Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Asma adalah penyakit inflamasi jalan pernapasan kronik dimana

banyak sel berperan, di antaranya sel mast dan eosinofil.1 Asma merupakan

keadaan inflamasi kronik yang menyebabkan obstruksi saluran pernapasan

reversibel dan disertai gejala berupa batuk, mengi, dada terasa terangkat, dan

sesak napas.2 Walaupun Indonesia dinyatakan sebagai low prevalence

country (<5%) untuk asma, kenyataan sulit dibantahkan bahwa asma terdapat

dimana-mana. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti.

Pada anak-anak, penderita asma anak laki-laki lebih banyak dibandingkan

perempuan. Sebaliknya, pada usia dewasa angka kejadian asma pada

perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki.3

Prevalensi obesitas telah meningkat selama dekade yang lalu pada

sebagian besar negara industri. Obesitas adalah penyakit sistemik yang

merupakan predisposisi dari bermacam morbiditas dan merupakan

komplikasi yang menimbulkan efek pada kesehatan.4 Berdasarkan kriteria

dari World Health Organization (WHO), obesitas didefinisikan sebagai

Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 kg/m2.5 Di negara barat, prevalensi obesitas

sangat tinggi, yaitu satu dari tiga penduduk mengalami hal tersebut. Di

Indonesia, obesitas sudah mencapai 1,5%-5%.6 Dari perkiraan >240 juta

penduduk Indonesia tahun 2015, jumlah penduduk yang overweight

1
2

diperkirakan mencapai 76,7 juta (17,5%) dan pasien obesitas berjumlah lebih

dari 9,8 juta (4,7%).7

Prevalensi asma dan obesitas telah meningkat di beberapa dunia pada

dekade belakangan ini, berdasarkan pada spekulasi bahwa orang yang

obesitas meningkatkan resiko perkembangan asma. Pada beberapa penelitian

cross sectional dan case control telah ditemukan adanya hubungan adanya

obesitas dengan asma. Lebih dari dua puluh juta orang Amerika menderita

asma. Lebih dari sepertiganya adalah orang dengan obesitas. Di Manado

sebuah penelitian oleh Ford Tahun 2005 didapatkan 16% anak yang terkena

asma adalah anak yang juga menderi obesitas.8

Peningkatan prevalensi obesitas telah diikuti dengan peningkatan

asma di seluruh dunia baik pada anak-anak maupun dewasa. Banyak hipotesis

telah dikeluarkan untuk menjelaskan peningkatan prevalensi dari asma tetapi

tidak didapatkan kesepakatan.9

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menanggap perlu dilakukan

adanya suatu penelitian untuk mengetahui adanya hubungan antara obesitas

dengan asma bronchial di Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ―Apakah terdapat hubungan

antara Obesitas dengan Asma Bronkial Penghuni Asrama Universitas

Malahayati Bandar Lampung‖.


3

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk hubungan antara Obesitas dengan Asma Bronkial

Penghuni Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui status gizi pasien Asma Bronkial Penghuni

Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung.

2. Untuk mengetahui hubungan antara Obesitas dengan Asma

Bronkial Penghuni Asrama Universitas Malahayati Bandar

Lampung.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah

pengalaman dalam penelitian serta sebagai bahan untuk menerapkan

ilmu yang telah didapat selama kuliah khususnya ke dalam metodologi

penelitan.

1.4.2. Manfaat Bagi Ilmu Kedokteran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

kepada petugas kesehatan tentang manfaat pengukuran status gizi untuk

memprediksi kejadian asma bronkial.

1.4.3. Manfaat Bagi Fakultas

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan

informasi yang terbaru guna menambah informasi yang telah ada


4

sebelumnya serta menunjang kegiatan penelitian yang akan

dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.

