Anda di halaman 1dari 73

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tekanan darah adalah kekuatan darah untuk melawan tekanan dinding

arteri ketika darah tersebut dipompa oleh jantung ke seluruh tubuh. Semakin

tinggi tekanan darah maka semakin keras jantung bekerja. Hipertensi

merupakan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat modern saat ini.

Word Health Organization (WHO) menyatakan bahwa hipertensi merupakan

suatu kondisi dimana pembuluh darah memiliki tekanan darah tinggi (tekanan

darah sistolik ≤ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg).

Hipertensi adalah meningkatnya adrenalin tekanan darah melalui

kontraksi arteri (vasokonstriksi) dan terjadi peningkatan denyut jantung.

Sebagai contoh jika seseorang mengalami stress yang berlanjut, maka tekanan

darah akan tetap tinggi sehingga orang tersebut mengalami hipertensi

(Junaidy, 2015). Hipertensi juga disebabkan oleh kebiasaan hidup atau

perilaku mengkonsumsi garam yang tinggi, kegemukan, stress, merokok dan

minuman alkohol (Padila, 2013).

Menurut WHO pada tahun 2015 menunjukkan sekitar 1,13 miliar orang

di dunia menderita hipertensi. Artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis

menderita hipertensi. Jumlah penderita hipertensi di dunia terus meningkat

setiap tahunnya, diperkirakan pada 2025 akan ada 1,5 miliar orang yang

terkena hipertensi. Dan sekitar 9.4 juta orang meninggal di dunia akibat

1
hipertensi dan komplikasinya. Sementara itu sekitar sepertiga dari orang

dewasa di Asia Timur-Selatan yang menderita hipertensi, (WHO, 2015).

Indonesia merupakan salah satu Negara di kawasan benua Asia dan

berada pada urutan ke-3 penyumbang terbesar kasus hipertensi di seluruh

dunia, (dokter sehat, 2017). Prevalensi penyakit hipertensi di Indonesia,

berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada penduduk usia 18 tahun ke

atas mengalami kenaikan, yakni dari 25,8% pada tahun 2013 menjadi 34,1%,

di tahun 2018, (Riskesdas, 2018). Hipertensi banyak terjadi pada umur 35-44

tahun (6,3%), umur 45-54 tahun (11,9), dan umur 55-64 tahun (17,2%),

dengan kasus terbanyak pada status ekonomi menengah bawah sampai

menengah dengan total prosentase sebanyak 53,1%, (Depkes, 2017).

Tingginya prevalensi hipertensi menurut Ainun, Arsyad dan Rismayanti

(2015), dikarenakan gaya hidup yang tidak sehat seperti kurangnya

olahraga/aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan makan makanan yang tinggi

kadar lemaknya. Kebiasaan merokok pada seseorang dapat menyebabkan

masuknya zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida

yang masuk ke dalam aliran darah melalui hisapan rokok, yang lama -

kelamaan dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri yang

mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan darah tinggi (Depkes,

2006).

Menurut data Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (2015)

berdasarkan pola 10 penyakit terbanyak di puskesmas dan pasien rawat jalan

tahun 2015 kasus hipertensi berada pada urutan ke lima, dengan jumlah kasus

2
sebanyak 39.344 kasus, sementara itu kabupaten kupang menepati posisi

kedua kasus hipertensi kategori usia 18 tahun ke atas pada tahun 2015, dengan

jumlah kasus 7.716 (41%). (Profil Kesehatan Ptovinsi NTT 2015).

Peningkatan tekanan darah tinggi (hypertension), sangat erat

hubungannya dengan salah satu faktor pencetus yakni merokok. Berdasarkan

laporan Depkes (2006), merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin

tinggi dan meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.

Saat ini merokok merupakan suatu pandangan yang sangat tidak asing

lagi. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi

perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi perokok

itu sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Hal ini sebenarnya telah

diketahui oleh masyarakat. Masalah rokok pada hakekatnya sudah menjadi

masalah nasional (Setiyanto, 2013).

Kandungan zat-zat berbahaya dalam sebatang rokok sangat

mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang. Sebagai contoh nikotin dalam

rokok merangsang pelepasan ketokolamin, dari peningkatan ketokolamin ini

menyebabkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung dan

menyebabkan vasokonstriksi (penyempitan) yang mana pada akhirnya

meningkatkan tekanan darah, (Ainun, dkk, 2015).

Menurut WHO diperkirakan jumlah perokok usia 15 tahun ke atas di

Indonesia pada tahun 2015, sebesar 36% atau sekitar 60 juta penduduk

Indonesia yang merokok secara rutin, (WHO, 2015).

3
Perokok di NTT merupakan gabungan dari rokok hisap dan rokok

kunyah yang merupakan tradisi masyarakat dari daerah NTT paling besar,

tingkat konsumsi rokok yakni sekitar 55,7 persen jauh di atas konsumsi

nasional, 29,3 persen. Padahal NTT adalah provinsi paling miskin di

Indonesia dan konsumsi merokok menyebabkan NTT semakin miskin.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menyebutkan, tahun 2012

jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 1.000.300 dan tahun 2013

sebanyak 1.006.900 jiwa atau naik sebesar 0,66 persen. Dibandingkan

provinsi lain di Indonesia, jumlah penduduk miskin di NTT menempati urutan

ketiga sebesar 20,03 persen dari jumlah penduduknya sebanyak 4.776.485

jiwa dan ukuran garis kemiskinan di NTT sebesar Rp 235.805 perbulan.

Dibandingkan seluruh provinsi di Indonesia, NTT menempati urutan

ketiga perokok terbanyak. Sedangkan untuk jumlah pengunyah tembakau

terbanyak, NTT menempati urutan pertama di Indonesia. Hal tersebut

dibuktikan dengan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara

Timur (2017), kebiasaan merokok tembakau setiap hari pada masyarakat NTT

pada tahun 2016 sebesar 13, 89% mengalami kenaikan menjadi 16,19% pada

tahun 2017. Sementara itu kabupaten kupang sendiri mengalami kenaikan

kasus yakni dari 11,85% pada tahun 2016 naik menjadi 14,50% di tahun 2017

kasus, (Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, 2017).

Menurut Triyani (2006) merokok dianggap membawa dampak buruk

bagi kesehatan. Seseorang yang merokok 10 batang atau lebih per hari,

memiliki harapan hidup rata-rata 5 tahun lebih pendek dan beresiko 20 kali

4
lebih tinggi terkena berbagai macam penyakit sepeti kanker paru, hipertensi

atau penyakit jantung dan lain-lain (The Tobacco Atlas, 2015). Kebiasaan

merokok pada seseorang dapat diukur melalui jumlah dan jenis rokok yang

dihisap, waktu / lama merokok, dan derajat merokok (Komalasari & Helmi

2015).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, di

Kelurahan Naibonat RT 049 / RW 019 pada 24 Januari 2019 didapatkan data,

total kk sebanyak 45 dengan jumlah penduduk sebnayak 240 jiwa. Laki-laki

sebanyak 102 orang dan jumlah perempuan sebanyak 137 orang. Melalui

wawancara singkat yang dilakukan oleh peneliti pada 10 kk dengan jumlah

anggota keluarga 14 orang, didapatkan data 8 orang mengatakan merokok

aktif sejak usia remaja dan 4 diantaranya saat ini menderita hipertensi dan

melakukan rawat jalan di RSUD Naibonat, sedangkan 6 orang lainnya tidak

merokok. Dari 8 orang yang merokok dilakukan pengukuran tekanan darah

dengan hasil, nilai pengukuran tekanan darah lebih tinggi dibandingkan

dengan mereka yang tidak merokok. Angka kejadian ini cukup signifikan

sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Hubungan Kebiasaan Merokok Pada Laki-Laki Usia 35-65 tahun terhadap

Resiko Peningkatan Hipertensi Di Wilayah Kelurahan Naibonat RT 047 / RW

019”

5
1.2 Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

1.2.1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, dapat

diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :

1. Masih tingginya pravelensi hipertensi pada tahun 2013 sebesar

25,8% kasus, mengalami kenaikan pada tahun 2018 menjadi

34,1%, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 miliar

orang yang terkena hipertensi.

2. Peningkatan tekanan darah tinggi (hypertension), sangat erat

hubungannya dengan salah satu faktor pencetus yakni merokok.

3. Tingginya prevalensi hipertensi menurut Ainun, dikarenakan

gaya hidup yang tidak sehat seperti kurangnya olahraga/aktivitas

fisik, kebiasaan merokok, dan makan makanan yang tinggi

kadar lemaknya.

4. NTT menempati urutan ketiga perokok terbanyak dari seluruh

provinsi di Indonesia

5. Kebiasaan merokok setiap hari pada masyarakat NTT

mengalami kenaikan yakni dari tahun 2016 sebesar 13, 89%

naik menjadi 16,19% pada tahun 2017.

1.2.2. Batasan Masalah

Berdasarkan beberapa masalah yang telah dipaparkan, maka

penelitian membatasi penelitian hanya pada identifikasi hubungan

kebiasaan merokok terhadap resiko peningkatan hipertensi.

6
1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Adakah hubungan antara

kebiasaan merokok pada laki-laki usia 35-65 tahun terhadap resiko

peningkatan hipertensi di wilayah kelurahan Naibonat RT 047/ RW 019 ?”.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

antara kebiasaan merokok pada laki-laki usia 35-65 tahun dengan resiko

peningkatan hipertensi.

1.4.2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini antara lain.

1. Untuk mengetahui hubungan jumlah rokok terhadap resiko

peningkatan hipertensi.

2. Untuk mengetahui hubungan jenis rokok terhadap resiko

peningkatan hipertensi.

3. Untuk mengetahui hubungan lama merokok terhadap resiko

peningkatan hipertensi.

4. Untuk mengetahui hubungan derajat merokok terhadap resiko

peningkatan hipertensi.

5. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok terhadap resiko

peningkatan hipertensi.

7
1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Penelitian Untuk Peneliti

Untuk mengetahui dampak merokok terhadap resiko peningkatan

tekanan darah/hipertensi pada laki-laki usia 35-65 tahun di wilayah

Kelurahan Naibonat, Kecamatan Kupang Timur, Kabupten Kupang.

1.5.2. Manfaat Penelitian Untuk Masyarakat

Sebagai referensi data perokok yang menderita hipertensi pada laki-laki

usia 35-65 tahun di Kelurahan Naibonat, Kecamatan Kupang Timur,

Kabupaten Kupang, yang dapat dijadikan sebagai data untuk membuat

kebijakan publik mengenai kebiasaan merokok.

