Anda di halaman 1dari 70

TUTOR GUIDE

SISTEM GASTROINTESTINAL
GASTROINTESTINAL SYSTEM

MEDICAL EDUCATON UNIT


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2019

1
TUTOR GUIDE
SISTEM GASTROINTESTINAL
GASTROINTESTINAL SYSTEM

Tim Penyusun :

Anggunan, dr, MM.


Yusmaidi, dr, SpB, KBD
Toni Prasetia, dr, SpPD, FINASIM
Sri Maria, dr, MPdKed
Tessa Sjahriani, dr, M.Kes
Jordi Oktobiannobel, dr, M.Kes
Sandhy Arya Pratama, dr., M. Kes

MEDICAL EDUCATON UNIT


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2019

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya penyusunan buku
rancangan pengajaran modul sistem Gastrointestinal dapat terlaksana. Modul ini
merupakan salah satu rangkaian modul Ilmu Kedokteran Klinis yang terdapat dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Fakultas kedokteran Universitas Malahayati (FK
UNIMAL).
Tim penyusun berharap modul ini dapat menjadi panduan staf pengajar dan
mahasiswa dalam upaya memberikan pemahaman mahasiswa terhadap persiapan diri
dalam memasuki dunia pendidikan kedokteran, sehingga mahasiswa dapat menerapkannya
dalam proses pembelajaran sehingga menjadi dokter yang berkompeten sesuai standar
kompetensi dokter Indonesia.
Penyusunan buku rancangan pengajaran modul ini masih memerlukan perbaikan,
karena itu kami tim penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran. Kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu memfasilitasi penyusunan modul ini,
khususnya tim penyusun modul, komisi kurikulum Medical Education Unit (MEU), rekan-
rekan dosen Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Malahayati dan Yayasan Alih
Teknologi.

Bandar Lampung, 2019

Tim Penyusun

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 1


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 2
TATA TERTIB ............................................................................................................. 3
SANKSI ............................................................................................................. 5
Langkah diskusi PBL ...........................................................................................................
Kaus Skenario 1 ................................................................................................................
Kaus Skenario 2 ................................................................................................................
Kaus Skenario 3 ................................................................................................................
Kaus Skenario 4 ................................................................................................................

TATA-TERTIB DISKUSI TUTORIAL


4
Selain mematuhi tata tertib umum yang telah dikemukakan sebelumnya, Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Dokter FK Unmal harus mematuhi tata tertib diskusi
tutorial seperti dibawah ini :

1. Setiap kasus tutorial dibagi menjadi 2 pertemuan.


2. Kelompok diskusi terdiri dari 10 sampai 15 mahasiswa yang diatur oleh Bagian
Pendidikan PSPD FK Unmal.
3. Kelompok diskusi ini difasilitasi oleh satu orang fasilitator, yang juga merupakan
bagian dari kelompok diskusi.
4. Anggota kelompok diskusi memilih ketua dan sekretaris kelompok.
5. Ketua bertugas untuk mengarahkan diskusi dan membagi tugas pada anggota
kelompok.
6. Sekretaris bertugas menuliskan semua hasil diskusi pada satu kertas lembar balik.
7. Wajib mengikuti seluruh kegiatan tutorial. Bila tidak mengikuti kegiatan tutorial
pertemuan pertama dan atau kedua tanpa alasan yang jelas mahasiswa tidak
mendapat penilaian diskusi tutorial itu.
8. Datang 10 menit sebelum tutorial dimulai.
9. Menjaga ketertiban dan kebersihan lingkungan ruang diskusi. Buanglah sampah
pada tempat sampah yang telah disediakan.
10. Laporan hasil diskusi tutorial dalam bentuk log book dikumpulkan ke fasilitator
paling lambat 1 hari sebelum rapat pleno dilaksanakan. Perbaikan laporan diskusi
tutorial paling lambat 7 (tujuh) hari setelah rapat pleno. Jika belum
mengumpulkan, tidak dapat mengikuti ujian teori (UTB & UAB).
11. Hal – hal yang belum tercantum dalam tata tertib ini akan ditentukan kemudian.

TATA TERTIB KEGIATAN DISKUSI PLENO

Selain mematuhi tata tertib umum, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter FK
Unmal harus mematuhi tata tertib rapat pleno seperti dibawah ini :

1. Hadir 15 menit sebelum pleno dimulai.


2. Seluruh kelompok mahasiswa wajib menyerahkan slide presentasi kepada
sekretaris Blok paling lambat 12 jam sebelum pleno dimulai.
3. Berperan aktif dalam rapat pleno. Setiap keaktifan mahasiswa akan mendapatkan
nilai.
4. Tidak diperkenankan meninggalkan ruang pleno kecuali pada waktu yang
ditentukan.
5. Bagi mahasiswa yang tidak hadir pleno tanpa alasan yang jelas, akan mendapatkan
sanksi tegas yang diatur kemudian.
6. Menjaga ketertiban jalannya rapat pleno.

5
7. Menjaga kebersihan lingkungan ruang diskusi. Buanglah sampah pada tempat
sampah yang telah disediakan.
8. Hal – hal yang belum tercantum dalam tata tertib ini akan ditentukan kemudian.

Tata tertib ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila dikemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam tata tertib ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana
semestinya

SANKSI PELANGGARAN TATA TERTIB DISKUSI TUTORIAL

1. Bagi mahasiswa yang tidak mengikuti kegiatan tutorial pertemuan pertama dan
atau kedua, tidak mendapat penilaian diskusi tutorial saat itu.
2. Bagi mahasiswa yang belum mengumpulkan laporan hasil diskusi tutorial dalam
bentuk paper tidak dapat mengikuti ujian teori sistem.

SANKSI PELANGGARAN TATA TERTIB DISKUSI PLENO

1. Bagi mahasiswa yang tidak hadir pleno akan mendapatkan sanksi tegas yang
diatur kemudian.

Lampiran 2. Langkah diskusi PBL, skenario kasus pemicu dan daftar tilik penilaian diskusi
Langkah diskusi PBL
Pertemuan hari pertama:
1. Klasifikasi dan mendefinisikan masalah
2. Analisis problem
3. Membangun hipotesa
4. Identifikasi dan mengkarakteristikkan pengetahuan yang diperlukan
5. Mengidentifikasi apa yang sudah diketahui
6. Identifikasi apa saja yang perlu dipelajari
7. Mengumpulkan informasi baru
Pertemuan hari kedua:
8. Melakukan sintesis informasi baru dan lama
6
9. Pengulangan seluruh atau sebagian langkah yang diperlukan
10. Identifikasi apa yang belum dipelajari
11. Kesimpulan dari apa yang sudah dipelajari
12. Mengetes pengetahuan yang sudah dipahami dengan mengaplikasikan dengan
problem lain.

Lembar penilaian diskusi PBL


Kelompok :
Kasus Pemicu :
Pertemuan :

Participation Attitude Tota


Nam
Sharin Argumentati Activit Domina Discipli Mann l
No a
g on y nt ne er (ma
. /NP
x
M
18)

Keterangan Penilaian

Sharing: berbagi pendapat/pengetahuan 1: pendapat seringkali kurang sesuai


yang sesuai dengan lingkup bahasan di 3: pendapat cukup sesuai, namun masih
antara anggota kelompok ada yang kurang sesuai
5: semua pendapat cukup sesuai
Argumentation: memberikan 1: pendapat tidak disertai rujukan,
pengetahuan dan tanggapan yang logis namun masih logis
berdasarkan literatur yang dibacanya 3: prndapat logis dan sesuai rujukan,
namun rujukan belum baik
5: prndapat logis dan sesuai rujukan
yang cukup baik
Activity: giat dalam diskusi tanpa 1: Frekuensi memberikan pendapat <3x
didorong fasilitator 3: Frekuensi memberikan pendapat 3-5x
5: Frekuensi memberikan pendapat >5x
Dominant: sikap menguasai forum pada 0: jika tampak mengusai forum diskusi
saat diskusi kelompok 1:jika mampu mempersilahkan
oranglain berpendapat
7
Discipline: kehadiran mahasiswa 0: jika terlambat
1: jika hadir tepat waktu
Manner: kemampuan dalam komunikasi 0: jika tampak tidak sopan, tidak
(mampu menyimak, menjelaskan dan menggunakan bahasa yang baik
menggunakan bahasa yang baik dan 1: jika menggunakan bahasa yang baik
benar serta sistematis) dan menghargai pendapat oranglain
serta sopan santun

Bandarlampung,…………...
Mengetahui,
Dosen Fasilitator

(............................................)

35
Kasus Skenario 1
“ Kasus Pemicu I Si Luis Mencret”

Bagian 1
Seorang ibu, membawa anak laki-lakinya yang bernama Luis berusia 2 Tahun ke UGD
RSPBA dengan keluhan BAB mencret sejak 2 hari yang lalu. Frekuensi BAB 5-6 kali
dalam sehari, sekali BAB banyak, masih ada ampasnya, warna kuning, darah (+), lendir
(+). Keluhan ini terkadang disertai perut sakit dan nyeri pada anus waktu BAB. Muntah (+)
3 kali hari ini. Orang tua mengatakan Luis Tidak mau makan dan minum., terlihat lemas,
tidak pipis lagi sejak tadi malam. Menurut ibunya anaknya biasa minum susu formula.

Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian pertama:

Langkah- Pertanyaan Topik


langkah pembelajaran
PBL
Kata kunci - Anak Laki-laki 2 tahun - Bab
dan - BAB mencret 2 hari yang lalu mencret
informasi - Frekwesi BAB 5-6 kali dalam sehari - Disentri
umum - Sekali BAB banyak masih ada ampasnya Amoeba
- BAB wana kuning
- Darah (+)
- Lendir (+)
- Nyeri perut dan nyeri pada anus waltu bab
- Tidak mau makan dan minum
- Lemas
- Tidak pipis sejak tadi malam
- Menurut ibunya anaknya biasa minum susu
formula.
Masalah BAB Mencret
Hipotesis - BAB mencret disebabkan karena: Disentri
Amoeba
Dd/
- Gastroenteritis
- Malabsorbsi
- Intoleransi makanan

9
Pertanyaan - Diagnosis yang mungkin pada kasus
terjaring Definisi, epidemiologi, Etilogi, patofisiologi,
gejala klinis, pemeriksaan penunjang,
penatalaksanaan, pencegahan
- Patomekanisme muntah
- Anatomi dan fisilogi yang berhubungan
dengan kasus
- Patomekanisme Disentri

Bagian 2
Hasil pemeriksaan Fisik;
KU tampak lemas , BB 12 kg jadi 10 kg.
Tanda Vital Nadi 112 x/menit, lemah, reguler, RR 24 kali/menit, suhu 400C
Pem Fisik :
Mata tampak cekung ++/++
Bibir kering
Abdomen : Tampak soepel, peristatik usus meningkat hipertimpani di seluruh kuadran
abdomen
Turgor kulit >3 detik
Pemeriksaan penunjang Lab darah Leukosit 10.500 Hb 12 % Trombosit 180.000
Hematokrit 40 %.
Pemeriksaan tinja :
Makroskopik :
Warna : Kuning (Coklat)
Konsistensi : Lembek cair (Agak Lembek dan Berbentuk)
Lendir : (+) (Negatif)
Darah : (+) (Negatif)

Mikroskopik :
- Sisa pencernaan
o Lemak 20/LPB (<60globul/LPB)
o Karbohidrat (-) Negatif
o Serat (-) Negatif
- Lekosit (-) Negatif/LPB
- Eritrosit (0-4) Negatif/LPB
- Parasit Di temukan kista berbentuk bulat Tidak di temukan
- Telur cacing Tidak di temukan Tidak di temukan
- Jamur Tidak di temukan Tidak di temukan
- Bakteri Tidak di temukan Tidak di temukan

10
Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian kedua:
No Pertanyaan Topik
pembelajaran
1 Jelaskan mekanisme Disentri Amoeba? - Disentri
2 Pemeriksaan apalagi yang perlu dilakukan? Amoeba
3 Menilai derajat Dehidrasi?turgor menurun?
4 Kenapa peritaltik usus meningkat?
5 Kenapa bisa terjadi hipertimpani ?
6 Bibir kering?
7 Kenapa mata bisa cekung?
8 Bagaimana patofisiologinya?
9 Bagaimanakan melakukan pem. Feses rutin?
10 Cara melakukan pem.fisik abdomen pada anak ?
Membuat alur diagnosis dari hipotesis?
Bagaimana tatalaksana kasus ini? (penulisan obat,
jika perlu)

Definisi
Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (gangguan) dan enteron (usus),
yang berarti radang usus yang menimbulkan gejala meluas dengan gejala buang air besar
dengan tinja berdarah, diare encer dengan volume sedikit, buang air besar dengan tinja
bercampur lender (mucus) dan nyeri saat buang air besar (tenesmus). (2)
Disentri merupakan peradangan pada usus besar yang ditandai dengan sakit perut
dan buang air besar yang encer secara terus menerus (diare) yang bercampur lendir dan
darah. (3)
Disentri merupakan suatu infeksi yang menimbulkan luka yang menyebabkan
tukak terbatas di colon yang ditandai dengan gejala khas yang disebut sebagai sindroma
disentri, yakni: 1) sakit di perut yang sering disertai dengan tenesmus, 2) berak-berak, dan
3) tinja mengandung darah dan lendir. (4)

Epidemiologi
Di Amerika Serikat, insidensi penyakit ini rendah. Setiap tahunnya kurang dari
500.000 kasus yang dilaporkan ke Centers for Disease Control (CDC). Di Bagian Penyakit
Dalam RSUP Palembang selama 3 tahun (1990-1992) tercatat di catatan medis, dari 748
kasus yang dirawat karena diare ada 16 kasus yang disebabkan oleh disentri basiler.
Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia dari Juni
1998 sampai dengan Nopember 1999, dari 3848 orang penderita diare berat, ditemukan 5%
shigella.
Prevalensi amebiasis sangat bervariasi, diperkirakan 10 persen populasi terinfeksi.
Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host dan reservoir
utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara
lalat, kecoak, kontak interpersonal, atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi

11
lingkungan yang jelek, penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual
mempermudah penularannya.

