Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS PENDEKATAN MIMETIK PUISI ANGKATAN ’66

Oleh kelompok 6

Leli Septia Ningrum (122101830)

Alfi Lailatul Rizki (122101830)

Rizki Shafira (12210183014)

Binti Diana Safawati (122101830)

Akbar Riziq ()

Abstrak

Sastra adalah bentuk imajinatif dengna paparan bahasa tertentu


yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan
pemahaman, dan pengalaman tertentu, serta mengandung
estetika yang bisa dibuat oleh anak-anak maupun dewasa sesuai
dengan kegemarannya. Sastra sebagai karya imajinatif turut
menghadirkan polemik antara khayalan, mimpi dan realitas.
Melalui kritik sastra, setiap karya dapat menjadi peresentasi
kehidupan yang dialami oleh tokoh dalm suatu cerita. Mimetik
suatu pendekatan dalam kritik sastra mengulas sudut pandang
bahwa isi karya sastra merupakan tiruan atau rekaan atas
kehidupan yang sebenarnya. Pendekatan mimetik merupakan
pendekatan kajian sastra yang minitik beratkan kajian terhadap
hubungan karya sastra dengan kenyataan diluar karya sastra.

Kata Kunci: kritik sastra, mimetik, imajinatif, sastra.

PENDAHULUAN

Sastra hadir kepada pembaca dengan menyuguhkan hiburan,


mengajakpembaca untuk berimajinasi dan menciptakan daya tarik, dan rasa ingin
tahu. Sebagai media yang menawarkan kesenangan, sastra menjadi daya tarik
tersendiri bagi penikmatnya dengan menyisipkan rasa ingin tahu mendalam
mengenai karya yang dinikmati. Sastra sebagai karya imajinatif turut menhadirkna
polemik antara khayalan, mimpi, dan realitas. Entah puisi, prosa, cerpen, ataupun
novel. Karya sastra terdiri atas dua genre, yaitu prosan dan puisi. Prosa
merupakan karangan bebas, sedangkan puisi merupakan karangan terikat. Dalam
artikel ini penyusun menggunakan genre puisi untuk menganalisis sebagain puisi
yang ada didalam Angkatan ’66.

Karya sastra sangat beragam bentuknya. Beragam karya sastra tersebut


merupakan imajinasi yang dihasilkan oleh sastrawan. Sebagai mahasiswa patut
untuk mengapresiasi atau mendalami lebih dalam tentang karya sastra dengan
menggunakan kritik sastra. Dalam kritik sastra kita dapat mengenal berbagai
macam pendekatan. Salah satunya yaitu pendekatan mimetik. Mimetik merupakan
kritik yang memandang karya sastra sebagai pencerminan kenyataan kehidupan
manusia.

Karya sastra tidak terlepas dari pengarangnya. Ada banyak sastrawan yang
sudah menciptakan berbagai macam karya sastra. Pada Angkatan ’66 ini terdapat
banyak sastrawan yang menginspirasi diantaranya Chairil Anwar, Taufiq Ismail,
dan _________ . Dengan menggunakan kritik sastra mimetik dapat diperoleh
hubungan antara sastrawan dengan kehidupan manusia di dunia.

Analisis Pendekatan Mimetik Puisi Karya Chairil Anwar

KARAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mendegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak


Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bias

Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi kami adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta


menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Hasil Analisis Pendekatan Mimetik pada Puisi Karawang-Bekasi

Endraswara (2011:72) mengemukakan bahwa bahasa sastra itu memiliki


pesan keindahan dan sekaligus pembawa makna, ada suatu pesan dan makna
tersirat dari puisi tersebut. Pada puisi Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar
bertemakan perjuangan. Puisi tersebut diciptakan Chairil pada tahun 1948 yang
terinspirasi dari kejadian disepanjang Jalan Karawang-Bekasi. Peristiwa
Rawagede terjadi pada 9 Desember 1947, tepat saat Agresi Belanda yang telah
dilancarkan mulai 21 Juli 1947. Kompilasi itu pasukan Belanda berhasil
memberantas 431 jiwa penduduk desa Rawagede yang berada di desa Karawang,
Bekasi, Jawa Barat.

Ketika tentara Belanda meneyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke


arah Karawang. Pertempuran kemudian berkobar didaerah antara Karawang dan
Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada
tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan. Dalam
peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas.

Seperti pada bait pertama puisi tersebut


Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi

tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,

terbayang kami maju dan mengedap hati?

Pada 9 Desember 1947, sehari setelah perundingan Renville dimulai,


tentara Belanda dibawah pimpinan seorang mayor mengepung desa Rawagede
dan menggeledah setiap rumah. Namun, mereka tidak menemukan sepucuk
senjata pun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-
masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki
diperintahkan untuk berdiri jejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan
para pejuang Republik. Namun tidak satu pun rakyat yang mengatakan tempat
persembunyian para pejuang tersebut.