1.5. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan di Asrama Universitas Malahayati Bandar

Lampung pada bulan November 2014. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara obesitas dengan asma bronkial di Asrama

Universitas Malahayati Bandar Lampung tahun 2014. Subyek penelitian ini

adalah pasien asma, baik laki-laki maupun perempuan yang berkunjung di

Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung serta pasien riwayat atopi

(dermatitis atopik dan rhinitis alergika) sebagai kontrol. Peneliti membatasi

ruang lingkup pada subyek yaitu obesitas dan asma bronkial. Jenis penelitian

ini adalah cross sectional dengan menggunakan metode analitik.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asma Bronkial

2.1.1. Definisi

Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya ―terengah-

engah‖ dan berarti serangan nafas pendek.10 Nelson mendefinisikan

asma sebagai kumpulan tanda dan gejala mengi dan atau batuk

dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau

kronik, cenderung pada malam hari/dini hari, musiman, adanya faktor

pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara

spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau

atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah

disingkirkan.11

Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global

Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan

inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan,

khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan

inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada

tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.12 Gejala ini

biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas

namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik secara

5
6

spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini juga berhubungan

dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. 12

2.1.2. Patofisiologi Asma

Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi

spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding

bronkus.10 Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena secara

fisiologis saluran nafas menyempit pada fase tersebut. Hal ini

mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi terjebak tidak

bisa diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,

kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernafas pada

volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan

hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan

pertukaran gas berjalan lancar. Gangguan yang berupa obstruksi

saluran nafas dapat dinilai secara obyektif dengan Volume Ekspirasi

Paksa (VEP) atau Arus Puncak Ekspirasi (APE). Sedangkan

penurunan Kapasitas Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat

hiperinflasi paru. Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di

saluran nafas yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi

menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar. Manifestasi

penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan oleh bronkokontriksi,

hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan deskuamasi

sel epitel serta sel radang. Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan

nonspesifik, akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan


7

respon bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen

yang dihirup (tungau debu, tepungsari, sari kedelai, dan protein

minyak jarak), protein sayuran lainnya, infeksi virus, asap rokok,

polutan udara, bau busuk, obat-obatan (metabisulfit), udara dingin,

dan olah raga.13

Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot

polos bronkus, hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi

sel radang (eosinofil, neutrofil, basofil, makrofag), dan deskuamasi.

Tanda-tanda patognomosis adalah krisis kristal Charcot-leyden

(lisofosfolipase membran eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder

mukosa bronkiale), dan benda-benda Creola (sel epitel terkelupas).

Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan nafas

intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi.

Penyumbatan jalan nafas difus, penyumbatan ini tidak seragam di

seluruh paru. Atelektasis segmental atau subsegmental dapat terjadi,

memperburuk ketidak seimbangan ventilasi dan perfusi.

Hiperventilasi menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat

kerja pernafasan bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner yang

diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan nafas yang tersumbat, dapat

menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau penutupan dini

(prematur) beberapa jalan nafas total selama ekspirasi, dengan

demikian menaikkan risiko pneumotoraks.13


8

2.1.3. Epidemiologi Asma

Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita

bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang

menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-5 tahun.13

Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadanghanya mendapat

serangan ringan sampai sedang, yang relatif mudah ditangani.

Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya

lebih banyak yang terus menerus dari pada yang musiman. Hal

tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu

kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke

hari. Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma tinggi. Di

Australia prevalensi asma usia 8-11 tahun pada tahun 1982 sebesar

12,9% meningkat menjadi 29,7% pada tahun 1992.14

Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang bervariasi

antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang, Ujung Pandang, dan

Yogyakarta memberikan angka berturut-turut 7,99%; 8,08%; 17% dan

4,8%29). Penelitian epidemiologi asma juga dilakukan pada siswa

SLTP di beberapa tempat di Indonesia, antara lain: di Palembang,

dimana prevalensi asma sebesar 7,4%; di Jakarta prevalensi asma

sebesar 5,7% dan di Bandung prevalensi asma sebesar 6,7%. 15

Belum dapat disimpulkan kecenderungan perubahan

prevalensi berdasarkan bertambahnya usia karena sedikitnya

penelitian dengan sasaran siswa SLTP, namun tampak terjadinya


9

penurunan (outgrow) prevalensi asma sebanding dengan

bertambahnya usia terutama setelah usia sepuluh tahun. Hal ini yang

menyebabkan prevalensi asma pada orang dewasa lebih rendah jika

dibandingkan dengan prevalensi asma pada anak.15

2.1.4. Etiologi Asma

Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor

autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai

tingkat pada berbagai individu. Aktivitas bronkokontriktor neural

diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung

sensoris vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau

iritan, tergantung pada lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang

aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos

bronkus. Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai

relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif

merupakan suatu neuropeptida dominan yang dilibatkan pada

terbukanya jalan nafas. Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik

atau alergi, terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan

seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Bentuk asma inilah

yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada

orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut intrinsik. 13

Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam

hubungannya dengan kehamilan dan mentruasi atau pada saat wanita

menopause, dan asma membaik pada beberapa anak saat pubertas.


10

Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala-gejala pada beberapa

anak dan dewasa yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifat-

sifat perilaku yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada

anak dengan penyakit kronis lainnya.13

2.1.5. Diagnosis Asma

Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-

tanda klinik dan pemeriksaan tambahan.16

1. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang,

mengi, sesak dada, kesulitan bernafas.

2. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan

saluran nafas, alergen dan emosi, sedangkan perangsang (inducer)

berupa kimia, infeksi dan alergen.

3. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping

hidung pada saat inspirasi (anak), bicara terputus putus, agitasi,

hiperinflasi toraks, lebih suka posisi duduk. Tanda-tanda lain

sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan hiperinflasi torak.

4. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian

metakolin atau bronkodilator sebelum dan sesudah olahraga dapat

membantu menegakkan diagnosis asma.13

Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun.

Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan fungsi paru

sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak


11

flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain

dapat melalui provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan

(exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis.

Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu

diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui

keberhasilan tata laksana asma, selain itu dapat juga menggunakan

lembar catatan harian sebagai alternatif.17

2.1.6. Klasifikasi Berdasarkan Berat Penyakit

Klasifikasi asma yaitu.18

1. Asma ekstrinsik

Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang

disebabkan karena reaksi alergi penderita terhadap alergen dan

tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat.

2. Asma intrinsik

Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu

yang berasal dari alergen. Asma ini disebabkan oleh stres,infeksi

dan kodisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban,suhu, polusi

udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan.

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan

asma berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:

1. Asma Intermiten (asma jarang)

a. gejala kurang dari seminggu


12

b. serangan singkat

c. gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan

d. FEV 1 atau PEV > 80%

e. PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%

2. Asma mild persistent (asma persisten ringan)

a. gejala lebih dari sekali seminggu

b. serangan mengganggu aktivitas dan tidur

c. gejala pada malam hari > 2 kali sebulan

d. FEV 1 atau PEV > 80%- PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% –

30%

3. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)

a. gejala setiap hari

b. serangan mengganggu aktivitas dan tidur

c. gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu

d. FEV 1 tau PEV 60% – 80%

e. PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%

4. Asma severe persistent (asma persisten berat)

a. gejala setiap hari

b. serangan terus menerus

c. gejala pada malam hari setiap hari

d. terjadi pembatasan aktivitas fisik

e. FEV 1 atau PEF = 60%

f. PEF atau FEV variabilitas > 30%


13

Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat

diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan asma yaitu:

1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan,

bicara satu kalimat, bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi

kadang hanya pada akhir ekspirasi.

2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara

memenggal kalimat, lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi

nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang terdengar pada

saat inspirasi.

3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan

posisi duduk bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada

sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop.

Serangan asma dengan ancaman henti nafas, sudah tidak

terdengar mengi dan timbul bradikardi.

Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat

serangan asma. Seorang penderita asma persisten (asma berat) dapat

mengalami serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan dapat

mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma berat yang

mengancam terjadi henti nafas yang dapat menyebabkan kematian.12


14

2.2. Obesitas

2.2.1. Definisi

WHO mendefinisikan obesitas sebagai suatu keadaan dengan

kelebihan lemak tubuh yang menjadi permasalahan kesehatan

sehingga bisa mempengaruhi kesehatan.19 Untuk mendefinisikan

obesitas sering digunakan Body Mass Indeks (BMI) atau Indeks

Massa Tubuh (IMT) yang mana dibatasi oleh BMI > 30. Yaitu dengan

menggunakan Rumus Perhitungan Indeks Massa Tubuh ( IMT ) =

Berat Badan (kg)/(Tinggi Badan (cm)/100)2. Perhitungan didasarkan

pada tinggi badan dan berat badan.20 Ukuran yang ditetapkan WHO

ternyata terlalu besar untuk orang Asia.