Etiologi
Etiologi dari disentri ada 2, yaitu : (2)
1. Disentri basiler, disebabkan oleh Shigella,sp.
Shigella adalah basil non motil, gram negatif, famili enterobacteriaceae.
Ada 4 spesies Shigella, yaitu S.dysentriae, S.flexneri, S.bondii dan S.sonnei.
Terdapat 43 serotipe O dari shigella. S.sonnei adalah satu-satunya yang
mempunyai serotipe tunggal. Karena kekebalan tubuh yang didapat bersifat
serotipe spesifik, maka seseorang dapat terinfeksi beberapa kali oleh tipe yang
berbeda. Genus ini memiliki kemampuan menginvasi sel epitel intestinal dan
menyebabkan infeksi dalam jumlah 102-103 organisme. Penyakit ini kadang-
kadang bersifat ringan dan kadang-kadang berat. Suatu keadaan lingkungan yang
jelek akan menyebabkan mudahnya penularan penyakit. Secara klinis mempunyai
tanda-tanda berupa diare, adanya lendir dan darah dalam tinja, perut terasa sakit
dan tenesmus.
2. Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica.
E.histolytica merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai
mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi
mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni 38 di
dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi. Siklus
hidup amoeba ada 2 bentuk, yaitu bentuk trofozoit yang dapat bergerak dan bentuk
kista.
Bentuk trofozoit ada 2 macam, yaitu trofozoit komensal (berukuran < 10
mm) dan trofozoit patogen (berukuran > 10 mm). Trofozoit komensal dapat
dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan gejala penyakit. Bila pasien
mengalami diare, maka trofozoit akan keluar bersama tinja. Sementara trofozoit
patogen yang dapat dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun
luar usus (ekstraintestinal) dapat mengakibatkan gejala disentri. Diameternya
lebih besar dari trofozoit komensal (dapat sampai 50 mm) dan mengandung
beberapa eritrosit di dalamnya. Hal ini dikarenakan trofozoit patogen sering
menelan eritrosit (haematophagous trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung
jawab terhadap terjadinya gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar
tubuh manusia.
Bentuk kista juga ada 2 macam, yaitu kista muda dan kista dewasa.
Bentuk kista hanya dijumpai di lumen usus. Bentuk kista bertanggung jawab
terhadap terjadinya penularan penyakit dan dapat hidup lama di luar tubuh
manusia serta tahan terhadap asam lambung dan kadar klor standard di dalam
sistem air minum. Diduga kekeringan akibat penyerapan air di sepanjang usus
besar menyebabkan trofozoit berubah menjadi kista. (6)

12
Patogenesis dan Patofisiologi
a. Disentri basiler
Semua strain kuman Shigella menyebabkan disentri, yaitu suatu keadaan yang
ditandai dengan diare, dengan konsistensi tinja biasanya lunak, disertai eksudat inflamasi
yang mengandung leukosit polymorfonuclear (PMN) dan darah.
Kuman Shigella secara genetik bertahan terhadap pH yang rendah, maka dapat
melewati barrier asam lambung. Ditularkan secara oral melalui air, makanan, dan lalat yang
tercemar oleh ekskreta pasien. Setelah melewati lambung dan usus halus, kuman ini
menginvasi sel epitel mukosa kolon dan berkembang biak didalamnya. (2)
Kolon merupakan tempat utama yang diserang Shigella namun ileum terminalis
dapat juga terserang. Kelainan yang terberat biasanya di daerah sigmoid, sedang pada ilium
hanya hiperemik saja. Pada keadaan akut dan fatal ditemukan mukosa usus hiperemik,
lebam dan tebal, nekrosis superfisial, tapi biasanya tanpa ulkus. Pada keadaan subakut
terbentuk ulkus pada daerah folikel limfoid, dan pada selaput lendir lipatan transversum
didapatkan ulkus yang dangkal dan kecil, tepi ulkus menebal dan infiltrat tetapi tidak
berbentuk ulkus bergaung.
S.dysentriae, S.flexeneri, dan S.sonei menghasilkan eksotoksin antara lain ShET1,
ShET2, dan toksin Shiga, yang mempunyai sifat enterotoksik, sitotoksik, dan neurotoksik.
Enterotoksin tersebut merupakan salah satu faktor virulen sehingga kuman lebih mampu
menginvasi sel eptitel mukosa kolon dan menyebabkan kelainan pada selaput lendir yang
mempunyai warna hijau yang khas. Pada infeksi yang menahun akan terbentuk selaput
yang tebalnya sampai 1,5 cm sehingga dinding usus menjadi kaku, tidak rata dan lumen
usus mengecil. Dapat terjadi perlekatan dengan peritoneum. (6)
b. Disentri Amuba
Trofozoit yang mula-mula hidup sebagai komensal di lumen usus besar dapat
berubah menjadi patogen sehingga dapat menembus mukosa usus dan menimbulkan ulkus.
Akan tetapi faktor yang menyebabkan perubahan ini sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Diduga baik faktor kerentanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) amoeba,
maupun lingkungannya mempunyai peran.
Amoeba yang ganas dapat memproduksi enzim fosfoglukomutase dan lisozim
yang dapat mengakibatkan kerusakan dan nekrosis jaringan dinding usus. Bentuk ulkus
amoeba sangat khas yaitu di lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa
dan muskularis melebar (menggaung). Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus
menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal. Mukosa usus antara ulkus-ulkus
tampak normal. Ulkus dapat terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan
frekuensi dan urut-urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rektum, sigmoid,
apendiks dan ileum terminalis.(2)

Gejala Klinis
a. Disentri Basiler

13
Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Lama gejala rerata 7 hari sampai
4 minggu. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, diare disertai demam yang
mencapai 400C. Selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan
lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. (6)
Bentuk klinis dapat bermacam-macam dari yang ringan, sedang sampai yang
berat. Sakit perut terutama di bagian sebelah kiri, terasa melilit diikuti pengeluaran tinja
sehingga mengakibatkan perut menjadi cekung. Bentuk yang berat (fulminating cases)
biasanya disebabkan oleh S. dysentriae. Gejalanya timbul mendadak dan berat,
berjangkitnya cepat, berak-berak seperti air dengan lendir dan darah, muntah-muntah, suhu
badan subnormal, cepat terjadi dehidrasi, renjatan septik dan dapat meninggal bila tidak
cepat ditolong. Akibatnya timbul rasa haus, kulit kering dan dingin, turgor kulit berkurang
karena dehidrasi. Muka menjadi berwarna kebiruan, ekstremitas dingin dan viskositas
darah meningkat (hemokonsentrasi). Kadang-kadang gejalanya tidak khas, dapat berupa
seperti gejala kolera atau keracunan makanan.
Kematian biasanya terjadi karena gangguan sirkulasi perifer, anuria dan koma
uremik. Angka kematian bergantung pada keadaan dan tindakan pengobatan. Angka ini
bertambah pada keadaan malnutrisi dan keadaan darurat misalnya kelaparan.
Perkembangan penyakit ini selanjutnya dapat membaik secara perlahan-lahan tetapi
memerlukan waktu penyembuhan yang lama.
Pada kasus yang sedang keluhan dan gejalanya bervariasi, tinja biasanya lebih
berbentuk, mungkin dapat mengandung sedikit darah/lendir. Sedangkan pada kasus yang
ringan, keluhan/gejala tersebut di atas lebih ringan. Berbeda dengan kasus yang menahun,
terdapat serangan seperti kasus akut secara menahun. Kejadian ini jarang sekali bila
mendapat pengobatan yang baik. (2)
b. Disentri Amuba
Carrier (Cyst Passer)
Pasien ini tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan karena
amoeba yang berada dalam lumen usus besar tidak mengadakan invasi ke dinding usus.
Disentri amoeba ringan
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan. Penderita biasanya
mengeluh perut kembung, kadang nyeri perut ringan yang bersifat kejang. Dapat timbul
diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk. Kadang juga tinja bercampur darah
dan lendir. Terdapat sedikit nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di daerah
epigastrium. Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya. Keadaan umum pasien
biasanya baik, tanpa atau sedikit demam ringan (subfebris). Kadang dijumpai hepatomegali
yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
Disentri amoeba sedang
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berta dibanding disentri ringan, tetapi
pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari. Tinja biasanya disertai lendir dan
darah. Pasien mengeluh perut kram, demam dan lemah badan disertai hepatomegali yang
nyeri ringan.
Disentri amoeba berat

14
Keluhan dan gejala klinis lebih berta lagi. Penderita mengalami diare disertai
darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari. Demam tinggi (400C-40,50C) disertai mual
dan anemia.
Disentri amoeba kronik
Gejalanya menyerupai disentri amoeba ringan, serangan-serangan diare diselingi
dengan periode normal atau tanpa gejala. Keadaan ini dapat berjalan berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun. Pasien biasanya menunjukkan gejala neurastenia. Serangan diare yang
terjadi biasanya dikarenakan kelelahan, demam atau makanan yang sulit dicerna. (6)

Pemeriksaan Penunjang
a. Disentri amoeba
1. Pemeriksaan tinja
Pemeriksaan tinja ini merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting.
Biasanya tinja berbau busuk, bercampur darah dan lendir. Untuk pemeriksaan mikroskopik
diperlukan tinja yang segar. Kadang diperlukan pemeriksaan berulang-ulang, minimal 3
kali seminggu dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat pengobatan.
Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk (pasien tidak diare), perlu dicari bentuk
kista karena bentuk trofozoit tidak akan dapat ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak
kista berbentuk bulat dan berkilau seperti mutiara. Di dalamnya terdapat badan-badan
kromatoid yang berbentuk batang dengan ujung tumpul, sedangkan inti tidak tampak.
Untuk dapat melihat intinya, dapat digunakan larutan lugol. Akan tetapi dengan larutan
lugol ini badan-badan kromatoid tidak tampak. Bila jumlah kista sedikit, dapat dilakukan
pemeriksaan menggunakan metode konsentrasi dengan larutan seng sulfat dan
eterformalin. Dengan larutan seng sulfat kista akan terapung di permukaan sedangkan
dengan larutan eterformalin kista akan mengendap.
Dalam tinja pasien juga dapat ditemukan trofozoit. Untuk itu diperlukan tinja yang
masih segar dan sebaiknya diambil bahan dari bagian tinja yang mengandung darah dan
lendir. Pada sediaan langsung dapat dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti
keong dengan menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca. Jika tinja berdarah, akan
tampak amoeba dengan eritrosit di dalamnya. Bentik inti akan nampak jelas bila dibuat
sediaan dengan larutan eosin.(2)
2. Pemeriksaan sigmoidoskopi dan kolonoskopi
Pemeriksaan ini berguna untuk membantu diagnosis penderita dengan gejala
disentri, terutama apabila pada pemeriksaan tinja tidak ditemukan amoeba. Akan tetapi
pemeriksaan ini tidak berguna untuk carrier. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan ulkus
yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat kekuningan, mukosa usus antara ulkus-
ulkus tampak normal. (2)
3. Foto rontgen kolon
Pemeriksaan rontgen kolon tidak banyak membantu karena seringkali ulkus tidak
tampak. Kadang pada kasus amoebiasis kronis, foto rontgen kolon dengan barium enema
tampak ulkus disertai spasme otot. Pada ameboma nampak filling defect yang mirip
karsinoma. (2)
4. Pemeriksaan uji serologi

15
Uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis abses hati amebik dan
epidemiologis. Uji serologis positif bila amoeba menembus jaringan (invasif). Oleh karena
itu uji ini akan positif pada pasien abses hati dan disentri amoeba dan negatif pada carrier.
Hasil uji serologis positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negatif pasti
bukan amebiasis.(2)
b. Disentri basiler
1. Pemeriksaan tinja. Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab
serta biakan hapusan (rectal swab). Untuk menemukan carrier diperlukan
pemeriksaan biakan tinja yang seksama dan teliti karena basil shigela mudah mati
. Untuk itu diperlukan tinja yang baru.
2. Polymerase Chain Reaction (PCR). Pemeriksaan ini spesifik dan sensitif, tetapi
belum dipakai secara luas.
3. Enzim immunoassay. Hal ini dapat mendeteksi toksin di tinja pada sebagian besar
penderita yang terinfeksi S.dysentriae tipe 1 atau toksin yang dihasilkan E.coli.
4. Sigmoidoskopi. Sebelum pemeriksaan sitologi ini, dilakukan pengerokan daerah
sigmoid. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada stadium lanjut.
5. Aglutinasi. Hal ini terjadi karena aglutinin terbentuk pada hari kedua, maksimum
pada hari keenam. Pada S.dysentriae aglutinasi dinyatakan positif pada
pengenceran 1/50 dan pada S.flexneri aglutinasi antibodi sangat kompleks, dan
oleh karena adanya banyak strain maka jarang dipakai.
6. Gambaran endoskopi memperlihatkan mukosa hemoragik yang terlepas dan
ulserasi. Kadang-kadang tertutup dengan eksudat. Sebagian besar lesi berada di
bagian distal kolon dan secara progresif berkurang di segmen proksimal usus
besar. (2)

Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk disre darah adalah :
1. Disentri amuba
Timbulnya penyakit biasanya perlahan-lahan, diare awal tidak ada/jarang.
Toksemia ringan dapat terjadi, tenesmus jarang dan sakit berbatas. Tinja biasanya
besar, terus menerus, asam, berdarah, bila berbentuk biasanya tercampur lendir.
Lokasi tersering daerah sekum dan kolon asendens, jarang mengenai ileum. Ulkus
yang ditimbulkan dengan gaung yang khas seperti botol.
2. Disentri basiler
Penyakit ini biasanya timbul secara akut, sering disertai adanya toksemia,
tenesmus akan tetapi sakit biasanya sifatnya umum. Tinja biasanya kecil-kecil,
banyak, tak berbau, alkalis, berlendir, nanah dan berdarah, bila tinja berbentuk dilapisi
lendir. Daerah yang terserang biasanya sigmoid dan dapat juga menyerang ileum.
Biasanya daerah yang terserang akan mengalami hiperemia superfisial ulseratif dan
selaput lendir akan menebal.
3. Eschericiae coli
a. Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)

16
Patogenesisnya seperti Shigelosis yaitu melekat dan menginvasi epitel
usus sehingga menyebabkan kematian sel dan respon radang cepat (secara klinis
dikenal sebagai kolitis). Serogroup ini menyebabkan lesi seperti disentri basiller,
ulserasi atau perdarahan dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear dengan khas
edem mukosa dan submukosa. Manifestasi klinis berupa demam, toksisitas
sistemik, nyeri kejang abdomen, tenesmus, dan diare cair atau darah.
b. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
Manifestasi klinis dari EHEC dapat menyebabkan penyakit diare sendiri
atau dengan nyeri abdomen. Diare pada mulanya cair tapi beberapa hari menjadi
berdarah (kolitis hemoragik). Meskipun gambarannya sama dengan Shigelosis
yang membedakan adalah terjadinya demam yang merupakan manifestasi yang
tidak lazim. Beberapa infeksi disertai dengan sindrom hemolitik uremik.

Diagnosis
a. Disentri basiler
Perlu dicurigai adanya Shigellosis pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri
abdomen bawah, dan diare. Pemeriksaan mikroskopik tinja menunjukkan adanya
eritrosit dan leukosit PMN. Untuk memastikan diagnosis dilakukan kultur dari bahan
tinja segar atau hapus rektal. Pada fase akut infeksi Shigella, tes serologi tidak
bermanfaat.
Pada disentri subakut gejala klinisnya serupa dengan kolitis ulserosa. Perbedaan
utama adalah kultur Shigella yang positif dan perbaikan klinis yang bermakna setelah
pengobatan dengan antibiotik yang adekuat. (6)
b. Disentri amuba
Pemeriksaan tinja sangat penting di mana tinja penderita amebiasis tidak banyak
mengandung leukosit tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti baru dapat
ditegakkan bila ditemukan amoeba (trofozoit). Akan tetapi ditemukannya amoeba
bukan berarti meyingkirkan kemungkinan penyakit lain karena amebiasis dapat
terjadi bersamaan dengan penyakit lain. Oleh karena itu, apabila penderita amebiasis
yang telah menjalani pengobatan spesifik masih tetap mengeluh nyeri perut, perlu
dilakukan pemeriksaan lain, misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium enema
atau biakan tinja.
Abses hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik dan neoplasma.
Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma, sedang
ditemukannya echinococcus dapat membedakannya dengan abses piogenik. Salah
satu caranya yaitu dengan dilakukannya pungsi abses. (2)

Komplikasi
a. Disentri amoeba
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri amoeba, baik berat maupun ringan.
Berdasarkan lokasinya, komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi : (2)
Komplikasi intestinal
17
Perdarahan usus. Terjadi apabila amoeba mengadakan invasi ke dinding usus besar dan
merusak pembuluh darah.
Perforasi usus. Hal ini dapat terjadi bila abses menembus lapisan muskular dinding usus
besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi. Peritonitis juga dapat
disebabkan akibat pecahnya abses hati amoeba.
Ameboma. Peristiwa ini terjadi akibat infeksi kronis yang mengakibatkan reaksi
terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasanya terjadi di daerah sekum dan rektosigmoid.
Sering mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan tindakan
operasi segera.
Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik akibat terbentuknya
jaringan ikat atau akibat ameboma.
Komplikasi ekstraintestinal
Amebiasis hati. Abses hati merupakan komplikasi ekstraintestinal yang paling sering
terjadi. Abses dapat timbul dari beberapa minggu, bulan atau tahun sesudah infeksi amoeba
sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi ameba dan dinding usus besar lewat
vena porta, jarang lewat pembuluh getah bening.
Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini abses hati
kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yang akan bergabung menjadi
satu, membentuk abses tunggal yang besar. Sesuai dengan aliran darah vena porta, maka
abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi nanah kental yang
steril, tidak berbau, berwarna kecoklatan (chocolate paste) yang terdiri atas jaringan sel hati
yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang dapat berwarna kuning kehijauan karena
bercampur dengan cairan empedu.
Abses pleuropulmonal. Abses ini dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses hati. Kurang
lebih 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini. Abses paru juga dapat
terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus besar. Dapat pula terjadi hiliran
(fistel) hepatobronkhial sehingga penderita batuk-batuk dengan sputum berwarna
kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa dan organ lain. Keadaan ini dapat terjadi akibat embolisasi ameba
langsung dari dinding usus besar maupun dari abses hati walaupun sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus besar dengan
membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal atau dinding perut. Dapat pula
terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi ameba yang berasal dari anus.
b. Disentri basiler
Beberapa komplikasi ekstra intestinal disentri basiler terjadi pada pasien yang berada
di negara yang masih berkembang dan seringnya kejadian ini dihubungkan dengan infeksi
S.dysentriae tipe 1 dan S.flexneri pada pasien dengan status gizi buruk. Komplikasi lain
akibat infeksi S.dysentriae tipe 1 adalah haemolytic uremic syndrome (HUS). SHU diduga
akibat adanya penyerapan enterotoksin yang diproduksi oleh Shigella. Biasanya HUS ini
timbul pada akhir minggu pertama disentri basiler, yaitu pada saat disentri basiler mulai
membaik. Tanda-tanda HUS dapat berupa oliguria, penurunan hematokrit (sampai 10%
dalam 24 jam) dan secara progresif timbul anuria dan gagal ginjal atau anemia berat dengan