Pada bait ke dua

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Pada bait kedua ini penekanan makna terdapat pada larik ke tiga Kami
mati muda yaitu menggambarkan insan-insan atau tokoh yang rela mati muda
demi perjuangan kemerdekaan. Diantara barisan pahlawan yang gugur di medan
perjuangan terdapat pula mereka yang masih berusia muda harus kehilangan
nyawa, hanya tersisa tulang-belulang yang berlumur debu. Mereka juga meminta
kesadaran serta simpati insan atau pemuda masa kini untuk tetap mengenang
mereka dan melanjutkan perjuangan untuk membela tanah air.

Pada bait ke tiga

Kami sudah coba apa yang kami bisa


Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu
nyawa

Pada bait ketiga ini menggambarkan perjuangan para pahlawan demi


meraih kemerdekaan dengan seluruh kemampuan mereka. Mereka berusaha
sekuat tenaga, tetapi kematian telah menyergap mereka hingga tidak dapat lagi
membuat perhitungan atas gugurnya 4-5 ribu sahabat mereka atau para pejuang
lainnya.

Pada bait ke empat dan ke lima

Kami cuma tulang-tulang berserakan

Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan

atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata

Kaulah sekarang yang berkata

Pada bait ini lebih menekankan semangat melanjutkan perjuangan


meskipun tidak dalam bentuk perang ataupun harus mati, tetapi lebih memajukan
Negara dan tetap mengenang jasa-jasa Pahlawan yang telah tiada seperti yang
tergambar pada larik ke tiga bait ke empat. Pada baris pertama Kami Cuma
tulang-tulang berserakan menggambarkan sebuah ketidakberhargaan dan
ketidakmampuan, namun kemudian dilanjutkan pada larik kaulah lagi yang
tentukan nilai tulang-tulang berserakan yang memiliki makna, mereka yang
masih hiduplah yang bisa memberikan nilai atas ketidakberhargaan dan
ketidakmampuan para pejuang untuk berjuang lagi.

Pada bait ketujuh


Kenang, kenanglah kami

Teruskan, teruskan jiwa kami

Menjaga Bung Karno

menjaga Bung Hatta

menjaga Bung Sjahrir

Pada bait ini mendeskripsikan bahwa sosok-sosok pahlawan yang


membantu, membela, serta turut berjuang bersama para pemimpin negara. Ketika
pejuang sudah gugur mereka berpesan agar pemuda-pemuda atau mereka yang
masih hidup senantiasa meneruskan perjuangan, untuk menjaga para pemimpin
negara yang oleh penyair disebutkan nama-nama Bung Karno, Bung Hatta, dan
Bung Sjahrir. Mereka yang masih hidup hendaknya mengenangdan melanjutkan
perjuanganpejuang yang belum selesai.

Pada bait ke delapan dan ke sembilan

Kami sekarang mayat

Berikan kami arti

Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami

yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi

Pada bait ke delapan berisi tentang para pejuang yang sudah gugur di
medan perang meminta untuk diberikan arti maksutnya untuk dihargai bahwa
mereka telah gugur karena ikut berjuang untuk mempertahankan Kemerdekaan
dan untuk mencapai sebuah impian dan harapan hari Kemerdekaan. Sedangkan
pada bait ke sembilan berisi tentang keinginan prajurit muda dan pejuang yang
ditujukan kepada pemuda dan mereka yang masih hidup untuk tetap mengenang
para pejuang yang telah gugur yang tinggal tulang-tulang berlumur debu. Pada
larik Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi menggambarkan bahwa
para prajurit dan pejuang yang sedang berjuang untuk merebut Kemerdekaan
Bangsa Indonesia dan melepaskan diri dari penjajahan, kemudian para prajurit
dan pejuang itu tewas dalam pertempuan “Karawang-Bekasi”.

Analisi Puisi Taufik Ismail dengan Pendekatan Mimetik

Karangan Bunga
Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Datang ke Salemba

Sore itu.

Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga

Sebab kami ikut berduka

Bagi kakak yang di tembak mati

siang tadi’

(Taufiq Ismail, Tirani, 1966)

Hasil Analisi Melalui Pendekatan Mimetik

Puisi di atas menceritakan peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh


mahasiswa pada tahun 1966 untuk menentang orde lama. Pada masa itu telah
terjadi penembakan seorang mahasiswa Universitas Indonesia, oleh pasukan
Tjakrabirawa. Penembakan ini terjadi saat Alm. Arief Rahman Hakim berhasil
menerobos pagar betis di Istana Negara dan menuntut keras pada Presiden
Indonesia saat itu untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya. Namun
tuntutan mahasiswa tersebut tidak dilaksanakan atau terpenuhi oleh presiden ,
membuat suasanan semakin kacau dan ricuh dan berujung tertembaknya Alm.
Arief Rahman Hakim. Kejadian tersebut membuat simpati dan duka seluruh
rakyat di Indonesia.

