Disusun oleh:
Kelompok 8 ES 3B
OKTOBER 2019
DAFTAR ISI
COVER ................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................1
C. Tujuan ........................................................................................................1
BAB II. PEMBAHASAN
A. Dampak Sistem Bunga dan Bagi Hasil dalam Analisis Biaya...................2
B. Minimalisasi Biaya Untuk Produksi dalam Jumlah yang Sama ................8
C. Maksimalisasi Produksi Tanpa Kenaikan Biaya .......................................9
D. Penentuan Posisi Laba dan Maksimalisasinya dalam Islam....................10
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................................14
B. Saran.........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana dampak sistem bunga dan bagi hasil dalam analisis biaya ?
2. Bagaimana minimalisasi biaya untuk produksi dalam jumlah yang sama ?
3. Bagaimana maksimalisasi produksi tanpa kenaikan biaya?
4. Bagaimana penentuan posisi laba dan maksimalisasinya dalam Islam?
TUJUAN
1. Untuk mengetahui dan memahami tentang dampak sistem bunga dan bagi
hasil dalam analisis biaya.
2. Untuk mengetahui dan memahami tentang minimalisasi biaya untuk
produksi dalam jumlah yang sama.
3. Untuk mengetahui dan memahami tentang maksimalisasi produksi tanpa
kenaikan biaya.
4. Untuk mengetahui dan memahami tentang penentuan posisi laba dan
maksimalisasinya dalam Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Karakteristik dari sistem bunga dalam analisis biaya produksi adalah adanya
biaya bunga yang harus dibayarkan oleh produsen bersifat tetap. Sehingga biaya
bunga akan menjadi bagian dari fixed cost, dengan kata lain, berapapun jumlah
output yang diproduksi bunga tetap harus dibayar. Konsekuensi lebih lanjut,
keberadaan biaya bunga akan meningkatkan total biaya (TC Tci).
Dengan menggunakan sistem bagi hasil ini tidak terjadi. Naiknya total cost
akan mendorong Break Event Point dari titik Q ke Qi. Secara grafis efek kenaikan
biaya bunga dalam analisis biaya dapat dilihat sebagai berikut:
Seorang petani yang menanam padi menghadapi kendala pasar beras sebagai
berikut; harga jual beras yang diminta pasar adalah Rp2000,00 per satu kg, bila
dua kg, maka penerimaannya dari penjualan beras adalah Rp4000,00 dan
seterusnya.
2
Adanya beban bunga yang harus dibayar produsen sama sekali tidak akan
memengaruhi kurva penerimaan. Oleh karena itu, total kurva penerimaan (TR)
dalam sistem bunga adalah TRi = TR
Berbeda dengan sistem bunga, pada sistem bagi hasil, kurva fixed cost tidak
terpengaruh, tetapi pemberlakuan sistem ini akan berpengaruh terhadap kurva TR
(total revenue). Misalkan pada saat masa tanam, si petani membutuhkan sejumlah
dana dari seorang shahibul maal. Diasumsikan antara petani dan shahibul maal
membuat kesepakatan bahwa nisbah hasil adalah 70:30 dari penerimaan (70%
untuk petani, 30% untuk pemodal/shahibul maal). Contoh, bila terjual satu kg,
maka bagi hasil yang diterima petani adalah Rp1.400,00, sedangkan porsi bagi
hasil untuk shahibul maal adalah Rp600,-. Bila dua kg maka Rp2.800 untuk
petani dan seterusnya.
1 2.000 1.400
2 4.000 2.800
3 6.000 4.200
4 8.000 5.600
5 10.000 7.000
6 12.000 8.400
Jadi bila dalam sistem bunga yang berubah adalah kurva TC yaitu kurva TC
akan paralel ke kiri atas, sedangkan dalam sistem bagi hasil yang berubah adalah
kurva TR akan berputar ke arah jarum jam dengan titik 0 sebagai sumbu
putarannya. Semakin besar nisbah bergeser bagi hasil yang diberikan kepada
pemodal maka kurva TR itu semakin mendekati horizontal sumbu X.