18
gagal jantung. Dapat pula terjadi reaksi leukemoid (leukosit lebih dari 50.000/mikro liter),
trombositopenia (30.000-100.000/mikro liter), hiponatremia, hipoglikemia berat bahkan
gejala susunan saraf pusat seperti ensefalopati, perubahan kesadaran dan sikap yang aneh.
Artritis juga dapat terjadi akibat infeksi S.flexneri yang biasanya muncul pada masa
penyembuhan dan mengenai sendi-sendi besar terutama lutut. Hal ini dapat terjadi pada
kasus yang ringan dimana cairan sinovial sendi mengandung leukosit polimorfonuklear.
Penyembuhan dapat sempurna, akan tetapi keluhan artsitis dapat berlangsung selama
berbulan-bulan. Bersamaan dengan artritis dapat pula terjadi iritis atau iridosiklitis.
Sedangkan stenosis terjadi bila ulkus sirkular pada usus menyembuh, bahkan dapat pula
terjadi obstruksi usus, walaupun hal ini jarang terjadi. Neuritis perifer dapat terjadi setelah
serangan S.dysentriae yang toksik namun hal ini jarang sekali terjadi.
Komplikasi intestinal seperti toksik megakolon, prolaps rectal dan perforasi juga dapat
muncul. Akan tetapi peritonitis karena perforasi jarang terjadi. Kalaupun terjadi biasanya
pada stadium akhir atau setelah serangan berat. Peritonitis dengan perlekatan yang terbatas
mungkin pula terjadi pada beberapa tempat yang mempunyai angka kematian tinggi.
Komplikasi lain yang dapat timbul adalah bisul dan hemoroid. (2)

Penatalaksanaan
a. Disentri basiler
Prinsip dalam melakukan tindakan pengobatan adalah istirahat, mencegah
atau memperbaiki dehidrasi dan pada kasus yang berat diberikan antibiotika.
Cairan dan elektrolit
Dehidrasi ringan sampai sedang dapat dikoreksi dengan cairan rehidrasi
oral. Jika frekuensi buang air besar terlalu sering, dehidrasi akan terjadi dan berat
badan penderita turun. Dalam keadaan ini perlu diberikan cairan melalui infus untuk
menggantikan cairan yang hilang. Akan tetapi jika penderita tidak muntah, cairan
dapat diberikan melalui minuman atau pemberian air kaldu atau oralit. Bila
penderita berangsur sembuh, susu tanpa gula mulai dapat diberikan.
Diet
Diberikan makanan lunak sampai frekuensi berak kurang dari 5 kali/hari,
kemudian diberikan makanan ringan biasa bila ada kemajuan.
Pengobatan spesifik
Menurut pedoman WHO, bila telah terdiagnosis shigelosis pasien diobati
dengan antibiotika. Jika setelah 2 hari pengobatan menunjukkan perbaikan, terapi
diteruskan selama 5 hari. Bila tidak ada perbaikan, antibiotika diganti dengan jenis
yang lain.
Resistensi terhadap sulfonamid, streptomisin, kloramfenikol dan
tetrasiklin hampir universal terjadi. Kuman Shigella biasanya resisten terhadap
ampisilin, namun apabila ternyata dalam uji resistensi kuman terhadap ampisilin
masih peka, maka masih dapat digunakan dengan dosis 4 x 500 mg/hari selama 5
hari. Begitu pula dengan trimetoprim-sulfametoksazol, dosis yang diberikan 2 x 960
mg/hari selama 3-5 hari. Amoksisilin tidak dianjurkan dalam pengobatan disentri
basiler karena tidak efektif.

19
Pemakaian jangka pendek dengan dosis tunggal fluorokuinolon seperti
siprofloksasin atau makrolide azithromisin ternyata berhasil baik untuk pengobatan
disentri basiler. Dosis siprofloksasin yang dipakai adalah 2 x 500 mg/hari selama 3
hari sedangkan azithromisin diberikan 1 gram dosis tunggal dan sefiksim 400
mg/hari selama 5 hari. Pemberian siprofloksasin merupakan kontraindikasi terhadap
anak-anak dan wanita hamil.
Di negara-negara berkembang di mana terdapat kuman S.dysentriae tipe 1
yang multiresisten terhadap obat-obat, diberikan asam nalidiksik dengan dosis 3 x
1 gram/hari selama 5 hari. Tidak ada antibiotika yang dianjurkan dalam pengobatan
stadium carrier disentri basiler.
b. Disentri amuba
1. Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin) 650 mg tiga kali
perhari selama 20 hari.
2. Amebiasis intestinal ringan atau sedang : tetrasiklin 500 mg empat kali selama
5 hari.
3. Amebiasis intestinal berat, menggunakan 3 obat : Metronidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari, tetrasiklin 500 mg empat kali selama 5 hari, dan emetin
1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari.
4. Amebiasis ektraintestinal, menggunakan 3 obat : Metonidazol 750 mg tiga kali
sehari selama 5-10 hari, kloroquin fosfat 1 gram perhari selama 2 hari
dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin 1 mg/kgBB/hari/IM
selama 10 hari. (6)

Prognosis
Prognosis ditentukan dari berat ringannya penyakit, diagnosis dan pengobatan dini
yang tepat serta kepekaan ameba terhadap obat yang diberikan. Pada umumnya prognosis
amebiasis adalah baik terutama pada kasus tanpa komplikasi. Prognosis yang kurang baik
adalah abses otak ameba.
Pada bentuk yang berat, angka kematian tinggi kecuali bila mendapatkan
pengobatan dini. Tetapi pada bentuk yang sedang, biasanya angka kematian rendah; bentuk
dysentriae biasanya berat dan masa penyembuhan lama meskipun dalam bentuk yang
ringan. Bentuk flexneri mempunyai angka kematian yang rendah. (2)

Pencegahan
a. Disentri amoeba
Makanan, minuman dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat
kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air minum
sebaiknya dimasak dahulu karena kista akan binasa bila air dipanaskan 50 0C selama 5
menit.
Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi dan pengobatan carrier. Carrier
dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan yang berhubungan dengan
makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus untuk pencegahan. Pemberian

20
kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah endemis tidak dianjurkan.
(2)

b. Disentri basiler
Belum ada rekomendasi pemakaian vaksin untuk Shigella. Penularan disentri basiler
dapat dicegah dan dikurangi dengan kondisi lingkungan dan diri yang bersih seperti
membersihkan tangan dengan sabun, suplai air yang tidak terkontaminasi, penggunaan
jamban yang bersih. (2)

Kasus Pemicu II “Perut Finso Seperti Terbakar”


Bagian 1
Tn. Finso, Laki-laki ,48 tahun, datang berobat ke dokter Penyakit Dalam RSPBA
dengan keluhan nyeri ulu hati seperti terbakar sejak 2 hari yang lalu. Keluhan ini disertai
dengan adanya cairan pahit yang naik ke tenggorokan. Keluhan tidak berkurang walau
sudah minum obat maag di warung. Perut terasa mual mau muntah. Penderita bekerja
21
sebagai guru dengan banyak mengajar di berbagai kelas sehingga pola makannya tidak
teratur. Mempunyai riwayat mengkonsumsi obat-obat penghilang nyeri dalam jangka
waktu yang lama. Pasien konsumsi rokok 1 bungkus dalam 1 hari.

Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian pertama:

Langkah-langkah PBL Pertanyaan Topik


pembelajaran
Kata kunci dan - Laki-laki 48 tahun GERD
informasi umum - Nyeri ulu hati seperti terbakar 2
hari yang lalu
- Cairan pahit yang naik ke
tenggorokan
- Keluhan bertambah setelah
makan dan makan makanan pedas
atau asa
- Keluhan tidak berkurang walau
sudah minum obat maag di
warung
- Guru banyak mengajar di berbai
kelas
- Pola makan tidak teratur
- Riwayat konsumsi obat-obatan
penghilang rasa sakit
- Riwayat merokok.
Masalah Nyeri ulu hati seperti terbakar
Hipotesis Nyeri ulu hati seperti terbakar
disebabkan karena : GERD
DD/
- Gastritis
- Ulkus duodenum
- Ulkus Gaster
Pertanyaan terjaring - Diagnosis yang mungkin pada
kasus
Definisi,
epidemiologi,Etilogi,patofisiolog
i,gejala klinis, pemeriksaan
penunjang, Penatalaksanaan,
pencegahan.
- Anatomi dan fisilogi yang
berhubungan dengan kasus

22
- Patofisilogi nyeriulu hati terasa
panas terbakar/heartburn
- Patofisiologi cairan pahit naik ke
tenggorokan
- Makanan apa saja yang
mempengaruhi ke asaman
lambung
- Enzim apa saja yang ada di
lambung
- Kenapa minum obat maag di
warung tidak berkurang sakit
- Adakah hubungan pekerjaan
sebagi guru, makan tidak teratur,
konsumsi obat-obat penghilang
nyeri, dan merokok
mempengaruhi keluhan

Bagian 2
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
 Keadaan umum : baik, kesadaran komposmentis,
 Tanda vital: TD 120/80 mmHg, N 72 kali/menit, RR 18X/menit, T 36 0C.
 Pemeriksaan abdoment:
o abdomen
- Inspeksi : perut datar
- Palpasi : lemas, nyeri tekan epigastrium(+) terutama daerah kiri, tidak
teraba massa, hepar dan lien tidak teraba.
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus (+) normal.
 Lab darah rutin: Hb 10 gr%, hematokrit 42 %, Leukosit 9.000/mm 3, trombosit
220.000/mm3.
 Fotothoraks : dalam batas normal
 EKG: Irama sinus, Aksis normal, HR 72x/menit, Gel P Normal PR interval 0,12
detik perubahan Segmen ST-T (-)
 Pemeriksaan Endoskopi: Hiperemis esophagus 1/3 distal, di fundus dan antrum
gaster terdapat gambaran hiperemis.
Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian kedua:

23
No Pertanyaan Topik pembelajaran
1 Diagnosis yang paling mungkin ? GERD
2 Kenapa terdapat nyeri tekan epigastrium?
3 Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
4 diagnosis?
5 Bagaimana terapi awal yang sebaiknya diberikan
pada penderita?
6 Definisis, Etiologi Epidemiologi, Gejala klinis,
7 Pemeriksaan penunjang pada GERD
8 DD GERD
9 Penatalaksanaan pada kasus (penulisan obat, jika
perlu)
10 Pencegahan
Komplikasi
Membuat alur diagnosis dari hipotesis

PENYAKIT REFLUKS GASTROESOFAGEAL


(GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE)

DEFINISI
Penyakit refuks gastroesofageal adalah suatu keadaan patologis sebagai akibat
dari refluks kandungan lambung ke dalam esophagus, dengan berbagai gejala yang timbul
akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Manifestasi klini dari
Penyakit refluks gastroesofageal sendiri terdiri atas esofagus dan ekstraesofagus.

EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara –negara barat, namun
dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia- Afrika. Di amerika di laporkan satu
dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam
seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis
di amerika sekitar 7%, sementara negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di
China dan 2,7% di Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya.
GERD dapat diderita oleh laki-laki dan perempuan, tidak ada predileksi seksual.
Rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD adalah 2:1 sampai 3:1 (4). GERD pada
negara berkembang sangat dipengaruhi oleh usia, usia dewasa antara 60-70 tahun
merupakan usia yang seringkali mengalami GERD.

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Penyakit GERD bersifat multifaktorial. GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%). Gangguan fungsional lebih pada
disfungsi SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esofagus. Esofagitis dapat

24
terjadi sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan
yang refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun
pada jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama. Selain
itu penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan,
kehamilan dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan,
kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau
sendawa).
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni
sfingter esofagus bawah. Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung
yang terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah. Tonus SEB
dikatakan rendah bila berada pada < 3 mmHg. Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah
dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau
sebab lainnya sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung
mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus
bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap
berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter
esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan
masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring.
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme :
1. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
2. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
3. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Dengan begitu dapat diakatakan bahwa patogenesis terjadinya refluks
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari
bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif dari refluks adalah:

Pemisah antirefluks.
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus dari SEB. Meurunnya tonus
SEB dapat menyebabkan timbulnya refluks retrogard pada saat terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki tonus SEB yang normal. Yang
dapat menurunkan tonus SEB antara lain
1. Adanya hiatus hernia
2. Panjang SEB. Semakin pendek semakin rendah tonusnya.
3. Obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik, theofilin, opiat dan lain-lain.
4. Kehamilan. Karena terjadi peningkatan progesteron yang dapat menurunkan tonus
SEB
5. Makanan berlemak dan alkohol.

25
Dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada
kasus GERD dengan tonus normal pada SEB lebih banyak disebabkan oleh terjadinya
transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi SEB yang bersifat spontan dan
berlangsung kurang lebih 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum jelas diketahui
bagaimana mekanisme terjadinya TLESR. Tetapi pada beberapa individu diketahui adanya
kaitan dengan keterlambatan pengosongan lambung dan dilatasi lambung (2,3,4).

Peranan Hiatus hernia pada patogenesis GERD masih kontroversi, karena banyak
pasien GERD yang pada endoskopik didapatkan hiatus hernia tidak menampakan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus SEB .
Bersihan asam dari lumen esofagus
Faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi,
peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan
refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar
saliva dan kelenjar esofagus.
Mekanisme bersihan asam ini sangat penting sebab, semakin lama waktu bersihan
maka semakin lama kontak mukosa lambung dengan refluksat, dan makin besar pula
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian pasien GERD memiliki waktu transit
refluksat yang normal, sehingga penyebab terjadinya refluks adalah peristaltik esofagus
yang minimal. Refluks pada malam hari lebih berpotensi meimbulkan kerusakan pada
esofagus, karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.

Ketahanan Epitelial Esofagus.


Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus
untuk melindungi mukosa esofagus.
Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari:
26
1. Membran sel
2. Intraseluler junction yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
3. Aliran darah esofagus yang menyuplai nutrisi, oksigen dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H + dan Cl-
intrasel dengan Na+ dan bikarbonat ekstrasel.

Nikotin dari rokok menyebabkan transport ion Na+ melalui epitel esofagus.
Sedangkan alkohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang
dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung
yang juga ikut berpengaruh dalam kerusakan mukosa gaster (menambah daya rusak
refluksat) antar lain HCl, pepsin, garam empedu, enzim pankreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada Ph < 2, atau adanya pepsin dan
garam empedu. Namun efek asam menjadi yang paling memiliki daya rusak tinggi.
Faktor lain yang ikut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain : dialatasi lambung
atau obstruksi gastric outlet dan lambatnya pengosongan lambung. Sedangkan peranan
Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan tidak banyak didukung oleh
data yang ada.
Lambatnya pengosongan lambung ditengarai juga menjadi penyebab GERD .
Pada kondisi pengosongan lambung yang lambat, maka isi dari lambungpun juga banyak.
Hal ini berakibat meningkatnya tekanan intragaster. Tekanan intragaster yang meningkat
ini akan berlawanan dengan kerja dari SEB. Pada keadaan ini, biasanya SEB akan kalah
oleh tekanan intragaster dan terjadilah refluks.

27
Peran Sfingter Atas Esofagus
SEA merupakan pertahanan akhir untuk mencegah refluksat masuk ke
larinofaring. Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang meninggi sebagai reaksi terhadap
refluksat menimbulkan distensi pada esofagus. Relaksasi pada SEA menyebabkan
terjadinya pajanan asam ke faring atau laring.

Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus


Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab Refluks ekstraesofagus. Mekanisme
tersebut antara lain.
1. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan
SEA yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
2. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan
spasme bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring
dan laring.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis yang khas pada penderita GERD adalah nyeri atau rasa tidak enak di
dada atau epigastrium. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar atau
heartburn. Selain itu, keluhan lainnya adalah regurgitasi dan disfagia atau water brash.
Regurgitasi yaitu pergerakan kembali isi lambung (material refluks) sampai esofagus atau
faring yang menimbulkan keluhan sering sendawa dan/ atau mulut rasa asam atau pahit.
Pada beberapa kasus, timbul juga keluhan disfagia atau sulit menelan saat memakan
makanan padat. Hal ini mungkin sudah terjadi striktur atau keganasan yang berkembang
28
dari Barrett’s esophagus. Odinofagia mungkin bisa terdapat pada pasien GERD oleh
karena sudah terbentuk ulserasi esofagus yang berat.
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma. Manifestasi non esofagus
pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia
aspirasi), Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). Di lain pihak,
penyakit paru juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa
obat yang dapat menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.
Pada pasien GERD yang datang ke dokter THT, seringkali tidak mengeluhkan
gejala tipikal, melainkan gejala atipikal seperti, suara serak pagi hari, mulut berbau, lendir
kental, mulut kering, sering meludah. Bila hal ini terjadi maka beri tatalaksana PPI selama
8 minggu, bila gejala hilang maka merupakan kasus GERD sekunder dengan manifestasi
THT.

DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa
pemeriksaan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD,
yaitu :

Endoskopi saluran cerna bagian atas


Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus,
serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD.
Jika tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan
ini disebut non erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan
dengan pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau
regurgutasi memang karena GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s esophagus,
displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien
GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.

a. Klasifikasi Los Angeles


Derajat Endoskopi
kerusakan
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter <5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm
tanpa saling berhubungan

29
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi
seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

b. Klasifikasi Savary-Miller
GRADE Deskripsi endoskopi
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus.
Erosi dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium

Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih
berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
peneympitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari
endoskopi, misal pada stenosis esofagus dan hiatus henia.
Pemantauan pH 24 jam.
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esofagus. Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada tidaknya
refluks gastroesofageal. ph dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik
untuk refluks gastroesofageal.
Tes Bernstein.
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu
jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang
tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup
kemungkinan adanya gangguan pada esofagus(3).

Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi
yang normal.

Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan
menggunakan cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium)
30
dan bersifat non invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor
transit dari cairan atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini
masih diragukan.

Tes supresi asam


Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD.
Dengan memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang
terjadi. Tes ini terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri
tidak tersedia. Tes ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang
terjadi. Dewasa ini tes ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme
tatalaksana GERD Pada pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki
alarm symptom (BB turun, anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat
keluarga dengan keganasan esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.

Diagnosis Refluks Ekstraesofagus


Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai
riwayat penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes
diagnosis. Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus bagian atas
(minimal 1 probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video
stroboskopi dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks
ekstraesofagus.

PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi
gaya hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhir-akhir ini mulai
dipekenalkan terapi endoskopik
Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi esofagus,
menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.

Modifikasi gaya hidup


Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun
demikian bukan merupakan pengobatan primer. Usaha ini bertujuan untuk mengurangi
refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain :
1. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,
dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah
refluks asam lambung ke esofagus.
2. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
3. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan
karena dapat menimbulkan distensi lambung.
4. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk
mengurangi tekanan intrabdomen.

31
5. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda
karena dapat merangsang aam lambung.
6. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan
menurunkan tonus SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis
kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD(5).

Terapi Medikamentosa(2,3,5)
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan
sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan
yang lebih kuat menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat
pompa proton. Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI
terlebih dahulu, setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat
dalam menekan sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan
antasid.
Dari beberapa studi, dilaporkan bahwa pendekatan step down lebih ekonomis
dibandingkan dengan step up. Menurut Genval statement ((1999) dan konsensus asia
pasifik tahun 2003 tentang tatalaksana GERD, disepakati bahwa terapi dengan PPI sebagai
terapi lini pertama dan digunakan pendekatan step down.

Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis(3,4,5). Selain sebagai
penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB (3,4).
Kelemahan obat golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan
diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan
ganghuan fungsi ginjal. Dosis sehari 4x1 sendok makan.

Antagonis Reseptor H2
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD(4). Yang termasuk obat
golongan ini adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi
asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini
dinilai efektif bagi keadaan yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus(5).
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai
sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin 4x150 mg(3).

Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya,

32
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam(3). Obat ini berfungsi
untuk memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster (4).
1. Metoklopramid(3)
a. Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan
dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan
antagonis reseptor H2 atau PPI.
b. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf
pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c. Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur(2).
2. Domperidon(3)
a. Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid)
hanya saja obat ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek
sampingnya lebih jarang.
b. Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini
diketahui dapat menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan
lambung.
c. Dosis 3x10-20 mg sehari
3. Cisapride(3)
a. Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
lebih bagus dari domperidon.
c. Dosis 3x10 mg

Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat) (2,3)


Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan
berefek pada meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di
esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman
karen bersifat topikal. Dosis 4x1 gram

Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)


Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug
of choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat yang
refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
- Omeprazole : 2x20 mg
- Lansoprazole: 2x30 mg
- Pantoprazole: 2x40 mg
- Rabeprazole : 2x10 mg
- Esomeprazole: 2x40 mg

33
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan , tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.

Skema 1. Algoritma tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama.

Skema 2. Algoritma tatalaksana GERD pada pusat pelayanan yang memiliki fasilitas
diagnostik memadai.

Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan 61 terapi
medikamentosa pada pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD
sering disertai gejala lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih
lama menyembuhkan esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus kadang tidak
memberikan respon terhadap terapi PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila
terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan
PPI(3).
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya
hidup dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi(2,3,4,5).

Fundoplikasi Nissen (4,6)

34
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit
GERD bila tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada
Hiatus hernia, Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini
dilakukan dengan laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian
bawah untuk mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah
esofagus dengan bagian lambung atas.

Indikasi Fundoplikasi
1. Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis
jangka panjang yang tidak menguntungkan.
2. Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien
ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit
yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
3. Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap
untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus
barret.

35
Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini
mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan
energi radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan
menyuntikan zat implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya
menjadi lebih kecil(3).
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien
suspek PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medik(7).

KOMPLIKASI

Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura
esofagus dan esofagus Barret (2,3).

Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50%
pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esofagus(2).

Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks(2). Hal
ini ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur
timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia pada
makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura berperan
sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13 mm.
Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat dilakukan
operasi (3).

Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi
epitel kolumnar metaplastik.. Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esofagus.
Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada 10%
pasien dengan esofagus Barrett.
Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD yaitu heartburn dan regurgutasi.
Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau minimal, hal ini diduga karena sensitivitas
epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya
segmen yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel skuamosa
yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana dengan
medikamentosa.

36
Komplikasi lain
Asma gaster merupakan salah satu komplikasi GERD pada paru. Selain pada paru,
kelainan laringofaring juga dapat terjadi, seperti laringitis posterior, globus faringeus,
stenosis laring atau trakea, spasme laring dan nyeri tenggorok. Komplikasi ekstra esofagus
lainnya adalah sinusitis, otalgia dan erosi dental.

“Kasus Pemicu III Nn. Viola Bermata Kuning”


Bagian 1
Nn. Viola , wanita, 24 tahun, adalah seorang mahasiswa keperawatan di Rumah sakit kota,
datang berobat ke UGD RSPBA dengan keluhan kedua matanya menjadi kuning sejak 1

37
minggu yang lalu. Keluhan ini disertai BAK kuning seperti teh pekat. Sejak 2 minggu yang
lalu penderita mengeluh demam tidak tinggi, menggigil tidak ada, nyeri sendi, sakit kepala,
badan lemas, mual, tidak nafsu makan, BAB biasa. Pasien mengatakan tidak ada riwayat
berpergian jauh dalam 1 bulan terakhir dan lingkungan kost-nya bersih, jauh dari kesan
kumuh dan kotor.

Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian pertama:


Langkah- Pertanyaan Topik
langkah PBL pembelajaran
Kata kunci - Wanita, 24 tahun - Ikterik
dan informasi
umum - Kedua mata kuning 1 minggu yang lalu - Hepatitis
A/B/C
- BAK warna coklat seperti teh

- demam tidak tinggi2 minggu yang lalu

- Tidak menggigil

- Sakit kepala

- Badan lemas

- Mual

- Nyeri sendi

- tidak nafsu makan

- tidak ada riwayat berpergian jauh

- lingkungan kost-nya bersih

Masalah Kedua mata kuning


Hipotesis Kedua mata kuning disebabkan karena:
Hepatitis A/B/C
DD/
- Kolesistitis
- Keledukolitiasis
- Malaria
- Leptospirosis
Pertanyaan - Diagnosis yang mungkin pada kasus
terjaring Definisi,
epidemiologi,Etilogi,patofisiologi,gejala

38
klinis, pemeriksaan
penunjang,penatalaksanaan, pencegahan
- Patomekanisme mual
- Etiologi dan Patomekanisme mata
kuning
- Anatomi dan fisilogi yang berhubungan
dengan kasus
- Patomekanisme badan kuning
- Etiologi dan patofisiologi BAK warna
coklat teh pekat
- Patofisilogi sakit kepala, badan lemas,
tidak napsu makan, nyeri sendi

Bagian 2
Pada pemeriksaan fisik
Keadaan umum: Tampak sakit sedang, Kesadaran CM
Tanda Vital : TD 110/70 mmhg N: 86x/m RR: 20x/m, S:37,4 0C
Pemeriksaan spesifik:
Mata: Konjungtiva palpebra anemis -/-, Sklera Ikterik +/+
Pem Fisik Abdomen :
Supel datar tidak ada distensi abdomen, Hepar teraba 2 jari dibawah arcus costae,
tepi tumpul, konsistensi kenyal, nyeri tekan (+).
Pemeriksaan Penunjang:
Lab Darah rutin: Hb 11,2 gr%, Leukosit 9200 /mm3, Trombosit 178.000 /mm3
Kimia darah: Bil total 9 , Bil direk 7.8, Bil indirek 1.2, SGOT 723, SGPT 652, Gamma GT
20 U/L , AP : 205 U/L
Urin Rutin : Bilirubin (+)

Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian kedua:


No Pertanyaan Topik
pembelajaran

39
1 Diagnosis yang paling mungkin ? (Hepatitis A/B/C) DD/ - Ikterik
2 Kenapa sklera ikterik? - Hepatitis
3 Kenapa terjadi pembesaran hepar? A/B/C
4 Bagaimanakah patofisiologi nyeri tekan abdomen kanan atas?
5 Apa itu Bil total, direk, dan indirek?
Bagaimanakah Cara melakukan pem.fisik abdomen ?
Pemeriksaan apakah SGOT dan SGPT itu? Kenapa bisa tinggi?
Berapa nilai rujukannya?
Apakah pem Gamma GT? Bagaiman memeriksanya?
Bagaimanakah patofisilogi bilirubin bisa (+) dalam urin

Bagian 3
Di bangsal ruangan penyakit dalam pasien dilakukan pemeriksaan lanjutan oleh dr
Spesialis Penyakit Dalam. Dilakukan pemeriksaan serologik darah dan USG abdomen
dengan hasil sbb: HbsAg (+) dan USG kesan Hepatomegali dengan gambaran Hepatitis.

Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian ketiga:


No Pertanyaan Topik
pembelajaran
1 Definisis Hepatitis B Hepatitis B
2 Etiologi
3 Epidemiologi
4 Gejala klinis
5 Pemeriksaan penunjang
6 DD/ Hepatitis B
7 Bagaimana tatalaksana kasus ini? (penulisan obat, jika perlu)
8 Pencegahan
9 Komplikasi
10 Membuat alur diagnosis dari hipotesis

Hepatitis
Pendahuluan
40
Hepatitis berarti radang atau pembengkakan hati. Hepatitis bisa disebabkan oleh
virus, alkohol, narkoba, obat (termasuk obat yang diresepkan), atau racun. Penyebab
lainnya adalah infeksi oportunistik (IO). Tetapi kebanyakan hepatitis disebabkan oleh
infeksi virus. Ada 5 macam virus hepatitis, tipe A, B, C, D, dan E. 5 tipe dari virus ini
menjadi perhatian karena penyebab kesakitan dan kematian serta berpotensi menjadi
penyakit penyebaran yang luas.
Hepatitis A dan E kebanyakan disebabkan karena tertelan air atau makanan yang
terkontaminasi. Hepatitis B, C, dan D timbul dari kontak parenteral dengan cairan tubuh
yang terinfeksi. Kebanyakan transmisi untuk virus ini termasuk penerima produk darah
yang terkontaminasi, prosedur medis yang invasif yang menggunakan peralatan yang
terkontaminasi, dan untuk hepatitis B dari proses kelahiran antara ibu ke anak, dari keluarga
ke anak ataupun dari hubungan seksual.
Hepatitis kemungkinan terjadi sebagai infeksi sekunder selama perjalanan infeksi
dengan virus-virus lainnya , seperti :
 Cytomegalovirus
 Virus Epstein-Barr
 Virus Herpes simplex
 Virus Varicella-zoster
Klien biasanya sembuh secara total dari hepatitis, tetapi kemungkinan mempunyai penyakit
liver residu. Umumnya penderita hepatitis akut pada orang dewasa akan sembuh secara
sempurna ( > 90%). Hanya sebagian kecil yang menetap (permanent) dan menjadi kronik
(5 – 10%).Meskipun angka kematian hepatitis relatif lama, pada hepatitis virus akut bisa
berakhir dengan kematian.Waktu terekspos sampai kena penyakit kira-kira 2 sampai 6
minggu. Penderita akan mengalami gejala gejala seperti demam, lemah, letih, dan lesu,
pada beberapa kasus, seringkali terjadi muntah muntah yang terus menerus sehingga
menyebabkan seluruh badan terasa lemas.
Di negara berkembang, dan di daerah dengan standar higiene yang buruk, kejadian
infeksi virus ini adalah tinggi dan penyakit biasanya kontak pada anak usia dini. Setelah
kenaikan pendapatan dan akses untuk membersihkan air meningkat, insiden HAV
menurun. Hepatitis A menyebabkan infeksi dengan tanda-tanda dan gejala klinis pada lebih
dari 90% anak yang terinfeksi dan karena infeksi menimbulkan kekebalan seumur hidup,
penyakit ini tidak ada maknakhusus untuk mereka yang terinfeksi pada awal kehidupan. Di
Eropa, Amerika Serikat dan negara-negara industri lainnya, di sisi lain, infeksi ditularkan
terutama oleh orang dewasa muda yang rentan, kebanyakan dari mereka terinfeksi dengan
virus selama perjalanan ke negara-negara dengan kejadian penyakit yang tinggi, atau
melalui kontak dengan orang menular.
Infeksi HAV merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri yang tidak
mengakibatkan infeksi kronis atau penyakit hati kronis. Namun, 10% -15% dari pasien
mungkin mengalami gejala kekambuhan selama 6 bulan setelah penyakit akut. Gagal hati
akut dari hepatitis A jarang terjadi (secara keseluruhan tingkat fatalitas kasus: 0,5%). Risiko
untuk infeksi simtomatik secara langsung berkaitan dengan usia, dengan> 80% orang
dewasa mengalami gejala kompatibel dengan hepatitis virus akut dan mayoritas anak-anak
memiliki infeksi yang asimtomatik atau tidak bergejala. Antibodi dihasilkan sebagai
41
respons terhadap infeksi HAV. Berlangsung selama hidup dan memberikan perlindungan
terhadap reinfeksi. Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi, vaksin hepatitis A dan
telah terbukti efektif dalam mengendalikan wabah di seluruh dunia.
Anatomi
Hati terletak di bawah diafragma kanan, dilindungi bagian bawah tulang iga kanan. Hati
normal kenyal dengan permukaannya yang licin. Hati merupakan kelenjar tubuh yang
paling besar dengan berat 1000-1500 gram. Hati terdiri dari dua lobus utama, kanan dan
kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior, lobus kiri dibagi menjadi
segmen medial dan lateral oleh ligamentum Falsiformis.
Setiap lobus dibagi menjadi lobuli. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal
yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus mengelilingi vena sentralis.
Diantara lempengan terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang dibatasi sel kupffer. Sel
kupffer berfungsi sebagai pertahanan hati. Sistem biliaris dimulai dari kanalikulus biliaris,
yang merupakan saluran kecil dilapisi oleh mikrovili kompleks di sekililing sel hati.
Kanalikulus biliaris membentuk duktus biliaris intralobular, yang mengalirkan empedu ke
duktus biliaris di dalam traktus porta.
Fungsi dasar hati dibagi menjadi :
 Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah. Ada dua macam aliran
darah pada hati, yaitu darah portal dari usus dan darah arterial, yang keduanya
akan bertemu dalam sinusoid. Darah yang masuksinusoid akan difilter oleh sel
Kupffer.
 Fungsi metabolik. Hati memegang peran penting pada metabolisme karbohidrat,
protein, lemak, vitamin.
 Fungsi ekskretorik. Banyak bahan diekskresi hati di dalam empedu, seperti
bilirubin, kolesterol, asam empedu, dan lain-lain.
 Fungsi sintesis. Hati merupakan sumber albumin plasma; banyak globulin plasma,
dan banyak protein yang berperan dalam hemostasis.

