Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Media sosial sudah menjadi tempat mengungkapkan amarah, kebencian, caci
maki, penghinaan, cyber bullying, dan proses komunikasi dalam kategori
antikomunikasi lainnya. Tidak terbatas pada masalah politik dan sosial, juga pada
masalah agama, SARA, bahkan masalah pribadi sekalipun turut meramaikan ruang di
media sosial (Nurudin. 2010).
Seperti yang dikatakan (Kismiyati. 2011) bahwa apa yang berkembang di
media sosial belakangan ini mungkin dapat disebut sebagai kecenderungan proses
berkomunikasi dalam kategori anti komunikasi. Penyampaian pesan, diskusi, dan
silang pendapat di media sosial telah mengabaikan hal-hal yang fundamental dalam
komunikasi seperti penghormatan kepada orang lain, empati kepada lawan bicara, dan
antisipasi atas dampak-dampak ujaran atau pernyataan. Pada prinsipnya, praktik
berkomunikasi di ruang publik mensyaratkan kemampuan pengendalian diri,
kedewasaan dalam bersikap, serta tanggung jawab atas setiap ucapan yang hendak
atau sedang disampaikan.
Namun yang terjadi di media sosial saat ini adalah tren yang sebaliknya.
Begitu mudah orang menumpahkan amarah atau opini negatif tanpa memikirkan
perasaan orang lain. Begitu mudah orang memojokkan dan menghakimi orang lain,
tanpa berpikir pentingnya memastikan kebenaran informasi atau analisis tentang
orang tersebut. Begitu sering orang terlambat menyadari bahwa apa yang
diungkapkannya di media sosial telah tersebar ke mana-mana, menimbulkan
kegaduhan publik dan merugikan pihak tertentu (Haryatmoko. 2012).
Tren yang berkembang di media sosial adalah tidak adanya kedewasaan dan
sikap bertanggung jawab pengguna media sosial. Tampak jelas bahwa telah terjadi
krisis etika berkomunikasi melalui media sosial. Bangsa Indonesia saat ini berada
dalam kelimpahruahan informasi, tetapi kualitas literasinya atau melek media,
terutama media sosial masih rendah. Makanya, tidak heran jika penipuan lewat
internet dan cyber crime-nya meningkat. Akses ke pornografi meningkat dan mudah,
berita bohong (hoax) serta caci maki di media sosial alias cyber bullying marak,

1
bahkan media sosial seperti Twitter dapat dimanfaatkan untuk membangun pencitraan
dan narsisme. Sayangnya, penggunaan media sosial yang masif digunakan oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia lebih banyak untuk membahas hal yang bersifat
pribadi. Belum digunakan sebagai sarana informasi dan komunikasi yang memberi
energi pencerahan dan semangat untuk memupuk kebersamaan dan persaudaraan atas
dasar keragaman (Rulli, N. 2015).
Padahal, media sosial sejatinya dapat menjadi wahana untuk mendudukkan
proses dialog yang sehat dalam berkomunikasi agar terwujud harmonisasi. Media
sosial sejatinya menempatkan proses dialog dalam berkomunikasi dan menciptakan
ruang untuk menciptakan diseminasi gagasan secara rasional dan menyejukkan.
Dengan demikian, diperlukan kajian etika komunikasi untuk mencari standar etika
apa yang harus digunakan oleh komunikator dan komunikan dalam menilai di antara
teknik, isi dan tujuan komunikasi di media sosial (Sudibyo, A. 2016).

B. Rumusan Masalah
1. …
2. …

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk megetahui bagaimana etika dalam menggunakan media sosial.
2. Tujuan Khusus
a. ….
b. ….
D. Metodologi Penulisan
Untuk memperoleh bahan penulisan yang dibutuhkan dalam penyusunan makalah ini,
maka penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut :
1. Metode Penulisan
Data-data yang dipergunakan dalam penulisan laporan harian ini beasal dari
berbagai literatur kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
Beberapa jenis referensi utama adalah beberapa buku mengenai etika dalam
menggunakan media sosial dan artikel yang bersumber dari internet. Jenis data
yang diperoleh bervariatif, bersifat kualitatif dan kuantitatif.

2
2. Pengumpulan Data
Metode penulisan bersifat studi pustaka dari berbagai literatur dan disusun
berdasarkan hasil diskusi dari informasi yang diperoleh. Penulisan diupayakan
saling terkait antara satu sama lain sesuai dengan topik yang dibahas.

