Anda di halaman 1dari 41

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Ny. J (RM 04.86.58)
Tanggal Lahir/Umur : 04 Februari 2003 /16 Tahun
Alamat : Minanga
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
Bangsa : WNI
Agama : Islam
Tanggal MRS : 16 Juni 2019

B.ANAMNESIS
Keluhan Utama : Kejang-kejang
Riwayat penyakit Sekarang : Pasien datang dibawa oleh keluarga
dengan keluhan kejang-kejang. Kejang
seluruh badan. Pasien mengalami kejang
5x selama ± 2 menit dirumah, sebelum di
bawa ke RS dan saat di RS.
Nyeri perut ingin melahirkan(+)
Pelepasan lendir campur darah (+)
Pelepasan air dari jalan lahir (-)
BAB dan BAK biasa
Riwayat penyakit dahulu :Riwayat hipertensi disangkal, DM
disangkal, Riwayat kejang sebelum
kehamilan disangkal.
Riwayat penyakit keluarga : (-)

1
Riwayat obstetrik ginekologi : ANC sebanyak 1x di dokter puskesmas
pada trimester 1
Suntik TT 1x
Menikah 1x selama 1 tahun
Menarche 12 tahun
HPHT 2 September 2018
TTP 9 Juni 2019
Riwayat KB (-)
Riwayat persalinan : -
Riwayat kebiasaan : Alkohol (-), merokok (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Praesens
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Somnolen
Tanda vital : TD : 160/110 mmHg
Nadi : 115x/menit
Respirasi : 26x/menit
Suhu badan : 37,0oC
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 150 cm
Kepala : Normocephali
Mata : Pupil isokor
Conj. anemis (-/-)
Sclera ikterik (-/-)
Hidung : Rhinore (-/-), epistaksis (-/-), secret (-/-)
Mulut : Sianosis (-)
Gigi : Caries (-)
Telinga : Serumen (-/-), cairan (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

2
Thoraks : Cor : BJ I-II regular, murmur (-), gallop
(-)
Pulmo: Sp. vesikuler, ronki (-/-), wheezing
(-/-)
Abdomen : Inspeksi : Cembung
Palpasi :
Leopold I: teraba bagian bulat, lunak, tidak
melenting
Leopold II: teraba tahanan memanjang di
sebelah kiri adalah punggung dan teraba
bagian – bagian kecil pada bagian kanan
Leopold III : teraba bagian, bulat, keras,
melenting
Leopold IV: bagian terbawah janin kepala
Hodge II.
Perkusi : Shifting dullness (-)
Auskultasi : BU (+)
Ekstremitas : Edema ekstremitas bawah (+/+), akral
hangat, CRT < 2 detik
Status Obstetrik
Persentasi : Kepala
BJJ : 155 dpm
His : 4x10’ (30-35”)
Tinggi fundus uteri : 30 cm
TBBA : (30 cm – 12) x 155 = 2790 gr
Pemeriksaan Dalam:
Pembukaan 4 cm, ketuban intak, Kepala Hodge II

3
Pemeriksaan CTG (16/06/2019)

Pemeriksaan Laboratorium Darah (16/06/2019)


Parameter Nilai Rujukan Hasil
HEMATOLOGI
Leukosit 4000 – 10000 22.200
Eritrosit 4.70 - 6.10 4.6
Hemoglobin 11.5 - 16.5 10.1
Hematokrit 37.0 - 47.0 30.6
Trombosit 150 – 450 239.000
Hemostasis
Waktu Perdarahan 1 -7 menit 1 menit 49 detik
Waktu Bekuan 4-10 menit 6 menit 58 detik
Pemeriksaan Urinalisa(16/06/2019)
Parameter Nilai Rujukan Hasil
URINALISIS
MAKROSKOPIS
Warna Kuning Muda Kuning
Kekeruhan Jernih Keruh
MIKROSKOPIS

4
KIMIA
Berat Jenis 1005 – 1030 1015
pH 5–8 6
Leukosit - +1
Nitrit - +
Protein - +3
Glukosa - -
Keton - +2
Urobilinogen - -
Billirubin - -
Darah/eritrosit - +2

D. RESUME
G10A0 16 tahun hamil 41-42 minggu dibawa oleh keluarga ke UGD RSUD
Banggai Laut dengan keluhan kejang
 Pasien mengalami kejang 5x dirumah dan dirumah sakit
 Nyeri perut ingin melahirkan(+)
 Pelepasan lendir campur darah (+)
 Pelepasan air dari jalan lahir (-)

KU : Tampak sakit sedang


TD : 160/110 mmHg
N : 115 x/m, regular, isi cukup
R : 26x/m
S : 37,0o
Status Obstetrik
Persentasi : Kepala
BJJ : 155 dpm
His : 4x10’ (30-35”)
Tinggi fundus uteri : 30 cm
TBBA : (30 cm – 12) x 155 = 2790 gr

5
Pemeriksaan Dalam:
Pembukaan 4 cm, ketuban intak, Kepala Hodge II
Diagnosis :
G1P0A0 16 tahun hamil 41-42 minggu inpartu kala I fase aktif + Eklampsia
Gravidarum
janin intrauterine tunggal hidup letak kepala
Sikap :
 Pastikan Airway, Breathing, dan Circulation baik (Berikan Oksigen via
nasal cannul 2-4 lpm, Bila kejang miringkan pasien ke kiri, dan bed bagian
kepala agak dinaikkan untuk mencegah aspirasi)
 Stabilisasi hemodinamik
 Magnesium sulfat sesuai protokol (Magnesium sulfat 4gr yang dilarutkan
dengan 10 ml akuades diberikan intravena secara perlahan, dilanjutkan
dengan Magnesium sulfat 6gr dilarutkan dalam RL 500 cc, diberikan 28
tpm sampai 24 jam post partum atau setelah kejang terakhir).
 Pemeriksaan darah lengkap dan hemostasis
 CTG
 Observasi tanda vital & BJJ
 SCTP CITO

6
E. FOLLOW UP

16/6/2019

Dilakukan tindakan SCTP Cito

Laportan operasi :

- Lakukan Asepsis lapangan operasi

- Insisi ±10 cm

- Buka cavum peritoneum tampak uterus gravid

- Insisi SBR ± 5cm

- Lahirkan bayi kepala, badan & kaki

- Injeksi oxytocyn 20 IU IM

- Lahirkan placenta secara manual

- Bersihkan cavum uteri

- Jahit uterus lapis demi lapis sampai ke kulit

- Operasi selesai

Operator : dr. Firman Ihram Thamrin, Sp.OG, M.Kes

Asisten Operasi : Roi, Esa, Birin

Ahli Anestesi : dr. Munandar, Sp.An

Asisten Anestesi : Dewa, Asrul

Instruksi Post Operasi :

- IVFD RL + Magnesium sulfat 40% 6 gr 28 tpm (24 Jam)


- IVFD D5 + Oxytocin 20 IU 16 tpm (24 Jam)
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

7
- Inj. Ranitidin 50 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg /8 jam
- Balans Cairan /24 jam
- Cek Hb 6 jam post Operasi
- Rawat di ICU
- Terapi lain sesuai TS Anestesi

17/7/2019

S: Kejang (-)

O: KU = Baik

T = 118/74 N = 85 R = 22x Sb = 36,6

Kep = CA +/+ Ikt -/-

Tho = Rh -/- , Wh -/-

Abd = BU + N / Flatus +

Ext = Edema +/+

L. Op = V. Kering

TFU = Sepusat

Kontraksi = Baik

Lochia = Kruenta

A: P1A0 16 tahun Post SCTP a.i Eklampsia Gravidarum

P: - IVFD RL + Magnesium sulfat 40% 6 gr 28 tpm (Sampai 24 jam Post Op)

