Anda di halaman 1dari 26

INOVASI MODEL DAN EVALUASI PEMBELAJARAN

Oleh : Lussy Dwiutami Wahyuni

Pengajar, desain pembelajaran, dan peserta didik adalah 3


(tiga) hal yang selalu disebut saat kita ingin berbicara tentang
proses pembelajaran. Mengapa demikian ? karena sesungguhnya 3
(tiga) hal tersebutlah yang menjadi motor dalam pergerakan
sebuah roda pembelajaran.

Pengajar disini dapat diartikan secara luas, apalagi dalam era


internetisasi saat ini. Salah satu dampak yang ditimbulkannya pada
dunia pendidikan adalah munculnya metode-metode pembelajaran
secara elektronik (elearning atau online learning). Hal tersebut
akhirnya berimbas pada cara guru dalam menyampaikan atau
membahasakan materi di kelas, dari yang sebelumnya bertutur
atau lisan menjadi tulisan. Namun demikian, peran guru atau
pengajar di kelas tidak dapat tergantikan karena tidak semua
peserta didik mampu belajar dan memahami materi secara mandiri.
Untuk mengatasinya adalah dengan cara memblend antara metode
klasikal dan elektronik (adanya hybrid instruction).

Menurut Gagne, Briggs, & Wager (dalam Prawiradilaga, 2007)


desain pembelajaran membantu proses belajar seseorang, dimana
proses belajar itu sendiri memiliki tahapan segera dan jangka
panjang. Mereka percaya proses belajar terjadi karena adanya
kondisi-kondisi belajar, internal maupun eksternal. Tapi menurut
Kemp, Morrison, & Ross (dalam Prawiradilaga, 2007) esensi disain
pembelajaran mengacu pada keempat komponen inti, yaitu siswa,
tujuan pembelajaran, metode, dan penilaian.
Peserta didik adalah semua individu yang menjadi audiens
dalam suatu lingkup pembelajaran. Biasanya penyebutan peserta
didik ini mengikuti skup/ruang lingkup dimana pembelajaran
dilaksanakan, diantaranya : siswa untuk jenjang pendidikan dasar
dan menengah, mahasiswa untuk jenjang pendidikan tinggi, dan
peserta pelatihan untuk diklat.

Peserta didik adalah masukan mentah (raw input) dalam


sebuah proses pembelajaran yang harus dithreat agar output dan
outcomesnya sesuai dengan yang dicanangkan institusi
(khususnya) dan dunia pendidikan Indonesia pada umumnya. Agar
keluarannya dapat beradaptasi dengan kemajuan zaman, maka
sudah sepatutnya materi dan cara pembelajarannyapun
disesuaikan dengan dunia nyata juga. Hal tersebut biasa dikenal
dengan model pembelajaran inovatif.

Penilaianpun juga sudah melakukan terobosan atau inovasi.


Terbukti, saat ini paper and pen bukanlah satu-satunya cara untuk
menilai keberhasilan belajar peserta didik. Asesmen portofolio,
autentik, dan lain-lain adalah sedikit dari banyak inovasi cara
menilai keberhasilan peserta didik yang lebih menitikberatkan pada
proses.

A. Model Pembelajaran Inovatif

Model pembelajaran inovatif lahir dari adanya keresahan


terhadap cara belajar klasikal. Dimana peserta didik tidak dapat
terlibat aktif dalam hal intelektual maupun fisik. Karena itu,
dirancanglah sebuah model pembelajaran yang bisa mengaktifkan
seluruh indera dan intelektualitas peserta didiknya.
Yang termasuk ke dalam model pembelajaran inovatif adalah
pembelajaran berbasis quantum teaching, pembelajaran berbasis
multiple intelegencies, elearning, active learning, integrated
learning, cooperative learning, pembelajaran berbasis sumber,
konteksual learning, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Selanjutnya yang akan dibahas disini adalah hanya model


pembelajaran inovatif berbasis elektronik (elearning) dan
contextual learning.