Menurut WHO berat badan dan Obesitas dapat diklasifikasikan


berdasarkan IMT, yaitu :

Tabel 2.1 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan


Obesitas Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia
Pasifik Klasifikasi obesitas
Klasifikasi IMT
Berat badan kurang <18,5
Kisaran normal 18,5-22,9
Berat badan lebih >23,0
Beresiko 23,0-24,9
Obese I 25,0-29,9
Obese II >30,0

2.2.2. Tipe Obesitas

Tipe Obesitas dapat ditentukan berdasarkan distribusi lemak

tubuh dengan membagi pinggang oleh lingkar pinggul. 21 Tipe-tipe

obesitas yakni :22


15

1. Obesitas Tipe Android (Tipe Buah Apel)

Kegemukan tipe android banyak terjadi pada pria dan

wanita yang telah mengalami menopause. Timbunan lemak

umumnya terdapat di bagian atas tubuh. Kegemukan tipe android

lebih berisiko terkena penyakit-penyakit yang berhubungan dengan

metabolisme glukosa dan lemak seperti penyakit gula (diabetes

melitus, penyakit jantung koroner, stroke, pendarahan otak, dan

tekanan darah tinggi).

2. Obesitas Tipe Genoid (Tipe Buah Pir)

Tipe kegemukan yang satu ini ditandai dengan banyaknya

timbunan lemak di bagian bawah tubuh, yaitu di sekitar perut,

pinggul, paha, dan pantat. Tipe ini banyak terjadi pada wanita. Tipe

ginoid lebih aman dari penyakit-penyakit degeneratif, tetapi

penurunan berat badan akan lebih susah dilakukan.

2.2.3. Penyakit yang dihubungkan dengan Obesitas

Beberapa penyakit yang dihubungkan dengan obesitas yaitu 23

1. Penyakit Kardiovaskuler

1. Hipertensi

2. Penyakit Janung Koroner

3. Penyakit Serebrovaskuler

4. Pelebaran Pembuluh Vena


16

5. Trombosis Vena

2. Penyakit Pernapasan

1. Asma

2. Sleep Apnoe

3. Sindroma Hipoventilasi

3. Gangguan Metabolik

1. Hiperlipidemia

2. Diabetes Melitus

3. Resistensi Insulin

4. Gangguan Menstruasi

4. Gangguan Sistem Pencernaan

1. Perlemakan Hati dan Sirosis Hepatis

2. Haemorrhoid

3. Hernia

4. Kanker Colorectal

5. Gallstones

2.3. Hubungan antara Obesitas dengan Asma

Obesitas meningkatkan jumlah inflamasi pada tubuh. 24 Jaringan

lemak mensintesis dan mensekresi beberapa mediator inflamasi. Karenanya

sistem imun berperan pada patofisiologi asma. 8 Obesitas juga dapat

menyebabkan penurunan volume paru.25

1. Obesitas dan Fungsi Paru


17

Obesitas memiliki efek mekanik yang penting untuk perubahan

fisiologi paru gejala yang timbul mirip asma. Obesitas menyebabkan

penurunan sistem komplians paru, volume paru, dan diameter saluran

napas perifer. Akibatnya, terjadi peningkatan hiperreaktivitas saluran

napas, perubahan volume darah pulmoner, dan gangguan fungsi ventilasi

perfusi.