- IVFD D5 + Oxytocin 20 IU 16 tpm (Sampai 24 jam Post Op)

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

8
- Inj. Ranitidin 50 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg /8 jam

- Calgae 1 tab / 24 jam P.O

- Vip Albumin 1 cap /24 jam P.O

- Mobilisasi bertahap

Pemeriksaan Laboratorium Darah (17/06/2019)


Parameter Nilai Rujukan Hasil
HEMATOLOGI
Leukosit 4000 – 10000 24.500
Eritrosit 4.70 - 6.10 3.8
Hemoglobin 11.5 - 16.5 8.4
Hematokrit 37.0 - 47.0 25.3
Trombosit 150 – 450 235.000

18/6/2019
S: Kejang (-)

O: KU = Baik

T = 140/90 N = 84 R = 22x Sb = 36,5

Kep = CA -/- Ikt -/-

Tho = Rh -/- , Wh -/-

Abd = BU + N / Flatus +

Ext = Edema +/+

L. Op = V. Kering

TFU = 2 jari bawah pusat

9
Kontraksi = Baik

Lochia = Kruenta

A: P1A0 16 tahun Post SCTP a.i Eklampsia Gravidarum

P: - IVFD RL 28tpm

- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam

- Inj. Ranitidin 50 mg / 8 jam

- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam


- Inj. Asam Traneksamat 500mg /8 jam

- Calgae 1 tab / 24 jam P.O

- Vip Albumin 1 cap /24 jam P.O

- Nifedipine 10 mg / 8 jam P.O

- Rawat luka

- Pindah ruang perawatan

- Mobilisasi bertahap

19/6/2019

S: Kejang (-)

O: KU = Baik

T = 120/70 N = 84 R = 22x Sb = 36,5

Kep = CA -/- Ikt -/-

Tho = Rh -/- , Wh -/-

Abd = BU + N / Flatus +

10
Ext = Edema -/-

L. Op = V. Kering

TFU = 3 jari bawah pusat

Kontraksi = Baik

Lochia = Kruenta

A: P1A0 16 tahun Post SCTP a.i Eklampsia Gravidarum

P: - Aff Infus dan Kateter

- Cefadroxyl tab 500mg / 8 jam

- Nifedipine 10 mg / 8 jam

- Vip Albumin 1 cap / 8 jam

- Calgae 1 cap / 8 jam

- Asam Mefenamat tab 500mg / 8 jam

- Rawat Jalan

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan indikator utama derajat kesehatan


masyarakat dan ditetapkan sebagai salah satu tujuan Millenium Development
Goals (MDGs). Kematian ibu akibat kehamilan, persalinan dan nifas sudah
banyak dibahas penyebab serta langkah‐langkah untuk mengatasinya. Meskipun
demikian tampaknya berbagai upaya yang sudah dilakukan pemerintah masih
belum mampu mempercepat penurunan AKI seperti yang diharapkan.1
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut target Millenium Development Goals
(MDG’s) pada tahun 2015 yaitu 102/100.000 kelahiran hidup, sedangkan data
pada tahun 2015 angka kematian ibu yaitu 305/100.000 kelahiran hidup.
Meskipun angka kematian ibu terkesan menurun namun belum berhasil mencapai
target MDG’s 2015. Kejadian kematian Ibu bersalin sebesar 49,5%, hamil 26,0%,
dan nifas 24%. Penyebab angka kematian ibu di Indonesia yaitu perdarahan
38,24% (111,2 per 100.000 kelahiran hidup), infeksi 5,88% (17,09 per 100.000
kelahiran hidup), preeklampsia dan eklampsia 10-20% (30,7 per 100.000).1
Menurut World Health Organization (WHO) kematian maternal adalah
kematian selama kehamilan atau dalam periode 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan, akibat semua sebab yang terkait dengan atau diperberat oleh
kehamilan atau penanganannya, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan/cedera.2
Suatu analisa oleh WHO menunjukkan bahwa perdarahan merupakan penyebab
tertinggi kematian maternal di seluruh dunia, diikuti dengan hipertensi dan sepsis.
Sementara untuk negara berkembang seperti Indonesia, perdarahan masih tetap
merupakan penyebab kematian maternal tertinggi, dimana hampir semua
perdarahan terjadi saat masa post partum. Pada tahun 2011 eklampsia menempati
urutan kedua sebagai penyebab kematian pada ibu melahirkan yaitu sebanyak
24%.2-4
Sekitar 10% kehamilan memiliki komplikasi hipertensi. Preeklampsia
terjadi pada sekitar 70% kehamilan dengan hipertensi. Hal ini memiliki
peningkatan sebesar 40-50% dalam 10 tahun terakhir sebagai akibat dari

12
peningkatan angka obesitas dan penundaan kehamilan.5,6 Penderita dengan
hipertensi dalam kehamilan memiliki insidens terjadinya eklampsia, partus
prematur, perdarahan, edema paru, gagal ginjal dan stroke.5
Hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan menjadi hipertensi
kronik (sebelum 20 minggu), preeklampsia & eklampsia (setelah 20 minggu),
hipertensi gestasional, dan hipertensi kronik dengan superimposed.5-7 Hipertensi
sendiri didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sistol ≥ 140 mmHg atau
diastol ≥ 90 mmHg. Hasil ini dilakukan pada dua kali pemeriksaan dengan jarak
lebih dari 6 jam dan kurang dari 1 minggu.6 Preeklampsia merupakan hipertensi
pada kehamilan yang di sertai dengan tanda-tanda kegagalan organ yang terjadi
diatas minggu ke 20, biasanya pada trimester ketiga.8
Pada penderita preeklampsia yang akan kejang, umumnya memberikan
gejala atau tanda yang khas sebagai tanda prodoma akan terjadinya kejang.
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia, yang disertai
dengan kejang menyeluruh atau koma. Sama halnya dengan preeklampsia,
eklampsia dapat terjadi pada ante, intra, dan postpartum.9
Eklampsia terjadi karena adanya mekanisme imunologi yang kompleks dan
aliran darah ke plasenta yang berkurang dan karena penyempitan pembuluh darah.
Hal ini mengakibatkan suplai zat makanan yang dibutuhkan janin berkurang.10
Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan didasarkan pada gejala yang
ditimbulkan oleh penderita. Hasil pemeriksaan yang teliti diikuti observasi tentang
tanda klinik yang timbul dapat mempengaruhi keputusan untuk melakukan
penatalaksanaan. Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan
kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif, dan saat
yang tepat untuk persalinan.11

A. PREEKLAMPSIA
1. Definisi
Preeklampsia didefinisikan adanya (1) tekanan darah sistolik lebih atau
sama dengan 140 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih atau sama
dengan 90 mmHg pada dua kali pemeriksaan dengan jarak paling tidak 4

13
jam dari pemeriksaan yang sebelumnya normal. Preeklampsia dapat
didefinisikan juga (2) tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 160
mmHg atau tekanan darah diastolik lebih atau sama dengan 110 mmHg.
Sebagai tambahan dari kriteria berdasarkan tekanan darah, proteinuria
lebih atau sama dengan 0,3 gram urin 24 jam, protein atau kreatinin ratio
0,3 atau lebih tinggi, atau pemeriksaan dipstick urin proteinuria +1 atau
lebih (bila tidak ada pemeriksaan proteinurin kuantitatif).12,13
Preeklampsia dengan gejala berat didefinisikan sebagai minimal
adanya satu dari gejala berikut:3,4,5,12,13,14
a. TDS ≥ 160 mmHg atau TDD ≥ 110 mmHg, pada 2 kali
pemeriksaan dengan jarak 4 jam pada pasien bed rest (kecuali
sudah diberikan terapi anti hipertensi)
b. Kelainan fungsi hati yang ditandai dengan peningkatan enzim hati
(dua kali lipat dari nilai normal), nyeri epigastrium yang menetap
dan tidak berespon dengan pemberian obat.
c. Insufisiensi ginjal yang progresif (serum kreatinin >1.1 mg/dL atau
peningkatan dua kali dari kadar normal tanpa adanya kelainan
ginjal).
d. Gejala cerebral atau gangguan visual yang baru pertama dialami
e. Edema pulmonal
f. Trombositopenia (PLT < 100,000/ul)

