Anda di halaman 1dari 58

VENTILATOR

1 VENTILATOR ( HAMILTON C2 )
Ventilator adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang
dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen selama waktu yang
lama (Brunner and Suddarth, 2001).Ventilasi mekanis dapat diberikan dengan
cara invasif maupun non invasif. Ventilasi non invasif menjadi alternatif
karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada penggunaan ventilasi
invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif.

Gambar 1. Ventilator Hamilton C2

1. Inventaris Alat
Nama : Ventilator
Merk : Hamilton
Type / Model : C2
No seri :-
Buatan : Swiss
Tahun Pembuatan : 2013
Tegangan : 110 – 240 VAC
Frekuensi : 50 / 60 Hz
Daya : 50 W
Ruangan : ICU

2. Spesifikasi Alat
 Ventilation Mode : (S)CMV+,SIMV+,PCV+, P-SIMV+, SPONT,
NIV, NIV-ST, ASV, DuoPAP, APRV
 Tidal Volume : 2 to 2000 ml
 PEEP/CPAP : 0 – 35 cmH2O
 Oxygen : 21-100 %
 I:E Ratio : 1:9 to 4:1
 Inspiratory Time : 0.1 to 12 s
 Flow : 0 to 240 L/min
 WxDxH : 310 x 250 x 430 mm
 Weight : 9.5 Kg
 Display : 10,4 inch, TFT colour
 Input Voltage : 100 to 240 VAC
 Power Consumption : 50 W
 Backup Baterry : 3 jam
 Compressore : Internal Turbin
 Oxygen Supply : 280 to 600 kPa
 Temperature : 5 to 40ºC (operating)
 Humidity : 10 to 95 %

3. Fungsi alat
Ventilator adalah alat bantu pertukaran udara dalam paru-paru pasien.
Digunakan untuk pasien yang mengalami gagal nafas sebagai terapi paru-
paru atau terapi oksigen dengan memberikan trigger agar paru-paru dapat
bekerja secara normal. Terapi paru-paru yang dimaksud dalam hal ini adalah
untuk pasien yang tidak bisa melakukan inspirasi dan ekspirasi secara
mandiri dan membutuhkan alat bantu untuk mentrigger paru-paru agar
bekerja secara normal kembali.
4. Prinsip Kerja Alat
Ventilator bekerja dengan prinsip oksigenasi dan ventilasi. Oksigenasi
adalah proses pemberian oksigen untuk pemenuhan kebutuhan suplai oksigen
bagi pasien, sehingga oksigen bisa diterima atau diserap darah untuk disebar
ke seluruh tubuh pasien. Kemudian ventilasi adalah proses keluar masuknya
udara dari dan ke paru-paru untuk proses inspirasi dan proses ekspirasi.

Gambar 2. Analogi Ventilator

Seperti pada gambar 2. menunjukkan bagaimana udara dihantarkan. Gas supply


merupakan gas yang memiliki tekanan yang lebih tinggi umumnya diatas 1 Bar
karena untuk tekanan udara luar di kondisi diatas permukaan laut dan bukan
merupakan daerah dataran tinggi, tekanan udara luar berkisar ≤ 1 Bar. Karena beda
tekanan tersebut udara akan mengalir keluar dari gas supply melalui selang.
Selanjutnya pada gambar 3.8 terdapat telapak tangan yang diumpamakan sebagai
valve yang nantinya akan membuka atau menutup jalannya udara dengan melepas
atau memberi tekanan yang akan membuntukan jalan selang. Pada gambar
diumpamakan telapak tangan a sebagai valve inspirasi dan telapak tangan b sebagai
valve ekspirasi. Ketika valve inspirasi terbuka yaitu dengan tidak memberi tekanan
pada selang, maka udara dari suplai gas dapat mengalir sampai ke “Y” piece yang
diberi tanda dalam oval atau breathing circuit. Jika valve ekspirasi juga dalam
keadaan terbuka saat valve inspirasi terbuka, maka udara akan lebih banyak
mengalir keluar dibanding masuk ke balon yang diumpamakan paru-paru. Maka
kerja valve inspirasi harus berkebalikan dengan valve ekspirasi, dimana jika valve
inspirasi sedang terbuka maka valve ekspirasi harus dalam keadaan tertutup. dengan
membukanya valve inspirasi dan diikuti valve ekspirasi tertutup telah terjadi proses
distribusi udara ke paru-paru yakni proses inspirasi, kemudian dengan
mengembangnya balon, diumpamakan kebutuhan udara paru-paru telah terpenuhi,
kemudian valve inspirasi akan menutup dan valve ekspirasi terbuka, maka udara
pada balon akan mengalir keluar selang melalui valve ekspirasi sebagai proses
ekspirasi. Dengan melakukan proses tersebut berulang-ulang maka akan terjadi irama
pernafasan.
Ventilator bekerja dengan pengaturan cycle. Pengaturan cycle/ siklus merupakan
siklus pemberian udara. Pengaturan siklus tersebut terbagi menjadi 4, yaitu
berdasarkan volume cycle, berdasarkan pressure cycle, berdasarkan time cycle
dan berdasarkan flow cycle. Jika dilakukan pengaturan siklus berdasarkan volume
cycle, maka operator akan melakukan set volume tidal yang ingin dicapai dan
diberikan ke pasien selama proses pemberian udara, sehingga volume cycle aliran
inspirasi dari ventilator akan berhenti bila volume tidal yang telah ditetapkan
tercapai.
Untuk pengaturan siklus berdasarkan pressure cycle, operator melakukan set
tekanan inspirasi yang ingin dicapai selama proses penghantaran oksigen, sehingga
jika tekanan inspirasi telah tercapai, ventilator akan memberi waktu sebentar untuk
mempertahankan tekanan inspirasi untuk pemberian udara. Selanjutnya perlahan
pemberian tekanan akan berkurang untuk melanjutkan ke proses ekspirasi.
Keterbatasan utama pengaturan siklus jenis ini adalah bahwa volume tidal yang
diberikan dapat berubah sejalan dengan perubahan tahanan nafas pasien. Akibatnya
adalah suatu ketidakkonsistensian dalam jumlah volume tidal yang dikirimkan dan
kemungkinan mengganggu ventilasi. Penggunaan pressure cycle dimaksudkan hanya
untuk penggunaan jangka pendek di ruang pemulihan.
Selanjutnya pada pengaturan berdasarkan time cycle, dimana waktu
pemberian udara akan diatur oleh operator dan waktu ekspirasi akan mengikuti
perubahan setting dengan mengacu pada IE ratio. Dengan pengaturan time cycle,
volume udara yang diterima pasien disesuaikan oleh lama waktu inspirasi dan aliran
udara tiap menitnya. Pada pengaturan flow cycle, operator akan melakukan
pengaturan aliran pemberian udara ke pasien. Pemberian udara ke pasien akan
mengikuti nilai flow inspirasi yang diatur oleh operator. Selanjutnya jika flow
inspirasi yang telah diatur oleh operator tercapai, maka ventilator akan berhenti
menghantarkan udara ke pasien dan diganti dengan proses ekspirasi pasien.
Pada penggunaan ventilator terdapat 3 mode umum yang biasanya ada,
antara lain:
 Control Mode
Pada Control Mode mesin secara terus menerus mengontrol untuk membantu
pernafasan pasien. Mode ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat
jelek, lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien,
pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah ditentukan
pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali inspirasi. Bila
pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan ketidaknyamanan.
Bila pasien berusaha bernafas sendiri bisa terjadi fighting (tabrakan antara udara
inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam paru meningkat dan bisa berakibat alveoli
pecah serta terjadi pneumothorax.
 Sincronized Intermitten Mandatory Ventilation Mode
Sebelum Sincronized Intermitten Mandatory Ventilation (SIMV) Mode muncul,
terlebih dahulu dikenal Intermitten Mandatory Ventilation (IMV) Mode, yakni
mode yang memberikan bantuan nafas ventilator secara selang seling dengan nafas
pasien itu sendiri. Pada IMV mode pernafasan mandatory diberikan pada frekwensi
yang diatur tanpa menghiraukan apakah pasien pada saat inspirasi atau ekspirasi
sehingga bisa terjadi fighting dengan segala akibatnya. Oleh karena itu pada
ventilator generasi baru mode IMV disinkronisasi menjadi SIMV. Sehingga
pernafasan mandatory yang diberikan sinkron dengan picuan pasien. SIMV Mode
diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga
masih memerlukan bantuan.
 Assisted Spontaneus Breathing/ Pressure Support Mode
Assisted Spontaneus Breathing (ASB) Mode ini diberikan pada pasien yang sudah
bisa bernafas spontan atau Pressure Support (PS) mode untuk pasien yang bisa
bernafas tetapi dengan volume tidal tidak mencukupi kebutuhan kapasitas paru-paru
karena nafasnya yang dangkal dan tekanannya kurang. Pada mode ini pasien harus
mempunyai kendali untuk bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger
maka udara pernafasan tidak diberikan.

