Kasus Sepsis Aki (Acute Kidney: Injury)
Kasus Sepsis Aki (Acute Kidney: Injury)
Definisi GINJAL
Ginjal yang terletak retroperitoneal dalam rongga abdomen dan
berat masing-masing ± 150 gram. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dari
ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dekstra yang besar. Setiap ginjal
terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa.
Korteks renalis terdapat di bagian luar yang berwarna cokelat gelap
dan medula renalis di bagian dalam berwarna cokelat lebih terang.
Bagian medula berbentuk kerucut disebut pelvis renalis, yang akan
terhubung dengan ureter sehingga urin yang terbentuk dapat lewat
menuju vesika urinaria.
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Sepsis
Syok sepsis di defnisikan sebagai sepsis yang disertai disfungsi kardiovaskuler yang
ditandai dengan kriteria berikut, tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau penurunan ≥40
mmHg dari tekanan darah awal, meskipun telah mendapatkan resusitasi cairan yang
adekuat. (Sang Heon Suh, 2013)
Sepsis dan syok sepsis didefinisikan berdasarkan konsensus kriteria konferensi
American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine dengan melihat
temuan-temuan berikut ini :
suhu tubuh > 38oC atau < 36oC
denyut nadi > 90 kali per menit
laju pernafasan > 20 kali permenit atau PaCO2 < 32 mmHg
jumlah leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000 mm3 atau > 10%
PENGKAJIAN KASUS
Pada waktu pasien masuk rumah sakit (IGD) terdapat tanda-tanda pasien dalam kondisi
sepsis yaitu didapatkan adanya takikardi, takipnea, penurunan kesadaran, leukositosis,
dengan qick SOFA ( the sequential organ failure assesment score) ≥ 2, dimana awalnya sumber
infeksi diduga dari abdoemn (pasien rujukan dari rumah sakit luar dengan apendicitis
perforasi tetapi menolak operasi), ternyata sumber infeksi dari saluran kemih (urosepsis) dan
ada tanda-tanda gangguan gunjal akut / acute kidney injury (AKI) akibat dari sepsis
(oligouria, ureum dan kreatinin naik). Pasien selama lima hari dirawat diruang resusitasi IGD,
diberikan antibiotik meropenenm untuk sepsisnya dan dilakukan hemodialisa 1 kali, namun
kondiri pasien tidak banyak perubahan dan semakin memburuk. Pada hari ke enam pasien
masuk ruang ICU.
Pada saat masuk ICU penderita dengan gambaran makrosirkulasi MAP (mean arterial
pressure), 6g, CVP : +8, DR : 6.g/22.3/8.850/87.100, perfusi jaringan (mikrosirkulasi) masih
dalam batas normal (laktat : 1,1 pCO² gap : 2,8,ScVO² : 70,6%). Dilakukan penggantian ETT
karena plak, diganti dengan ETT 7,5 dengan sedasi propofol, selanjutnya sedasi dengan
midazolam 1mg/jam dan analgetik tramadol 300mg/24 jam. Fungsi ginjal menurun, oluguri
(0,25cc.kg./jam) dan ureum : 75, kreatinin : 2,045. Hipernatremia (158), hiperkalemi (6,0)
dan hiperkloremia (124), setelah dilakukan hemodialisa (UFG-1100) : Na :148, K:5,4, Cl : 111,
Laktat : 1,1 , diff. Count : 0/3/4/60/28/5, procalitonin/PCT : 49,49. Di hitung SOFA skor 10
(sepsis, mortality 50%), CPIS skor : 7 (pneumonia). Dari data ini dapat ditegakkan pasien
dengan gangguan ginjal akut / AKI karena sepsis (urosepsis) sesuai kriteria. Penumonia karena
ventilator (VAP) dan gangguan elektrolit.