1.5.3. Manfaat Penelitian Untuk Institusi

Agar dapat menjadi bahan acuan atau sumber tambahan bagi institusi

dan bisa digunakan oleh peneliti selanjutnya sebagai bahan rujukan dan

sumber refrensi peneliti.

8
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIK

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Penelitian yang dilakukan oleh Dwi Retnaningsih dengan judul

penelitian “Perilaku Merokok dengan Kejadian Hipertensi pada Lansia”

Hipertensi merupakan salah satu penyebab kematian dini pada

masyarakat di dunia dan semakin lama, permasalahan tersebut semakin

meningkat. Salah satu faktor resiko terjadi hipertensi adalah merokok

dan sering terjadi pada lansia. Penelitian ini bertujuan mengetahui

hubungan perilaku merokok dengan kejadian hipertensi pada lansia

laki-laki di Desa Muktiharjo Kecamatan Margorejo Kabupaten Pati.

Metode Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelasi

cross sectional. Jumlah responden sebanyak 50 lansia laki-laki yang

menggunakan total sampling. Data diolah secara statistik menggunakan

uji non parametric rank sperman.

Hasil Penelitian menunjukan ada hubungan perilaku merokok

dengan kejadian hipertensi pada lansia laki-laki dengan nilai p value =

0,000 (<0,05) ρ = 0,481.

Simpulan Ada hubungan perilaku merokok dengan kejadian

hipertensi pada lansia laki-laki. Saran untuk penelitian yang akan

datang alangkah baiknya sampel yang digunakan bukan terpaku pada

lansia yang memiliki riwayat hipertensi.

9
2.1.2 Penelitian yang dilakukan oleh Septian Emma Dwi Jatmika, Muchsin

Maulana, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Ahmad Dahlan,

Yogyakarta dengan judul penelitian “Perilaku Merokok Pada Penderita

Hipertensi di Desa Sidokarto Kecamatan Godean, Sleman,

Yogyakarta”.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui gambaran perilaku

merokok pada penderita hipertensi di Desa Sidokarto Kecamatan

Godean, Sleman, Yogyakarta.

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan jumlah

sampel sebesar 30 orang yang memenuhi kriteria inklusi. Pada

penelitian ini menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner yang

berisi serangkaian pertanyaan tentang pengetahuan, sikap dan perilaku

yang berhubungan dengan kejadian hipertensi dan perilaku merokok.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (66,67%)

perilaku merokok responden adalah kurang baik dan sebagian kecil

(33,33%) perilaku responden adalah cukup baik. Pengetahuan

responden tentang perilaku merokok sebagian besar (46,67%) adalah

cukup baik dan sebagian kecil (10%) adalah kurang baik. Sedangkan

sikap responden terhadap perilaku merokok sebagian besar (63,33%)

adalah negatif. Gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku merokok

pada penderita hipertensi khususnya yang merokok di Desa Sidokerto

Kecamatan Godean Kabupaten Sleman Yogyakarta sebagian besar

masih kurang baik.

10
2.1.3 Artikel Penelitian oleh Septian Emma Dwi Jatmika, Muchsin, dkk dari

Pendidikan Dokter FK UNAND (Fakultas Kedokteran Universitas

Andalas Padang,), dengan judul penelitian “Hubungan Merokok dengan

Kejadian Hipertensi pada Laki-Laki Usia 35-65 Tahun di Kota Padang”

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan

merokok termasuk lama merokok, jumlah rokok dan jenis rokok dengan

hipertensi.

Desain penelitian berupa cross-sectional study. Populasi adalah

laki-laki yang berusia 35-65 tahun di empat kecamatan terpilih di kota

Padang. Jumlah subjek sebanyak 92 orang yang diambil secara multi

stage random sampling. Instrumen dalam penelitian ini ialah kuesioner

untuk data responden dan karakteristik kebiasaan merokok, serta

sphygmomanometer untuk mengukur tekanan darah. Data dianalisis

dengan uji chi-square dengan p < 0,05 untuk signifikansi.

Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara kebiasaan

merokok dengan hipertensi (p=0,003) yaitu dipengaruhi oleh lama

merokok (p=0,017) dan jenis rokok (p=0,017), tetapi tidak terdapat

hubungan antara jumlah rokok dengan kejadian hipertensi (p=0,412).

Oleh karena kebiasaan merokok meningkatkan risiko hipertensi,

penyuluhan kesehatan tentang risiko peningkatan tekanan darah

terhadap penderita hipertensi yang memiliki kebiasaan merokok harus

dilakukan. Hal ini diperlukan agar terjadi penurunan angka kejadian

hipertensi.

11
2.2. Landasan Teoritik

2.2.1 Konsep Teori Kebiasaan Merokok

2.2.1.1 Pengertian Merokok

Merokok adalah suatu tindakan atau kebiasaan menghisap rokok

yang dilakukan secara rutin dan sering, dan dianggap membawa dampak

buruk bagi kesehatan (Triyani, 2006). Sementara itu, menurut

Komalasari & Helmi (2000), menjelaskan bahwa kebiasaan merokok

adalah suatu aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku

merokoknya, yang diukur melalui intensitas merokok, waktu / lama

merokok, jumlah dan jenis rokok yang dilakukan secara rutin di dalam

kehidupan sehati-hari. Sedangkan pengertian merokok menurut Sitepoe

(2015) adalah membakar tembakau yang kemudian diisap asapnya, baik

menggunakan rokok maupun menggunakan pipa.

Menurut Sumarno (Mulyadi, 2013: 15) menjelaskan cara merokok

yang lazim, dibedakan menjadi dua cara yaitu cara yang pertama dengan

menghisap dan menelan asap rokok ke dalam paru-paru kemudian

dihembuskan. Cara yang kedua dilakukan dengan lebih moderat yaitu

hanya menghisap sampai mulut kemudian dihembuskan melalui mulut

atau hidung. Sedangkan menurut Poerwadarminta (2015) mendefinisikan

merokok sebagai kegiatan menghisap rokok, dan perokok adalah orang

yang melakukan kegiatan merokok.

Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70

hingga 120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar

12
10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok

adalah benda beracun yang memberi efek santai dan sugesti merasa lebih

lebih jantan. Di balik kegunaan atau manfaat rokok yang sekecil itu

terkandung bahaya yang sangat besar bagi orang yang merokok maupun

orang yang di sekitar perokok yang bukan perokok.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa merokok

adalah sebuah kebiasaan menghisap rokok, yang pada awalnya dapat

memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun di lain pihak dapat

menimbulkan dampak buruk baik bagi si perokok itu sendiri maupun

orang-orang disekitarnya.

2.2.1.2 Jenis-Jenis Rokok

Berdasarkan bahan bakunya, rokok terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Rokok Putih: rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun

tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma

tertentu.

2. Rokok Kretek: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun

tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek

rasa dan aroma tertentu.

3. Rokok Klembak: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun

tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk

mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu (Tawbariah et al, 2014).

13
Berdasarkan penggunaan filter, rokok terbagi menjadi dua yaitu:

1. Rokok Filter: rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus.

Jenis rokok filter dapat mengurangi masuknya nikotin ke dalam

tubuh. Filter yang terdapat pada pangkal rokok berfungsi sebagai

penyaring asap rokok yang akan dihisap, sehingga nantinya tidak

terlalu banyak bahan kimia yang akan masuk sampai ke paru-paru,

(Susanna, 2016).

2. Rokok Non Filter: rokok yang pada bagian pangkalnya tidak

terdapat gabus. Kandungan nikotin yang terdapat dalam rokok non

filter lebih besar. Menurut Direktur Agro Departemen Perindustrian

dan Perdagangan (Deperindag) Yamin Rahman, yang menyatakan

bahwa kandungan kadar nikotin pada rokok kretek melebihi 1,5 mg

yaitu 2,5 mg dan kandungan kadar tar pada rokok kretek melebihi

20 mg yaitu 40 mg. (Susanna, 2016).

2.2.1.3 Kandungan Rokok

Asap rokok (tembakau) mengandung kurang lebih 4000 komponen.

Beberapa di antaranya bersifat racun (toksik), beberapa lainnya dapat

mengubah sifat sel-sel tubuh menjadi ganas (onkogenik). Setidaknya ada

43 zat dalam tembakau yang sudah diketahui dapat menyebabkan

kanker. Zat-zat dalam rokok yang paling besar memberikan dampak

kesehatan antara lain nikotin, tar, dan karbon monoksida (CO).

14
1. Nikotin

Nikotin (β-pyridil-α-N-methyl pyrrolidine) merupakan

senyawa organik spesifik yang terkandung dalam daun tembakau.

Apabila diisap senyawa ini akan menimbulkan rangsangan

psikologis bagi perokok dan membuatnya menjadi ketagihan.

Dalam rokok, nikotin berpengaruh terhadap beratnya rasa isap.

Semakin tinggi kadar nikotin rasa isapnya semakin berat, sebaliknya

tembakau (rokok) yang berkadar nikotin rendah rasanya hambar

(Tirtosastro, 2017).

2. Tar

Tar adalah senyawa polinuklin hidrokarbon aromatika yang

bersifat karsinogenik. Dengan adanya kandungan tar yang beracun

ini, sebagian dapat merusak sel paru karena dapat lengket dan

menempel pada jalan nafas dan paru-paru sehingga mengakibatkan

terjadinya kanker. Pada saat rokok diisap, tar masuk ke dalam

rongga mulut sebagai uap padat asap rokok. Tar adalah substansi

hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru,

mengandung bahan-bahan karsinogen. Setelah dingin akan menjadi

padat dan membentuk endapan berwarna coklat pada permukaan

gigi, saluran pernafasan dan paru-paru, dan organ tubuh lain seperti

jantung. Pengendapan ini bervariasi antara 3-40 mg per batang

rokok, sementara kadar dalam rokok berkisar 24-45 mg. Sedangkan

bagi rokok yang menggunakan filter dapat mengalami penurunan 5-

15
15 mg. Walaupun rokok diberi filter, agen karsinogenik tetap bisa

masuk dalam paru-paru dan organ sekitarnya (Tirtosastro, 2017).

3. Karbon monoksida (CO)

Merupakan gas berbahaya yang terkandung dalam asap

pembuangan kendaraan bermotor. Unsur ini dihasilkan oleh

pembakaran yang tidak sempurna dari unsur zat arang atau karbon.

CO menggantikan 15% oksigen yang seharusnya dibawa oleh sel-

sel darah merah. CO juga dapat merusak lapisan dalam pembuluh

darah dan meninggikan endapan lemak pada dinding pembuluh

darah, menyebabkan pembuluh darah tersumbat (Tirtosastro, 2017).

2.2.1.4 Derajat dan Klasifikasi Perokok

Derajat merokok dapat diukur menggunakan Indeks Brinkman (IB).