Etiologi

42
Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D Tipe E
Metode Fekal-oral Parenteral Parenteral Parenteral Fekal-
Transmisi melalui seksual, jarang perinatal, oral
orang lain perinatal seksual, memerlukan
orang ke koinfeksi
orang, dengan type B
perinatal
Keparaha Tidak Parah Menyebar Peningkatan Sama
n ikterik dan luas, dapat insiden kronis dengan
asimptoma berkembang dan gagal D
tik sampai kronis hepar akut
Sumber Darah, Darah, Terutama Melalui darah Darah,
virus feces, saliva, melalui darah feces,
saliva semen, saliva
sekresi
vagina
 Alkohol


Menyebabkan alkohol hepatitis dan selanjutnya menjadi alkohol sirosis.

 Obat-obatan

Menyebabkan toksik untuk hati, sehingga sering disebut hepatitis toksik dan hepatitis akut.

A. Klasifikasi
 Hepatitis A
Seringkali infeksi hepatitis A pada anak-anak tidak menimbulkan gejala,
sedangkan pada orang dewasa menyebabkan gejala mirip flu, rasa lelah, demam,
diare, mual, nyeri perut, mata kuning dan hilangnya nafsu makan. Gejala hilang
sama sekali setelah 6-12 minggu. Penderita hepatitis A akan menjadi kebal
terhadap penyakit tersebut. Berbeda dengan hepatitis B dan C, infeksi hepatitis A
tidak akan berlanjut menjadi kronik.
Masa inkubasi 15-50 hari, (rata-rata 30 hari). Tersebar diseluruh dunia
dengan endemisitas yang tertinggi terdapat di Negara-negara berkembang.
Penularan terjadi melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi tinja
penderita hepatitis A, misalnya makan buah-buahan atau sayur yang tidak dikelola
/ dimasak sempurna, makan kerang setengah matang, minum es batu yang

43
prosesnya terkontaminasi. Faktor risiko lain, meliputi : tempat-tempat penitipan
atau perawatan bayi atau batita, institusi untuk developmentally disadvantage,
bepergian ke Negara berkembang, perilaku seks oral-anal, pemakain jarum
bersama pada IDU (Injecting Drug User).
 Hepatitis B
Manifestasi infeksi Hepatitis B adalah peradangan kronik pada hati. Virus
hepatitis B termasuk yang paling sering ditemui. Distribusinya tersebar di seluruh
dunia, dengan prevalensi karier di USA <1%, sedangkan di Asia 5–15%. Masa
inkubasi berkisar 15–180 hari, (rata-rata 60–90 hari). Viremia berlangsung selama
beberapa minggu sampai bulan setelah infeksi akut.
Sebagian penderita hepatitis B akan sembuh sempurna dan mempunyai
kekebalan seumur hidup, tapi sebagian lagi gagal memperoleh kekebalan.
Sebanyak 1–5% penderita dewasa, 90% neonatus dan 50% bayi akan berkembang
menjadi hepatitis kronik dan viremia yang persisten. Orang tersebut akan terus
menerus membawa virus hepatitis B dan bisa menjadi sumber penularan.
Penularannya melalui darah atau transmisi seksual. Dapat terjadi lewat jarum
suntik, pisau, tato, tindik, akupunktur atau penggunaan sikat gigi bersama yang
terkontaminasi, transfusi darah, penderita hemodialisis dan gigitan manusia.
Hepatitis B sangat berisiko bagi pecandu narkotika dan orang yang mempunyai
banyak pasangan seksual.
Gejala hepatitis B adalah lemah, lesu, sakit otot, mual dan muntah, kadang-
kadang timbul gejala flu, faringitis, batuk, fotofobia, kurang nafsu makan, mata
dan kulit kuning yang didahului dengan urin berwarna gelap. Gatal-gatal di kulit,
biasanya ringan dan sementara. Jarang ditemukan demam.
Untuk mencegah penularan hepatitis B adalah dengan imunisasi hepatitis B
terhadap bayi yang baru lahir, menghindari hubungan badan dengan orang yang
terinfeksi, hindari penyalahgunaan obat dan pemakaian bersama jarum suntik.
Menghindari pemakaian bersama sikat gigi atau alat cukur, dan memastikan alat
suci hama bila ingin bertato melubangi telinga atau tusuk jarum.

44
Pengobatan dengan interferon alfa-2b dan lamivudine, serta imunoglobulin
yang mengandung antibodi terhadap hepatitis-B yang diberikan 14 hari setelah
paparan. Vaksin hepatitis B yang aman dan efektif sudah tersedia sejak beberapa
tahun yang lalu. Yang merupakan risiko tertular hepatitis B adalah pecandu
narkotika, orang yang mempunyai banyak pasangan seksual.
Hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan anti HBs positif berarti Anda
pernah terinfeksi virus Hepatitis B, namun virus tersebut sudah tidak ada lagi
dalam darah Anda (HbsAg negatif). Itu bahkan menunjukkan bahwa Anda
sekarang sudah mempunyai kekebalan terhadap Hepatitis B (anti HBs positif).
Karena itu selama kadar antibodi anti HBs Anda tinggi, maka Anda tak perlu lagi
divaksinasi. Imunisasi Hepatitis B dapat dimulai sejak bayi.
 Hepatitis C
Gejala Hepatitis C biasanya lebih ringan dibandingkan dengan Hepatitis A
atau B. Setelah terserang Hepatitis A pada umumnya penderita sembuh secara
sempurna, tidak ada yang menjadi kronik. Hepatitis B juga sebagian besar akan
sembuh dengan baik dan hanya sekitar 5-10 persen yang akan menjadi kronik.
Bila hepatitis B menjadi kronik maka sebagian penderita hepatitis B kronik ini
akan menjadi sirosis hati dan kanker hati.
Pada Hepatitis C penderita yang menjadi kronik jauh lebih banyak. Sebagian
penderita Hepatitis C kronik akan menjadi sirosis hati dan kanker hati. Hanya
sebagian kecil saja penderita Hepatitis B yang berkembang menjadi kanker hati.
Begitu pula pada penderita Hepatitis C hanya sebagian yang menjadi kanker hati.
Biasanya diperlukan waktu 17 sampai dengan 20 tahun seorang yang menderita
Hepatitis C untuk berkembang menjadi sirosis hati atau kanker hati.
Anti HCV negatif artinya Anda belum pernah terinfeksi Hepatitis C. Sampai
sekarang ini belum ada vaksin untuk Hepatitis C sehingga Anda dianjurkan agar
berhati-hati sehingga tidak tertular Hepatitis C. Jadi hindari kontak dengan cairan
tubuh orang lain. Sekarang memang ada obat baru untuk Hepatitis B yang disebut
lamivudin. Obat ini berupa tablet yang dimakan sekali sehari. Sedangkan jika

45
diperlukan pengobatan untuk Hepatitis C tersedia obat Interferon (suntikan) dan
Ribavirin (kapsul). Namun penggunaan obat-obat tersebut harus dilakukan
dibawah pengawasan dokter.
 Hepatitis D
Hepatitis D Virus ( HDV ) atau virus delta adalah virus yang unik, yang tidak
lengkap dan untuk replikasi memerlukan keberadaan virus hepatitis B. Penularan
melalui hubungan seksual, jarum suntik dan transfusi darah. Gejala penyakit
hepatitis D bervariasi, dapat muncul sebagai gejala yang ringan (ko-infeksi) atau
amat progresif.

 Hepatitis E
Gejala mirip hepatitis A, demam pegel linu, lelah, hilang nafsu makan dan sakit
perut. Penyakit yang akan sembuh sendiri ( self-limited ), kecuali bila terjadi pada
kehamilan, khususnya trimester ketiga, dapat mematikan. Penularan melalui air
yang terkontaminasi tinja manusia.
Penyakit Hepatitis adalah penyakit yang disebabka oleh virus dan mengganggu
serta merusak organ hati. Dengan mengetahui bagaimana penyakit ini dapat
terjadi, gejala-gejala yang ditimbulkan, serta pencegahan yang dapat dilakukan
akan mengurangi kasus penyakit ini. Berobatlah ke dokter bila merasakan gejala-
gejala seperti diatas, mengingat cara penularan penyakit ini yang melalui banyak
cara. Yang harus diingat adalah penyakit ini memerlukan istrihat (bedrest) untuk
pemulihan organ hati.
 Hepatitis F
Baru ada sedikit kasus yang dilaporkan. Saat ini para pakar belum sepakat
hepatitis F merupakan penyakit hepatitis yang terpisah.
 Hepatitis G
Gejala serupa hepatitis C, seringkali infeksi bersamaan dengan hepatitis B
dan/atau C. Tidak menyebabkan hepatitis fulminan atau hepatitis kronik.
Penularan melalui transfusi darah dan jarum suntik.
46
TANDA DAN GEJALA
1. Masa tunas
Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)
Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)
Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)
2. Fase Pre Ikterik
Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus
berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea,
vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal
terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu
badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri
persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.
3. Fase Ikterik
Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan
disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat
pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari.
Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai
dirasakan selama 1-2 minggu.
4. Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati,
disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa
ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali,
namun lemas dan lekas capai.
Hepatitis yang sering di jumpai :
I. HEPATITIS A
A. Keluhan dan Gejala
Periode inkubasi infeksi virus hepatitis A antara 10-50 hari (rata-rata 25 hari),
biasanya diikuti dengan demam, kurang nafsu makan, mual, nyeri pada kuadran kanan atas
perut, dan dalam waktu beberapa hari kemudian timbul sakit kuning. Urin penderita

47
biasanya berwarna kuning gelap yang terjadi 1-5 hari sebelum timbulnya penyakit kuning.
Terjadi pembesaran pada organ hati dan terasa empuk. Banyak orang yang mempunyai
bukti serologi infeksi akut hapatitis A tidak menunjukkan gejala atau hanya sedikit sakit,
tanpa ikterus (anicteric hepatitis A). Infeksi penyakit tergantung pada usia, lebih sering
dijumpai pada anak-anak. Sebagian besar (99%) dari kasus hepatitis A adalah sembuh
sendiri (Wilson, 2001).
HAV ditularkan dari orang ke orang melalui mekanisme fekal-oral. HAV diekskresi
dalam tinja, dan dapat bertahan di lingkungan untuk jangka waktu lama. Orang bisa tertular
apabila mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi oleh HAV dari tinja.
Kadang-kadang, HAV juga diperoleh melalui hubungan seksual (anal-oral) dan transfusi
darah (WHO, 2010).
Hepatitis akut A dapat dibagi menjadi empat fase klinis:
 inkubasi atau periode preklinik, 10 sampai 50 hari, di mana pasien tetap asimtomatik
meskipun terjadi replikasi aktif virus.
 fase prodromal atau preicteric, mulai dari beberapa hari sampai lebih dari seminggu,
ditandai dengan munculnya gejala seperti kehilangan nafsu makan, kelelahan, sakit
perut, mual dan muntah, demam, diare, urin gelap dan tinja yang pucat.
 fase icteric, di mana penyakit kuning berkembang di tingkat bilirubin total melebihi
20 - 40 mg/l. Pasien sering minta bantuan medis pada tahap penyakit mereka. Fase
icteric biasanya dimulai dalam waktu 10 hari gejala awal. Demam biasanya membaik
setelah beberapa hari pertama penyakit kuning. Viremia berakhir tak lama setelah
mengembangkan hepatitis, meskipun tinja tetap menular selama 1 - 2 minggu. Tingkat
kematian rendah (0,2% dari kasus icteric) dan penyakit akhirnya sembuh sendiri.
Kadang-kadang, nekrosis hati meluas terjadi selama 6 pertama - 8 minggu pada masa
sakit. Dalam hal ini, demam tinggi, ditandai nyeri perut, muntah, penyakit kuning dan
pengembangan ensefalopati hati terkait dengan koma dan kejang, ini adalah tanda-
tanda hepatitis fulminan, menyebabkan kematian pada tahun 70 - 90% dari pasien.
Dalam kasus-kasus kematian sangat tinggi berhubungan dengan bertambahnya usia,
dan kelangsungan hidup ini jarang terjadi lebih dari 50 tahun.

48
 masa penyembuhan, berjalan lambat, tetapi pemulihan pasien lancar dan lengkap.
Kejadian kambuh hepatitis terjadi dalam 3 - 20% dari pasien, sekitar 4-15 minggu
setelah gejala awal telah sembuh (WHO, 2010).
B. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Diagnosis hepatitis dibuat dengan penilaian biokimia fungsi hati (evaluasi
laboratorium: bilirubin urin dan urobilinogen, bilirubin total serum dan langsung, ALT dan
/ atau AST, fosfatase alkali, waktu protrombin, protein total, albumin, IgG, IgA, IgM,
hitung darah lengkap). Diagnosis spesifik hepatitis akut A dibuat dengan menemukan anti-
HAV IgM dalam serum pasien. Sebuah pilihan kedua adalah deteksi virus dan / atau antigen
dalam faeces. Virus dan antibodi dapat dideteksi oleh RIA tersedia secara komersial,
AMDAL atau ELISA kit. Tes ini secara komersial tersedia untuk anti-HAV IgM dan anti-
HAV total (IgM dan IgG) untuk penilaian kekebalan terhadap HAV tidak dipengaruhi oleh
administrasi pasif IG, karena dosis profilaksis berada di bawah deteksi level. Pada awal
penyakit, keberadaan IgG anti-HAV selalu disertai dengan adanya IgM anti-HAV. Sebagai
anti-HAV IgG tetap seumur hidup setelah infeksi akut, deteksi IgG anti-HAV saja
menunjukkan infeksi masa lalu (WHO, 2010).

C. Etiologi
Hepatitis A disebabkan oleh infeksi virus Hepatitis A (HAV). Virus ini tidak
beramplop, merupakan virus RNA untai tunggal kecil dengan diameter 27nm. Tidak
inaktifasi oleh eter dan stabil pada suhu -20 celcius, serta pH yang rendah. Strukturnya
mirip dengan enterovirus, tapi hepatitis A virus berbeda dan sekarang diklasifikasikan
dalam genus Hepatovirus, famili picornavirus (Wilson, 2001).

D. Cara Pencegahan
Menurut WHO, ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis A, antara lain
:
 Hampir semua infeksi HAV menyebar dengan rute fekal-oral, maka pencegahan dapat
dilakukan dengan hygiene perorangan yang baik, standar kualitas tinggi untuk

49
persediaan air publik dan pembuangan limbah saniter, serta sanitasi lingkungan yang
baik.
 Dalam rumah tangga, kebersihan pribadi yang baik, termasuk tangan sering dan
mencuci setelah buang air besar dan sebelum menyiapkan makanan, merupakan
tindakan penting untuk mengurangi risiko penularan dari individu yang terinfeksi
sebelum dan sesudah penyakit klinis mereka menjadi apparent.
Dalam bukunya, Wilson menambahkan pencegahan untuk hepatitis A, yaitu dengan
cara pemberian vaksin atau imunisasi. Ada dua jenis vaksin, yaitu :
 Imunisasi pasif
Pasif (yaitu, antibodi) profilaksis untuk hepatitis A telah tersedia selama bertahun-
tahun. Serum imun globulin (ISG), dibuat dari plasma populasi umum, memberi 80-90%
perlindungan jika diberikan sebelum atau selama periode inkubasi penyakit. Dalam
beberapa kasus, infeksi terjadi, namun tidak muncul gejala klinis dari hepatitis A.
Saat ini, ISG harus diberikan pada orang yang intensif kontak pasien hepatitis A dan
orang yang diketahui telah makan makanan mentah yang diolah atau ditangani oleh
individu yang terinfeksi. Begitu muncul gejala klinis, tuan rumah sudah memproduksi
antibodi. Orang dari daerah endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke daerah-
daerah dengan tingkat infeksi yang tinggi dapat menerima ISG sebelum keberangkatan dan
pada interval 3-4 bulan asalkan potensial paparan berat terus berlanjut, tetapi imunisasi
aktif adalah lebih baik.
 Imunisasi aktif
Untuk hepatitis A, vaksin dilemahkan hidup telah dievaluasi tetapi telah menunjukkan
imunogenisitas dan belum efektif bila diberikan secara oral. Penggunaan vaksin ini lebih
baik daripada pasif profilaksis bagi mereka yang berkepanjangan atau berulang terpapar
hepatitis A.