Penurunan sistem komplians paru pada obesitas disebabkan oleh

penekanan dan infiltrasi jaringan lemak di dinding dada, serta

peningkatan volume darah paru. Dispneu merupakan gejala akibat

terganggunya sistem ini. Selain itu, pada penderita obesitas aliran udara

di saluran napas terbatas, ditandai dengan menurunnya nilai FEV1 dan

FVC yang umumnya terjadi simetris. Penurunan volume paru

berhubungan dengan berkurangnya diameter saluran napas perifer

menimbulkan gangguan fungsi otot polos saluran napas. Hal ini

menyebabkan perubahan siklus jembatan aktin-miosin yang berdampak

pada peningkatan hiperreaktivitas dan obstruksi saluran napas.26

2. Obesitas dan Mediator Inflamasi

Jaringan adiposit memproduksi sejumlah molekul pro-inflamasi

yang berperan dalam sistem imun seperti interleukin (IL)-6, eotaxin,

tumor necrosis factor (TNF)-α, transforming growth factor (TGF)-β1,

leptin, dan adiponektin. Pada penderita obesitas produksi molekul-

molekul tersebut meningkat sehingga menimbulkan respons inflamasi


18

sistemik. Berikut informasi mengenai molekul-molekul yang berperan

pada patogenesis asma.27

a. Il-6

Sel adiposit memproduksi IL-6 dan kadarnya berkorelasi dengan

massa lemak tubuh total. Kadar IL-6 yang meningkat berhubungan

dengan stimulasi terhadap histamin, IL-4, TNF-α, dan IL-1. Stimulasi

terhadap IL-4 akan meningkatkan produksi IgE yang berperan penting

pada asma. IL-6 juga berperan untuk terjadinya fibrosis subepitelial

saluran napas, yang merupakan kunci terjadinya remodeling saluran

napas pada asma.28

b. Eotaxin

Eotaxin merupakan kemokin yang berperan dalam migrasi

eosinofil dari darah ke saluran napas sehingga menimbulkan respons

inflamasi pada penderita asma. Eotaxin pada manusia disekresikan

oleh sel endotel, fibroblas, makrofag, sel epitel bronkus bersilia dan

tidak bersilia, sel otot polos, kondrosit, dan eosinofil. Ditemukan

bahwa jaringan adiposit juga mensekresikan eotaxin dan kadarnya

meningkat baik pada tikus percobaan maupun manusia yang obesitas.

Selain itu percobaan penurunan berat badan pada manusia

menyebabkan menurunnya kadar eotaxin plasma. Hal ini

membuktikan bahwa kadar eotaxin yang meningkat pada obesitas

akan meningkatkan risiko seseorang menderita asma. 29

c. Tnf-α
19

TNF-α juga dihasilkan oleh sel adiposit dan kadarnya

berhubungan langsung dengan massa lemak tubuh. Selain itu,

diketahui bahwa pada asma terjadi peningkatan kadar TNF-α yang

meningkatkan produksi sitokin T helper (Th)-2 yakni IL-4 dan IL-6 di

epitel bronkus.26

d. TGf- β1

Pada asma, TGF-β1 dihasilkan oleh eosinofil dan makrofag.

Sitokin ini menyebabkan terjadinya transformasi fibroblas menjadi

miofibroblas dan berdampak terhadap remodeling saluran napas.30

e. Leptin

Banyak penelitian yang menyatakan bahwa leptin merupakan

faktor yang berperan dalam hubungan antara obesitas dan asma.

Leptin merupakan hormon yang di produksi oleh adiposit dan

kadarnya meningkat pada penderita obesitas. Melalui pengaturan di

hipotalamus, leptin berfungsi mengatur asupan energi dan

metabolisme tubuh. Selain itu, leptin memiliki peran dalam

pengaturan respons inflamasi pada penderita obesitas yakni mengatur

proliferasi dan aktivasi sel T, promosi angiogenesis, serta aktivasi sel

monosit dan makrofag. Kadar leptin dalam darah dapat digunakan

untuk memprediksi terjadinya asma pada anak.26

f. Adiponektin

Adiponektin memiliki peran sebagai anti-inflamasi termasuk di

saluran napas. Pada obesitas terjadi penurunan kadar adiponektin


20

serum sehingga mempermudah terjadinya respons inflamasi, seperti

pada asma.26

3. Faktor Genetik

Polimorfisme genetik menyebabkan terdapatnya beberapa efek

yang mungkin muncul pada satu gen. Selain itu, suatu gen yang terdapat

pada satu region kromosom dapat pula menjadi penghubung antara satu

penyakit dengan penyakit lainnya. Kandidat gen yang berperan pada

obesitas dan asma terdapat pada region kromosom 5q, 6p, 11q13, dan

12q.26

a. Kromosom 5q

Pada kromosom 5q terdapat kandidat gen ADRB2, NR3C1, dan

GRL yang berhubungan untuk terjadinya asma dan obesitas.