Derajat merokok menurut Indeks Brinkman adalah hasil perkalian antara

rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap per hari dengan lama

merokok dalam satuan tahun, dengan klasifikasinmya 0 – 199

dikategorikan perokok ringan, 200 – 599 kategori perokok sedang, dan

> 600 perokok berat. (Tawbariah et al, 2016).

Kemudian untuk klasifikasi lainnya menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (2018: 960) dibedakan menjadi dua macam perokok yaitu :

1. Perokok aktif, seseorang yang merokok secara aktif. Perokok aktif

menghirup asap tembakau yang disebut juga asap utama (main

stream smoke).

16
2. Perokok pasif, yaitu seseorang yang menerima asap rokok saja,

bukan perokoknya sendiri. Perokok pasif mempunyai resiko

kesehatan yang lebih berbahaya dari pada resiko yang ditimbulkan

perokok aktif. Perokok pasif menghirup asap sampingan (side

stream smoke).

Sementara itu, menurut Mutadin (dalam E-Psikologi.Com; 2014)

menyebutkan 4 macam perokok yaitu :

1. Perokok sangat berat, adalah mereka yang mengkonsumsi rokok

lebih dari 31 batang setiap hari dan selang waktu merokoknya lima

menit setelah bangun pagi.

2. Perokok berat, adalah mereka yang mengkonsumsi 21-30 batang

setiap hari dengan selang waktu sejak bangun pagi berkisar 6-30

menit.

3. Perokok sedang, adalah mereka yang menghabiskan rokok 11-21

batang dengan selang waktu 31-60 menit setelah bangun pagi.

4. Perokok ringan, adalah mereka yang menghabiskan rokok 10 batang

setiap hari dengan selang waktu 60 menit setelah bangun pagi.

2.2.1.5 Lama Merokok

Lama merokok adalah kurun waktu yang dihabiskan oleh seorang

perokok dalam mengkonsumsi rokok. Mulai dari pertama mengetahui

tantang rokok, mencoba mengisap sampai akirnya menjadi perokok

tetap. Lama merokok seseorang mempengaruhi pengalaman seorang

17
individu tentang rokok, pengalaman lama merokok ini juga menjadi

pengaruh perbedaan tanggapan, terhadap gambar peringatan bahaya

merokok tersebut. Orang yang baru merokok atau perokok pemula

sekitar 1-5 tahun, tentunya memiliki tanggapan berbeda dengan orang

yang sudah merokok berat sekitar 5-10 tahun atau lebih. Hal ini

berhubungan dengan pengalaman yang dilaluinya. Orang yang sudah

lama merokok, terkesan acuh dan tidak menanggapi gambar bahaya

merokok. Karena menurutnya rokok sudah menjadi kebutuhan.

Konsumsi dalam waktu yang lama pun tidak merasakan efek buruk

dari konsumsi rokok tersebut. Selain itu kecanduan nikotin dalam waktu

lama juga membuat para perokok susah untuk lepas dari rokok. Namun

bagi perokok pemula yang baru mencoba merokok, mungkin akan lebih

berfikir kritis terhadap gambar peringatan bahaya merokok tersebut.

Dengan adanya gambar bahaya kesehatan akibat konsumsi rokok yang

dilakukan. Selain itu karena baru merokok individu juga masih bisa

lepas dari kecanduan nikotin yang ada dalam rokok. (Mustikaningrum,

2015).

18
2.2.2 Konsep Teori Hipertensi

2.2.2.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah persisten

dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya

di atas 90 mmHg (Smeltzer, Suzane dan Bare, 2002). Sementara itu,

menurut Lanny Sustrani, dkk (2004, dalam Nurhaedar 2010),

menjelaskan bahwa hipertensi atau penyakit darah tinggi sebenarnya

adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang mengakibatkan suplai

oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai ke

jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi juga sering kali disebut

sebagai pembunuh gelap atau silent killer.

Hipertensi adalah suatu keadaan ketika tekanan darah di pembuluh

darah meningkat secara kronis. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung

bekerja lebih keras memompa darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen

dan nutrisi tubuh, jika di biarkan penyakit ini dapat mengganggu fungsi

organ-organ lain, terutama organ-organ vital seperti jantung dan ginjal

(Kemenkes RI, 2016).

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa

hipertensi adalah suatu gangguan persisten pada pembuluh darah yang

mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah

terganggu dan jika dibiarkan dapat mengganggu organ-organ vital dalam

tubuh.

19
2.2.2.2 Etiologi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial

dan hipertensi sekunder yaitu sebagai berikut (Setiawati dan Bustami,

2015) :

a) Hipertensi Esensial

Hipertensi esensial (primer) atau idiopatik, adalah hipertensi

yang tidak jelas etiologinya. Lebih dari 90% kasus hipertensi

termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik utama pada

hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab

hipertensi esensial adalah multifaktor, terdiri dari factor genetik dan

lingkungan. Factor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari

adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga.

Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas pada

natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vascular

(terhadap vasokonstriktor ), dan resistensi insulin.

Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat

menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan,

stress psikis, dan obesitas.

b) Hipertensi Sekunder.

Prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita

hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal

(hipertensi renal), penyakit endokrin ( hipertensi endokrin), obat, dan

lain-lain.

20
Hipertensi renal dapat berupa:

1) Hipertensi renovaskular, adalah hipertensi akibat lesi pada arteri

ginjal sehingga menyebabkan hipoperfusi ginjal.

2) Hipertensi akibat lesi pada parenkim ginjal menimbulkan

gangguan fungsi ginjal.

Sementara menurut Sutanto (2014), penyebab hipertensi pada orang

dengan lanjut usia adalah terjadinya perubahan- perubahan pada :

a) Elastisitas dinding aorta menurun

b) Katub jantung menebal dan menjadi kaku

c) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun

sesudah berumur 20 tahun, kemampuan jantung memompa darah

menurun menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.

d) Kehilangan elastisitas pembuluh darah. Hal ini terjadi karena

kurangnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.

e) Meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer.

2.2.2.3 Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII ( Seventh Report of the

Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation, And

The Treatment Of High Blood Pressure), yang dikaji oleh 33 ahli

hipertensi nasional Amerika Serikat.

Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang

sebelumnya dipertimbangkan normal ternyata dapat menyebabkan

peningkatan resiko komplikasi kardiovaskuler. Sehingga mendorong

21
pembuatan klasifikasi baru pada JNC 7, yaitu terdapat pra hipertensi

dimana tekanan darah sistol pada kisaran 120-139 mmHg, dan tekanan

darah diastole pada kisaran 80-89 mmHg. Hipertensi level 2 dan 3

disatukan menjadi level 2. Tujuan dari klasifikasi JNC 7 adalah untuk

mengidentifikasi individu-individu yang dengan penanganan awal

berupa perubahan gaya hidup, dapat membantu menurunkan tekanan

darahnya ke level hipertensi yang sesuai dengan usia.

Tabel II.1. Klasifikasi Hipertensi Menurut JNC VII

Tekanan darah Tekanan Darah


Klasifikasi tekanan darah Siastolik Diastolik
mmHg mmHg
Normal < 120 Dan < 80

Prehipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi Stadium I 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Stadium II >160 Atau >100

(Sumber: Crea, 2008)

WHO dan ISHWG (International Society Of Hypertension Working

Group) mengelompokkan hipertensi ke dalam klasifikasi optimal,

normal, normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan

hipertensi berat yaitu sebagai berikut:

22
Tabel II.2. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO

Kategori Siastol mmHg Diastol mmHg


Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal-Tinggi 130-139 85-89
Tingkat I (hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Tingkat II (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat III(Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi Sistol Terisolasi ≥ 140 < 90
(Sumber: Crea, 2008)

Perhimpunan hipertensi Indonesia pada Januari 2007 meluncurkan

pedoman penanganan hipertensi di Indonesia, yang diambil dari

pedoman negara maju dan negara tetangga.

Tabel II.3. Klasifikasi Hipertensi Hasil Consensus Perhimpunan

Hipertensi Indonesia :

Kategori Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah


Darah Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi Stadium I 140-159 Atau 90-99
Hipertensi Stadium II > 160 Atau > 110
Hipertensi Sistol
≥ 140 < 90
Terisolasi
(Sumber: Crea, 2008)

23
2.2.2.4 Patofisiologi Hipertensi

Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak dipusat vasomotor, pada medulla di otak. Dari pusat

vasomotor ini bermula dari saraf simpatis, yang berkelanjutan ke

bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis

keganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor

dihantarkan dalam bentuk impplus yang bergerak ke bawah melalui

sistem saraf simpatis keganglia simpatis, pada titik ini neuron

preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut

serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan

dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat

mempengaruhi respons pembuluh darah terhadap rangsangan

vasokonstriktor. Idividu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap

norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal

tersebut bisa terjadi, Saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis

merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar

adrenalin juga terangsang mengakibatkan tambahan aktifitas

vasokontriksi.

Medula adrenal mensekresi epinefrin yang menyebabkan vasokons

triksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya yang

dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah.

Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal

24
mengakibatkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan

angiotensin 1 yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu

vasokonstriktor kuat yang pada gilirannya merangsang sekresi

aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan peningkatan

volume intravaskuler, semua faktor tersebut cenderung mencetuskan

keadaan hipertensi (Price & Wilson, 2006).

Aktivitas kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari

korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang

memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan

ekstraseluler, aldoster on akan mengurangi ekskresi NaCl (garam)

dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi

NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume

cairan ekstraseluler yang ada gilirannya akan meningkatkan volume dan

tekanan darah, (Anggrani, 2018).

25
Pathway Renin

Angiotensin 1

Angiotensin 1 Converting Enzyme


(ACE)
Angiotensin II

Sekresi horomone ADH Stimulasi sekresi aldosteron


rasa haus dari korteks adrenal

Urin sedikit pekat & Eksresi Nacl (garam) dengan


osmolaritas mengeabsorpsinya di tubulus
ginjal

Mengentalkan
Konsentrasi Nacl di
pembuluh darah
Menarik cairan intraseluler
menuju cairan ekstraseluler

Diencerkan dengan volume


Volume darah ekstraseluler

Tekanan darah Volume darah

Tekanan darah

Bagan II.1. Pathway hipertensi.

(Sumber: Rusdi & Nurlaela Isnawati, 2015)

26
2.2.2.5 Faktor Resiko Hipertensi

a) Faktor risiko yang tidak dapat diubah antara lain usia, jenis kelamin

dan genetik.