E. Manfaat Penulisan
1. Bagi Institusi Pelayanan
Dapat menjadi bahan untuk menambah pengetahuan tenaga kesehatan dalam
beretika dimedia sosial.
2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Bagi pendidikan ilmu keperawatan sebagai bahan bacaan dan menambah
wawasan bagi mahasiswa kesehatan kususnya perawat dalam hal penambah
pengetahuan dan perkembangan tentang etika dalam menggunakan media sosial.
3. Manfaat Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dalam aplikasi yang lebih nyata dalam beretika
menggunakan media sosial.
4. Manfaat Bagi Pembaca
Untuk menambah pengetahuan dan wawasan pembaca tentang etika dalam
menggunakan media sosial.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Etika
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat suatu sistem yang mengatur tata
cara manusia bergaul. Tata cara pergaulan untuk saling menghormati biasa kita kenal
dengan sebutan sopan santun. Tata cara pergaulan bertujuan untuk menjaga
kepentingan komunikator dengan komunikan agar merasa senang, tentram,
terlindungi tanpa ada pihak lain yang dirugikan kepentingannya dan perbuatan yang
dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku serta tidak bertentangan dengan
hak asasi. Secara umum tata cara pergaulan, aturan perilaku, adat kebiasaan manusia
dalam bermasyarakat dan menentukan nilai baik dan nilai tidak baik disebut sebagai
etika. (Baihaki, E. 2016)
Secara umum, menurut (Nurudin. 2010) etika dapat dibagi menjadi :
1. Etika Umum
Membahas kondisi dasar bagaimana manusia bertindak etis, dalam mengambil
keputusan etis, dan teori etika serta mengacu pada prinsip moral dasar yang
menjadi pegangan dalam bertindak dan tolok ukur atau pedoman untuk menilai
baik atau buruknya suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok
orang.
2. Etika Khusus
Penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang khusus, yaitu bagaimana
mengambil keputusan dan bertindak dalam kehidupan sehari- hari pada proses dan
fungsional dari suatu organisasi. Etika khusus dibagi menjadi dua bagian yaitu,
Etika individual menyangkut kewajiban dan perilaku manusia terhadap dirinya
sendiri. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan perilaku sebagai
anggota masyarakat yang berkaitan dengan nilai- nilai sopan santun, tata krama
dan saling menghormati.

Etika berasal dari kata ethikus dan dalam bahasa Yunani disebut ethicos yang
berarti kebiasaan norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran baik dan
buruk tingkah laku manusia. Jadi, etika komunikasi adalah norma, nilai, atau ukuran
tingkah laku baik dalam kegiatan komunikasi di suatu masyarakat (Sudibyo, A. 2016).

4
Dari definisi etika diatas, dapat diketahui bahwa “etika” berhubungan dengan
empat hal sebagai berikut (Haryatmoko. 2012) :
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang
dilakukan oleh manusia.
2. Dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.
Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula
universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan
sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas
perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu
ekonomi dan sebagainya.
3. Dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap
terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan
tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan
demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang
dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-
nilai yang ada.
4. Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai
dengan tuntutan zaman.

Selanjutnya, Nilsen (Rulli, N. 2015), mengatakan bahwa untuk mencapai etika


komunikasi, perlu diperhatikan sifat-sifat berikut :
1. Penghormatan terhadap seseorang sebagai person tanpa memandang umur, status
atau hubungannya dengan si pembicara.
2. Penghormatan terhadap ide, perasaan, maksud dan integritas orang lain.
3. Sikap suka memperbolehkan, keobjektifan, dan keterbukaan pikiran yang
mendorong kebebasan berekspresi.
4. Penghormatan terhadap bukti dan pertimbangan yang rasional terhadap berbagai
alternatif
5. Terlebih dahulu mendengarkan dengan cermat dan hati-hati sebelum menyatakan
persetujuan atau ketidaksetujuan.