Gambar 3. Blok Diagram Pneumatik Ventilator Hamilton C2


Gambar 4. Skema pneumatic Ventilator C2 Hamilton

Seperti yang ditunjukkan pada gambar 3, blok diagram pneumatik pada


ventilator hamilton C2 berbeda dibanding ventilator lainnya, dimana pada
ventilator hamilton C2 tidak menggunakan tank sehingga hasil udara campuran
akan langsung didistribusikan ke pasien. Kemudian untuk penggunaan oksigen
source dapat menggunakan 2 sumber yakni dari instalasi gas medis rumah sakit
dengan tekanan antara 2,8-6 Bar sehingga digunakan penyebutan HPO atau dengan
menggunakan tabung oksigen dengan tekanan ≤ 6 Bar sehingga digunakan
penyebutan LPO.
Skema pneumatik ventilator hamilton C2 seperti yang terlihat pada gambar
3, menunjukkan aliran oksigen dengan panah warna kuning dari supply HPO dengan
nomor A, akan melewati mixer valve O2. Mixer valve O2 fungsinya mengatur
banyak dan aliran oksigen (liter/menit) yang masuk. Mixer valve bekerja
berhubungan dengan QO2 flow sensor yang secara terus menerus mendeteksi dan
memonitoring aliran oksigen yang melewatinya. Sedangkan aliran supply oksigen
dari LPO dengan nomor B akan langsung lewat QO2 flow sensor dengan
pengaturan jumlah oksigen yang masuk diatur dengan mengatur regulator flow
meter diluar yang berhubungan dengan tabung oksigen. Aliran oksigen tersebut
kemudian menuju blower dengan nomor D.
Oksigen akan masuk ke blower assembly bersamaan blower akan
menghisap udara luar ruangan, dimana udara tersebut ditandai nomor C akan
tersaring terlebih dahulu pada dust dan HEPA filter dengan terdapat sensor filter yang
mendeteksi tekanan hisap filter sehingga jika tekanannya besar maka filter dirasa
mulai kotor dan menyebabkan terdapat sumbatan. Udara luar yang terhisap akan
tercampur dengan konsentrasi oksigen bersamaan saat memasuki blower yang
ditandai dengan nomor D, yang kemudian dengan noise damping, suara berisik dari
hisapan akan diredam. Selanjutnya udara percampuran dengan aliran panah warna
hijau pada gambar 3 tersebut tekanannya akan meningkat karena kecepatan putar
blower yang menghisap udara campuran tersebut. Tekanan yang ditingkatkan dari
kecepatan motor akan diatur dan disesuaikan sesuai tekanan setting operator.
Dengan blower yang bekerja terus menerus, maka terdapat sensor yang
mendeteksi suhu blower. Terdapat juga sensor tekanan yang mendeteksi tekanan
dalam ruang ventilator dan sensor suhu ruang ventilator. Dari putaran blower, suhu
akan meningkat sehingga system heat exchanger akan bekerja mendinginkan blower.
Monitoring dengan sensor-sensor tersebut akan berlangsung terus menerus selama
ventilator dipergunakan.
Udara campuran dengan tekanan disesuaikan tersebut kemudian dilewatkan
pada percabangan, cabang satu akan menuju ke nomor E untuk dialirkan ke flow
sensor dan cabang satunya ke inspirasi valve dan akan menuju nomor F. Aliran
menuju ke flow sensor pasien dengan nomor E, tekanan udaranya diredam dan
digunakan sebagai rinse flow yang fungsinya untuk mendeteksi tekanan pada flow
sensor pasien dan tekanan air way.
Selanjutnya pada percabangan yang menuju nomor F, udara campuran
keluaran blower dilewatkan pada inspirasi valve yang dapat diatur ukuran celah
yang terbuka sehingga volume tidal udara yang mengalir untuk inspirasi ke pasien
sesuai setting operator. Udara campuran yang keluar dari inspirasi valve akan
dimonitor terus menerus oleh sensor O2 cell yang memonitor dan membaca
konsentrasi oksigen pada udara campuran apakah telah sesuai dengan setting
konsentrasi oksigen yang diinginkan operator. Selanjutnya udara campuran akan
melewati Qvent flow sensor yang terus menerus memonitor kecepatan aliran udara
campuran yang dikeluarkan dari celah valve inspirasi yang terbuka untuk menjadi
sinyal input rangkaian pemroses pada mainboard dan ditampilkan sebagai kondisi
real time. Kemudian terdapat Pvent_control dan Pvent_monitor, dimana
Pvent_monitor akan mendeteksi tekanan aliran udara yang lewat dari celah inspirasi
valve yang terbuka sebagai monitoring real time, apakah tekanan udaranya telah
sesuai dengan tekanan yang diharapkan sesuai setting. Kemudian Pvent_control juga
melakukan pendeteksian tekanan yang keluar dari inspirasi valve untuk mengontrol
inspirasi valve baik itu untuk membuka celah lebih besar agar tekanan berkurang
atau mengurangi celah inspirasi valve yang terbuka agar tekanannya meningkat
sehingga didapat tekanan yang sesuai dengan setting operator untuk diberikan ke
pasien.
Pada patient breathing circuit, volume udara inspirasi akan mengalir dari
ventilator melalui selang inspirasi menuju Y piece kemudian melewati patient flow
sensor. Patient flow sensor terhubung dengan proximal flow dan proximal pressure
dengan aliran rinse flow. Pada pasient flow sensor terdapat membrane orifice
ditengah antara celah distal dan proximal yang mengalirkan rinse flow. Ketika
udara campuran dari valve inspirasi memasuki selang inspirasi breathing circuit
dan melewati patient flow sensor, maka membrane orifice akan terlihat seperti
gambar 4 yang akan menghambat tekanan dari sisi distal (dari ventilator) sehingga
rinse flow pada sisi distal akan dilawan dengan aliran inspirasi sehingga terukur dan
menghasilkan nilai pendeteksian tekanan inspirasi.

Gambar 5. Pasien Flow Sensor


Selanjutnya udara inspirasi dapat terdistribusi ke pasien baik itu secara
invasif menggunakan ETT ataupun non-invasif dengan face mask. Setelah terjadi
pertukaran udara pada paru-paru pasien, pasien akan menghembuskan udara
ekspirasi kembali melewati patient flow sensor. Sehingga membrane orifice akan
bergerak berlawanan gambar 4 dan akan menghambar tekanan pada sisi proximal
(dari pasien),sehingga rinse flow pada sisi proximal akan dilawan dengan aliran
ekspirasi sehingga dihasilkan nilai pendeteksian tekanan ekspirasi.

Gambar 6. Grafik pemberian positive air way Opening ( PAO )

Setelah melewati patient flow sensor, udara ekspirasi akan menuju ke Y


piece, udara ekspirasi tidak akan menuju ke selang inspirasi karena dari inspirasi
valve akan terus menerus membuka celah sedikit untuk memberikan PEEP. Seperti
pada gambar 5 menunjukkan grafik pemberian positive air way opening dari valve
inspirasi yang dipertahankan pada posisi terendah PEEP. Dan saat terjadi inspirasi,
tekanan akan meningkat seperti pada grafik menjadi lebih tinggi dari PEEP
menghasilkan positive inspiratory pressure. Dengan adanya PEEP maka udara
ekspirasi tidak akan menuju selang inspirasi dan akan menuju ke selang ekspirasi,
untuk selanjutnya menuju ke valve ekspirasi yang terbuka dan celahnya diatur
untuk mempertahankan PEEP sehingga alveolus pasien tidak collapse.
Proses inspirasi dan ekspirasi akan berlangsung terus menerus sesuai
pengaturan IE Ratio dan mode yang dipergunakan dengan kondisi pasien dipantau
secara terus menerus. Selanjutnya ketika akan menggunakan nebulizer,
persyaratannya suplai oksigen yang digunakan HPO akan mengalir ditunjukkan
gambar 3 dengan panah warna kuning dari nomor A menuju ke nomor G dengan
nebulizer set terpasang dan dengan menekan tombol nebulizer pada panel akan
mengaktifkan valve nebulizer sehingga proses pemberian cairan obat nebulizer
dapat berjalan sebagaimana mestinya.
2. Mode Pada Ventilator Hamilton C2
Pada ventilator Hamilton C2, terdapat mode pengoperasian
ventilator yang dapat dipergunakan oleh operator. Mode pengoperasian
tersebut antara lain, (S)CMV+, SIMV+, PCV+, PSIMV+, SPONT,
DuoPAP, APRV, ASV, nCPAP-PS, NIV,dan NIV-ST. Dari keseluruhan
mode yang ada tersebut, mode yang sering dipergunakan antara lain
mode (S)CMV+, SIMV+, PCV+, PSIMV+, SPONT, ASV untuk pemberian
nafas ventilator secara invasif dan NIV, NIV-ST, nCPAP-PS untuk
pemberian nafas ventilator secara non-invasif.
a. Mandatory Mode
Mandatory mode adalah mode yang menghantarkan nafas wajib
dengan siklus waktu bagi pasien, dimana pada ventilator Hamilton C2
Mandatory mode terbagi jadi Synchronized Controlled Mandatory
Ventilation mode atau (S)CMV+ dan Pressure Controlled Ventilation
mode atau PCV+ .
(S)CMV+ mode yakni mode nafas wajib yang menghantarkan
nafas ke pasien dengan menargetkan pada pemberian volume yang diatur
secara adaptif. Pengaturan pemberian volume secara adaptif memberikan
setting target volume udara (Volume tidal) yang diberikan ke pasien
dengan tekanan serendah mungkin sesuai kondisi paru-paru pasien.
Pengaturan volume adaptif bekerja dengan membandingkan setting
volume tidal oleh operator terhadap rata-rata volume yang didistribusi
dan volume yang dihembuskan. Controller tersebut pada gilirannya akan
menyesuaikan tekanan inspirasi yang akan diterapkan selama nafas
berikutnya untuk mendapatkan volume target. Ventilator akan
melakukan kalkulasi ulang tekanan inspirasi minimal yang dibutuhkan
untuk mencapai volume target sesuai perubahan karakteristik paru-paru.
Pembacaan dan penilaian berulang secara dinamis sesuai status paru-paru
pasien, sehingga menjamin ventilasi yang dibutuhkan dan mencegah
hypoventilation atau barotraumatis.
Kemudian terdapat mode PCV+ yakni mode nafas wajib terkendali
yang menghantarkan nafas ke pasien dengan menargetkan pada
pemberian tekanan dengan sifat biphasic (ventilator tidak memaksa
pasien mengikuti pola pernafasan yang ditetapkan, tapi memberikan
kesempatan pasien melakukan nafas sesuai kebutuhan dan kenyamanan
pasien), mode ini memungkinkan pasien bernafas bebas saat PEEP dan
saat pemberian tekanan terkontrol.

b. Spontaneous Mode
Mode spontan atau pressure support dengan SPONT dan Non-
Invasive Ventilation (NIV), merupakan mode yang memberikan nafas
spontan dengan syarat pasien dapat melakukan pernafasan secara manual
atas inisiatif pasien sendiri. SPONT dirancang untuk pasien dengan
diintubasi (invasif), sedangkan NIV dirancang untuk pasien dengan
penggunaan masker (non-invasif). Dalam penggunaan SPONT mode dan
NIV mode, ventilator akan berfungsi untuk mengalirkan kebutuhan nafas
yang diharapkan tercapai ke pasien dengan pasien yang bernafas secara
manual untuk menerima aliran udara yang dialirkan dari ventilator. Upaya
pernafasan spontan pasien juga dapat didukung dengan pressure support
yang telah diatur.

Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation Mode


Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation Mode pada
ventilator Hamilton C2 terdapat pada pemilihan Synchronized Intermittent
Mandatory Ventilation (SIMV+) mode, Pressured-controlled
Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation (PSIMV+) mode dan
Spontaneous / Timed Non-Invasive Ventilation (NIV-ST) mode. SIMV
adalah mode yang menjamin nafas terkirim ke pasien sesuai setting rate
oleh operator, dimana nafas wajib dan nafas spontan, keduanya dapat
terdistribusi ke pasien. Mode SIMV sebagai mode campuran yang
mengkombinaskan pendistribusian nafas wajib dengan pemberian
pressure support memerlukan setting parameter khusus yang juga
diterapkan pada mandatory mode dan mode spontan.
SIMV+ Mode merupakan mode yang menggabungkan atribut
(S)CMV+ mode dan SPONT mode dengan mendistribusikan volume yang
ditargetkan, nafas wajib dengan siklus waktu dan pressure support serta
nafas spontan dengan siklus aliran. Seperti pada (S)CMV+ mode , SIMV+
mode memastikan volume yang ditargetkan dapat terdistribusikan selama
nafas wajib. Setiap selang nafas SIMV+ mode, terdapat nilai trigger
dimana ventilator menunggu picuan nafas dari pasien. Jika pasien memicu
nafas, maka ventilator akan mendistribusikan nafas wajib dengan volume
yang ditargetkan. Kemudian jika pasien tidak memicu nafas, maka
ventilator akan secara otomatis mendistribusikan nafas wajib pada akhir
trigger. Setelah nafas wajib terdistribusi, pasien secara bebas mengambil
sejumlah nafas spontan selama waktu pemberian nafas ventilator.
PSIMV+ Mode dan NIV-ST Mode, adalah mode yang
memberikan tekanan terkendali berikut nafas wajib dengan siklus waktu
dan pressured support, serta nafas spontan dengan siklus aliran. PSIMV+
mode menggabungkan atribut PCV+ mode dan SPONT mode. Sedangkan
NIV-ST mode menggabungkan atribut PCV+ mode dengan NIV mode.
PSIMV+ mode seperti SPONT mode dirancang untuk metode pemberian
nafas diintubasi (invasif), sedangkan NIV-ST mode seperti NIV mode
dirancang untuk metode pemberian nafas menggunakan face mask (non-
invasif). Seperti PCV+ mode, PSIMV+ mode dan NIV-ST mode
memberikan tekanan yang diatur tapi tidak menjamin volume tidal yang
tetap, terutama saat terjadi perubahan penyesuaian sistem pernafasan,
tahanan jalan nafas atau aktivitas pernafasan pasien. Jika pasien memicu
nafas selama sebagian dari interval waktu pernafasan, maka ventilator
akan memberikan nafas spontan ke pasien. Jika selama interval waktu
pernafasan pasien tidak memicu nafas maka ventilator akan memulai
pemberian nafas wajib diakhir interval waktu pernafasan.
d. nCPAP-PS Mode
nassal Continuous Positive Airway Pressure-Pressure Support
(nCPAP-) Mode adalah mode yang digunakan untuk pasien neonatus.
Mode ini dirancang untuk menerapkan Continous Positive Airway
Pressure (CPAP) dan dukungan tekanan positif secara intermittent melalui
hidung pasien neonatus baik itu dengan face mask atau nassal prongs
khusus neonatal. Seperti pada PSIMV+ mode, nCPAP-PS mode
mendistribusikan tekanan yang telah diatur, namun tidak menjamin
distribusi volume tidal secara tetap, terutama saat terjadi penyesuaian
sistem pernafasan, hambatan pada jalan nafas dan karena kegiatan
pernafasan pasien itu sendiri. Jika pasien memicu nafas selama sebagian
dari interval pernafasan, ventilator akan segera memberikan nafas
spontan. Jika pasien tidak memicu nafas inspirasi selama interval waktu,
ventilator akan memulai pernafasan wajib diakhir interval waktu
pemberian nafas.

e. Adaptive Support Ventilation Mode


Adaptive Support Ventilation (ASV) mode adalah mode yang
dirancang mudah digunakan dan aman untuk membantu pernafasan
dengan metode intubasi (invasif). ASV Mode secara automatic
menjamin pasien menerima setting ventilasi tiap menit, baik untuk
pernafasan spontan ataupun ventilasi mekanis dengan perhitungan secara
dinamis untuk pola pernafasan optimal sesuai pendeteksian kondisi
pasien. ASV mode secara otomatis melakukan pengaturan menyesuaikan
kebutuhan pasien pada tekanan serendah mungkin untuk melindungi paru-
paru pasien, memulihkan dengan cepat, dan mengurangi timbulnya alarm
yang tidak penting dari ventilator.
5. Bagian – Bagian Alat

Hepa Filter

Berfungsi untuk menyaring udara dari


luar karena kompresor nya turbin.

Slot Baterry

Sebagai tempat baterry DC

1 Keterangan:
1. O2 cell, sebagai sensor oksigen
menghitung kadar oksigen
2. Port Inspirasi, sebagai port untuk gas
2 yang diberikan ke pasien
3. Port ekspirasi, port udara yang
dihembuskan pasien.
3

Humidifier

Berfungsi sebagai pelembab udara agar udara


yang masuk ke paru – paru tidak kering
Flowsensor

Berfungsi sebagai sensor aliran


udara

Water Trap

Berfungsi untuk menampung air


yang berasal dari penguapan nafas

Breathing Circuit

Berfungsi sebagai menyalurkan aliran gas


dari alat ke pasien dan sebaliknya
9
8
7

6
5
4

1 2

Keterangan :

1. Display Touchscreen, sebagai tampilan parameter-parameter pada alat


2. Knob, untuk memilih dan menyesuaikan setting ventilator
3. Alarm Silence Key, Berfungsi untuk mensilent alarm ventilator
4. Print screen key, untuk mencapture display dan dapat di simpan di sd card
5. Nebulizer on/off, berfungsi untuk mengaktifkan dan mematikan sistempenumatic
nebulizer
6. Manual breath / inspiratory hold key, untuk membaging tapi tidak memencet
tombol dan untuk menahan napas pasien selama 10 detik
7. O2 enchriment key, berfungsi untuk memberikan konsentrasi O2 100%
8. Screen lock / unlock key, berfungsi untuk mengunci sistem tombol dan touchscreen
9. Power standby switch, berfungsi untuk menghidupkan dan mematikan alat.
6. Prosedur Tetap Pengoperasian Ventilator

PROSEDUR PENGOPERASIAN VENTILATOR


RSUP
FATMAWATI
No. Dokumen : No. Revisi : Halaman :
1/2

Tanggal Terbit : Ditetapkan


Direktur Utama

PROSEDUR
TETAP

Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn,


KIC, MARS
NIP. 195708021987102001
Pengertian Prosedur Tetap Pengoperasian ventilator adalah bentuk
dari standar yang berupa cara atau langkah-langkah yang
harus diikuti dalam melaksanakan kegiatan
pengoperasian ventilator, yang berdasarkan prasyarat dan
urutan kerja yang harus di penuhi. Prosedur ini disusun
berdasarkan pada petunjuk pengoperasian dan petunjuk
lain yang terkait, berupa: prasyarat, persiapan,
pemanasan, pelaksanaan pengoperasian, pengemasan,
dan penyimpanan, agar alat dapat difungsikan dengan
baik untuk untuk mengontrol, membantu atau mengambil
alih fungsi paru-paru pada pasien.
Tujuan Tersedianya Prosedur Tetap (Protap) Pengoprasian alat
Ventilator Hamilton C2 adalah :

1. Hasil kerja alat maksimal, mutu pelayanan


terjamin
2. Memperpanjang usia teknis alat
3. Aman bagi pasien dan operator
4. Terhindar dari kesalahan operasional alat
Kebijakan 1. Melaksanakan pengelolaan kegiatan
perencanaan, pengembangan, pemeliharaan alat
medik dan keperawatan.
Prosedur 1.Prasyarat
1.1. SDM terlatih dan siap
1.2. Alat Laik pakai
1.3. Aksesoris alat lengkap dan baik
1.4. Bahan operasional tersedia
2.Persiapan
2.1. Tempatkan alat pada ruangan tindakan
2.2. Lepaskan penutup debu
2.3. Siapkan gas medis yang diperlukan (O2)
2.4. Periksa Supply gas dan cek tekanan gas (antara 3
sampai dengan 6 BAR)
2.5. Siapkan aksesoris breathing circuit dan flow sensor
3. Pelaksanaan
3.1. Perhatikan protap pelayanan
3.2. Hubungkan slang-slang, face mask dan atau bagian-
bagian lain pada pasien sesuai keperluan
3.3. Tekan tombol powerswitch untuk menyalakan alat
3.4. Kalibrasi terlebih dahulu pilih “system” lalu “test and
calib”
 Tightness (kerapatan circuit)
 Lepaskan dari pasien
 Tutup / blok
 Pasang kembali
 Flowsensor ( cek flow sensor )
 Lepas flow sensor
 Sambungkan lagi
 Bolak balik flow sensor (tunggu beberapa
detik )
 Balikan kembali
 Sambungkan kembali
 O2 cell
3.5. Pilih mode pasien adult / neonate
3.6. Setting tinggi badan, Start ventilation
3.7. Pilih Modus
3.8. Setting Parameter

4. Pengemasan/Penyimpanan
4.1. Atur pengaturan oksigen ke posisi minimum

4.2. Lepaskan facemask dari pasien


4.3. tekan tombol On/Off untuk mamatikan alat

4.4. Lepaskan hubungan alat dengan supply oksigen


4.5. Lepaskan hubungan alat dengan supply tekanan
4.6. Lepaskan hubungan alat dari catu daya dan kabel
pembumian
4.7. Lepaskan humidifier unit dan semua aksesori
4.8. Bersihkan alat dan semua aksesoris kemudian
simpan pada tempatnya
4.9. Pasang penutup debu
4.10. Catat beban kerja alat dalam jumlah jam/bln
Unit terkait 1. Intensive Care Unit ( ICU )
2. Instlasi Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Rumah
Sakit (IPSRS)

7. Prosedur Tetap Pemeliharaan Ventilator

PEMELIHARAAN VENTILATOR MERK HAMILTON TYPE C2


RSUP FATMAWATI
No. Dokumen : No. Revisi : Halaman :
1/2

Tanggal Terbit : Ditetapkan


Direktur Utama

PROSEDUR TETAP

Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, KIC,


MARS
NIP. 195708021987102001
Pengertian
Prosedur Tetap Pemeliharaan alat Ventilator adalah bentuk
standar mengenail langkah-langkah teknis yang harus diikuti
oleh teknisi elektromedis dalam melaksanakan pemeliharaan
alat Ventilator yang berdasarkan prasyarat dan prosedur yang
harus di penuhi. Prosedur ini disusun berdasarkan pada service
manual dan petunjuk lain yang terkait, dengan urutan kerja :
pembersihan, pelumasan, pengencangan, pengecekan fungsi
dan kondisi bagian alat, penggantian bahan pemeliharaan,
pemeriksaan kinerja, aspek keselamatan kerja dan penyetelan /
adjustment. Kesimpulan hasil pemeliharaan alat baik atau alat
tidak baik.
Tujuan A. Tersedianya acuan pemeliharaan alat Ventilator
Merk Hamilton C2
B. Terpeliharanya kondisi laik pakai alat
C. Terjaminnya usia teknis alat
Kebijakan Melaksanakan pengelolaan kegiatan perencanaan,
pengembangan, pemeliharaan alat medik dan keperawatan

