Anda di halaman 1dari 18

Obat Antihipertensi

ARB
Mekanisme Kerja :
ARB memblokade reseptor Angiotensin II Tipe 1 (AT1) sehingga angiotensin II tidak bisa berikatan
dengan reseptor tersebut. Dampaknya adalah terjadinya vasodilatasi pembuluh darah, ekskresi Na
dan cairan, menurunkan resistensi vaskuler yang pada akhirnya akan menurunkan tekanan darah,
memperbaiki gejala gagal jantung dan penyakit ginjal akibat diabetes karena aliran darah yang akan
dibawa ke jantung dan ginjal akan berkurang.

INDIKASI PENGGUNAAN ARB


Sebenarnya indikasi penggunaan ARB sama dengan ACE inhibitor yaitu untuk Hipertensi, terutama
pada penderita hipertensi dengan DM, penderita nefropatiakibat DM, gagal jantung serta pasca
infark miokard dengan gangguan fungsi diastolik. Namun, yang membedakan ARB dengan ACE
inhibitor adalah ARB tidak memengaruhi metabolisme bradikinin sehingga tidak menimbulkan efek
samping seperti batuk kering. Jadi indikasi untuk pemberiaan ARB satu lagi adalah jika pasien
mengalami efek samping dari penggunaan ACE inhibitor tersebut.

KONTRA INDIKASI ARB


Kehamilan (obat harus dihentikan bila pemakai ternyata hamil), menyusui, stenosis arteri renalis
bilateral atau stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi

EFEK SAMPING ARB


Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi seperti hipovolemia, gagal jantung,
hipertensi renovaskuler, dan sirosis hepatis. Hiperkalemia dapat terjadi pada keadaan tertentu
misalnya insufisiensi ginjal. Efek samping lainnya: pusing, sakit kepala, diare, penurunan Hb, ruam,
abnormal taste sensation (metallic taste)

INTERAKSI OBAT ARB


Penggunaan bersama dengan diuretik hemat kalium, OAINS, dan suplementasi kalium akan
menyebabkan hiperkalemia.

CONTOH OBAT GOLONGAN ARB di INDONESIA


1. LOSARTAN
Dosis Dosis umum : 1x50 mg sehari, dapat ditingkatkan hingga 1x100 mg sehari.
Untuk pasien usia lanjut ( >75 tahun), pasien dengan gangguan fungsi ginjal
sedang sampai berat, dialisis, deplesi cairan, dimulai dengan dosis 1x25 mg
sehari

Sediaan Tablet 50 mg : Acentensa, Angioten, Insaar, Kaftensar, Lifezar, Sartaxal


Tablet 100 mg : Lifezar

2. VALSARTAN
Dosis Hipertensi : 1x80 mg/hari; jika diperlukan ( pada pasien yang tekanan
darahnya tidak terkontrol) ditingkatkan hingga 160 mg seahri atau
ditambahkan pemberian diuretik; tidak diperlukan penyesuaian dosis untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau pada pasien dengan gangguan
fungsi hati tanpa kolestasis
Gagal jantung : dosis awal 2x40 mg sehari. Penyesuaian dosis 80 mg dan 160
mg dua kali sehari harus dilakukan pada dosis tertinggi yang dapat ditoleransi
oleh pasien; pertimbangkan untuk mengurangi dosis pada pasien yang juga
menerima diuretik. Maksimal 320mg/hari

Sediaan Tablet salut selaput 40 mg, 80 mg, 160 mg: Diovan, Valsartan-Ni

3. Candesartan
Dosis Hipertensi : dosis awal 1x8 mg/hari (gangguan fs hati 1x2 mg/hari, ggg fungsi
ginjal atau volume deplesi intravaskular 1x4mg/hari), tingkatkan jika perlu
pada interval 4 minggu hingga maksimal 1x32 mg/hari
Gagal jantung : dosis awal 1x4 mg/hari, tingkatkan pada interval sedikitnya 2
minggu hingga dosis target 32mg sehari sekali atau hingga dosis maksimal
yang masih dapat ditoleransi

Sediaan Tablet 8 mg, 16 mg : Candesartan generik, canderin, blopress


4. Irbesartan
Dosis Hipertensi : dosis awal 1x150 mg/hari, jika perlu dapat ditingkatkan hingga
1x300 mg/hari. Pada pasien hemodialisis atau usia lanjut lebih dari 75 tahun,
dosis awal 1x75 mg/hari dapat digunakan

Sediaan Tablet 150 mg ; tablet 30 mg : aprovel, elzar, fritens, irbedox, iretensa, irtan,
irvask,irvell

5. Telmisartan
Dosis Hipertensi : dosis 1x40 mg/hari. Dapat diberikan 1x20mg/hari jika sudah
memnerikan efek. Jika target tekanan darah belum tercapai, dosis dapat
ditingkatkan hingga maksimum 1x80mg/hari

Sediaan Tablet 40 mg; tablet 80 mg : Micardis

BETA BLOCKER
β blocker bekerja memberikan hambatan terhadap reseptor β. Reseptor β yang terdapat dalam
tubuh terdiri atas 3, yaitu:
β1 : Terutama terdapat pad miokard
β2 : pada organ viseral (bronkus, genitourinaria) dan otot polos pembuluh darah
β3 : jaringan lemak
β-blocker terdiri atas 2 jenis kardioselektif (afinitas lebih tinggi terhadap reseptor β1 daripada
β2 ) dan nonselektif (memiliki afinitas yang sama terhadap reseptor β1 dan β2)