1) Usia

Usia mempengaruhi terjadinya hipertensi. Dengan

bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih

besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut

cukup tinggi, yaitu sekitar 40%, sebagai bagian dengan

kematian sekitar di atas usia 65 tahun ( Depkes RI, 2015).

Pada usia lanjut, hipertensi terutama ditemukan hanya

berupa kenaikan tekanan sistolik. Sedangkan menurut WHO

memakai tekanan diastolik tekanan yang lebih tepat dipakai

dalam menentukan ada tidaknya hipertensi. Tingginya

hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur yang disebabkan

oleh perubahaan struktur pada pembuluh darah besar,sehingga

lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah

menjadi lebih kaku, sebagai akibatnya terjadi peningkatan

tekanan darah sistolik. Dalam penelitian Irza (2015) menyatakan

bahwa risiko hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subyek > 40

tahun dibandingkan dengan yang berusia ≤ 40 tahun.

2) Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi,

dimana pria lebih banyak yang menderita hipertensi

27
dibandingkan wanita, dengan rasio sekitar 2,29 untuk

peningkatan tekanan darah sistolik. Pria diduga memiliki

gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan tekanan

darah dibandingkan dengan wanita ( Depkes, 2015 ).

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan

wanita. Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler

sebelum menopause. Wanita yang belum mengalami menopause

dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan dalam

meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL). Kadar

kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam

mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek 15 perlindungan

estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita

pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai

kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini

melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus

berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya

sesuai dengan umur wanita secara alami,yang umumnya mulai

terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.

Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah

penderita hipertensi berjenis kelamin wanita sekitar 56, 5%

(Anggraini, 2015).

Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyebutkan

bahwa prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih

28
besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%).

Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan (2016), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih

banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur

55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding

laki-laki yang menderita hipertensi (Depkes, 2015).

3) Keturunan

Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor

keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi,

terutama pada hipertensi primer (essensial).

Tentunya faktor genetik ini juga dipenggaruhi faktor-

faktor lingkungan, yang kemudian menyebabkan seorang

menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan

metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel.

Menurut Davidson bila kedua orang tuanya menderita

hipertensi, maka sekitar 45% akan turun ke anak-anaknya dan

bila salah satu orang tuanya yang menderita hipertensi maka

sekitar 30% akan turun ke anak-anaknya ( Depkes, 2015 ).

Faktor keturunan menunjukkan, jika kedua orang tua kita

menderita hipertensi kemungkinan kita terkena penyakit ini

sebesar 60 % karena menunjukan ada faktor gen keturunan yang

berperan (Iqbal, 2018).

29
b) Faktor risiko yang dapat diubah

Faktor risiko penyakit jantung koroner yang diakibatkan

perilaku tidak sehat dari penderita hipertensi antara lain merokok,

diet rendah serat, kurang aktifitas gerak, berat badan

berlebihan/kegemukan, komsumsi alkohol, hiperlipidemia atau

hiperkolestrolemia, stress dan komsumsi garam berlebih sangat

berhubungan erat dengan hipertensi (Depkes, 2015).

1) Kegemukan (obesitas)

Kegemukan (obesitas) adalah presentase abnormalitas

lemak yang dinyatakan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT)

yaitu perbandingan antara berat badan dengan tinggi badan

kuadrat dalam meter. Kaitan erat antara kelebihan berat

badan dan kenaikan tekanan darah telah dilaporkan oleh

beberapa studi. Berat badan dan IMT berkorelasi langsung

dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik.

Sedangkan, pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20 -

33% memiliki berat badan lebih overweight (Depkes, 2015 ).

Indeks massa tubuh (IMT) adalah berat badan dalam

kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m2 ). IMT

merupakan salah satu indikator yang paling sering digunakan dan

praktis untuk mengukur tingkat populasi berat badan lebih dan

obesitas pada orang dewasa, (Sugondo, 2016).

30
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi

prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko

relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk 5 kali

lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya

normal. Pada penderita hipertensi ditemukan sekitar 20- 33%

memiliki berat badan lebih (Depkes, 2015).

Hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal dapat

juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin

angiotensin, (Suhardjono, 2016). Aktivitas dari saraf simpatis

adalah mengatur fungsi saraf dan hormon, sehingga dapat

meningkatkan denyut jantung, menyempitkan pembuluh darah,

dan meningkatkan retensi air dan garam, (Saifudin, 2016).

2) Psikososial Dan Stress

Stress adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya

transaksi antara individu dengan lingkungannya yang

mendorong seseorang untuk mempersepsikan adanya perbedaan

antara tuntutan situasi dan sumber daya (biologis, psikologis dan

sosial) yang ada pada diri seseorang (Depkes, 2015).

Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa

marah, dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat

merangsang kelenjar anak ginjal melepaskan hormon

adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta

lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika

31
stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan

penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahaan

patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau

penyakit maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian

hipertensi pada orang kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi

dibandingkan dengan orang kulit putih disebabkan stress

atau rasa tidak puas orang kulit hitam pada nasib mereka

(Depkes, 2015).

Stres adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi

antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi

jarak antara tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-

sumber daya system biologis, psikologis dan social dari

seseorang. Dimana stress sangat berhubungan dengan hipertensi,

hal ini diduga melalui saraf simpatis yang meningkatkan tekanan

darah intermintent.

Apabila stress berlangsung lama dapat mengakibatkan

tingginya tekanan darah yang menetap ( Muahmmadum, 2017).

3) Merokok

Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon

monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam

aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh darah

arteri yang mengakibatkan proses artereosklerosis dan tekanan

darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara

32
kebiasaan merokok dengan adanya atereosklerosis pada seluruh

pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung

dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung.

Merokok pada penderita tekanan darah tinggi semakin

meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri

(Depkes, 2015).

4) Konsumsi alkohol

Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah

dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat

alkohol masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar

kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta

kekentalan darah berperan dalam menaikkan tekanan darah.

Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara

tekanan darah dan asupan alkohol dilaporkan menimbulkan efek

terhadap tekanan darah baru terlihat apabila mengkomsumsi

alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes,

2015).

Di negara barat seperti Amerika, komsumsi alkohol yang

berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi. Sekitar

10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan alkohol

yang berlebihan di kalangan pria separuh baya. Akibatnya,

kebiasaan meminum alkohol ini menyebabkan hipertensi

sekunder di usia ini (Depkes, 2015).

33
5) Komsumsi Garam

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh

karena menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan,

sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah.

Pada sekitar 60% kasus hipertensi primer terjadi respon

penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam 3

gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah,

sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7-8 gram

tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2015).

Almatsier (2016) menyatakan bahwa natrium adalah kation

utama dalam cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan

natrium dalam darah diatur oleh ginjal.

Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl,

selain itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue

(NaHCO3), baking powder, natrium benzoate dan vetsin

(monosodium glutamate). Kelebihan natrium akan

menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut

menyebabkan edema dan hipertensi.

WHO menganjurkan bahwa komsumsi garam yang

dianjurkan tidak lebih 6 gram/hari setara 110 mmol natrium

(Almatsier, 2016).

34
2.2.2.6 Manifestasi Klinis

Dalam buku Nanda Nic-Noc edisi revisi jilid 2 (2017) tanda dan

gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :

a) Tidak ada gejala

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan

peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh

dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan

pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.

b) Gejala yang lazim

Sering dikatakan bahwa gejala terlazzim yang menyertai

hipertensi meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataan ini

merupakan gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang

mencari pertolongan medis.

Adapun tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh beberapa pasien yang

menderita hipertensi yaitu antara lain :

a) Mengeluh sakit kepala, pusing,

b) Lemas, kelelahan,

c) Sesak nafas,

d) Gelisah,

e) Mual,

f) Muntah,

g) Kesadaran menurun.

35
2.2.2.7 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi dapat berpotensi menjadi komplikasi berbagai penyakit

diantaranya adalah stroke hemorragik, penyakit jantung hipertensi,

penyakit arteri koronaria anuerisma, gagal ginjal, dan ensefalopati

hipertensi (Shanty, 2016).

a) Stroke

Stroke adalah kerusakan jaringan otak yang disebabkan karena

berkurangnya atau terhentinya suplai darah secara tiba-tiba. Jaringan

otak yang mengalami hal ini akan mati dan tidak dapat berfungsi

lagi. Kadang pula stroke disebut dengan CVA (cerebrovascular

accident). Hipertensi menyebabkan tekanan yang lebih besar pada

dinding pembuluh darah, sehingga dinding pembuluh darah menjadi

lemah dan pembuluh darah rentan pecah.

Namun demikian, hemorrhagic stroke juga dapat terjadi pada

bukan penderita hipertensi. Pada kasus seperti ini biasanya pembuluh

darah pecah karena lonjakan tekanan darah yang terjadi secara tiba-

tiba karena suatu sebab tertentu, misalnya karena makanan atau

faktor emosional. Pecahnya pembuluh darah di suatu tempat di otak

dapat menyebabkan sel-sel otak yang seharusnya mendapat pasokan

oksigen dan nutrisi yang dibawa melalui pembuluh darah tersebut

menjadi kekurangan nutrisi dan akhirnya mati. Darah yang tersembur

dari pembuluh darah yang pecah tersebut juga dapat merusak sel-sel

otak yang berada disekitarnya.

36
b) Penyakit Jantung

Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi

terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri, sebagai akibatnya

terjadi hipertropi ventrikel untuk meningkatkan kekuatan kontraksi.

Kebutuhan oksigen oleh miokardium akan meningkat akibat

hipertrofi ventrikel, hal ini mengakibat peningkatan beban kerja

jantung yang pada akhirnya menyebabkan angina dan infark

miokardium. Disamping itu juga secara sederhana dikatakan

peningkatan tekanan darah mempercepat aterosklerosis dan

arteriosclerosis.

c) Penyakit Arteri Koronaria

Hipertensi umumnya diakui sebagai faktor resiko utama penyakit

arteri koronaria, bersama dengan diabetes mellitus. Plak terbentuk

pada percabangan arteri yang ke arah ateri koronaria kiri, arteri

koronaria kanan dan agak jarang pada arteri sirromflex. Aliran darah

kedistal dapat mengalami obstruksi secara permanen maupun

sementara yang disebabkan oleh akumulasi plak atau penggumpalan.

Sirkulasi kolateral berkembang di sekitar obstruksi arteromasus yang

menghambat pertukaran gas dan nutrisi ke miokardium. Kegagalan

sirkulasi kolateral untuk menyediakan suplai oksigen yang adekuat

ke sel yang berakibat terjadinya penyakit arteri koronaria.