Polimorfisme gen ADRB2 menyebabkan peningkatan kadar IgE

serum dan derajat serangan asma, gangguan respons terapi terhadap

pemberian β agonis, serta menyebabkan obesitas.31

Gen NR3C1 berperan untuk respons inflamasi baik pada asma

maupun obesitas. Sedangkan gen GRL berhubungan dengan

peningkatan derajat serangan asma, berkurangnya respons terhadap

steroid pada pengobatan asma, dan terjadinya obesitas. 31

b. Kromosom 6q

Kromosom 6q mengandung kandidat gen TNF-α yang berperan

terhadap hiperreaktivitas saluran napas, asma, dan terjadinya

obesitas.26
21

c. Kromosom 11q

Kromosom 11q memiliki dua kandidat gen yakni UCP2-UCP3

dan gen untuk reseptor IgE. UCP2-UCP3 mempengaruhi pengaturan

metabolisme tubuh tetapi tidak berperan pada asma. Sebaliknya, gen

reseptor IgE memiliki peran dalam respons inflamasi sel Th-2 yang

meningkat pada asma namun tidak berperan pada obesitas. 26

d. Kromosom 12q

Pada kromosom ini terdapat gen untuk sitokin inflamasi pada

asma (IFN-γ, LTA4H, NOS-1) dan obesitas (STAT6,

IGF1,CD36L1).26

4. Hormonal

Banyak penelitian membuktikan bahwa efek obesitas pada asma

lebih sering terjadi pada wanita. Hal ini menjelaskan pengaruh hormon

seks terhadap kedua penyakit tersebut. Penelitian Castro-Rodriguez, dkk

menemukan bahwa anak perempuan overweight atau obesitas yang

mengalami pubertas lebih awal berisiko lebih tinggi terhadap kejadian

asma dibandingkan dengan anak perempuan yang memiliki IMT normal.

Ada dua hal yang menjelaskan pengaruh hormonal dalam hubungan

obesitas dan asma. Pertama, obesitas mempengaruhi pengaturan hormon

perempuan sehingga mempercepat pubertas. Pada keadaan ini, sel

adiposit memproduksi estron (salah satu estrogen alami) dan leptin

sehingga kadarnya meningkat dalam darah. Kedua hormon ini memiliki

peran untuk terjadinya asma. Hormon estrogen berperan mempengaruhi


22

respons saluran napas terhadap β2 adrenergik, sedangkan leptin

mempengaruhi respons inflamasi. 27

Kedua, peningkatan hormon estrogen pada perempuan obes

cenderung menyebabkan atopi. Hal ini karena hormon perempuan

menyebabkan sel limfosit menyekresi lebih banyak IL-4 dan IL-13

sehingga meningkatkan produksi IgE. Meningkatnya kepekaan terhadap

alergi pada anak perempuan yang obes menjelaskan terjadinya asma.27

5. Diet

Konsumsi makanan penderita obesitas cenderung memiliki nilai

nutrisi rendah tetapi tinggi lemak. Kadar vitamin A, C, E, karoten,

riboflavin, piridoksin, zinc, dan magnesium yang dikonsumsi berbanding

terbalik dengan kadar lemak tubuh. Rendahnya kadar zat-zat tersebut

berpengaruh terhadap terjadinya asma. Defisiensi zinc dan magnesium

berhubungan dengan munculnya gejala asma dan hiperreaktivitas

bronkus. Selain itu, defisiensi zinc juga meningkatkan respons imun sel

Th. Vitamin A, E, karoten, riboflavin, dan piridoksin diduga

berhubungan dengan penurunan fungsi paru dan asma. Kadar vitamin C

yang rendah berhubungan dengan meningkatnya prevalensi asma pada

anak dan dewasa, gejala respirasi, serta hiperreaktivitas bronkus.