Pada pasien yang baru pertama kali hipertensi tanpa proteinuria, munculnya
salah satu dari beberapa kriteria berikut dapat didiagnosis dengan
preeklampsia :3,5,7,12,13,14
Trombosit <100.000/ul
a. Serum Kreatinin diatas 1.1 mg/dL atau peningkatan dua kali tanpa
ada kelainan ginjal yang lain
b. Kadar enzim hati meningkat dua kali dari kadar normal
c. Edema pulmonal
d. Gejala cerebral atau visual

14
Eklampsia didefinisikan sebagai kejang yang tidak dapat dihubungkan
dengan penyebab lain pada perempuan dengan preeklampsia.

2. Faktor Resiko
Faktor resiko pada preeklampsia dan Odd ratio adalah sebagai
berikut:3,5,6,12,13
a. Nulliparitas (3:1)
b. Usia lebih dari 35 tahun (3:1)
c. Ras kulit hitam (1.5:1)
d. Riwayat penyakit keluarga (5:1)
e. Penyakit ginjal kronis (20:1)
f. Sindrom Antifospolipid (10:1)
g. Diabetes Mellitus (2:1)
h. Kehamilan kembar (4:1)
i. BMI tinggi (3:1)
3. Tanda dan Gejala3,5,8,12,13,14
Manifestasi klinis preeklampsia sangat beragam, sehingga tidak semua
pasien mengeluhkan gejala yang sama. Preeklampsia tanpa gejala berat dapat
asimtomatik. Banyak kasus terdeteksi melalui ANC yang rutin.
Pasien dengan preklampsia gejala berat menunjukan kegagalan organ dan
memiliki keluhan berikut :
a. Sakit kepala
b. Gangguan visual, penglihatan kabur, skotomata, dan silau
c. Perubahan status mental
d. Kebutaan, dapat kortikal atau retinal
e. Dyspnea
f. Edema, onset cepat atau edema facial.
g. Nyeri kuadran kanan atas atau ulu hati
h. Kelemahan yang disebabkan anemia hemolitik
i. Klonus yang mengindikasikan meningkatnya resiko kejang

15
4. Diagnosis4,8,12,13,14
Semua wanita yang baru pertama kali mendapat hipertensi harus menjalani
beberapa tes sebagai berikut :
a. Pemeriksaan darah lengkap
b. SGOT/SGPT
c. Kreatinin serum
d. Asam urat
e. Pemeriksaan proteinuria
Bila dicurigai terjadinya Sindroma HELLP maka harus dilakukan
pemeriksaan berikut :
a. Hapusan darah tepi
b. Serum LDH
c. Bilirubin Indirect
Pemeriksaan tambahan :
a. USG : Transabdominal untuk menilai status janin dan
mengevaluasi bila ada restriksi pertumbuhan janin. USG Doppler
untuk mengidentifikasi aliran darah
b. CTG : Untuk menilai dan memonitor kesejahteraan janin

5. Terapi,5,7,12,13,14
Terminasi adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkan preeklampsia.
Pasien dengan preeklampsia tanpa gejala berat diinduksi setelah usia kehamilan
37 minggu. Sebelum diinduksi pasien harus dirawat dan dimonitor secara ketat di
rumah sakit karena rentan menjadi perburukan preeklampsia atau komplikasi
preeklampsia. Pada kehamilan yang belum aterm dilakukan pematangan paru
sebagai persiapan terminasi.
Pada pasien dengan preeklampsia gejala berat, terminasi harus
dipertimbangkan setelah kehamilan mencapai 34 minggu. Pada kasus ini tingkat
keparahan preeklampsia harus menjadi prioritas dibandingkan resiko kelahiran

16
prematur. Pada kasus darurat observasi tekanan darah dan kejang harus menjadi
prioritas.

Gambar 1. Algoritma manajemen untuk preeklampsia14

Kriteria terminasi pada pasien preeklampsia dengan gejala berat yang dirawat
ekspektan adalah sebagai berikut :4,6,12,13,14
a. Gawat janin pada pemeriksaan NST atau gangguan aliran darah
arteri umbilikalis pada USG Doppler
b. Ruptur membran

17
c. Tekanan darah tidak terkontrol (tidak respon terhadap pemberian
terapi)
d. Oligohidramnion dengan AFI <5 cm
e. IUGR
f. Oliguria (<500 mL/ hari)
g. Peningkatan serum kreatinin paling tidak 1.5mg/dL
h. Edema pulmonal
i. Nafas pendek atau nyeri dada dengan saturasi <94%
j. Sakit kepala yang berat dan menetap
k. Nyeri kuadran kanan atas
l. Terjadi sindroma HELLP
m. Eklampsia
n. Trombosit < 100.000
o. Robekan placenta
p. Koagulopati yang tidak jelas penyebabnya

Penanganan kejang dan profilaksis5,7,12,13,14


a. Prinsip utamanya adalah Airway, Breathing, and Circulation
(ABC)
b. Magnesium sulfat adalah terapi utama untuk preeklampsia gejala
berat dan eklampsia
c. Kejang yang aktif diterapi dengan Magnesium sulfat intravena.
Loading dose 4gr diberikan dengan syring pump selama 5 – 10
menit, diikuti dengan 6gr Magnesium sulfat di dalam RL 500 cc 28
tpm dimaintenance hingga 24 jam setelah kejang terakhir
d. Kejang yang berulang diterapi dengan tambahan dosis Magnesium
sulfat 2 gr bolus atau ditingkatkan dosis infus menjadi 1.5 atau 2 gr
perjam
e. Terapi profilaksis dengan Magnesium sulfat diindikasikan untuk
semua pasien dengan preeklampsia gejala berat

18
f. Lorazepam atau diazepam dan fenitoin dapat digunakan sebagai
lini kedua untuk kejadian kejang yang berulang dengan dosis
lorazepam (Ativan;2-4 mg IV dalam 2-5 menit) atau diazepam
(Vallium 5-10 mg IV secara lambat) , fenitoin loading dose (15
mg/kgBB).

Penatalaksanaan Postpartum12,13,14
a. Magnesium sulfat profilaksis dilanjutkan hingga 24 jam post
partum
b. Pemeriksaan enzim hati dan trombosit harus membaik sebelum
memulangkan pasien
c. Peningkatan tekanan darah dapat dikontrol dengan nidefipin atau
labetalol
d. Bila pasien dipulangkan dengan terapi tekanan darah, pemeriksaan
kembali tekanan darah harus dilakukan paling tidak 1 minggu
setelah dipulangkan
e. Pada pasien yang tidak ada hipertensi kronik sebelumnya,
umumnya tekanan darah kembali ke normal setelah 12 minggu
postpartum
f. Pasien harus secara hati-hati di monitor karena dapat terjadi
preeklampsia ulangan hingga 4 minggu post partum, dan eklampsia
yang bisa muncul hingga 6 minggu setelah terminasi.

6. Patofisiologi12,13,14
a. Faktor Imunologi
Faktor imunologi telah lama dipertimbangkan sebagai penyebab
preeklampsia. Terjadi disregulasi toleransi maternal terhadap placenta dan
antigen janin. Maladaptasi imun maternal-fetal ditandai dengan kelainan
antara sel NK dan fetal human leukocyte antigen (HLA)-C.

