Trauma Medula Spinalis
Trauma Medula Spinalis
1 PENDAHULUAN
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis
karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan
fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik
komplet ataupun inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab
kematian dan kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per
tahun pada populasi penduduk USA dan membawa dampak ekonomi yang
tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di USA.
BAB II
2.1 DEFINISI
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik
langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis
sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan
menetap atau kematian. Trauma medula spinalis meliputi kerusakan medula
spinalis karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan
gangguan fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan
refleks, baik komplet ataupun inkomplet.(PERDOSSI, 2006)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu
mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada
sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula
spinalis di negara tersebut.(Cristopher, 2004)
Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk mengetahui
epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika
Serikat.
1
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 5.596.000
orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi fungsional yang
digunakan dalam survei tersebut.
Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang
dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis.
Penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah
jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan
(4%) dan penyebab lain (9%).Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang
bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49%
penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di Taiwan.
Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis lebih
tinggi di negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hal
ini antara lain:
a. Kondisi jalan yang buruk
b. Berkendara melewati batas kecepatan
2
c. Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di dalam
mobil
d. Volume kendaraan yang berlebih
e. Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat menyelam dan bekerja
f. Kondisi-kondisi yang tidak lazim seperti jatuh dari pohon dan
jembatan.
(Cristopher, 2004)
3
II atau setinggi discus intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I
dan II. Terdapat banyak jalur saraf (tractus) di dalam medula spinalis.
Jalur saraf tersebut dapat dilihat pada gambar di berikut. (Guyton, 2009)
4
1. Tractus spinothalamicus anterior atau ventralis
Meneruskan impuls taktil dan tekanan dari medulla ke thalamus.
Serabutnya dimulai pada collumna posterior substantia grisea dari sisi
berseberangan dan melintas di atas commisura alba anterior sebelum naik
pada columna alba anterior.
2. Tractus spinothalamicus lateralis
Membawa impuls sakit dan temperatur ke thalamus. Serabutnya
bergabung pada medulla dengan serabut dari tractus spinothalamicus
anterior untuk membentuk lemnicus spinalis. Serabut keluar dari sel yang
terletak pada cornu posterior subatantia grisea sisi seberangannya dan
terutama berjalan naik pada columna lateralis.
3. Tractus spinothalamicus anterior posterior atau ventralis dorsalis
Meneruskan informasi ke cerebellum yang dapat membantu
koordinasi otot (aktivitas sinergik) dan tonus otot juga sentuhan dan
tekanan. Serabut-serabut saraf mulai keluar pada cornu posterius dari sisi
yang sama dan berjalan menuju columna alba lateralis.
Tractus desendens terdiri atas:
1. Tractus corticospinalis atau cerebrospinalis anterior atau ventralis
atau disebut juga tractus pyramidalis direk
Tersusun atas serabut-serabut yang berjalan turun melalui otak
daricortex cerebri. Medulla terletak didekat fissura antero-media dan
berhubungan dengan kontrol voluntaris dari otot skeletal. Tractus menjadi
lebih kecil ketika berjalan naik dan hampir hilang pada regio thoracis
media karena pada ketinggian ini sebagian besar serabut pembentuknya
sudah menyeberang ke sisi berlawanan untuk berakhir dengan cara
membentuk sinaps di sekitar cornu anterior dari neuron motoris inferior.
Beberapa serabut yang masih tersisa akan berakhir pada columna anterior
substantia grisea pada sisi chorda yang sama.
2. Tractus lateralis atau tractus pyramidalis transverse
Mengandung sejumlah besar serabut untuk mengontrol gerak
ototvolunter. Serabutnya keluar pada cortex motoris dan melintang diatas
atau bergabung dengan tractus sisi seberangnya pada medulla.
5
3. Tractus vestibulospinalis
Juga berjalan turun pada columna anterior substantia alba. Tractus
ini mempunyai hubungan dengan fungsi keseimbangan dan postur. Serabut
saraf mulai keluar pada medulla di sisi yang sama dari gabungan sel-sel
yang disebut nucleus vestibularis.