37
2.2.2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada hipertensi terbagi menjadi 2 yaitu

penatalaksaan farmakologi dan non farmakologi :

a) Penatalaksanaan farmakologi

Pemilihan obat pada penderita hipertensi tergantung pada derajat

meningkatnya tekanan darah dan keberadaan compelling indication.

Pilihan obat tanpa compelling indication pada hipertensi

ringanadalah diuretic thiazide umumnya dapat dipertimbangkan

inhibitor ACE, ARB, bloker, CCB/kombinasi. Sedangkan pada

hipertensi sedang biasanya kombinasi 2 obat yaitu diuretic thiazide

dan inhibitor ACE atau ARB, atau bloker. Diuretik dipilih untuk

menangani efek peningkatan volume dan natrium karena

menurunnya fungsi ginjal sehingga menyebabkan cairan dan natrium

terakumulasi yang dapat mempengaruhi tekanan darah arteri.

Diuretik berguna untuk menurunkan tekanan darah dengan cara

mendeplesi (mengosongkan) natrium tubuh dan menurunkan volume

darah (Katzung, 2014). Sediaan diuretik yang beredar antara lain

Bendrofluazid, Furosemid, Torasemid, Manitol, dan Bumetanid

(Sukandar, Andrajati, dkk., 2017).

b) Penatalaksanaan non farmakologi

Penatalaksanaan non farmakologi yaitu modifikasi gaya hidup

dan terapi. JNC memberikan alur penanganan pada pasien hipertensi

yang paling utama adalah memodifikasi gaya hidup, jika respon

38
tidak adekuat maka dapat diberikan pilihan obat dengan efektifitas

tertinggi dengan efek samping terkecil dan penerimaan serta

kepatuhan pasien (Smeltzer & Bare, 2013). Modifikasi gaya hidup

dalam hal ini termaksuk penurunan berat badan jika kelebihan berat

badan, melakukan diet makanan, mengurangi asupan natrium,

mengurangi konsumsi alkohol, menghentikan kebiasaan merokok,

dan melakukan aktivitas fisik seperti senam dan olahraga (Sukandar,

Andrajati, dkk., 2017 ).

c) Mengurangi berat bedan dan diet natrium

Pengurangan berat badan telah terbukti menormalkan tekanan

darah sampai 75% pada pasien kelebihan berat badan dengan

hipertensi ringan hingga sedang (Katzung, 2014). Penelitian Reisin

menunjukan bahwa dari 81 pasien hipertensi dengan kegemukan

yang menjalani diet rendah kalori selama 4 bulan mengalami

penurunan tekanan darah rata-rata 20-26 mmHg. Pembatasan asupan

natrium merupakan pengobatan efektif bagi banyak pasien hipertensi

ringan. Pembatasan natrium dapat dilakukan dengan tidak memberi

garam pada makanan selama atau sesudah masak dan dengan

menghindari makanan yang diawetkan dengan natrium yang besar.

Bukti bahwa diet yang kaya buah dan sayuran dan dengan produk

sedikit lemak juga efektif dalam menurunkan tekanan darah, hal ini

diduga berkaitan dengan tinggi kalium dan kalsium pada diet

tersebut (Appel et. Al.,1997 dalam Katzung, 2013).

39
d) Aktivitas fisik

Aktivitas fisik juga sangat berperan dalam menurunkan tekanan

darah. Aktivitas fisik (olahraga) dapat mempengaruhi profil lemak

darah yaitu menurunkan kadar kolestrol, LDL, dan trigliserida.

Bahkan yang lebih penting olahraga dapat memperbaiki HDL.

Takaran olahraga yang tepat dapat menurunkan hipertensi, obesitas,

serta diabetes melitus. Hasil penelitian dengan olahraga saja sama

efektifnya dengan kombinasi antara olahraga dan obat (Soeharto,

2014).

e) Pembatasan konsumsi alkohol dan merokok

Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kematian

kardiovaskuler. Tujuh penelitian kematian pecandu alkohol

menunjukan bahwa konsumsi alkohol dalam jumlah besar diikuti

dengan peningkatan kematian penyakit jantung koroner. Kebiasaan

merokok juga harus dikurangi bahkan dihindari karena keadaan

jantung dan paru-paru mereka yang merokok tidak akan dapat

bekerja secara efesien. Asap rokok mengandung nikotin yang

memicu pengeluaran zat-zat seperti adrenalin yang dapat

merangsang denyut jantung dan tekanan darah, selain itu asap rokok

mengandung karbon monoksida (CO) yang memiliki kemampuan

jauh lebih kuat dari pada sel darah merah (hemoglobin) untuk

menarik atau menyerap oksigen, sehingga menurunkan kapasitas

darah merah untuk membawa oksigen ke jaringan-jaringan termasuk

40
jantung. Merokok terus-menerus dalam jangka panjang berpeluang

besar untuk menimbulkan penyumbatan arteri di leher (Soeharto,

2014).

2.2.3 Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Resiko Peningkatan Hipertensi

Menurut Oliveras (2015) kesulitan dalam mengendalikan hipertensi

dapat dikarenakan komorbiditas tertentu dan faktor gaya hidup yang sering

diremehkan. Kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan hipertensi dan sering dianggap remeh karena dampak yang

ditimbulkan oleh rokok berlangsung cukup lambat.

Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, salah satu faktor risiko

terjadinya hipertensi adalah merokok. Risiko ini terjadi akibat zat kimia

bersifat toksik, misalnya nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui

rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel

pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses arteriosklerosis dan tekanan

darah tinggi. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan

merokok dengan adanya aterosklerosis pada seluruh pembuluh darah.

Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen otot

jantung (Aula, 2017).

Zat-zat kimia beracun (toksik) dalam rokok dapat mengakibatkan

tekanan darah tinggi atau hipertensi. Salah satu zat toksik tersebut adalah

nikotin. Nikotin dapat meningkatkan adrenalin yang membuat jantung

berdebar lebih cepat dan bekerja lebih keras, frekuensi jantung meningkat,

41
dan kontraksi jantung meningkat sehingga menimbulkan tekanan darah

meningkat (Aula, 2017).

Kadar zat-zat kimia rokok dalam darah secara langsung ditentukan dari

banyak sedikitnya konsumsi rokok. Semakin banyak jumlah konsumsi batang

rokok per hari maka semakin berat hipertensi yang diderita seseorang (Aula,

2017). Priyoto (2015) juga menegaskan bahwa adanya rentang waktu yang

panjang dari seseorang mulai merokok hingga menderita berbagai penyakit

yaitu sekitar 20-25 tahun. Merokok terus-menerus dalam waktu jangka

panjang berpeluang besar untuk menimbulkan penyumbatan arteri di leher

(Soeharto, 2014).

Mekanisme yang mendasari hubungan rokok dengan dengan tekanan

darah adalah proses inflamasi, baik pada mantan perokok maupun perokok

aktif. Terjadi peningakatan jumlah protein C reaktif, termasuk protein

inflamasi alami, mengakibatkan proses inflamasi pada endotelium, sehingga

terjadi disfungsi dari sel endotel kerusakan pembuluh darah, dan kekakuan

pada dinding arteri yang berujung pada peningkatan resistensi vaskular

perifer (Aula, 2017).

Penelitian yang dilakukan oleh Abulnaja (2013) juga menemukan bahwa

agen-agen inflamasi alami memiliki hubungan yang sangat kuat terhadap

timbulnya hipertensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah agen

inflamasi dalam darah pada penderita hipertensi jauh lebih tinggi

dibandingkan pada normotensif dan demikian juga halnya pada penderita

hipertensi yang merupakan perokok atau mantan perokok jauh lebih banyak

42
dibandingkan yang bukan perokok. Ketiga zat tersebut akan mengakibatkan

kerusakan endotelium vaskular yang merupakan resiko timbulnya penyakit

hipertensi dan kardiovaskular (Abulnaja, 2017).

Hasil penelitian ini diperkuat dengan teori bahwa apapun yang

menimbulkan ketegangan pembuluh darah dapat menaikkan tekanan darah,

termasuk nikotin yang ada dalam rokok. Nikotin merangsang sistem saraf

simpatik, sehingga pada ujung saraf tersebut melepaskan hormon stres

norephinephrine dan segera mengikat reseptor hormon alfa-1. Hormon ini

mengalir dalam pembuluh darah ke seluruh tubuh. Oleh karena itu, jantung

akan berdenyut lebih cepat (takikardia) dan pembuluh darah akan mengalami

vasokonstriksi. Selanjutnya akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah

dan menghalangi aliran darah secara normal, sehingga tekanan darah akan

meningkat (Tawbariah et al, 2016).

43
Kerangka Teori

Rokok

Mengandung banyak zat toksik

Nikotin Zat toksik lainnya

Merangsang sistem saraf Meningkatnya agen-agen

simpatis inflamasi

Aktivasi hormon adrenalin Terjadinya proses inflamasi

pada endotelium
Takikardia dan Peningkatan resistensi vaskular

vasokonstriksi perifer

Hipertensi

Bagan II.2. Kerangka Teori

Sumber Arif Mutaquinn (2018)

44
BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

Variabel independent Variabel dependent

Kebiasaan Merokok Resiko Peningkatan Hipertensi

Faktor risiko lainnya yang


Faktor-faktor yang mempengaruhi:
mempengaruhi: 1. Genetik
1. Jumlah rokok
2. Obesitas
2. Jenis rokok
3. Stress
3. Lama menghisap rokok
4. Pola makan (asupan garam/Na)
4. Derajat merokok 5. Olah raga (aktivitas)

Bagan III.1. Kerangka Konsep

Keterangan:

= variabel yang di teliti

= variabel yang tidak di teliti

3.2 Hipotesis Penelitian

H0 = Tidak adanya hubungan kebiasaan merokok pada laki-laki usia 35-65

tahun terhadap resiko peningkatan hipertensi.

H1 = Adanya hubungan kebiasaan merokok pada laki-laki usia 35- 65 tahun

terhadap resiko peningkatan hipertensi.

45
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Didalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik desain

Cross sectional. Menurut Nursalam (2013) pendekatan Rancangan penelitian

analitik di gunakan untuk mengetahui Hubungan Kebiasaan Merokok Pada

Laki-Laki Usia 35-65 Tahun Terhadap Resiko Peningkatan Hipertensi Di

Wilayah Kelurahan Naibonat, RT 047/ RW 019.

4.2 Rancang Bangun Penelitian

Dalam penelitian ini mengunakan metode analitik dimana penelitian di

arahkan untuk menjelaskan suatu keadaan. Dan mengunakan rancangan cross

sectional dalam pengumpulan data ini di kumpulkan dalam waktu bersamaan.

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan di laksanakan di wilayah kelurahan Naibonat, RT

047/ RW 019.