19
Disfungsi endotel yang terjadi sebagian disebkan oleh peningkatan
leukosit dalam sirkulasi maternal, yang dibuktikan dengan peningkatan T
helper tipe 1.

b. Plasentasi pada Preeklampsia

Gambar 2. Invasi trofoblas14


Implantasi plasenta dengan invasi trofoblastik yang abnormal dari
pembuluh darah uterus adalah penyebab utama hipertensi yang
dihubungkan dengan preeklampsia. Studi mendapatkan bahwa invasi
trofoblastik yang abnormal ke arteri spiral langsung berhubungan dengan
hipertensi maternal.
Hal ini disebabkan oleh hipoperfusi plasenta yang dipicu oleh invasi
trofoblastik yang abnormal dan melepaskan vasoaktif sistemik yang
menimbulkan respon inflamasi, vasokonstriksi, kelainan endotel,
kebocoran kapiler, hiperkoagubilitas, dan disfungsi trombosit. Semua hal
tersebut menyebabkan disfungsi organ dan berbagai macam gejala klinis
preeklampsia.

20
c. Faktor Angiogenik pada Preeklampsia
Faktor Proangiogenik yang disekresi oleh plasenta meliputi
Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan placental growth factor
(PIGF). Faktor angiogenik meliputi soluble fms-like tyrosine kinase I
receptor (sFlt-1), atau yang dikenal juga sebagai soluble VEGF receptor
type I , dan soluble endoglin
VEGF dan PIGF
VEGF dan PIGF merangsang angiogenesis melalui interaksi
dengan reseptor VEGF. Meskipun kedua faktor tersebut diproduksi oleh
plasenta, kadar PIGF lebih meningkat secara signifikan pada kehamilan.
Taylor et al mendapatkan kadar serum PIGF menurun pada pasien yang
akan mengalami preeklampsia. Penuruanan kadar serum terjadi pada awal
trimester dua pada ibu hamil yang berkembang menjadi preeklampsia dan
IUGR. Penelitian lain mendapatkan terjadi penurunan kadar PIGF serum
sebelum berkembangnya preeklampsia. Hal ini disebabkan berkurangnya
aliran darah plasenta sehingga mengakibatkan iskemia.
Menurut penelitian yang dilakukan Korish pada tahun 2012
Pemberian magnesium sulfat meningkatkan aliran darah plasenta dan
memperbaiki iskemia yang terjadi, sehingga mengurangi produksi sFlt-1.15

21
Gambar 3. Faktor Angiogenik14
d. Faktor genetik pada preeklampsia

Gambar 4. Faktor genetik preeklampsia14

22
Terjadinya preeklampsia melibatkan banyak gen. Lebih dari 100
maternal dan paternal gen telah dipelajari untuk dihubungkan dengan
preeklampsia.
Resiko preeklampsia berkorelasi positif dengan keluarga dekat. Studi
menunjukkan 20-40% resiko pada anak perempuan, dan 11-37% resiko
bila ada saudara kandung yang mengidap preeklampsia.
e. Faktor lain
Substansi lain yang diduga berkaitan dengan preeklampsia tetapi
tidak terbukti menyebabkan preeklampsia yaitu necrosis factor,
interleukins, molekul lipid, dan syncytial knots.

7. Pencegahan5,7,12,13,14
Terminologi umum pencegahan dibagi menjadi 3 yaitu: primer, sekunder,
dan tersier. Pencegahan primer artinya menghindari terjadinya penyakit.
Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus proses
terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau
kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti pencegahan
dari komplikasi yang disebabkan oleh proses penyakit, sehingga pencegahan ini
juga merupakan tatalaksana.
a) Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat
dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga
memungkinkan untuk menghindari atau mengontrol penyebab-
penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti
preeklampsia belum diketahui.
Pencegahan primer dilakukan dengan skrining faktor resiko dan
pemeriksaan ultrasonografi doppler pada setiap wanita hamil sejak
awal kehamilannya
b) Pencegahan sekunder
i. Istirahat

23
Berdasarkan telaah 2 studi kecil yang didapat dari Cochrane,
istirahat di rumah 4 jam/hari bermakna menurunkan risiko
preeklampsia dibandingkan tanpa pembatasan aktivitas.16
ii. Restriksi garam
Telaah sistematik 2 penelitian melibatkan 603 wanita pada 2
RCT menunjukkan restriksi garam (20-50 mmol/hari)
dibandingkan diet normal tidak ada perbedaan dalam
pencegahan preeklampsia, kematian perinatal, perawatan unit
intensif, dan skor apgar <7 pada menit kelima. (Evidence II,
Rekomendasi C).16
iii. Obat antitrombotik (aspirin dosis rendah, aspirin/dipyridamole,
aspirin+heparin, aspirin + ketanserin)
Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari)
direkomendasikan untuk prevensi preeklampsia pada wanita
dengan risiko tinggi. (Evidence II, Rekomendasi A).16
iv. Suplementasi kalsium
Hasil metaanalisis dari 13 uji klinis yang melibatkan 15.730
pasien didapatkan rerata resiko peningkatan tekanan darah
menurun dengan suplementasi kalsium (1.5-2 gram kalsium
elemental/hari) bila dibandingkan dengan plasebo (12 uji klinis,
15.470 pasien). Suplementasi kalsium minimal 1gr/hari
direkomendasikan pada wanita dengan asupan kalsium yang
rendah (Evidence I, Rekomendasi A)16
v. Suplementasi antioksidan
Cochrane melakukan metaanalisis 10 uji klinis yang
melibatkan 6533 wanita. Sebagian besar uji klinis
menggunakan antioksidan kombinasi vitamin C (1000 mg) dan
E(400 IU). Kesimpulan yang didapat adalah pemberian
antioksidan tersebut tidak memberikan perbedaan bermakna
bila dibandingkan dengan kelompok kontrol pada kejadian
preeklampsia atau terhadap luaran primer lainnya, seperti

24
preeklampsia berat, kelahiran preterm (sebelum 37 minggu),
bayi kecil masa kehamilan, dan mortalitas perinatal. Pemberian
vitamin C dan E tidak direkomendasikan untuk diberikan
dalam pencegahan preeklampsia (Evidence IA, Rekomendasi
A).16

B. EKLAMPSIA

1. Definisi7,8,12,13,14
Eklampsia yang merupakan komplikasi dari preklampsia dengan gejala
berat sering didefiniskan dengan kejang umum yang tidak disebabkan oleh
penyebab lain yang terjadi pada masa kehamilan atau wanita postpartum yang
menunjukkan gejala preeklampsia.
Kebanyakan kasus eklampsia terjadi pada trimester ketiga kehamilan, dengan
dengan persentase 80% kejang terjadi saat inpartu atau kurang dari 48 jam setelah
terminasi.

2. Kejang Eklampsia7,8,12,13,14
Eklampsia menyebabkan kejang yang terjadi sekali atau lebih dengan lama
kejang yang berlangsung secara umum 60-74 detik. Wajah menjadi distorsi,
dengan mata protrusi, dan mulut berbusa dapat terjadi.
Kejang eklampsi dapat dibagi menjadi 2 fase, Fase pertama berlangsung 15-20
detik dan mulai dengan muka tegang. kemudian badan menjadi kaku dan
kontraksi otot secara umum. Fase kedua berlangsung sekitar 60 detik. dimulai dari
dagu, kemudian otot wajah dan alis, dan menyebar ke seluruh tubuh. Otot menjadi
kontraksi dan relaksasi dalam waktu yang cepat. Keadaan tidak sadar bertahan
sampai waktu yang berbeda-beda setelah fase kedua. Periode hiperventilasi
muncul setelah kejang tonik-klonik sebagai kompensasi tidak terjadinya
pernafasan dan asam laktat yang diproduksi pada fase kejang. Komplikasi kejang
yang dapat terjadi adalah, lidah tergigit, trauma kepala, patah tulang, dan aspirasi.