4. Tractus rubrospinalis
Terletak tepat di depan tractus corticospinalis lateralis, serabutnya
dimulai pada mesenchepalon dan berjalan turun untuk berakhir di sekitar
sel-sel cornu anterius. Berhubungan dengan kontrol aksi otot dan
merupakan bagian utama dari sistem extrapyramidal. Tractus motoris dan
sensoris merupakan tractus yang paling penting didalam otak dan medulla
spinalis dan mempunyai hubungan yang erat untuk gerakan motoris
voluntaris, sensasi rasa sakit, temperatur dan sentuhan dari organ-organ
indera pada kulit dan impuls propioseptif dari otot dan sendi.
Tractus corticospinalis atau pyramidalis atau motoris berasal dari
cortex motoriius precentralis, serabutnya berjalan turun melalui capsula
interna pada genu dan dua pertiga anterior limbus posterior.
Tractus cortico ventralis mengendalikan neuron-neuron motorik
yang melayani otot-otot pada truncus termasuk mm.intercostalis dan
abdominalis.
Semua neuron yang menyalurkan impul-impuls motorik ke nuclei
motorii di dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut sebagai
neuron motor atas (upper motor neuron). Impuls-impuls motorik ini dapat
disalurkan melalui jalur-jalur saraf yang termasuk dalam susunan
pyramidal dan susunan ekstrapyramidal oleh karena itu dalam area yang
luas sel-sel neuron yang membentuk jalur desendens pyramidal (tractus
corticobulbaris dan corticospinalis) dan ekstrapyramidal (tractus
reticulospinalis dan rubrospinalis) dapat disebut sebagai neuron motor atas
sedangkan neuron-neuron motorik di dalam nuclei motorii didalam batang
otak dan medulla spinalis dapat disebut neuron motor bawah (lowermotor
neuron).
(Fahriansyah, 2012)
6
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi
melindungi medulla spinalis dan menunjang berat kepala serta batang
tubuh. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut: Fahriansyah, 2012)
a. Vertebrata cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.
Veterbrata cervicalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai
prosesus spinosus paling panjang.
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk
jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus
vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas
kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang
dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk
tulang bayi.
e. Os. Coccygeal
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter. Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang saraf
coccygeal.
7
Gambar .Segmen Corda Spinalis
8
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
1. Organ sensorik: menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju
sel-sel dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya menuju
substansi kelabu pada kornu posterior mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik: dalam kornu anterior medula spinalis yang
menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag
motorik.
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh
impuls saraf motorik.
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus
pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal)
paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan
otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada
uretra dan rektum.
Berikut ini adalah fungsi dari tiap segmen saraf pada tulang belakang:
9
Gambar 2.2 Fungsi segmen tulang belakang
Level Function
C1-C6 Neckflexors
C1-T1 Neckextensors
C3, C4, Supply diaphragm (mostly C4)
C5
C5, C6 Shoulder movement, raise arm (deltoid); flexion of elbow (biceps);
C6 externally rotates the arm (supinates)
C6, C7 Extends elbow and wrist (triceps and wrist extensors); pronates wrist
C7, T1 Flexes wrist
Supply small muscles of the hand
T1 -T6 Intercostals and trunk above the waist
T7-L1 Abdominal muscles
L1, L2, Thighflexion
L3, L4
L2, L3, Thighadduction
L4 Extension of leg at the knee (quadriceps femoris)
L4, L5, Thighabduction
S1 Dorsiflexion of foot (tibialis anterior)
Extension of toes
L5, S1, S2 Extension of leg at the hip (gluteus maximus)
Plantarflexion of foot
Flexion of toes
L4, L5, Flexion of leg at the knee (hamstrings)
S1, S2
(Michael, 2012)
10
dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut mielin dan traktus
panjang menunjukkan adanya kerusakan structural luas.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui4 mekanisme berikut:
1. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan
trauma hiperekstensi.
2. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi.
Toleransi medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu
aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi atau sistem arteries pinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang.
(Yoanes, 2014)
Mekanisme kerusakan primer
Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer: (1) gaya
impact dan kompresi persisten, (2) gaya impact tanpa kompresi, (3) tarikan
medula spinalis, (4)laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut
berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi
saraf terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat
pembengkakan daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan
ireversibel pada satu jam pertama setelah trauma, sementara substansia
alba akan mengalami kerusakan pada 72 jam setelah trauma. (Yoanes,
2014)
Mekanisme kerusakan sekunder
Kerusakan primer merupakan sebuah nidusatau titik awal
terjadinya kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara
lain, oleh syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan
iskemia, eksitotoksisitas, lesisekunder yang dimediasi kalsium, gangguan
11
elektrolit, kerusakan karena proses imunologi, apoptosis, gangguan pada
mitokondria, danproses lain. (Yoanes, 2014)
V. KLASIFIKASI
12
motorikutama punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
(Sina MI, 2013)
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan level,
beratnya defisit neurologik, spinal cord syndrome, dan morfologi.