Tiga anak kecil

Dalam langkah malu-malu

Pada penggalan puisi di atas tiga anak kecil yang mewakil kan golongan
manusia suci yang tidak tahu apa-apa tentng peristiwa tersebut. Tiga anak kecil
tersebut masih suci dan lugu yang hanya mengerti bahwa itu adalah kejadian yang
menyedihkan dan kejadian yang tragis dalam peristiwa demokrasi. Tetapi mereka
bertigs sudah mampu menyatakan rasa duka cita mereka terhadap peristiwa
gugurnya mahasiswa yang tertembak mati oleh sang penguasa pada saat itu.
Ketiga anak kecil tersebut membawa karangan bungan dalam langkah malu-malu.
Tanda kedukaan mereka diperlihatkan dengan adanya lambang “pita hitam pada
karangan bunga” yang mereka bawa.

Penggambaran melalui tiga anak kecil menyentuh hati pembaca. Pembaca


tentu tidak akan percaya bahwa lukisan itu menggambarkan kenyataan, sebab di
tengah-tengah demonstrasi mahasiswa saat itu tidak mungkin ada “tiga anak
kecil” membawa karangan bunga ke Salemba. Jadi semua pernyataan ini
bermakna kiasan dan juga melambangkan suatu maksud yang hendak
dikemukakan oleh penyair kepada pembaca. Yakni, kedukaan yang mendalam
karena gugurnya pahlawan Ampera.Pemilihan kata, bunyi, lambang, kiasan,
versifikasi, dan sebagainya diabdikan untuk kepentingan perwujudan makna
tersebut.

Datang ke Salemba

Sore itu.
Tiga anak kecil tersebut dating ke salemba. Yang dimaksud salemba pada
saat itu adalah kampus Universitas Indonesia Salemba, yang merupakan tempat
mahasiswa dalam melakukan aksi demokrasinya pada waktu itu. Sebenarnya tiga
anak kecil adalah simbol Tritura yang disuarakan oleh rakyat karena Indonesia
sudah terlau lama tunduk pada pemerintahan Soekarno dan takut untuk berubah ,
itulah mengapa dalam puisi dilambangkan “dalam langkah malu-malu” sementara
Salemba sendiri merupakan simbol dari perjuangan rakyat , karena pada waktu itu
tempat itu dijadikan pangkalan atau markas. Selain itu juga menjadi tempat
dimakamkannya jenazah Arif Rahman Hakim.

Ini dari kami bertiga

Pita hitam pada karangan bunga

Sebab kami ikut berduka

Pada bait kedua menggambarkan Tiga anak kecil yang membawa karangan bunga
yang berpita hitam. Pita hitam dalam karangan bunga tersebut menggambarkan
perasaan duka citaa mereka terhadap kakak mereka (orang yang dianggap kakak).
Kata-kata tersebut lebih bersifat sugestif (bahasa yang menyaran dan
memengaruhi pikiran pembaca). Agar ikut merasakan rasa duka cita terhadap
kejadian pada waktu itu.

Bagi kakak yang di tembak mati

siang tadi

Kakak dalam puisi tersebut ditunjukan kepada Alm. Arif Rahman Hakim
yang telah tertembak mati siang tadi, yaitu dalam tragedi demonstrasi.

Puisi ini tidak hanya sekedar imajinasi sorang penyair tetapi mengangkat sebuah
realita kehidupan, yaitu sebuah peristiwa yang terjadi pada masa orde lama yang
telah memakan korban seorang mahasiswa yang bernama Arif Rahman Hakim
yang telah tertebak mati dalam sebuah aksi demonstrasi untuk mencapai keadilan.
Dalam puisi ini memiliki kata-kat yang familiar akan tetapi membutuhkan
kontemplasi yang mendalam. Artinya para pembaca diajak untuk merenungi
tragedy saat itu. Diksi yang dipilih oleh Taufik Ismail sangat unik dan lebih
condong ke makna konotasinya.

Adapun kelemahan yang terdapat di dalam puisi tersebut adalah jika dilihat
secara tersurat, kita akan melihat setiap kata maupun kalimat pada tiap barisnya
adalah kata atau kalimat yang sangat dekat dengan kita. Namun, jika ditilik atau
dilihat lebih mendalam dari segi penafsiran dan analisis maka kita akan cukup
merasakan kesulitan dalam menganalisisnya karena di dalamnya menggunakan
kata-kata berkonotasi yang cukup rumit apalagi jika tidak mengetahui latar
belakang ditulisnya puisi ini.

Dalam pendekatan mimetik memang benarkah puisi ini muncul sebab peristiwa
yang benar-benar terjadi di kehidupan nyata lebih tepatnya pada zaman reformasi.

PENUTUP

DAFTAR RUJUKAN

Sefia, Ayum Yayah dan Septiaji, Aji. 2018. “Kritik Sastra Mimetik” dalam
Doglosia: Jurnal Pendidikan, Kebahasaan, dan Kesusastraan Indonesia Vol. 2 No.
1 (hlm. 1-3). Majalengka: Universitas Majalengka.

Anda mungkin juga menyukai