4.3.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini di lakukan pada bulan januari sampai dengan

februari 2019.

46
4.4 Populasi dan Sampel.

4.4.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek

yang mempunyai kuantitas dan karekteristik tertentu yang di tetapkan

oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Aziz,

2014).

Dari pengertian tersebut maka populasi dalam penelitian ini adalah

102 orang laki-laki usia 35-65 tahun di wilayah kelurahan Naibonat RT

047/ RW 019 yang terbiasa merokok.

4.4.2 Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian populasi yang akan di teliti atau sebagian

jumlah dari karekteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Azis,

2014).

Sampel diambil dengan menggunakan rumus penentuan besar

sampel Nursalam (2013) :

𝑁
𝑛 =
1+𝑁 (𝑑)2

Keterangan :

n : perkiraan besar sampel

N : perkiraan besar populasi

d² : tingkat kesalahan yang dipilih 5% atau (𝛼 = 0,05)

N 102
𝑛 = =
1+N (d)2 1 + 102 (0.05)2

47
102
=
1 + 102 X 0.0025)

102
=
1 + 0.255

102
=
1.255

= 81, 27

= 81 orang

Berdasarkan data diatas, maka jumlah Sampel dalam penelitian ini

adalah sebanyak 81 orang laki-laki usia 35-65 tahun di wilayah

kelurahan Naibonat RT 047/RW 019.

4.4.3 Teknik Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi populasi yang ada untuk dapat

mewakili populasi (Nursalam 2014). Teknik sampling dalam penelitian

ini adalah non probability sampling dengan metode purposive sampling

yaitu dengan teknik pengambilan sampel dengan cara menentukan orang

yang akan diteliti, dengan kriteria inklusi sampel yang akan di ambil

adalah :

1. Individu adalah perokok, dan atau yang memiliki riwayat merokok

2. Usia 35-65 Tahun

3. Tidak mengalami gangguan mental dan fisik

4. Bersedia menjadi responden

48
4.5 Kerangka Operasional

Adapun prosedur penelitian (Kerangka Operasional) sebagai berikut :

Studi Pendahuluan

Meminta izin penelitian pada pihak kelurahan Naibonat RT 047


/ RW 019, dengan menyertakan surat penelitian dari kampus

Menyiapkan kuesioner, lembar observasi TD, dan


alat/bahan yang diperlukan

Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

Melakukan Informed consent

Pengisian identitas responden

Pengisian kuesioner

Melakukan pengolahan dan analisis data

Melakukan penyusunan dan analisis data

Bagan IV.1. Kerangka Operasional

49
4.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

4.6.1 Variabel Penelitian

Variabel adalah karakteristik subyek penelitian yang berubah dari

subyek ke subyek yang lain (Nursalam, 2015). Variabel penelitian ini

terdiri dari dua variabel, yakni variabel bebas (independen) adalah

kebiasaan merokok, sedangkan variabel terikat (dependen) adalah resiko

peningkatan hipertensi.

4.6.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel-variabel secara

operasional dan berlandaskan karakteristik yang dialami. Definisi

operasional yang terkait dalam penelitian ini antara lain :

Tabel IV.1. Definisi Operasional


Definisi
Kriteria
Variabel Operasio Parameter Alat Ukur Skala
Obyektif
nal
Independen Jumlah rokok: Kuesioner Ordin Nilai ukur
Kebiasaan Suatu 1) < dari 10 al Asymp. Sig (ρ
merokok: tindakan batng rokok Value) <0,05
1. Jumlah menghisap 2) 11-20 batang
rokok rokok rokok (Sumber : Uji
2. Jenis melalui 3) 21-30 batang statistic SSPS
rokok mulut, rokok ver. 16)
3. Lama yang biasa 4) > 31 batang
merokok dan sering rokok
4. Derajat dilakukan. Jenis rokok: Kuesioner Nomi Nilai ukur
merokok 1) Filter nal Asymp. Sig (ρ
2) Non filter Value) <0,05
(kretek)
(Sumber : Uji
statistic SSPS
ver. 16)

50
Lama merokok: Kuesioner Interv Nilai ukur
1) < 10 tahun al Asymp. Sig (ρ
2) 10-20 tahun Value) <0,05
3) >20 tahun
(Sumber : Uji
statistic SSPS
ver. 16)

Derajat Kuesioner Ordin Nilai ukur


merokok: dengan al Asymp. Sig (ρ
1) Perokok berpatokan Value) <0,05
ringan pada Indeks
2) Perokok Brinkman (Sumber : Uji
sedang (BI) statistic SSPS
3) Perokok ver. 16)
berat
Dependen Resiko Hasil pengukuran Observasi Ordin 1) Tidak
Resiko terjadinya TD dengan Pengukuran al beresiko
Peningkatan peningkat kategori dari JNC TD dengan hipertensi
Hipertensi an tekanan 7: sfingnoman 2) Beresiko
darah atau 1. TD Normal ometer dan hipertensi,
denyut 2. Pre Hipertensi stetoskop dengan
jantung 3. Hipertensi
yang lebih Stage 1 Nilai ukur
tinggi 4. Hipertensi stage Asymp. Sig (ρ
daripada 2 Value) <0,05
normal
karena (Sumber : Uji
penyempit statistic SSPS
an ver. 16)
pembuluh
darah atau
gangguan
lain, yang
disebabka
n oleh
kebiasaan
merokok.

51
4.7 Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah yang penting dalam suatu

penelitian, karena data yang diperoleh digunakan untuk menguji hipotesis

yang telah dirumuskan pada penelitian ini.

4.7.1 Teknik Pengumpulan Data

4.7.1.1 Kuesioner

Teknik pengumpulan data dengan membagikan kuesioner

dengan susunan pertanyaan yang terstruktur (terlampir) untuk

mengumpulkan data umum responden. Pertanyaan dalam kuesioner

disesuaikan dengan variabel yang diteliti. Variabel yang

menggunakan kuesioner adalah umur, pendidikan, pekerjaan, dan

status perkawinan yang tergolong dalam data demografi, dan

variabel independen terdiri dari kebiasaan merokok, lama merokok,

jenis rokok, jumlah rokok dan derajat merokok.

4.7.1.2 Observasi (tes)

Teknik pengumpuan data observasi (tes) dengan menggunakan

spignomanometer dan tensimenter untuk mengukur tekanan darah

responden yang merokok. Adapun prosedur pengukuran tekanan

darah sebagai berikut :

a) Alat dan Bahan : Stetoskop, Sfingnomanometer air raksa atau

aneroid dengan balon udara dan manset, Lembar observasi, dan

alat tulis

52
b) Cara kerja : dengan melilitkan manset sepanjang 2,5 cm pada

salah satu lengan atas responden (diatas sisi denyut arteri

brakhialis), kemudian pompa balon udara pada manset hingga

tekanan tertentu, kemudian diturunkan hingga terdengar bunyi

Korotkoff pertama hingga kelima yang didengar dengan bantuan

stetoskop.

4.7.2 Prosedur Pengumpulan Data

Penelitian dilakukan setelah peneliti memperoleh surat ijin penelitian

yang ditandatangani oleh ketua STIKes Nusantara Kupang untuk

melakukan penelitian, kemudian peneliti menyerahkan proposal

penelitian kepada camat kabupaten kupang, kemudian diteruskan kepada

kelurahan Naibonat dan RT 047/RW 019. Setelah proposal diterima,

peneliti melakukan informed consent dan menyerahkan kuesioner

penelitian untuk diisi oleh responden. Tahap selanjurnya peneliti

melakukan pengumpulan data mengenai kebiasaan merokok dengan

menggunakan kuesioner dengan jumlah pertanyaan sebanyak 20 butir,

dan melakukan observasi tes tekanan darah untuk mengetahui resiko

peningkatan hipertensi.

4.8 Pengolahan dan Analisis Data

Setelah pengambilan data dengan kuesioner, tahap selanjutnya adalah

pengolahan data agar analisa yang dihasilkan memberikan informasi yang

benar.

53
4.8.1 Pengolahan Data

Tahap-tahap pengolahan data yang dilakukan antara lain :

4.8.1.1 Editing

Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali data yang

diperoleh, editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data

atau setelah data terkumpul.

4.8.1.2 Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik

(angka) terhadap data ulang terdiri atas beberapa kategori.

Pemberian kode ini sangat penting bila pengolahan dan analisis

data mengunakan komputer.

4.8.1.3 Entry

Entry data adalah kegiatan memasukan data yang telah di

kumpulkan ke dalam master tabel atau database computer,m

kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga

dengan membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga

dengan tabel kontengesti.

4.8.1.4 Cleaning

Cleaning adalah kegiatan pengecekan kembali data yang

sudah di masukkan.

54
4.8.2 Analisis Data

Melakukan teknik analisis, khususnya terhadap data penelitian

mengunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang

hendak di analisis.

Tahap selanjutnya peneliti melakukan analisa data. Dalam

penelitian ini analisis data yang dilakukan oleh peneliti adalah analisis

univariat. Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan dan

mendiskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti.

Sehingga akan terlihat distribusi dan presentasi dari data demografi dan

resiko peningkatan hipertensi. Data yang diperoleh akan di tampilkan

dalam tabel.

4.8.2.1 Analisis univariat

Variabel penelitian dideskripsikan dan disajikan dalam bentuk

diagram pie dengan berpedoman pada tabel distribusi frekuensi

(Notoatmodjo, S. 2014).
f ×K
P=

Keterangan :

P = Persentase

f = Frekuensi

N = Jumlah Populasi

K = Nilai Konstanta 100%

55
4.8.2.2 Analisis bivariat

Data yang dikumpulkan dalam penelitian diproses secara

analitik dengan uji chi square (x2) dengan tingkat pemaknaan ρ <

0,05. menggunakan rumus (Arikunto, 2014).

𝑥 2 = ∑(0 − 𝐸)²

Keterangan :

𝑥 2 : Nilai Chi Square

O : Observed ( Nilai Observasi)

E : Expected (Nilai Harapan)

∑ ∶ Jumlah

Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok pada laki-laki usia

35-65 tahun terhadap resiko peningkatan hiepertensi di wilayah

kelurahan Naibonat, RT 047/ RW 019.

56
BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Naibonat adalah sebuah kelurahan sekaligus ibukota Kabupaten Kupang,

yang terletak di Kecamatan Kupang Timur, Kupang, Nusa Tenggara Timur,

Indonesia. Letaknya sekitar 47 km dari ibukota provinsi (NTT). Naibonat

memiliki satu Rumah sakit (RSUD Naibonat) dan Markas (Kodam Cendana).