E. Cara Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit hepatitis A, terapi yang dilakukan hanya
untuk mengatasi gejala yang ditimbulkan. Contohnya, pemberian parasetamol untuk

50
penurun panas. Terapi harus mendukung dan bertujuan untuk menjaga keseimbangan gizi
yang cukup. Tidak ada bukti yang baik bahwa pembatasan lemak memiliki efek
menguntungkan pada program penyakit. Telur, susu dan mentega benar-benar dapat
membantu memberikan asupan kalori yang baik. Minuman mengandung alkohol tidak
boleh dikonsumsi selama hepatitis akut karena efek hepatotoksik langsung dari alkohol
(WHO, 2010).
F. Prognosis
Prognosis hepatitis A sangat baik, lebih dari 99% dari pasien dengan hepatitis A
infeksi sembuh sendiri. Hanya 0,1% pasien berkembang menjadi nekrosis hepatik akut
fatal(Wilson, 2001).

II. HEPATITIS B
A. Keluhan dan Gejala
Wilson (2001) menjelaskan gambaran klinis hepatitis B sangat bervariasi. Masa
inkubasi dari 45 hari selama 160 hari (rata-rata 10 minggu). Hepatitis B akut biasanya
dimanifestasikan dalam bertahap mulai kelelahan, kehilangan nafsu makan, mual dan rasa
sakit dan kepenuhan di perut kuadran kanan atas. Pada awal perjalanan penyakit, rasa sakit
dan pembengkakan sendi serta artritis mungkin terjadi. Beberapa pasien terjadi ruam.
Dengan meningkatnya involvenmen hati, ada peningkatan kolestasis dan karenanya, urin
berwarna kuning gelap, dan penyakit kuning. Gejala dapat bertahan selama beberapa bulan
sebelum akhirnya berhenti.Secara umum, gejala yang terkait dengan hepatitis B akut lebih
berat dan lebih lama dibandingkan dengan hepatitis A.
HBV terdapat dalam semua cairan tubuh dari penderitanya, baik dalam darah, sperma,
cairan vagina dan air ludah. Virus ini mudah menular pada orang-orang yang hidup
bersama dengan orang yang terinfeksi melalui cairan tubuh tadi. Secara umum seseorang
dapat tertular HBV melalui hubungan seksual, penggunaan jarum suntuk yang bergantian
pada IDU, menggunakan alat yang terkontaminasi darah dari penderita (pisau cukur, tato,
tindik), 90% berasal dari ibu yang terinfeksi HBV, transfusi darah, serta lewat peralatan
dokter (Anania, 2008).

51
B. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik
Dr. Imran Lubis dalam artikelnya yang berjudul “Penyakit Hepatitis Virus”,
menjelaskan pemeriksaan hepatitis B yang paling penting adalah HbsAg. HbsAg ini dapat
diperiksa dari serum, semen, air liur, urin dan cairan tubuh lainnya. HbsAg diperiksa
pertama kali dengan metoda imunodifusi, yang mudah dikerjakan, murah, dan spesifik,
tetapi lambat dan tidak sensitif. Metoda kedua dalam pemeriksaan HbsAg adalah dengan
metoda CIEP (counter immunoelectrophoresis) dan CF (complement fixation) yang lebih
sensitif dariimunodifusi. Metoda yang paling sensitif adalah RIA(radio immunoassay) dan
EIA-ELISA (enzyme-immunoassay). Tes ini sangat sensitif dan sangat spesifik. Metoda
EIA mampu mendeteksi HbsAg sekecil 0,5 μg/l (konsentrasi HbsAg dalam plasma dapat
mencapai 1 g/l). Tes EIA dan RIA mampu mendeteksi 95% penderita hepatitis B. Diagnosa
HBsAg buatan indonesia adalah Entebe RPHA yang mempunyai sensitivitas 78,6% dan
spesifisitas 80%.

C. Etiologi
Virus hepatitis B merupakan virus DNA beramplop, termasuk famili
Hepadnaviridae.virion lengkap adalah 42 nm, partikel berbentuk bola yang terdiri dari
sebuah amplop di sekitar inti 27nm. Inti terdiri dari nukleokapsid yang berisi genom
DNA.Genom virus sebagian terdiri dari DNA untai ganda dengan potongan pendek, dan
selembar untai tunggal. Ini terdiri dari 3200 nukleotida, sehingga dikenal sebagai DNA
virus terkecil (Wilson, 2001).

D. Cara Pencegahan
Beberapa cara pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah hepatitis B antara
lain :
 Pemberian vaksinasi Hepatitis B adalah perlindungan terbaik. Pemberian vaksinasi
secar rutin direkomendasikan untuk semua orang usia 0-18 tahun, bagi orang-orang

52
dari segala usia yang berada dalam kelompok berisiko terinfeksi HBV, dan untuk
orang yang menginginkan perlindungan dari hepatitis B.
 Setiap wanita hamil, dia harus dites untuk hepatitis B, bayi yang lahir dari ibu yang
terinfeksi HBV harus diberikan HBIG (hepatitis B immune globulin) dan vaksin
dalam waktu 12 jam lahir.
 Penggunaan kondom lateks dalam berhubungan seksual
 Jangan berbagi peralatan pribadi yang mungkin terkena darah penderita, seperti pisau
cukur, sikat gigi, dan handuk.
 Pertimbangkan risiko jika anda akan membuat tato atau menindik tubuh. Anda
mungkin terinfeksi jika alat atau pewarna tersebut terkontaminasi virus hepatitis B.
 Jangan mendonorkan darah, organ, atau jaringan jika anda positif memiliki HBV.
 Jangan menggunakan narkoba suntik
(Anonim, 2007)

E. Cara Pengobatan
Menurut Wilson (2001), hepatitis B kronis adalah penyakit yang bisa diobati.
Interferon alfa, 5-10juta U tiga kali seminggu selama 4-6 bulan, memberikan manfaat
jangka panjang dalam minoritas (sampai33%) dari pasien dengan infeksi kronis hepatitis
B. Pemberian Lamivudine (3TC) juga bisa diberikan. Lamivudine merupakan antivirus
melalui efek penghambatan transkripsi selama siklus replikasi HBV. Pemberian
lamivudine 100mg/hari selama 1 tahun dapat menekan HBV DNA.

F. Prognosis
Sembilan puluh persen dari kasus-kasus hepatitis akut B menyelesaikan dalam waktu
6 bulan, 0,1% adalah fatal karena nekrosis hati akut, dan sampai 10% berkembang pada
hepatitis kronis. Dari jumlah tersebut, ≥ 10% akan mengembangkan sirosis, kanker hati,
atau keduanya (Wilson, 2001).

III. HEPATITIS C
53
A. Keluhan dan Gejala
Masa inkubasi hepatitis C akut rata-rata 6-10 minggu. Kebanyakan orang (80%) yang
menderita hepatitis C akut tidak memiliki gejala. Awal penyakit biasanya berbahaya,
dengan anoreksia, mual dan muntah, demam dan kelelahan, berlanjut untuk menjadi
penyakit kuning sekitar 25% dari pasien, lebih jarang daripada hepatitis B. Infeksi HCV
dapat dibagi dalam dua fase, yaitu :
1. Infeksi HCV akut
HCV menginfeksi hepatosit (sel hati). Masa inkubasi hepatitis C akut rata-rata 6-10
minggu. Kebanyakan orang (80%) yang menderita hepatitis C akut tidak memiliki gejala.
Awal penyakit biasanya berbahaya, dengan anoreksia, mual dan muntah, demam dan
kelelahan, berlanjut untuk menjadi penyakit kuning sekitar 25% dari pasien, lebih jarang
daripada hepatitis B. Tingkat kegagalan hati fulminan terkait dengan infeksi HCV adalah
sangat jarang. Mungkin sebanyak 70% -90% dari orang yang terinfeksi, gagal untuk
membunuh virus selama fase akut dan akan berlanjut menjadi penyakit kronis dan menjadi
carrier.
2. Infeksi HCV kronis
Hepatitis kronis dapat didefinisikan sebagai penyakit terus tanpa perbaikan selama
setidaknya enam bulan. Kebanyakan orang (60% -80%) yang telah kronis hepatitis C tidak
memiliki gejala. Infeksi HCV kronis berkembang pada 75% -85% dari orang dengan
persisten atau berfluktuasi ALT kronis. Pada fitur epidemiologi antara pasien dengan
infeksi akut telah ditemukan menunjukkan peningkatan penyakit hati aktif, berkembang
dalam 60% -70% dari orang yang terinfeksi telah ditemukan sudah menjadi penyakit hati
kronis.
Hepatitis kronis dapat menyebabkan sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler (HCC).
Sirosis terkait HCV menyebabkan kegagalan hati dan kematian pada sekitar 20% -25%
kasus sirosis. Sirosis terkait HCV sekarang merupakan sebab utama untuk transplantasi
hati. 1% -5% orang dengan hepatitis C kronis berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. Pengembangan HCC jarang terjadi pada pasien dengan hepatitis C kronis
yang tidak memiliki sirosis (WHO, 2010).

54
Periode masa penularan dari satu minggu atau lebih sebelum timbulnya gejala
pertama dan mungkin bertahan pada sebagian besar orang selamanya. Berdasarkan studi
infektifitas di simpanse, titer HCV dalam darah tampaknya relatif rendah. Puncak dalam
konsentrasi virus tampak berkorelasi dengan puncak aktivitas ALT. Tingkat kekebalan
setelah infeksi tidak diketahui. Infeksi berulang dengan HCV telah ditunjukkan dalam
sebuah model eksperimental simpanse. Infeksi HCV tidak menyebabkan kegagalan hati
fulminan (mendadak, cepat), namun, menjadi penyakit hati kronis seperti infeksi HBV
kronis, dan dapat memicu gagal hati (WHO, 2010).
Penularan terjadi melalui paparan perkutan terhadap darah yeng terkontaminasi.
Jarum suntik yang terkontaminasi adalah sarana penyebaran yang paling penting,
khususnya di kalangan pengguna narkoba suntikan. Transmisi melalui kontak rumah
tangga dan aktivitas seksual tampaknya rendah. Transmisi saat lahir dari ibu ke anak juga
relatif jarang (WHO, 2010).

B. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


Diagnosis Hepatitis C tergantung pada demonstrasi anti-HCV yang terdeteksi oleh
EIA. Tes belum tersedia untuk membedakan akut dari infeksi HCV kronis. Positif anti-
HCV IgM tingkat ditemukan dalam 50-93% pasien dengan hepatitis C akut dan 50-70%
dari pasien dengan hepatitis C kronis. Oleh karena itu, anti-HCV IgM tidak dapat
digunakan sebagai penanda dapat diandalkan infeksi HCV akut (WHO, 2010).
Teknik amplifikasi menggunakan reaksi PCR (polymerase chain reaction) atau
TMA (transcription-mediated amplification) telah dikembangkan sebagai uji kualitatif
untuk mendeteksi RNA HCV, sedangkan kedua amplifikasi target (PCR) dan sinyal teknik
amplifikasi (branched DNA) dapat digunakan untuk mengukur tingkat RNA HCV. Karena
variabilitas assay, jaminan kualitas yang ketat dan kontrol harus diperkenalkan di
laboratorium klinik dalam melakukan tes ini, dan pengujian kemampuan seyogyanya
direkomendasikan. Untuk tujuan ini, Standar Internasional Pertama untuk NAT (Nucleic
Acid Amplification Technology) tes HCV RNA telah dianjurkan untuk digunakan (WHO,
2010).

55
Sebuah uji EIA untuk deteksi inti-antigen HCV telah dibentuk dan terlihat tidak
cocok untuk screening donor darah skala besar, sementara penggunaannya dalam
pemantauan klinis masih harus ditentukan. Anak-anak tidak harus diuji untuk anti-HCV
sebelum usia 12 bulan sebagai anti-HCV dari ibu bisa berlangsung sampai usia ini.
Diagnosa bergantung pada penentuan tingkat ALT dan keberadaan HCV RNA dalam darah
bayi setelah bulan kedua kehidupan (WHO, 2010).

C. Etiologi
Virus hepatitis C adalah virus RNA dari famili Flavivirus. Ia memiliki genom yang
sangat sederhana yang terdiri dari hanya tiga dan lima gen struktural nonstruktural.
Setidaknya ada enam genotipe utama, dua di antaranya telah subtipe (1a dan b, 2a dan b).
Genotipe tersebut memiliki distribusi geografis yang sangat berbeda dan mungkin terkait
dengan penyakit yang berbeda severities serta respon terhadap terapi (Wilson, 2001).

D. Cara Pencegahan
Strategi yang komprehensif untuk mencegah dan mengendalikan hepatitis C virus
(HCV) infeksi dan penyakit terkait HCV :
- Pemeriksaan dan pengujian darah, plasma, organ, jaringan, dan air mani donor
- Sterilisasi yang memadai seperti bahan dapat digunakan kembali atau instrumen bedah
gigi
- Pengurangan risiko dan layanan konseling
- pengawasan terhadap jarum dan program pertukaran jarum suntik
(WHO, 2010)

E. Cara Pengobatan
Interferon telah dibuktikan untuk menormalkan tes hati, memperbaiki peradangan hati
dan mengurangi replikasi virus pada hepatitis C kronis dan dianggap sebagai terapi baku
untuk hepatitis C kronis. Saat ini, dianjurkan untuk pasien dengan hepatitis kronis
kompensasi C (anti-HCV positif, HCV deteksi RNA, abnormal ALT tingkat atas sekurang-

56
kurangnya 6 bulan, fibrosis ditunjukkan oleh biopsi hati). Interferon-alpha diberikan
subkutan dengan dosis 3 juta unit 3 kali seminggu selama 24 bulan. Pasien dengan aktivitas
ALT dikurangi atau tingkat HCV RNA dalam bulan pertama pengobatan lebih cenderung
memiliki respon yang berkelanjutan. Sekitar 50% dari pasien merespon interferon dengan
normalisasi ALT pada akhir terapi, tetapi setengahnya bisa kambuh dalam waktu 6 bulan
(WHO, 2010).
Terapi kombinasi dengan pegylated interferon dan ribavirin selama 24 atau 48 minggu
seharusnya menjadi terapi pilihan bagi pasien yang kambuh setelah pengobatan interferon.
Tingkat kekambuhan kurang dari 20% terjadi pada pasien kambuh diobati dengan terapi
kombinasi selama setahun (WHO, 2010).
Transplantasi adalah suatu pilihan bagi pasien dengan sirosis yang nyata secara
klinis pada stadium akhir penyakit hati. Namun, setelah transplantasi, hati donor hampir
selalu menjadi terinfeksi, dan risiko pengembangan menjadi sirosis muncul kembal (WHO,
2010).
Pasien dengan hepatitis C kronis dan infeksi HIV bersamaan mungkin memiliki
program akselerasi penyakit HCV. Oleh karena itu, meskipun tidak ada terapi HCV secara
khusus disetujui untuk pasien koinfeksi dengan HIV, pasien tersebut harus
dipertimbangkan untuk pengobatan. Pemberian kortikosteroid, ursodiol, thymosin,
acyclovir, amantadine, dan rimantadine tidak efektif (WHO, 2010)

F. Prognosis
Hepatitis C memiliki prognosis yang lebih buruk daripada, misalnya, hepatitis B,
karena seperti proporsi tinggi mengembangkan kasus sirosis ─ ≤ 33% dari pasien yang
terinfeksi (Wilson, 2001).

