Anda di halaman 1dari 15

ETIKA BISNIS MENURUT PANDANGAN ALIRAN KLASIK DAN

PANDANGAN ALIRAN KONTEMPORER

Mar'atus Sholikhah (63020180084)


Jurusan Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam
Institut Agama Islam Negeri Salatiga

Abstrak

Tujuan Penulisan :

Untuk mengetahui apa itu etika bisnis menurut aliran klasik dan kontemporer dan etika bisnis
menurut Al-Ghazali (kontemporer) dan Adam Smith (Klasik)

Kata Kunci : Etika Bisnis, Ekonomi Klasik, Ekonomi Moneter

A. Pendahuluan

Sepanjang perjalanan sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah lepas dari
sisi etika karena bisnis selalu berhubungan dengan interaksi antar insan. Penjiwaan etika dalam
bisnis sama usianya dengan bisnis itu sendiri. Sejak manusia mulai berniaga mereka tahu
tentang kemungkinan timbulnya penipuan.Etika menjiwai interaksi bisnis sebagaimana bidang
lain dalam kehidupan manusia seperti politik, keluarga, seksualitas, berbagai profesi, dan
sebagainya yang selalu memiliki dasar etika didalam pelaksanaannya.

Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para
konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah
tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi, Munculnya penolakan terhadap etika
bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai
(valuefree). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut
kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah,
karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon
“mitos bisnis amoral” di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan
ekonomis. Padahal,prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya.

B. Pengertian Etika Bisnis

Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970-an kemudian meluas ke Eropa tahun
1980-an dan menjadi fenomena global di tahun 1990-an. Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar)
dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan
problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka (Wijaya, 2014: 19).

Etika bisnis menurut Rindjin merupakan kiat disiplin untuk menerapkan prinsip-prinsip
etika dalam mengkaji dan mengatasi masalah-masalah yang rumit dalam dunia bisnis. Etika
bisnis mempunyai tingkatan pada tataran individual, organisasional, asosiasi, masyarakat dan
internasional. Prinsip etika bisnis menurut Sony Keraf meliputi (1) otonomi; (2) kejujuran; (3)
tidak berbuat jahat, melainkan berbuat baik; (4) keadilan; (5) hormat pada diri sendiri.

C. Pandangan Etika Bisnis dalam ekonomi dan bisnis menurut Al -


Ghazali(kontemporer) dan Adam Smith(Klasik)

1. Motivasiii dan Niat Positif dalam Berbisnis


Al-Ghazali menekankan bahwa individu yang melakukan aktivitas bisnisnya harus
didasari dengan motif dan niatan yang positif. Jika individu telah memposisikan motif dan
niatan positif sebagai dasar dalam berbisnis, maka ia tidak akan mengganggu kesejahteraan
orang lain dan dapat berbuat ihsan kepada pihak-pihak yang berbisnis dengan dirinya. Sikap
egois dan selfish dalam berbisnis menjadi sesuatu yang harus dihindari dalam pandangan al-
Ghazali(Hafidz, 2012: 18-34)

Konsep mengenai GCG (Good Corporate Governance), CSR (Corporate Social


Responsibility) dan COMDEV (Community Development) merupakan jawaban atas keresahan
yang selama ini mendera dunia bisnis modern. Konsep-konsep ini pada dasarnya
implementasi kesadaran bahwa bisnis tidak dapat bersikap selfish tanpa mempedulikan
kesejahteraan orang lain.

Sementara itu, Smith melalui berbagai tulisannya juga menyinggung secara eksplisit
mengenai motif dan niat dalam berbisnis. Smith lebih memberi penekanan bahwa individu
yang mencari keuntungan melalui aktivitas bisnis tidaklah salah, hanya saja melalui rasa
simpatinya, individu menurut Smith harus bersimpati kepada orang lain. Namun dalam The
Wealth-nya, Smith menyatakan bahwa motif seseorang untuk melakukan aktivitas bisnisnya
adalah untuk self-interest.

Dapat disimpulkan bahwa baik al-Ghazali dan Smith menekankan arti penting motif
dan niat dalam melakukan aktivitas bisnis. Motif dan niat akan menentukan bagaimana
sebuah aktivitas bisnis akan terbentuk. Hanya saja yang menjadi perbedaan adalah, al-Ghazali
menghubungkan motif berbisnis dengan ibadah, sementara Smith menghubungkannya
dengan nilai moral dan nurani.