5
B. Komunikasi
Sistem komunikasi, verbal maupun nonverbal, membedakan suatu kelompok dari
kelompok lainnya. Terdapat banyak sekali bahasa verbal diseluruh dunia ini demikian
pula bahasa nonverbal, meskipun bahasa tubuh (nonverbal) sering dianggap bersifat
universal namun perwujudannya sering berbeda secara local (Kismiyati. 2011).
Komunikasi merupakan keterampilan paling penting dalam hidup kita. Seperti
halnya bernafas, banyak orang beranggapan bahwa komunikasi sebagai sesuatu yang
otomatis terjadi, sehingga orang tidak tertantang untuk belajar berkomunikasi secara
efektif dan beretika. Hal yang paling penting dalam komunikasi, bukan sekadar pada
apa yang dikatakan, tetapi pada karakter kita dan bagaimana kita mentransfer pesan
serta menerima pesan. Komunikasi harus dibangun dari diri kita yang paling dalam
sebagai fondasi integritas yang kuat (Baihaki, E. 2016).
Komunikasi merupakan suatu hal yang amat penting dalam kehidupan manusia.
Kita tidak bisa, tidak berkomunikasi. Kita belajar menjadi manusia melalui
komunikasi. Komunikasi sudah merupakan kebutuhan manusia, bahkan kesuksesan
seseorang sekarang ini, lebih banyak ditentukan pada kemampuan dia berkomunikasi.
(Sudibyo, A. 2016).
Komunikasi melibatkan interaksi antar anggota masyarakat. Dalam interaksi
diperlukan norma-norma atau aturan-aturan yang berfungsi untuk pengendalian yang
tujuannya adalah untuk tercapainya Ketertiban dalam masyarakat. Salah satu, upaya
mewujudkan tertibnya masyarakat adalah adanya etika komunikasi yakni kajian
tentang baik buruknya suatu tindakan komunikasi yang dilakukan manusia, suatu
pengetahuan rasional yang mengajak manusia agar dapat berkomunikasi dengan baik.
(Nurudin. 2010).
Komunikasi menandakan pula adanya interaksi antar -anggota masyarakat,
karena komunikasi selalu melibatkan setidaknya dua orang. Dalam interaksi selalu
diperlukan norma-norma atau aturan-aturan yang berfungsi untuk pengendalian atau
social control. tujuannya untuk menciptakan masyarakat yang tertib. Salah satu
bentuk untuk mewujudkan tertibnya masyarakat adalah adanya etika, yakni filsafat
yang mengkaji baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan manusia (Rulli, N.
2015).

6
C. Media Sosial
Media sosial adalah sebuah media online, dengan para penggunanya bisa dengan
mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi, meliputi blog, jejaring sosial,
wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan media sosial
yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia (Nurudin. 2010).
Haryatmoko (2012) membagi media sosial menjadi enam bagian, yaitu Proyek
Kolaborasi (wiki, bookmark), Blog dan Mikroblog (twitter), Konten (youtube), Situs
jejaring sosial (facebook dan instagram), dan Virtual Game Works (3D).
Berbagai media sosial yang populer di masyarakat Indonesia antara lain: path,
facebook, Instagram dan twitter. Media sosial telah menjadi trend tersendiri dengan
pengguna di Indonesia mencapai lebih dari 82 juta akun Facebook, 22 jt pengguna
aktif Instagram, dan lebih dari 6,2 juta akun Twitter. Data tersebut merupakan survey
JakPat September 2016. Berdasar perkembangannya, Indonesia berada di urutan ke
dua dunia setelah Amerika Serikat sebagai negara dengan penduduknya sebagai
pengguna media sosial (Baihaki, E. 2016).