3
Titik BEP adalah titik impas, yaitu ketika kurva TR berpotongan dengan
kurva TC, atau secara metematis titik BEP terjadi ketika TR=TC. Dengan
berputarnya kurva total penerimaan dari TR menjadi TRrs, titik BEP yang tadinya
terjadi pada jumlah output Q sekarang menjadi pada jumlah output Qrs.
Dari sisi BEP, kita tidak dapat menjawab pertanyaan apakah penggunaan
sistem bunga akan membawa perilaku produsen untuk berproduksi pada tingkat
output yang lebih kecil, lebih besar atau sama dengan tingkat output sistem bagi
hasil?
Di kedua sistem ini, kita mendapatkan bahwa Qi > Q dan Qrs > Q. Apakah Qi
> Qrs atau Qi < Qrs atau Qi = Qrs ditentukan dari berapa besar bunga
dibandingkan dengan berapa besar nisbah bagi hasil. Perbedaannya adalah pada
penyebabnya, bila Qi disebabkan naiknya TC, kg.adalah lebih besar dari 10maka
Qrs disebabkan berputarnya TR. Yang adalah kedua sistem, baik sistem bunga
maupun revenue sharing akan menggeser Q menjadi lebih besar. Kenapa bisa
demikian? Logika sederhanyanya begini, bila si petani dalam memproduksi padi
tanpa menggunakan sumber modal dari pihak lain maka si petani akan
berproduksi dan menjual berasnya pada jumlah yang menyebabkan atau paling
sedikit memberikan keuntungan. Contoh keuntungan baru akan didapat apabila
jumlah beras yang diproduksi minimal 100 kg. Namun, apabila si petani tersebut
4
menggunakan sumber dana (baik dengan sistem bunga maupun bagi hasil) maka
tuntutan untuk memenuhi keuntungan minimal adalah 100 kg. Tuntutan ini
sebagai konsekuensi atas pembayaran bunga dan bagi hasil yang harus dibagi ke
pihak lain. Misalkan, dengan adanya konsekuensi pembayaran bunga atau bagi
hasil, keuntungan minimal baru akan didapat apabila jumlah beras yang
diproduksi minimal 120 kg. Dengan demikian, karena adanya konsekuensi
pembayaran kepada pihak ketiga, maka produsen akan terdorong untuk
memproduksi barang pada jumlah yang lebih besar.1
Dalam akad muamalat Islam, dikenal akad mudharabah, yaitu akad antara si
pemodal dengan si pelaksana. Antara si pemodal dengan si pelaksana harus
disepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian bila usaha
tersebut menghasilkan untung. Namun, bila usaha tersebut malah menimbulkan
kerugian, maka si pemodal yang akan menanggung sesuai penyertaan modalnya,
dalam hal ini 100%. Akan tetapi, bila kerugian tersebut disebabkan karena
kelalaian atau ia melanggar syarat yang telah disepakati bersama, maka kerugian
menjadi tanggung jawab si pelaksana.
1
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islam, (Depok: RajaGrafindo, 2015), hal. 139-142
5
Selain menyepakati nisbah bagi hasil, mereka juga harus menyepakati siapa
yang akan menanggung biaya. Dapat saja disepakati bahwa biaya ditanggung oleh
si pelaksana atau ditanggung oleh si pemodal. Bila yang disepakati adalah biaya
yang ditanggung oleh si pelaksana, ini berarti yang dilakukan adalah bagi
penerima (revenue sharing). Sedangkan bila disepakati adalah biaya ditanggung
oleh si pemodal, ini berarti yang dilakukan adalah bagi untung (profit sharing).
