Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara
Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara
A. Sejarah Nusantara
Ancangan Sejarah manapun tidak akan mencapai tujuannya jika tidak
memperhatikan faktor geografis. Berdasarkan latar belakang historis bahwa tata
”Nusantara” adalah sebuah kata majemuk yang diambil dari bahasa Jawa kuno.
Kata ini terdiri dari kata-kata nusa yang berarti ‘pulau’ dan antara berarti ‘lain’.
Istilah ini digunakan dalam konsep kenegaraan “Jawa” artinya daerah di luar
pengaruh budaya Jawa. Dalam penggunaan bahasa modern, istilah nusantara
biasanya meliputi daerah kepulauan Asia Tenggara atau wilayah Austronesia.
Sehingga pada masa sekarang ini banyak orang menggunakan istilah geografis ini
untuk menunjukkan sebagai satu kesatuan pulau di Nusantara termasuk wilayah-
wilayah di Semenanjung Malaya (Malaysia, Singapura) dan Filipina bahkan
beberapa negara di wilayah Indochina seperti Kamboja akan tetapi tidak termasuk
wilayah Papua.
Di sisi lain, istilah geografis Nusantara saat ini sering diartikan sebagai
Indonesia yang merupakan satu entitas politik. Fokus dari diskusi buku ajar ini
adalah kepada istilah geografis Nusantara sebagai wilayah Indonesia pada masa
sekarang ini.
1. Sejarah Singkat Nusantara
Wilayah Nusantara terletak pada persilangan jalan, antara Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik, atau lebih khusus, Benua Asia dan Australia.
Persilangan ini telah menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat
persinggahan bagi pelayar dan pedagang terutama dari China ke India atau
sebaliknya. Persinggahan para pelayar dan pedagang dari berbagai
mancanegara telah menjadikan Nusantara sebagai tempat kehadiran semua
kebudayaan besar didunia. Bukti-bukti penemuan artefak-artefak seperti
prasasti, uang logam dan gerabah memberikan informasi kehadiran bangsa-
bangsa besar tersebut. Seperti prasasti berbahasa Tamil ditemukan di desa
Wujud akulturasi dari masjid kuno seperti yang tampak pada gambar
memiliki ciri sebagai berikut: Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap yang
bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas berbentuk
limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah dengan
kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan
Mustaka.Tidak dilengkapi dengan menara, seperti lazimnya bangunan masjid
yang ada di luar Indonesia atau yang ada sekarang, tetapi dilengkapi dengan
kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan atau panggilan sholat. Bedug dan
kentongan merupakan budaya asli Indonesia.Letak masjid biasanya dekat dengan
istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat
keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat
pada bangunan makam. Untuk itu silahkan Anda simak gambar 2 makam Sendang
Duwur berikut ini:
Masjid Menara Kudus (disebut juga sebagai mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al
Manar) adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi
Pengaruh sistem 3 tahap hidup religious manusia ini bertahan cukup lama.
Bahkan ia banyak diadaptasi oleh bangunan-bangunan yang dibangun pada masa
yang lebih kekinian. Bangunan-bangunan yang memiliki ciri seperti ini beranjak
dari bangunan spiritual semisal masjid maupun profan (biasa) semisal Gedung
Sate di Bandung.
Arsitektur semacam candi ini sebagian terus bertahan dan mempengaruhi
bangunan-bangunan lain yang lebih modern. Misalnya, Masjid Kudus
mempertahankan pola arsitektur bangunan Hindu ini. Masjid Kudus aslinya
bernama Masjid Al Aqsa, dibangun Jafar Shodiq (Sunan Kudus) tahun 1549 M.
Yang unik adalah, sebuah menara di sisi timur bangunan masjid menggunakan
arsitektur candi Hindu.
A. Arsitektur Dayak
1. Sekilas Tentang Dayak
Dayak merupakan nama kolektif untuk demikian banyak suku asli di
Kalimantan, yang sebagian besar menghuni daerah pedalaman. Daerah
hilir atau daerah pantai yang mengitari mereka dihuni oleh orang Melayu,
Banjar, Bugis, Jawa, Madura, dan lain-lain.
Suku Dayak, sebagaimana suku lainnya , memiliki kebudayaan dan
adat istiadat yang berlaku bagi mereka. Kebudayaan Dayak terus
mengalami perubahan karena pengaruh dari luar dan dalam. Beberapa
program pembangunan dan pembaharuan, kurang menghargai nilai-nilai
budaya yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Dayak. Pada
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kurang memahami pola
kehidupan dan cara berpikir masyarakat Dayak. Contohnya adalah
“rumah panjang” atau rumah betang orang Dayak, yang dipandang
sebagai salah satu faktor penghambat dalam pembinaan dan
pembangunan masyarakat yang modern.
2. Makna Rumah
Rumah betang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang
bersambung telah dikenal hampir oleh seluruh suku Dayak. Orang Iban
menyebutnya “betai panjae”, dan orang Banuaka menyebutnya “sao
langke”.
Rumah betang memberikan makna tersendiri bagi penghuninya.