D. Pentingnya Etika dalam Bermedsos


Medsos telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia dengan peran
sangat signifikan dalam komunikasi modern. Infiltrasi penggunaan internet serta
perangkat teknologi komunikasi seperti tablet dan smartphone yang sangat marak
menjadi salah satu pendorong pertumbuhan situs-situs jejaring baru pertemanan dan
informasi. Simak saja, hampir semua smartphone dijejali dengan lebih dari dua
aplikasi medsos yang semua dimanfaatkan oleh pemiliknya.
Data menarik disuguhkan oleh Statistik Pengguna Internet dan Mobile Indonesia.
Pada tahun 2014 ini pengguna internet di Indonesia mencapai 15% atau 38,2 juta dari
total jumlah penduduk sekitar 251,2 juta jiwa. Sedangkan pengguna medsos di
Indonesia juga sekitar 15% dari total jumlah penduduk Indonesia. Artinya, hampir
seluruh pengguna internet memiliki akun medsos. Para pengguna medsos ini
mengakses akun medsosnya ratarata sekitar 2 jam 54 menit dan sebanyak 74%
mengakses akunnya melalui smartphone.
Secara global, penggunaan medsos menunjukkan fenomena pertumbuhan yang
sulit dihentikan. Digital Insights, pada September 2013 menyebutkan jumlah
pengguna medsos seperti Facebook telah mencapai 1,15 miliar. Tidak sampai empat
bulan, tepatnya pada akhir Januari 2014, The Next Web melansir pengguna aktif
7
gurita jejaring sosial ini telah mencapai 1,23 miliar. Pengguna Facebook di Indonesia
pada tahun 2014 ini diperkirakan mencapai 80 juta lebih atau nomor empat terbesar di
dunia.
Kemudahan dalam mengakses akun medsos telah membuat medsos tidak bisa
dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Mereka dapat melakukannya di mana saja,
kapan saja, dengan siapa saja, dan tentang apa saja. Medsos telah menjadi backbone
(tulang punggung) dalam komunikasi abad digital ini. Akan tetapi selain dampak
positif yang ditimbulkan berkat fungsi dan tujuannya, medsos juga memunculkan sisi
kelam, menyimpang, dan negatif dari hubungan komunikasi. Medsos yang seharusnya
difungsikan untuk tujuan baik, telah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan
jahat.
Saat ini, modus-modus kejahatan yang memanfaatkan medsos begitu marak, baik
itu berupa fitnah, caci maki, teror, penipuan, penjatuhan serta penghinaan pihak lain,
penculikan hingga saling adu argumen yang tidak didasarkan pada kepatutan serta
kewajaran. Semua fenomena negatif tersebut ditandai dengan pelanggaran nilai-nilai
etika berkomunikasi. Pada prinsipnya, setiap kita melakukan komunikasi baik secara
langsung dengan bertatap muka maupun tidak langsung melalui perangkat
komunikasi, kaidah-kaidah berkomunikasi yang baik tetap harus dijunjung tinggi.
Tatanan sosial yang terbangun dari komunikasi era digital melalui medsos
sebagai tulang punggungnya akan rusak dan destruktif apabila penggunaan medsos
tidak didasarkan pada etika berkomunikasi yang baik. Ketika masyarakat
berkomunikasi, pada dasarnya mereka sedang menciptakan sendi-sendi trust atau rasa
saling percaya. Hal itu muncul dengan sendirinya karena pihak-pihak yang
berkomunikasi menjunjung tinggi nilai-nilai etika. Etika sendiri adalah kesadaran dan
pengetahuan mengenai baik dan buruk atas perilaku atau tindakan yang dilakukan
oleh manusia.
Dalam kehidupan bersosial di masyarakat, istilah etika dikaitkan dengan
moralitas seseorang. Orang yang tidak memiliki etika yang baik sering disebut tidak
bermoral karena tindakan dan perkataan yang diambil tidak melalui pertimbangan
baik dan buruk. Kata etika dan moral juga sering dikaitkan dengan dunia pendidikan,
karena menyangkut pertimbangan akan nilai-nilai baik yang harus dilakukan dan
nilai-nilai buruk yang harus dihindari. Tidak adanya filter atau saringan pertimbangan
nilai baik dan buruk merupakan awal dari bencana pemanfaatan medsos di era gadget.

8
E. UU ITE dalam Mengatur Etika Berkomunikasi di Media Sosial
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi jelas memberi dampak pada
perubahan gaya hidup masyarakat dunia. Situs internet telah menjadi lautan informasi
bagi siapapun untuk mendapatkan informasi mengenai hal apa pun. Kebiasaan kita
pergi ke perpustakaan atau membuat kliping mengenai informasi tertentu tergantikan
dengan melakukan browsing atau pun googling. Aktivitas berbelanja ke toko
tergantikan dengan e-commerce. Perubahan gaya hidup sebagai dampak
perkembangan teknologi informasi tersebut, menuntut adanya perangkat peraturan
yang diharapkan mampu menjadi koridor dan memiliki kekuatan yuridis formal untuk
memastikan tidak ada pihak yang dirugikan dalam kegiatan di dunia maya ini
(Sudibyo, A. 2016)
Pemerintah Indonesia pun tanggap akan adanya tuntutan bagi transaksi informasi
di dunia maya dengan dibuatnya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE terdiri atas
beberapa bab yang di dalamnya membahas segala hal terkait dengan informasi
melalui elektronik (Sudibyo, A. 2016).
Salah satu bab yang ada di dalam UU tersebut adalah Bab VII yang membahas
tentang perbuatan yang dilarang dalam penyebaran informasi dan transaksi elektronik,
khususnya pasal 27 sampai dengan pasal 33. Dengan demikian, aktivitas masyarakat
pengguna media sosial juga dituntut mematuhi segala aturan yang dituangkan dalam
UU ITE ini. Berikut penjelasan dari masing-masing pasal Bab VII UU ITE (Baihaki,
E. 2016).
a. Pasal 27.
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.
(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik

