Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan
terutama di negara berkembang seperti di Indonesia. Berdasarkan hasil laporan
Riskesdas (2018), angka kesakitan Tuberkulosis Paru terjadi hampir di seluruh
wilayah Indonesia.1,2 Prevalensi Tuberkulosis Paru pada tahun 2008 sampai tahun
2018 sebanyak 725 per 100.000 penduduk berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
dan/atau foto paru. Di Indonesia sejak tahun 2008-2018, Case Notification Rate
(CNR) dan (Global Report TB 2018) mengalami peningkatan yang berarti yaitu dari
131 pada tahun 2008 menjadi 321 per 100.000 penduduk pada tahun 2018 yang
sekaligus merupakan capaian tertinggi. Target Renstra pada 2019 Prevalensi TB Paru
menjadi 245 /100.000.3,4
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2019 Indonesia menduduki
peringkat ke-3 berdasarkan jumlah kasus insiden tuberkulosis tahun 2018. Dengan
angka prevalensi 321.000-110.000, kasus insidensi TB-HIV 8.700-20.000, dan
kematian TB-HIV 2.200-6.200.1 Tahun 2019 kasus TB-HIV sebanyak 124 kasus,
kasus AIDS sebanyak 190 kasus di mana 140 kasus meninggal, kasus HIV sebanyak
120 kasus.5,6
Kombinasi obat anti TB (OAT) efektif untuk mengatasi infeksi TB, namun
penggunaannya berhubungan dengan risiko jejas hati imbas obat (drug induced liver
injury, DILI), yang merupakan salah satu masalah kesehatan yang memiliki tantangan
diagnosis tersendiri.7 DILI dapat menyerupai hampir semua jenis penyakit hati, dan
saat ini diagnosis DILI dilakukan per eksklusionam karena tidak terdapat penanda
biologis maupun pemeriksaan spesifik yang dapat menegakkan diagnosis DILI.8
Karena itu, pentingnya menggali seluruh data klinis maupun biokimia yang
berhubungan dengan jejas hati, data ini merupakan kunci penting untuk menentukan
karakteristik dan pola jejas hati agar dapat membantu menegakkan diagnosis.
Peningkatan kadar enzim hati alanin transaminase (ALT), aspartat aminotransferase
(AST), dan fosfatase alkali (ALP) dianggap sebagai indikator jejas hati.9
OAT lini pertama yang berhubungan dengan DILI antara lain pirazinamid,
rifampisin, dan INH. DILI akibat OAT ini merupakan reaksi efek samping yang telah
diketahui secara luas, dan terjadi sekitar 5-33% pasien.10,11
Berikut disajikan suatu laporan kasus seorang laki-laki 41 tahun Dilaporkan
dengan DILI akibat konsumsi OAT yang hanya ditandai peningkatan bilirubin dan
ALP, dengan hasil AST dan ALT yang normal, yang perlu ditelaah lebih lanjut
mengenai tipe DILI yang terjadi serta OAT mana yang menyebabkan terjadinya DILI
pada pasien ini, ditambah dengan adanya faktor komorbid yang lain yaitu kolelitiasis
dan B20 stadium 3. Kasus ini diangkat sebagai kasus demonstrasi karena masih
banyak yang belum memahami bagaimana cara mendesensitisasi obat OAT setelah
terjadi DILI, dan seringkali pasien yang terdiagnosis HIV disertai Penyakit TB Paru
terlambat terdiagnosis, serta dibutuhkan kerjasama dari berbagai disiplin ilmu untuk
membantu penegakkan diagnosis dan mengatasi berbagai komplikasi yang muncul.

Anda mungkin juga menyukai