2. Keseimbangan Orientasi Dunia dan Akhirat

Sangat masuk akal jika keseimbangan antara orientasi dunia dan akhirat menjadi salah
satu unsur penting etika bisnis dalam perspektif alGhazali. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan al-Ghazali bahwa tujuan utama kehidupan manusia adalah untuk mencapai
kebaikan di dunia dan akhirat (maslahah ad-dunya wa ad-din) (Hafidz, 2012: 18-34)

Berbeda dengan al-Ghazali yang menekankan pentingnya keseimbangan dunia dan


akhirat, Smith hanya menyinggung sedikit persoalan akhirat/hereafter. Namun demikian
Smith (2006: 83 dan 150) tidak memandang salah kepercayaan para pemeluk agama yang
meyakini adanya kehidupan setelah mati sebagai tempat dimana orang akan menerima
konsekuensi selama ia hidup.

Poin ini tampaknya juga menjadi salah satu perbedaan antara alGhazali dan Smith
ketika mengkonstruk etika bisnis. Al-Ghazali sangat memperhatikan dimensi ukhrawi dalam
dunia bisnis, bahkan dikatakannya bahwa ukhrawi adalah tujuan dan kebahagian materi di
dunia hanya sekedar bonus. Sementara bagi Smith, dimensi kehidupan setelah mati adalah
sesuatu yang ‘sekedar’ dipercayai saja.

3. Profesionalisme

pernyataan al-Ghazali mengenai kewajiban di atas adalah profesionalisme. Seseorang


bisa dianggap profesional jika profesi yang digelutinya tersebut didasari dengan seperangkat
keilmuan, baik yang didapatkan dari pendidikan akademis formal maupun informal. Selain
itu, untuk dapat bekerja secara profesional maka harus didasari dengan pengetahuan yang
komprehensif tentang profesi tersebut sehingga skill dan knowledge menjadi syarat utama
dalam profesionalisme.

Hal yang senada juga dinyatakan oleh Smith dalam The Theory-nya. Secara tegas Smith
(2006: 55) berpendapat bahwa kemampuan yang profesional sangat sulit untuk jatuh dalam
kegagalan. Persyaratan ‘profesionalisme’ sebagaimana yang diusung al-Ghazali dan Smith
sangat relevan untuk diterapkan pada dunia bisnis modern. Sebagaimana yang dinyatakan
oleh Sonny Keraf (1998: 59), bahwa dalam konteks bisnis yang kompetitif, setiap perusahaan
berusaha untuk unggul berdasarkan kekuatan objektifnya. Kekuatan objektif itu mencakup
dua hal pokok, yaitu modal dan tenaga kerja. Modal yang besar saja tidak cukup memadai.
Tenaga profesional juga tidak kalah pentingnya, karena tenaga profesional yang akan
menentukan kekuatan manajemen dan profesionalisme suatu perusahaan.

Salah satu komponen penting untuk membentuk profesionalisme adalah latar


belakang pendidikan yang diperoleh. Ini artinya bahwa untuk menjadi seorang yang
profesional di suatu bidang tertentu maka seseorang harus mendapatkan
pendidikan/pelatihan/training khusus tentang hal tersebut. Bahkan oleh banyak kalangan,
latar belakang pendidikan formal (akademis) juga menjadi syarat untuk meraih
profesionalisme. Komponen pendidikan ini akan menjadikan seseorang menguasai skill dan
knowledge tertentu, sehingga ia dapat menggunakan skill dan knowledge tersebut untuk
mengembangan profesi yang digelutinya(Hafidz, 2012: 18-34)

4. Persaingan Usaha Sehat


Kompetisi dan persaingan usaha merupakan dua hal yang melekat dalam dunia bisnis
modern. Terkait dengan persaingan usaha, al-Ghazali menyatakan bahwa keinginan yang
timbul di masyarakat akan memunculkan perjuangan untuk memenuhi keinginan-keinginan
tersebut. Hal ini akan menimbulkan persaingan, akan tetapi keseimbangan (keharmonisan)
harus dijaga melalui penggunaan kekuasaan dan pemeliharaan keadilan. Al-Ghazali juga
menegaskan bahwa persaingan jangan sampai mengakibatkan kecemburuan dan melanggar
hak orang lain(Hafidz, 2012: 18-34)

Pendapat al-Ghazali di atas tampak sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi
kekinian. Pertama, al-Ghazali mensyaratkan adanya kekuasaan yang mempunyai otoritas
untuk memelihara persaingan usaha di antara para pebisnis. Kedua, meskipun persaingan
dibenarkan oleh alGhazali namun jangan sampai merugikan orang lain. Persaingan usaha
yang sehat meniscayakan adanya kejujuran, baik kepada para stakeholders maupun kepada
kompetitornya sekalipun.

Penghargaan terhadap kejujuran juga ditunjukkan oleh Smith. Ia menyatakan bahwa


kejujuran adalah sikap/tindakan yang terbaik dalam segala situasi.

Penekanan al-Ghazali dan Smith tentang kewajiban penyampaian informasi yang


akurat, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan sangat relevan dengan dunia bisnis modern.