Tahapan A. Persiapan
1. Siapkan Surat Perintah Kerja (SPK)
2. Siapkan formulir lembar kerja
3. Siapkan formulir laporan kerja
4. Siapkan dokumen teknis penyerta :
a. Service Manual
b. Wiring program
5. Siapkan peralatan kerja
a. Tool Set
b. Multimeter
c. Leakage Current Meter
d. Higro thermograph analyzer
6. Siapkan bahan pemeliharaan :
a. kain lap
b. Cairan pembersih/disinfektan
c. Fuse
d. Vacuum cleaner
e. Contact cleaner
f. Kuas
g.Air filter
7. Pemberitahuan kepada pengguna alat
B. Pelaksanaan Pemeliharaan
1. Lakukan pembersihan seluruh bagian alat
2. .Lakukan pelumasan pada roda trolly
3. Lakukan pengencangan / Tightening pada konektor
gas.
4. Lakukan pengecekan fungsi dan kondisi bagian alat
5. Lakukan penggantian bahan pemeliharaan
6. Lakukan pemeriksaan kinerja dan aspek keselamatan
kerja
7. Lakukan penyetelan / Adjusment
8. Kesimpulan hasil pemeliharaan
C. Pencatatan
1. Lakukan pengisian formulir lembar kerja, kartu
pemeliharaan dan SPK
2. Simpulkan hasil pemantuan fungsi
 Alat baik
 Alat tidak baik
3. Pengguna alat menandatangani lembar kerja dan SPK,
sebagai bukti pemeliharaan alat telah dilaksanakan
D. Pengemasan
1. Cek alat kerja dan alat ukur sesuai lembar kerja
2. Cek dan rapihkan dokumen teknis penyerta ke tempat
semula
3. Kembalikan alat kerja, alat ukur dan dokumen teknis
penyerta ke tempat semula
4. Bersihkan alat Ventilator dan lokasi pemeliharaan.
E. Laporan
1. Laporkan hasil pemeliharaan alat kepada Unit
Pelayanan pengguna alat dan serahkan kembali alat
Ventilator yang telah dipelihara
2. Laporkan hasil pemantuan fungsi kepada pemberi tugas
Unit terkait 1. Intensive Care Unit
2. Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit
8. Prosedur Tetap Perbaikan Ventilator

PROSEDUR TETAP PERBAIKAN VENTILATOR

RSUP FATMAWATI No. Dokumen : No. Revisi : Halaman :


1 dari 2

PROSEDUR TETAP Tanggal Terbit : Ditetapkan


Direktur Utama
Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, KIC,
MARS
NIP. 195708021987102001
Pengertian
Prosedur Tetap Perbaikan Ventilator adalah bentuk dari standar
baku, mengenai langkah-langkah teknis yang harus diikuti oleh
teknisi elektromedis dalam melaksanakan perbaikan kerusakan
alat Ventilator yang berdasarkan prasyarat dan prosedur yang
harus dipenuhi. Prosedur ini disusun berdasarkan pada service
manual, dan petunjuk lain yang terkait, dengan urutan kerja :
analisa kerusakan, penyiapan suku cadang, perbaikan,
penyetelan / adjument, kalibrasi internal, uji kinerja dan
pengukuran aspek keselamatan kerja. Kesimpulan hasil
perbaikan dpat disimpulkan alat baik atau alat tidak baik.
Tujuan
1. Agar perbaikan dapat dilakukan sesuai prosedur yang
benar
2. Alat yang mengalami kerusakan dapat diperbaiki dan
berfungsi kembali
Kebijakan 1. Melaksanakan pengelolaan kegiatan
perencanaan, pengembangan, pemeliharaan alat medik
dan keperawatan.

Prosedur 1.Prasyarat
1.1. SDM terlatih dan siap
1.2. Alat kesehatan dalam kondisi rusak
1.3. Peralatan kerja dan alat ukur lengkap
1.4. Dokumen teknis, protap perbaikan, lembar kerja perbaikan,
dan protap pengoperasian, tersedia
1.5. Bahan pemeliharaan dan material bantu, tersedia
1.6. Suku cadang dapat diperoleh
1.7. Ruang kerja memenuhi ketentuan kondisi lingkungan
2. Peralatan
2.1. Alat Kerja : Toolset Gas
Toolset Mekanik
2.2. Alat Ukur : Multimeter
Mass Flow Meter
Termohygrometer
3.Persiapan
3.1. Siapkan surat perintah kerja (SPK)
3.2. Siapkan formulir lembar kerja Perbaikan
3.3. Siapkan:
a. Service Manual, diagram ( Schematic / wiring )
b. Protap perbaikan dan protap pengoperasian alat
c. Riwayat perbaikan alat
3.4. Siapkan alat kerja dan alat ukur
3.5. Siapkan bahan pemeliharaan dan material bantu
3.6. Pemberitahuan kepada Unit pelayanan penggunaan alat
4. Pelaksanaan
4.1. Lakukan Anilasa Kerusakan
 Tanyakan kepada pengguna alat, mengenai gejala
kerusakan.
 Lakukan trouble shooting, untuk mengetahui penyebab
kerusakan, bagian alat / komponen / suku cadang yang
mengalami kerusakan.
 Lakukan pendataan bagian alat / komponen / suku
cadang / yang rusak, lengkap dengan data teknis dan
nomor catalog
4.2.Siapkan suku cadang yang diperlukan
4.3. Lakukan langkah perbaikan ( dengan atau tanpa suku
cadang)
4.4. Lakukan penyetelan / adjustment, kalibrasi internal
4.5. Lakukan uji kinerja dan pengukuran aspek keselamatan
kerja
5. Pencatatan
5.1. Lakukan pengisian formulir lembar kerja perbaikan dan
SPK
5.2. Simpulkan hasil perbaikan :
 Alat baik
 Alat tidak baik
5.3. Pengguna alat menandatangani lembar kerja perbaikan
dan SPK, sebagai bukti perbaikan alat telah dilaksanakan
6. Pengemasan
6.1 Cek alat kerja dan alat ukur sesuai lembar kerja
6.2. Cek dan rapihkan dokumen teknis penyerta ke tempat
semula
6.3. Kembalikan alat kerja, alat ukur dan dokumen teknis
penyerta ke tempat semula
6.4. Bersihkan alat Ventilator dan lokasi perbaikan.
7. Laporan
7.1. Laporkan hasil perbaikan alat kepada Unit Pelayanan
pengguna alat dan serahkan kembali alat Ventilator yang
telah diperbaiki
7.2. Laporkan hasil perbaikan kepada pemberi tugas
Unit terkait 1. Intensive Care Unit
2. Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit

9. Persyaratan Teknis Lingkungan Dalam Penyimpanan Alat


 Persyaratan : pada saat pengoperasian, alat harus pada ruangan
bersuhu bersuhu 10 atau 40 celcius, tekanan atmosfir pada 700
sampai 1060 hPa dan kelembaban pada 10 sampai 90%.
 Lingkungan : Jangan digunakan pada area yang mudah terbakar,
dapat meledak. Tidak untuk ruangan yang terdapat MRI,
ruangan harus berventilasi baik, tidak terlalu lembab
 Penempatan alat : Dibutuhkan luas standar 1x1 meter untuk
peletakan alat Ventilator, dan tidak boleh berdekatan dengan oli
atau cairan yang dapat merusak bahkan meledak bila terkena
gas dan alat.
BANTUAN HIDUP DASAR
(BHD)
INDIKASI
1. Henti napas
Henti napas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara
pernapasan dari korban/pasien. Henti napas merupakan kasus yang harus dilakukan
tindakan Bantuan Hidup Dasar. Henti napas dapat terjadi pada keadaan:
 Tenggelam
 Stroke
 Obstruksi jalan napas

 Epiglotitis

 Overdosis obat-obatan

 Tersengat listrik

 Infark miokard

 Tersambar petir

 Koma akibat berbagai macam kasus.

Pada awal henti napas oksigen masih dapat masuk kedalam darah untuk
beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ
vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan napas akan sangat bermanfaat
agar korban dapat tetap hidup dan mencegah henti jantung.

2. Henti jantug

Pada saat terjadi henti jantung, secara langsung akan terjadi henti sirkulasi.
Henti sirkulasi ini akan dengan cepat menyebabkan otak dan organ vital kekurangan
oksigen. Pernapasan yang terganggu (tersengal-sengal) merupakan tanda awal akan
terjadinya henti jantung.
Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang
bertujuan:

1. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi.


2. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban
yang mengalami henti jantung atau henti napas melalui Resusitasi Jantung
Paru (RJP).

Resusitasi jantung Paru terdiri dari 2 tahap, yaitu :


 Survei Primer (Primary Survey), yang dapat dilakukan oleh setiap orang
 Survei Sekunder (Secondary Survey), yang hanya dapat dilakukan oleh
tenaga medis dan paramedis terlatih dan merupakan lanjutan dari survei
primer.

SURVEI PRIMER

Dalam survei primer difokuskan pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi serta
defibrilasi. Untuk dapat mengingat dengan mudah tindakan survei primer
dirumuskan dengan abjad A, B, C, dan D, yaitu

A airway (jalan napas)

B breathing (bantuan napas)

C circulation (bantuan sirkulasi)

D defibrilation (terapi listrik)

Sebelum melakukan tahapan A (airway), harus terlebih dahulu dilakukan prosedur


awal pada korban/pasien, yaitu :

1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong

1. Memastikan kesadaran dari korban/pasien.

Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak penolong harus
melakukan upaya agar dapat memastikan kesadaran korban/pasien, dapat dengan
cara menyentuh atau menggoyangkan bahu korban/pasien dengan lembut dan mantap
untuk mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil namanya atau
Pak !!! / Bu!!! / Mas!!! /Mbak !!!.

1. Meminta pertolongan.
Jika ternyata korban/pasien tidak memberikan respon terhadap panggilan, segera
minta bantuan dengan cara berteriak “Tolong !!!” untuk mengaktifkan sistem
pelayanan medis yang lebih lanjut.

2. Memperbaiki posisi korban/pasien.

Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban/pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. jika korban
ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi korban ke posisi
terlentang. Ingat! penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan
antara kepala, leher dan bahu digerakkan secara bersama-sama. Jika posisi sudah
terlentang, korban harus dipertahankan pada posisi horisontal dengan alas tidur
yang keras dan kedua tangan diletakkan di samping tubuh.

3. Mengatur posisi penolong.

Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan bantuan napas
dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau menggerakkan lutut.

A (AIRWAY) Jalan Napas

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan dengan melakukkan


tindakan :

1. Pemeriksaan jalan napas.

Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas
oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau
sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah
yang dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat
dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat
dibuka dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan
dengan jari telunjuk Pada mulut korban.
2. Membuka jalan napas.

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa pada
korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan epiglotis akan
menutup farink dan larink, inilah salah satu penyebab sumbatan jalan napas.
Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat dilakukan dengan cara Tengadah
kepala topang dagu (Head tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula.
Teknik membuka jalan napas yang direkomendasikan untuk orang awam dan
petugas, kesehatan adalah tengadah kepala topang dagu, namun demikian
petugas kesehatan harus dapat melakukan manuver lainnya.

B (BREATHING) Bantuan napas

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan korban/pasien tidak bernapas.