9
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman.
b. Pasal 28
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA).
c. Pasal 29
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti
yang ditujukan secara pribadi.
d. Pasal 31
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
intersepsi atas transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau sistem
elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa
pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau
penghentian informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang
ditransmisikan.
e. Pasal 32
(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara
apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara
apapun memindahkan atau mentransfer informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik kepada sistem elektronik orang lain yang tidak berhak.
(3) Terhadap perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan
terbukanya suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik dengan keutuhan data yang
tidak sebagaimana mestinya
10
Dalam kurun waktu satu tahun ini, beberapa kasus yang dianggap melanggar
etika berkomunikasi di dunia maya telah ditangani dengan mengacu pada UU ITE,
dan sanksi hukum telah diterapkan sesuai dengan aturan yang tertuang di dalam UU
tersebut. Misalnya kasus Farah terkena kasus penghinaan terhadap Felly Fandini
Julistin Karnories melalui situs jejaring sosial facebook, sehingga Farah dituntut
hukuman 5 bulan penjara dalam masa percobaan 10 bulan oleh jaksa penuntut umum.
Contoh tersebut menggambarkan bahwa UU ITE memang telah dijadikan acuan untuk
menindak para pelaku pelanggaran etika berkomunikasi di dunia maya.
F. Etika Komunikasi dalam Menggunakan Media Sosial
Komunikasi di media sosial sering dilakukan dengan menggunakan bahasa tidak
baku. Salah satu penyebabnya yakni di dunia maya sering tidak jelas siapa lawan
komunikasi kita dan di mana posisinya walaupun banyak juga orang yang sudah
berinteraksi dan bertemu di dunia nyata, dan berlanjut komunikasi ke dunia maya
(media sosial) (Haryatmoko. 2012).
Bahasa di media sosial bukanlah bahasa resmi sebagaimana menulis artikel karya
ilmiah, makalah, jurnal, skripsi dan tesis. Sangat sedikit dan hampir tidak pernah ada
pengguna media sosial menulis status sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) padahal penulisan yang baku sangat penting dilakukan karena terkait dengan
etika dalam berkomunikasi sesama pengguna media sosial (Kismiyati. 2011).
Media sosial tampil menjadi media baru yang melahirkan berbagai konsekuensi
kehidupan. Pada dasarnya, media sosial bukanlah media baru bagi proses interaksi
dan komunikasi dalam masyarakat. Yang membuat media sosial seakan menjadi
media baru yakni saat kita meninjau media sosial masa lalu dan masa kini dari aspek
orientasi penggunaan dan aspek kelas sosial penggunanya (Rulli, N. 2015).
Media sosial seakan menjadi tempat menumpahkan cerita segala aktivitas, luapan
emosi dalam bentuk tulisan atau foto yang tidak jarang mengesampingkan etika yang
ada. Media sosial tidak lagi menjadi media berbagi informasi tapi hanya berbagi
sensasi. Jika kemajuan teknologi tidak dibarengi dengan kemajuan dalam berpikir,
yang ada kemajuan teknologi tersebut berbanding terbalik dalam hal pola berfikir
(Baihaki, E. 2016).
Perkembangan teknologi telah membuat pergeseran pemikiran. Etika yang dulu
dianggap penting oleh bangsa, seakan menjadi tidak penting lagi karena adanya