25
3. Efek terhadap organ7,8,12,13,14
Preeklampsia atau eklampsia mengakitabkan abnormalitas pada beberapa
organ yaitu hematologi, hati, ginjal, sisterm kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
a. Kardiovaskular
Eklampsia berhubungan dengan kelainan kardiovaskular seperti
vasospasme umum, peningkatan resistensi perifer, dan meningkatnya
stroke work index ventrikel kiri.
Penelitian pospektif observational yang dilakukan oleh Vaught
yang melibatkan 63 wanita dengan preeklampsia dengan gejala berat
dilaporkan lebih tingginya tekanan sistolik, fungsi abnormal diastolik yang
tinggi, menurunnya global right ventricular longitudinal systolic strain,
meningkatnya remodeling jantung kiri, dan tingginya kejadian edema
pulmonal pada pasien peripartum dibandingkan dengan ibu hamil yang
sehat.
b. Hematologi
Masalah hematologi yang berkaitan dengan eklampsia adalah
menurunnya volume plasma, meningkatnya viskositas darah,
hemokonsentrasi, dan koagulopati.
c. Ginjal
Eklampsia berhubungan dengan kelainan ginjal yang
mengakibatkan menurunnya laju filtrasi glomerulus, aliran plasma ginjal,
kelainan ekskresi asam urat, dan proteinuria
d. Hati
Gangguan hati yang terjadi akibat eklampsia meliputi nekrosis
periporta, kerusakan hepatoseluler, dan hematom subkapsular.

26
Gambar 5. Gambaran perdarahan dan nekrosis periportal14
e. SSP
Eklampsia dapat menyebabkan gangguan seperti overperfusi
cerebral yang disebabkan hilangnya kontrol autoregulasi, edema cerebral,
dan perdarahan cerebral.

Gambar 6. Gambaran autopsi otak pasien eklampsia yang mengalami perdarahan otak14

27
4. Patofisiologi Eklampsia7,8,12,13,14
a. Inhibisi perkembangan uterovaskular
Terjadi banyak perubahan uterovaskular pada seseorang yang
hamil. Hal ini terjadi karena interaksi antara ibu dan janin yang
menghasilkan perubahan vaskularisasi sistemik dan lokal. Pada pasien
eklampsia perkembangan arteri uteroplasenta terganggu.

b. Hambatan regulasi aliran darah cerebral


Pada pasien eklampsia terjadinya abnormalitas dari aliran darah
cerebral dalam hal ini terjadinya hipertensi yang berat. Hal ini dikarenakan
hilangnya fungsi regulasi perfusi cerebral yang mengakibatkan pembuluh
darah otak menjadi dilatasi dengan peningkatan permeabilitas, terjadi
edema, dan berakhir menjadi iskkemia dan ensefalopati. Terjadinya
peningkatan tekanan darah mengakibatkan gangguan autoregulasi cerebral
yang mengakibatkan iskemia dan juga perdarahan mikro, hal ini yang
memicu terjadinya kejang.
c. Disfungsi Endotel
Faktor antiangiogenik yang berperan seperti fms-like tyrosin
kinase 1 (sFlt-1) dan activin A, antagonis VEGF. Peningkatan faktor
tersebut menyebabkan menurunnya VEGF dan memicu terjadinya difungsi
endotel lokal dan sistemik.
Kebocoran protein dari sirkulasi dan edema umum adalah hal-hal yang
dikaitkan dengan preeklamsia dan eklampsia.
d. Stres Oksidative
Bukti menunjukan bahwa molekul leptin meningkat di sirkulasi
pada wanita dengan eklampsia, yang menyebabkan stres oksidatif.
Peningkatan leptin juga mengakibatkan terjadinya agregasi trombosit,
yang dapat berkembang menjadi koagulopati yang disebabkan eklampsia.
Oksidatif stres menstimulasi produksi dan sekresi dari faktor
antiangiogenik Activin A dari plasenta dan sel endotel.

28
Studi juga menemukan bahwa meningkatnya aktifitas leukosit
menyebabkan terjadi stres oksidatif, inflamasi, dan disfungsi sel endotel.

5. Evaluasi7,8,12,13,14
Preeklampsia dapat sangat cepat berkembang menjadi eklampsia.
Berikut insiden terjadinya tanda dan gejala sebelum kerjang,
a. Nyeri kepala (83%)
b. Hiper refleks (80%)
c. Proteinuria yang mencolok (52%)
d. Edema umum (49%)
e. Gangguan penglihatan (44%)
f. Nyeri perut kuadran kanan atas atau epigastrium (19%)
Studi yang dilakukan Cooray et al menemukan bahwa tanda dan gejala yang
paling sering terjadi mendahului kejang eklampsia adalah gejala neurologis
seperti sakit kepala dengan atau tanpa gangguan visual, tanpa memperhatikan
derajat hipertensinya. Oleh karena itu pasien harus di monitoring ketat setelah
terdapat gejala-gejala tersebut.
Berikut ciri-ciri Preeklampsia yang sudah berkembang menjadi eklampsia
a. Kejang atau postictal state (100%)
b. Nyeri kepala (80%), biasanya lokasi di frontal
c. Edema umum (50%)
d. Gangguan penglihatan, seperti kabur dan fotofobia (40%)
e. Nyeri perut kanan atas dengan mual (20%)
f. Amnesia atau perubahan status mental

6. Penatalaksanaan7,8,12,13,14
Kejang eklampsia adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa
dan membutuhkan terapi yang tepat untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian ibu. Terminasi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi eklampsia

a. Terapi supportif kejang eklampsia

29
i. Pastikan Airway,Breathing, dan Circulation baik
ii. Posisikan pasien dalam posisi left lateral decubitus untuk
mengurangi resiko terjadinya aspirasi, dan juga
meningkatkan aliran darah uterus.
iii. Lindungi pasien dari cedera akibat kejang seperti menaikan
penutup bed, menggunakan pelindung lidah, dan suction air
liur jika perlu.
iv. Setelah kejang berakhir, segera pasang IV line.

b. Terapi farmakologi untuk kejang dan hipertensi


Tujuan terapi obat-obatan adalah untuk mengurangi morbiditas,
mencegah komplikasi, dan menangani kejang eklampsia. Pilihan obat yang
utama untuk menangani dan mencegah eklampsia adalah Magnesium
sulfat (Evidence I, Rekomendasi A).16
Lini kedua adalah fenitoin dan diazepam/lorazepam yang
digunakan jika ada kontraindikasi pemakaian Magnesium sulfat (seperti
miastenia gravis) dan tidak efektifnya Magnesium sulfat. Mengontrol
tekanan darah adalah hal yang esensial untuk mencegah morbiditas yang
dapat mengakibatkan mortalitas. Obat antihipertensi pilihan pertama
adalah nifedipin oral short acting, hidralazine, dan labetalol parenteral
(Evidence I, Rekomendasi A).16
Magnesium sulfat intravena adalah obat yang utama untuk
menghentikan kejang. Kejang biasanya berhenti setelah diberikan dosis
loading Magnesium sulfat. Dosis loading adalah 4-6gr (15-20 min) dan
dosis maintenance adalah 1-2 gr per jam bersamaan dengan cairan
intravena. Pada kejang yang berulang atau kontraindikasi pemberian
Magnesium sulfat, dapat diberikan lorazepam (Ativan;2-4 mg IV dalam 2-
5 menit) atau diazepam (Vallium 5-10 mg IV secara lambat) dan Fenitoin
(15 mg/kgBB loading dose).14