5. Proper Behaviour

Setiap pelaku bisnis, menurut al-Ghazali harus mempunyai perilaku dan sikap yang
baik kepada semua pihak baik yang terlibat langsung dengan bisnisnya maupun tidak.
Setidaknya ada dua kata kunci yang disebut oleh al-Ghazali, yaitu adil dan ihsan. Adil berarti
tidak berbuat zalim kepada orang lain tanpa dipengaruhi oleh etnis, kebangsaan, jenis
kelamin dan seterusnya. Adil menuntut ditiadakannya diskriminasi pada semua orang karena
jika tidak, maka yang terjadi adalah sebuah kezaliman. Sedangkan ihsan adalah berperilaku
(behaviour) baik terhadap semua pihak yang berbisnis dengannya. Ihsan merupakan pokok
pangkal keberhasilan dan kebahagiaan, dan bagi para produsen/penjual, ihsan merupakan
’jalan’ untuk mendapatkan keuntungan.

Dalam The Theory-nya, Smith (2006: 197, 204, dan 273) sering menggunakan kata
benevolence sebagai salah satu dasar, bagaimana seseorang berperilaku pada orang lain. Rasa
kasih sayang dan perbuatan baik selalu didorong oleh Smith dalam bukunya tersebut.

Terkait dengan larangan berbuat zalim, sangat jelas terlihat bahwa pendapat al-
Ghazali tersebut sejalan dengan Global Compact yang kini banyak ’diratifikasi’ oleh bisnis
modern. Di antara poin-poin yang terdapat dalam Global Compact adalah bahwa bisnis harus
mendukung dan menghargai HAM, tidak mengeksploitasi HAM, dan penghapusan
diskriminasi kerja. Diskriminasi merupakan salah satu bentuk kezaliman, karena menutup hak
dan peluang seseorang untuk melakukan sesuatu, termasuk dalam berbisnis dan
mendapatkan pekerjaan.(Yaksan, 2015:15)

teori Invisible Hand yang digagas oleh Smith; suatu teori yang kini banyak dikritik oleh
para ekonom. Bahkan David E. Stiglizt, peraih nobel perdamaian di bidang ekonomi
mengatakan, bahwa Invisible Hand tidak pernah kelihatan nyata dalam perekonomian karena
memang Invisble Hand itu sendiri tidak pernah ada. Hal ini Karena “Tangan Tak Terlihat” dari
Adam Smith dapat bekerja hanya jika pengusaha menganut pandangan persaingan jangka
panjang yang baik (long term view), di mana pengusaha mengakui pentingnya reputasi bisnis.
Ringkasnya, kepentingan diri akan membantu kepentingan masyarakat hanya jika produsen
merespons kebutuhan konsumen. Jika konsumen ditipu atau dicurangi, kepentingan diri akan
terpenuhi tetapi dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, sistem kebebasan ekonomi alamiah yang diintrodusir Smith harus juga
didasari dengan sistem sosial masyarakat yang berlaku ideal: dimana dipenuhi dengan nilai
kebaikan dan penegakan hukum. Institusi sosial seperti institusi peradilan perlu diperkuat lagi
demi mendukung praktik ekonomi kebebasan ini. Karena iklim moral yang baik dan sistem
hukum yang kuat akan bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi. Karena, hakikatnya tangan
tak terlihat Smith ini hanya bisa bekerja maksimal jika ada kepastian hukum yang adil, dimana
tidak ada kemungkinan bahwa produsen akan merugikan konsumen. Dengan kata lain, prinsip
kepentingan pribadi yang membantu kepentingan masyarakat hanya akan terjadi ketika
antara produsen dan konsumen terdapat hubungan yang saling menguntungkan. Apabila hal
ini bisa tercapai maka sejatinya kesejahteraan masyarakat juga dapat dengan mudah
diwujudkan hanya saja teori Smith ini tampak tidak terwujud, sehingga banyak ekonom yang
menggugat liberalisasi ekonomi yang meminggirkan peran pemerintah