1. Model Pembelajaran Berbasis Elektronik (Elearning)


a. Pengertian E-Learning
E-learning tersusun dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang
merupakan singkatan dari ‘electronica’ dan ‘learning’ yang berarti
‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan
menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika. Jadi dalam
pelaksanaannya, e-learning menggunakan jasa audio, video atau
perangkat komputer atau kombinasi dari ketiganya. Dengan kata
lain e-learning adalah pembelajaran yang dalam pelaksanaannya
didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, videotape,
transmisi satelite atau komputer.(Tafiardi, 2005). Sejalan dengan
itu, Onno W. Purbo (dalam Amin, 2004) menjelaskan bahwa istilah
“e” dalam e-learning adalah segala teknologi yang digunakan untuk
mendukung usaha-usaha pengajaran lewat teknologi elektronik
internet. Internet, satelit, tape audio/video, tv interaktif, dan CD-
ROM adalah sebagian dari media elektronik yang digunakan.
Pengajaran boleh disampaikan pada waktu yang sama
(synchronously) ataupun pada waktu yang berbeda
(asynchronously).
Secara lebih singkat William Horton mengemukakan bahwa
(dalam Sembel, 2004) e-learning merupakan kegiatan
pembelajaran berbasis web (yang bisa diakses dari internet). Tidak
jauh berbeda dengan itu Brown, 2000 dan Feasey, 2001 (dalam
Siahaan, 2002) secara sederhana mengatakan bahwa e-learning
merupakan kegiatan pembelajaran yang memanfaatkan jaringan
(internet, LAN, WAN) sebagai metode penyampaian, interaksi, dan
fasilitas yang didukung oleh berbagai bentuk layanan belajar
lainnya.

Selain itu, ada yang menjabarkan pengertian e-learning lebih


luas lagi. Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan
secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet. Interaksi
dengan menggunakan internetpun bisa dijalankan secara on-line
dan real-time ataupun secara off-line atau archieved. Distribusi
secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-
learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan
sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD,
selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan
belajar di tempat dimana dia berada (Lukmana, 2006).

b. Karakteristik E-Learning

Karakteristik e-learning ini antara lain adalah:

1) Memanfaatkan jasa teknologi elektronik. Guru dan siswa, siswa


dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat
berkomunikasi dengan relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal-hal
yang bersifat protokoler.
2) Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan
computer networks)

3) Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning


materials) disimpan di komputer sehingga dapat diakses oleh
guru dan siswa kapan saja dan di mana saja bila yang
bersangkutan memerlukannya

4) Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan


belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi
pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.

c. Syarat-Syarat Penggunaan E-Learning

Menurut Newsletter of ODLQC, 2001 (dalam Siahaan) syarat-


syarat kegiatan pembelajaran elektronik (e-learning) adalah :

1) kegiatan pembelajaran dilakukan melalui pemanfaatan jaringan


dalam hal ini internet.
2) tersedianya dukungan layanan belajar yang dapat dimanfaatkan
oleh peserta belajar, misalnya CD-ROM atau bahan cetak
3) tersedianya dukungan layanan tutor yang dapat membantu
peserta belajar apabila mengalami kesulitan
4) adanya lembaga yang menyelenggarakan/mengelola kegiatan e-
learning
5) adanya sikap positif pendidik dan tenaga kependidikan terhadap
teknologi komputer dan internet
6) adanya rancangan sistem pembelajaran yang dapat
dipelajari/diketahui oleh setiap peserta belajar
7) adanya sistem evaluasi terhadap kemajuan atau perkembangan
belajar peserta belajar
8) adanya mekanisme umpan balik yang dikembangkan oleh
lembaga penyelenggara
Berbeda dengan yang telah diungkapkan di atas, dalam
Sembel, 2004, lebih menyoroti dari tenaga-tenaga ahli yang perlu
ada untuk “menghidupkan” sebuah e-learning adalah :

1) Subject Matter Expert (SME), merupakan nara sumber dari


pembelajaran yang disampaikan.
2) Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis
mendesain materi dari SME menjadi materi e-learning dengan
memasukkan metode pengajaran agar materi menjadi lebih
interaktif, lebih mudah, dan lebih menarik untuk dipelajari.
3) Graphic Designer (GD), bertugas untuk mengubah materi teks
menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang
enak dipandang, efektif, dan menarik untuk dipelajari.
4) Learning Management System (LMS), bertugas mengelola sistem
di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur
dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya, serta hal lain
yang berhubungan dengan pembelajaran, seperti tugas, nilai,
dan peringkat ketercapaian belajar siswa.
Ahli-ahli pendidikan dan ahli internet menyarankan beberapa
hal yang perlu diperhatikan sebelum seseorang memilih internet
untuk kegiatan pembelajaran (Hartanto dan Purbo dalam Tafiardi,
2002) antara lain:

1) Analisis Kebutuhan (Need Analysis). Dalam tahapan awal, satu


hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah memang
memerlukan e-learning. Pertanyaan ini tidak dapat dijawab
dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas saran orang
lain. Setiap lembaga menentukan teknologi pembelajaran sendiri
yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan analisis
kebutuhan atau need analysis yang mencakup studi kelayakan
baik secara teknis, ekonomis, maupun sosial.
2) Rancangan Instruksional yang berisi tentang isi pelajaran, topik,
satuan kredit, bahan ajar/kurikulum.
3) Evaluasi yaitu sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan
dengan mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong
untuk ikut mengevaluasi.
d. Fungsi E-Learning

Setidaknya ada 3 (tiga) fungsi pembelajaran elektronik


terhadap kegiatan pembelajaran di dalam kelas (classroom
instruction), yaitu (dalam Siahaan, 2002) :

1) suplemen (tambahan)

Dikatakan berfungsi sebagai suplemen, apabila peserta didik


mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan
materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada
kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi
pembelajaran elektronik. Sekalipun sifatnya opsional, peserta didik
yang memanfaatkannya tentu akan memiliki tambahan
pengetahuan atau wawasan.