Kardioselektif Bisoprolol , atenolol,


metaprolol, acebutolol
β blocker

Propanolol, carvedilol, timolol,


Non-selektif
labetolol, alprenolol, karteolol,
nadolol, oksprenolol

Penggunaan β blocker non selektif menimbulkan lebih banyak efek samping dibanding β
blocker selektif, misalnya penghambatan adrenoreseptor β2 di paru menyebabkan
bronkospasme. Sebaliknya, β blocker selektif bekerja lebih dominan pada adrenoreseptor β1
di jantung sehingga lebih kurang memberikan efek samping.
Indikasi utama β blocker adalah pasien hipertensi yang takikardi atautakiaritmia (termasuk
pasien ansietas, feokromasitomia, dan tiroksikosis), dan pada pasien hipertensi yang memiliki
penyakit jantung koroner( angina pektoris dan pasca infark miokard)
Mekanisme penurunan tekanan darh akibat pemberian β blocker dapat dikaitkan dengan
hambatan reseptor β1, antara lain:
 Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan curah jantung
 Hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomerular ginjal dengan akibat
penurunan produksi angiotensin II
 Efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada
sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adregenik perifer dan
peningkatan biosintetik protasiklin.
Bronkospasme merupakan efek samping pada pasien dengan riwayat asma bronkial
atau PPOK, sehingga pemakaian β blocker termasuk yang kardioselektif merupakan
kontraindikasi untuk keadaan ini. Pemakaian β blocker pada pasien DM yang mendapat insulin
atau obat hipoglikemik oral sebaiknya hindari sebab β blocker dapat menutupi gejala
hipoglikemik. Gangguan fungsi seksual seing terjadi akibat pemakaian β blocker, terutama
yang non-selektif.
Untuk pengobatan rutin hipertensi tanpa komplikasi, pemberian beta bloker sebaiknya
dihindarkan pada pasien dengan diabetes atau pada pasien dengan risiko tinggi diabetes,
terutama jika dikombinasi dengan diuretika tiazid. Mekanisme kerja beta bloker sebagai
antihipertensi belum diketahui dengan pasti, obat-obat ini mengurangi curah jantung,
mempengaruhi sensitivitas refleks baroreseptor, dan memblok adrenoseptor perifer. Beberapa
beta bloker menekan sekresi renin plasma. Efek sentral dari beta bloker mungkin juga dapat
menjelaskan mekanisme kerjanya.
Beta bloker efektif untuk menurunkan tekanan darah namun antihipertensi lain
biasanya lebih efektif untuk menurunkan kejadian stroke, infark miokard, dan kematian akibat
penyakit kardiovaskuler, terutama pada lansia. Oleh karena itu antihipertensi lain lebih dipilih
untuk pengobatan awal pada hipertensi tanpa komplikasi. Pada umumnya, dosis beta-bloker
tidak perlu tinggi; misalnya, dosis atenolol 25-50 mg sehari dan jarang diperlukan peningkatan
dosis sampai 100 mg.

ATENOLOL
Indikasi:
Hipertensi; angina; aritmia.
Kontraindikasi:
Sinus bradikardi, blokade atrioventrikuler (AV blok) selain derajat I, syok kardiogenik, gagal
jantung.
Efek Samping:
Hipotensi, bradikardi, mual, mengantuk, lemas, pusing, vertigo, diare, depresi
Dosis:
Oral, hipertensi 50 mg sehari (dosis lebih tinggi tidak lagi perlu dipertimbangkan).
Angina, 100 mg sehari dalam 1 atau 2 dosis. Aritmia, 50-100 mg sehari
Injeksi intravena, aritmia, 2,5 mg dengan kecepatan 1 mg/menit, ulangi pada interval 5 menit
sampai maksimal 10 mg.
Catatan. Bradikardi yang berlebihan dapat diatasi dengan injeksi intravena atropin sulfat 0,6-
2,4 mg dalam dosis terbagi 0,6 mg setiap kali, untuk overdosis lihat penanganan keracunan.

BISOPROLOL FUMARAT
Indikasi:
Hipertensi dan angina, gagal jantung kronik.
Peringatan:
Pada gagal jantung pantau status klinis selama 4 jam sesudah pemberian awal (dengan dosis
rendah) dan pastikan gagal jantung tidak berbahaya sebelum meningkatkan dosis; psoriasis;
gangguan hati.
Interaksi:
- Berpotensi mengganggu aliran listrik jantung dan meningkatkan efek obat bisoprolol
jika dikonsumsi dengan obat golongan antiaritmia kelas I, seperti lidocaine dan
phenytoin.
- Dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatik, seperti jantung berdebar jika dikonsumsi
dengan reserpine
- Meningatkan risiko terjadinya bradikardi jika dikonumsi dengan digoxin
- Dapat menurunkan efektivita bisoprolol jika digunakan dengan obat NSAID.
Kontraindikasi:
Keadaan akut atau gagal jantung dekompensasi yang menghendaki pemberian inotropik
intravena; blok sino-atrial.
Efek Samping:
Pusing, gangguan tidur, bradikardi, diare, infeksi saluran pernafasan, sesak napas, jari tangan
dan kaki terasa dingin.
Dosis:
Hipertensi dan angina. Satu tablet 5 mg sehari sekali pada pagi hari sebelum atau sesudah
makan. Dalam kasus sedang/tidak terlalu berat, satu tablet sehari mungkin cukup. Kebanyakan
kasus dapat terkontrol dengan pemberian 2 tablet/hari (10 mg), kecuali pada sejumlah kecil
kasus memerlukan dosis 4 tablet/hari (20 mg). Pada pasien dengan disfungsi ginjal atau
disfungsi hati berat, maksimum dosis per hari adalah 2 tablet/hari (10 mg).