6
Perbedaan kedua antara sistem revenue sharing dengan sistem profit sharing
dalam akad mudharabah adalah pada berapa jauh kurva TR berputar. Dalam
sistem revenue sharing, kurva TR akan berputar sampai mendekati garis
horizontal sumbu X. Sedangkan dalam sistem profit sharing, kurva TR hanya
akan berputar di dalam “mulut buaya” TR dan TC, yaitu area yang
menggambarkan besarnya keuntungan. Dalam sistem profit sharing, TR tidak
dapat berputar melewati TC, karena pada area itu sudah tidak ada lagi keuntungan
yang akan dibagihasilkan.
Antara dua orang pemodal ini harus disepakati nisbah bagi hasil yang akan
menjadi pedoman pembagian bila usaha tersebut menghasilkan untung. Namun,
bila usaha tersebut malah menimbulkan kerugian, maka pemodal yang akan
menanggung sesuai penyertaan modalnya. Misalnya si A modal penyertaannya
7
100 juta, sedangkan si B 200 juta. Mereka sepakat nisbah bagi hasilnya 50:50.
Bila usaha mereka untung 10 juta, maka masing-masing pemodal mendapatkan 5
juta. Bila usaha mereka rugi 9 juta, maka si A menanggung 3 juta dan si B
menanggung 6 juta.
Ambillah titik mana saja pada titik X sebagai titik yang menggambarkan
tingkat produksi yang sama (Q yang sama). Kemudian tariklah garis vertikal
sampai memotong TC dan TCi. Untuk masing-masing perpotongan antara garis
vertikal dengan TCi, dan TCrs/ps’ tariklah garis horizontal ke sumbu Y. Ternyata
untuk tingkat produksi yang sama (Q yang sama), total biaya sistem bagi hasil
TCrs/ps selalu lebih kecil dibandingkan total biaya dengan sistem bunga (TCi).
Jadi menurut kriteria ini, produksi dengan sistem bagi hasil lebih efisien
dibandingkan sistem bunga. 3
2
Ibid., hal. 142-144
3
Ibid, hal. 145
8
Pada jumlah produk yang sama (Q), TCrs = TCps < TCi
Untuk melihat ini, kita gunakan kurva total cost yang membandingkan
antara total cost sistem bunga dengan total cost sistem bagi hasil. Total cost
sistem bunga akan lebih tinggi daripada total cost sistem bagi hasil. Dari analisa
kurva yang menunjukkan biaya yang sama, jumlah produksi yang dihasikan
sistem bagi hasil lebih efisien dibandingkan sistem bunga.4 Secara grafis, total
cost sistem bagi hasil digambarkan dengan TC. Sedangkan total cost sistem bunga
digambarkan dengan TCi.
4
Rokhmat Subagiyo, Ekonomi Mikro Islam, (Jakarta:Alim’s Publishing, 2016), hal. 88
5
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro...., hal. 146
9
D. Penentuan Posisi Laba dan Maksimalisasinya dalam Islam
Dalam Bahasa Arab, laba berarti pertumbuhan dalam dagang. Jual beli
adalah ribh dan perdagangan adalah rabihah yaitu laba atau hasil dagang.
Seseorang yang berdagang akan mendapatkan laba dari hasil perdagangannya
tersebut. Keuntungan/laba terkadang disamakan dengan konsep lainnya yaitu
pertumbuhan atau pertambahan. Termasuk dalam konsep pertumbuhan adalah
riba. Tetapi terdapat perbedaan antara riba dengan ribhun atau laba. Dalam istilah
fiqih, pertumbuhan diistilahkan dengan nama (pertumbuhan) adalah pertumbuhan
pada pendapatan atau pada harta dalam jangka waktu tertentu. Jadi laba yang
dimaksud disini adalah suatu pertambahan pada nilai yang terdapat antara harga
beli dan harga jual. Keuntungan total merupakan penerimaan total (TR) dikurangi
biaya total (TC). Keuntungan total akan mencapai maksimum apabila selisih
positif antara TR dengan TC mencapai angka terbesar. Secara sistematis laba
dapat dirumuskan π = TR-TC, perusahaan dikatakan memperoleh keuntungan
apabila selisihnya positif (π>0) dimana TR harus lebih besar dari TC. Menurut
para ulama Malikiyah, nama (laba/keuntungan) terbagi menjadi 3 yaitu:
a. Ar-Ribh at-Tijari (laba usaha) dari hubungan antara laba dan ribh tijari
dapat diartikan sebagai pertambahan pada harta yang telah
10
dikhususkan untuk perdagangan sebagai hasil dari proses barter dan
perjalanan bisinis.