2) komplemen (pelengkap)

Dikatakan berfungsi sebagai komplemen, apabila materi e-


learning diprogramkan untuk melengkapi materi pembelajaran yang
diterima siswa di dalam kelas (Lewis, 2002). Sebagai komplemen
berarti materi e-learning diprogramkan untuk menjadi materi
enrichment (pengayaan) atau remedial bagi peserta didik di dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran konvensional.

Sebagai enrichment, apabila peserta didik dapat dengan


cepat menguasai/memahami materi pelajaran yang disampaikan
guru secara tatap muka diberikan kesempatan untuk mengakses
materi e-learning yang memang secara khusus dikembangkan
untuk mereka. Tujuannya agar semakin memantapkan tingkat
penguasaan peserta didik terhadap materi pelajaran yang disajikan
guru di kelas.

Sebagai remedial, apabila peserta didik mengalami kesulitan


dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan guru secara
tatap muka di kelas. Tujuannya agar peserta didik semakin lebih
mudah memahami materi pelajaran yang disajikan guru di kelas.

3) substitusi (pengganti)

Tujuan dari e-learning sebagai pengganti kelas konvensional


adalah agar peserta didik dapat secara fleksibel mengelola kegiatan
perkuliahan sesuai dengan waktu dan aktivitas lain sehari-hari. Ada
3 (tiga) alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat diikuti
peserta didik : (1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional),
(2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet,
atau bahkan (3) sepenuhnya melalui internet.

e. Manfaat E-Learning

E-learning mempermudah interaksi antara peserta didik


dengan bahan/materi pelajaran. Peserta didik dapat saling berbagi
informasi atau pendapat mengenai berbagai hal yang menyangkut
pelajaran atau kebutuhan pengembangan diri peserta didik. Selain
itu, guru dapat menempatkan bahan-bahan belajar dan tugas-tugas
yang harus dikerjakan oleh peserta didik di tempat tertentu di
dalam web untuk di akses oleh peserta didik. Sesuai dengan
kebutuhan, guru dapat pula memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengakses bahan belajar tertentu maupun
soal-soal ujian yang hanya dapat diakses oleh peserta didik sekali
saja dan dalam rentangan waktu tertentu pula (Website Kudos,
2002, dalam Siahaan).

Secara lebih rinci, manfaat e-learning dapat dilihat dari 2


(dua) sudut, yaitu dari sudut peserta didik dan guru :

1) sudut peserta didik

Dengan kegiatan e-learning dimungkinkan berkembangnya


fleksibilitas belajar yang tinggi. Menurut Brown, 2000 (dalam
Siahaan) ini dapat mengatasi siswa yang (1) belajar di sekolah-
sekolah kecil di daerah-daerah miskin untuk mengikuti mata
pelajaran tertentu yang tidak dapat diberikan oleh sekolahnya, (2)
mengikuti program pendidikan keluarga di rumah (home schoolers)
untuk mempelajari materi yang tidak dapat diajarkan oleh orang
tuanya, seperti bahasa asing dan ketrampilan di bidang komputer,
(3) merasa phobia dengan sekolah atau peserta didik yang di rawat
di rumah sakit maupun di rumah, yang putus sekolah tapi berminat
melanjutkan pendidikannya, maupun peserta didik yang berada di
berbagai daerah atau bahkan yang berada di luar negeri, dan (4)
tidak tertampung di sekolah konvensional untuk mendapatkan
pendidikan.
2) guru

Menurut Soekartawi (dalam Siahaan) beberapa manfaat yang


diperoleh guru adalah bahwa guru dapat : (1) lebih mudah
melakukan pemutakhiran bahan-bahan yang menjadi tanggung
jawabnya sesuai dengan tuntutan perkembangan keilmuan yang
terjadi, (2) mengembangkan diri atau melakukan penelitian guna
peningkatan wawasannya karena waktu luang yang dimiliki realtif
lebih banyak, (3) mengontrol kegiatan belajar peserta didik. Bahkan
guru juga dapat mengetahui kapan peserta didiknya belajar, topik
apa yang dipelajari, berapa lama sesuatu topik dipelajari, serta
berapa kali topik tertentu dipelajari ulang, (4) mengecek apakah
peserta didik telah mengerjakan soal-soal latihan setelah
mempelajari topik tertentu, dan (5) memeriksa jawaban
peserta didik dan memberitahukan hasilnya kepada peserta didik.