11
tuntutan zaman. Kemudahan dalam mengakses dan menggunakan media sosial tanpa
disadari telah menjebak kita dalam penurunan etika (Rulli, N. 2015).
Dalam kehidupan bersosial di masyarakat, istilah etika dikaitkan dengan
moralitas seseorang. Orang yang tidak memiliki etika yang baik sering disebut tidak
bermoral karena tindakan dan perkataan yang diambil tidak melalui pertimbangan
baik dan buruk. karena menyangkut pertimbangan akan nilai-nilai baik yang harus
dilakukan dan nilai-nilai buruk yang harus dihindari. Tidak adanya filter
pertimbangan nilai baik dan buruk merupakan awal dari bencana pemanfaatan media
sosial (Nurudin. 2010).
Dari aspek wujudnya di masyarakat, etika dapat dipilah menjadi dua jenis, yakni:
etika tertulis dan tidak tertulis. Etika tertulis sendiri bisa terbagi menjadi dua, yaitu:
etika tertulis berdasar kesepakatan dan etika tertulis berdasarkan legal formal atau
peraturan perundangan. Etika tertulis berdasar kesepakatan terbentuk karena adanya
kesepakatan antarpihak yang terkait atau terlibat dan bersifat mengikat para
penggunanya, seperti peraturan kesepakatan dalam penggunaan Kaskus. Sedangkan
etika tertulis legal formal telah dirumuskan dan disahkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, seperti UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE).
Adapun etika tidak tertulis merupakan kumpulan etiket, sopan-santun, nilai-nilai,
norma dan kaidah yang lahir dari proses interaksi antarsesama, yang harus dihormati
dan dipatuhi bersama-sama. Dengan demikian, etika sosial berkomunikasi pada
prinsipnya merupakan panduan berperilaku dan bertindak yang mengacu pada apa
yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari. Mana yang boleh dan tidak boleh
dilakukan.
Etika berkomunikasi dalam implementasinya antara lain dapat diketahui dari
komunikasi yang santun. Hal ini merupakan juga cerminan dari kesantunan
kepribadian kita. Komunikasi diibaratkan seperti urat nadi penghubung kehidupan,
sebagai salah satu ekspresi dari karakter, sifat atau tabiat seseorang untuk saling
berinteraksi, mengidentifikasikan diri serta bekerja sama. Kita hanya bisa saling
mengerti dan memahami apa yang dipikirkan, dirasakan dan dikehendaki orang
melalui komunikasi yang diekspresikan dengan menggunakan berbagai saluran, baik
verbal maupun non-verbal. Pesan yang ingin disampaikan melalui komunikasi, bisa
berdampak positif bisa juga sebaliknya. Komunikasi akan lebih bernilai positif, jika