KARVEDILOL
Indikasi:
hipertensi esensial sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan antihipertensi lain terutama
diuretika tiazid, gagal jantung kongestif: tidak sebagai terapi tunggal tetapi sebagai terapi
kombinasi bersama terapi standar dengan digitalis, diuretika dan penghambat ACE.
Peringatan:
Sebelum meningkatkan dosis, pastikan bahwa fungsi ginjal dan gagal janin tidak memburuk:
gagal jantung parah, hindarkan pada gagal jantung akut atau terdekompensasi yang
memerlukan obat inotropik secara intravena.
Interaksi:
Penggunaan bersama beta bloker, diltiazem, digoksin, klonidin, insulin, hipoglikemi oral.
Kontraindikasi:
Gagal hati kronik yang berat, kerusakan hati.
Efek Samping:
Hipotensi postural, pusing, sakit kepala, letih, bradikardi, gangguan saluran cerna; kadang-
kadang penurunan sirkulasi perifer; gejala-gejala mirip influenza, edema perifer dan nyeri pada
anggota gerak, mulut kering, mata kering, iritasi mata atau gangguan pandangan, impotensi;
jarang: angina, AV block, eksaserbasi klaudikasio intermiten atau fenomena Raynaud; reaksi
alergi kulit, ekserbasi psoriasis, hidung tersumbat, bersin-bersin, perasaan dipresi, gangguan
tidur, parestesia, gagal jantung, perubahan enzim hati, trombositopenia, leukopenia juga
dilaporkan.
Dosis:
Hipertensi, dewasa dosis awal 12,5 mg sehari, tingkatkan setelah 2 hari ke dosis lazim 25 mg
sehari, jika perlu dapat ditingkatkan lebih lanjut dengan interval sekurang-kurangnya 2 minggu
sampai maksimal 50 mg/ hari sebagai dosis tunggal atau terbagi; usia lanjut dosis awal 12,5
mg sehari, jika respon dapat ditingkatkan setelah 2 minggu menjadi dosis maksimum 50 mg/
hari; gagal jantung kongestif, dosis individual dan dipantau ketat selama titrasi dosis, dosis
awal yang dianjurkan 3,125 mg 2 kali sehari selama 2 minggu ditingkatkan menjadi 12,5 mg
sampai 25 mg 2 kali sehari setelah 2 minggu. Dosis maksimum yang dapat ditoleransi adalah
2 kali 25 mg/hari pada pasien dengan berat badan kurang dari 85 kg dan 2 kali 50 mg/hari pada
pasien dengan berat badan lebih dari 85 kg.

LABETALOL HIDROKLORIDA
Indikasi:
hipertensi (termasuk hipertensi pada kehamilan, hipertensi dengan angina, dan hipertensi
setelah infark miokard akut); krisis hipertensi; mendapatkan hipotensi yang terkendali pada
anestesia.
Peringatan:
Mengganggu uji laboratorium untuk katekolamin; kerusakan hati (lihat di bawah).
Kerusakan hati. Kerusakan sel-sel hati yang berat dilaporkan setelah pengobatan jangka
pendek maupun jangka panjang. Uji laboratorium yang sesuai diperlukan pada saat pertama
kali muncul gejala disfungsi hati. Jika ada bukti kerusakan (atau jika terjadi sakit kuning),
labetalol harus dihentikan dan tidak dimulai lagi.
Kontraindikasi:
Asma, gagal jantung, hipotensi, syok kardiogenik, feokromositoma
Efek Samping:
Hipotensi postural (hindari posisi tegak selama pemberian intravena dan 3 jam berikutnya),
kelelahan, rasa lemah, sakit kepala, ruam kulit, "scalp tingling", kesulitan berkemih, nyeri
epigastrik, mual, muntah; kerusakan hati; ruam lichenoid (jarang).
Dosis:
oral, dosis awal 50 mg sehari (usia lanjut 25 mg) 2 kali sehari dengan makanan, tingkatkan
dengan interval 14 hari sampai ke dosis lazim 100 mg 2 kali sehari; sampai dengan 400 mg
sehari dalam 2 dosis terbagi (jika lebih tinggi dalam 3-4 dosis terbagi).
Injeksi intravena, 50 mg selama paling tidak 1 menit, jika perlu ulangi setelah 5 menit;
maksimal 200 mg.
Catatan. Bradikardi yang berlebihan dapat diatasi dengan injeksi intravena atropin sulfat 0,6-
2,4 mg dalam dosis terbagi 0,6 mg setiap kali; untuk overdosis lihat penanganan darurat
keracunan.
Infus intravena, 2 mg/menit; kisaran lazim 50-200 mg, (tidak dianjurkan untuk
feokromositoma). Hipertensi pada kehamilan, 20 mg/jam, lipatkan dua setiap 30 menit;
maksimal 160 mg/jam. Hipertensi setelah infark, 15 mg/jam, sedikit demi sedikit tingkatkan
sampai maksimal 120 mg/jam.