KEPUSTAKAAN
1. Anania, Agnes. 2008. All About Heptitis B.
http://www.mikrobia.files.wordpress.com. Diakses pada tanggal 20 Mei.

57
2. Anonim. 2007. Heptitis A, B, and C: Learn The Differences.
http://www.immunize.org/catg.d/p4075abc.pdf. Diakses pada tanggal 6 Maret
2010.

3. Anonim, 2010. Prevalence and Incidence of Hepatitis A.


http://www.wrongdiagnosis.com. Diakses pada tanggal 1 Juni 2010.

4. Lubis, Dr. Imran. 1991. Penyakit Hepatitis Virus.


http://www.kalbe.co.id/files/06_penyakithepatitis virus.pdf. diakses pada tanggal
20 Mei.

5. WHO. 2010. Hepatitis A, B, and C. http://www.who.org. Diakses pada tanggal


25 Mei 2010.

“Kasus Pemicu IV Benjolan di Pantatnya”

Bagian 1
Pasien wanita umur 40 tahun dateng ke Dokter praktek Umum dengan keluhan keluar
benjolan dari pantatnya sejak 5 hari yang lalu. Benjolan dapat masuk sendiri tanpa bantuan
tangan pasien . Keluhan benjolan ini di sertai sakit saat buang air besar. Pada saat BAB
disertai keluar darah merah segar. Sebelumnya pasien mengeluh susah bab dan jika bab
konsistensinya keras. Demam (-) Mual (-) muntah (-) . Pasien jarang mengkonsumsi buah-
buahan dan sayuran.

58
Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian pertama:

Langkah- Pertanyaan Topik


langkah pembelajaran
PBL
Kata kunci -Wanita 40 tahun Haemoroid
dan Grede II
informasi - Keluar benjolan dari pantat 5 hari yang
umum lalu

- Benjolan dapat di masukan kembali

- Nyeri saat bab

- Keluar darah saat bab

- Susah bab dan jarang konsumsi buah-


buahan

Masalah Benjolan di Pantat


Hipotesis Benjolan di pantat disebabkan
Haemoroid Grede II
DD/
- Ca Colon
- Polip colon
- Prolaps rectum
Pertanyaan - Diagnosis yang mungkin pada kasus
terjaring Faktor resiko
Kenapa bab terasa nyeri
Kenapa bisa timbul benjolan di pantat
Kenapa bisa timbul bab keluar darah
segar
Adakah hub susah bab dan jarang
makan sayuran pada kasus diatas
Apakah harus dilakukan tindakan
operasi pada kasus ini

Pada pemeriksaan fisik


Keadaan umum: Tampak sakit sedang, Kesadaran CM
Tanda Vital : TD 120/80 mmhg N: 96x/m RR: 20x/m, S:36,8 0C
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang :
Kepala : mata konjunctiva anemis
Leher : DBN
59
abdomen
- Inspeksi : perut datar
- Palpasi : lemas, nyeri tekan epigastrium (-) , tidak teraba massa, hepar
dan lien tidak teraba.
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : bising usus (+) normal.
RT: Terdapat benjolan di jam 12 konsistensi lunak terdapat nyeri tekan feses (+) darah (+)
Lab Darah rutin: Hb 9,8 gr%, Leukosit 9200 /mm3, Trombosit 178.000 /mm3
Respon mahasiswa yang diharapkan dari bagian kedua:
No Pertanyaan Topik
pembelajaran
1 Diagnosis yang paling mungkin Haemoroid
2 Definisis Haemoroid grede II grede II
3 Etiologi
4 Epidemiologi
5 Gejala klinis
6 Pemeriksaan penunjang
7 DD/ Haemoroid grede II
8 Penatalaksanaan pada kasus (penulisan resep, jika
9 perlu)
10 Pencegahan
11 Komplikasi
Membuat alur diagnosis dari hipotesis

Definisi

Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidalis yang tidak


merupakan kelainan patologik. Hanya apabila hemoroid menyebabkan keluhan atau
penyulit, diperlukan tindakan.
Anatomi Rektum
Rektum panjangnya 15 – 20 cm dan berbentuk huruf S. Mula – mula mengikuti
cembungan tulang kelangkang, fleksura sakralis, kemudian membelok kebelakang pada
ketinggian tulang ekor dan melintas melalui dasar panggul pada fleksura perinealis.
Akhirnya rektum menjadi kanalis analis dan berakhir jadi anus. Rektum mempunyai
sebuah proyeksi ke sisi kiri yang dibentuk oleh lipatan kohlrausch. Fleksura sakralis
terletak di belakang peritoneum dan bagian anteriornya tertutup oleh paritoneum. Fleksura
perinealis berjalan ektraperitoneal. Haustra ( kantong ) dan tenia ( pita ) tidak terdapat pada
rektum, dan lapisan otot longitudinalnya berkesinambungan. Pada sepertiga bagian atas
rektum, terdapat bagian yang dapat cukup banyak meluas yakni ampula rektum bila ini

60
terisi maka imbullah perasaan ingin buang air besar. Di bawah ampula, tiga buah lipatan
proyeksi seperti sayap – sayap ke dalam lumen rektum, dua yang lebih kecil pada sisi yang
kiri dan diantara keduanya terdapat satu lipatan yang lebih besar pada sisi kanan, yakni
lipatan kohlrausch, pada jarak 5 – 8 cm dari anus. Melalui kontraksi serabut – serabut otot
sirkuler, lipatan tersebut saling mendekati, dan pada kontraksi serabut otot longitudinal
lipatan tersebut saling menjauhi.
Kanalis analis pada dua pertiga bagian bawahnya, ini berlapiskan kulit tipis yang
sedikit bertanduk yang mengandung persarafan sensoris yang bergabung dengan kulit
bagian luar, kulit ini mencapai ke dalam bagian akhir kanalis analis dan mempunyai
epidermis berpigmen yang bertanduk rambut dengan kelenjar sebacea dan kelenjar
keringat. Mukosa kolon mencapai dua pertiga bagian atas kanalis analis. Pada daerah ini,
6 – 10 lipatan longitudinal berbentuk gulungan, kolumna analis melengkung kedalam
lumen. Lipatan ini terlontar keatas oleh simpul pembuluh dan tertutup beberapa lapisan
epitel gepeng yang tidak bertanduk. Pada ujung bawahnya, kolumna analis saling
bergabung dengan perantaraan lipatan transversal. Alur – alur diantara lipatan longitudinal
berakhir pada kantong dangkal pada akhiran analnya dan tertutup selapis epitel thorax.
Daerah kolumna analis, yang panjangnya kira – kira 1 cm, di sebut daerah hemoroidal,
cabang arteri rectalis superior turun ke kolumna analis terletak di bawah mukosa dan
membentuk dasar hemorhoid interna.
Gambar. 1 Hemoroid dibedakan antara yang interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidalis superior di atas linea dentata/garis mukokutan dan

ditutupi oleh mukosa. Hemoroid interna ini merupakan bantalan vaskuler di dalam
jaringan submukosa pada rektum sebelah bawah. Sering hemoroid terdapat pada tiga posisi
primer, yaitu kanan depan ( jam 7 ), kanan

belakang (jam 11), dan kiri lateral (jam 3). Hemoroid yang lebih kecil terdapat di

antara ketiga letak primer tesebut.

61
Gambar. 2 Hemoroid eksterna yang merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus
hemoroid inferior terdapat di sebelah distal linea dentata/garis mukokutan di dalam
jaringan di bawah epitel anus.
Kedua pleksus hemoroid, internus dan eksternus berhubungan secara longgar dan
merupakan awal aliran vena yang kembali bermula dari rektum sebelah bawah dan anus.
Pleksus hemoroid interna mengalirkan darah ke vena hemoroidalis superior dan selanjutnya
ke vena porta. Pleksus hemoroid eksternus mengalirkan darah ke peredaran sistemik
melalui daerah perineum dan lipat paha ke vena iliaka.

Faktor resiko
1. Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus hemoroidalis
kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.
2. U m u r : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh, juga otot
sfingter menjadi tipis dan atonis.
3. Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis.
4. Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus mengangkat barang
berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
5. Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan intra
abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi menahun dan sering
mengejan pada waktu defekasi.
6. Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh karena
ada sekresi hormone relaksin.
7. Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada penderita sirosis
hepatis.

Manifestasi Klinis
Pasien sering mengeluh menderita hemoroid atau “wasir” tanpa ada hubungannya
dengan gejala rektum atau anus yang khusus. Nyeri yang hebat jarang sekali ada
hubungannya dengan hemoroid interna dan hanya timbul pada hemoroid eksterna yang
mengalami trombosis.
Perdarahan umumnya merupakan tanda pertama dari hemoroid interna akibat
trauma oleh faeces yang keras. Darah yang keluar berwarna merah segar dan tidak
tercampur dengan faeces, dapat hanya berupa garis pada faeces atau kertas pembersih
sampai pada perdarahan yang terlihat menetes atau mewarnai air toilet menjadi merah.
Hemoroid yang membesar secara perlahan-lahan akhirnya dapat menonjol keluar
menyebabkan prolaps. Pada tahap awal, penonjolan ini hanya terjadi pada waktu defekasi
dan disusul reduksi spontan setelah defekasi. Pada stadium yang lebih lanjut, hemoroid
interna ini perlu didorong kembali setelah defekasi agar masuk kembali ke dalam anus.
Pada akhirnya hemoroid dapat berlanjut menjadi bentuk yang mengalami prolaps
menetap dan tidak bisa didorong masuk lagi. Keluarnya mukus dan terdapatnya faeces pada

62
pakaian dalam merupkan ciri hemoroid yang mengalami prolaps menetap. Iritasi kulit
perianal dapat menimbulkan rasa gatal yang dikenal sebagai pruritus anus dan ini
disebabkan oleh kelembaban yang terus menerus dan rangsangan mukus. Nyeri hanya
timbul apabila terdapat trombosis yang luas dengan udem dan radang.

Klasifikasi
Hemoroid eksterna diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bentuk akut berupa
pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus dan sebenarnya merupakan hematoma,
walaupun disebut hemoroid trombosis eksterna akut. Bentuk ini sangat nyeri dan gatal
karena ujung-ujung syaraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Hemoroid eksterna kronik
atau skin tag berupa satu atau lebih lipatan kulit anus yang terdiri dari jaringan penyambung
dan sedikit pembuluh darah. Hemoroid interna diklasifikasikan menjadi 4 derajat yaitu :
Derajat I : Tonjolan masih di lumen rektum, biasanya keluhan penderita adalah
perdarahan.
Derajat II : Tonjolan keluar dari anus waktu defekasi dan masuk sendiri setelah selesai
defekasi.
Derajat III : Tonjolan keluar waktu defekasi, harus didorong masuk setelah defekasi
selesai karena tidak dapat masuk sendiri.
Derajat IV : Tonjolan tidak dapat didorong masuk/inkarserasi.

Pemeriksaan
Anamnesis harus dikaitkan dengan faktor obstipasi, defekasi yang keras, yamg
membutuhkan tekanan intra abdominal meninggi ( mengejan ), pasien sering duduk
berjam-jam di WC, dan dapat disertai rasa nyeri bila terjadi peradangan. Pemeriksaan
umum tidak boleh diabaikan karena keadaan ini dapat disebabkan oleh penyakit lain seperti
sindrom hipertensi portal. Hemoroid eksterna dapat dilihat dengan inspeksi apalagi bila
terjadi trombosis. Bila hemoroid interna mengalami prolaps, maka tonjolan yang ditutupi
epitel penghasil musin akan dapat dilihat apabila penderita diminta mengejan.

Pemeriksaan Colok Dubur


Pada pemeriksaan colok dubur, hemoroid interna stadium awal tidak dapat diraba
sebab tekanan vena di dalamnya tidak terlalu tinggi dan biasanya tidak nyeri. Hemoroid
dapat diraba apabila sangat besar. Apabila hemoroid sering prolaps, selaput lendir akan
menebal. Trombosis dan fibrosis pada perabaan terasa padat dengan dasar yang lebar.
Pemeriksaan colok dubur ini untuk menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum.

Pemeriksaan Anoskopi
Dengan cara ini dapat dilihat hemoroid internus yang tidak menonjol keluar.
Anoskop dimasukkan untuk mengamati keempat kuadran. Penderita dalam posisi litotomi.
Anoskop dan penyumbatnya dimasukkan dalam anus sedalam mungkin, penyumbat
diangkat dan penderita disuruh bernafas panjang. Hemoroid interna terlihat sebagai struktur
vaskuler yang menonjol ke dalam lumen. Apabila penderita diminta mengejan sedikit maka
ukuran hemoroid akan membesar dan penonjolan atau prolaps akan lebih nyata. Banyaknya

63
benjolan, derajatnya, letak ,besarnya dan keadaan lain dalam anus seperti polip, fissura ani
dan tumor ganas harus diperhatikan.

Pemeriksaan proktosigmoidoskopi
Proktosigmoidoskopi perlu dikerjakan untuk memastikan keluhan bukan
disebabkan oleh proses radang atau proses keganasan di tingkat tinggi, karena hemoroid
merupakan keadaan fisiologik saja atau tanda yang menyertai. Faeces harus diperiksa
terhadap adanya darah samar.

Diagnosis Banding
Perdarahan rektum merupakan manifestasi utama hemoroid interna yang juga
terjadi pada :
1. Karsinoma kolorektum
2. Penyakit divertikel
3. Polip
4. Kolitis ulserosa
Pemeriksaan sigmoidoskopi harus dilakukan. Foto barium kolon dan kolonoskopi
perlu dipilih secara selektif, bergantung pada keluhan dan gejala penderita. Prolaps rektum
juga harus dibedakan dari prolaps mukosa akibat hemoroid interna.

Komplikasi
Perdarahan akut pada umumnya jarang , hanya terjadi apabila yang pecah adalah
pembuluh darah besar. Hemoroid dapat membentuk pintasan portal sistemik pada
hipertensi portal, dan apabila hemoroid semacam ini mengalami perdarahan maka darah
dapat sangat banyak.
Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis dan apabila berulang dapat
menyebabkan anemia karena jumlah eritrosit yang diproduksi tidak bisa mengimbangi
jumlah yang keluar. Anemia terjadi secara kronis, sehingga sering tidak menimbulkan
keluhan pada penderita walaupun Hb sangat rendah karena adanya mekanisme adaptasi.
Apabila hemoroid keluar, dan tidak dapat masuk lagi (inkarserata/terjepit) akan
mudah terjadi infeksi yang dapat menyebabkan sepsis dan bisa mengakibatkan kematian.

Penatalaksanaan
Terapi non bedah
A. Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet
Kebanyakan penderita hemoroid derajat pertama dan derajat kedua dapat
ditolong dengan tindakan lokal sederhana disertai nasehat tentang makan.
Makanan sebaiknya terdiri atas makanan berserat tinggi seperti sayur dan buah-
buahan. Makanan ini membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak, sehingga
mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengejan berlebihan.
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna
kecuali efek anestetik dan astringen. Hemoroid interna yang mengalami prolaps
oleh karena udem umumnya dapat dimasukkan kembali secara perlahan disusul

64
dengan tirah baring dan kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam
duduk dengan dengan cairan hangat juga dapat meringankan nyeri.
B. Skleroterapi
Skleroterapi adalah penyuntikan larutan kimia yang merangsang, misalnya
5% fenol dalam minyak nabati. Penyuntikan diberikan ke submukosa dalam
jaringan areolar yang longgar di bawah hemoroid interna dengan tujuan
menimbulkan peradangan steril yang kemudian menjadi fibrotik dan
meninggalkan parut. Penyuntikan dilakukan di sebelah atas dari garis mukokutan
dengan jarum yang panjang melalui anoskop. Apabila penyuntikan dilakukan pada
tempat yang tepat maka tidak ada nyeri.Penyulit penyuntikan termasuk infeksi,
prostatitis akut jika masuk dalam prostat, dan reaksi hipersensitivitas terhadap
obat yang disuntikan.
Terapi suntikan bahan sklerotik bersama nasehat tentang makanan
merupakan terapi yang efektif untuk hemoroid interna derajat I dan II, tidak tepat
untuk hemoroid yang lebih parah atau prolaps.
C. Ligasi dengan gelang karet
Hemoroid yang besar atau yang mengalami prolaps dapat ditangani dengan
ligasi gelang karet menurut Barron. Dengan bantuan anoskop, mukosa di atas
hemoroid yang menonjol dijepit dan ditarik atau dihisap ke tabung ligator khusus.
Gelang karet didorong dari ligator dan ditempatkan secara rapat di sekeliling
mukosa pleksus hemoroidalis tersebut. Pada satu kali terapi hanya diikat satu
kompleks hemoroid, sedangkan ligasi berikutnya dilakukan dalam jarak waktu 2
– 4 minggu.
Penyulit utama dari ligasi ini adalah timbulnya nyeri karena terkenanya garis
mukokutan. Untuk menghindari ini maka gelang tersebut ditempatkan cukup jauh
dari garis mukokutan. Nyeri yang hebat dapat pula disebabkan infeksi. Perdarahan
dapat terjadi waktu hemoroid mengalami nekrosis, biasanya setelah 7 – 10 hari.