12
para peserta komunikasi mengetahui dan menguasai teknik berkomunikasi yang baik,
dan beretika (Sudibyo, A. 2016).
Etika berkomunikasi, tidak hanya berkaitan dengan tutur kata yang baik, tetapi
juga harus berangkat dari niat tulus yang diekspresikan dari ketenangan, kesabaran
dan empati kita dalam berkomunikasi. Bentuk komunikasi yang demikian akan
menghasilkan komunikasi dua arah yang bercirikan penghargaan, perhatian dan
dukungan secara timbal balik dari pihak-pihak yang erkomunikasi. Komunikasi yang
beretika, kini menjadi persoalan penting dalam penyampaian aspirasi. Dalam
keseharian eksistensi penyampaian aspirasi masih sering dijumpai sejumlah hal yang
mencemaskan dari perilaku komunikasi yang kurang santun. Etika komunikasi sering
terpinggirkan, karena etika berkomunikasi belum membudaya sebagai urat nadi
kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Baihaki, E. 2016)
Etika dalam berbahasa dan berbicara di media social harus diperhatikan, salah-
salah memposting sesuatu bisa berujung penjara atau tuntutan, intinya sebelum
melakukan sesuatu dalam akun jejaring social, hendaknya di perhatikan 3 pola
seperti “ Think before typing”, “ Think before talking” and “Think before Posting”.
Adapun etika komunikasi yang baik dalam media sosial adalah (Baihaki, E. 2016) :
1. Jangan terlalu mengumbar kehidupan pribadi.
Tersedianya kolom untuk mengeshare apa yang ingin tulis bukan berarti semua
harus di umbar dalam media sosial apalagi sesuatu yang sensitif dan sangat
pribadi. Semisal masalah keuangan, bertengkar dengan seseorang, pandangan kita
terhadap seseorang dan lain sebagainya. Alangkah tidak bijaksananya bila semua
orang tahu akan permasalahan dan problematika yang sedang kita hadapi. Baiknya
simpan segala hal sensitif untuk diri sendiri dan tidak perlu semua teman di sosial
media mengetahuinya.
2. Hindari berbicara ataupun menuliskan kalimat bercandaan yang memiliki unsur
SARA (Suku, Agama dan Ras) serta pornografi.
Karena selain bisa menyinggung pihak lain juga bisa menimbulkan salah persepsi
dan membawa dampak yang buruk. Tidak semua pengguna sosial media mengerti
akan konsep ini, karena itu mulailah dari diri kita untuk tidak berbicara dan
membagi konten yang mengandung unsur diatas.
3. Berkomunikasi dengan sopan dan santun.
Pergunakan bahasa yang tepat dengan siapa kita berinteraksi. Perlu kiranya kita
memahami dengan siapa kita berinteraksi. Jangan menggunakan huruf capital
13
semua, karenaorang berpandangan bahwa penulis sedang marah dan buatlah
tulisan tanpa singkatan yang sulit dimengerti.
4. Menghargai dalam perbedaan.
Ini termasuk hal yang sangat penting karena setiap manusia memiliki cara
pandang yang berbeda dalam menanggapi sesuatu hal. Jangan terlalu menganggap
apa yang dibuat seseorang tersebut adalah hal yang tidak penting sehingga saling
menjelek-jelekan.
5. Apabila beropini pastikan ada fakta dan data.
Begitu banyak media yang membuat opini tidak sesuai dengan fakta dan data yang
ada. Mereka hanya, mengedepankan bagaimana orang tertarik walaupun
menempuh cara yang salah. Berhati-hati dalam beropini negative pada seseorang
karena dapat mencemarkan nama baik.
6. Hargai privasi atau rahasia-rahasia orang lain dengan tidak mengumbarnya di
media sosial, sekalipun dengan tujuan bergurau atau bercanda.
7. Memperhatikan “waktu” ketika akan mengirim pesan dan jangan mengunakan
icon-icon yang berlebihan dan bisa menyalah artikan persepsi sebetulnya.
8. Sebaiknya berkomunikasi secara santun dan tidak mengumbar kata-kata kasar.
Gunakan kaidah-kaidah bahasa dengan baik dan benar. Misalnya, menggunakan
huruf kapital semua dan banyak menggunakan singkatan yang sulit dimengerti.
Hindari kata-kata atau idiom yang artinya kotor, menghujat dan tidak sopan dalam
bermedia sosial. Hal ini terkait dengan aspek diksi atau pemilihan kata-kata dalam
berbahasa. Contoh paling gamblang adalah no twitwar dalam penggunaan
microblogging ini, di mana pengguna Twitter berkicau dalam pembatasan 140
karakter saja dengan baik. Hindari mem-posting, sekadar retweet (RT), apalagi
masuk dan ikut-ikutan memanasi kancah permasalahan orang lain, karena bisa
saja hal itu justru merugikan dan mengganggu diri sendiri dan pihak lain yang
tidak berkenan.
9. Mengecek kebenaran konten dan informasi suatu berita atau kejadian sebelum
menyebarkannya kembali melalui medsos. Apabila kita hendak ikut menyebarkan
kembali suatu informasi, ada baiknya mengecek kebenaran informasi itu melalui
tautan akun-akun berita dan informasi yang tersedia. Cara terbaik yang dilakukan
adalah kritis terhadap konten yang diterima. Apakah informasi itu masuk akal,
ilmiah, ataukah hasil rekayasa dan dipenuhi muatan kebencian dan kebohongan.
Apabila ragu akan nilai kebenaran suatu konten, lebih baik kita tidak meneruskan
14
atau menyebarkan luaskannya melalui medsos. Nilai-nilai kepantasan agar tidak
melukai perasaan pihak lain juga bisa menjadi pertimbangan saat akan