PROPRANOLOL HIDROKLORIDA
Indikasi:
hipertensi; feokromositoma; angina; aritmia, kardiomiopati obstruktif hipertrofik, takikardi
ansietas, dan tirotoksikosis (tambahan); profilaksis setelah infark miokard; profilaksis migren
dan tremor esensial.
Peringatan:
Hindari putus obat yang mendadak, terutama pada penyakit jantung iskemi, blok AV derajat
pertama, hipertensi portal (risiko memburuknya fungsi hati); diabetes; riwayat penyakit paru
obstruktif; miastenia gravis; pada anafilaksis respons terhadap adrenalin berkurang.
Kontraindikasi:
asma, gagal jantung yang tak terkendali, bradikardi yang nyata, hipotensi, sindrom penyakit
sinus, blok AV derajat dua atau tiga, syok kardiogenik; feokromositoma.
Bronkospasme. Beta bloker, termasuk yang dianggap kardioselektif, seharusnya tidak
diberikan kepada pasien dengan riwayat asma atau bronkospasme. Namun, pada situasi yang
sangat jarang dimana beta bloker harus diberikan pada pasien demikian, dapat diberikan beta
bloker yang kardioselektif dengan sangat hati-hati dan di bawah pengawasan spesialis.
Efek Samping:
Bradikardi, gagal jantung, hipotensi, gangguan konduksi, bronkospasme, vasokonstriksi
perifer, gangguan saluran cerna, fatigue, gangguan tidur, jarang ruam kulit dan mata kering
(reversibel bila obat dihentikan), eksaserbasi psoriasis.
Dosis:
oral, hipertensi, dosis awal 80 mg 2 kali sehari, tingkatkan dengan interval mingguan bila
perlu; dosis penunjang 160-320 mg sehari. Hipertensi portal, dosis awal 40 mg 2 kali sehari,
tingkatkan sampai 80 mg 2 kali sehari sesuai dengan frekuensi jantung; maksimal 160 mg 2
kali sehari.
Ace-Inhibitor
Penghambat ACE bekerja dengan cara menghambat konversi angiotensin I menjadi
angiotensin II. Obat-obat golongan ini efektif dan pada umumnya dapat ditoleransi dengan
baik. Pada bayi dan anak-anak dengan gagal jantung, kaptopril biasanya merupakan obat
utama.
Penghambat ACE merupakan terapi awal yang sesuai untuk hipertensi pada
pasien Kaukasian berusia muda; tetapi pasien Afro-Karibian dan pasien yang berumur
lebih dari 55 tahun memberikan respon yang kurang baik. Penghambat ACE terutama
diindikasikan untuk hipertensi pada pasien diabetes yang tergantung pada insulin dengan
nefropati. Pada beberapa pasien, obat ini menurunkan tekanan darah dengan sangat cepat
terutama pada pasien yang juga mendapatkan terapi diuretika . Dosis pertama sebaiknya
diberikan sebelum tidur.
Pada beberapa pasien, penghambat ACE dapat menyebabkan penurunan
tekanan darah yang sangat cepat. Karena itu, bila mungkin, terapi diuretika dihentikan
untuk beberapa hari sebelum memulai terapi dengan penghambat ACE, dan dosis pertama
sebaiknya diberikan sebelum tidur.
Pada pasien yang sedang menggunakan diuretika, pemberian awal penghambat
ACE perlu dilakukan dengan hati-hati. Dosis pertama dapat menyebabkan hipotensi
terutama pada pasien yang sedang menggunakan diuretika dosis tinggi, diet rendah garam,
dialisis, dehidrasi atau pasien dengan gagal ginjal. Penghambat ACE sebaiknya juga
digunakan dengan hati-hati pada penyakit vaskuler perifer atau aterosklerosis yang
mempunyai risiko penyakit renovaskuler (lihat juga keterangan di atas). Fungsi ginjal
sebaiknya dipantau sebelum dan selama pengobatan, dan dosis diturunkan pada gangguan
fungsi ginjal.
Risiko agranulositosis meningkat pada penyakit kolagen vaskuler (dianjurkan
dilakukan hitung jenis darah). Penghambat ACE sebaiknya digunakan secara hati-hati
pada pasien dengan stenosis aortik berat atau simtomatik (berisiko hipotensi), pada
kardiomiopati obstruktif hipertrofi, pada pasien dengan riwayat idiopati, pada angioedema
herediter, dan pada ibu yang menyusui.
Reaksi anafilaksis; untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaksis, penghambat
ACE sebaiknya dihindari selama dialisis dengan membran high-flux polyacrylonitrile dan
selama apheresis lipoprotein densitas rendah dengan dekstran sulfat; penghambat ACE
juga harus dihentikan sebelum desensitisasi dengan tawon atau sengat lebah.
Penggunaan bersama dengan diuretika, penghambat ACE dapat
menyebabkan penurunan tekanan darah yang sangat cepat pada pasien dengan kekurangan
cairan; oleh karena itu pengobatan sebaiknya dimulai dengan dosis yang sangat rendah.
Jika dosis diuretika lebih besar dari 80 mg furosemid atau ekivalen, penghambat ACE
sebaiknya mulai diberikan di bawah pengawasan dokter spesialis dan pada beberapa
pasien dosis diuretika mungkin perlu diturunkan atau dihentikan selama sekitar 24 jam
sebelum pemberian penghambat ACE. Apabila terapi diuretika dosis tinggi tidak dapat
dihentikan, diperlukan pemantauan secara intensif setelah pemberian dosis awal
penghambat ACE, selama sekitar 2 jam atau sampai tekanan darah telah stabil.
Kontraindikasi, penghambat ACE dikontraindikasikan pada pasien yang
hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angioedema) dan pada pasien yang
diduga atau dipastikan menderita penyakit renovaskuler (lihat juga keterangan di atas).
Penghambat ACE tidak boleh digunakan pada wanita hamil (lihat Lampiran 4).
Efek samping; penghambat ACE dapat menyebabkan hipotensi yang parah
(lihat peringatan) dan gangguan fungsi ginjal (lihat efek pada ginjal di atas), dan batuk
kering yang menetap. Penghambat ACE juga menyebabkan angioedema (mula kerja dapat
tertunda), ruam kulit (pruritus dan urtikaria), pankreatitis dan gejala pada saluran
pernafasan atas seperti sinusitis, rinitis, dan sakit tenggorok. Efek gangguan saluran cerna
yang dilaporkan meliputi mual, muntah, dispepsia, diare, konstipasi, dan nyeri abdomen.
Telah dilaporkan juga perubahan pada hasil tes fungsi hati, ikterus kolestatik dan hepatitis.
Hiperkalemia, hipoglikemi, dan kelainan darah termasuk trombositopenia, leukopeni,
neutropenia, dan anemia hemolitik juga telah dilaporkan. Efek samping lain yang telah
dilaporkan diantaranya sakit kepala, mengantuk, kelelahan, malaise, gangguan
pengecapan, paraestesia, bronkospasme, demam, vaskulitis, mialgia, artralgia, antibodi
antinuklir positif, peningkatan laju endap darah, eosinofilia, leukositosis, dan
fotosensitivitas.
Penggunaan sediaan kombinasi penghambat ACE dengan tiazid seharusnya dicadangkan
bagi pasien yang efek penurunan tekanan darahnya tidak memberikan respons terhadap
pemberian diuretika tiazid atau penghambat ACE tunggal.
Kombinasi penghambat ACE dan antagonis kalsium juga tersedia untuk pengobatan
hipertensi. Bentuk kombinasi harus dipertimbangkan hanya jika pasien tidak mengalami
perubahan pada pemberian tunggal dengan proporsi yang sama.