PENGKAJIAN KASUS
Selama di ICU penderita diberikan topangan norefinefrin/NE muali 0,05mcg/kg/mnt karena MAP masih cenderung tidak stabil (target
MAP 70-90). Gula darah pasien dikontrol dengan reguler insulin sesuai dengan protokol yang ada dibagian ilmu openyakit dalam RSCM (GDS
150-200 : stop insulin, 200-250 : 0,5 IU/jan, 251-300 : 1 IU/jam , 310-350 : 2 IU/ jam, 351-400 3 IU/ jam, > 400 : laporkan) target GDS <
180.
Intermitent Hemodialisis/IHD dipilih sebagai terapi penganti ginjal/RRT secara mekanikal dan juga untuk fluid removal dikombinasi
dengan medikamentosa (furosemide). Outcome pasien dengan RRT yang lebih awal serta balans kumulatif negatif angka mortality lebih
kecil dibandingkan dengan RRT setelah rawat ICU dan balans kumulatif positif. Pada pasien ini dikerjakan IHD setelah ditegakkan diagnosis
gangguan ginjal akut/AKI pada sepsis (urosepsis). Dan setelah dilakukan empat kali hemodialisis, pasien bisa rawat ruangan dan pulang
dengan kondisi fungsi ginjal kembali ke normal.
Pasien diberi sedasi dengan midazolam dan analgetik tramadol untuk mengurangi work of breathing. Kondisi pasien menunjukkan
adanya pneumonia yang ditunjang dengan adanya riwayat perawatan sebelumnya di rumah sakit lain, demam, slem/sputum, terintubasi
dan pada foto toraks terdapat infiltrat sesuai gambaran pneumonia, serta dilakukan skoring dengan Clinical Pulmonary Infection
Score/CPIS dengan nilai CPIS 7 sebagai penunjang untuk diagnosis adanya pneumonia. Terjadi resistensi obat-obat antibiotik pada pasien
ini/MDR (multi drug resistant) bisa dikarenakan ada riwayat perawatan dari rumah sakit lain sebelumnya dan pemakaian antibiotik awal
yang tidak sesuai dengan diagnosa. Pada pasien ini dengan diketahuinya sumber infeksi yaitu infeksi saluran kemih dan pneumonia, maka
sebaiknya dipilihkan antibiotik spektrum luas (guideline ATS IDSA). Pasien sudah diberikan meropenem diawal perawatan di IGD maka
dipilihkan kombinasi terapi (yang juga sesuai hasil kultur) dengan amikasin sebagai terapi lanjutan. Dari kultur didapatkan amikasin masih
sensitif terhadap kuman, hanya pemberiannya diberikan selang satu hari (setiap 48jam) karena ada gangguan pada fungsi ginjal pasien.
Secara klinis dan gambaran foto toraks ulang memperlihatkan infiltrat yang berkurang setelah pemberian terapi kombinasi antibiotik ini
dilanjutkan sampai tujuh kali pemberian untuk amikasin, dan 11 hari untuk meropenem sambil menunggu hasil kultur ulang. Setelah hasil
kultur ulang keluar yang menunjukkan bakteri pseudomonas aeruginosa yang sensitif levofloxacin, maka meropenem diganti dengan
levofloxacin serta ditambah micafungin untuk terapi anti jamur. Selama perawatan di ICU terlihat penurunan angka leukosit dan PCT yang
bermakna.
Selama perawatan ICU nutrisi enteral dimulai sejak kondisi hemodinamik mulai stabil dengan perhitungan 20 kcal/kg/hari pada awal
permulaan, bertahap naik sampai 30 kcal/kg/hari dengan perhitungan protein 1.6 gr/kg/hari (ditambah 10% dari basal) selama dilakukan
IHD, lalu diturunkan menjadi 1.2 gr/kg/hari setelah IHD untuk mengimbangi katabolisme yang terjadi pada pasien.
