PENDAHULUAN
1
Penyebab tingginya angka prevalensi hipertensi ini sering dihubungkan
dengan hipertensi primer karena sekitar 90% dari kejadian hipertensi yang banyak
terjadi yaitu hipertensi primer, banyak para ahli yakin bahwasanya hipertensi
primer diakibatkan oleh faktor gaya hidup yang kurang sehat seperti banyak
mengonsumsi makanan berlemak, kurang aktivitas fisik, stress, merokok dan
alkohol sehingga dapat memicu berbagai penyakit termasuk obesitas dan
hipertensi primer.5,6
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko yang bisa menimbulkan tekanan
darah meningkat sehingga perlu diwaspadai. Perihal ini disebabkan tambahan
beberapa kilogram berat badan akan membuat jantung bekerja lebih keras serta
kelebihan lemak viseral lebih berisiko terhadap kejadian hipertensi. 6
Bersumber pada laporan Riskesdas RI Tahun 2018, diketahui terjadi
peningkatan proporsi obesitas pada penduduk berumur >18 tahun, dari 19,7%
pada tahun 2013 menjadi 21,8% pada tahun 2018.4 Hasil penelitian Sulastri, dkk
terkait hubungan antara obesitas dengan kejadian hipertensi pada penduduk etnis
minangkabau menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara obesitas (p < 0,05;
OR = 1,82) serta obesitas sentral (p < 0,05; OR = 2,72) dengan kejadian
hipertensi.7
Setiap faktor risiko hipertensi mempunyai nilai kecenderungan yang bervarisi.
Berdasarkan pada faktor resiko yang bisa dikontrol, faktor obesitas memiliki nilai
Odd Ratio (OR) paling tinggi dengan nilai sebesar 2,8. Perihal ini menunjukkan
jika orang Indonesia dengan obesitas memiliki resiko 2,8 kali lebih besar
terserang hipertensi dijelaskan pada penelitian Rahajeng dan Tuminah. 8 Penelitian
Pradono dan Natalia dkk memperkuat penelitian tersebut yang menunjukkan jika
orang dengan obesitas memiliki resiko 2 kali lebih besar terserang hipertensi
apabila dibanding dengan orang yang memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT)
normal.9,10
Kelebihan berat badan dan obesitas bisa diukur dengan menggunakan
penilaian antropometri pada status gizi. Indikator penentuan obesitas atau
biasanya dikenal indikator nutrisi yang berkaitan dengan tekanan darah
diantaranya yaitu Rasio Lingkar Pinggang terhadap Lingkar Panggul (RLPP),
2
Rasio Lingkar Pinggang terhadap Tinggi Badan (RLPTB), A Body Shape Index
(ABSI), Lingkar Pinggang (LiPi) dan Indeks Massa Tubuh (IMT).11
Perlu dilakukan perubahan pola hidup untuk mencegah penyakit lebih lanjut
sedini mungkin. Sebagaimana yang dikemukakan oleh WHO bahwa keluhan
kesehatan seperti stroke, gagal ginjal dan serangan jantung dapat diminimalisir
dengan cara pendeteksian dini hipertensi dan ini juga bermanfaat untuk mencegah
pertambahan kasus hipertensi di Indonesia.12 Permasalahan ini juga memiliki
kaitan antara tekanan darah dengan faktor risiko yang dapat diubah yaitu Indeks
Massa Tubuh (IMT).13
World Health Organization (WHO) dan National Institute of Health telah
memberikan panduan penggunaan Indeks Massa Tubuh (IMT) sebagai ukuran
kriteria cutpoints untuk kelebihan berat badan dan obesitas. Overweight serta
obesitas bisa mengakibatkan kelainan metabolisme yang bisa mempengaruhi
tekanan darah, kolesterol, trigliserid dan resistensi hormon insulin. Peningkatkan
kadar asam lemak bebas, peningkatan insulin, leptin, aldosteron dan peningkatan
aktifitas sistem renin angiotensin pada obesitas bisa menstimulasi peningkatan
aktifitas sistem saraf simpatis yang menyebabkan retensi cairan dan natrium serta
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah atau hipertensi. 14
Indeks Massa Tubuh (IMT) memang tidak mengukur lemak tubuh secara