menyebarkan suatu konten, seperti misalnya mengabarkan atau memuat konten
yang justru membuat orang lain makin berduka atau jatuh mentalnya.
10. Terkait dengan hak pemilikan intelektual orang lain, sebaiknya hasil karya mereka
dihargai dengan menyebutkan sumbernya. Hal ini dilakukan agar nilai-nilai
orisinalitas juga dijunjung tinggi di antara pengguna medsos, terutama dalam
konteks ilmiah, seni dan budaya. Perbuatan meniru memang sulit dihindarkan,
tetapi jika sudah menyangkut atau mendatangkan nilai ekonomi ada baiknya
menyebutkan sumber pembuat atau penciptanya. Hal ini biasanya terkait dengan
hasil lukisan, gambar, foto, lagu dan video.
11. Sebaiknya mengomentari sesuatu hal, topik, dan masalah dengan memahami dulu
isinya secara komprehensif dan tidak sepotongpotong. Kebiasaan untuk memberi
komentar dan memposting kembali suatu berita dari judulnya, paragraf pertama,
kesimpulan atau bagian akhir tulisan saja sebaiknya dihindari. Salah komentar
atau terjadinya kesesatan logika sering terjadi apabila pengguna atau user medsos
ceroboh dan tergesa-gesa menilai tanpa melihat konteks isinya dan gegabah
karena diliputi oleh emosi.
12. Jangan menuduh, menyerang, beropini negatif dan memberikan informasi tidak
benar melalui medsos. Apabila ada individu, entitas bisnis, dan lembaga yang
merasa dirugikan dan tidak dapat menerima konten itu, maka bisa berujung pada
somasi, permintaan maaf hingga pengguna medsos dilaporkan ke aparat kepolisian
karena telah melanggar Pasal 27 dan Pasal 28 UU ITE. Ada konsekuensi yang
harus ditanggung oleh pengguna medsos, sebagaimana bunyi Pasal 45, ayat (1)
UU ITE bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah). Bahkan apabila pernyataan pengguna medsos dinilai telah
membuat kerugian secara bisnis karena telah mencemarkan merek, brand dan
nama besar, maka sering pihak-pihak yang dirugikan akan melayangkan gugatan
perdata disertai dengan tuntutan ganti rugi.
13. Jangan menggunakan medsos saat hati dalam kondisi emosi, pikiran jenuh dan
kondisi kejiwaan yang labil. Misalnya saat sedih, marah, sakit, stress, mabuk dan
tidak mampu berpikir secara jernih. Sering kali kondisi internal individual tersebut
15
memengaruhi isi dari pendapat yang diunduh atau di-update ke forum, jejaring
sosial dan blog, sehingga kontennya menjadi kabur, keliru, dan tidak seharusnya
dikonsumsi oleh pengguna medsos yang lain. Just be nice.
14. Jangan terpengaruh, sekadar ikut-ikutan, demi solidaritas buta saat berkomentar
atau beropini di medsos. Paling tidak ada dasar-dasar yang masuk akal apabila
hendak berpendapat sehingga kita memiliki dasar alasan yang kuat mengapa kita
menyetujui atau tidak menyetujui konten yang tengah hangat menjadi
perbincangan. Sedapat mungkin kita menunjukkan independensi dan integritas
yang kuat dalam komentar dan opiniopini yang keluar.
15. Jangan menggunakan nama samaran, nama orang lain atau membuat akun
samaran dengan tujuan apa pun. Hal itu bisa menjadi awal dari bentuk penipuan
karena menyembunyikan identitas aslinya. Biasanya, penggunaan nama samaran
ini oleh orang yang tidak bertanggung jawab dikombinasikan dengan perbuatan
tidak baik seperti menyebarkan atau mem-forward informasi bohong,
menyesatkan, fitnah, mengadu domba, memperkeruh suasana, memanipulasi
informasi, dan membunuh karakter pihak lain.
16. Pergunakan medsos untuk hal-hal positif, baik dari segi konten maupun cara
menyampaikannya. Sebaiknya memilih konten-konten yang bermanfaat demi
produktivitas dan menunjang kehidupan yang lebih baik. Cara menyampaikan
isinya pun jangan menyakiti atau mengecewakan orang lain. Pergunakan bahasa
yang sopan, efektif dan efisien. Hindari kata-kata kasar dan jorok. Pakailah
kalimat yang baik dan benar. Jika berkomentar sebaiknya mengetahui tentang
permasalahan yang ada. Jangan sekadar ikut-ikutan berkomentar. Jadikan medsos
sebagai sarana untuk berbagi kebaikan, optimisme, kebahagiaan, saling tolong-
menolong, dan saling menghargai.
17. Menghargai hak cipta dengan menyebutkan sumber
Begitu banyak kasus yang kita lihat tentang pengambilan hak cipta seseorang
dengan cara mengganti dan menghapusnya. Hak cipta ini bisa berbentuk hasil
lukisan, gambar,lagu dan video.Sangat dianjurkan untuk mencantumkan sumber
yang membuat sebagai penghargaan atas karya yang telah dihasilkan.

BAB III
PENUTUP

16
A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Baihaki, E. 2016. Media Sosial dan Intoleransi. Jakarta : EGC.

Haryatmoko. 2012. Etika Komunikasi. Indonesia : Kanisius.

Kismiyati. 2011. Filsafat dan Etika. Bandung : Widya Padjajaran.

Nurudin. 2010. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rulli, N. 2015. Teori Media Sosial. Yogjakarta : Simbiosa Rekatama Media.

Sudibyo, A. 2016. Etika Bermedia dan Kontroversi Politik. Jakarta : EGC.

https://www.kemendag.go.id/files/pdf/2015/01/15/buku-media-sosial-kementerian-
perdagangan-id0-1421300830.pdf diakes pada tanggal 30 Oktober 2019

17

Anda mungkin juga menyukai