D. Etika Bisnis Menurut Pandangan Aliran Klasik

Mashab Klasik muncul di Inggris dan didirikan oleh Adam Smith (1723-1790).
Kelahiran mashab ini dilatarbelakangi oleh revolusi industri di Inggris yang mendambakan
adanya pemikiran baru sebagai landasan teoritisnya. Tokoh lain mashab klasik di Inggris
adalah David Ricardo (1772-1823), Thomas Robert Malthus (1766-1836), dan John Stuart Mill
(1806-1873). Di Jerman dikenal Johann Heinrich von Thuiinen (1783-1850) dan Friedrich von
Hermann (1795-1868), sementara di Prancis adalah Jean Baptise Say (1767-1832), F.Bastiat
(1801-1850) dan di Amerika Serikat adalah John Rae (1767-1872), H.CH Carey (1793-1897).
Nama klasik diberikan oleh Karl Marx, bukan terutama karena penjelasan mereka terhadap
masalah ekonomi, melainkan karena cara mereka mengemukakan masalah. Solusi yang
diambil dalam memecahkan masalah boleh jadi cepat usang dan tidak berlaku selamanya, tetapi
masalah yang dikemukakan tetap ada dan cara yang dipakai untuk memecahkan masalah bias
ditiru, sehingga sifatnya klasik. Kaum klasik memusatkan analisis ekonomi mereka pada teori
harga dan mereka berusaha memecahkan semua masalah ekonomi dengan jalan menyelidiki
faktor - faktor permintaan dan penawaran yang menentukan harga.

Adam Smith menerbitkan buku yang terkenal: An Inquiry into the Nature and Causes
of the Wealth of Nations (1776), yang biasa disingkat The Wealth of Nations. Menurut Adam
Smith, sumber tunggal kekayaan negara adalah produksi yang dihasilkan oleh tenaga kerja dan
sumber-sumber ekonomi. Kekayaan akan bertambah sesuai dengan keterampilan dan efisiensi
tenaga kerja. Efisiensi pemakaian tenaga kerja dapat dicapai melalui spesialisasi dan
pembagian kerja. Mengenai teori harga, ia membedakan antara harga alam dan harga pasar.
Harga alam adalah harga yang akan terbentuk apabila segala sesuatu dibiarkan berjalan
menurut hukum alam. Ini berarti bahwa individu dalam masyarakat harus bebas memproduksi
barang yang paling menguntungkan baginya dan menukarkan barang tersebut menurut
perhitungannya. Harga pasar bisa menyimpang dari harga alam karena penawaran tidak dapat
menyesuaikan diri pada perubahan permintaan atau karena intervensi pemerintah.
Bagaimanapun juga, harga alam selalu merupakan tendensi sentral dari harga pasar yang diatur
oleh mekanisme pasar (invisible hand).

Bisnis bukanlah suatu aktivitas sosial (social activity), sehingga para pelaku bisnis
terjun ke dunia bisnis tidak didorong oleh motif kemurahan hati atau kedermawanan.
Sebaliknya, dunia bisnis adalah suatu aktivitas mutualistis untuk mencari keuntungan (profit
making activity). Jadi motif mencari keuntungan adalah ibarat ‘’bensin’’ yang menggerakkan
roda perekonomian, yang pada gilirannya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kesempatan kerja serta pendapatan masyarakat. Motif mencari keuntungan yang inheren dalam
kegiatan bisnis ini mendorong para pelaku bisnis untuk berusaha keras agar bisa menawarkan
barang, jasa serta pelayananan dengan kualitas terbaik. Dengan kata lain, tuntutan untuk
memperoleh keuntungan ini membuat pelaku bisnis bersaing mati-matian untuk menjaga mutu
barang dan jasa dengan harga yang kompetitif, untuk tetap memegang teguh janjinya, untuk
mempertahankan kepercayaan konsumen, dan untuk tidak berlaku curang kepada pihak yang
berkepentingan. Dengan demikian, semua pihak akhirnya akan diuntungkan. Dalam bahasa
Adam Smith, biiarkanlah kebaikan timbul sebagai hasil sampingan dari usaha mengurus
kepentingan diri sendiri dengan sebaik mungkin (Let good emerge as the by product of self
bisness). Inilah yang merupakan kekuatan positif dari invisible hand. Prinsip kerja the invisible
hand dilukiskan oleh Adam Smith sebagai berikut. Dalam mengejar apa yang paling baik bagi
dirinya dan sekaligus mencapai yang terbaik bagi semua, tiap individu dipimpin oleh tangan
ajaib (invisible hand) dalam hal ini kekuatan pasar, sehingga campur tangan pemerintah
terhadap persaingan bebas niscaya berakibat buruk. Pemerintah hanya akan hadir manakala
masyarakat menyadari bahwa tidak ada yang menangani urusan yang menyangkut kepentingan
semua orang, misalnya pemeliharaan pertahanan nasional, ketertiban dan hukum dalam negeri,
dan administrasi keadilan.

