Anda di halaman 1dari 8

MODUL 2

KARAKTERISTIK PKN SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL


Prof. Dr. H. Udin S. Winataputra, M.A.

PENDAHULUAN
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) murupakan mata pelajaran yang memiliki
salah satu misinya sebagai pendidikan nilai. Dalam proses pendidikan nasional
PKn pada dasarnya merupakan wahana pedagogis pembangunan watak atau
karakter. Secara makro PKn juga merupakan wahana social-pedagogis
pencerdasan kehidupan bangsa. Hal ini sejalan dengan konsepsi fungsi pendidikan
nasional membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional PKn secara
substansif-pedagogis meyentuh semua esensi tujuan pendidikan nasional mulai
dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggungjawab.
PKn sebagai pendidikan nilai memiliki kontribusi terhadap semua substansi
tujuan. Oelh karena itu, PKn sebagai pendidikan nilai memiliki misi psiko-
pedagogis dan sosio-pedagogis dalam pengembangan nilai-nilai: keberagaman
dalam konteks beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; moral social
keberagaman dalam konteks berakhlak mulia; nilai ketahanan jasmani dan rohani
dalam konteks sehat; kebenaran dan kejujuran akademis dalam konteks berilmu
melekat; terampil dan cermat dalam konteks cakap; kebaruan (novelty) dalam
konteks kreatif; ketekunan dan percaya diri dalam konteks mandiri; dan
kebangsaan, demokrasi dan patriotism dalam konteks warga Negara yang
demokratis dan bertanggungjawab.
KEGIATAN BELAJAR 1

PENDEKATAN PKN SEBAGAI PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL DI SD

Hermann (1972) mengemukakan suatu prinsip yang sangat mendasar, yakni


bahwa “…..value is neither taught nor cought, it is learned”, yang artinya bahwa
substansi nilai tidaklah semata-mata ditangkap dan diajarkan tetapi lebih jauh,
nilai dicerna dalam arti ditangkap, diinternalisasi, dan dibakukan sebagai bagian
yang melekat dalam kualitas pribadi seseorang melalui proses belajar. Adalah
suatu kenyataan bahwa proses belajar memanglah tidaklah terjadi dalam ruang
bebas budaya tetapi dalam masyarakat yang syarat-budaya karena kita hidup
dalam kehidupan masyarakat yang berkebudayaan. Oleh karena itu pendidikan
pada dasarnya merupakan proses pembudayaan atau enkulturasi untuk
menghasilkan manusia yang berkeadaba, termasuk didalamnya yang berbudaya.
Sebagai salah satu unsur kebudayaan (Kuncaraningrat:1978) kesenian pada
dasarnya merupakan produk budaya masyarakat yang melukiskan penghayatan
tentang nilai yang berkembang dalam lingkungan masyarakat pada masing-masing
jamannya.
Dalam pengertian generic, konsep dan proses pendidikan merupakan proses
yang sengaja dirancang dan dilakukan untuk mengembangkan potensi individu
dalm interaksi dalam lingkungan sehingga menjadi dewasa dan dapat mengarungi
kehidupan dengan baik, dalam arti selamat di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu,
peda dasarnya pendidikan mempunyai dua tujuan besar yaitu mengembangkan
individu dan masyarakat yang smart and good (Lickona;1962:6).
Dalam konteks pendidikan nasional Indonesia telah ditegaskan dalam pasal 1
butir 1 UU sidikan 20/2003, ditegaskan bahwa pedidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spritural keagamaa, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Adapun prinsip pendidikan ditegaskan sebagai berikut:
1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik
dengan system terbuka dan multimakna.
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun
kemauan dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses
pembelajaran.
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,
menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melaui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu layanan pendidikan (pasal 4).