langsung, tetapi hasil riset telah menunjukkan bahwa IMT berkolerasi dengan
pengukuran lemak tubuh secara langsung. IMT merupakan metode yang tidak
mahal serta gampang dilakukan untuk memberikan indikator atas lemak tubuh dan
dipergunakan untuk skrining berat badan yang dapat mengakibatkan problema
kesehatan.14
Titik potong nilai lMT yang digunakan yaitu mengacu pada titik potong IMT
Nasional yang digunakan di Indonesia. Klasifikasi status obesitas yang digunakan
adalah berdasarkan pada nilai IMT ≥27 tanpa membedakan jenis kelamin.15 Akan
tetapi, penelitian Harahap dkk menunjukkan bahwa jika IMT >23 maka sudah
berisiko 2, 1 kali dari IMT <23 untuk terkena hipertensi. Pada IMT 25, risiko ini
meningkat menjadi 2,4.16 Selain itu, penelitian sejenis juga telah dilakukan oleh
Triwinarto dkk yang menunjukkan bahwa cut off point terbaik untuk risiko
3
hipertensi laki-laki adalah berkisar 22-23. Namun, validitasnya masih rendah
yaitu sensitivitas 62,5 dan spesifisitas 63,6 serta 23-24 pada sensitivitas 61,9 dan
spesifisitas 56,9 untuk perempuan. Oleh karena itu, perlu pertimbangan kembali
mengenai perubahan titik potong/cut off point IMT sebagai salah satu indikator
hipertensi di Indonesia.17
Untuk mendapatkan nilai titik potong yang paling optimal yang maka
digunakan uji diagnostik. Test diagnostik adalah sebuah cara (alat) untuk
menentukan apakah seseorang menderita penyakit atau tidak, berdasarkan adanya
tanda dan gejala pada orang tersebut. Berdasarkan kegunaannya uji diagnostik
dapat dibagi menjadi dua, yaitu untuk skrining pada subjek dan alat menegakkan
diagnosis.18
Berdasarkan data di atas, didapatkan suatu gambaran bahwa hipertensi ialah
persoalan kesehatan yang potensial. Bila dibiarkan tidak diobati, keadaan ini akan
mengakibatkan berbagai macam komplikasi berupa kerusakan organ-organ serta
kasus fatal bisa menyebabkan gagal ginjal, penyakit jantung maupun stroke yang
tidak jarang berujung pada kematian. Pengetahuan akan faktor-faktor yang paling
berperan dalam terjadinya hipertensi akan sangat membantu dalam upaya deteksi
dini yang nantinya bisa mencegah komplikasi serta persoalan yang timbul karena
terlambatnya penegakan diagnosis hipertensi, untuk itu peneliti tertarik
menemukan nilai titik potong IMT paling optimal dengan menggunakan uji
diagnostik sebagai alat prediksi hipertensi sesuai jenis kelamin sehingga
menghasilkan penelitian yang berjudul “Validitas Titik Potong Indeks Massa
Tubuh sebagai Prediktor Kejadian Hipertensi di Indonesia (Analisis
Riskesdas 2018)”.
4
berdasarkan populasi orang Indonesia. Beberapa penelitian telah menyarankan
penggunaan nilai titik potong IMT yang lebih rendah sebagai alat deteksi dini
hipertensi yaitu 22, 23 dan 24. Oleh karena itu, peneliti berharap berdasarkan
analisis data Riskesdas RI Tahun 2018 dapat menemukan nilai titik potong IMT
paling optimal sebagai prediktor hipertensi pada orang dewasa.
5
1.4.2 Bagi Praktis
1. Bagi institusi penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi
dan tambahan pengetahuan bagi mahasiswa/i akademik perguruan
tinggi tentang metode pengukuran antropometri.
2. Bagi peneliti lain atau selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan rujukan bagi yang ada ketertarikan dengan metode
pengukuran antropometri, terutama dalam menilai dan mengevaluasi
kesesuaian titik potong Indeks Massa Tubuh sebagai alat screening
hipertensi.
3. Bagi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan dalam membuat penentuan titik
potong IMT sebagai indikator obesitas yang berpengaruh terhadap
kejadian hipertensi.