Dalam praktik nyata memang bisa terjadi persaingan yang tidak seimbang, yaitu antara yang
kuat dan yang lemah. Persaingan seperti ini bukanlah suatu kompetisi yang kreatif,
melainkan destruktif karena yang kuat memangsa yang lemah. Dalam hal ini, yang
terjadi bukan kekuatan gaiib positif dari invisible hand. para pelaku bisnis bisa saling
menguntungkan. Ada dua cara yang bisa ditempuh dikemukakan oleh Keraf. Pertama,
melalui imbauan moral agar mereka tidak saling merugikan dalam transaksi bisnis.
Adam Smith menyebut no harm sebagai prinsip moral yang paling minim yang harus
menjadi pegangan setiap pelaku bisnis, yaitu untuk tidak merugikan hak dan
kepentingan pihak lain. Prinsip ini mencakup kejujuran (fairness) dan kepercayaan
(trust). Sebagaimana tiap orang yang terjun ke dunia bisnis ingin memperoleh
keuntungan, ingin bertahan dalam bisnisnya, dan tidak ingin dirugikan oleh pihak lain,
maka ia pun harus menahan diri untuk tidak merugikan pihak lain. Lebih lanjut Adam
Smith mengharapkan agar prinsip ini dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan
atau paling tidak menjiwai praktik bisnis. Kedua, dengan pasar yang terbuka dan bebas,
di mana semua pelaku bisnis dibiarkan bersaing secara sehat dan jujur satu sama lain.
Karena itu, Adam Smith menolak campur tangan pemerintah. Bersaing secara sehat dan
jujur adalah bersaing dengan mengandalkan keunggulan mutu, keunggulan pelayanan,
keunggulan komitmen moral untuk menjaga nama baik perusahaan, serta keunggulan
dalam mempertahankan kepercayaan konsumen dan pihak kepentingan lainnya. Jadi
esensi dari persaingan keunggulan ini mensyaratkan bahwa perusahaan dibangun dan
dikelola dalam sebuah etos bisnis yang kemudian disebut corporate culture(Ardi,
https://www.researchgate.net/publication/312362570_DISKURSUS_ETIKA_BISNIS_ISLAM_DALAM_DINAMIKA_BI
SNIS_KONTEMPORER, April 2015

Budaya perusahaan adalah nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia
yang ada dalam perusahaan untuk menghadapi masalah eksternal dan penyesuaian integrasi ke
dalam perusahaan, sehingga tiap anggota organisasi memahami nilai-nilai yang ada dan
bagaimana mereka harus bertindak. Bertolak dari keunggulan itulah perusahaan dapat merebut
pasar, tidak dengan cara curang atau menghalalkan segala cara. Adam Smith juga mengecam
keras praktik monopoli, kolusi, proteksi, hak-hak istimewa, serta manipulasi kekuasaan politik
demi kepentingan segelintir pengusaha. Doktrin pasar bebas bukan berarti pemerintah lepas
tangan sama sekali. Justru pemerintah harus dapat menjamin agar pasar berfungsi secara
optimal demi pertumbuhan ekonomi dan keadilan bagi semua pihak. Dengan kata lain,
pemerintah harus menjadi wasit yang adil, sehingga lapangan bermain para pelaku bisnis
adalah rata dan bukan miring sebelah. Jika terjadi kecurangan atau lapangan bermain tidak lagi
rata, pemerintah harus turun tangan untuk memperbaikinya dan bukan membiarkannya mau
ikut bermain didalamnya. Persaingan yang sehat dan jujur bukan saja bermanfaat bagi
perusahaan, tetapi juga bagi karyawan, konsumen, kreditor, masyarakat, pemerintah serta
pihak berkepentingan lainnya. Alasan-alasan pentingnya persaingan yang sehat dan jujur
dikemukakan oleh Keraf. Pertama, menjamin kebebasan semua pihak untuk masuk atau keluar
dari kegiatan bisnis tertentu (free entry and exit). Hal yang sama juga berlaku bagi konsumen
dan penyalur dalam memilih produksi atau jasa apa pun dari perusahaan mana pun sesuai
pilihannya. Kedua, menjamin keadilan tukar di antara semua pihak yang berkepentingan,
khususnya produsen dan konsumen, atau pembeli dan penjual dalam transaksi bisnis. Dengan
persaingan yang sehat dan jujur, tiap produsen bersaing untuk menekan harga, dan hal ini akan
menguntungkan konsumen. Di samping itu, persaingan yang sehat dan jujur juga akan
menghalau monopoli atau oligopoly. Ketiga, menjamin efisiensi ekonomi. Dengan adanya
persaingan, perusahaan akan berusaha menghemat penggunaan sumber daya ekonomi dan
biaya produksi agar harga bisa bersaing. Efisiensi ini pada akhirnya akan memberikan
kontribusi yang sangat besar pada efisiensi ekonomi secara nasional. Keempat, peningkatan
profesionalisme manajerial dan karyawan demi mencapai efisiensi. Kelima, memberikan
kepuasan pada masyarakat, yang pada gilirannya ikut memperbaiki iklim bisnis secara
keseluruhan menjadi sehat