Dalam konteks kehidupan masyarakat, kita melihat betapa masih besarnya


kesenjangan antara konsep dan muatan nilai yang tercermin dalam sumber-
sumber normative konstitusional dengan fenomena social, kultural, politik,
ideologis, dan religiositas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara RI sampai dengansaat ini.
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dinyatakan dengan tegas bahwa
Pemerintah Negara Indonesia dibentuk antara lain untuk “mencerdaskan
kehidupan bangsa”. Untuk mendapatkan kehidupan bangsa yang cerdas dalam arti
yang luas tentu diperlukan warga Negara yang cerdas juga dalam arti yang luas.
Upaya untuk mencerdaskan warga Negara dapat ditempuh melalui program
pendidikan nasional, sebagaimana hal tersebut tersurat dalam pasal 31 UUD 45
ayat (3) (Amandemen keempat 10 Agustus 2002), “pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan
dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa yang diatur dengan undang-undang”. Secara psikologis dan social yang
dimaksud cerdas itu bukanlah hanya cerdas rasional tetai juga cerdas emosional,
cerdas social, dan cerdas spritural.
Secara konseptual pendidikan nilai merupakan bagian tak terpisahkan dari
proses pendidikan secara keseluruhan, karena pada dasarnya tujuan akhir dari
pendidikan sebagaimana tersurat dalam UU RI no. 20 Tahun 2003 tentang
sisdiknas (pasal 3) adalah “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, madiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis dan bertanggung jawab”.
Secara historis, dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewarga Negara
diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan pengmalan
Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang
diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973. Mata pelajaran PMP, pada saat itu
merupakan mata pelajaran wajib untu SD, SMP, SMA, SPG, dan Sekolah Kejuruan
yang terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya
Kurikulum 1984 sebagai penyempurnaan dari Kurikulum 1975 (Depdikbud:1975
a, b, c dan 1976). Pendidikan nilai pancasila ini berlanjut dengan berlakunya
Undang-Undang No. 2/1989 tentang System Pendidikan Nasional yang
menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan
(pasal 39), Kurikulum Pendidikan Dasa dan Sekolah Menengah 1994
mengakomodasikan missi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKN.
Lebih jauh ditegaskan dalam alinea tersebut, bahwa kehidupan masyarakat
bangsa tersebut ditata dengan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, dalam
susuna Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Disitu juga tersirat
bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara demokrasi yang berdasarkan
hukum. Lebih lanjut ditegaskan bahwa yang menjadi dasar kehidupan masyarakat
bangsa Indonesia adalah: “Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujutkan
suatu keadilan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan kata lain kehidupan
masyarakat bangsa Indonesia yang hendak diwujudkan adalah masyarakat bangsa
yang cerdas, religious, adil dan beradab, bersatu, demokrasi, dan sejahtera.
Dari semua karakteristik tersebut, perasaan bakti kepada Tuhan Yang Maha
Esa, cinta kepada Negara, cinta kepada bangsa dan kebudayaan, berhak dan wajib
ikut memajukan negaranya, keyakinan hidup tak terpisah dari keluarga dan
masyaraka, keyakinan harus tunduk pada tata tertib, keyakinan sama derajat
dengan sesame anggota masyarakat, mengetahui kewajiban, dan jujur dalam
pikiran dan tindakan, pada dasarnya termasuk ke dalam bingkai tujuan dan misi
pendidikan untuk pengembangan warga Negara yang cerdas, demokratis, dan
religious, yang merupakan garapan dari bidang pendidikan kewarganegaraan.
Jika dianalisis secara cermat, baik ide, instrumentasi, maupun praksisnya,
walaupun namanya berubah menjadi Pendidikan Kewarga Negara, yang dapat
diidentikkan dengan Civic education di Amerika Serikat, nuansa kurikulernya
masih kental dengan sifat indoktrinasi dengan sedikit aplikasi pendekatan yang
demokratis.
Yang perlu dicatat, adalah dengan berubahnya Pendidikan Kewarga Negara
(PKN) menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) baik menurut Kurikulum tahun
1975/1976 maupun Kurikulum 1984, pengembangan civic virtue dan civic culture
dalam praksis demokrasi, yang seyogyanya menjadi jati diri PKN, berubah menjadi
pendidikan perilaku moral, yang dalam kenyataannya lepas dari konteks
pendidikan cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi. Hal ini terjadi, seperti
purubahan kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975, antara lain karena belum
berkembangnya paradigm civic education yang melandasi dan memandu
pengembangan kurikulumnya.
Keadaan it uterus berlanjut sampai berubahnya Kurikulum PMP 1984 menjadi
Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) tahun 1994, yang
sesuai dengan UU No. 2 Tahun 1989, karakteristik kurikulernya sangat kental
dengan pendidikan moral pancasila.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa PPKn 1994, secara paradigmatic
sesungguhnya masih sama dengan PMP sebelumnya. Dengan kata lain pendidikan
pancasila masih tetap berperan sebagai core atau concerto-nya, dengan pendidikan
kewarganegaraan sebagai salah satu accompaniment-nya. Dari situ dapat
dipahami, mengapa prilaku demokratis yang cerdas dan religious, yang menjadi
karakteristik civic education dalam masyarakat madani, belum sepenuhnya
berkembang dalam masyarakat bangsa Indonesia.