Dari berbagai pengalaman dan juga dari berbagai informasi


yang tersedia di literatur, memberikan penjelasan tentang manfaat
penggunaan internet, khususnya dalam pendidikan terbuka dan
jarak jauh (Soekartawi dalam Tafiardi, 2002 : 94-95), antara lain
dapat disebutkan sbb:

a) Tersedianya fasilitas e-moderating. Guru dan siswa dapat


berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara
regular atau kapan saja kegiatan berkomunikasi itu dilakukan
tanpa dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu.
b) Guru dan siswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk
belajar yang terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga
keduanya bisa saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar
dipelajari.
c) Siswa dapat belajar atau me-review bahan ajar setiap saat dan di
mana saja kalau diperlukan mengingat bahan ajar tersimpan di
komputer.
d) Bila siswamemerlukan tambahan informasi berkaitan dengan
bahan yang dipelajarinya, ia dapat melakukan akses di internet
secara lebih mudah.
e) Baik guru maupun siswa dapat melakukan diskusi melalui
internet yang dapat diikuti dengan jumlah peserta yang banyak,
sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih
luas.
f) Berubahnya peran siswa dari yang biasanya pasif menjadi aktif
g) Relatif lebih efisien. Misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari
perguruan tinggi atau sekolah konvensional, bagi mereka yang
sibuk bekerja, bagi mereka yang bertugas di kapal, di luar
negeri, dsb-nya.
f. Kelebihan E-Learning

E-learning dapat dengan cepat diterima dan kemudian


diadopsi adalah karena memiliki kelebihan/keunggulan sebagai
berikut (Effendi, 2005)

1) Pengurangan biaya
2) Fleksibilitas. Dapat belajar kapan dan dimana saja, selama
terhubung dengan internet.
3) Personalisasi. Siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan
belajar mereka.
4) Standarisasi. Dengan e-learning mengatasi adanya perbedaan
yang berasal dari guru, seperti : cara mengajarnya, materi dan
penguasaan materi yang berbeda, sehingga memberikan
standar kualitas yang lebih konsisten.
5) Efektivitas. Suatu studi oleh J.D Fletcher menunjukkan bahwa
tingkat retensi dan aplikasi dari pelajaran melalui metode e-
learning meningkat sebanyak 25 % dibandingkan pelatihan yang
menggunakan cara tradisional
6) Kecepatan. Kecepatan distribusi materi pelajaran akan
meningkat, karena pelajaran tersebut dapat dengan cepat
disampaikan melalui internet.
g. Keterbatasan E-Learning

Terakhir yang harus diperhatikan masalah yang sering


dihadapi yaitu:

1) Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti


ketersediaan jaringan internet, listrik, telepon dan infrastruktur
yang lain.
2) Masalah ketersediaan software (piranti lunak). Bagaimana
mengusahakan piranti lunak yang tidak mahal.
3) Masalah dampaknya terhadap kurikulum yang ada.
4) Masalah skill and knowledge
Walaupun demikian pemanfaatan internet untuk
pembelajaran atau e-learning juga tidak terlepas dari berbagai
kekurangan antara lain:

1) Kurangnya interaksi antara guru dan siswa atau bahkan antar


siswa itu sendiri. Kurangnya interaksi ini bisa memperlambat
terbentuknya values dalam proses belajar dan mengajar.
2) Kecenderungan mengabaikan aspek akademik atau aspek sosial
dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis

3) Proses belajar dan mengajarnya cenderung ke arah pelatihan


bukan pendidikan.

4) Berubahnya peran guru dari yang semula menguasai teknik


pembelajaran konvensional, kini juga dituntut menguasai teknik
pembelajaran yang menggunakan internet.

5) Siswa yang tidak mempunyai motivasi belajar tinggi cenderung


gagal

6) Tidak semua tempat tersedia fasilitas internet (mungkin hal ini


berkaitan dengan masalah tersedianya listrik, telepon ataupun
komputer).

7) Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki keterampilan


bidang internet dan kurangnya penguasaan bahasa komputer.

h. Kendala-Kendala

Kendala atau hambatan dalam penyelenggaraan e-learning,


yaitu (Effendi, 2005) :

1) Investasi. Walaupun e-learning pada akhirnya dapat menghemat


biaya pendidikan, akan tetapi memerlukan investasi yang sangat
besar pada permulaannya.

2) Budaya. Pemanfaatan e-learning membutuhkan budaya belajar


mandiri dan kebiasaan untuk belajar atau mengikuti
pembelajaran melalui komputer.
3) Teknologi dan infrastruktur. E-learning membutuhkan perangkat
komputer, jaringan handal, dan teknologi yang tepat.