A. Level
Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis
yang masih dapat ditemukan keadaan sensoris dan motoris yang normal di
kedua sisi tubuh. Apabila level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah
bagian segmen kaudal medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal
pada ke dua bagian tubuh. Level motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu
daerah paling kaudal dimana masih dapat ditemukan motoris dengan tenaga
3/5 pada lesi komplit, mungkin masih dapat ditemukan fungsi sensoris
maupun motoris di bawah level sensoris/motoris. Ini disebut sebagai daerah
dengan “preservasi parsial”. Penentuan dari level cedera pada dua sisi adalah
penting.
Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1.
Cedera pada segmen servikal diatas T1 medulla spinalis menyebabkan
quadriplegia dan bila lesi di bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level
tulang vertebra yang mengalami kerusakan, menyebabkan cedera pada
medulla spinalis. Level kelainan neurologist dari cedera ini ditentukan hanya
dengan pemeriksaan klinis. Kadang-kadang terdapat ketidak cocokan antara
level tulang dan neurologis disebabkan nervus spinalis memasuki kanalis
spinalis melalui foramina dan naik atau turun didalam kanalis spinalis
sebelum benar-benar masuk kedalam medulla spinalis. Ketidak cocokan akan
lebih jelas kearah kaudal dari cedera. Pada saat pengelolaan awal level
kerusakan menunjuk pada kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan level
neurologist.
13
spinalis yang masih tersisa. Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level
cedera merupakan cedera yang tidak komplit. Yang termasuk dalam cedera
tidak komplit adalah :
1. Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunteer pada
ekstremitas bawah.
2. Sakra l sparing, sebagai contoh: sensasi perianal, kontraksi sphincter
ani secara volunter atau fleksi jari kaki volunter.
Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak komplit hanya
dengan dasar adanya reservasi refleks sacral saja, misalnya
bulbocavernosus, atau anal wink. Refleks tendo dalam juga mungkin
dipreservasi pada cedera tidak komplit.
14
Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan
kehilangan dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi
kolumna posterior (kesadaran posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih
ditemukan.Biasanya anterior cord syndrome disebabkan oleh infark medulla
spinalis pada daerah yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Sindrom ini
mempunyai prognosis yang terburuk diantara cidera inkomplik.
Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla
spinalis dan akan jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik
cukup sering ditemukan.Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari
kehilangan motoris opsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan
kesadaran posisi (kolumna posterior) yang berhubungan dengan kehilangan
disosiasi sensori kontralateral dimulai dari satu atau dua level dibawah level
cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau syndrome ini disebabkan oleh
cedera penetrans pada medulla spinalis,penyembuhan (walaupun sedikit)
biasanya akan terjadi.
(Fahriansyah,2012)
D. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi,
cedera medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau
cedera penetrans. Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan
sebagai stabil dan tidak stabil. Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe
cedera tidak selalu sederhana dan ahli pun kadang-kadang berbeda pendapat.
Karena itu terutama pada penatalaksanaan awal penderita, semua penderita
dengan deficit neurologist,harus dianggap mempunyai cedera tulang belakang
yang tidak stabil. Karena itu penderita ini harus tetap di imobolisasi sampai
ada konsultasi dengan ahli bedah saraf/ ortofedi.
Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari
mekanisme cedera:
(1) pembebanan aksial (axial loading),
(2) fleksi,
(3) ekstensi,
(4) rotasi,
15
(5) lateral bending, dan
(6) distraksi.
Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutan
anatomis, dari cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang.
Dislokasi atlanto – oksipita (atlanto – occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari
trauma fleksi dan distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita
meninggal karena kerusakan batang otak. Kerusakan neurologist
yang berat ditemukan pada level saraf karanial bawah.kadang –
kadang penderita selamat bila resusitasi segera dilakukan ditempat
kejadian.
Fraktur atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan
sendi yang lebar. Fraktur C-1 yang paling umum terdiri dari burst
fraktur (fraktur Jefferson). Mekanisme terjadinya cedera adalah
axial loading, seperti kepala tertimpa secara vertikal oleh benda
berat atau penderita terjatu dengan puncak kepala terlebih dahulu.