KAPTOPRIL
Indikasi:
hipertensi ringan sampai sedang (sendiri atau dengan terapi tiazid) dan hipertensi berat yang
resisten terhadap pengobatan lain; gagal jantung kongestif (tambahan); setelah infark miokard;
nefropati diabetik (mikroalbuminuri lebih dari 30 mg/hari) pada diabetes tergantung insulin.

Peringatan:
diuretika (lihat keterangan di atas); dosis pertama mungkin menyebabkan hipotensi terutama
pada pasien yang menggunakan diuretika, dengan diet rendah natrium, dengan dialisis, atau
dehidrasi; penyakit vaskuler perifer atau aterosklerosis menyeluruh karena risiko penyakit
renovaskuler yang tidak bergejala; pantau fungsi ginjal sebelum dan selama pengobatan, dan
kurangi dosis pada gangguan ginjal; mungkin meningkatkan risiko agranulositosis pada
penyakit vaskuler kolagen (disarankan hitung jenis); reaksi anafilaktoid (lihat keterangan di
bawah); menyusui; mungkin menguatkan efek hipoglikemi insulin atau antidiabetik oral.

REAKSI ANAFILAKTOID. Guna mencegah reaksi ini, penghambat ACE harus dihindarkan
selama dialisis dengan membran high-flux polyacrilonitrile dan selama aferesis lipoprotein
densitas rendah dengan dekstran sulfat.
Interaksi:
lihat lampiran 1 (penghambat ACE).
Kontraindikasi:
hipersensitif terhadap penghambat ACE (termasuk angiodema); penyakit renovaskuler (pasti
atau dugaan); stenosis aortik atau obstruksi keluarnya darah dari jantung; kehamilan (lihat
lampiran 4); porfiria.
Efek Samping:
hipotensi; pusing, sakit kepala, letih, astenia, mual (terkadang muntah), diare, (terkadang
konstipasi), kram otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan, perubahan suara,
perubahan pencecap (mungkin disertai dengan turunnya berat badan), stomatitis, dispepsia,
nyeri perut; gangguan ginjal; hiperkalemia; angiodema, urtikaria, ruam kulit (termasuk eritema
multiforme dan nekrolisis epidermal toksik), dan reaksi hipersensitivitas (lihat keterangan di
bawah untuk kompleks gejala), gangguan darah (termasuk trombositopenia, neutropenia,
agranulositosis, dan anemia aplastik); gejala-gejala saluran nafas atas, hiponatremia,
takikardia, palpitasi, aritmia, infark miokard, dan strok (mungkin akibat hipotensi yang berat),
nyeri punggung, muka merah, sakit kuning (hepatoseluler atau kolestatik), pankreatitis,
gangguan tidur, gelisah, perubahan suasana hati, parestesia, impotensi, onikolisis, alopesia.

KOMPLEKS GEJALA. Telah dilaporkan suatu kompleks gejala untuk penghambat ACE
yang meliputi demam, serositis, vaskulitis, mialgia, artralgia, antibodi antinuklear positif, laju
endap darah meningkat, eosinofilia, leukositosis; mungkin juga terjadi ruam kulit,
fotosensitivitas atau reaksi kulit yang lain.
Dosis:
hipertensi, digunakan sendiri, awalnya 12,5 mg 2 kali sehari; jika digunakan bersama diuretika
(lihat keterangan), atau pada usia lanjut; awalnya 6,25 mg 2 kali sehari (dosis pertama sebelum
tidur); dosis penunjang lazim 25 mg 2 kali sehari; maksimal 50 mg 2 kali sehari (jarang 3 kali
sehari pada hipertensi berat).
Gagal jantung (tambahan), awalnya 6,25 - 12,5 mg di bawah pengawasan medis yang ketat
(lihat keterangan di atas); dosis penunjang lazim 25 mg 2 - 3 kali sehari; maksimal 150 mg
sehari.
Profilaksis setelah infark miokard pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (asimtomatik
atau simptomatik) yang stabil secara klinis, awalnya 6,25 mg, dimulai 3 hari setelah infark,
kemudian ditingkatkan dalam beberapa minggu sampai 150 mg sehari (jika dapat ditolerir
dalam dosis terba