30
C. Peringkat bukti (hierarchy of evidence)
Levels of evidence ditentukan berdasarkan klasifikasi yang dikeluarkan
oleh Oxford Center for Evidence-based Medicine Levels of Evidence yang
dimodifikasi untuk keperluan praktis, sehingga peringkat bukti adalah sebagai
berikut;
IA metaanalisis, uji klinis
IB uji klinis yang besar dengan validitas yang baik
IC all or none
II uji klinis tidak terandomisasi
III studi observasional (kohort, kasus kontrol)
IV konsensus dan pendapat ahli

D. Derajat rekomendasi
Berdasarkan peringkat bukti, rekomendasi/simpulan dibuat sebagai berikut:
1) Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level IA atau IB
2) Rekomendasi B bila berdasar pada bukti level IC atau II
3) Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III atau IV

31
BAB III

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus pasien merupakan seorang wanita dengan usia 16 tahun.
Menurut kelompok umur, kejadian preeklampsia/eklampsia banyak terjadi pada
ibu kurang dari 20 dan lebih dari 35 tahun. Ibu usia muda atau tua berpengaruh
dua sampai tiga kali lipat terhadap derajat preeklampsia/eklampsia dibandingkan
dengan ibu usia reproduktif. Preeklampsia sering terjadi pada masa awal dan akhir
usia reproduktif yang diduga berhubungan dengan proses imunologis pada ibu.
Usia wanita yang paling aman untuk hamil dan melahirkan adalah 20-35 tahun
karena merupakan usia reproduksi yang sehat. Risiko terjadinya preeklampsia
meningkat seiring dengan meningkatnya usia ibu. Umur ibu kurang dari 20 tahun
dan lebih dari 35 tahun merupakan faktor predisposisi dari preeklampsia serta
risiko komplikasi medis yang dapat membahayakan ibu dan janin.10 Masih
terdapat kontroversi tentang Ibu usia muda, Duckitt melaporkan bahwa usia muda
tidak meningkatkan resiko secara bermakna (Evidence II, 2004) .16 Pada kasus ini
kehamilan pasien adalah kehamilan pertama (primigravida) dan belum pernah
mengandung sebelumnya (nulliparitas). Duckitt melaporkan nulipara memiliko
resiko hampir 3 kali lipat (Evidence II).16 Intoleransi plasenta dan janin pada
kehamilan pertama akan mendekatkan ibu pada resiko preeklampsia/eklampsia.
Pada kasus pasien datang dengan keluhan utama kejang 5x selama ± 2 menit
dirumah dan dirumah sakit. Pada anamnesis tidak ada riwayat penyakit hipertensi
sebelumnya dan kejang sebelum kehamilan. Kemudian setelah dilakukan
pemeriksaan fisik, tekanan darah 160/110, terdapat edema pada kedua tungkai dan
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan proteinuria +3. Menurut kepustakaan,
eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklampsia yang disertai
kejang menyeluh dan koma. Kriteria diagnosis preeklampsia yaitu adanya
peningkatan tekanan darah ≥ 140 mmHg sistol dan/atau ≥ 90 mmHg diastol pada
dua kali pemeriksaan, atau tekanan darah sistol ≥160 mmHg dan/ atau diastol
≥110 mmHg, beserta proteinuria minimal 0,3 g/L dalam 24 jam atau +1 dipstick
setelah 20 minggu kehamilan, sedangkan eklampsia merupakan terjadinya kejang

32
pada pasien yang sebelumnya memiliki gejala preeklampsia.12,13,14,19 Pada kasus
ini diagnosis eklampsia dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pada kasus, dari pemeriksaan laboratorium nilai hematokrit 30.6%,
Sedangkan asam urat, serum kreatinin, dan SGOT/SGPT tidak dilakukan
pemeriksaan. Berdasarkan penelitian yang dlakukan oleh Gana tahun 2010,
terdapat hubungan kadar hematokrit dan asam urat pada kejadian
preeklampsia/eklampsia. Hal ini menunjukkan bahwa kadar hematokrit akan
meningkat pada preeklampsia/eklampsia karena adanya hemokonsentrasi akibat
volume plasma yang menurun disebabkan oleh vasospasme. Hemokonsentrasi
juga meningkatkan viskositas darah yang menyebabkan perfusi jaringan semakin
berkurang pada seluruh organ baik ke otak, jantung, paru, ginjal, maupun jaringan
fetoplasenta.18 Pada kasus ini hematokrit tidak meningkat secara nyata. Menurut
penelitian yang dilakukan Powers pada tahun 2006 menyimpulkan manifestasi
awal dari pemeriksaan laboratorium yang dapat terjadi pada preeklampsia adalah
hiperurisemia.14 Pada tahun yang sama Cnossen14 et al melaporkan bahwa
penggunaan kadar asam urat untuk mendiagnosis preeklampsia nilai
sensitivitasnya antara 0-55%, dan spesifitasnya adalah 77-95%. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Noormartany dkk menyatakan bahwa kadar asam
urat serum pada preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan kehamilan
normal. Pada preeklampsia/eklampsia terjadi perburukan patologis fungsi
sejumlah organ serta sistem yang diakibatkan vasospasme dan iskemia. Hal ini
menyebabkan perubahan fungsi ginjal dan penurunan aliran darah ginjal, serta
penurunan kecepatan filtrasi glomerulus. Akibatnya, akan meningkatkan kadar
asam urat serum yang dapat terjadi sebelum gejala klinis timbul dan sebagai
resiko penyulit kehamilan, baik pada ibu maupun pada janin. Nilai hematokrit dan
kadar asam urat dapat digunakan sebagai pemeriksaan serial pada ibu hamil mulai
trimester pertama disetiap pelayanan antenatal.19 Hal ini membuat pemeriksaan
kadar asam urat pada pasien preeklampsia masih kontroversial, tetapi bila ada
fasilitas maka pemeriksaan kadar asam urat dapat dilakukan. Pemeriksaan

33
kreatinin,SGOT, dan SGPT dapat dilakukan untuk menentukan derajat keparahan
dan komplikasi yang terjadi pada pasien preeklampsia.13,14
Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan CTG namun tidak dilakukan
pemeriksaan USG. Dalam kasus preeklampsia/eklampsia pemeriksaan CTG
dilakukan untuk menentukan status kesejahteraan janin, dan USG diperlukan
untuk menentukan bila terjadi komplikasi preeklampsia terhadap janin, seperti
IUGR.12,13,14 Keadaan gawat darurat yang dialami pasien ini menyebabkan
terbatasnya waktu untuk dilakukan pemeriksaan secara lengkap.
Pada laporan kasus ini, pemeriksaan ANC dilakukan sebnyak 1 kali pada
trimester pertama. Trimester I dilakukan pemeriksaan sebanyak 1x di dokter
puskesmas, trimester II dan III tidak dilakukan pemeriksaan, hasil pemeriksaan
pada trimester I dalam batas normal akan tetapi pada trimester II dan III tidak ada
hasil pemeriksaan sehingga tidak dapat terkontrol kesehatan ibu maupun janin.
Menurut kepustakaan, jadwal pemerikasaan kehamilan kunjungan antenatal untuk
pemantauan dan pengawasan kesejahteraan ibu dan anak minimal empat kali
selama kehamilan dalam waktu, yaitu sampai dengan kehamilan trimester I (<14
minggu) satu kali kunjungan, dan kehamilan trimester II (14-28 minggu) satu kali
kunjungan, dan kehamilan trimester III (28-36 minggu dan sesudah minggu ke-
36) dua kali kunjungan.20
Pada kasus ini penanganan awal yang dilakukan yaitu pemberian
Magnesium sulfat sesuai protokol dengan dosis penuh dan tindakan sectio
saesarea. Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada
preeklampsia (Evidence I, Rekomendasi A). Pemberian dosis penuh magnesium
sulfat secara intravena atau intramuskular direkomendasikan sebagai prevensi dan
terapi eklampsia (Evidence II, Rekomendasi A). Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan sebelum memberikan Magnesium sulfat yaitu pernafasan
>16x/menit, refleks patella +/+, Diuresis cukup >100cc/4jam, dan tersedia
antidotum Ca Gluconas.7,12,13,14 Pasien dengan pemberian Magnesium sulfat harus
dievaluasi tiap 4 jam. Saat Pemberian Magnesium sulfat pada pasien
preeklampsia/eklampsia memiliki berbagai macam efek yang menguntungkan,
antara lain adalah berguna untuk mengontrol kejang. Magnesium sulfat