b. Al-Ghallah, yaitu pertambahan yang terdapat pada barang dagangan
sebelum penjualan.
c. Al-Faidah, yaitu pertambahan pada barang milik ayng ditandai dengan
perbedaan antara harga waktu pembelian dan harga penjualan, yaitu
sesuatu yang baru dan berkembang dari barang-barang kepemilikan.
11
4. Mengkaji ulang input-input yang dipergunakan untuk menghasilkan
barang-barang mewah dan emnggunakannya untuk mendistribusikan
barang-barang yang berguna bagi masyarakat.
5. Menyediakan barang dengan harga yang relatif murah namun berkualitas
baik.6
Produsen dalam ekonomi Islam juga tidak boleh mencari laba secara
monopoli yang dilakukan dengan menurunkan kuantitas output dan menaikkan
harga, atau mencari laba di pasar persaingan sempurna dengan membuang-buang
biaya iklan yang sebenarnya tidak begitu diperlukan. Choudury sebagaimana
dikemukakan Surtahman Kastin Hasan menawarkan satu bentuk persaingan yang
disebut dengan persaingan kerjasama, yaitu dengan memasarkan output lebih
besar (Qpl) dari pada output di pasar persaingan sempurna (Qps) dan monopoli
6
Husen Syahatah, Pokok Pemikiran Akuntansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2001), hal. 156
12
(Qm) dan juga menawarkan harga yang lebih rendah (Ppl) daripada harga
dipersaingan sempurna (Pps) dan monopoli (Pm), yang ingin disampaikan dalam
hal ini adalah bahwa ukuran-ukuran laba yang diterapkan dalam ekonomi
konvensional tidak seharusnya disamakan dengan ukuran yang dipergunakan
dalam ekonomi Islam. Sebagai institusi sosial adalah wajar jika perusahaan Islam
mempertimbangkan ukuran-ukuran dalam ekonomi konvensional, dimana
perusahaan dianggap berhasil jika berproduksi dengan biaya minimum, namun
perusahaan Islam dianggap sukses jika berhasil tujuan-tujuan yang telah
ditentukan khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas 7
7
Fahmi Medias, Ekonomi Mikro Islam, (Magelang: UNIMMA press, 2018), hal. 77-79
13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam akad muamalat Islam, dikenal akad mudharabah, yaitu akad antara
si pemodal dengan si pelaksana. Antara si pemodal dengan si pelaksana harus
disepakati nisbah bagi hasil yang akan menjadi pedoman pembagian bila usaha
tersebut menghasilkan untung. Selain menyepakati nisbah bagi hasil, mereka juga
harus menyepakati siapa yang akan menanggung biaya. Dapat saja disepakati
bahwa biaya ditanggung oleh si pelaksana atau ditanggung oleh si pemodal. Bila
yang disepakati adalah biaya yang ditanggung oleh si pelaksana, ini berarti yang
dilakukan adalah bagi penerima (revenue sharing). Sedangkan bila disepakati
adalah biaya ditanggung oleh si pemodal, ini berarti yang dilakukan adalah bagi
untung (profit sharing).
14
Dalam Islam, tujuan utama seorang produsen bukan memaksimalkan laba,
tetapi bagaimana agar produksi yang dilakukan bisa mendatangkan maslahah
(manfaat) bagi diri sendiri dan orang lain. Karena itu laba yang diperoleh
diarahkan untuk memenuhi kedua hal tersebut.
SARAN
15
DAFTAR PUSTAKA
Syahatah, Husen. 2001 Pokok Pemikiran Akuntansi Islam. Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana.
16