Krioterapi / bedah beku


Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah sekali. Jika
digunakan dengan cermat, dan hanya diberikan ke bagian atas hemoroid pada
sambungan anus rektum, maka krioterapi mencapai hasil yang serupa dengan yang
terlihat pada ligasi dengan gelang karet dan tidak ada nyeri. Dingin diinduksi
melalui sonde dari mesin kecil yang dirancang bagi proses ini. Tindakan ini cepat
dan mudah dilakukan dalam tempat praktek atau klinik. Terapi ini tidak dipakai
secara luas karena mukosa yang nekrotik sukar ditentukan luasnya. Krioterapi ini
lebih cocok untuk terapi paliatif pada karsinoma rektum yang ireponibel.
D. Hemorroidal Arteri Ligation ( HAL )
Pada terapi ini, arteri hemoroidalis diikat sehingga jaringan hemoroid tidak
mendapat aliran darah yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan hemoroid
mengempis dan akhirnya nekrosis.
E. Infra Red Coagulation ( IRC ) / Koagulasi Infra Merah

65
Dengan sinar infra merah yang dihasilkan oleh alat yang dinamakan
photocuagulation, tonjolan hemoroid dikauter sehingga terjadi nekrosis pada
jaringan dan akhirnya fibrosis. Cara ini baik digunakan pada hemoroid yang
sedang mengalami perdarahan.
F. Generator galvanis
Jaringan hemoroid dirusak dengan arus listrik searah yang berasal dari
baterai kimia. Cara ini paling efektif digunakan pada hemoroid interna.
G. Bipolar Coagulation / Diatermi bipolar
Prinsipnya tetap sama dengan terapi hemoroid lain di atas yaitu
menimbulkan nekrosis jaringan dan akhirnya fibrosis. Namun yang digunakan
sebagai penghancur jaringan yaitu radiasi elektromagnetik berfrekuensi tinggi.
Pada terapi dengan diatermi bipolar, selaput mukosa sekitar hemoroid dipanasi
dengan radiasi elektromagnetik berfrekuensi tinggi sampai akhirnya timbul
kerusakan jaringan. Cara ini efektif untuk hemoroid interna yang mengalami
perdarahan.

Terapi bedah
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun dan pada
penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga dapat dilakukan dengan
perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat sembuh dengan cara terapi lainnya yang
lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat IV yang mengalami trombosis dan kesakitan
hebat dapat ditolong segera dengan hemoroidektomi.
Prinsip yang harus diperhatikan dalam hemoroidektomi adalah eksisi yang hanya
dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat mungkin dilakukan
pada anoderm dan kulit yang normal dengan tidak mengganggu sfingter anus. Eksisi
jaringan ini harus digabung dengan rekonstruksi tunika mukosa karena telah terjadi
deformitas kanalis analis akibat prolapsus mukosa.
Ada tiga tindakan bedah yang tersedia saat ini yaitu bedah konvensional
( menggunakan pisau dan gunting), bedah laser ( sinar laser sebagai alat pemotong) dan
bedah stapler ( menggunakan alat dengan prinsip kerja stapler).

Bedah konvensional
Saat ini ada 3 teknik operasi yang biasa digunakan yaitu :
1. Teknik Milligan – Morgan
Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemoroid di 3 tempat utama. Teknik ini
dikembangkan di Inggris oleh Milligan dan Morgan pada tahun 1973. Basis massa
hemoroid tepat diatas linea mukokutan dicekap dengan hemostat dan diretraksi dari rektum.
Kemudian dipasang jahitan transfiksi catgut proksimal terhadap pleksus hemoroidalis.
Penting untuk mencegah pemasangan jahitan melalui otot sfingter internus.
Hemostat kedua ditempatkan distal terhadap hemoroid eksterna. Suatu incisi elips
dibuat dengan skalpel melalui kulit dan tunika mukosa sekitar pleksus hemoroidalis
internus dan eksternus, yang dibebaskan dari jaringan yang mendasarinya. Hemoroid
dieksisi secara keseluruhan. Bila diseksi mencapai jahitan transfiksi cat gut maka hemoroid

66
ekstena dibawah kulit dieksisi. Setelah mengamankan hemostasis, maka mukosa dan kulit
anus ditutup secara longitudinal dengan jahitan jelujur sederhana.
Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok hemoroid yang dibuang pada satu waktu.
Striktura rektum dapat merupakan komplikasi dari eksisi tunika mukosa rektum yang
terlalu banyak. Sehingga lebih baik mengambil terlalu sedikit daripada mengambil terlalu
banyak jaringan.
2. Teknik Whitehead
Teknik operasi yang digunakan untuk hemoroid yang sirkuler ini yaitu dengan
mengupas seluruh hemoroid dengan membebaskan mukosa dari submukosa dan
85
mengadakan reseksi sirkuler terhadap mukosa daerah itu. Lalu mengusahakan kontinuitas
mukosa kembali.
3. Teknik Langenbeck
Pada teknik Langenbeck, hemoroid internus dijepit radier dengan klem. Lakukan
jahitan jelujur di bawah klem dengan cat gut chromic no 2/0. Kemudian eksisi jaringan
diatas klem. Sesudah itu klem dilepas dan jepitan jelujur di bawah klem diikat. Teknik ini
lebih sering digunakan karena caranya mudah dan tidak mengandung resiko pembentukan
jaringan parut sekunder yang biasa menimbulkan stenosis.

A. Bedah Laser
Pada prinsipnya, pembedahan ini sama dengan pembedahan konvensional, hanya alat
pemotongnya menggunakan laser. Saat laser memotong, pembuluh jaringan terpatri
sehingga tidak banyak mengeluarkan darah, tidak banyak luka dan dengan nyeri yang
minimal. Pada bedah dengan laser, nyeri berkurang karena syaraf rasa nyeri ikut terpatri.
Di anus, terdapat banyak syaraf. Pada bedah konvensional, saat post operasi akan terasa
nyeri sekali karena pada saat memotong jaringan, serabut syaraf terbuka akibat serabut
syaraf tidak mengerut sedangkan selubungnya mengerut.
Sedangkan pada bedah laser, serabut syaraf dan selubung syaraf menempel jadi satu,
seperti terpatri sehingga serabut syaraf tidak terbuka. Untuk hemoroidektomi, dibutuhkan
daya laser 12 – 14 watt. Setelah jaringan diangkat, luka bekas operasi direndam cairan
antiseptik. Dalam waktu 4 – 6 minggu, luka akan mengering. Prosedur ini bisa dilakukan
hanya dengan rawat jalan.

B. Bedah Stapler
Teknik ini juga dikenal dengan nama Procedure for Prolapse Hemorrhoids (PPH) atau
Hemoroid Circular Stapler. Teknik ini mulai diperkenalkan pada tahun 1993 oleh dokter
berkebangsaan Italia yang bernama Longo sehingga teknik ini juga sering disebut teknik
Longo. Di Indonesia sendiri alat ini diperkenalkan pada tahun 1999. Alat yang digunakan
sesuai dengan prinsip kerja stapler. Bentuk alat ini seperti senter, terdiri dari lingkaran di
depan dan pendorong di belakangnya.
Pada dasarnya hemoroid merupakan jaringan alami yang terdapat di saluran anus.
Fungsinya adalah sebagai bantalan saat buang air besar. Kerjasama jaringan hemoroid dan
m. sfinter ani untuk melebar dan mengerut menjamin kontrol keluarnya cairan dan kotoran
dari dubur. Teknik PPH ini mengurangi prolaps jaringan hemoroid dengan mendorongnya

67
ke atas garis mukokutan dan mengembalikan jaringan hemoroid ini ke posisi anatominya
semula karena jaringan hemoroid ini masih diperlukan sebagai bantalan saat BAB,
sehingga tidak perlu dibuang semua.
Mula-mula jaringan hemoroid yang prolaps didorong ke atas dengan alat yang
dinamakan dilator, kemudian dijahitkan ke tunika mukosa dinding anus. Kemudian alat
stapler dimasukkan ke dalam dilator. Dari stapler dikeluarkan sebuah gelang dari titanium
diselipkan dalam jahitan dan ditanamkan di bagian atas saluran anus untuk mengokohkan
posisi jaringan hemoroid tersebut. Bagian jaringan hemoroid yang berlebih masuk ke dalam
86
stapler. Dengan memutar sekrup yang terdapat pada ujung alat , maka alat akan memotong
jaringan yang berlebih secara otomatis. Dengan terpotongnya jaringan hemoroid maka
suplai darah ke jaringan tersebut terhenti sehingga jaringan hemoroid mengempis dengan
sendirinya.
Keuntungan teknik ini yaitu mengembalikan ke posisi anatomis, tidak mengganggu
fungsi anus, tidak ada anal discharge, nyeri minimal karena tindakan dilakukan di luar
bagian sensitif, tindakan berlangsung cepat sekitar 20 – 45 menit, pasien pulih lebih cepat
sehingga rawat inap di rumah sakit semakin singkat. Meskipun jarang, tindakan PPH
memiliki resiko yaitu :
1. Jika terlalu banyak jaringan otot yang ikut terbuang, akan mengakibatkan kerusakan
dinding rektum.
2. Jika m. sfinter ani internus tertarik, dapat menyebabkan disfungsi baik dalam jangka
waktu pendek maupun jangka panjang.
3. Seperti pada operasi dengan teknik lain, infeksi pada pelvis juga pernah dilaporkan.
4. PPH bisa saja gagal pada hemoroid yang terlalu besar karena sulit untuk memperoleh
jalan masuk ke saluran anus dan kalaupun bisa masuk, jaringan mungkin terlalu tebal
untuk masuk ke dalam stapler.

Tindakan pada hemoroid eksterna yang mengalami trombosis


Keadaan ini bukan hemoroid dalam arti yang sebenarnya tetapi merupakan
trombosis vena oroid eksterna ang terletak subkutan di daerah kanalis analis.
Trombosis dapat terjadi karena tekanan tinggi di vena tersebut misalnya ketika
mengangkat barang berat, batuk, bersin, mengejan, atau partus. Vena lebar yang menonjol
itu dapat terjepit sehingga kemudian terjadi trombosis. Kelainan yang nyeri sekali ini dapat
terjadi pada semua usia dan tidak ada hubungan dengan ada/tidaknya hemoroid interna
Kadang terdapat lebih dari satu trombus.
Keadaan ini ditandai dengan adanya benjolan di bawah kulit kanalis analis yang
nyeri sekali, tegang dan berwarna kebiru-biruan, berukuran dari beberapa milimeter sampai
satu atau dua sentimeter garis tengahnya. Benjolan itu dapat unilobular, dan dapat pula
multilokuler atau beberapa benjolan. Ruptur dapat terjadi pada dinding vena, meskipun
biasanya tidak lengkap, sehingga masih terdapat lapisan tipis adventitiia menutupi darah
yang membeku.
Pada awal timbulnya trombosis, erasa sangat nyeri, kemudian nyeri berkurang
dalam waktu dua sampai tiga hari bersamaan dengan berkurangnya udem akut. Ruptur

68
spontan dapat terjadi diikuti dengan perdarahan. Resolusi spontan dapat pula terjadi tanpa
terapi setelah dua sampai empat hari.

Terapi
Keluhan dapat dikurangi dengan rendam duduk menggunakan larutan hangat, salep
yang mengandung analgesik untuk mengurangi nyeri atau gesekan pada waktu berjalan,
dan sedasi. Istirahat di tempat tidur dapat membantu mempercepat berkurangnya
pembengkakan.
Pasien yang datang sebelum 48 jam dapat ditolong dan berhasil baik dengan cara
segera mengeluarkan trombus atau melakukan eksisi lengkap secara hemoroidektomi
dengan anestesi lokal. Bila trombus sudah dikeluarkan, kulit dieksisi berbentuk elips untuk
mencegah bertautnya tepi kulit dan pembentukan kembali trombus dibawahnya. Nyeri
segera hilang pada saat tindakan dan luka akan sembuh dalam waktu singkat sebab luka
berada di daerah yang kaya akan darah.
Trombus yang sudah terorganisasi tidak dapat dikeluarkan, dalam hal ini terapi
konservatif merupakan pilihan. Usaha untuk melakukan reposisi hemoroid ekstern yang
mengalami trombus tidak boleh dilakukan karena kelainan ini terjadi pada struktur luar
anus yang tidak dapat direposisi.
Dilatasi anus merupakan salah satu pengobatan pada hemoroid interna yang besar,
prolaps, berwarna biru dan sering berdarah atau yang biasa disebut hemoroid strangulasi.
Pada pasien hemoroid hampir selalu terjadi karena kenaikan tonus sfingter dan cincin otot
sehingga menutup di belakang massa hemoroid menyebabkan strangulasi. Dilatasi dapat
mengatasi sebagian besar pasien hemoroid strangulasi, akan terjadi regresi sehingga
setidak-tidaknya akan terjadi penyembuhan sementara. Dilatasi tidak boleh dilakukan jika
sfingter relaksasi ( jarang pada strangulasi), karena bisa menyebabkan inkontinensia flatus
atau tinja atau kedua-duanya yang mungkin menetap.
Anestesi umum dilakukan dan pasien diletakkan pada posisi lateral kiri atau posisi
litotomi. Dengan hati-hati anus diregangkan cukup luas sehingga dapat dilalui 6–8 jari.
Sangat penting sekali bahwa untuk prosedur ini diperlukan waktu yang cukup agar tidak
merobekkan jaringan. Satu menit untuk sebesar satu jari sudah cukup ( berarti dibutuhkan
waktu 6-8 menit), terutama jika kanalis agak kaku. Selama prosedur tersebut, sfingter anus
dapat terasa memberikan jalan. Namun karena metode dilatasi menurut Lord ini kadang
disertai penyulit inkontinensia sehingga tidak dianjurkan.

Prognosis
Dengan terapi yang sesuai, semua hemoroid simptomatis dapat dibuat menjadi
asimptomatis. Pendekatan konservatif hendaknya diusahakan terlebih dahulu pada semua
kasus. Hemoroidektomi pada umumnya memberikan hasil yang baik. Sesudah terapi
penderita harus diajari untuk menghindari obstipasi dengan makan makanan serat agar
dapat mencegah timbulnya kembali gejala hemoroid.

69
DAFTAR PUSTAKA

1. Silvia A.P, Lorraine M.W, Hemoroid, Dalam: Konsep – konsep Klinis Proses
Penyakit, Edisi VI, Patofisiologi Vol.1. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2005. Hal: 467
2. Susan Galandiuk, MD, Louisville, KY, A Systematic Review of Stapled
Hemorrhoidectomy – Invited Critique, Jama and Archives, Vol. 137 No. 12,
December, 2002, http://archsurg.ama.org/egi/content/extract. last update Desember
2009.
3. Anonim, Hemorhoid, http://www.hemorjoid.net/hemoroid galery.html. 2004, Last
update Desember 2009.
4. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Hemoroid, Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2,
Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004. Hal: 672 – 675
5. Werner Kahle ( Helmut Leonhardt,werner platzer ), dr Marjadi Hardjasudarma ( alih
bahasa ), Berwarna dan teks anatomi Manusia Alat – Alat Dalam, 1998, Hal: 232
6. Mansjur A dkk ( editor ), Kapita selekta Kedokteran, Jilid II, Edisi III, FK UI,
Jakarta, 1999, pemeriksaan penunjang: 321 – 324.
7. Linchan W.M, Sabiston Buku Ajar Bedah Jilid II,EGC, Jakarta, 1994,hal 56 – 59
8. Brown, John Stuart, Buku Ajar dan Atlas Bedah Minor, alih Bahasa, Devi H,
Ronardy, Melfiawati, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2001.

70

Anda mungkin juga menyukai