DIURETIK TIAZID
Menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada pars asendens ansa henle tebal,
yang menyebabkan diuresis ringan. Suplemen kalium mungkin diperlukan karena
efeknya yang boros kalium.
1. TABLET HYDROCLOROTHIAZIDE ( HTC ) )
Golongan obat antihipertnsi ini merupakan obat antihipertensi yang prosesnya melalui
pengeluaran cairan tubuh via urin. Golongan antihipertensi ini cukup cepat menurunkan
tekanan darah namun dengan prosesnya yang melalui pengeluaran cairan, ada
kemungkinan besar potassium ( kalium ) terbuang.
- Sediaan obat : Tablet
- Mekanisme kerja : mendeplesi (mengosongkan) simpanan natrium sehingga
volume darah, curah jantung dan tahanan vaskuler perifer menurun. Dan
menghambat reabsorpsi natrium dan klorida dalam pars asendens ansa henle
tebal dan awal tubulus distal. Hilangnya K+, Na+, dan Cl- menyebabkan
peningkatan pengeluaran urin 3x. Hilangnya natrium menyebabkan turunnya
GFR.
- Farmakokinetik : diabsorbsi dengan baik oleh saluran cerna. Didistribusi
keseluruh ruang ekstrasel dan hanya ditimbun dalam jaringan ginjal.
- Indikasi : digunakan untuk mengurangi udema akibat gagal jantung, cirrhosis
hati, gagal ginjal kronis, hipertensi, Obat awal yang ideal untuk hipertensi,
edema kronik, hiperkalsuria idiopatik. Digunakan untuk menurunkan
pengeluaran urin pada diabetes inspidus (GFR rendah menyebabkan
peningkatan reabsorpsi dalam nefron proksimal, hanya berefek pada diet rendah
garam)
- Kontraindikasi : hypokalemia, hypomagnesemia, hyponatremia, hipertensi
pada kehamilan, hiperurisemia, hiperkalsemia, oliguria, anuria, kelemahan,
penurunan aliran plasenta, alergi sulfonamide, gangguan saluran cerna.
- Tingkat Keamanan Menurut FDA : Katagori C
- Dosis maksimal/hari: 12.5 – 50mg
B. LOOP DIURETIC
Lebih potensial dibandingkan tiazid dan harus digunakan dengan hati-hati untuk
menghindari dehidrasi. Obat-obat ini dapat mengakibatkan hipokalemia, sehingga
kadar kalium harus dipantau ketat. (Furosemid/Lasix)
1. FUROSEMIDE
- Nama paten : Cetasix, farsix, furostic, impungsn, kutrix, Lasix, salurix,
uresix.
- Sediaan obat : Tablet, capsul, injeksi.
- Mekanisme kerja : mengurangi reabsorbsi aktif NaCl dalam lumen tubuli
ke dalam intersitium pada ascending limb of henle dan menghambat
reabsorpsi klorida dalam pars asendens ansa henle tebal. K+ banyak hilang
ke dalam urin.
- Indikasi : Diuretik yang dipilih untuk pasien dengan GFR rendah dan
kedaruratan hipertensi. Juga edema, edema paru dan untuk mengeluarkan
banyak cairan. Kadangkala digunakan untuk menurunkan kadar kalium
serum.Edema paru akut, edema yang disebabkan penyakit jantung kongesti,
sirosis hepatis, nefrotik sindrom, hipertensi.
- Kontraindikasi : wanita hamil dan menyusui
- Efek samping : pusing. Lesu, kaku otot, hipotensi, mual, diare.
Hiponatremia, hipokalemia, dehidrasi, hiperglikemia, hiperurisemia,
hipokalsemia, ototoksisitas, alergi sulfonamide, hipomagnesemia, alkalosis
hipokloremik, hipovolemia.
- Interaksi obat : indometasin menurunkan efek diuretiknya, efek ototoksit
meningkat bila diberikan bersama aminoglikosid. Tidak boleh diberikan
bersama asam etakrinat. Toksisitas silisilat meningkat bila diberikan
bersamaan.
- Tingkat Keamanan Menurut FDA : Katagori C
Dosis maksimal/hari: 20-80mg

Diuretik Hemat Kalium.


Amilorid Hidroklorida
Mekanisme Kerja :
Amilorid bekerja dengan secara langsung memblokade kanal sodium pada epitel (ENaC)
sehingga akan terjadi penghambatan pada reabsorpsi dari sodium pada tubulus kontortus distal,
connected tubules, dan tubulus kolektifus pada nefron. Hal ini meyebabkan hilangnya air dan
sodium dari tubuh dan pengurangan ekskresi dari potasium.
Indikasi:
edema, konversi kalium dengan tiazid dan diuretika kuat.
Peringatan:
kehamilan dan menyusui; gangguan ginjal; diabetes mellitus; usia lanjut.
Kontraindikasi:
Hiperkalemia, gagal ginjal.
Efek Samping:
meliputi gangguan saluran cerna, mulut kering, ruam kulit, bingung, hipotensi postural,
hiperkalemia, hiponatremia.
Dosis:
digunakan sendiri, dosis awal 10 mg sehari atau 5 mg 2 kali sehari, sesuaikan menurut respons;
maksimal 20 mg sehari. Dengan diuretika lain, gagal jantung kongestif dan hipertensi, dosis
awal 5-10 mg sehari; sirosis dengan asites, dosis awal 5 mg sehari.