Dengan cara melihat pergerakan naik turunnva dada, mendengar bunyi napas
dan merasakan hembusan napas korban/pasien. Untuk itu penolong harus
mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung korban/pasien, sambil tetap
mempertahankan jalan napas tetap terbuka. Prosedur ini dilakukan tidak boleh
melebihi 10 detik.

2. Memberikan bantuan napas.

Jika korban/pasien tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukkan melalui


mulut ke mulut, mulut ke hidung atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada
tenggorokan) dengan cara memberikan hembusan napas sebanyak 2 kali
hembusan, waktu yang dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 1,5 – 2 detik
dan volume udara yang dihembuskan adalah 7000 – 1000 ml (10 ml/kg) atau
sampai dada korban/pasien terlihat mengembang. Penolong harus menarik napas
dalam pada saat akan menghembuskan napas agar tercapai volume udara yang
cukup. Konsentrasi oksigen yang dapat diberikan hanya 16 – 17%. Penolong
juga harus memperhatikan respon dari korban/pasien setelah diberikan bantuan
napas.

Cara memberikan bantuan pernapasan :

 Mulut ke mulut

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara yang


tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru korban/pasien. Pada
saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong harus
mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat
menutup seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi kebocoran
saat mengghembuskan napas dan juga penolong harus menutup lubang
hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari telunjuk untuk mencegah udara
keluar kembali dari hidung. Volume udara yang diberikan pada kebanyakkan
orang dewasa adalah 700 – 1000 ml (10 ml/kg). Volume udara yang
berlebihan dan laju inpirasi yang terlalu cepat dapat menyebabkan udara
memasuki lambung, sehingga terjadi distensi lambung.

 Mulut ke hidung

Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut korban tidak
memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut korban
mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui mulut ke hidung,
penolong harus menutup mulut korban/pasien.

 Mulut ke Stoma

Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma) yang


menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien mengalami kesulitan
pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari mulut ke stoma.

C (CIRCULATION) Bantuan sirkulasi


Terdiri dari 2 tahapan :

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban/pasien.

Ada tidaknya denyut jantung korban/pasien dapat ditentukan dengan meraba


arteri karotis di daerah leher korban/ pasien, dengan dua atau tiga jari tangan
(jari telunjuk dan tengah) penolong dapat meraba pertengahan leher sehingga
teraba trakhea, kemudian kedua jari digeser ke bagian sisi kanan atau kiri
kira-kira 1 – 2 cm raba dengan lembut selama 5 – 10 detik.
Jika teraba denyutan nadi, penolong harus kembali memeriksa pernapasan
korban dengan melakukan manuver tengadah kepala topang dagu untuk
menilai pernapasan korban/pasien. Jika tidak bernapas lakukan bantuan
pernapasan, dan jika bernapas pertahankan jalan napas.

2. Memberikan bantuan sirkulasi.

Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat diberikan
bantuan sirkulasi atau yang disebut dengan kompresi jantung luar, dilakukan
dengan teknik sebagai berikut :

 Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong menelusuri tulang iga
kanan atau kiri sehingga bertemu dengan tulang dada (sternum).
 Dari pertemuan tulang iga (tulang sternum) diukur kurang lebih 2 atau 3
jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakan tangan
penolong dalam memberikan bantuan sirkulasi.

 Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu
telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya, hindari jari-jari
tangan menyentuh dinding dada korban/pasien, jari-jari tangan dapat
diluruskan atau menyilang.

 Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan dinding dada


korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 15 kali
dengan kedalaman penekanan berkisar antara 1.5 – 2 inci (3,8 – 5 cm).
 Tekanan pada dada harus dilepaskan keseluruhannya dan dada dibiarkan
mengembang kembali ke posisi semula setiap kali melakukan kompresi
dada. Selang waktu yang dipergunakan untuk melepaskan kompresi
harus sama dengan pada saat melakukan kompresi. (50% Duty Cycle).

 Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau merubah posisi
tangan pada saat melepaskan kompresi.

 Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 15 : 2, dilakukan


baik oleh 1 atau 2 penolong jika korban/pasien tidak terintubasi dan
kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit (dilakukan 4 siklus
permenit), untuk kemudian dinilai apakah perlu dilakukan siklus
berikutnya atau tidak.

Dari tindakan kompresi yang benar hanya akan mencapai tekanan sistolik 60
– 80 mmHg, dan diastolik yang sangat rendah, sedangkan curah jantung (cardiac
output) hanya 25% dari curah jantung normal. Selang waktu mulai dari menemukan
pasien dan dilakukan prosedur dasar sampai dilakukannya tindakan bantuan sirkulasi
(kompresi dada) tidak boleh melebihi 30 detik.

D (DEFIBRILATION)

Defibrilation atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan istilah


defibrilasi adalah suatu terapi dengan memberikan energi listrik. Hal ini dilakukan
jika penyebab henti jantung (cardiac arrest) adalah kelainan irama jantung yang
disebut dengan Fibrilasi Ventrikel. Dimasa sekarang ini sudah tersedia alat untuk
defibrilasi (defibrilator) yang dapat digunakan oleh orang awam yang disebut
Automatic External Defibrilation, dimana alat tersebut dapat mengetahui korban
henti jantung ini harus dilakukan defibrilasi atau tidak, jika perlu dilakukan
defibrilasi alat tersebut dapat memberikan tanda kepada penolong untuk melakukan
defibrilasi atau melanjutkan bantuan napas dan bantuan sirkulasi saja.

MELAKUKAN BHD 1 DAN 2 PENOLONG


Orang awam hanya mempelajari cara melakukan BHD 1 penolong. Teknik BHD
yang dilakukan oleh 2 penolong menyebabkan kebingungan koordinasi. BHD 1
penolong pada orang awam lebih efektif mempertahankan sirkulasi dan ventilasi
yang adekuat, tetapi konsekuensinya akan menyebabkan penolong cepat lelah.

BHD 1 penolong dapat mengikuti urutan sebagai berikut :

1. Penilaian korban

Tentukan kesadaran korban/pasien (sentuh dan goyangkan korban dengan lembut dan
mantap), jika tidak sadar, maka

- Minta pertolongan serta aktifkan sistem emergensi.


- Jalan napas (AIRWAY)

 Posisikan korban/pasien

 Buka jalan napas dengan manuver tengadah kepala-topang dagu.

- Pernapasan (BREATHING)

Nilai pernapasan untuk melihat ada tidaknya pernapasan dan adekuat atau tidak
pernapasan korban/pasien.

Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dengan napas spontan, serta tidak ada trauma
leher (trauma tulang belakang) posisikan korban pada posisi mantap (Recovery
positiotion), dengan tetap menjaga jalan napas tetap terbuka.

Jika korban/pasien dewasa tidak sadar dan tidak bernapas, lakukkan bantuan napas.
Di Amerika serikat dan di negara lainnya dilakukan bantuan napas awal sebanyak 2
kali, sedangkandi Eropa,Australia,New Zealanddiberikan 5 kali. Jika pemberian
napas awal terdapat kesulitan, dapat dicoba dengan membetulkan posisi kepala
korban/pasien, atau ternyata tidak bisa juga maka dilakukan :
 Untuk orang awam dapat dilanjutkan dengan kompresi dada sebanyak 15 kali
dan 2 kali ventilasi, setiap kali membuka jalan napas untuk menghembuskan
napas, sambil mencari benda yang menyumbat di jalan napas, jika terlihat
usahakan dikeluarkan.
 Untuk petugas kesehatan yang terlatih dilakukan manajemen obstruksi jalan
napas oleh benda asing.

 Pastikan dada pasien mengembang pada saat diberikan bantuan pernapasan.

 Setelah memberikan napas 12 kali (1 menit), nilai kembali tanda-tanda


adanya sirkulasi dengan meraba arteri karotis, bila nadi ada cek napas, jika
tidak bernapas lanjutkan kembali bantuan napas.

- Sirkulasi (CIRCULATION)

Periksa tanda-tanda adanya sirkulasi setelah memberikan 2 kali bantuan pernapasan


dengan cara melihat ada tidaknva pernapasan spontan, batuk atau pergerakan. Untuk
petugas kesehatan terlatih hendaknya memeriksa denyut nadi pada arteri Karotis.

1. jika ada tanda-tanda sirkulasi, dan ada denyut nadi tidak dilakukan kompresi
dada, hanya menilai pernapasan korban/pasien (ada atau tidak ada
pernapasan)

2. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, denvut nadi tidak ada lakukan kompresi
dada

o Letakkan telapak tangan pada posisi yang benar

o Lakukan kompresi dada sebanyak 15 kali dengan kecepatan 100 kali


permenit

o Buka jalan napas dan berikan 2 kali bantuan pernapasan.


o Letakkan kembali telapak tangan pada posisi yang tepat dan mulai
kembali kompresi 15 kali dengan kecepatan 100 kali permenit.

o Lakukan 4 siklus secara lengkap (15 kompresi dan 2 kali bantuan


pernapasan)

- Penilaian Ulang

Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian korban dievaluasi kembali,

 Jika tidak ada nadi dilakukan kembali kompresi dan bantuan napas dengan
rasio 15 : 2.
 Jika ada napas dan denyut nadi teraba letakkan korban pada posisi mantap.
 Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas sebanyak 10 12
kali permenit dan monitor nadi setiap saat.
 Jika sudah terdapat pernapasan spontan dan adekuat serta nadi teraba, jaga
agar jalan napas tetap terbuka kemudian korban/pasien ditidurkan pada posisi
sisi mantap.

PENATALAKSANAAN OBSTRUKSI JALAN NAPAS OLEH BENDA ASING

Pengertian obstruksi jalan napas oleh benda asing :

Obstruksi jalan napas oleh benda asing pada orang dewasa sering terjadi pada saat
makan, daging merupakan penyebab utama obstruksi jalan napas meskipun demikian
berbagai macam bentuk makanan yang lain berpotensi menyumbat jalan napas pada
anak-anak dan orang dewasa.

Benda asing tersebut dapat menyebabkan obstruksi jalan napas sebagian (parsial)
atau komplit (total). Pada obstruksi jalan napas partial korban mungkin masih
mampu melakukan pernapasan, namun kualitas pernapasan dapat baik atau buruk.
Pada korban dengan pernapasan yang masih baik, korban biasanya masih dapat
melakukan tindakan batuk dengan kuat, usahakan agar korban tetap bisa melakukan
batuk dengan kuat sampai benda asing tersebut dapat keluar. Bila sumbatan jalan
napas partial menetap, maka aktifkan sistem pelayanan medik darurat. Obstruksi
jalan napas partial dengan pernapasan yang buruk harus diperlakukan sebagai
Obstruksi jalan napas komplit.

Obstruksi jalan napas komplit (total), korban biasanya tidak dapat berbicara,
bernapas, atau batuk. Biasanya korban memegang lehernya diantara ibu jari dan jari
lainya. Saturasi oksigen akan dengan cepat menurun dan otak akan mengalami
kekurangan oksigen sehingga menyebabkan kehilangan kesadaran, dan kematian
akan cepat terjadi jika tidak diambil tindakan segera.