E. Etika Bisnis menurut pandangan aliran kontemporer

Dalam Pandangan Mashab Modern Perang Dunia I benar-benar mengguncang tradisi


ekonomi klasik karena ia memorak porandakan perdagangan dan pembayaran internasional.
Inflasi makin mengganas dan kemudian disusul dengan depresi besar tahun 1929 yang terkenal
dengan ‘’The Black Thursday’’. Untuk mengatasi masalah-masalah ini, John Maynard Keynes,
tampil dengan pandangan dan pendekatan yang baru. Ia menulis buku terkenal yang berjudul
General Theory of Employment, Interest and Money (1936). Pendekatan dan kerangka analisis
yang dikemukakannya sebagai berikut i(Hafidz, 2012: 18-34)
1. Mengecam prinsip Laissez Faire, bahwa di bawah pengaruh ekonomi bebas,
upah yang meningkat akan dapat menyerap semua tenaga kerja, sehingga tidak
mungkin terjadi pengangguran yang terpaksa (involuntary unemployment),
begitu pula kenaikan tingkat bunga akan dapat menyerap seluruh dana yang
ditawarkan.
2. Pemerintah harus ikut campur dalam kehidupan ekonomi melalui kebijakan
moneter dan anggaran, terutama untuk mengatasi depresi.
3. Mekanisme harga tidak lagi mampu membagi-bagikan faktor produksi dan
barang-barang konsumsi secara optimal. Teori harga merupakan masalah
pokok dalam ekonomi mikro, sedangkan pembentukan pendapatan nasional
adalah inti dari ekonomi makro. Dengan demikian keseimbangan parsial
adalah objek dari ekonomi mikro, sementara keseimbangan umum adalah
tujuan dari ekonomi makro.
4. Analisis keseimbangan umum dari mashab Laussane yang berbelit-belit sulit
diterapkan. Kehidupan ekonomi tidak dapat dilukiskan dengan menggunakan
n variabel, tetapi dengan agregat-agregat yang relatif sedikit (economic
magnitudes), seperti Y (Yield), I (Investment), C (Consumption), S (Saving),
M (Suplay of Money), L (Liquitidy Preference = Demand for Money), i (rate
of interest) dan r (rate of return = marginal efficiency of capital). Apabila
investasi dibedakan menjadi investasi swasta dan pemerintah, maka investasi
pemerintah diberi simbol G (Government Expenditure); dan jika perdagangan
internasional juga diperhitungkan, maka ditambah system EX(Export) dan
M(Import).
5. Dalam analisis ekonomi telah dimasukkan unsur dinamis, khususnya faktor
harapan (expectation) dan faktor psikologis serta factor keterceceran
pengeluaran (expenditure lag) dalam proses pelipatgandaan (multiplier).

Sistem Etika Kontemporer(Tarigan, 2016: 48-51)

1. Relativisme : keptusan etis dibuat berdasar pada kebutuhan.


2. Utilitarianisme : Keputusan etis dibuat beradsarkan hasil )outcomes) akibat
keputusan tersebut. Suatu tindakan dinilai etis jika tindakan itu
mengakibatkan (menghasilkan manfaat/ keuntungan sebesar-besarnya bagi
sebagian besar orang.
3. Universalisme : keputusa etis didasarkan pada maksud tujuan tindakan.
Keputusan yang sama harus dibuat oleh seseorang pada situasi yang sama.
4. Hak : Keputusan etis menitikberatkan pada nilai tunggal kebebasan, dan
didasarkan pada hak-hak individu yang menjamin kebebasan memilih.

5. Keadilan distributif : Keputusan etis menitikberatkan pada nilai tunggal:


keadilan, dan menjamin pemerataan distribusi kekayaan dan keuntungan.

6. Hukum Abadi : keputusan etis dibuat berdasarkan hukum abadi (eternal law)
yang terdapat dalam kitab suci.

Menurut Milton Friedman, satu-satunya tanggung jawab sosial dari bisnis adalah
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya dan bergulat dalam kegiatan yang bertujuan
untuk memperoleh laba sesuai dengan aturan main, yaitu berjuang dalam persaingan bebas
menentukan aturan main dan hal itu sudah cukup untuk membantu perusahaan memenuhi
tanggung jawab utamanya untuk memperoleh laba bagi pemiliki dan pemegang sahamnya.
Keberadaan korporasi dalam bisnis bukanlah untuk membantu masyarakat. Para manajer yang
mengejar tanggung jawab sosial dengan tidak menggunakan uang pemegang saham seperti
yang dikehendaki.

Pandangan Theodore Levitt sedikit lebih lunak. Menurutnya, bisnis hanya mempunyai
dua tanggung jawab, yaitu mentaati aturan elementer dalam aktivitas tatap muka (kejujuran,
keyakinan yang baik, dan lain-lain) dan mencari keuntungan material. Sumber tanggung jawab
moral berada di luar perusahaan. Tangan gaib, tangan pemerintah, dan cara-cara pengendalian
moral lainnya harus memantau dan mendisiplinkan perilaku perusahaan.

