‬
ّ ‫خير أئ ّمتكم الّذين تحبّونهم ويحبّونكم وتصلّون عليهم ويصلّون عليكم‬
‫ويلعنونكم‬
“Sebaik-baik pemimpin-pemimpinmu ialah mereka yang kamu cintai dan menyintai kamu, kamu
berdo’a untuk mereka dan mereka berdo’a untukmu. Dan seburuk-buruk pemimpin-pemimpinmu
ialah mereka yang kamu benci dan membenci kamu dan yang kamu laknati dan melaknati
kamu”.

5. Perbedaan Pandangan Mengenai Pembagian Tauhid Mulkiyah/ Hakimiyah

Dalam pandangan kami Tauhid Mulkiyah adalah bagian dari pada Tauhid Uluhiyah
(Pengesaan Allah dengan ibadah kepada-Nya. penj). Sebagaimana saya pernah mendengar Syekh
Muhammad bin Ibrahim, Syekh Bin Baz adalah diantara orang yang tidak mengajarkan Tauhid
Hakimiyah ini kepada orang banyak.

Dari sana banyak diantara golongan salafy saudi yang tidak mengacuhkan istilah ini dan
menganggapnya sebagai bid’ah, apakah pendapat ini benar? Kemudian bisakah Anda tunjukkan
kitab apa saja yang memuat keterangan tentang dimensi tauhid ini?

Jawab : Segala puji hanya bagi Allah Swt. semata yang mengatur alam semesta ini. Adapun yang
dimaksud dengan Tauhid Hakimiyyah adalah pengesaan Allah dalam perkara hukum dan
syari’at. Sebagaimana Allah tidak memiliki serikat dalam kekuasaanNya, dalam mengurus
berbagai urusan makhlukNya, demikian juga Allah swt tidak memiliki sekutu dalam hukum dan
pembuatan undang-undang (tasyri’). Allah adalah hakim yang paling adil, Dia memiliki
kewenangan untuk memutuskan dan memerintah, maka tidak ada sekutu bagiNya dalam
membuat hukum dan perundang-undangan. Sebagaimana Dia tidak membutuhkan sekutu dalam
kekuasaan dan mengatur urusan mahluk-Nya. Maka demikian halnya Dia Esa dalam masalah
hukum dan tasyri’.

Firman Allah :

”Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak
menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(Yusuf:40)

“dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya) , tidak ada yang dapat menolak
ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya.” (ar-Ra’d:41)

“Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”


(al-Maidah:1)

”dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (al-
Kahfi:26)

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?.” (al-Maidah:50)
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (asy-
Syura:10)

“dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang
musyrik.” (al-An’am:121)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan secara jelas dan kuat
tentang tauhid ini, dan iman seseorang tidaklah dapat dikatakan sah tanpa adanya tauhid ini.
Dalam hadits shohih disebutkan bahwa Nabi Saw.barkata:

“sesungguhnya Allah adalah hakim dan keputusan ada pada-Nya”.

Namun pertanyaannya, apakah tauhid hakimiyah ini bukan termasuk tauhid uluhiyyah
atau malah bagian tersendiri yang lain dari tauhid uluhiyyah. Saya katakan, “Tidak, Tauhid ini
bukanlah satu jenis tauhid tersendiri yang bukan bagian dari tauhid uluhiyah. Tauhid ini sudah
terkandung di dalam Tauhid Uluhiyyah. Ada juga unsur yang termasuk kedalam kategori tauhid
Rububiyyah. Dan ada juga unsurnya yang masuk ke dalam kategori Tauhid asma’ dan sifat.

Namun di saat syirik merajalela di kalangan ummat dalam bentuk memutuskan hukum
tidak sesuai dengan apa yang Allah turunkan, tetapi memutuskan hukum menggunakan undang-
undang kufur dan UU thaghut. Kondisi ini mengisyaratkan agar istilah tauhid hakimiyah ini
disebutkan tersendiri agar orang-orang melihat urgensi tauhid ini.

Tanpa adanya tauhid ini maka sesunggunya mereka belum memenuhi tuntutan tauhid
uluhiyah sebagaimana mestinya. Sebagai contoh; Anda menjumpai suatu kaum yang musyrik
dalam hal ketaatanya, kemudian Aanda berkata, “Kalian seharusnya melakukan tauhid tho’ah
(hanya taat pada Allah swt semata), dan janganlah mentaati seseorang karena dzatnya kecuali
pada Allah swt. Maka statemen Anda yang seperti ini benar dan Anda tidak boleh diingkari. Juga
tidak benar kalau dikatakan bahwa Aanda membuat sesuatu yang baru dalam masalah tauhid
yang namanya tauhid tho’ah, atau menyebut tauhid lain selain tauhid uluhiyah!!! Begitu pula
ketika Anda menjumpai suatu kaum yang telah menyekutukan Allah dengan mengangkat
tandingan-tandingan bagi Allah dalam aspek mahabbah, wala’ dan baro’ (cinta, loyalitas dan anti
loyalitas).