Adapun batasan wilayah kelurahan Naibonat antara lain : sebelah Timur

berbatasan dengan Kecamatan Fatuleu, sebelah Barat berbatasan dengan

Kelurahan Oesao, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pukdale, dan

sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Nunkurus.

Luas kelurahan Naibonat mencapai 2053 Km2, dengan pembagiannya

antara lain; Luas Pemukiman = 461 ha, Luas Persawahan = 1241,3 ha, Luas

Perkebunan = 10 ha, Perkantoran = 500 ha, dan Luas Pekarangan = 800 ha.

Kelurahan Naibonat memiliki 20 Rw dan 50 Rt, dengan total jumlah

penduduk sebesar 9330 jiwa, dan Jumlah kepala keluarga sebanyak 1384.

5.2 Hasil Penelitian

Hasil penelitian tentang hubungan kebiasaan merokok pada laki-laki usia

35-45 tahun terhadap resiko peningkatan hipertensi di wilayah kelurahan

Naibonat, RT 047/ RW 019, dapat dikelompokan menjadi dua yaitu data

umum dan data khusus.

57
5.2.1 Data Umum

Dari ke 81 responden yang dijadikan sampel penelitian, beberapa

gambaran karakteristik responden seperti terlihat pada tabel berikut ini:

5.2.1.1 Usia

Tabel V.1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia


Umur
No Umur Jumlah Prosentase (%)
1 35 - 44 tahun 44 54
2 45 - 54 tahun 29 36
3 55 - 65 tahun 8 10
Total 81 100

Berdasarkan tabel V.1. tentang distribusi responden berdasarkan

umur, maka dapat disimpulkan bahwa responden dalam penelitian ini,

secara umum berada pada rentang usia 35-44 tahun dengan prosentase

sebesar 54%.

5.2.1.2 Pendidikan

Tabel V.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan


Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Prosentase (%)
1 Tidak Sekolah 3 4
2 Putus Sekolah 3 4
3 SD 21 26
4 SMP 17 21
5 SMA /Sederajat 28 34
6 Perguruan Tinggi 9 11
Total 81 100

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi V.2. mengenai tingkat

pendidikan, secara umum responden laki-laki yang berada di Rt 047/

Rw 019 memiliki tingkat pendidikan SMA/Sederajat dengan total

58
prosentase 34%, dan hanya 4% yang berada pada tingkat pendidikan

Tidak Sekolah dan Putus Sekolah.

5.2.1.3 Pekerjaan

Tabel V.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan


Pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah Prosentase (%)
1 Petani 31 20
2 Wiraswasta 16 38
3 Tentara 9 9
4 PNS 7 11
5 Pengangguran 3 4
6 Lain-lain 15 18
Total 81 100

Berdasarkan tabel V.3. distribusi responden berdasarkan

Pekerjaan, maka dapat disimpulkan rata-rata responden memiliki

pekerjaan sebagai petani dengan prosentase 20%, dan hanya sebagian

kecil yang tidak bekerja atau pengangguran dengan prosentase

sebesar 4%.

5.2.1.4 Tabel V.4. Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan


Status Perkawinan
No Status Perkawinan Jumlah Porsentase (%)
1 Kawin 65 80
2 Belum Kawin 5 6
3 Cerai / Pisah 11 14
Total 81 100

Berdasarkan tabel V.4. mengenai distribusi responden

berdasarkan Status perkawinan, maka dapat disimpulkan responden

secara umum berstatus kawin dengan prosentase sebesar 65%.

59
5.2.2 Data Khusus

5.2.2.1 Analisis Univariat

a) Diagram pie V.1. Distribusi responden berdasarkan Jumlah Rokok

Jumlah Rokok
2% 0%
Kurang dari 10 batang rokok = 38 org

47% 11-20 batang rokok = 41 org


51%
21-30 batang rokok = 2 org

Lebih dari 31 batang rokok = 0 org

Berdasarkan diagram pie V.1. tentang jumlah rokok, maka dapat

disimpulkan rata-rata responden merokok 11-20 batang rokok per hari

(51%), dan hanya 2% yang merokok 21-30 batang rokok per hari, dan

tidak ada yang merokok lebih dari 31 batang rokok per hari (0%).

b) Diagram pie V.2. Distribusi responden berdasarkan Jenis Rokok

Jenis Rokok

22%

Rokok filter = 18 org

78%
Rokok non filter (kretek) = 63 org

Berdasarkan diagram pie V.2. mengenai Jenis Rokok, maka dapat

disimpulkan bahwa lebih banyak responden dalam penelitian ini yang

60
merokok menggunakan rokok non filter, dengan prosentase sebesar

78%.

c) Diagram pie V.3. Distribusi responden berdasarkan Lama Merokok

Lama Merokok

27% Kurang dari 10 tahun = 22 org

52% 10 - 20 tahun = 17 org


21%
Lebih dari 20 tahun = 42 org

Berdasarkan diagram pie V.3. di atas mengenai Lama Merokok, maka

dapat disimpulkan bahwa rata-rata keseluruhan responden dalam

penelitian ini sudah merokok Lebih dari 20 tahun dengan jumlah

prosentase sebesar 52%.

d) Diagram pie V.4. Distribusi responden berdasarkan Derajat Merokok

Derajat Merokok

9% 28% Perokok Ringan = 23 orang

Perokok Sedang = 51 orang


63%
Perokok Berat = 7 orang

Berdasarkan diagram pie V.4. Derajat Merokok, maka dapat

disimpulkan bahwa responden dalam penelitian ini rata-rata

merupakan Perokok Sedang dengan prosentase sebesar 63%.

61
e) Diagram pie V.5 Distribusi responden berdasarkan Resiko

Peningkatan Hipertensi

Resiko Peningkatan Hipertensi

17% 24% Normal = 19 org

Pre Hipertensi (Resiko Hipertensi) =


48 org
59%
Hipertensi = 14 org

Berdasarkan diagram pie V.5. tentang Resiko Peningkatan Hipertensi,

maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden berada pada fase

pre hipertensi (Resiko Hipertensi) dengan prosentase sebesar 59%.

5.2.2.2 Analisis Bivariat

1. Tabel V.5. Hubungan Jumlah Rokok Pada Laki – Laki Usia 35 – 65

Tahun Terhadap Resiko Peningkatan Hipertensi di Wilayah

Kelurahan Naibonat RT 047/ RW 019.

Status Resiko Peningkatan Hipertensi


Resiko
Jumlah Rokok Tidak Beresiko Peningkatan ρ
Hipertensi
f % f % 0,05
Kurang dari 10
batang rokok per 11 33 22 67
hari
11-20 batang rokok
7 24 22 76
per hari
21-30 batang rokok
1 100 1 100
per hari
Total 19 157 45 143
Sumber : Chi square dengan value ( < 0,05 )

62
Hasil uji Chi square berdasarkan tabel V.5. menunjukkan nilai ρ

value sebesar 0,05 (< 0,05 ) artinya terdapat hubungan yang

signifikan antara jumlah rokok yang dihisap per hari dengan resiko

peningkatan hipertensi.

2. Tabel V.6. Hubungan Jenis Rokok Pada Laki – Laki Usia 35 – 65

Tahun Terhadap Resiko Peningkatan Hipertensi di Wilayah

Kelurahan Naibonat RT 047/ RW 019.

Status Resiko Peningkatan Hipertensi


Resiko
Jenis Rokok Tidak Beresiko Peningkatan ρ
Hipertensi
f % F % 0,05
Rokok Filter 8 53 7 47
Rokok non Filter
11 20 41 74
(kretek)
Total 19 73 48 121
Sumber : Chi square dengan value ( < 0,05 )

Hasil uji Chi square berdasarkan tabel V.6. menunjukkan nilai ρ

value sebesar 0,05 ( < 0,05 ) artinya terdapat hubungan yang

signifikan antara jenis rokok dengan resiko peningkatan hipertensi.

63
3. Tabel V.7. Hubungan Lama Merokok Pada Laki – Laki Usia 35 – 65

Tahun Terhadap Resiko Peningkatan Hipertensi di Wilayah

Kelurahan Naibonat RT 047/ RW 019.

Status Resiko Peningkatan Hipertensi


Resiko
Lama Merokok Tidak Beresiko Peningkatan ρ
Hipertensi
f % f % 0,00
kurang dari 10
16 80 4 20
tahun
10 - 20 tahun 1 10 9 90
lebih dari 20 tahun 2 6 32 94
Total 19 96 45 204
Sumber : Chi square dengan value ( < 0,05 )

Hasil uji Chi square berdasarkan tabel V.7. menunjukkan nilai ρ

value sebesar 0,00 ( < 0,05 ) artinya terdapat hubungan yang

signifikan antara lama merokok dengan resiko peningkatan hipertensi.

4. Tabel V.8. Hubungan Derajat Merokok Pada Laki – Laki Usia 35 –

65 Tahun Terhadap Resiko Peningkatan Hipertensi di Wilayah

Kelurahan Naibonat RT 047/ RW 019.

Status Resiko Peningkatan Hipertensi


Resiko
Lama Merokok Tidak Beresiko Peningkatan Ρ
Hipertensi
f % f % 0,00
Perokok Ringan 18 95 1 5
Perokok Sedang 0 0 44 100
Perokok Berat 1 100 0 0
Total 19 195 45 105
Sumber : Chi square dengan value ( < 0,05 )

64
Hasil uji Chi square berdasarkan tabel V.8. menunjukkan nilai ρ

value sebesar 0,00 ( < 0,05 ) artinya terdapat hubungan yang

signifikan antara derajat merokok dengan resiko peningkatan

hipertensi.

65
BAB 6

PEMBAHASAN

Hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Naibonat Rt 047/ Rw 019,

diketahui rata-rata usia terendah responden dalam penelitian ini adalah 35 tahun

dan usia tertinggi yaitu 65 tahun, sebagian besar responden berada pada rentang

usia 35-45 tahun. Dalam penelitian Irza (2009) menyatakan bahwa risiko

hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subyek > 40 tahun dibandingkan dengan yang

berusia ≤ 40 tahun. Dengan demikian responden dalam penelitian ini memasuki

usia yang berisiko untuk mengalami hipertensi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata responden di

Kelurahan Naibonat Rt 047/ Rw 019, memiliki latar belakang pendidikan SMA

sederajat yaitu sebanyak 34%, jika lingkungan sekitar adalah bukan perokok

namun tidak ada larangan untuk merokok maka hal ini akan menimbulkan sikap

permisif yang mendukung kebiasaan merokok.