4) Desain materi. Penyampaian materi melalui e-learning perlu


dikemas dalam bentuk yang learner-centric. Saat ini masih
sangat sedikit instructional designer yang berpengalaman dalam
membuat suatu paket pelajaran e-learning yang memadai.

2. Model Pembelajaran Berbasis Konteks (Contextual and


Teaching Learning (CTL))

Fenomena pembelajaran yang berkembang di lapangan


adalah masih banyak pengajar yang mengajar hanya sekedar
menyelesaikan materi tanpa memikirkan apakah yang diberikannya
itu bermakna ataupun ada keterkaitan dengan dunia nyata. Yang
mengakibatkan fenomena ini terjadi, salah satunya adalah karena
banyaknya materi yang harus diselesaikan tetapi waktu yang
tersedia kurang. Akibatnya, materi yang tersampaikan tidak ada
yang terinternalisasi dalam diri peserta didik, kalau boleh dikatakan
secara ekstrim adalah lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas
apapun di kepala.

Beranjak dari fenomena itulah pembelajaran berbasis konteks


atau CTL muncul. Intinya CTL adalah pembelajaran yang
menggabungkan isi/materi dengan pengalaman harian individu,
kehidupan di dalam masyarakat dan alam pekerjaan. Diharapkan
dengan pembelajaran secara konteks, peserta didik dapat
memahami materi secara konkrit. Dikatakan konkrit karena tangan
dan “kepala” mereka ikut terlibat secara aktif dalam mempelajari
dan memahami materi yang disampaikan. Hal ini biasa disebut
dengan hands on and minds on activity.
Dalam kelas kontektual, tugas guru adalah membantu siswa
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan
dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola
kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan
sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru
datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah
peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Suatu pembelajaran dikatakan CTL, jika didalamnya terdapat
komponen-komponen sebagai berikut (dikdasmen) :
a. Konstruktivisme, dalam hal ini peserta didik dikondisikan agar
mampu membangun pemahaman mereka sendiri dari
pengalaman baru berdasar pada pengetahuan awal yang telah
mereka miliki. Jadi pembelajaran harus dikemas menjadi proses
“mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
b. Inquiry, disini peserta didik belajar mencari (melalui
pengamatan) dan menemukan sendiri hal-hal yang harus
diketahui dari sebuah topik yang disodorkan kehadapan mereka.
Disini peserta didik belajar menggunakan keterampilan berpikir
kritis
c. Questioning (Bertanya), dengan bertanya pengajar mendorong,
membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa terhadap
topik/materi. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian
penting dalam pembelajaran yang berbasis inquiry.
d. Learning community (masyarakat belajar), disini peserta didik
berkumpul dengan peergroupnya untuk saling berbagi ide, curah
pendapat, dan tukar pengalaman. Masyarakat belajar sangat
membantu sekali untuk mengokohkan pemahaman mereka
terhadap pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya.
e. Modeling (pemodelan), tujuan adanya pemodelan adalah agar
peserta didik mempunyai gambaran nyata tentang apa yang
akan mereka lakukan selanjutnya. Yang memberikan pemodelan
ini biasanya adalah pengajarnya.
f. Reflection (refleksi), pada tahap ini peserta didik diminta untuk
mencatat setiap kejadian yang telah mereka lalui,
memikirkannya, dan merefleksikannya. Semua hal itu digunakan
peserta didik untuk mengevaluasi pembelajaran yang telah
mereka laksanakan.
g. Authentic assessment (penilaian yang sebenarnya), yaitu
penilaian yang dilakukan tidak terbatas secara kognitif (melalui
paper and pen test) saja, tapi lebih holistic, yaitu penilaian
proses dan produknya. Apakah sudah relevan dan kontekstual ?
Segala hal yang telah dijabarkan di atas bila disintesiskan
akan menghasilkan karakteristik CTL, sebagai berikut :
a. kerjasama
b. saling menunjang
c. menyenangkan, tidak membosankan
d. belajar dengan bergairah
e. pembelajaran terintegrasi
f. menggunakan berbagai sumber
g. siswa aktif
h. sharing dengan teman
i. siswa kritis guru kreatif
j. dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja siswa, peta-
peta, gambar, artikel, humor dan lain-lain
k. laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya
siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa dan lain-lain

Dari 2 (dua) model pembelajaran yang telah dijabarkan di


atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk membelajarkan
peserta didik dengan sesungguhnya belajar sangatlah sulit.
Dibutuhkan pemikiran kritis, kreatif, dan mendalam untuk
mewujudkannya.