Penatalaksanaan obstruksi jalan napas oleh benda asing:

 Manuver Heimlich

Untuk mengatasi obstruksi jalan napas oleh benda asing dapat dilakukan manuver
Heimlich (hentakan subdiafragmaabdomen). Suatu hentakan yang menyebabkan
peningkatan tekanan pada diafragma sehingga memaksa udara yang ada di dalam
paru-paru untuk keluar dengan cepat sehingga diharapkan dapat mendorong atau
mengeluarkan benda asing yang menyumbat jalan napas. Setiap hentakan harus
diberikan dengan tujuan menghilangkan obstruksi, mungkin dibutuhkan hentakan 6 –
10 kali untuk membersihkan jalan napas.

Pertimbangan penting dalam rnelakukan manuver Heimlichi adalah kemungkinan


kerusakan pada organ-organ besar.

Manuver Heimlich pada korban sadar dengan posisi berdiri atau duduk

Penolong harus berdiri di belakang korban, melingkari pinggang korban dengan


kedua lengan, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi jempol tangan
kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung tulang sternum.
Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya, Tekan kepalan ke perut dengan
hentakan yang cepat ke arah atas. Setiap hentakan harus terpisah dan dengan gerakan
yang jelas.
Manuver Heimlich pada korban yang tergeletak (tidak sadar)

Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka keatas. Penolong
berlutut disisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis
tengah sedikit di atas pusat dan jauh dibawah ujung tulang sternum, tangan kedua
diletakkan diatas tangan pertama. Penolong menekan kearah perut dengan hentakan
yang cepat kearah atas. Manuver ini dapat dilakukan pada korban sadar jika
penolongnya terlampau pendek untuk memeluk pinggang korban.

Manuver Heimlich pada yang dilakukan sendiri :

Pengobatan diri sendiri terhadap obstruksi jalan napas

Kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut diatas pusat dan dibawah
tulang sternum, genggam kepalan itu dengan kuat dan berikan tekanan ke atas ke
arah diafragma dengan gerakan cepat, jika tidak berhasil dapat dilakukan tindakan
dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi.

 Penyapuan jari

Manuver ini hanya dilakukan atau digunakan pada korban tidak sadar, dengan muka
menghadap keatas buka mulut korban dengan memegang lidah dan rahang diantara
ibu jari dan jari-jarinya, kemudian mengangkat rahang bawah. Tindakan ini akan
menjauhkan lidah dari kerongkongan serta menjauhkan benda asing yang mungkin
menyangkut ditempat tersebut. Masukkan jari telunjuk tangan lain menelusuri bagian
dalam pipi, jauh ke dalam kerongkongan di bagian dasar lidah, kemudian lakukan
gerakan mengait untuk melepaskan benda asing serta menggerakkan benda asing
tersebut ke dalam mulut sehingga memudahkan untuk diambil. Hati-hati agar tidak
mendorong benda asing lebih jauh kedalam jalan napas.

PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS

Mengenali adanya sumbatan jalan napas


Penyebab utama jalan napas pada pasien tidak sadar adalah hilangnya tonus otot
tenggorokan sehingga pangkal lidah jatuh menyumbat farink dan epiglotis menutup
larink. Bila pasien masih bernapas sumbatan partial menyebabkan bunyi napas saat
inspirasi bertambah (stridor), sianosis (tanda lanjut) dan retraksi otot napas
tambahan. Tanda ini akan hilang pada pasien yang tidak bernapas.

Tahap dasar membuka jalan napas tanpa alat

Tengadahkan kepala pasien disertai dengan mengangkat rahang bawah ke depan.


Bila ada dugaan cedera pada leher lakukan pengangkatan rahang bawah ke depan
disertai dengan membuka rahang bawah (Jaw thrust), jangan lakukan ekstensi
kepala. Apabila pasien masih bernapas spontan, untuk menjaga jalan napas tetap
terbuka posisikan kepala pada kedudukan yang tepat. Pada keadaan yang meragukan
untuk mempertahankan jalan napas pasanglah oral/nasal airway.

Tahap dasar membuka jalan napas dengan alat

Apabila manipulasi posisi kepala tidak dapat membebaskan jalan napas akibat
sumbatan oleh pangkal lidah atau epiglotis maka lakukan pemasangan alat bantu
jalan napas oral/nasal. Sumbatan oleh benda asing diatasi dengan perasat Heimlich
atau laringoskopi disertai dengan pengisapan atau menjepit dan menarik keluar
benda asing yang terlihat.

Alat bantu jalan napas orofaring (oropharyngeal airway)

Alat bantu jalan napas orofaring menahan pangkal lidah dari dinding belakang
faring. Alat ini berguna pada pasien yang masih bernapas spontan atau saat dilakukan
ventilasi dengan sungkup dan bagging dimana tanpa disadari penolong menekan
dagu ke bawah sehingga jalan napas tersumbat. Alat ini juga membantu saat
dilakukan pengisapan lendir dan mencegah pasien mengigit pipa endotrakheal
(ETT).

Cara pemasangan

 Bersihkan mulut dan faring dari segala kotoran


 Masukan alat dengan ujung mengarah ke chefalad

 Saat didorong masuk mendekati dinding belakang faring alat diputar 180°

 Ukuran alat dan penempatan yang tepat menghasilkan bunyi napas yang
nyaring pada auskultasi paru saat dilakukan ventilasi

 Pertahankan posisi kepala yang tepat setelah alat terpasang

Bahaya

 Cara pemasangan yang tidak tepat dapat mendorong lidah ke belakang atau
apabila ukuran terlampau panjang epiglotis akan tertekan menutup rimaglotis
sehingga jalan napas tersumbat
 Hindarkan terjepitnya lidah dan bibir antara gigi dan alat

 Jangan gunakan alat ini pada pasien dimana refleks faring masih ada karena
dapat menyebabkan muntah dan spasme laring

Alat bantu napas nasofaring (nasopharyngeal airway)

Alat ini berbentuk pipa polos terbuat dari karet atau plastik. Biasanya digunakan
pada pasien yang menolak menggunakan alat bantu jalan napas orofaring atau
apabila secara tehnis tidak mungkin. memasang alat bantu jalan napas orofaring
(misalnya trismus, rahang mengatup kuat dan cedera berat daerah mulut).

Cara pernasangan

 Pilih alat dengan ukurang yang tepat, lumasi dan masukkan menyusuri bagian
tengah dan dasar rongga hidung hingga mencapai daerah belakang lidah
 Apabila ada tahanan dengan dorongan ringan alat diputar sedikit.

Bahaya

 Alat vang terlalu panjang dapat masuk oesophagus dengan secgala akibatnya
 Alat ini dapat merangsang, muntah dan spasme laring

 Dapat menyebabkan perdarahan akibat kerusakan mukosa akibat


pernasangan, oleh sebab itu alat penghisap harus selalu siap saat pernasangan.

Ingat !!

 Selalu periksa apakah napas spontan timbul setelah pemasangan alat ini.
 Apabila tidak ada napas spontan lakukan napas buatan dengan alat bantu
napas yang memadai.

 Bila tidak ada alat bantu napas yang memadai lakukan pernapasan dari mulut
ke mulut

Pernapasan buatan

Pernapasan mulut ke mulut dan mulut ke hidung

Cara ini merupakan tehnik dasar bantuan napas. Upayakan memakai pelindung
(barrier) antara mulut penolong dengan pasien berupa lembar plastik/silikon
berlubang ditengah atau memakai sungkup, sungkup khusus ini dikenal dengan nama
Pocketfacemask. Keterbatasan cara ini adalah konsentrasi oksigen ekspirasi penolong
rendah (16-17%).

Pernapasan mulut ke sungkup muka (pocket facemask)

Memegang sungkup dengan tepat memerlukan latihan dan konsentrasi, akan tetapi
alat ini merupakan alat bantu efektif untuk napas buatan. Sungkup muka ini memiliki
beberapa ukuran, bening untuk memudahkan melihat adanya regurgitasi dan
memiliki lubang masuk untuk oksigen tambahan. Keuntungan dari penggunaan
sungkup muka ini adalah mencegah kontak langsung dengan pasien dan dapat
memberikan oksigen tambahan

Cara melakukan

Bila memungkinkan lakukan dengan dua penolong, posisi dan urutan tindakan sama
seperti tanpa menggunakan sungkup, kecuali pada tehnik ini digunakan sungkup
sebagai pelindung, Jadi diperlukan keterampilan memegang sungkup. Dengan dua
penolong seorang melakukan kompresi dada dan yang lain melakukan napas buatan.
Bila tersedia berikan oksigen tambahan dengan aliran 10 liter/menit (FiO2 =50%) dan
15 liter/menit (FiO2=80%). Bila tidak ada penolakan pasang alat bantu jalan napas
orofaring. Tengadahkan kepala dan pasang sungkup pada mulut dan hidung pasien
dengan cara ibu jari dan telunjuk kedua tangan menekan sungkup sedangkan tiga jari
kedua tangan menarik mandibula sambil tetap mempertahankan kepala dalam posisi
tengadah, sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan tiupan melalui lubang sungkup
sambil memperhatikan gerakan dada, tiup dengan lambat dan mantap dengan lama
inspirasi 1-2 detik. Pada pasien dengan henti jantung dengan jalan napas belum
terlindungi lakukan 2 ventilasi setiap 15 kompresi dada. Apabila jalan napas
terlindungi (misalnya sudah terpasang ETT, Laringeal Mask Airway atau Combitube)
lakukan kompresi 100 kali/menit dengan ventilasi dilakukan. tanpa menghentikan
kompresi (asingkron) tiap 5 detik (kecepatan 12 kali/menit). Apabila ada penolong
ketiga lakukan tekanan pada krikoid untuk mencegah distensi lambung dan
regurgitasi.

Bantuan napas dengan. menggunakan bagging sungkup dan alat bantu jalan napas
lainnya.

Bagging telah lama digunakan sebagai alat bantu napas utama dikombinasikan.
dengan alat bantu jalan napas lainnya misalnya sungkup muka, ETT, LMA, dan
Combitube. Penggunaan bagging memungkinkan pemberian oksigen tambahan.
Beberapa hal yang harus diperhatikan saat menggunakan bagging :

 Volume tidal berkisar antara 10-15 ml/kg BB


 Bagging dewasa umum mempunyai volume 1600 ml.

 Bila memungkingkan bagging dilakukan oleh dua penolong untuk mencegah


kebocoran, seorang penolong mempertahankan sungkup dan kepala pasien,
dan yang lainnya melakukan pemijatan bagging

 Masalah kebocoran dan kesulitan mencapai volume tidal yang cukup tidak
akan terjadi jika dipasang ETT, LMA, atau Combitube.

Tahap lanjut membuka jalan napas.

Pernasangan pipa endotrakeal (ETT)

Pemasangan pipa endotrakeal menjamin terpeliharanya jalan napas dan sebaiknya


dilakukan sesegera mungkin oleh penolong yang terlatih.