F. Keterbatasan teori-teori keadilan kontemporer

prinsip-prinsip keadilan kontemporer menyangkut kepemilikan. Bersama-sama dengan


asumsi-asumsi kebebasan dan kompetisi, Adam Smith sebagai penggagas Liberalisme Klasik
meletakkan kepentingan diri (self-interest) sebagai basis kepemilikan. Asumsi ini oleh
Libertarianisme dijadikan prinsip pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya
sendiri. Berbeda dari Liberalisme Klasik dan Libertarianisme, Prinsip Egalitarianisme Radikal
mengedepankan kepemilikan bersama, dan konsekuensinya mengabaikan kepemilikan pribadi
dan mengekang kebebasan individu.(Wijaya, 2014: 41-44)

Dalam Prinsip Libertarianisme, kepentingan pribadi adalah motivasi utama bagi


individu untuk memaksimalkan efisiensi sementara persaingan akan berperan sebagai
pembatas kepentingan pribadi dan membantu menjaga kepentingan sosial. Libertarianisme
hanya percaya bahwa keadilan dan efisiensi dapat dicapai jika dan hanya jika secara otomatis
dengan mengejar kepentingan pribadi. Prinsip Egalitarianisme Radikal mengasumsikanbahwa
mengejar kepentingan pribadi mesti akan merugikan kepentingan sosial; jalan keluarnya
diusulkan agar kepentingan pribadi dihapuskan dan dikontrol oleh negara untuk mengawal
kepentingan sosial(Wijaya, 2014: 44-50)

Perilaku konsumen menurut Kapitalisme bersumber dari “rasionalisme ekonomi” dan


Prinsip Utilitarianisme (Prinsip Berbasis Kesejahteraan). Rasionalisme ekonomi menafsirkan
perilaku manusia berdasarkan pada kalkulasi kaku yang diarahkan semata untuk keberhasilan
ekonomi. Keberhasilan ekonomi dimaknai secara definitif sebagai menciptakan uang dari
manusia. Perolehan kekayaan apakah dalam bentuk uang maupun komoditas, merupakan
tujuan utama kehidupan. Sementara Prinsip Utilitarianisme berfungsi sebagai sumber nilai-
nilai dan sikap moralnya. “Kejujuran hanya bermanfaat bila dapat memastikan kredit atau
keuntungan, sehingga bersifat tetap dan industrial”. Kualitas yang memunculkan perilaku
konsumen ini menitikberatkan pada maksimalisasi utilitas sebagai tujuan utama konsumsi.
Utilitas harus dimaksimalkan sebagai bagian dari manifestasi homo-eco(Wijaya, 2014: 50-56)

Prinsip Libertarian Nozick yang menyatakan bahwa pajak apa pun atas pendapatan dan
kekayaan oleh negara merupakan pelanggaran atas hak-hak kepemilikan eksklusif (self-
interest) karena membiarkan orang untuk memiliki sebagian hak orang lain tidak adil seseorang
bekerja untuk kepentingan orang lain(Wijaya, 2014: 56-61)

Prinsip Libertarian Nozick yang enggan memberi legitimasi kepada campur tangan
negara dalam bidang ekonomi kecuali dengan porsi yang sangat kecil. Teori entitlement yang
dikemukakan oleh Nozick dalam rangka mempertahankan the minimal state. The minimal state
dalam sistem Neoliberalisme dilucuti sedemikian rupa melalui rejim privatisasi, deregulasi,
dan liberalisasi. Sementara itu, Prinsip Rawls yang banyak diadopsi untuk mempertahankan
welfare state kiranya bermain pada posisi tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, meskipun
Rawls sendiri tidak pernah secara eksplisit mengundang intervensi negara(Wijaya, 2014: 61-
64)

Kesimpulan :

Pandangan Etika bisnis menurut Al-Ghazali pada pemikiran ekonomi kontemporer dan Adam
Smith pada pemikiran ekonomi klasik yaitu:
1 Al Ghazali dan Smith menekankan arti penting motif dan niat dalam melakukan
aktivitas bisnis. Motif dan niat akan menentukan bagaimana sebuah aktivitas bisnis
akan terbentuk. Hanya saja yang menjadi perbedaan adalah, al-Ghazali
menghubungkan motif berbisnis dengan ibadah, sementara Smith
menghubungkannya dengan nilai moral dan nurani.
2 Al-Ghazali sangat memperhatikan dimensi ukhrawi dalam dunia bisnis, bahkan
dikatakannya bahwa ukhrawi adalah tujuan dan kebahagian materi di dunia hanya
sekedar bonus. Sementara bagi Smith, dimensi kehidupan setelah mati adalah sesuatu
yang ‘sekedar’ dipercayai saja.
3 Persyaratan ‘profesionalisme’ sebagaimana yang diusung al-Ghazali dan Smith sangat
relevan untuk diterapkan pada dunia bisnis modern.
4 Penekanan al-Ghazali dan Smith tentang kewajiban penyampaian informasi yang
akurat, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan
5 al-Ghazali maupun Smith memandang penting perilaku yang positif dalam berbisnis.
Perilaku positif tersebut akan berhubungan secara linear dengan kebaikan yang akan
diterima. Dengan pula sebaliknya, jika perbuatan negatif dilakukan dalam berbisnis
hanya karena mencari keuntungan dalam jangka pendek maka usia bisnisnya pun
turut pendek. Yang membedakan adalah, al-Ghazali selalu mengaitkan aktivitas positif
dalam berbisnis dengan ajaran-ajaran agama, sementara Smith tidak.