B. Evaluasi Pembelajaran
Tidak lazim dan sayang rasanya bila model pembelajaran
yang diberikan sangat inovatif, tapi cara penilaiannya masih biasa-
biasa saja. Karena tes tradisional cenderung hanya mengukur
kemampuan kogitif peserta didik saja dan terkadang hasil tes
tersebut tidak murni (bila peserta didik menyontek). Padahal, dalam
pembelajaran inovatif peserta didik dituntut untuk lebih berproses
secara aktif dalam pembelajaran.
Evaluasi pembelajaran merupakan usaha-usaha terarah,
terencana, dan sistematis untuk meneliti proses pembelajaran.
Objek evaluasinya antara lain tujuan pembelajaran, perencanaan
dan pengelolaan pembelajaran, serta penyelenggaraan evaluasi
hasil belajar.
Evaluasi dikatakan penting karena mempunyai tujuan utama
sebagai berikut (Gronlund, 2003) :
1. Feedback untuk peserta didik, dengan adanya evaluasi yang
dilakukan secara berkala peserta didik menjadi tahu kelebihan
dan keterbatasannya dalam memahami materi. Sebisa mungkin,
feedback yang diberikan kepada peserta didik harus serinci
mungkin, agar mereka dapat menilai apakah hasil yang mereka
dapat memang karena kemampuan/pemahamannya atau hanya
sekedar suatu kebetulan.
2. Feedback untuk guru, fungsi evaluasi terpenting bagi pengajar
adalah untuk menilai seberapa efektifkah pembelajaran yang
telah ia laksanakan ? Apakah peserta didik mampu menyerapnya
?
3. Informasi untuk orang tua, hasil dari tes yang telah dilaksanakan
peserta didik menghasilkan skor yang dapat menggambarkan
kemampuan mereka terhadap materi. Kumpulan-kumpulan
angka tersebut dapat menginformasikan orang tua
bagaimanakah kemampuan anaknya di sekolah.
4. Informasi untuk seleksi, biasanya skor yang didapat dari setiap
evaluasi adalah untuk membuat keputusan/seleksi apakah
peserta didik tersebut perlu remedial materi sampai dengan
keputusan apakah peserta didik perlu tinggal kelas atau tidak ?
5. Informasi untuk akuntabilitas. Biasanya nilai/skor yang didapat
siswa dapat digunakan pula untuk mengevaluasi guru,
performansi sekolah oleh pihak-pihak terkait.
6. Evaluasi sebagai insentif, maksudnya evaluasi dapat berfungsi
sebagai hadiah atas segala usaha yang telah dilakukan oleh
peserta didik.
Telah disampaikan sebelumnya bahwa model pembelajaran
yang inovatif harus dinilai secara inovatif pula. Penilaian tersebut
biasa dikenal dengan asesmen. Alasan mengapa pengajar
menggunakan asesmen, karena asesmen dapat :
1. Mendiagnosis kelebihan dan kelemahan peserta didik
2. Memonitor kemajuan belajar peserta didik
3. Memberikan grade pada peserta didik
4. Memberikan batasan bagi efektivitas pengajaran
5. Mengevaluasi guru
6. Meningkatkan kualitas pengajaran
Berhubung penilaian/asesmen banyak ragamnya, maka
penjabarannya dibatasi hanya pada asesmen autentik dan asesmen
portofolio.
1. Asesmen Autentik
Adalah asesmen hasil belajar yang menuntut peserta didiknya
dapat menunjukkan hasil belajar berupa kemampuan dalam
kehidupan nyata, bukan sesuatu yang dibuat-buat atau yang hanya
diperoleh di kelas, tetapi tidak dikenal dalam kehidupan sehari-
hari. Jadi, dalam hal ini peserta didik bukan memilih atau menjawab
jawaban dari sederet kemungkinan jawaban yang sudah tersedia.
Asesmen autentik sering disamakan dengan asesmen kinerja dan
sebaliknya.
Asesmen kinerja setidak-tidaknya harus memiliki 3 (tiga) cirri
utama, yaitu (Zainul, 2005) :
a. Multi kriteria, kinerja peserta didik harus dinilai dengan penilaian
lebih dari satu kriteria. Misalkan kemampuan peserta didik dalam
berbahasa Inggris harus memiliki dasar penilaian dari aspek
aksen, sintaksis, dan kosa kata.
b. Standar kualitas yang spesifik (dalam artian tidak ambigu dan
jelas), masing-masing kriteria kinerja peserta didik dapat dinilai
secara jelas dan eksplisit dalam memajukan evaluasi kualitas
kinerja peserta didik.
c. Adanya judgement penilaian, asesmen kinerja membutuhkan
penilaian yang bersifat manusiawi untuk menilai bagaimana
kinerja siswa dapat diterima secara nyata (real).