Suplementasi vitamin C menunjukkan terjadinya penurunan derajat

serangan dan frekuensi asma, bronkospasme yang diinduksi oleh

aktivitas, dan respons saluran napas terhadap metakolin. 27

Nutrien lain yang berhubungan untuk terjadinya asma adalah

natrium (Na). Pada obesitas terjadi retensi Na akibat produksi


23

angiotensin II oleh adiposit dan leptin yang menimbulkan efek simpatis

langsung pada sistem renal. Beberapa penelitian menemukan bahwa

peningkatan Na berhubungan dengan peningkatan reaktivitas saluran

napas, tetapi penelitian lain tidak menemukan hal ini. Restriksi Na pada

tiga uji klinik memperbaiki respons saluran napas, FEV1, dan gejala

asma.31
24

2.4 Kerangka Teori

Obesitas

↓Kompliens Paru Gangguan Gangguan Nutrisi Genetik


↑Lemak Tubuh ↓Volume Paru Hormonal
↓Diameter Saluran
napas

↑IL-6 ↑Eotoxin ↑Leptin ↓Adiponektin Kromosom 5q


↓Kadar vitamin A,
Hipereaktifitas ↑Leptin ↑Esterogen C, E, karo-
Saluran Napas ten, riboflavin,
piridoksin, zinc, Gen ADRB2
Histamin, Migrasi dan magnesium
IL-4, TNF- Pengaturan Pengaturan β2
Eosinofil Respon
α, dan IL-1 Respon Adrenergik
Inflamasi Inflamasi ↑IgE Serum

Remodeling Saluran
Napas

↑ Derajat Asma

Gambar 2.1. Kerangka Teori.26


:
Diteliti
25

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka dapat disusun kerangka

konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Obesitas Asma Bronkial

Gambar 2.2. Kerangka Konsep.

2.6 Hipotesis

Ha : Terdapat hubungan antara Obesitas dengan Asma Bronkial

Penghuni Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung.

Ho : Tidak terdapat hubungan antara Obesitas dengan Asma Bronkial

Penghuni Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung.


26

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah cross sectional dengan

menggunakan metode analitik. Cross sectionaladalahsuatu penelitian untuk

mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek,

dengan carapendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada

suatu saat (point time approach).32

3.2. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2014 di Asrama

Universitas Malahayati Bandar Lampung.

3.3. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian dapat diartikan sebagai keseluruhan dari

objek yang akan diteliti.32 Dalam populasi dijelaskan secara spesifik tentang

siapa atau golongan mana yang menjadi sasaran penelitian

tersebut.33Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien asma di

Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung.

3.4. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari seluruh individu yang menjadi objek

penelitian.33Sampel pada penelitian ini yaitu beberapa pasien asma di

25
27

Asrama Universitas Malahayati Bandar Lampung yang didapatkan melalui

rumus. Rumus yang digunakan pada penelitian ini adalah rumus analitik

berpasangan dengan skala kategorik, yaitu:

N1=N2= (Zα+Zβ)2π
(P1-P2)2

Keterangan :

 𝑛1 = 𝑛2 = = jumlah sampel

 𝑍𝛼 = derivat baku normal untuk α sebesar 1,96

 𝑍𝛽 = derivat baku normal untuk β sebesar 0,842

 P1 − P2= 0,48 (Berdasarkan Penelitian Abraham, 2007)34

 P1 = selisih semua sampel dengan pasien yang memiliki

faktorresiko(P2) (1-0,31) =0,69

 P2= Proporsi pasien dengan lingkar pinggang dalam kategori

obesitas berdasarkan penelitian Abraham, 2007 (21%)

 π= diskordan (0,8 (Ketetapan penulis))

Sehingga besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah:

N1=N2= (1,96+0,842)20,8
(0,48)2

n=27,26 ~ 28 Orang

Sebagai pebanding peneliti menggunakan pasien dengan riwayat

atopik (dermatitis atopik dan rhinitis alergika) sebagai kontrol sehingga total

sampel yang dibutuhkan adalah 56 orang.