Triamteren.
Mekanisme kerja :
Triamteren bekerja dengan secara langsung memblokade kanal sodium pada epitel (ENaC)
sehingga akan terjadi penghambatan pada reabsorpsi dari sodium pada tubulus kontortus distal,
connected tubules, dan tubulus kolektifus pada nefron. Hal ini meyebabkan hilangnya air dan
sodium dari tubuh dan pengurangan ekskresi dari potasium.
Indikasi:
edema, sebagai penahan kalium dalam terapi kombinasi dengan hidroklortiazid dan diuretika
kuat.
Peringatan:
Sama dengan amilorid hidroklorida; dapat menyebabkan warna urin berubah menjadi biru
fluoresens.
Kontraindikasi:
Hiperkalemia, gagal ginjal
Efek Samping:
gangguan saluran cerna, mulut kering, ruam kulit; sedikit penurunan tekanan darah,
hiperkalemia, hiponatremia; juga dilaporkan fotosensitivitas dan gangguan darah; triamteren
ditemukan pada batu ginjal.
Dosis:
Awal, 150-250 mg per hari, dosis dikurangi menjadi setiap dua hari setelah satu minggu;
diberikan dalam dosis terbagi setelah sarapan dan makan siang; dosis awal yang lebih rendah
jika diberikan bersama diuretika lain.

Antagonis Aldosteron.
Aldosteron merupakan mineralokortikoid yang dibentuk pada kelenjal adrenal. Saat aldosteron
disekresikan dari kelenjar adrenal, aldosteron akan berikatan dengan reseptor
mineralokortikoid pada sel tubulus renal dan membentuk kompleks. Kompleks ini akan
meningkatkan transkripsi dari segmen DNA spesifik pada nukleus yang menyebabkan
permbentukkan dari 2 protein transporter, yaitu Na+/K+ ATPase pump pada membran
basolateral dan kanal Na+ yang disebut ENaC yang terletak pada membran apikal dari sel
tubulus renal. Protein transporter ini menyebabkan peningkatan dari reabsorpsi sodium dan
ekskresi potasium pada tubulus distal dam tuulus kolektifus dari ginjal. Antagonis reseptor
mineralokortikoid menurunkanefek aldosteron dengan berikatan pada reseptor
mineralokortikoid sehingga menginhibisi aldosteron. Hal ini menyebabkan peningkatand ari
kadar potasium pada serum dan peningkatan ekskresid ari natrium sehingga terjadi penurunan
cairan tubuh dan menurunnya tekanan darah.

Spironolakton.
Indikasi:
edema dan asitas pada sirosis hati, asites malignan, sindroma nefrotik, gagal jantung kongestif;
hiperaldosteronism primer.
Peringatan:
produk-produk metabolik berpotensi karsinogenik pada hewan mengerat; usia lanjut; gangguan
hati; gangguan ginjal (hindari bila sedang sampai berat); pantau elektrolit (hentikan bila terjadi
hiperkalemia, hiponatremia; penyakit Addison).
Efek Samping:
gangguan saluran cerna; impotensi, ginekomastia, menstruasi tidak teratur, letargi, sakit
kepala, bingung; ruam kulit; hiperkalemia; hiponatremia; hepatotoksisitas, osteomalasia, dan
gangguan darah dilaporkan.
Dosis:
100-200 mg sehari, jika perlu tingkatkan sampai 400 mg; Anak. dosis awal 3 mg/kg bb dalam
dosis terbagi.

Eplerenon.
Indikasi:
tambahan terapi standar termasuk beta bloker untuk mengurangi risiko mortalitas dan
morbiditas kardiovaskuler pada pasien disfungsi ventrikel kiri yang stabil LVEF < 40%,
dengan bukti klinis gagal jantung setelah infark miokard.
Peringatan:
periksa kadar kalium plasma sebelum terapi, selama pemberian awal, dan saat perubahan dosis;
lansia, gangguan fungsi hati; gangguan fungsi ginjal (lampiran 3); kehamilan (lampiran 4);
menyusui (lampiran 5).
Interaksi:
diuretika (lampiran 1).
Kontraindikasi:
hiperkalemia, penggunaan bersamaan dengan diuretika hemat kalium, atau suplemen kalium;
hipersensitif terhadap komponen obat, gangguan fungsi ginjal (bersihan kreatinin di bawah 50
mL/menit), gangguan fungsi hati, pasien dengan kadar kalium serum awal di atas di atas 5,0
mmol/L.
Efek Samping:
diare, mual; hipotensi; pusing; hiperkalemia; lebih jarang perut kembung, muntah, atrial
fibrillation, hipotensi postural, arterial thrombosis, dislipidemia, faringitis, sakit kepala,
insomnia, pyelonefritis, hiponatremia, dehidrasi, eosinofilia, asthenia, malaise, sakit
punggung, kram kaki, gangguan fungsi ginjal, azotemia, berkeringat, gatal.
Dosis:
dosis awal 25 mg sehari sekali, ditingkatkan dalam 4 minggu sampai 50 mg sehari sekali
dengan mempertimbangkan kadar kalium serum (lihat tabel).
Tabel pengaturan dosis sesudah pemberian awal.