Berikut contoh-contoh tugas yang termasuk dalam asesmen


autentik :
a. Computer adaptive testing (sepanjang tidak berbentuk objektif),
yang menuntut peserta didik untuk mengekspresikan diri
sehingga dapat menunjukkan tingkat kemampuan yang nyata
b. Tes pilihan ganda yang diperluas
c. Extended response atau open ended question (asal tidak hanya
menuntut adanya satu jawaban “benar” yang terpola.
d. Group performance assessment, yaitu tugas yang harus
dikerjakan oleh peserta didik secara berkelompok
e. Individual performance assessment, yaitu tugas yang harus
diselesaikan secara mandiri
f. Interview, yaitu siswa harus merespon pertanyaan lisan dari
pengajar
g. Nontraditional test items, yaitu butir soal yang tidak bersifat
objektif tetapi merupakan suatu perangkat respon yang
mengharuskan peserta didik memilih berdasarkan kriteria yang
ditetapkan
h. Observasi, meminta peserta didik melakukan suatu tugas.
Selama melaksanakan peserta didik tersebut peserta didik
diobservasi baik secara terbuka maupun tertutup.
i. Portofolio, suatu kumpulan hasil karya peserta didik yang
disusun berdasarkan urutan waktu maupun urutan kategori
kegiatan.
j. Project, exhibition, or demonstration, yaitu penyelesaian tugas-
tugas yang kompleks dalam suatu jangka waktu tertentu yang
dapat memperlihatkan penguasaan kemampuan sampai pada
tingkatan tertentu pula
k. Short answer, open ended menuntut jawaban singkat dari siswa,
tetapi bukan memilih jawaban dari sederet kemungkinan
jawaban yang disediakan.
Asesmen autentik/kinerja memiliki dua bentuk utama yaitu
tugas (task) dan skala penilaian (rubric). Tugas-tugas kinerja harus
memperlihatkan kemampuan siswa menangani hal-hal yang
kompleks melalui penerapan pengetahuan dan keterampilan
tentang sesuatu dalam bentuk yang paling nyata. Sedangkan,
rubric merupakan panduan untuk member skor yang jelas dan
disepakati oleh peserta didik dan pengajar. Dengan bentuk
asesmen autentik/kinerja ini diharapkan peserta didik dan pengajar
ada upaya memperbaiki proses pembelajaran.

2. Asesmen Portofolio
Asesmen portofolio adalah asesmen yang terdiri dari
kumpulan hasil karya peserta didik (bisa berasal dari asesmen
autentik) yang disusun secara sistematik, sehingga menunjukkan
dan membuktikan upaya, hasil, proses, dan kemajuan (progress)
belajar yang dilakukan peserta didik dalam jangka waktu tertentu.
Portofolio bisa bertindak hanya sebagai koleksi/kumpulan
hasil karya peserta didik, tetapi bisa juga bertindak sebagai
asesmen. Hal yang harus diperhatikan, jika kita ingin menggunakan
portofolio sebagai instrument asesmen adalah :
a. Hendaknya memiliki kriteria penilaian yang jelas
b. Informasi atau hasil karya yang didokumentasikan dapat berasal
dari semua orang yang mengetahui peserta didik secara baik,
seperti : guru, rekan sesama siswa, guru mata pelajaran lain,
dan sebagainya
c. Dapat terdiri dari berbagai bentuk informasi, seperti : karangan,
hasil lukisan, skor tes, foto hasil karya, dll
d. Kualitas portofolio harus senantiasa ditingkatkan dari waktu ke
waktu berdasarkan hasil karya yang memenuhi kriteria
e. Setiap mata pelajaran mungkin mempunyai bentuk portofolio
yang sangat berbeda dengan mata pelajaran lainnya
f. Harus terbuka bagi orang-orang yang secar langsung
berkepentingan dengan hasil karya, seperti : guru, sekolah,
orang tua siswa, dan siswa itu sendiri.
Setiap portofolio yang digunakan sebagai instrumen asesmen
hasil belajar, secara langsung dapat dijadikan landasan
pengembangan kegiatan pembelajaran berikutnya. Dengan
demikian, portofolio dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan
bagi pengajar maupun peserta didik.
Pada dasarnya asesmen portofolio memiliki 3 (tiga) prinsip,
yaitu koleksi, seleksi, dan refleksi. Dalam implementasinya ketiga
prinsip tersebut memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan
antara yang satu dengan yang lainnya.
Langkah-langkah yang harus dilalui dalam
mengimplementasikan asesmen portofolio, yaitu :
a. Tahap persiapan
1) Mengidentifikasi atau menetapkan tujuan pembelajaran yang
akan diases dengan asesmen portofolio
2) Menjelaskan kepada peserta didik bahwa akan dilaksanakan
asesmen portofolio untuk mengases tujuan tertentu atau
keseluruhan tujuan pembelajaran
3) Menjelaskan bagian mana dan seberapa banyak kinerja dan
hasil karya yang secara minimal harus tercantum atau
disertakan dalam portofolio, dalam bentuk apa, dan
bagaimana kinerja atau hasil kerja itu akan diases
4) Menjelaskan bagaimana hasil karya tersebut harus disajikan