28

3.5. Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara

Concecutive Sampling, yaitu metode pengambilan sampel dimana peneliti

akan mengumpulkan sampel sampai jumlah sampel terpenuhi.35

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien di diagnosis asma, baik laki-laki maupun perempuan.

b. Pasien dengan riwayat atopik.

c. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani informed consent.

2. Kriteria Eksklusi

1. Steroid

3.6. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini ada dua yaitu variabel bebas dan

variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

obesitas.Sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah asma

bronkial.
29

3.7. Definisi Operasional Variabel Penelitian

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
1 Obesitas Keadaan dengan Mikrotoise Pengamatan 0: Obesitas (> 30 Nominal
kelebihan indeks dan dari hasil kg/m3)
massa tubuh (IMT) timbangan pemeriksaan 1: Non-Obesitas
>30 kg / m3 pasien. (≤ 30 kg/m3)
2 Asma Sesak nafas yang Kuesioner Wawancara 0: Ya Nominal
Bronkial disebabkan oleh dan data 1: Tidak
alergi dengan gejala rekam medik
mengi atau batuk dan
cenderung
malam/dini hari

Gambar 3.1 Definisi Operasional Variabel Penilitian

3.8. Alur Penelitian

Asma

1. Kriteria Inklusi 2. Kriteria Eksklusi

a. Dewasamuda a. Steroid
terdiagnosis asma

Obesitas Non-obesitas

Analisis Data

Gambar 3.1. Alur Penelitian


30

3.9. Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Jenis data yang akan dikumpulkan dan dianalisis berupa data

kualitatif yang terdiri dari data nominal.

2. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini adalah data primer yaitu melalui

pengukuran langsung ke responden.

3. Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data dilakukan dengan mengamati hasil

pengukuran dan wawancara dari pasien asma di Asrama Universitas

Malahayati Bandar Lampung.

3.10. Pengolahan Data

Data diolah dan dianalisis secara analitik dengan komputer

menggunakan program SPSS versi 19.0. Analisis secara analitik digunakan

untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat

menggunakan uji Korelasi Spearman Rank. Analisis disajikan dalam bentuk

grafik dan tabel.

Tahap-tahap pengolahan data adalah sebagai berikut:

1. Editing, yaitu memeriksa data yang telah dikumpulkan untuk diteliti

kelengkapan, kejelasan makna jawaban, maupun kesalahan dari data

yang diperoleh.
31

2. Coding, yaitu memberikan kode-kode untuk memudahkan proses

pengolahan data.

3. Proccessing, yaitu pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry

data dari rekam medis ke paket komputer SPSS for Window.

4. Cleaning, yaitu pengecekan kembali data yang sudah dimasukkan ke

dalam program SPSS.35

3.11. Analisis Data

3.11.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi

frekuensi masing-masing variabel, baik variabel bebas dan variabel

terikat.

3.11.2 Analisis Bivariat

Analisa ini digunakan untuk mengukur keeratan hubungan

antara variabel terikat dengan variabel bebas. Analisa dilakukan

dengan uji Korelasi Spearman Rank, pada selang kepercayaan 95%.

Dengan selang kepercayaan tersebut, maka bila p-value <0,05 maka

hasil perhitungan statistik bermakna dan bila p-value >0,05 maka

hasil perhitungan statistik tidak bermakna.

Dari koefisien korelasi (r) yang didapatkan, akan ditentukan

keeratan hubungan korelasi dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Nilai r : 0,00—0,20 berarti keeratan korelasi sangat lemah.

2. Nilai r : 0,21—0,40 berarti keeratan korelasi lemah.

3. Nilai r: 0,41—0,70 berarti keeratan korelasi kuat.


32

4. Nilai r : 0,71—0,90 berarti keeratan korelasi sangat kuat.

5. Nilai r : 0,91—0,99 berarti keeratan korelasi sangat kuat sekali.

6. Nilai r : 1 berarti keeratan korelasi sempurna.

Anda mungkin juga menyukai