Keuntungan :

 Terpeliharanya jalan napas


 Dapat memberikan oksigen dengan konsentrasi tinggi

 Menjamin tercapainya volume tidal yang, diinginkan

 Mencegah teriadinya aspirasi

 Mempermudah penghisapan lendir di trakea

 Merupakan jalur masuk beberapa obat-obat resusitasi

Karena kesalahan letak pipa endotrakeal dapat menyebabkan kematian maka


tindakana ini sebaiknya dilakukan oleh penolong yang terlatih

Indikasi pemasangan :

 Henti jantung
 Pasien sadar yang tidak mampu bernapas dengan baik (edema paru, Guillan-
Bare syndrom, sumbatan jalan napas)
 Perlindungan jalan napas tidak memadai (koma, arefleksi)

 Penolong tidak mampu memberi bantuan napas dengan cara konvensional

Persiavan alat untuk pemasangan pipa endotrakeal (ETT)

 Laringoskop, lengkap dengan handle dan bladenya


 Pipa endotrakeal (ETT) dengan ukuran :

o Perempuan : No 7,0 ; 7,5 ; 8,0

o Laki laki : No 8,0 ; 8,5

o Keadaan emergensi : No 7,5

 Stilet (mandrin)

 Forsep margil

 Jeli

 Spuit 20 atau 10 cc

 Stetoskop

 Bantal

 Plester dan gunting

 Alat penghisap lendir (Suction aparatus)

Tekhnik pemasangan

 Cek alat-alat yang diperlukan dan pilih ETT sesuai ukuran


 Lakukan hiperventilasi minimal 30 detik sambil dilakukan sellick maneuver

 Beri pelumas pada ujung ETTsampai daerah cuff

 Letakkan bantal setinggi ± 10 cm di oksiput dan pertahankan kepala tetap


ekstensi
 Bila perlu lakukan penghisapan lendir pada mulut dan faring

 Buka mulut dengan cara cross finger dan tangan kiri memegang laringoskop

 Masukan bilah laringoskop menelusuri mulut sebelah kanan, sisihkan lidah


ke kiri. Masukan bilah sampai sampai mencapai dasar lidah, perhatikan agar
lidah atau bibir tidak terjepit diantara bilah dan gigi pasien

 Angkat laringoskop ke atas dan ke depan dengan kemiringan 30° – 40°,


jangan sampai menggunakan gigi sebagai titik tumpu

 Bila pita suara sudah terlihat, masukan ETT sambil memperhatikan bagian
proksimal dari cuff ETT melewati pita suara ± 1-2 cm atau pada orang
dewasa kedalaman ETT ± 19-23 cm

 Waktu untuk intubasi tidak boleh lebih dari 30 detik

 Lakukan ventilasi dengan menggunakan bagging dan lakukan auskultasi


pertama pada lambung kemudian pada paru kanan dan kiri sambil
memperhatikan pengembangan dada

 Bila terdengar suara gargling pada lambung dan dada tidak mengembang,
lepaskan ETT dan lakukan hiperventilasi ulang selama 30 detik kemudian
lakukan intubasi kembali

 Kembangkan balon cuff dengan menggunakan spuit 20 atau 10 cc dengan


volume secukupnya sampai tidak terdengar lagi suara kebocoran di mulut
pasien saat dilakukan ventilasi

 Lakukan fiksasi ETT dengan plester agar tidak terdorong atau tercabut

 Pasang orofaring untuk mencegah pasien menggigit ETT jika mulai sadar

 Lakukan ventilasi terus dengan oksigen 100 % (aliran 10 – 12 liter/menit)

Penekanan krikoid (Sellick Manuever) :


Perasat ini dikerjakan saat intubasi untuk mencegah distensi lambung, regurgitasi isi
lambung dan membantu dalam proses intubasi. Perasat ini dipertahankan sampai
balon ETT sudah dikembangkan.

Cara melakukan Sellick maneuver :

 Cara puncak tulang tiroid (Adam’s Apple)


 Geser jari sedikit ke kaudal sepanjang garis median sampai menemukan
lekukkan kecil (membran krikotiroid)

 Geser lagi jari sedikit ke bawah sepanjang garis median hingga ditemukan
tonjolan kecil tulang (kartilago krikoid)

 Tekan tonjolan ini diantara ibu jari dan telunjuk ke arah dorsokranial.
Gerakan ini akan menyebabkan oesophagus terjepit diantara bagian belakang
kartilago krikoid dengan tulang belakang dan lubang trakhea/rimaglotis akan
terdorong ke arah dorsal sehingga lebih mudah terlihat.

Memastikan letak ETT dengan menggunakan alat

Berbagai alat mekanik atau elektronis dapat digunakan untuk tujuan ini misalnva
detektor end tidal CO2 (kwantitatif dan kwalitatif).

Melakukan bantuan napas dengan ETT selama RJP.

Volume tidal napas berkisar antara 10-15 ml/kg BB, secara klinis keadaan dapat
diketahui dengan pengamatan dada. Dengan volume 10 ml/kg BB dada akan tampak
mulai mengembang dan dengan 15 ml/kg BB dada akan mengembang, lebih besar
lagi (naik antara 4-6 cm). Bila tidak diberikan oksigen tambahan dan pada pasien
gemuk berikan volume yang lebih besar sedangkan bila diberikan oksigen tambahan
atau pada pasien kurus berikan volume yang lebih kecil. Kecepatan pemberian napas
berkisar antara 10-12 kali/menit atau satu kali setiap 5-6 detik dengan lama inspirasi
sekitar 2 detik. Pada keadaan ini tidak ada lagi perbandingan antara kompresi dan
ventilasi. Kecepatan kompresi berkisar 100 kali/menit, sedangkan ventilasi diberikan
setiap 5 detik (tidak perlu seirama dengan kompresi).
Komplikasi pemasangan ETT

o ETT masuk kedalam oesophagus, yang dapat menyebabkan hipoksia.


o Luka pada bibir dan lidah akibat terjepit antara laringoskop dengan gigi.

o Gigi patah.

o Laserasi pada faring dan trakhea akibat stilet (mandrin) dan ujung ETT.

o Kerusakan pita suara.

o Perforasi pada faring dan oesophagus.

o Muntah dan aspirasi.

o Pelepasan adrenalin dan noradrenalin akibat rangsangan intubasi sehingga


terjadi hipertensi, takikardi dan aritmia.

o ETT masuk ke salah satu bronkus. Umumnya masuk kebronkus kanan, untuk
mengatasinya tarik ETT 1-2 cm sambil dilakukan inspeksi gerakan dada dan
auskultasi bilateral.

Penanganan jalan napas pada pasien trauma

Gerakan kepala dan leher yang berlebihan pada pasien cedera leher dapat
menyebabkan cedera yang lebih hebat. Pasien trauma muka, multiple dan kepala
harus dianggap disertai dengan cedera leher.

Langkah pernanganan pada pasien atau tersangka cedera leher.

1. Jangan tengadahkan kepala, hanya angkat rahang dan buka mulut pasien
2. Pertahankan kepala pada posisi netral selama nianipulasi jalan napas.

3. Pasien fraktur basis dan tulang muka lakukan pemasangan ETT dalam
keadaan tulang belakang distabilisasi.
4. Bila tidak dapat dilakukan intubasi lakukan krikotiroidektomi atau
trakheostomi.

5. Bila diputuskan untuk dilakukan intubasi melalui hidung (blind nasal


intubation) maka harus dilakukan oleh penolong yang berpengalaman.

6. Bila pasien melawan dapat diberikan obat pelemas otot dan penenang.

Tehnik tambahan untuk penanganan jalan napas invasif dan ventilasi

Adadua alat bantu jalan napas yang termasuk kelas IIb yaitu :

 Laryngeal Mask airway (LMA)


 Esophageal Tracheal Combitube

Laryngeal Mask airway (LMA)

LMA berupa sebuah pipa dengan ujung distal yang menyerupai sungkup
dengan tepi yang mempunvai balon sekelilingnya. Pada terpasang bagian sungkup ini
harus berada di daerah hipofaring, sehingga saat balon dikembangkan maka bagian
terbuka dari sungkup akan menghadap kearah lubang trakhea membentuk bagian dari
jalan napas.

Beberapa kelebihan LMA sebagai alat bantu jalan napas adalah : Dapat
dipasang tanpa laringoskopi atau leher sehingga menguntungkan pada pasien dengan
cedera leher atau pada pasien yang sulit dilakukan visualisasi lubang trakhea Karena
LMA tidak perlu masuk kedalam trakhea maka resiko kesalahan intubasi dengan
segala akibatnya tidak ditemukan pada LMA.

Kekurangan LMA adalah tidak dapat melindungi kemungkinan aspirasi sebaik ETT.

Combitube

Alat ini merupakan gabungan ETT dengan obturator oesophageal. Pada alat
ini terdapat 2 daerah berlubang, satu lubang di distal dan beberapa lubang ditengah,
lubang lubang ini dihubungkan melalui 2 saluran yang terpisah dengan 2 lubang di
proksimal yang merupakan interface untuk alat bantu napas. Selain itu terdapat 2
buah balon, satu proksimal dari lubang distal dan satu proksimal dari deretan lubang
di tengah. Ventilasi melalui trakhea dapat dilakukan melalui lubang distal (ETT) dan
tengah (obtutator). Alat ini dimasukan tanpa laringoskopi, dari penelitian dengan cara
memasukan seperti ini 80% kemungkinan masuk ke eosophagus. Setelah alat ini
masuk kedua balon dikembangkan dan dilakukan pemompaan, mula-mula pada
obturator seraya dilakukan inspeksi dan auskultasi apabila ternyata dari pengamatan
ini tidak tampak adanya ventilasi paru pemonpaan dipindahkan pada ETT dan
lakukan kembali pemeriksaan klinis. Kinerja ventilasi, oksigenasi dan perlindungan
terhadap aspirasi alat ini sepadan dengan ETT dengan keunggulan lebih mudah
dipasang dibanding ETT.

Krikotiroidektomi

Tindakan ini dilakukan untuk membuka jalan napas sementara dengan cepat,
apabila cara lain sulit dilakukan. Pada tekhnik ini membran krikotiroid disayat kecil
vertikal, dilebarkan dan dimasukan ETT.

Trakheostomi

Tekhnik ini bukan pilihan pada keadaan darurat (life saving). Tindakan ini sebaiknya
dilakukan di kamar bedah oleh seorang yang ahli.Adadua jenis yang biasa dipakai :

1. Penghisap faring yang kaku, pada alat ini diperlukan tekanan negatif yang
rendah sekali.
2. Penghisap trakheobronkhial yang lentur, alat ini mempunyai syarat :

 Ujung harus tumpul dan sebaiknya memiliki lubang di ujung dan di samping

 Lebih panjang dari ETT

 Licin

 Steril dan sekali pakai


Cara melakukan penghisapan lendir

1. Lakukan hiperventilasi dengan Fi02 100% selama 15 – 30 detik


2. Gunakan kateter trakheobronkhial dengan diameter tidak lebih dari diameter
dalam ETT

3. Lama penghisapan tidak lebih dari 10 detik

4. Bila setelah penghisapan selama 10 detik ternyata masih belum bersih maka
dapat dilakukan pengisapan kembali, diantara pengisapan harus diselingi
dengan ventilasi seperti diatas.