b. Tahap pelaksanaan
1) Guru mendorong dan memotivasi peserta didik
2) Guru melakukan pertemuan secara rutin dengan peserta didik
guna mendiskusikan proses pembelajaran yang akan
menghasilkan karya peserta didik, sehingga setiap langkah
peserta didik dapat memperbaiki kelemahan yang mungkin
terjadi
3) Memberikan umpan balik secara berkesinambungan kepada
peserta didik
4) Memamerkan keseluruhan hasil karya yang disimpan dalam
portofolio bersama-sama dengan karya keseluruhan peserta
didik yang menjadi peserta mata pelajaran tersebut

c. Tahap penilaian
1) Menegakkan kriteria penilaian yang akan dilakukan bersama-
sama atau partisipasi peserta didik
2) Kriteria yang disepakati diterapkan secara konsisten, baik
oleh pengajar atau peserta didik
3) Arti terpenting dari tahap penilaian ini adalah self-
assessment yang dilakukan oleh peserta didik, sehingga
peserta didik menghayati dengan baik kekuatan dan
kelemahannya
4) Hasil penilaian dijadikan tujuan baru bagi proses
pembelajaran berikutnya.

C. Kesimpulan
Model pembelajaran dan evaluasi saling terkait satu sama
lain. Model pembelajaran yang dilaksanakan akan semakin baik,
bila dalam pengimplementasiannya selalu memperhatikan hasil
evaluasi yang telah dilakukan. Jadi bisa dikatakan, evaluasi hadir
salah satunya untuk menilai keberhasilan model pembelajaran yang
telah dilaksanakan.
Model pembelajaran yang baik adalah yang dapat
mengakomodir dan mengaktifkan peserta didik (yang heterogen),
baik dari segi fisik maupun intelektualitasnya. Begitu juga dengan
cara penilaiannya, diharapkan menggunakan instrumen yang tidak
hanya mengukur potensi kognitifnya saja.

D. Daftar Pustaka
Anonymous. Pengenalan pembelajaran secara kontekstual.
http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bhn_pnp/modul_psv/09konte
kstual.pdf. Diakses pada 23 Februari 2008 pada 12.57.
__________. Pembelajaran secara kontekstual.
http://219.94.96.174/sainsmath2002/pedagogi
%20ubahsuai/Kontekstual.pdf . Diakses 23 Februari 2008
pada 1.18 pm.

__________. Kaidah pembelajaran kontekstual.


http://www.tutor.com.my/lada/tourism/edu-kontekstual.htm.
Diakses 23 Februari 2008 pada 1.03 pm.

Dikdasmen. Pengembangan model pembelajaran yang efektif.


http:// www.dikdasmen.org/files/KTSP/SMP/PENGEMMODEL
%20PEMBEL%20YG%20EFEKTIF-SMP.doc. Diakses 23
Februari 2008 pada 1.00 pm.
Effendi, Empy, “E-Learning : Pelatihan di era informasi”,
http://www.freshmindsgroup.com/resources/index.php?
option=com_content&task=view/&i

Lukmana, Lukas, ”Dukungan industri software dalam implementasi


e-Learning di dunia pendidikan”,

http://www.wahanakom.com/infotek/elearning.htm, dikunjungi 10
Juli 2006.

Prawiradilaga, Dewi Salma. Prinsip Disain Pembelajaran :


Instructional Design Principles. Jakarta : Kencana, 2007.

Siahaan, Sudirman, “E-Learning (pembelajaran elektronik) sebagai salah


Satu Alternatif Kegiatan Pembelajaran”,
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/42/sudirman.htm, dikunjungi 16
Februari 2006.

______, “Penelitian penjajagan tentang kemungkinan pemanfaatan


internet untuk pembelajaran di SLTA di wilayah jakarta dan
sekitarnya”, http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/39/Penelitian
%20Penjajagan%20tentang.htm, dikunjungi 16 Februari 2006.

Tafiardi, “Meningkatkan mutu pendidikan melalui e-learning”, Jurnal


Pendidikan Penabur - No.04/ Th.IV/ Juli 2005,

http://www1.bpkpenabur.or.id/jurnal/04/085-097.pdf, dikunjungi
10 Juli 2006

Zainul, Asmawi & Agus Mulyana. Tes dan Asesmen di SD. Jakarta :
Universitas Terbuka, 2005.

Anda mungkin juga menyukai