34
merupakan pilihan utama pada pasien preeklampsia berat dibandingkan diazepam,
atau fenitoin, untuk mencegah terjadinya kejang/eklampsia atau kejang berulang
(Evidence IA, Rekomendasi A)16

Duley dkk melakukan telaah sistematik 6 penelitian dengan melibatkan


11.444 wanita yang membandingkan magnesium sulfat dengan plasebo atau tanpa
antikonvulsan. Didapatkan hasil pemberian magnesium sulfat berhubungan
dengan penurunan risiko eklampsia. Witkin dkk juga melakukan metaanalisis dari
14 RCT dan 5 studi retrospektif yang membandingkan efektifitas pemberian
magnesium sulfat dibandingkan plasebo, didapatkan pada pasien preeklampsia
berat kejang terjadi 0,9% pada pasien yang mendapat magnesium sulfat,
dibandingkan 2,8% pada kelompok kontrol. Witkin juga mendapatkan angka
kejadian kejang berulang terjadi pada 9,4% pasien eklampsia yang diberikan
magnesium sulfat dibandingkan 23,1% pada kelompok kontrol.16

Cochrane collaboration melakukan telaah sistematik penggunaan


magnesium sulfat dibandingkan diazepam pada pasien eklampsia. Didapatkan
hasil penggunaan magnesium sulfat dibandingkan diazepam mengurangi
mortalitas maternal (7 studi, 1396 wanita) dan kejang berulang. Pemberian
magnesium sulfat juga mengurangi kebutuhan untuk intubasi (2 studi, 591 bayi,
dan APGAR skor kurang dari 7 pada menit 1 (2 studi, 597 bayi) serta pada menit
ke lima (3 studi, 643 bayi). Duley dkk melakukan telaah sistemik pada 7
penelitian (1441 wanita) yang membandingkan magnesium sulfat dan diazepam.
Dari telaah sistemik tersebut didapatkan magnesium sulfat berhubungan dengan
berkurangnya risiko kejang berulang, kematian maternal, skor APGAR <7 pada
menit ke 5 dan lama perawatan bayi di ruang perawatan khusus >7. Dari beberapa
RCT yang membandingkan penggunaan magnesium sulfat dibandingkan
diazepam, fenitoin, atau lyctic cocktail, didapatkan hasil terdapat perbedaan
bermakna pada penggunaan magnesium sulfat terhadap berkurangnya angka
kejadian berulang dan kematian maternal dibandingkan dengan pemberian
antikonvulsan lainnya. Angka kejadian pneumonia, kebutuhan ventilator dan

35
perawatan intensif juga ditemukan lebih sedikit pada penggunaan magnesium
sulfat.16

Belfort dkk membandingkan penggunaan magnesium sulfat dan nimodipin,


yang merupakan calcium channel blocker dengan efek vasodilatasi serebral.
Didapatkan hasil pengurangan bemakna kejadian eklampsia pada kelompok
magnesium sulfat (0 dari 831 vs 9 dari 819 pada nimodipin. Duley juga
mendapatkan kejadian kejang yang lebih rendah pada penggunaan magnesium
sulfat.16

Cochrane collaboration membandingkan pemberian magnesium sulfat dan


fenitoin, didapatkan perbedaan bermakna dengan terjadinya kejang, pneumonia,
kebutuhan perawatan intensif, serta penggunaan ventilator. Pada kelompok
magnesium sulfat terjadi penurunan risiko kejang, post partum. Dulley melakukan
2 penelitian (2241 wanita) yang membandingkan magnesium sulfat dan fenitoin
memberikan hasil magnesium sulfat mengurangi risiko eklampsia lebih baik dan
kejang berulang. Wanita yang diberikan magnesium sulfat dibandingkan fenitoin
lebih sedikit menyebabkan skor APGAR bayi <8 pada menit pertama (1 studi, 518
bayi). Bayi yang dilahirkan dari wanita yang mendapatkan magnesium sulfat lebih
sedikit memerlukan perawatan khusus pada unit perawatan neonatal dan lama
perawatan khusus lebih dari 7 hari, serta menurunkan risiko kematian di ruang
perawatan lebih dari 7 hari. 16

Magnesium sulfat yang diberikan secara intravena pada ibu hamil akan
secara cepat melewati plasenta dan mencapai keseimbangan di dalam serum janin
dan cairan amnion. Duffy dkk pada tahun 2012 melaporkan penurunan detak
jantung janin namun tetap dalam batas normal, dan sedikit memperpanjang waktu
deselerasi. Mereka melaporkan tidak adanya efek yang merugikan. Nelson dan
Schendel juga melaporkan dalam 5 penelitian RCT mendapatkan bahwa
magnesium sulfat memliki efek neuroprotektif pada bayi prematur ataupun
matur.14

36
Selain efek menguntungkan apabila berlebihan dalam sirkulasi magnesium
juga dapat berakibat buruk. Refleks patella menghilang ketika magnesium plasma
level mencapai 10 mEq/L atau sekitar 12 mg/dL. Menghilangnya refleks patella
merupakan tanda bahaya terjadinya toksisitas magnesium. Pada saat kadar plasma
menyentuh angka 10 mEq/L keatas maka pernafasan akan melemah, pada angka
12 mEq/L atau lebih tinggi maka dapat terjadi lumpuhnya pernafasan dan
berhentinya nafas. Diuresis harus dipertimbangkan sebelum pemberian
Magnesium sulfat dikarenakan magnesium di ekskresi oleh ginjal, apabila GFR
menurun maka kadar Magnesium dalam sirkulasi akan berlebihan.12,13,14,21 Bila
terjadi intoksikasi magnesium sulfat, terapi dengan kalsium glukonas atau kalsium
klorida 1gr intravena.16

Menurut teori pada pengobatan obstetrik semua kehamilan dengan


eklampsia harus diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin,
dilakukan terminasi kehamilan dengan sikap dasar apabila sudah stabilisasi
(pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu yaitu 4-8 jam setelah salah satu
atau lebih keadaan yaitu setelah pemberian obat anti kejang terakhir, setelah
kejang terakhir, setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir, dan penderita
mulai sadar (responsif dan orientasi), serta jika anak hidup sc dapat
dipertimbangkan.4,5,12,13,14,17,22 Meskipun pada pasien ini datang dengan inpartu
kala I, harus tetap dilakukan terminasi karena kejang eklampsia adalah indikasi
harus segera dilakukannya terminasi. Pada pasien ini dilakukan teknik anestesi
umum, karena pada pasien eklampsia kemungkinan besar telah mengalami
peningkatan tekanan intrakranial, koagulopati, dan edema paru.23 Sumber lain
mengatakan anestesi regional dapat dilakukan bila kejang pada pasien sudah stabil
dan tanda-tanda vital telah stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Moodley et al melakukan penelitian dan mendapatkan tidak ada
perbedaan yang bermakna hasil akhir pada ibu dan bayi dari teknik epidural
dengan anestesi umum pada pasien eklampsia yang sadar. Razzaque et al
melaporkan bahwa anestesi spinal lebih aman daripada general anestesi pada
lower segment caesarean section (LSCS).24 Pada pasien ini saat masuk di rumah

37
sakit pasien masih kejang dan kesadaran yang buruk, sehingga lebih dipilih teknik
anestesi umum.