Saat itu Anda terpaksa menyebut tauhid Mahabbah, sebab yang layak dicintai karena
substansi (dzat)nya sendiri hanyalah Allah swt. Akan tetapi tauhid ini bukanlah jenis tauhid baru
yang bukan tauhid uluhiyah, sebagaimana statemen anda tentang tauhid mahabbah ini tidak ada
unsur yang baru apalagi bid’ah. Demikian pula jika Anda dapati orang yang menyekutukan Allah
swt dalam hal berdoa dan meminta pertolongan. Merespons sikap mereka itu Anda berkata,
“Kamu harus mengesakan Allah swt dalam doa dan permohonan. Pembagian tauhid seperti ini
bukan berarti menyebutkan bagian tauhid baru yang terpisah dari tauhid uluhiyah. Disebutkan
macam seperti di atas karena adanya kebutuhan yang mengharuskan adanya penjelasan tersendiri
ketika Anda menjumpai orang yang berbuat syirik dari sisi itu. Tidak ada seorang pun baik yang
terdahulu maupun sekarang yang mengatakan, “Bahwa tauhid hakimiyah adalah bagian tauhid
tersendiri atau bagian ke-empat dari pembagian tauhid”. Semuanya ulama’ memasukkannya ke
dalam tauhid uluhiyah, dan juga memasukkan sebagian unsur-unsur yang ada di dalamnya ke
dalam bagian tauhid yang lain sebagaimana telah dijelaskan di muka.

Adapun maksud dari disebutkannya jenis tauhid ini adalah urgensinya agar ummat
memperhatikan aspek tauhid yang sudah hampir musnah. Jika anda telah memahaminya,
propaganda dari para penentangnya sudah tidak bisa lagi untuk dijadikan alat justifikasi selain
hanya ingin mereduksi makna dari tauhid yang tidak kalah pentingnya ini, serta ingin dijadikan
sebagai pembenar dari kekurangan para thoghut hukum dari pengingkaranya terhadap sisi tauhid
ini.

Adapun yang berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang buku-buku yang memuat
persoalan ini Sebenarnya kitab-kitab yang membahas persoalan itu banyak sekali. Yang
terpenting adalah kitabulloh Al-Quran kemudian kitab-kitab hadits, serta buku-buku aqidah
seperti karangannya Ibnu Taimiyyah, Ibnu Abdul Wahhab serta para cucunya. Sedangkan buku
dari para ulama kontemporer adalah buku yang ditulis oleh Sayyid Qutub r.h., khususnya kitab:
Fi Dzilal al-Qur’an, al-Ma’alim fi ath-Thariq”, “Khosois al-Tasawwur al-Islamiy, dan
“Maqawwamat tashawwur islamy”. Dan juga buku-buku karya Muhammad Quthb. Selain itu
ada sebuah risalah yang membahas tentang Tauhid Hakimiyyah oleh syaikh Abu Itsar. Demikian
juga kitab dan makalahnya Abu Muhammad al-Maqdisi. Dan seandainya Anda telaah kitab-kitab
dan makalah kami, niscaya kalian tidak akan manafikan faedah dari penyebutan tauhid ini, Insya
Allah.

BAB III

PENUTUPAN
Kesimpulan

1. Tauhid Mulkiyah Yaitu mentauhidkan Allah dalam mulkiyahnya bermakna kita


mengesakan Allah terhadap pemilikan, pemerintahan dan penguasaanNya terhadap alam
ini. Dialah Pemimpin, Pembuat hukum dan Pemerintah kepada alam ini.
2. Wali adalah sebagian dari sifat-sifat mulkiyatullah. Ia membawa arti sifat penguasaan
yaitu sebagai pelindung, penolong dan pemelihara.
3. Hakiman atau pembuat hukum juga adalah sebahagian dari sifat mulkiyatullah. Ia mesti
diikhtiraf oleh manusia dan tunduk hanya kepada hukum-hukum yang telah diturunkan
olehNya saja karena hak mencipta hukum itu hanya terhadap kepada Allah semata-mata.
4. Aamiran atau pemerintah satu lagi sifat mulkiyatullah yang perlu diketahui oleh setiap
muslim. Allah memiliki Arasy dan memerintah seluruh mahluk ciptaannya ini dengan
ketentuan daripadanya. Dia yang menciptakan dan Dia yang mengarahkan menurut apa
yang dikehendakiNya.
5. Tauhid Hakimiyyah adalah pengesaan Allah dalam perkara hukum dan syari’at.
Sebagaimana Allah tidak memiliki serikat dalam kekuasaanNya, dalam mengurus
berbagai urusan makhlukNya, demikian juga Allah swt tidak memiliki sekutu dalam
hukum dan pembuatan undang-undang (tasyri’). Allah adalah hakim yang paling adil,
Dia memiliki kewenangan untuk memutuskan dan memerintah, maka tidak ada sekutu
bagiNya dalam membuat hukum dan perundang-undangan. Sebagaimana Dia tidak
membutuhkan sekutu dalam kekuasaan dan mengatur urusan mahluk-Nya. Maka
demikian halnya Dia Esa dalam masalah hukum dan tasyri’.

Anda mungkin juga menyukai