Bagi masyarakat Dayak, rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka
karena hampir seluruh kegiatan hidup mereka berlangsung disana. Ralp
Linton ( dalam The Culture Background of Personality, New York:
Appleton-Century-Croft, 1945, yang dimuat oleh editor T.O Ilrohmi
Bentuk kedua dinamakan Pandoko Dena. Bentuk ini biasa disebut pondok
pipit karena letak-nya yang diatas pohon. Pada prinsipnya rumah ini dibuat atas 4
pohon yang berdekatan dan berfungsi sebagai tiang. Hal pemindahan tempat ini
mungkin disebabkan adanya gangguan binatang buas.
Perkembangan ke-5 masih berupa rumah pangqung sederhana tetapi dengan tiang
yang lain. Untuk keamanan hewan yang dikandangkan dikolong rumah itu. Tiang-
tiang dibuat sedemikian rupa, sehingga cukup aman. Biasanya tiang itu tidak
dipasang dalam posisi vertikal tetapi merupakan susunan batang yang disusun
secara horisontal .
Lama sesudah itu terjadi perubahan yang banyak. Perubahan itu sudah
meliputi atap, fungsi ruang dan bahan. Dalam periode ini tiang-tiang kembali
dipasang vertikal tetapi dengan jumlah yang tertentu. Atap mulai memakai bambu
Pada periode ini hanya terjadi perkembangan pada lantai dan tangga yang
berada di bagian depan.
2. Keseimbangan, Ritme
Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang
sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol
keseragaman.
4. Bagian atas/atap
Secara horisontal, rumah adat Kajang juga terdiri atas 3 bagian, yaitu:
Ruang depan (latta riolo) yang digunakan sebagai dapur dan ruang
tamu.
Ruang tengah (latta tangaga) digunakan untuk ruang makan, ruang
tamu adat, dan juga ruang tidur untuk anggota keluarga.
Ruang belakang (Tala) menjadi bilik kepala keluarga dan dibatasi
oleh dinding papan atau bambu. Lantai bilik ini lebih tinggi sekitar 30
cm (3 latta = genggam pemilik rumah) dari lantai ruang tengah dan
dapur.
Sebagai salah satu rumah khas tradisional asal Tanah Papua, Honai
memang tergolong unik. Selain menjadi istana pemberi kenyamanan bagi
penghuninya, di dalam Honai pun terkandung nilai-nilai filosofis budaya yang
tinggi.
Jadi tidak benar jika sejauh ini ada anggapan miring bahwa
masyarakat asli di Pegunungan Tengah Papua biasanya tidur bersama
ternak babi di dalam honai mereka. Sebab ada honai yang dibangun khusus
untuk memelihara babi. Dari modelnya, honai sering dibangun berbentuk
bulat dan pada atap bagian atasnya yang berbentuk kerucut atau kubah
(dome) di tutup dengan alang-alang. Garis tengah (diameter) mencapai 5
sampai 7 meter, tergantung tujuan pemanfaatannya. Honai bagi kaum
perempuan, bentuknya lebih pendek.
Berdasarkan pembahasan dalam kajian ini dapat ditarik dua simpulan sebagai
berikut.
1. Tekanan rasionalitas atas moralitas arsitektur Nusantara dalam modernisme
menjadikan fungsi dan makna esensial (moralitas) dari berarsitektur bukan
lagi menjadi pertimbangan dominan untuk menjaga keselarasan alam dan
ruang bersama masyarakatnya, tetapi digantikan oleh pertimbangan nilai
tukar yang akan diperoleh. Oleh karenanya, moralitas yang dikandung
arsitektur Nusantara hendaknya senantiasa dipertahankan dan dikembangkan
dalam konteks kekinian sehingga arsitektur Nusantara tidak lagi diposisikan
sebagai produk budaya kuno yang eksistensinya begitu terikat pada masa lalu,
namun dimaknai sebagai arsitektur masa depan yang mampu menjaga
keselarasan alam dan ruang bersama masyarakat.
2. Arsitektur Nusantara sebagai bahasa (sarana komunikasi visual) dalam
membangun kesadaran kolektif masyarakatnya memerlukan bahasa yang
dikuasai dan dipahami oleh masyarakat itu sendiri yang lazim disebut “bahasa
ibu”, yaitu bahasa yang bersumber pada lokalitas dan moralitas masyarakat
pendukungnya yang selanjutnya disebut dengan kearifan lokal. Oleh
karenanya, kearifan lokal hendaknya dijadikan dasar pengembangan
arsitektur Nusantara yang selalu berorientasi pada kebenaran, keindahan, dan kebaikan
dalam menjaga keselarasan alam dan ruang hidup bersama masyarakat.
o http://queensha66.blogspot.com/2010/07/sejarah-perkembangan-
arsitektur.html
o http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292
o http://arsitektur.blog.gunadarma.ac.id/?p=292
o http://adhycoken.blogspot.com/2012/10/arsitektur-rumah-adat-betang-
suku-dayak.html
o http://elliana063.blogspot.com/2013/02/arsitektur-islam-di-indonesia.html
o http://chandrati09.blogspot.com/2011/05/pengaruh-india-di-bidang-
arsitektur.html
o http://adhycoken.blogspot.com/2012/10/arsitektur-tradisional-tongkonan-
toraja.html