Pada pasien ini setelah dilakukan terminasi diberikan Magnesium sulfat


sesuai protokol hingga 24 jam post terminasi, hal sesuai dengan teori yang
menulis bahwa terapi Magnesium sulfat harus tetap dilanjutkan hingga 24 jam
post terminasi atau 24 jam bebas kejang. Setelah 24 jam pemberian Magnesium
sulfat tekanan darah pada pasien masih cenderung tinggi di angka 140/90 hal ini
sesuai dengan teori bahwa hipertensi pada pasien preeklampsia/eklampsia dapat
bertahan hingga 12 minggu pasca terminasi. Eklampsia dapat terjadi kejadian
ulangan sampai 6 minggu pasca terminasi. Pada pasien ini diberikan terapi
nifedipine 3x10 mg yang merupakan terapi pilihan pada pasien
preeklampsia/eklampsia selain hidralazine dan labetalol.12,13,14 Pemberian
nifedipin dan magnesium sulfat tidak diberikan bersamaan karena dapat
menyebabkan hambatan neuromuskular atau hipotensi berat, hingga kematian
maternal.16 Berdasarkan RCT, penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan
darah lebih cepat dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah
awal pemberian.

Pada kasus ini pasien dipulangkan pada tanggal 19 Juni 2019, dengan
keluhan (-), KU : cukup, Kes : CM, TD : 120/80 mmhg. Preeklampsia dan
eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan dengan penyebab
yang sama. Oleh karena itu, diperlukan pencegahan dan edukasi terhadap pasien
preeklampsia dan eklampsia pada kehamilan selanjutnya untuk mencegah
kejadian pada kehamilan berikutnya dapat dilakukan nasehat yang berkaitan
dengan pasien dianjurkan melakukan ANC secara rutin minimal 4x selama
kehamilan, dibutuhkan peran serta keluarga sebagai faktor pendukung akan
memberikan yang terbaik untuk calon anggota keluarga yang baru,
mempersiapkan segala kebutuhan ibu hamil termasuk gizi seimbang dengan status
gizi yang baik, dan beristirahat cukup.25,26

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Situmorang TH, Darmantalm Y, Januarista A, Sukri. Faktor-faktor yang


Berhubungan dengan Kejadian preeklampsia pada Ibu hamil di Poli KIA RSU
Anutapura palu. Jurnal Kesehatan Tadulako. 2016;2(1):34-44.

2. Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan Informasi. Jakarta Selatan. 2014.

3. Say L, Gemmill A, Tuncalp O, Moller AB, Daniels J, Gulmezoglu AM, et al.


Global causes of maternal death: A WHO systematic analysis. Lancet Global
Health. 2014;2:323-33.

4. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Danforth’s Obstetrics and
Gynecology. 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins; 2008.

5. Reece EA, Hobbins JC. Clinical Obstetrics, The Fetus & Mother. 3rd ed.
Massachusetts: Blackswell Publishing; 2007. p. 683-99.

6. Bauserman M, Lokangka A, Thorsten V, Tshefu A, Goudar SS, Esamai F, et al.


Risk factors for maternal death and trends in maternal mortality in low- and
middle-income countries: a prospective longitudinal cohort analysis.
Reproductive Health. 2015;12:1-9.

7. Edmonds. Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology. 7th ed.


Massachusetts: Blackwell Publishing; 2007. P. 227-35.

8. DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current Diagnosis &


Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. 10th ed. McGraw-Hill; 2007.

9. Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

10. Fatmawati L, Sulistyono A, Notobroto HB. Pengaruh Status Kesehatan Ibu


Terhadap derajat Preeklampsia/Eklampsia di Kabupaten Gresik. 2017;52-7.

11. Sumarni S. Hubungan Gravida Ibu dengan Kejadian Preeklampsia. Jurnal


Kesehatan Wiraraja Medika. 2013:3-7.

39
12. Lim K Hak, Steinberg G. Preeclampsia. Medscape. (Diakses tanggal 1 Agustus
2019); Diunduh dari : https://emedicine.medscape.com/article/1476919-
overview#a7

13. Ross M. Eclampsia. Medscape. (Diakses tanggal 1 Agustus 2019); Diunduh dari :
https://emedicine.medscape.com/article/253960-overview#a3

14. Cunningham G, Leveno K, Bloom S, Spong C, Dashe J, Hoffman B, et al.


Williams Obstetrics 24th edition. Mc-Graw Hill; 2004. p. 728-779.

15. Aida K. Magnesium sulfate therapy of preeclampsia: an old tool with new
mechanism of action and prospect in management and prophylaxis. Japanese
society of hypertension. 2012;35:1005-1011.

16. Wibowo N, Irwinda R, Frisdiyantiny E, Karkata M, Mose J, Chalid M, et al.


Diagnosis dan Tatalaksana Pre-Eklamsia. PNPK. POGI Himpunan Kedokteran
Feto Maternal. 2016.

17. Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Edisi Kempat. Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

18. Gana VY. Hubungan Kadar Hematokrit dengan Derajat Preeklampsia. 2010:1-63.

19. Sumanti N, Noormartany, Alamsyah M, Rostini T. Kadar Asam Urat Serum


Sebagai Biomarker Preeklampsia MKB. 2013;45(2):98-104.

20. Rochjati, P. 2003. Skrining Antenatal pada Ibu Hamil. Surabaya: Pusat
safemotherhood

21. Census.gov. International Data Base. (Diakses pada 1 Agustus 2019); Diunduh
dari : http://www.census.gov/population/international/ /country.php
22. Putra An, Hasibuan HS, Fitriyanti Y. Hubungan Persalinan Preterm pada
Preeklampia Berat dengan Fetal Outcome di RSU Islam Harapan Anda Tegal.
JKKI;6(3):113-20.

23. Lalenoh D. Preeklampsia berat dan eklampsia: tatalaksana anestesia perioperatif.


(Diakses pada tanggal 5 september 2019); Diunduh dari:
https://books.google.co.id/books?id=ccRiDwAAQBAJ&pg=PA122&lpg=PA122

40
&dq=pilihan+anestesi+pada+eklampsia&source=bl&ots=uevhDAMXVA&sig=
ACfU3U0rmswgt2ib4KdSG0s-
IF6YEUcp6w&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwi7kNLShrvkAhUQcCsKHdn0C_g
Q6AEwCXoECAkQAQ#v=onepage&q=pilihan%20anestesi%20pada%20eklam
psia&f=false

24. Parthasarathy S, Kumar H, Sripriya R, Ravishankar M. Anesthethic management


of a patient presenting with eclampsia. NCBI. (Diakses pada tanggal 5 september
2019); Diunduh dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4173542/

25. Canzoneri BJ, Lewis DF, Groome L, Wang Y. Increased Neutrophil Numbers
Account for Leukocytosis in Women with Preeclampsia. American Journal of
Perinatology. 2009;26(10):729-32.

26. Sambas EK. Hubungan Antara karakteristik dan pengetahuan Mengenai


Hipertensi dalam Kehamilan dengan Perilaku mencegah Komplikasi Hipertensi.
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada. 2015;13(1):35-45.

41

Anda mungkin juga menyukai