5. Setelah selesai pengisapan lakukan hiperventilasi dengan FiO 2 100 % selama


15 – 30 detik

TRIAGE

1. PENGERTIAN
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus dengan suatu
cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta
fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih atau menggolongkan
semua pasien yang memerlukan pertolongan dan menetapkan prioritas
penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani, berdasarkan tingkat
kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan mempertimbangkan prioritas
penanganan dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu system pembagian/klasifikasi prioritas klien berdasarkan
berat ringannya kondisi klien/kegawatdaruratannya yang memerlukan tindakan
segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan waktu (respon time)
untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi secepatnya yaitu ≤ 10 menit.
Triase berasal dari bahasa Perancis trier dan bahasa inggris triage dan diturunkan
dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaitu proses khusus memilah
pasien berdasar beratnya cidera/penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat
darurat. Kini istilah tersebut lazim digunakan untuk menggambarkan suatu konsep
pengkajian yang cepat dan berfokus dengan suatu cara yang memungkinkan
pemanfaatan sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas yang paling efisien
terhadap 100 juta orang yang memerlukan perawatan di UGD setiap tahunnya
(Pusponegoro, 2010).

2. TUJUAN TRIAGE
Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi kondisi mengancam nyawa. Tujuan
triage selanjutnya adalah untuk menetapkan tingkat atau drajat kegawatan yang
memerlukan pertolongan kedaruratan.
Dengan triage tenaga kesehatan akan mampu :
1. Menginisiasi atau melakukan intervensi yang cepat dan tepat kepada pasien
2. Menetapkan area yang paling tepat untuk dapat melaksanakan pengobatan
lanjutan
3. Memfasilitasi alur pasien melalui unit gawat darurat dalam proses
penanggulangan/pengobatan gawat darurat
Sistem Triage dipengaruhi oleh :
1. Jumlah tenaga profesional dan pola ketenagaan
2. Jumlah kunjungan pasien dan pola kunjungan pasien
3. Denah bangunan fisik unit gawat darurat
4. Terdapatnya klinik rawat jalan dan pelayanan medis

3. PRINSIP DAN TIPE TRIAGE


“Time Saving is Life Saving (waktu keselamatan adalah keselamatan hidup),The
Right Patient, to The Right Place at The Right Time, with The Right Care Provider.

1. Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu


Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan penyakit yang
mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang terpenting di departemen
kegawatdaruratan.
2. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat
Ketelitian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting dalam proses
interview.
3. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat direncanakan
bila terdapat informasi yang adekuat serta data yang akurat.
4. Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi
Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji secara akurat
seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan untuk pasien tersebut. Hal
tersebut termasuk intervensi terapeutik, prosedur diagnostic dan tugas
terhadap suatu tempat yang diterima untuk suatu pengobatan.
5. Tercapainya kepuasan pasien
 Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas saat
menetapkan hasil secara serempak dengan pasien
 Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan penanganan
yang dapat menyebabkan keterpurukan status kesehatan pada seseorang
yang sakit dengan keadaan kritis.
 Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan
keluarga atau temannya.
Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system
prioritas, prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus
didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman
jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan :
 Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam hitungan menit
 Dapat mati dalam hitungan jam
 Trauma ringan
 Sudah meninggal

Pada umumnya penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan :


a. Menilai tanda vital dan kondisi umum korban
b. Menilai kebutuhan medis
c. Menilai kemungkinan bertahan hidup
d. Menilai bantuan yang memungkinkan
e. Memprioritaskan penanganan definitive
f. Tag warna

TIPE TRIAGE DI RUMAH SAKIT


1) Tipe 1 : Traffic Director or Non Nurse
a. Hampir sebagian besar berdasarkan system triage
b. Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
c. Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya
d. Tidak ada dokumentasi
e. Tidak menggunakan protocol
2) Tipe 2 : Cek Triage Cepat
a. Pengkajian cepat dengan melihat yang dilakukan perawat beregistrasi atau
dokter
b. Termasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
c. Evaluasi terbatas
d. Tujuan untuk meyakinkan bahwa pasien yang lebih serius atau cedera
mendapat perawatan pertama
3) Tipe 3 : Comprehensive Triage
a. Dilakukan oleh perawat dengan pendidikan yang sesuai dan
berpengalaman
b. 4 sampai 5 sistem kategori
c. Sesuai protocol

4. KLASIFIKASI DAN PENENTUAN PRIORITAS


Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada
keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum
pasien serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality
Standart, ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik,
tumbuh kembang dan psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses
pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat system pelayanan kedaruratan. Hal-hal
yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung berulang
atau meningkat keparahannya.

Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam system triage adalah
kondisi klien yang meliputi :
a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang
memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat.
b. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan.
c. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh
gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / Pernafasan, Circulation /
Sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal atau cacat
(Wijaya, 2010)

Berdasarkan prioritas keperawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :

Tabel 1. Klasifikasi Triage


KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa /
adanya gangguan ABC dan perlu
tindakan segera, misalnya cardiac arrest,
penurunan kesadaran, trauma mayor
dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Setelah
dilakukan resusitasi maka ditindaklanjuti
oleh dokter spesialis. Misalnya : pasien
kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell
dan lainnya
Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam nyawa
tetapi memerlukan tindakan darurat.
Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC
dan dapat langsung diberikan terapi
definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke
poliklinik, misalnya laserasi, fraktur
minor / tertutup, otitis media dan lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukan tindakan gawat. Gejala
dan tanda klinis ringan / asimptomatis.
Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan
sebagainya.

Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)


KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (MERAH) Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu
resusitasi dan tindakan bedah segera,
mempunyai kesempatan hidup yang
besar. Penanganan dan pemindahan
bersifat segera yaitu gangguan pada jalan
nafas, pernafasan dan sirkulasi.
Contohnya sumbatan jalan nafas, tension
pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki,
combutio (luka bakar tingkat II dan III >
25 %
Prioritas II (KUNING) Potensial mengancam nyawa atau fungsi
vital bila tidak segera ditangani dalam
jangka waktu singkat. Penanganan dan
pemindahan bersifat jangan terlambat.
Contoh : patah tulang besar, combutio
(luka bakar) tingkat II dan III < 25 %,
trauma thorak / abdomen, laserasi luas,
trauma bola mata.
Prioritas III (HIJAU) Perlu penanganan seperti pelayanan
biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan
pemindahan bersifat terakhir. Contoh
luka superficial, luka-luka ringan.
Prioritas 0 (HITAM) Kemungkinan untuk hidup sangat kecil,
luka sangat parah. Hanya perlu terapi
suportif. Contoh henti jantung kritis,
trauma kepala kritis.
Beberapa petunjuk tertentu yang harus diketahui oleh perawat triage yang
mengindikasikan kebutuhan untuk klasifikasi prioritas tinggi. Petunjuk tersebut
meliputi :
1. Nyeri hebat
2. Perdarahan aktif
3. Stupor / mengantuk
4. Disorientasi
5. Gangguan emosi
6. Dispnea saat istirahat
7. Diaforesis yang ekstern
8. Sianosis
9. Tanda vital diluar batas normal (Iyer, 2004).

5. PROSES TRIAGE
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage harus
mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat dan melakukan
pengkajian, misalnya terlihat sekilas kearah pasien yang berada di brankar sebelumm
mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat, tidak
lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian perawat utama.
Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan pasien di area pengobatan
yang tepat, misalnya bagian trauma dengan peralatan khusus, bagian jantung dengan
monitor jantung dan tekanan darah, dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama
kali ditempatkan setelah triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat
utama sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau gawat
darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit/lebih bila perlu. Setiap pengkajian
ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis. Informasi baru dapat mengubah
kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area pengobatan. Misalnya kebutuhan
untuk memindahkan pasien yang awalnya berada di area pengobatan minor ke
tempat tidur bermonitor ketika pasien tampak mual atau mengalami sesak nafas,
sinkope, atau diaphoresis (Iyer, 2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda-tanda objektif bahwa ia
mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation, maka pasien ditangani
terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan atas data objektif dan data
subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah keadaan pasien membaik, data
pengkajian kemudian dilengkapi dengan data subjektif yang berasal langsung dari
pasien (data primer)

Alur dalam proses Triage


1. Pasien datang diterima petugas / paramedic UGD
2. Diruang triase dilakukan anamneses dan pemeriksaan singkat dan cepat (selintas)
untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3. Bila jumlah penderita / korban yang ada lebih dari 50 orang, maka triase dapat
dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD)
4. Penderita dibedakan menurut kegawatannya dengan memberi kode warna :
a. Segera – Immediate (MERAH). Pasien mengalami cedera mengancam jiwa
yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera. Misalnya : Tension
pneumothorax, distress pernafasan (RR<30x/menit), perdarahan internal, dsb
b. Tunda – Delayed (KUNING). Pasien memerlukan tindakan definitive tetapi
tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan laserasi terkontrol,
fraktur tertutup pada ekstremitas dengan perdarahan terkontrol, luka bakar
<25% luas permukaan tubuh, dsb.
c. Minimal (HIJAU). Pasien mendapat cidera minimal, dapat berjalan dan
menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya : laserasi minor,
memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d. Expextant (HITAM). Pasien mengalami cidera mematikan dan akan
meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : luka bakar derajat 3
hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
e. Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan warna :
merah, kuning, hijau, hitam.
f. Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan pengobatan
diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan medis lebih lanjut,
penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang operasi atau dirujuk ke rumah
sakit lain.
g. Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan medis
lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan menunggu giliran
setelah pasien dengan kategori triase merah selesai ditangani.
h. Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat jalan, atau
bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka penderita/korban dapat
diperbolehkan untuk pulang.
i. Penderita kategori triase hitam (meninggal) dapat langsung dipindahkan ke
kamar jenazah (Rowles, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 1999. Triage Officers Course. Singapore : Departement of Emergency


Medicine Singapore General Hospital

Anonimous, 2002. Disaster Medicine. Philadelphia USA : Lippincott Williams

ENA, 2005. Emergency Care. USA : WB Saunders Company

Iyer, P. 2004. Dokumentasi Keperawatan : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.


Jakarta : EGC

Oman, Kathleen S. 2008. Panduan Belajar Keperawatan Emergensi.Jakarta : EGC

Wijaya, S. 2010. Konsep Dasar Keperawatan Gawat Darurat.Denpasar : PSIK FK

Anda mungkin juga menyukai