Kalium
serum Tindakan Penyesuaian dosis
(mmol/L)

1x25 mg setiap dua hari menjadi 1x25 mg


setiap hari
<5,0 Ditingkatkan
1x25 mg setiap hari menjadi 1x50 mg setiap
hari

5,0–5,4 Tetap Tidak ada penyesuaian dosis

1x50 mg setiap hari menjadi 1x25 mg setiap


5,0–5,9 Diturunkan hari
1x25 mg setiap hari menjadi 1x25 mg setiap
dua hari
1x25mg setiap dua hari menjadi dihentikan

>6,0 Dihentikan Tidak ada

Terapi eplerenon biasanya dimulai antara 3-14 hari setelah infark miokard akut; pasien dengan
kalium serum di atas 5,0 mmol/L tidak boleh dimulai dengan eplerenon, kalium serum harus
diukur sebelum memulai terapi eplerenon selama satu minggu dan satu bulan, sesudah
dimulainya terapi atau penyesuaian dosis; kalium serum harus dinilai secara periodik; tidak
dianjurkan untuk anak-anak.
Eplerenon dihentikan karena kalium serum > 6,0 mmol/L, eplerenon dapat dimulai kembali
dengan dosis 25 mg dua kali sehari jika kadar kalium serum menurun di bawah 5,0 mmol/L

CCB dihydropyridine
1. Amlodipin
- Cara kerja: inhibisi influx Ca ke dalam sel otot polos pembuluh darah  cegah
vasokonstriksi  buat vasodilatasi  turunkan resistensi perifer
*amlodipin, nifedipin, dll  golongan dihidropiridin  efeknya lebih dominan di
pembuluh darah, efek depresi cardiacnya minimal bila dibandingkan dgn CCB non-
dihydropiridin (mis verapamil, diltiazem)
- Sediaan: tablet 5, 10 mg
- Dosis: 10 mg, 1x sehari
- ES: edema, pusing, flushing, palpitasi, sakit kepala, mual, nyeri perut, mengantuk

2. Verapamil
- Cara kerja: inhibisi influx Ca ke dalam
o Sel otot jantung  kurangi frekuensi denyut jantung dan cardiac output
o sel otot polos pembuluh darah  cegah vasokonstriksi  buat vasodilatasi 
turunkan resistensi perifer
- Sediaan:
o tablet 40, 80, 120 mg
o ampul 2,5 mg/mL (2, 4 mL)  untuk aritmia
- Dosis
o 240-480 mg/hari, dibagi 3-4 x/hari
- KI: hipersensitivitas, syok kardiogenik, CHF berat, sick sinus syndrome, AV block
ES: flushing, pusing, mual, konstipasi, edema perider, depresi cardiac berlebih, termasuk
bradikardia, AV block, henti jantung, gagal jantung

CCB NON DIHYDROPYRIDINES


Sediaan: tab 80 mg ( verapamil), 30 mg ( diltiazem)
Dosis: 240-320 mg / hari (verapamil), 90 -360 mg/ hari ( diltiazem)
Indikasi: Angina Pektoris, Hipertensi, Aritmia
Mekanisme Kerja:
Kanal calcium tipe L adalah jenis kalah calcium yang paling dominan di jantung dan otot
polos. Kanal tipe L ini mempunyai beberapa jenis reseptor untuk obat. Terdiri dari α1, α2, β,
γ, and δ subunits. Ada 4 varian subunit α1. Nifedipine dan dihydropyridines jenis lain telah
terbukti hanya mengikat di salah satu varian subunit α1. Sementara verapamil dan diltiazem
berikatan di reseptor yang berhubungan dekat tapi tidak identic pada daerah lain disubunit
yang sama.
Obat ini bekerja dari sisi dalam membrane dan berikatan lebih efektif pada kanal yang
terbuka dan kanal yang inaktif. Ketika berikatan dengan obat frekuensi pembukaan kanal
akan menurun sebagai response dari depolarisasi. Hal ini akan menyebabkan penurunan arus
calcium transmembrane yang efeknya akan menyebabkan relaksasi otot polos dan pada otot
jantung akan menyebabkan penurunan kontraktilitas.
Contoh obat: verapamil (Phenylalkylamines) dan diltiazem ( benzodiazepine)

Peringatan: Kedua obat ini tidak vasoselektif sehingga akan ada efek inotropic dan
chronotropic

Efek samping : Bradikardi. Konstipasi, Lelah, Pusing, Sakit kepala, Mual

Interaksi obat: erythromycin, obat golongan rifamycin (misalnya rifampicin), ritonavir,


asunaprevir, colchicine, flibanserin, ivabradine, lomitapide, midazolam, triazolam, aliskiren,
clonidine, disopyramide, dofetilide, dolasetron, fingolimod, dan lithium

Kontraindikasi: Bradikardi, Hipotensi, Severe Heart Failure, Penyakit ginjal kronis, Wolff-
Parkinson-White syndrome

Alfa bloker
Memblokade adrenoreseptor alpha-1 pada otot polos pembuluh darah, sehingga
menyebabkan vasodilatasi, menurunkan retensi perifer dan menurunkan tekanan
darah. Obat yang sering digunakan sebagai antihipertensi antara lain:
2. Prazosin
Piperazinil kuinazolin yang efektif mengatasi hipertensi. Selektif untuk reseptor alpha-1,
1000 kali kurang poten untuk alpha 2.

Anda mungkin juga menyukai