KEGIATAN BELAJAR 2

PENDIDIKAN NILAI DAN MORAL DALAM STANDAR ISI PKn DI SD


Menurut Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 “mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warga Negara yang memahami dan mampu
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga Negara Indonesia
yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD
1994”.
PKn bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isi
kewarganegaraan.
2. Partisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
anti korupsi.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi.
Dilihat dari rumusan tujuannnya, tidak terdapat rumusan bahwa PKn
merupakan pendidikan nilai dan moral. Namun bila dikaji secara cermat dan
mendasar, pada setiap rumusan kualitas perilaku yang ingin dikembangkan
melekat sejumlah nilai dan mora.
Berfikir kritis adalah proses psikologis untuk memberikan penilaian terhadap
suatu ojek atau fenomena dengan informasi yang akurat dan otentik. Berfikir
rasional adalah proses psikologis untuk memahami sesuatu objek dengan logika.
Berfikir kreatif adalah proses psikologis untuk menghasilkan suatu cara atau
proses baru yang lebih berkualitas atau dasar pemikiran terbaik.
KEGIATAN BELAJAR 3

HUBUNGAN INTERAKTIF PENGEMBANGAN NILAI DAN MORAL DALAM


PKn SD
Hubungan interaktif proses pengembangan nilai dan moral dengan proses
pendidikan di sekolah harus dilihat dalam paradigm pendidikan nilai secara
konseptual dan operasional. Konsep-konsep “values education, moral education,
education for virtues” yang secara teoritik, oleh Lickona (1992) diperkenalkan
sebagai program dan proses pendidikan yang tujuannya selain pengembangan
pikiran, atau menurut Bloom untuk mengembangkan nilai dan sikap.
Dua kutipan tersebut memberikan landasan bahwa pendidikan di dunia Barat
mempunyai kayakinan bahwa pendidikan nilai, etika, moral sangat penting sabagai
salah satu wahana sosiopedagogis dalam menjamin kelangsungan hidup
masyarakat, bangsa, dan Negara.
Lebih jau juga Lickina (1992:6-7) melihat bahwa pemikir dan pembangun
demokrasi, sebagai paradigma kehidupan di dunia Barat, berpandangan bahwa
pendidikan moral merupakan aspek yang esensial bagi perkembangan dan
berhasilnya kehidupan demokrasi. Hal itu sangatlah beralasan, karena demokrasi
pada dasarnya merupakan suatu system pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Sesungguhnya rakyat harus bertanggung jawab untuk menjamin tumbuh dan
berkembangnya masyarakat yang bebas dan adil.
Sejak dini sekolah diharapkan mempu mengambil peran yang aktif dalam
merancang dan melaksanakan pendidikan nilai moral yang bersumber dari
kebajikan dan keadaban demokrasi. Dengan kata lain “pendidikan nilai dalam
dunia Barat adalah pendidikan nilai yang dari dan bermuara pada nilai-nilai social
kultural demokrasi. Sedangkan nilai yang bersumber dari agama bukanlah
tanggung jawab Negara, karena memang duni Barat yang sekuler dengan tegas
memisahkan urusan agama sebagai urusan pribadi bukan urusan public.

Anda mungkin juga menyukai