Etika Bisnis menurut aliran pandangan klasik :

Dunia bisnis adalah suatu aktivitas mutualistis untuk mencari keuntungan (profit
making activity), tuntutan untuk memperoleh keuntungan ini membuat pelaku bisnis bersaing
mati-matian untuk menjaga mutu barang dan jasa dengan harga yang kompetitif, untuk tetap
memegang teguh janjinya, untuk mempertahankan kepercayaan konsumen, dan untuk tidak
berlaku curang kepada pihak yang berkepentingan.

Adam Smith menyebut no harm sebagai prinsip moral yang paling minim yang harus
menjadi pegangan setiap pelaku bisnis, yaitu untuk tidak merugikan hak dan kepentingan pihak
lain. Prinsip ini mencakup kejujuran (fairness) dan kepercayaan (trust). Adam Smith menolak
campur tangan pemerintah. Menggunakan Prinsip kerja the invisible hand. Sistem kebebasan
ekonomi alamiah yang diintrodusir Smith juga didasari dengan sistem sosial masyarakat yang
berlaku ideal: dimana dipenuhi dengan nilai kebaikan dan penegakan hukum.

Etika Bisnis menurut aliran pandangan kontemporer :

J.M. Keynes memberi peluang bagi pemerintah untuk menjadi agen yang
merencanakan dan megontrol ekonomi kapitalis demi kepentingan bersama, yaitu ada campur
tangan pemerintah dalam dunia bisnis.

Menurut Milton Friedman, satu-satunya tanggung jawab sosial dari bisnis adalah
memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya dan bergulat dalam kegiatan yang bertujuan
untuk memperoleh laba sesuai dengan aturan main, Keberadaan korporasi dalam bisnis
bukanlah untuk membantu masyarakat.

Pandangan Theodore Levitt bisnis hanya mempunyai dua tanggung jawab, yaitu
mentaati aturan elementer dalam aktivitas tatap muka (kejujuran, keyakinan yang baik, dan
lain-lain) dan mencari keuntungan material. Sumber tanggung jawab moral berada di luar
perusahaan. Tangan gaib, tangan pemerintah, dan cara-cara pengendalian moral lainnya harus
memantau dan mendisiplinkan perilaku perusahaan.

Keperdataan teori-teori keadilan kontemporer yaitu kapitalisme yang berbasis Prinsip


Libertarian cenderung mementingkan hak-hak dan kepemilikan individu, sementara sistem
Sosialisme/Komunisme mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal dengan
kepemilikan kolektif dan mengekang kebebasan individu. Kini, hampir dapat dikatakan bahwa
sistem ekonomi Neoliberal yang hidup mempersempit wilayah otoritas negara atas individu.
Tujuannya adalah untuk mencapai kesejahteraan ekonomi dengan memberi kebebasan penuh
kepada individu.

Referensi:

Wijaya, Yahya dan Noor, Nina Mariana. 2014. EtikaEkonomi dan Bisnis Perspektif Agama-
Agama di Indonesia. Geneva: Globethics. net Focus 16

Tarigan, Azhari Akmal. 2016. Dasar-Dasar Etika Bisnis Islam. Febi Pers
AM.M.Hafidz Ms.dkk, Etika Bisnis Al-Ghazali dan Adam Smith dalam Perspektif Ilmu Bisnis dan
Ekonomi. Jurnal Penelitian vol., No.1, Mei 2012. hlm. 18-34

Ardi, Mulia. Diskusi Etika Bisnis Islam dalam Dinamika Bisnis Kontemporer. April 2015

https://www.researchgate.net/publication/312362570_DISKURSUS_ETIKA_BISNIS_ISLAM_D
ALAM_DINAMIKA_BISNIS_KONTEMPORER

Hamzah, Yaksan. Hafied, Hamzah.2015. Etika Bisnis Islami. Makassar: KRETAKUPA Print

Anda mungkin juga menyukai