Rata-rata responden dalam peneltian ini memiliki pekerjaan sebagai petani

(20%) dan rata-rata sudah berkeluarga atau kawin. Lingkungan kerja dan tempat

tinggal dengan anggota keluarga yang mayoritasnya adalah perokok, akan

memudahkan seseorang untuk menjadi perokok pula atau mempertahankan

kebiasaan merokok mereka. Menurut Tristanti (2016) jika lingkungan sekitar

adalah perokok hal ini bisa menjadi agen imitasi terbaik, dan jika lingkungan

sekitar adalah bukan perokok namun tidak ada larangan untuk merokok maka hal

ini akan menimbulkan sikap permisif yang mendukung kebiasaan merokok.

66
Berdasarkan hasil observasi tes dengan pengukuran tekanan darah pada

responden yang merokok didapatkan data sekitar 59% yang termasuk dalam

kategori pre hipertensi (resiko peningkatan hipertensi) dan 24% sudah mengalami

hipertensi. Rokok dengan kandungan nikotinnya menyebabkan pelepasan

katekolamin baik secara lokal maupun sistemik yang mengarah ke peningkatan

denyut jantung, TD serta kontraktilitas jantung (Mishra, 2015). Menurut Oliveras

(2013) kesulitan dalam mengendalikan hipertensi dapat dikarenakan komorbiditas

tertentu dan faktor gaya hidup yang sering diremehkan. Kebiasaan merokok

merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hipertensi dan sering dianggap

remeh karena dampak yang ditimbulkan oleh rokok berlangsung cukup lambat.

Berdasarkan Jumlah Rokok yang dihisap per hari, hasil penelitian

menunjukkan, rata-rata responden dalam penelitian ini merokok 11-20 batang

rokok per hari atau sebesar 51%. Menurut Sunyoto (2015) zat kimia didalam

rokok bersifat kumulatif, sehingga semakin banyak jumlah batang rokok yang

dihisap maka semakin banyak juga zat beracun yang masuk kedalam tubuh yang

dapat menyebabkan resiko timbulnya hipertensi. Berdasarkan hasil uji chi square

menunjukkan nilai ρ value sebesar 0,05 ( < 0,05 ) artinya terdapat hubungan

antara jumlah rokok dengan resiko peningkatan hipertensi. Hasil penelitian ini

sesuai dengan teori Thomas yang menyatakan adanya hubungan antara jumlah

rokok yang dihisap perhari dengan kejadian hipertensi (p<0,05)

Berdasarkan Jenis Rokok yang dihisap, rata-rata responden dalam penelitian

ini menghisap jenis rokok non filter (kretek), dengan jumlah prosentase sebesar

78%. Pada saat rokok diisap, tar masuk ke dalam rongga mulut sebagai uap padat

67
asap rokok, Tar adalah substansi hidrokarbon yang mengandung bahan-bahan

karsinogen yang dapat berbahaya bagi organ tubuh kita. Pengendapan ini

bervariasi antara 3-40 mg per batang rokok, Sedangkan bagi rokok yang

menggunakan filter dapat mengalami penurunan 5-15 mg. (Tirtosastro, 2010).

Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan nilai ρ value sebesar 0,05 (<

0,05) artinya terdapat hubungan yang signifikan antara jenis rokok yang dihisap

dengan resiko peningkatan hipertensi. Hal ini sejalan dengan penelitian Susanna

yang menyatakan bahwa kandungan nikotin dalam rokok non filter lebih besar

dari rokok filter, sehingga risiko yang ditimbulkannya akan lebih besar.

Pernyataan tersebut didukung oleh Direktur Agro Departemen Perindustrian

dan Perdagangan (Deperindag) Yamin Rahman, yang menyatakan bahwa

kandungan kadar nikotin pada rokok kretek melebihi 1,5 mg yaitu 2,5 mg dan

kandungan kadar tar pada rokok kretek melebihi 20 mg yaitu 40 mg. Dengan

kandungan nikotin dan tar yag lebih besar serta tidak diserta penyaring pada

pangkat batang rokok, maka potensi masuknya nikotin dan tar ke dalam paru-paru

dari rokok non filter akan lebih besar dari pada rokok filter yang berdampak buruk

pada pemakainya dan salah satunya akan terkena risiko hipertensi.

Berdasarkan Lama Merokok, rata-rata responden dalam penelitian ini sudah

merokok lebih dari 20 tahun dengan prosentase sebesar 52%. Hal ini sesuai

dengan teori Priyoto (2015), yang menyatakan bahwa adanya rentang waktu yang

panjang dari seseorang mulai merokok hingga menderita berbagai penyakit yaitu

sekitar 20-25 tahun. Merokok secara terus-menerus dalam jangka waktu yang

panjang, berpeluang besar untuk menimbulkan penyumbatan arteri di leher

68
(Soeharto, 2004). Sebab rokok yang dihisap mengeluarkan asap yang

mengandung nikotin yang memicu pengeluaran zat-zat seperti adrenalin yang

dapat merangsang denyut jantung dan tekanan darah, selain itu asap rokok

mengandung karbon monoksida (CO) yang memiliki kemampuan jauh lebih kuat

dari pada sel darah merah (hemoglobin) untuk menarik atau menyerap oksigen,

sehingga menurunkan kapasitas sel darah merah untuk membawa oksigen ke

jaringan tubuh termasuk jantung.

Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan ρ value sebesar 0,00 (< 0,05)

artinya terdapat hubungan yang signifikan antara lama merokok dengan resiko

peningkatan hipertensi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Suheni yang

menunjukkan sangat besar pengaruh lama merokok terhadap kejadian hipertensi

(p=0,000 dan OR=21), artinya semakin lama memiliki kebiasaan merokok, maka

semakin tinggi kemungkinan menderita hipertensi. Rokok juga punya dose-

response effect, artinya semakin muda usia mulai merokok, semakin sulit untuk

berhenti merokok, maka semakin lama seseorang akan memiliki kebiasaan

merokok. Hal itu menyebabkan semakin besar pula risiko untuk menderita

hipertensi.

Berdasarkan Derajat Merokok rata rata responden dalam penelitian ini

tergolong dalam kategori perokok sedang. Berdasarkan hasil uji chi square

menunjukkan nilai ρ value sebesar 0,00 (<0,05) artinya terdapat hubungan yang

signifikan antara derajat merokok dengan resiko peningkatan hipertensi. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Miyatake yang mendapatkan peningkatan risiko

sindrom metabolik terdapat pada perokok berat dan sebagian perokok sedang

69
(indeks Brinkmann >600) (p<0,05). Hipertensi merupakan salah satu sindroma

metabolik, artinya terdapat hubungan antara derajat perokok dengan hipertensi.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh peneliti, melalui

empat komponen sub variabel diatas yakni jumlah rokok, jenis rokok, lama

merokok, dan derajat merokok, maka dapat dinyatakan bahwa rata-rata responden

memiliki kebiasaan merokok. Menurut Triyano (2006), kebiasaan menghisap

rokok yang dilakukan secara rutin dianggap membawa dampak buruk bagi

kesehatan. Hal tersebut dipertegas melalui penelitian Julia (2016), bahwa terdapat

hubungan antara kebiasaan merokok dengan hipertensi. Responden yang memiliki

kebiasaan merokok mengaku sulit untuk berhenti, walaupun mereka tahu bahwa

merokok tidak baik bagi kesehatan. Kesulitan untuk menghentikan kegiatan

merokok ini diakui, karena bagi perokok kegiatan merokok telah menjadi

kebiasaan yang sulit untuk ditinggalkan. Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan

erat antara kebiasaan merokok dengan adanya atereosklerosis pada seluruh

pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan

oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. (Depkes, 2006).

Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan dari keempat komponen

kebiasaan merokok yakni diantaranya jumlah rokok, jenis rokok, lama merokok

dan derajat merokok didapatkan nilai ρ value < 0,05 artinya terdapat hubungan

yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan resiko peningkatan hipertensi,

dengan demikian Hipotesis H1 dapat terima.

70
BAB 7

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian keseluruhan hasil penelitian maka dapat disimpulkan

Terdapat Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Terhadap Resiko Peningkatan

Hipertensi pada Laki-Laki Usia 35-65 tahun di Kelurahan Naibonat Rt 047 /

Rw 019, hal tersebut dapat terlihat dari penjabaran sebagai berikut :

7.1.1 Jumlah rokok yang dihisap merupakan faktor resiko kejadian hipertensi

dan ada hubungan antara jumlah rokok yang dihisap dengan resiko

peningkatan hipertensi di kelurahan Naibonat Rt 047 / Rw 019,

diperoleh melalui uji chi square yang mana nilai ρ value = 0,05

(<0,05).

7.1.2 Jenis rokok yang dihisap merupakan faktor resiko kejadian hipertensi

dan ada hubungan antara jenis rokok yang dihisap dengan resiko

peningkatan hipertensi di kelurahan Naibonat Rt 047 / Rw 019,

diperoleh melalui uji chi square yang mana nilai ρ value = 0,05

(<0,05).

7.1.3 Lama Merokok merupakan faktor resiko kejadian hipertensi dan ada

hubungan antara lama merokok dengan resiko peningkatan hipertensi di

kelurahan Naibonat Rt 047 / Rw 019, diperoleh melalui uji chi suare

yang mana nilai ρ value = 0,00 (<0,05).

.7.1.4 Derajat Merokok merupakan faktor resiko kejadian hipertensi dan ada

hubungan antara derajat merokok dengan resiko peningkatan hipertensi

71
di kelurahan Naibonat Rt 047 / Rw 019, diperoleh melalui uji chi

square yang mana nilai ρ value = 0,005 (<0,05).

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Bagi Pelayanan Kesehatan

Diperlukan metode dan kebijakan pemerintah maupun pelayanan

kesehatan terutama untuk mengatasi masalah kebiasaan merokok yang

dapat beresiko dalam meningkatkan angka kejadian hipertensi.

7.2.2 Bagi Profesi Keperawatan

Pendidikan kesehatan selalu diberikan kepada masyarakat guna

mencegah terjadinya peningkatan resiko hipertensi pada masyarakat.

7.2.3 Bagi Masyarakat

Masyarakat hendaknya memperhatikan kesehatannya sendiri dengan

cara selalu mengontrol kesehatan dan membiasakan hidup sehat, salah

satunya secara bertahap mengurangi kebiasaan merokok.

7.2.4 Bagi penelitian Selanjutnya

Penelitian yang akan datang hendaknya dilakukan dengan

memperhatikan perbaikan instrumen penelitian dan dapat juga

membanding-kan faktor lain yang dapat meningkatkan resiko penyakit

hipertensi selain kebiasaan merokok, selain itu alangkah baiknya

sampel yang digunakan bukan terpaku pada usia dewasa dan lansia

yang memiliki memiliki kebiasaan merokok.

72
DAFTAR PUSTAKA

73

Anda mungkin juga menyukai