Fraktur jefferson berupa kerusakan pada cincin anterior maupun
posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral. Fraktur akan
terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan C-2
dan dapat di konfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus
ditangani secara awal dengan koral sevikal.
Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak –anak. Dapat
terjadi spontan setelah terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran
napas atas atau penderita dengan rematoid arthritis. Penderita
terlihat dengan rotasi kepala yang menetap. Pada cedera ini jarak
odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama, jangan dilakukan
rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini, sebaiknya
dilakukan imobilisasi. Dan segera rujuk.
Fraktur aksis(C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai
bentuk yang istimewah karena itu mudah mengalami cedera.
1. fraktur odontoid
16
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu
tonjolan tulang berbentuk pasak. Fraktur ini daoat di
identifikasi dengan foto ronsen servikal lateral atau buka
mulut.
2. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars
interartikularis 20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur
disebabkan oleh fraktur ini. Disebabkan oleh trauma tipe
ekstensi, dan harus dipertahankan dalam imobilisasi
eksternal.
Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7)
Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkin
disebabkan letaknya berada diantara aksis yang mudah mengalami
cedera dengan titik penunjang tulang servikal yang mobile, seperti
C-5 dan C-6, dimana terjadi fleksi dan ekstensi tulang servikal
terbesar.
Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4
kategori : (1) cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior,
(2) cedera bursi, (3) fraktur Chance, (4) fraktur dislokasi.
Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi
pada bagian anterior. Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera
burst disebabkan oleh kompresi vertical aksial. Fraktur dislokasi
relative jarang pada daerah T-1 sampai T-10.
Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1)fraktur lumbal
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera
tulang servikal, tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas
bila tidak dikenali atau terlambat mengidentifikasinya. Penderita
yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi mobil memakai sabuk
pengaman tetapi dalam kecepatan tinggi mempunyai resiko
mengalami cedera tipe ini. Karena medulla spinalis berakhir pada
level ini , radiks saraf yang membentuk kauda ekuina bermula pada
daerah torakolumbal. (Peter 2008)
VI. PATOFISIOLOGI
17
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat
menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada
medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma
yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada
medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan
dorsofleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan
mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis
bawah maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan
yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada
waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat
mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi
untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali
dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada
kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya
dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah
tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi
transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah
perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat
disubstansia grisea. Trauma ini bersifat “whiplash“ yaitu jatuh dari jarak tinggi
dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur
18
dislokasio. kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis
dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah
yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang
didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista
dan abses didalam kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf
spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap,
radiks columna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi
adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersebut
disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika
radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik
dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri
radikuler terutama radiks T8 atau T9 yang akan menimbulkan defisit sensorik
motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma
sistema anastomosis anterial anterior spinal. (Yoanes, 2012)
19
Paralisis kaki dan tangan
C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis),
paralisis kaki
Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
Cauda equina
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan
usually pain and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang
mungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas
refleks (Merck,2010).
20
Gambar 2.3 Efek Trauma Spinal
VIII.KOMPLIKASI
a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi
21
IX. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
1. X-Ray spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi)
2. CT Scan: untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan
struktural.
3. MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
patologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
arakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Foto rongent thorak: mengetahui keadaan paru (contoh : perubahan pada
diafragma, atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian
bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
7. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi.
(Fahriansyah, 2012)
22
jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical
spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, dapat dilakukan chin lift atau
jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung.
Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas
selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring.
Breathing
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan
napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2
dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan
cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Sirkulasi
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa
tingkat kesadaran dan denyut nadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang
relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah
sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk
mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat.
Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan
tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan
sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba
maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50
mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan
pada luka.
23
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl
0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan
ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya
terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian
cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi
datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan
intrakranial.(Chandler 1992)
24
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong
atau Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi
dislokasi traksi diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban
ditambah setiap 15 menit sampai terjadi reduksi.
DEKOMPRESI DAN STABILISASISPINAL
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’
dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’openreduction’ dan
stabilisasi dengan ’approach’ anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk
dalam program ini adalah’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot
pernafasan, pencapaian optimal fungsi –fungsi neurologik dan program
kursi roda bagi penderita paraparesis/paraplegia. (Hanafiah 2007)
25