ANALISA DATA
Pasien masuk rumah sakit (IGD) terdapat tanda-tanda pasien dalam kondisi
sepsis yaitu didapatkan adanya takikardi, takipnea, penurunan kesadaran,
leukositosis
Pasien rujukan dari rumah sakit luar dengan apendicitis perforasi tetapi
menolak operasi
Sumber infeksi dari saluran kemih (urosepsis) dan ada tanda-tanda gangguan
gunjal akut / acute kidney injury (AKI) akibat dari sepsis (oligouria, ureum
dan kreatinin naik)
Pemberian antibiotik meropenem untuk sepsisnya dan dilakukan hemodialisa
1 kali, namun kondiri pasien tidak banyak perubahan dan semakin memburuk
IDENTIFIKASI MASALAH
Penumonia karena ventilator (VAP). CPIS skor : 7
Nyeri terdapat pemberian Analgetik tramadol 300mg/24 jam
Oluguri (0,25cc.kg./jam) dan ureum : 75, kreatinin : 2,045
Gangguan elektrolit
Hipernatremia (158)
Hiperkalemi (6,0)
hiperkloremia (124)
Setelah dilakukan hemodialisa (UFG-1100) : Na :148, K:5,4, Cl : 111
Norefinefrin/NE muali 0,05mcg/kg/mnt karena MAP masih cenderung tidak stabil
(target MAP 70-90).
Resistensi obat-obat antibiotik pada pasien ini/MDR (multi drug resistant)
bisa dikarenakan ada riwayat perawatan dari rumah sakit lain sebelumnya dan
pemakaian antibiotik awal yang tidak sesuai dengan diagnosa
MASALAH KEPERAWATAN
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hypersekresi jalan nafas
Intervensi
Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), intervensi utama untuk diagnosis bersihan jalan napas tidak efektif adalah:
Latihan batuk efektif
Manajemen jalan napas
Pemantauan Respirasi
Implementasi
Observasi
Identifikasi kemampuan batuk, Monitor adanya retensi sputum,Monitor input dan output cairan Terapeutik, Atur posisi semi-fowler dan fowler
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif,Anjurkan Tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan
dari mulut dengan bibir mencucu (dibulatkan) selama 8 detik, Anjurkan mengulangi Tarik napas dalam hingga 3 kali, Anjutkan batuk dengan kuat
langsung setelah Tarik napas dalam yang ke-3
Kolaborasi
Kolaborasi terapi mukolitik dan ekspetoran
MASALAH KEPERAWATAN
Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung
Intervensi
Dalam Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), intervensi utama untuk diagnosis penurunan curah jantung adalah:
Perawatan jantung
Perawatan jantung akut
Implementasi
Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika perlu),Monitor intake dan output cairan,Monitor saturasi
oksigen,Monitor EKG 12 sadapan
Terapeutik
Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke bawah atau posisi nyaman,Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya
hidup sehat
Edukasi
Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi,Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap,Anjurkan berhenti merokok,Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur berat badan harian,Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu. Rujuk ke program rehabilitasi jantung
MASALAH KEPERAWATAN
Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
Intervensi
Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen nyeri berdasarkan SIKI, antara lain:
Manajemen nyeri
Pemberian analgesik
Implementasi
Observasi
Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Identifikasi skala nyeri, Idenfitikasi respon nyeri non verbal
Terapeutik
Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri (mis: TENS, hypnosis, akupresur, terapi music, biofeedback, terapi pijat,
aromaterapi, Teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi bermain)
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis: suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan),Fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri, Jelaskan strategi meredakan nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
KESIMPULAN
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik, serta cermat dalam membaca hasil
penunjang sangat penting untuk membangun sebuah diagnosis kerja. Penatalaksanaan
sebaiknya menggunakan guideline/tatalaksana yang sudah terbukti berhasil yang
disesuaikan kondisi dan situasi yang ada. Koreksi cairan, pemberian antibiotik dan terapi
lainnya akan sulit untuk dilakukan bila pasien sudah terkena infeksi organ yang multiple
seperti gangguan ginjal akut dan paru dan resisten terhadap antibiotik. Untuk itu
diperlukan monitoring makrosirkulasi dan mikrosirkulasi (perfusi jaringan) sebagai pedoman
tatalaksana tersebut. Pemberian antibiotik yang sesuai kuman serta terapi pengganti ginjal
dapat memperbaiki dan dibutuhkan untuk keberhasilan dalam terapi pasien ini secara
keseluruhan.